• Tidak ada hasil yang ditemukan

Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

i K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum

Puji syukur kehadirat Allah SWT berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, buku "Panduan Penyusunan Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung" ini dapat kami wujudkan.

Buku ini dimaksudkan sebagai informasi yang dikemas secara ringkas dan bersifat memandu bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun Peraturan Daerah (Perda) tentang Bangunan Gedung. Secara garis besar, buku ini berisi tentang tahapan dalam proses penyusunan Perda Bangunan Gedung, mulai dari pemahaman mengenai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung beserta peraturan pemerintah pelaksanaannya sebagai payung hukum penyelenggaraan bangunan gedung, serta ketentuan umum dan ketentuan teknis dalam penyusunan Perda Bangunan Gedung.

Diterbitkannya buku ini adalah merupakan salah satu tugas Pemerintah dalam menjalankan pembinaan kepada pemerintah daerah, melalui penyusunan dan penyebarluasan produk pengaturan untuk peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam upaya percepatan penyusunan Perda Bangunan Gedung. Diharapkan, sampai dengan Tahun 2014 dapat tercapai target penerbitan Perda Bangunan Gedung di 226 Kabupaten/Kota sesuai dengan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pekerjaan Umum Tahun 2010 - 2014.

Akhir kata, kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak atas bantuan dan kerjasamanya dalam penyusunan hingga diterbitkannya buku ini. Mohon maaf atas segala kekurangan , dan masukan maupun saran tetap kami harapkan demi penyempurnaan penyusunan Perda Bangunan Gedung pada tahun-tahun berikutnya.

Jakarta, 2013

DIREKTUR PENATAAN BANGUNAN DAN LINGKUNGAN,

(2)

PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1-1

1.1. LATAR BELAKANG ... 1-2 1.2. MAKSUD DAN TUJUAN ... 1-3 1.3. SASARAN ... 1-4 1.4. MANFAAT ... 1-4 1.5. SISTEMATIKA PEMBAHASAN ... 1-5

BAB II PEMAHAMAN UMUM ... 2-1

2.1. PENGATURAN BIDANG PENYELENGGARAAN BG ... 2-2

2.1.1. Undang-Undang Yang Melandasi Penyelenggaraan Pekerjaan Umum ... 2-2 2.1.2. Peran UUJK & UUBG Dalam Industri Konstruksi ... 2-3

(3)

iii K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

2.3.1. Amanah UU Bangunan Gedung (28/2002) ... 2-12 2.3.2. Amanah PP Bangunan Gedung (36/2005) ... 2-12 2.3.3. Amanah UU Pemerintahan Daerah (32/2002) ... 2-13 2.3.4. Amanah PP Pembagian Urusan Pemerintahan

(38/2007) ... 2-13

2.4. PENTINGNYA PERDA BG ... 2-13

2.4.1. Permasalahan Umum dalam Penyelenggaraan BG ... 2-13 2.4.2. Ilustrasi Permasalahan dalam Penyelenggaraan

BG ... 2-14 2.4.3. Dasar Pemikiran Pentingnya Perda BG ... 2-16 2.4.4. Manfaat Perda BG dalam Beberapa

Pertimbangan ... 2-17

2.5. LOKALITAS PENGATURAN

PENYELENGGARAAN BG DI DAERAH ... 2-19

2.5.1. Terkait Kebencanaan ... 2-19 2.5.2. Terkait Tradisionalitas ... 2-32 2.5.3. Terkait Kearifan Lokal ... 2-39

BAB III KETENTUAN UMUM PENDAMPINGAN ... 3-1

3.1. PENGERTIAN ... 3-2 3.2. LANDASAN HUKUM ... 3-7 3.3. KLASIFIKASI STATUS PERDA BG ... 3-8 3.4. NASKAH AKADEMIS ... 3-9 3.5. MODEL PERDA BG ... 3-10 3.6. METODOLOGI PENDAMPINGAN DI DAERAH ... 3-12 3.7. KELUARAN YANG DIHASILKAN ... 3-16

3.8. HUBUNGAN DAN PERAN ANTAR PIHAK

TERKAIT ... 3-16 3.9. METODOLOGI KEGIATAN DI PUSAT ... 3-19 3.10 POLA KOORDINASI DI TINGKAT PUSAT ... 3-22

(4)

RANPERDA-BG ... 4-1

4.1. TAHAP PERSIAPAN & PENYUSUNAN ... 4-2

4.1.1. Pembentukan Tim Pokja ... 4-3 4.1.2. Pendalaman KAK, Penyusunan Metodologi &

Rencana Kerja ... 4-4 4.1.3. Pendalaman Substansi ... 4-5 4.1.4. Penyusunan Ranperda BG Mengacu Model ... 4-6 4.1.5. Pembahasan Draf Ranperda BG Simultan

dengan Pembahasan Laporan Pendahuluan ... 4-7 4.1.6. Partisipasi dalam Koordinasi Awal di Jakarta ... 4-8

4.2. TAHAP SURVEI ... 4-9

4.2.1. Survei Sekunder ... 4-10 4.2.2. Survei Primer ... 4-11 4.2.3. Pengolahan Data dan Informasi ... 4-12

4.3. TAHAP ANALISIS ... 4-13

4.3.1. Kajian Kepustakaan ... 4-14 4.3.2. Identifikasi Kondisi Eksisting, Inventarisasi

Permasalahan dan Potensi yang Ada ... 4-15 4.3.3. Analisis Permasalahan dan Perumusan Materi

Pengaturan ... 4-16 4.3.4. Penyusunan Naskah Akademis ... 4-17 4.3.5. Penajaman Muatan Lokal Ranperda BG sesuai

Naskah Akademis ... 4-18 4.3.6. Workshop dengan Instansi Terkait dengan

Pembahasan Laporan Antara ... 4-19

4.4. TAHAP PENYEMPURNAAN ... 4-20

4.4.1. Penyempurnaan Naskah Akademis Berdasarkan Hasil Workshop ... 4-21

(5)

v K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

4.5.2. Penyiapan Produk Akhir Kegiatan ... 4-27

LAMPIRAN ... L-1

LAMPIRAN-1. KERANGKA NASKAH AKADEMIK ... L-2 LAMPIRAN-2. SISTEMATIKA RANPERDA-BG ... L-4 LAMPIRAN-3. DOKUMEN PROSIDING PEMBAHASAN ... L-10 LAMPIRAN-4. SISTEMATIKA PELAPORAN ... L-12 LAMPIRAN-5. FORMAT PEMANTAUAN & EVALUASI ... L-17

LAMPIRAN-6. CONTOH KEPUTUSAN BUPATI/WALIKOTA

TENTANG TIM PENYUSUN (POKJA)

RANPERDA-BG ... L-23 LAMPIRAN-7. CONTOH SURAT KETERANGAN DARI TIM

PENYUSUN (POKJA) BAHWA PROSES

PENYUSUNAN RANPERDA BG TELAH

(6)

Tabel 2.1. Pengaturan Kementerian PU Bidang PBL ... 2-8 Tabel 3.1. Keterkaitan antara Status Ranperda-BG dengan

Kebutuhan Pendampingan ... 3-8 Tabel 3.2. Lingkup & Capaian Kegiatan di Daerah (Secara

Umum) ... 3-12 Tabel 3.3. Lingkup & Capaian Kegiatan di Daerah (Fasilitasi

JICA) ... 3-14 Tabel 3.4. Lingkup & Capaian Kegiatan di Pusat ... 3-20

(7)

vii K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

Gambar 2.1. Undang-Undang Yang Melandasi Penyelenggaraan Pekerjaan Umum ... 2-3 Gambar 2.2. Peran UUJK & UUBG Dalam Industri Konstruksi ... 2-4 Gambar 2.3. Pengaturan Bangunan Gedung ... 2-5 Gambar 2.4. Alur Pikir UU-BG ... 2-6 Gambar 2.5. Sistematika UU-BG ... 2-7

