• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

5 di refrigerator selama 3 jam dan ditutup dengan kertas saring. Cawan tersebut selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC. Aktivitas antimikrob plantarisin ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar paper disc dan diukur diameternya (Kanmanet al. 2010). Persentasi protein plantarisin yang berbeda (0.2, 1, 10, 25 dan 50 %) digunakan untuk mengetahui daya hambat minimal plantarisin IIA-1A5 yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet alami pada daging.

Aplikasi Bakterisin Plantarisin IIA-1A5 pada Daging Sapi

Sebanyak 300 gram daging sapi diletakkan masing-masing pada dua wadah steril. Untuk daging dengan perlakuan plantarisin, sebanyak 0.2% plantarisin diencerkan sebanyak 100x dengan aquabidest. Plantarisin disemprotkan pada seluruh bagian daging secara merata dan ditunggu 30 menit sampai plantarisin meresap ke daging. Daging selanjutnya dibagi pada empat plastik setril disimpan pada suhu ruang untuk dianalisa pada jam ke-0, 5, 10 dan