Gambar 2.6. Skema Umum Penyelenggaraan Bangunan

Gedung ... 2-9 Gambar 2.7. Skema Penyelenggaraan Bangunan Gedung pada

Umumnya ... 2-10

Gambar 2.8. Skema Penyelenggaraan Bangunan Gedung

Tertentu ... 2-11 Gambar 2.9. Dasar Pemikiran Pentingnya Perda-BG ... 2-17 Gambar 2.10. Manfaat Perda-BG dalam Beberapa Aspek

Petimbangan ... 2-19 Gambar 3.1. Skema Metodologi Kegiatan Penyusunan Ranperda

BG di Kabupaten/Kota (Secara Umum) ... 3-13 Gambar 3.2. Skema Metodologi Kegiatan Penyusunan Ranperda

BG di Kabupaten/Kota (Fasilitasi JICA) ... 3-15 Gambar 3.3. Hubungan dan Peran Pihak Terkait (Secara Umum) .. 3-18 Gambar 3.4. Hubungan dan Peran Pihak Terkait (Fasilitasi

Sumber Lain) ... 3-19

Gambar 3.5. Skema Metodologi Kegiatan Pendampingan

Penyusunan Ranperda BG di Pusat ... 3-21 Gambar 3.6. Pola Koordinasi Kegiatan Penyusunan

(8)
(9)

B

B

A

A

B

B

I

I

P

P

E

E

N

N

D

D

A

A

H

H

U

U

L

L

U

U

A

A

N

N

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

(10)

1.1. LATAR BELAKANG

Dalam kurun waktu 10 tahun lebih sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UU-BG), perkembangan penyelesaian Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung (Perda-BG) relatif masih lambat. Dari total wilayah sebanyak 496kabupaten/kota dan Provinsi DKI Jakarta, yang telah memiliki Perda-BG barusebanyak124 kabupaten/kota dan 1 Perda Provinsi DKI Jakarta atau sekitar 25%. Sebenarnya, pemerintah menargetkan paling tidak seluruh kota metropolitan sudah memiliki dan memberlakukan Perda -BG pada tahun 2010, namun hal ini pun belum tercapai. DJCK-PU berupaya pada tahun 2020 seluruh seluruh kabupaten/kota di Indonesia sudah memberlakukan Perda-BG. Permasalahan utama penyelesaian Perda-BG adalah keterbatasan SDM Pemda, kurangnya komitmen dari stakeholder di daerah termasuk DPRD, serta konflik kepentingan terkait bangunan gedung.

Tahun 2012 lalu merupakan momentum dasawarsa diundangkannya UU-BG, yang telah diturunkan ke dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan dari UU No. 28 Tahun 2002 (PP-BG), maka perlu tindak lanjut berupa percepatan penyusunan peraturan daerah tentang bangunan gedung, yang merupakan amanat langsung dari undang-undang tersebut, melalui kegiatan pembinaan kelembagaan bangunan gedung di daerah.

Perda-BG, sebagai salah satu instrumen pengendali dalam penyelenggaraan bangunan gedung di kabupaten/kota, sangat di perlukan mengingat cukup banyak potensi bahaya dan bencana terkait bangunan gedung. Secara geo-tektonik posisi Indonesia terletak pada 3 lempeng aktif yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik; selain itu secara vulkanologis Indonesia terletak pada jalur Cincin Api Pasifik (The Pacific Ring of Fire), yang mengakibatkan potensi ancaman bahaya gempa bumi dan letusan gunung

(11)

1 - 3 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

Pemda yang seharusnya lebih siap memberlakukan Perda-BG, terutama daerah perkotaan yang memiliki banyak bangunan bertingkat. Dimana setiap bangunan harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan yang memenuhi persyaratan. Efektifitas dari penerapan Perda-BG, sangat tergantung dari komitmen masing-masing daerah, dimana penerapan sanksinya dapat berupa administratif, penyegelan, pembongkaran, bahkan pidana.

Dengan memperhatikan jiwa dan semangat otonomi dalam pembangunan daerah serta kemajuan pembangunan khususnya penyelenggaraan bangunan gedung dengan dampak positif maupun negatifnya, maka perlu adanya pengaturan Iebih lanjut tentang penyelenggaraan bangunan gedung di daerah dalam bentuk Perda-BG untuk mengurangi/menghilangkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan akibat kemajuan perekonomian suatu wilayah serta mewujudkan penyelenggaraan bangunan gedung yang tertib terhadap persyaratan teknis dan administratif.

Demi tersusunnya Perda-BG perlu dilakukan penguatan aparat pemerintah daerah melalui pendampingan terhadap percepatan penyusunan Rancangan Perda tentang Bangunan Gedung di kabupaten/Kota.

1.2. MAKSUD DAN TUJUAN

Buku panduan ini disusun dengan maksud untuk menghasilkan suatu dokumen panduan yang berisi muatan panduan substansial dan teknis sebagai acuan dan arahan teknis dalam rangka pelaksanaan kegiatan pendampingan penyusunan Rancangan Perda BG di Kabupaten/Kota, dimana dilaksanakan oleh Tim Penyusun (Pokja) dari Kabupaten/Kota dengan didampingi Konsultan Pendamping menggunakan alokasi dana APBN dari Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan yang dikelola oleh Satuan Non Vertikal Tertentu (SNVT) Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi.

Sedangkan tujuan disusunnya buku panduan ini adalah untuk:

1. Memberikan pemahaman mengenai alur penyelenggaraan bangunan gedung di Indonesia;

2. Memberikan pemahaman mengenai dasar hukum dan berbagai pengaturan penyelenggaraan bangunan gedung yang ada;

(12)

3. Memberikan pemahaman mengenai amanah penyusunan Perda BG dan pentingnya Perda BG bagi penyelenggaraan bangunan gedung di daerah;

4. Memberikan pemahaman mengenai muatan lokalitas dalam pengaturan Perda BG;

5. Memberikan panduan mengenai berbagai ketentuan umum pelaksanaan kegiatan pendampingan penyusunan Ranperda BG di daerah;

6. Memberikan panduan secara detail mengenai tahapan dan tatacara pendampingan penyusunan Ranperda BG di daerah.

1.3. SASARAN

Sasaran disusunnya buku Panduan Pendampingan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung ini yaitu:

1. Tersedianya pemahaman umum mengenai alur dan persyaratan penyelenggaraan bangunan gedung di Indonesia;

2. Tersedianya pemahaman mengenai dasar hukum dan berbagai pengaturan bidang penyelenggaraan bangunan gedung di Indonesia; 3. Tersedianya pemahaman mengenai amanah penyusunan Perda BG

dan pentingnya Perda BG yang mengandung muatan lokalitas bagi penyelenggaraan bangunan gedung di daerah;

4. Tersedianya panduan mengenai muatan naskah akademis dan muatan pengaturan Perda BG;

5. Tersedianya panduan mengenai metodologi dan tatacara pelaksanaan pendampingan penyusunan Ranperda BG di daerah;

6. Tersedianya panduan mengenai produk keluaran yang dihasilkan dari kegiatan pendampingan penyusunan Ranperda BG di daerah;

7. Tersedianya panduan mengenai hubungan dan peran antar pihak yang terkait dalam pendampingan penyusunan Ranperda BG di daerah.

(13)

1 - 5 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

1. Dipahaminya substansi penyelenggaraan bangunan gedung sesuai peraturan perundang-undangan di Indonesia;

2. Dipahaminya pentingnya Perda BG yang mengandung muatan lokal bagi penyelenggaraan bangunan gedung di daerah;

3. Dipahaminya metodologi dan tatacara pelaksanaan pendampingan penyusunan Ranperda BG di daerah;

4. Dipahaminya substansi Naskah Akademis dan muatan pengaturan dalam Perda BG serta berbagai produk keluaran lain yang akan dihasilkan;

5. Dipahaminya hubungan dan peran antar pihak yang terkait dalam pendampingan penyusunan Ranperda BG di daerah;

6. Meningkatnya kapasitas aparatur penyelenggara bangunan gedung di daerah;

7. Terjadinya percepatan penyelesaian Ranperda BG yang siap untuk dibahas dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda).

1.5. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Sistematika pembahasan buku Panduan Pendampingan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN, merupakan substansi umum mengenai buku panduan ini. Bab ini berisi penjabaran mengenai latar belakang; maksud dan tujuan; sasaran; manfaat; serta sistematika pembahasan.

BAB II PEMAHAMAN UMUM, merupakan pendalaman substansi mengenai bangunan gedung dan penyelenggaraannya berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bab ini berisi penjabaran mengenai pengaturan bidang penyelenggaraan BG; skema penyelenggaraan BG di Indonesia; amanah penyusunan Perda BG; pentingnya Perda BG; serta lokalitas pengaturan penyelenggaraan BG di daerah.

BAB III KETENTUAN UMUM PENDAMPINGAN, merupakan berbagai arahan umum yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pendampingan penyusunan Ranperda BG di daerah. Bab ini berisi penjabaran mengenai pengertian; landasan hukum; klasifikasi status Perda BG;

(14)

naskah akademis; model Perda BG; metodologi pendampingan di daerah; keluaran yang dihasilkan; hubungan dan peran antar pihak terkait; metodologi kegiatan di pusat; serta pola koordinasi di tingkat pusat.

BAB IV TATACARA PENDAMPINGAN PENYUSUNAN RANPERDA-BG, merupakan arahan teknis mengenai detail tatacara dan prosedur pelaksanaan kegiatan pendampingan penyusunan Ranperda BG di daerah. Bab ini berisi penjabaran mengenai tatacara pelaksanaan pada tahap persiapan; tahap survei; tahap analisis; tahap penyempurnaan; serta tahap finalisasi.

LAMPIRAN, merupakan arahan berbagai dokumen penunjang dalam pelaksanaan kegiatan pendampingan penyusunan Ranperda BG di daerah. Lampiran ini berisi penjabaran mengenai berbagai format dokumen penunjang, seperti kerangka naskah akademik; sistematika Ranperda-BG; dokumen prosiding pembahasan; sistematika pelaporan; format pemantauan dan evaluasi; contoh Keputusan Bupati/Walikota tentang Tim Penyusun (Pokja) Ranperda-BG; serta contoh surat keterangan dari Tim Penyusun (Pokja) bahwa proses penyusunan Ranperda BG telah selesai dengan baik dan akan ditindaklanjuti dalam Prolegda.

(15)

B

B

A

A

B

B

I

I

I

I

P

P

E

E

M

M

A

A

H

H

A

A

M

M

A

A

N

N

U

U

M

M

U

U

M

M

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

(16)

2.1. PENGATURAN BIDANG PENYELENGGARAAN BG

2.1.1. Undang-Undang Yang Melandasi Penyelenggaraan

Pekerjaan Umum

Kementerian Pekerjaan Umum sebagai sebuah institusi yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pekerjaan umum, bekerja berdasarkan beberapa landasan hukum. Beberapa undang-undang yang melandasi penyelenggaraan pekerjaan umum antara lain:

1. Sebagai payung yang melandasi arahan pembangunan adalah Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang; 2. Sebagai pilar yang melandasi pelaksanaan pembangunan, terdiri dari:

a. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;

b. Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan; c. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan

Gedung;

d. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman;

e. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah;

3. Sebagai pondasi yang melandasi penyelenggaraan pembangunan adalah Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

Secara lebih jelas mengenai landasan hukum yang menjadi dasar penyelenggaraan pekerjaan umum dapat dilihat pada ilustrasi di bawah ini.

(17)

2 - 3 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a Gambar 2.1. Undang-Undang Yang Melandasi Penyelenggaraan Pekerjaan Umum

Sumber: Tim Penyusun, 2012

2.1.2. Peran UUJK & UUBG Dalam Industri Konstruksi

Undang-undang jasa konstruksi (UUJK) dan undang-undang bangunan gedung (UUBG) dalam industri konstruksi pada prinsipnya memiliki korelasi yang sangat erat. Dalam melihat keterkaitan antara UUJK dan UUBG maka perlu dilihat tiga pihak yang saling berkaitan dalam industri konstruksi, yaitu pemerintah, penyedia jasa dan pemilik/pengguna jasa.

Dalam pelaksanaannya, ketiga pihak tersebut pada prinsipnya memiliki kepentingan masing-masing, yaitu:

1. Pemerintah memiliki landasan hukum yang mendasari kinerjanya, baik berupa UU, PP, Perpres, Permen, maupun Perda.

2. Penyedia Jasa memiliki berbagai landasan kinerjanya, baik berupa kode etik, standar teknis, ataupun anggaran dasar/rumah tangga. 3. Pemilik/Pengguna Jasa memiliki kepentingan yang mendasari

kinerjanya yaitu berupa program kebutuhan. Terdapat tiga bentuk interaksi antara ketiga pihak tersebut:

1. Hubungan antara Pemerintah dengan Pemilik/Pengguna Jasa. Dimana dalam konteks bangunan gedung, interaksi keduanya banyak diatur dalam UUBG yaitu dalam hal dengan IMB, SLF dan TABG.

(18)

2. Hubungan antara Penyedia Jasa dengan Pemilik/Pengguna Jasa. Dimana interaksi keduanya banyak diatur dalam UUJK, yaitu dalam hal hubungan kerjasama (kontrak).

3. Hubungan antara Pemerintah dengan Penyedia Jasa. Dimana interaksi keduanya banyak diatur dalam UUJK dalam hal Izin Usaha dan Sertifikasi serta diikat dengan berbagai ketentuan dalam lingkup asosiasi profesi, asosiasi badan usaha, dan lain-lain.

Secara lebih jelas skema mengenai peran UUJK dan UUBG dalam industri konstruksi dapat dilihat pada ilustrasi di bawah ini.

Gambar 2.2. Peran UUJK & UUBG Dalam Industri Konstruksi

Sumber: Tim Penyusun, 2012

2.1.3. Pengaturan Bangunan Gedung

Dalam hal penyelenggaraan bangunan gedung di Indonesia, perangkat pengaturan mengenai bangunan gedung secara berhirarki dapat dijelaskan sebagai berikut: IJIN USAHA SERTIFIKASI KONTRAK IMB SLF TABG

(19)

2 - 5 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

gedung yang berisi aturan pelaksanaan dari setiap norma dalam UUBG;

3. Peraturan Presiden Nomor 73 tahun 2011 tentang Pembangunan Bangunan Gedung Negara, yaitu dokumen pengaturan bidang bangunan gedung negara yang berisi aturan teknis yang secara khusus mengatur mengenai gedung dan rumah negara;

4. Pedoman Teknis dalam bentuk Peraturan Menteri bidang bangunan gedung, yaitu dokumen-dokumen pengaturan yang berisi aturan teknis yang secara khusus mengatur mengenai hal-hal tertentu dalam penyelenggaraan bangunan gedung;

5. Standar Teknis dalam bentuk Standar Nasional Indonesia bidang bangunan gedung, yaitu dokumen-dokumen yang berisi standar teknis hasil penelitian mengenai hal-hal tertentu dalam penyelenggaraan bangunan gedung;

6. Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung, yaitu dokumen pengaturan di daerah yang mengatur norma-norma penyelenggaraan bangunan gedung di daerah yang bersifat spesifik sesuai karakteristik lokal.

Secara lebih jelas skema mengenai pengaturan bangunan gedung di Indonesia dapat dilihat pada ilustrasi di bawah ini.

Gambar 2.3. Pengaturan Bangunan Gedung

(20)

2.1.4. Alur Pikir UU-BG

Secara umum, alur pikir dari Undang-undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dapat dijelaskan sebagai berikut:

 Identifikasi kondisi yang ada sebagai dasar pembentukan UUBG, yaitu mengenai penyelenggaraan bangunan gedung, karakteristik bangunan gedung di Indonesia dan berbagai kejadian yang terjadi terkait dengan bangunan gedung (termasuk bencana alam;

 Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, dirumuskan asas dari UUBG, yaitu kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan dan keserasian.

 Mengacu pada keempat azas tersebut, dirumuskan Lingkup Pengaturan dalam UUBG, dimana terdapat 3 kelompok pengaturan utama yaitu Fungsi, Persyaratan dan Penyelenggaraan bangunan gedung. Selain itu terdapat 3 kelompok pengaturan yang menunjang operasionalisasi penyelenggaraan bangunan gedung yaitu Peran Masyarakat, Pembinaan dan Sanksi.

 Keseluruhan lingkup pengaturan tersebut diharapkan dapat menjawab tujuan dari pembentukan UUBG, yaitu tercapainya BG yang fungsional dan efisien, tercapainya tertib penyelenggaraan BG dan tercapainya kepastian hukum dalam penyelenggaraan BG.

Secara lebih jelas skema mengenai alur pikir muatan pengaturan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dapat dilihat pada ilustrasi di bawah ini.

(21)

2 - 7 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

2.1.5. Sistematika UU-BG

Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung terdiri dari 10 bab dan 49 pasal pengaturan. Secara umum, muatan pengaturan dalam UUBG dapat dikelompokan menjadi: 1) Pembukaan, yang terdiri dari Judul, Konsideran dan Dasar Hukum; 2) Pengaturan Umum, yang terdiri dari Ketentuan Umum, Azas, Tujuan dan Lingkup; 3) Pengaturan Pokok, yang terdiri dari Fungsi, Persyaratan, Penyelenggaraan Bangunan Gedung, Peran Masyarakat, dan Pembinaan; serta 4) Pengaturan Penunjang, yang terdiri dari Sanksi, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup.

Secara lebih jelas mengenai sistematika muatan pengaturan UUBG dapat dilihat pada ilustrasi di bawah ini.

Gambar 2.5. Sistematika UU-BG

Sumber: Tim Penyusun, 2012

2.1.6. Pengaturan Kementerian PU Bidang PBL

Tahun 2012 merupakan dasawarsa atau sepuluh tahun sejak diundangkannya Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Undang-undang ini mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung di Indonesia yang bersifat pokok dan normatif. Sebagai turunan dari undang-undang tersebut, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Sebagai peraturan operasionalisasinya, dalam PP nomor 36 tahun 2005 diamanahkan penyusunan peraturan menteri, dimana terdapat 9 substansi

(22)

pengaturan yang perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri. Namun demikian untuk menjawab kebutuhan operasionalisasi penyelenggaraan bangunan gedung, sejak tahun 2006 telah ditetapkan sebanyak 16 peraturan menteri di bidang penataan bangunan dan lingkungan, sebagai turunan dari UU dan PP tentang bangunan gedung.

Secara lebih jelas mengenai daftar pengaturan Kementerian Pekerjaan Umum dalam bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.1. Pengaturan Kementerian PU Bidang PBL

TAHUN PRODUK PERATURAN

2006

1. PERMEN PU No. 19/PRT/M/2006 TTG PEDOMAN TEKNIS RUMAH DAN BANGUNAN GEDUNG TAHAN GEMPA

2. PERMEN PU No. 29/PRT/M/2006 TTG PEDOMAN PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG

3. PERMEN PU No. 30/PRT/M/2006 TTG PEDOMAN TEKNIS FASILITAS DAN AKSESIBILITAS PADA BG DAN LINGKUNGAN

2007

4. PERMEN PU No. 05/PRT/M/2007 TTG PEDOMAN TEKNIS RUSUNA BERTINGKAT TINGGI

5. PERMEN PU No. 06/PRT/M/2007 TTG PEDOMAN RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN

6. PERMEN PU No. 24/PRT/M/2007 TTG PEDOMAN TEKNIS IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN

7. PERMEN PU No. 25/PRT/M/2007 TTG PEDOMAN SERTIFIKAT LAIK FUNGSI 8. PERMEN PU No. 26/PRT/M/2007 TTG PEDOMAN TIM AHLI BANGUNAN

GEDUNG

9. PERMEN PU No. 45/PRT/M/2007 TTG PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA

2008

10. PERMEN PU No. 24/PRT/M/2008 TTG PERAWATAN DAN PEMELIHARAAN BANGUNAN GEDUNG

11. PERMEN PU No. 25/PRT/M/2008 TTG RENCANA INDUK SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN KOTA

12. PERMEN PU No. 26/PRT/M/2008 TTG SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN PADA BANGUNAN GEDUNG DAN LINGKUNGAN

2009 13. PERMEN PU No. 20/PRT/M/2009 TTG MANAJEMEN PROTEKSI KEBAKARAN DI PERKOTAAN

(23)

2 - 9 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

2.2. PENYELENGGARAAN BG

2.2.1. Skema Umum Penyelenggaraan BG di Indonesia

Secara umum, penyelenggaraan bangunan gedung dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pembangunan, yang terdiri dari:

a. Perencanaan Pembangunan, yang dilengkapi dengan dokumen Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan dilanjutkan dengan Pendataan.

b. Pelaksanaan Konstruksi, yang dilengkapi dengan dokumen Sertifikat Laik Fungsi (SLF).

2. Pemanfaatan, yang didukung dengan kegiatan Kajian Teknis. 3. Pelestarian, yang didukung dengan kegiatan Kajian Teknis.

4. Pembongkaran, yang didahului dengan dokumen Rencana Teknis Pembongkaran (RTB).

Secara lebih jelas skema umum mengenai penyelenggaraan bangunan gedung dapat dilihat pada ilustrasi di bawah ini.

Gambar 2.6. Skema Umum Penyelenggaraan Bangunan Gedung

Sumber: Tim Penyusun, 2012

2.2.2. Alur Penyelenggaraan BG pada Umumnya

Berdasarkan skema umum tersebut, maka secara lebih detail siklus penyelenggaraan bangunan gedung berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat digambarkan pada skema berikut ini.

(24)

Gambar 2.7. Skema Penyelenggaraan Bangunan Gedung pada Umumnya

Sumber: Tim Penyusun, 2012

Yang membedakan skema ini dengan skema sebelumnya adalah alur yang dibuat terlihat lebih lengkap dan lebih komprehensif. Pada skema ini dapat dilihat bahwa penyelenggaraan bangunan gedung dilaksanakan dengan mengacu pada UU, peraturan, pedoman, standar teknis dan Perda BG. Selain itu dapat dilihat juga bahwa setiap tahapan penyelenggaraan bangunan gedung dapat dilaksanakan dengan melibatkan penyedia jasa (pihak ketiga).

Hal lain yang berbeda juga dapat dilihat pada tahap perencanaan setiap bangunan gedung yang direncanakan harus mengacu pada RTRW, RDTR dan RTBL serta dilengkapi AMDAL dan Persetujuan/Rekomendasi Instansi lain untuk fungsi-fungsi tertentu.

(25)

2 - 11 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat lebih jelas bahwa bangunan gedung tertentu yang cenderung memiliki kompleksitas tertentu, sehingga membutuhkan pengelolaan secara khusus yang berbeda dengan bangunan gedung pada umumnya. Oleh karena itu, detail siklus penyelenggaraan bangunan gedung tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat digambarkan pada skema berikut ini.

Gambar 2.8. Skema Penyelenggaraan Bangunan Gedung Tertentu

Sumber: Tim Penyusun, 2012

Secara umum, alur siklus penyelenggaraan bangunan gedung tertentu hampir sama dengan alur siklus penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya. Yang membedakan skema ini dengan skema sebelumnya adalah pada setiap tahapannya (Penyusunan RTBL, Perencanaan, Pelaksanaan, Pemanfaatan, Pelestarian dan Pembongkaran), bangunan gedung tertentu dipersyaratkan untuk melibatkan Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) dan mendapatkan rekomendasi dari menteri yang terkait.

(26)

2.3. AMANAH PENYUSUNAN PERDA BG

2.3.1. Amanah UU Bangunan Gedung (28/2002)

UU 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mengamanahkan disusunnya Perda Bangunan Gedung sebagai peraturan pelaksanaan UU ini dalam konteks penyelenggaraan bangunan gedung di daerah. Penyusunan Perda Bangunan Gedung diamanahkan di dalam UU- BG pada bagian Penjelasan Umum. Penjelasan Umum UU-BG berbunyi: “... Undang-undang ini mengatur hal-hal yang bersifat pokok dan normatif, sedangkan ketentuan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Peraturan Daerah, dengan tetap mempertimbangkan ketentuan dalam undang-undang lain yang terkait dalam pelaksanaan undang-undang ini.”

2.3.2. Amanah PP Bangunan Gedung (36/2005)

Penyusunan Perda BG juga diamanahkan oleh PP 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Terdapat 6 pasal yang mengamanahkan perlunya disusun Perda BG di daerah, yaitu:

 Pasal 9 ayat 4, yaitu mengenai Bangunan Gedung Adat;

 Pasal 98 ayat 3, yaitu mengenai penjagaan ketertiban penyelenggaraan bangunan gedung oleh masyarakat;

 Pasal 108 ayat 2, yaitu mengenai evaluasi substansi Perda BG oleh pemerintah pusat;

 Pasal 109 ayat 1, yaitu mengenai pengaturan Perda BG oleh Pemda sesuai ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi setempat;

(27)

2 - 13 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

2.3.3. Amanah UU Pemerintahan Daerah (32/2002)

Sesuai dengan semangat Otonomi Daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka penyelenggaraan bangunan gedung di daerah merupakan kewenangan Pemda setempat. Penyusunan Perda BG yang merupakan bentuk pengaturan dari penyelenggaraan bangunan gedung di daerah, merupakan kewenangan Pemda setempat.

2.3.4. Amanah

PP

Pembagian

Urusan

Pemerintahan

(38/2007)

PP Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan juga mengamanahkan bahwa penyusunan Perda BG di daerah merupakan kewenangan Pemda. Hal ini dapat dilihat pada bagian Lampiran, dimana dalam bidang Bangunan Gedung dan Lingkungan, pada aspek pengaturan disebutkan bahwa:

 Pemerintah: Menetapkan peraturan perundang-undangan dan NSPK bidang bangunan gedung dan lingkungan;

 Pemerintah Provinsi: Menetapkan Perda BG Provinsi dengan mengacu pada NSPK nasional;

 Pemerintah Kabupaten/Kota: Menetapkan Perda BG Kabupaten/Kota dengan mengacu pada NSPK nasional.

2.4. PENTINGNYA PERDA BG

2.4.1. Permasalahan Umum dalam Penyelenggaraan BG

Beberapa permasalahan yang umum terjadi dalam konteks penyelenggaraan bangunan gedung di Indonesia, antara lain:

1. Bangunan gedung didirikan pada lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukan tata ruang;

2. Belum semua bangunan gedung mempunyai Izin Mendirikan Bangunan (IMB);

(28)

3. Masyarakat membangun bangunan gedungnya sendiri, namun tidak memakai kaidah-kaidah teknis bangunan gedung yang benar;

4. Bangunan gedung yang telah mempunyai IMB, masih banyak yang belum memenuhi persyaratan teknis.

2.4.2. Ilustrasi Permasalahan dalam Penyelenggaraan BG

Beberapa ilustrasi dari permasalahan yang umum terjadi dalam konteks penyelenggaraan bangunan gedung di Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, adalah sebagai berikut:

1 Bangunan Gedung Dibangun Tidak Sesuai Peruntukan

(29)

2 - 15 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

3 Rusaknya Bangunan Gedung Akibat Gempa Membahayakan Penghuninya

4 Ketidakmampuan Bangunan Gedung Menanggulangi Kebakaran

(30)

6 Bangunan Gedung Dibangun Tidak Aksesibel Bagi Penderita Cacat

Sumber: Tim Penyusun, 2012

2.4.3. Dasar Pemikiran Pentingnya Perda BG

Dalam pemanfaatannya, bangunan gedung dihadapkan dengan berbagai aspek yang mempengaruhinya, seperti:

1. Ancaman bencana, seperti ancaman bencana gempa tektonik dan vulkanik, banjir, gunung berapi, tsunami, serta bahaya kebakaran. 2. Tekanan iklim tropis, seperti kondisi curah hujan, cahaya matahari,

kelembaban, dan kecepatan angin yang relatif tinggi sepanjang tahun. 3. Kesesuaian konteks lingkungan, seperti adaptasi kearifan lokal,

arsitektur lokal, dampak lingkungan serta tata bangunan dan lingkungan. 4. Kepastian operasionalisasi, seperti fungsi, klasifikasi dan

penyelenggaraan bangunan gedung.

5. Peran stakeholders, seperti peran pemerintah, peran masyarakat dan peran tim ahli bangunan gedung.

6. Kepastian hukum, seperti persyaratan administrasi, ketentuan perizinan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggaran.

(31)

2 - 17 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a Gambar 2.9. Dasar Pemikiran Pentingnya Perda-BG

Sumber: Tim Penyusun, 2012

2.4.4. Manfaat Perda BG dalam Beberapa Pertimbangan

Setiap aspek yang mempengaruhi bangunan gedung tersebut membutuhkan antisipasi dalam berbagai bentuk pengaturan. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran mengenai pentingnya Perda-BG di daerah sebagai bentuk antisipasi terhadap berbagai aspek yang mempengaruhi bangunan gedung. Berbagai bentuk pengaturan Perda-BG sebagai bentuk antisipasi dari berbagai aspek yang mempengaruhi yaitu:

1. Terkait Antisipasi Ancaman Bencana, pengaturan meliputi:

 Pengaturan Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung 2. Terkait Antisipasi Kondisi Iklim Tropis, pengaturan meliputi:

 Pengaturan Persyaratan Kenyamanan Bangunan Gedung 3. Terkait Kesesuaian Konteks Lingkungan, pengaturan meliputi:

 Pengaturan Persyaratan arsitektur

 Pengaturan Persyaratan dampak lingkungan

 Pengaturan Persyaratan Tata Bangunan

 Pengaturan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Bangunan Gedung Manfaat: Wadah Kegiatan Manusia Ancaman Bencana Tekanan Iklim Tropis Kesesuaian Konteks Lingkungan Kepastian Operasiona-lisasi Kepastian Hukum Kab/Kota Membutuhkan arahan kenyamanan BG untuk mengadaptasi kondisi iklim tropis

Membutuhkan arahan fungsi, klasifikasi dan penyelenggaraan BG untuk memudahkan operasionalisasi BG Membutuhkan arahan

arsitektur, dampak lingkungan, dan tata bangunan untuk menyesuaikan BG dalam konteks lingkungan lokal

Membutuhkan arahan keandalan BG untuk meminimalisasi dampak (jiwa dan materil) akibat bencana terhadap BG

Peran Stakeholders Membutuhkan arahan peran

pemerintah, masyarakat, dan TABG sebagai

stakeholders dalam

penyelenggaraan BG

Membutuhkan arahan administratif, perizinan, dan sanksi sebagai bentuk kepastian hukum

Dampak Dampak

Pengaruh

Pengaruh Pengaruh

(32)

4. Terkait Kepastian Operasionalisasi, pengaturan meliputi:

 Pengaturan Fungsi Bangunan Gedung

 Pengaturan Klasifikasi Bangunan Gedung

 Pengaturan Penyelenggaraan Bangunan Gedung 5. Terkait Peran Stakeholders, pengaturan meliputi:

 Pengaturan Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG)

 Pengaturan Peran Masyarakat

 Pengaturan Pengawasan

 Pengaturan Pembinaan

6. Terkait Kepastian Hukum, pengaturan meliputi:

 Pengaturan Persyaratan Administrasi Bangunan Gedung

 Pengaturan Perizinan Bangunan Gedung

 Pengaturan Sanksi Pelanggaran

Secara skematis, berbagai bentuk pengaturan mengenai bangunan gedung dalam Perda-BG, yang merupakan bentuk antisipasi dari berbagai aspek yang mempengaruhinya, dapat dilihat pada gambar berikut ini.

(33)

2 - 19 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a Gambar 2.10. Manfaat Perda-BG dalam Beberapa Aspek Petimbangan

Sumber: Tim Penyusun, 2012

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dilihat manfaat Perda-BG berkaitan dengan setiap aspek yang mempengaruhi bangunan gedung. Dengan diberlakukannya dan diimplementasikannya Perda-BG di daerah, maka berbagai dampak maupun pengaruh dari setiap aspek tersebut dapat diantisipasi untuk mencapai asas dan tujuan penyelenggaraan bangunan gedung.

2.5. LOKALITAS PENGATURAN PENYELENGGARAAN

BG DI DAERAH

2.5.1. Terkait Kebencanaan

Dalam hal penyelenggaraan bangunan gedung, aspek kebencanaan di Indonesia menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Faktor kebencanaan yang berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung di daerah bersifat spesifik lokal, artinya antara daerah satu dengan daerah yang lainnya memiliki kondisi kebencanaan yang berbeda-beda, sehingga membutuhkan perlakuan yang berbeda-beda pula.

PERDA tentang Bangunan Gedung

Asas & Tujuan Pengaturan Terkait Kepastian Operasionalisasi: • Pengaturan Fungsi Bangunan Gedung • Pengaturan Klasifikasi Bangunan Gedung • Pengaturan Penyelenggaraan Bangunan Gedung Terkait Kesesuaian Konteks

Lingkungan: • Pengaturan Persyaratan arsitektur • Pengaturan Persyaratan dampak lingkungan • Pengaturan Persyaratan Tata Bangunan • Pengaturan Rencana Tata

Bangunan dan Lingkungan

Terkait Peran Stakeholders: • Pengaturan Tim Ahli Bangunan

Gedung (TABG)

• Pengaturan Peran Masyarakat • Pengaturan Pengawasan • Pengaturan Pembinaan

Terkait Kepastian Hukum: • Pengaturan Persyaratan

Administrasi Bangunan Gedung • Pengaturan Perizinan Bangunan

Gedung

• Pengaturan Sanksi Pelanggaran Terkait Antisipasi Kondisi Iklim Tropis: • Pengaturan Persyaratan Kenyamanan

Bangunan Gedung Terkait Antisipasi Ancaman Bencana:

• Pengaturan Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung Manfaat Manfaat Manfaat Manfaat Manfaat Manfaat

(34)

United Nations International Stategy for Disaster Reduction (UNISDR; Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana) menilai bahwa Indonesia merupakan negara yang paling rawan terjadi bencana alam di dunia. Berbagai bencana alam mulai gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan rawan terjadi di Indonesia. Hal yang sama juga diperkuat oleh Indeks Rawan Bencana Indonesia (IRBI) yang dipublikasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2011.

Berdasarkan Indeks Rawan Bencana Indonesia (IRBI) tahun 2011, hasil penilaian dengan pendekatan Multiple Hazard dilakukan untuk tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.

Indeks Rawan Bencana Multiple Hazard merupakan kajian dan penilaian terhadap kerawanan setiap daerah terhadap bahaya bencana secara multiple, yaitu Banjir, Gempa Bumi, Gempa Bumi Dan Tsunami, Kebakaran Permukiman, Kekeringan, Angin Topan, Banjir Dan Tanah Longsor, Tanah Longsor, Letusan Gunung Api, Gelombang Pasang/Abrasi, Kebakaran Hutan Dan Lahan, Kecelakaan Industri, Kecelakaan Transportasi, Konflik / Kerusuhan Sosial, Kejadian Luar Biasa (KLB).

Indeks rawan bencana ini bertujuan untuk memberikan informasi tingkat kerawanan bencana tiap-tiap kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan tingkat kerawanan ini dapat digunakan oleh berbagai pihak untuk melakukan analisis mengenai kelembagaan, pendanaan, perencanaan, statistik dan operasionalisasi penanggulangan bencana.

Kementerian PU telah menetapkan Peta Zonasi Gempa Indonesia sebagai sumber informasi zonasi gempa tiap wilayah di Indonesia, pada tanggal 1 Juli 2010 sebagai materi revisi SNI 03-1726-2002 tentang tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk rumah dan gedung.

(35)

2 - 21 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

(36)
(37)

2 - 23 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

(38)
(39)

2 - 25 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

(40)
(41)

2 - 27 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

(42)
(43)

2 - 29 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

(44)
(45)

2 - 31 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

(46)

2.5.2. Terkait Tradisionalitas

Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari beragam elemen multikultural di dalamnya. Secara administratif, Indonesia terdiri dari 34 provinsi dan 502 kabupaten/kota. Indonesia terdiri dari 3 etnis besar, 50 suku bangsa, dan 700 kelompok etnis dengan adat istiadat dan norma adatnya masing-masing. Di Indonesia diakui 6 agama besar serta kepercayaan kepada Tuhan YME.

Kota-kota di Indonesia dapat dikatakan sedang mengalami krisis identitas. Relatif tidak ada ciri khusus yang membedakan satu kota dengan kota lainnya. Wajah kota mengalami penyeragaman. Di beberapa daerah terlihat ada upaya untuk menampilkan ciri berupa elemen arsitektur tradisional setempat, namun kebanyakan terjebak pada pemasangan “tempelan” yang tidak terencana dengan baik, sehingga terkesan dipaksakan.

Mestinya kota-kota di Indonesia menggali sumber identitas dari khasanah arsitektur tradisional yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Dengan kekayaan arsitektur Nusantara yang dimiliki, sangat potensial untuk menampilkan kota-kota yang berwajah cantik dan masing-masing memiliki ciri sesuai dengan daerahnya. Bila hal ini dapat direalisasikan, sangat membanggakan kota-kota yang berwajah khas dan memberikan kesan mendalam bagi para pengunjungnya.

Patut disayangkan, dari sekian banyak daerah di Indonesia nampaknya hanya Bali yang mampu menghadirkan kota-kota berwajahkan khasanah arsitektur lokal yang tidak berkesan dipaksakan. Di daerah lain, upaya menampilkan elemen arsitektur tradisional kurang digarap dengan baik, sehingga hasilnya adalah tempelan “atap Minangkabau”, “atap joglo” atau “atap Toraja” yang tidak pas dengan bangunan yang ditempeli.

Potret tradisionalitas yang bersifat spesifik lokal setiap wilayah di Indonesia dapat dilihat pada kompilasi sebagai berikut.

(47)

2 - 33 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

(48)
(49)

2 - 35 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

(50)
(51)

2 - 37 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

(52)
(53)

2 - 39 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

WILAYAH PAPUA

Sumber: Tim Penyusun, 2012

2.5.3. Terkait Kearifan Lokal

Sebagai negara yang memiliki keragaman adat istiadat yang sangat tinggi, di Indonesia juga dikenal dan berlaku berbagai bentuk kearifan lokal yang berkaitan dengan bangunan gedung. Kearifan lokal yang dimaksud berkaitan dengan ketentuan atau hukum adat yang berlaku di beberapa daerah di Indonesia sebagai warisan turun temurun dari leluhur dalam komunitas tersebut.

Dalam hal ini, di beberapa daerah di Indonesia diketahui bahwa ketentuan atau hukum adat yang berlaku mempengaruhi penyelenggaraan bangunan gedung di daerah tersebut. Beberapa daerah yang memiliki ketentuan atau hukum adat

(54)

yang kuat dan memiliki pengaruh terhadap penyelenggaraan bangunan gedung diantaranya adalah di Sumatera Barat, Kalimantan, Bali, Tana Toraja dan Papua. Namun demikian menurut penelitian antropologi oleh Ter Haar, (Bushar Muhammad), dijelaskan bahwa hampir di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkat rakyat jelata terdapat nilai, tata aturan ataupun norma adat yang mengikat masyarakat di suatu komunitas dengan batasan tertentu.

Beberapa aspek nilai, tata aturan ataupun norma adat yang memiliki pengaruh terhadap penyelenggaraan bangunan gedung antara lain:

1. Masyarakat Adat

Pada beberapa masyarakat adat yang memiliki nilai yang kuat, ketentuan yang berlaku di dalamnya memiliki pengaruh luas ke berbagai perikehidupan masyarakat, bahkan dalam hal pengaturan kampung, orientasi bangunan, langgam tradisional, hingga hal teknis seperti ukuran ataupun konstruktsi bangunan.

2. Lembaga Adat

Dalam konteks penyelenggaraan bangunan gedung, lembaga adat dalam struktur masyarakat pada tingkatan kaum, suku ataupun nagari memiliki peran dalam pemberian izin pemanfaatan terhadap harta kekayaan berupa tanah ulayat. Oleh karena itu dalam konteks penyelenggaraan bangunan gedung yang dilakukan di atas tanah ulayat, kelembagaan adat memiliki pengaruh yang cukup penting. 3. Tanah Ulayat

Tanah ulayat sebagai harta kekayaan masyarakat adat, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat adat tersebut, termasuk pembangunan bangunan gedung di atasnya. Namun demikian, karena di atas tanah ulayat berlaku ketentuan atau hukum adat maka dalam proses penyelenggaraan bangunan gedung di atas tanah ulayat harus menyesuaikan dengan ketentuan atau hukum adat yang berlaku. 4. Aturan Adat

(55)

2 - 41 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

umumnya memiliki makna filosofis yang diyakini kebenarannya secara turun temurun.

Beberapa contoh kearifan lokal yang mempengaruhi penyelenggaraan bangunan gedung di beberapa daerah di Indonesia antara lain:

1. Di Bali terdapat aturan adat yang membatasi ketinggian bangunan gedung, dimana ketinggian bangunan gedung tidak boleh melebihi tinggi pohon kelapa yaitu setinggi 15 meter. Aturan ini dipatuhi oleh masyarakat adat setempat dan juga mengikat masyarakat umum lainnya yang membangun bangunan di wilayah Bali. Bahkan dalam perkembangannya, aturan ini dikukuhkan dalam Perda RTRW Provinsi Bali, sehingga memiliki kekuatan hukum yang kuat.

2. Di Toraja terdapat aturan yang bersifat teknis untuk rumah tradisionalnya, yaitu Tongkonan. Secara umum, Tongkonan memiliki ketentuan sebagai berikut:

 Rumah harus menghadap utara (Puang Matua) sebutan untuk tuhan yang maha esa.

 Letak pintu di bagian depan rumah, sedangkan di sisi barat dan timur terdapat jendela kecil.

 Dibagi menjadi 3 bagian, yaitu kolong (Sulluk Banua), badan bangunan (Kale Banua) dan atap (Ratiang Banua).

 Bentuk atapnya melengkup mirip tanduk kerbau, karena melambangkan kemakmuran & status

3. Di Minangkabau terdapat aturan yang mengatur pembangunan rumah gadang. Sejak tahap awal, proses pembangunan rumah gadang tidak bisa diputuskan sendiri oleh masyarakat melainkan harus melalui permusyawarahan antara orang-orang sekaum. Hal-hal yang dimusyawarahkan antara lain yaitu patut tidaknya pembangunan rumah gadang itu dilaksanakan, penentuan bentuk dan ukuran rumah gadang, jumlah gonjong pada rumah gadang, letak yang tepat rumah gadang dibangun. Selain itu, juga terdapat persyaratan pembangunan rumah gadang seperti peraturan dan luas perkampungan, tidak boleh didirikan di atas tanah yang basah, rendah atau labil, atau di atas lahan pertanian, serta orientasi yang tidak membelakangi Gunung Merapi.

(56)
(57)

B

B

A

A

B

B

I

I

I

I

I

I

K

K

E

E

T

T

E

E

N

N

T

T

U

U

A

A

N

N

U

U

M

M

U

U

M

M

P

P

E

E

N

N

D

D

A

A

M

M

P

P

I

I

N

N

G

G

A

A

N

N

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

(58)

3.1. PENGERTIAN

Beberapa pengertian yang berkaiatn dalam Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

2. Bangunan gedung umum adalah bangunan gedung yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan, fungsi usaha, maupun fungsi sosial dan budaya.

3. Bangunan gedung tertentu adalah bangunan gedung yang digunakan untuk kepentingan umum dan bangunan gedung fungsi khusus, yang dalam pembangunan dan/atau pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus dan/atau memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap masyarakat dan lingkungannya. 4. Klasifikasi bangunan gedung adalah klasifikasi dari fungsi bangunan gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan persyaratan teknisnya.

5. Izin mendirikan bangunan gedung adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.

(59)

3 - 3 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

8. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

9. Koefisien Daerah Hijau (KDH) adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

10. Koefisien Tapak Basemen (KTB) adalah angka persentase perbandingan antara luas tapak basemen dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

11. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah.

12. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan (RDTR-KP) adalah penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/kota ke dalam rencana pemanfaatan kawasan perkotaan.

13. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang yang memuat rencana program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan. 14. Lingkungan bangunan gedung adalah lingkungan di sekitar bangunan

gedung yang menjadi pertimbangan penyelenggaraan bangunan gedung baik dari segi sosial, budaya, maupun dari segi ekosistem. 15. Pedoman teknis adalah acuan teknis yang merupakan penjabaran

lebih lanjut dari Peraturan Pemerintah ini dalam bentuk ketentuan teknis penyelenggaraan bangunan gedung.

(60)

16. Standar teknis adalah standar yang dibakukan sebagai standar tata cara, standar spesifikasi, dan standar metode uji baik berupa Standar Nasional Indonesia maupun standar internasional yang diberlakukan dalam penyelenggaraan bangunan gedung.

17. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran bangunan gedung.

18. Penyelenggara bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan gedung, dan pengguna bangunan gedung.

19. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.

20. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik bangunan gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.

21. Tim ahli bangunan gedung adalah tim yang terdiri dari para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan bangunan gedung untuk memberikan pertimbangan teknis dalam proses penelitian dokumen rencana teknis dengan masa penugasan terbatas, dan juga untuk memberikan masukan dalam penyelesaian masalah penyelenggaraan bangunan gedung tertentu yang susunan anggotanya ditunjuk secara kasus per kasus disesuaikan dengan kompleksitas bangunan gedung tertentu tersebut.

(61)

3 - 5 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

atas: rencana arsitektur, rencana struktur, rencana mekanikal/elektrikal, rencana tata ruang luar, rencana tata ruang-dalam/interior serta rencana spesifikasi teknis, rencana anggaran biaya, dan perhitungan teknis pendukung sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku.

24. Pertimbangan teknis adalah pertimbangan dari tim ahli bangunan gedung yang disusun secara tertulis dan profesional terkait dengan pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung baik dalam proses pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, maupun pembongkaran bangunan gedung.

25. Penyedia jasa konstruksi bangunan gedung adalah orang perorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi bidang bangunan gedung, meliputi perencana teknis, pelaksana konstruksi, pengawas/manajemen konstruksi, termasuk pengkaji teknis bangunan gedung dan penyedia jasa konstruksi lainnya. 26. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung

beserta prasarana dan sarananya agar bangunan gedung selalu laik fungsi.

27. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi.

28. Pemugaran bangunan gedung yang dilindungi dan dilestarikan adalah kegiatan memperbaiki, memulihkan kembali bangunan gedung ke bentuk aslinya.

29. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki. 30. Peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung

adalah berbagai kegiatan masyarakat yang merupakan perwujudan kehendak dan keinginan masyarakat untuk memantau dan menjaga ketertiban, memberi masukan, menyampaikan pendapat dan pertimbangan, serta melakukan gugatan perwakilan berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung.

(62)

31. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan penyelenggaraanbangunan gedung.

32. Gugatan perwakilan adalah gugatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dalam mengajukan gugatan untuk kepentingan mereka sendiri dan sekaligus mewakili pihak yang dirugikan yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud.

33. Pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik sehingga setiap penyelenggaraan bangunan gedung dapat berlangsung tertib dan tercapai keandalan bangunan gedung yang sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum.

34. Pengaturan adalah penyusunan dan pelembagaan peraturan perundang-undangan, pedoman, petunjuk, dan standar teknis bangunan gedung sampai di daerah dan operasionalisasinya di masyarakat. 35. Pengawasan adalah pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan

peraturan perundangundangan bidang bangunan gedung dan upaya penegakan hukum.

36. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(63)

3 - 7 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

3.2. LANDASAN HUKUM

Beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung yaitu:

1. Peraturan perundangan-undangan yang bersifat atribusi, yaitu peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenanganan kepada Pemerintahan Daerah untuk membuat Perda, antara lain: a. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten/Kota bersangkutan;

c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

2. Peraturan perundangan-undangan yang bersifat delegasi, yaitu peraturan perundang-undangan yang memberikan amanah untuk disusunnya Perda tentang bangunan gedung, antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;

b. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat teknis, yaitu peraturan perundang-undangan yang memberikan arahan mengenai teknis penyusunan Perda, antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

4. Peraturan perundang-undangan yang bersifat substansial, yaitu peraturan perundang-undangan yang memberikan arahan mengenai substansi penyelenggaraan bangunan gedung, antara lain:

a. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung;

b. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksebilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan;

(64)

c. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara;

d. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan;

e. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2007 tentang Pedoman Sertifikat Laik Fungsi bangunan Gedung; f. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2007

tentang Pedoman Tim Ahli Bangunan Gedung;

g. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2008 tentang Pedoman Pemeliharan dan Perawatan Bangunan Gedung; h. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2008 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Induk Sistim Proteksi Kebakaran;

i. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan;

j. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran Di Perkotaan.

3.3. KLASIFIKASI STATUS PERDA BG

Klasifikasi status Ranperda-BG menurut kondisi dari setiap kabupaten/kota pada dasarnya dapat dikelompokan dalam 5 status. Setiap klasifikasi status Ranperda-BG menurut kondisinya dapat dikaitkan dengan kebutuhan pendampingan penyusunan Ranperda-BG. Keterkaitan antara klasifikasi status Ranperda-BG menurut kondisinya dengan kebutuhan pendampingan dapat dilihat pada tabel berikut ini.

(65)

3 - 9 K e m e n t e r i a n P e k e r j a a n U m u m

D i r e k t o r a t J e n d e r a l C i p t a K a r y a

STATUS KONDISI KEBUTUHAN INTERVENSI

PENDAMPINGAN

STATUS 2 Proses Penyusunan

Ranperda-BG

1. Tahap penyusunan naskah akademik 2. Tahap perumusan Ranperda-BG 3. Tahap pembahasan Ranperda-BG 4. Tahap konsensus

5. Tahap finalisasi

STATUS 3 Proses Legislasi

DPRD

1. Percepatan Program Legislasi Daerah (Prolegda)

2. Advokasi kepada Legislatif dan Masyarakat

STATUS 4 Sudah Memiliki Perda-BG

Tidak membutuhkan pendampingan

Sumber: Tim Penyusun, 2011

3.4. NASKAH AKADEMIS

Naskah akademis merupakan suatu dokumen kajian akademis yang disusun menggunakan pendekatan dan langkah-langkah ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Naskah akademis tidak berarti harus disusun oleh akademisi atau perguruan tinggi saja, tetapi dapat disusun oleh siapa saja selama menggunakan pendekatan dan langkah-langkah ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Berdasarkan UU No 12 tahun 2011, Naskah Akademis untuk Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota bersifat tidak wajib, artinya boleh dibuat atau boleh tidak dibuat. Pada pasal 56 ayat 2 disebutkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik (Ketentuan untuk Kabupaten/Kota berlaku mutatis mutandis). Dengan adanya frasa ‘dan/atau’ menegaskan bahwa Naskah Akademis boleh dibuat atau boleh tidak dibuat, sedangkan yang wajib dibuat adalah penjelasan atau keterangan dari Ranperda tersebut. Walaupun tidak diwajibkan oleh UU namun dalam Kegiatan Pendampingan Penyusunan Ranperda BG ini, penyusunan Naskah Akademis menjadi salah satu keluaran yang diwajibkan untuk dibuat.

Ketentuan mengenai penyusunan Naskah Akademis mengacu pada Lampiran I UU No 12 tahun 2011 mengenai Teknik Penyusunan Naskah Akademik Rancangan UU, Rancangan Perda Provinsi, Dan Rancangan Perda Kabupaten/Kota. Dimana berdasarkan ketentuan tersebut, muatan Naskah Akademis terdiri dari 6 bab, yang meliputi:

(66)

 Judul

 Kata Pengantar

 Daftar Isi, Daftar Tabel Dan Daftar Gambar

 Bab I Pendahuluan

 Bab II Kajian Teoretis Dan Praktik Empiris

 Bab III Evaluasi Dan Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait

 Bab IV Landasan Filosofis, Sosiologis, Dan Yuridis

 Bab V Jangkauan, Arah Pengaturan, Dan Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

 Bab VI Penutup

 Daftar Pustaka

 Lampiran: Rancangan Peraturan Daerah Tentang Bangunan Gedung

3.5. MODEL PERDA BG

Untuk membantu pemerintah daerah dalam proses penyusunan Perda BG, pemerintah pusat, dalam hal ini Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, menyiapkan Model Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung.

Hal ini dilakukan sesuai amanah pasal 106 ayat 3 dari PP Nomor 36 tahun 2005 yang berbunyi: “Pemerintah dapat memberikan bantuan teknis dalam penyusunan peraturan dan kebijakan daerah di bidang bangunan gedung yang dilakukan oleh pemerintah daerah”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 106 ayat 3 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bantuan teknis antara lain memberikan Model Perda BG dan/atau bantuan teknis penyusunan rancangan peraturan daerah tentang bangunan gedung.

Tujuan dibuatkannya Model Perda BG adalah untuk memberikan acuan dan contoh pengaturan penyelenggaraan bangunan gedung yang telah mengakomodasi berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan,

Gambar

Gambar 2.2. Peran UUJK & UUBG Dalam Industri Konstruksi
Gambar 2.3. Pengaturan Bangunan Gedung
Gambar 2.4. Alur Pikir UU-BG
Gambar 2.5. Sistematika UU-BG
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa Perum Jasa Tirta I Malang sudah menerapkan manajemen risiko TI yang terbukti dengan adanya pengelolaan terhadap risiko yang

Keunggulan kompetitif produk yang dihasilkan bukan hanya untuk memperoleh keberhasilan ekonomi perusahaan, tetapi tentang kepedulian Sindo terhadap edukasi praktik

Night Breaker® 97dB(A) 12 or 24 VDC Compact Fixed Output Reversing Alarm Dual voltage and good sound level performance make this unit suitable for a wide range of applications.

Seperti yang dikemukakan oleh Masthink (2012), bahwa airsoftgun adalah sebuah olahraga atau permainan yang mensimulasikan kegiatan militer atau kepolisian, yang

Di bagian depan dahulu terdapat pendopo, sekarang telah dijual kepada orang lain dan telah dibuat bangunan baru untuk dua keluarga yang berbeda.. Sementara di atas

Terminasi dini hanya akan dilakukan apabila pelaksanaan Kontrak tidak lagi dibutuhkan atas dasar yang dapat dipertanggungjawabkan atau terkait dengan kinerja pelaksana Kontrak

Petunjuk Pelaksanaan izin masuk ke ruang khusus berlaku untuk membatasi pegawai yang tidak berkepentingan, kontraktor, vendor, konsultan, atau pihak ketiga lainnya masuk ke

Perlu dilakukan pembaharuan Data Dasar Teknis yang akan digunakan dalam perhitungan lndeks Teknis DAK Bidang lnfrastruktur Air Minum dan Sanitasi TA.2015 sesuai dengan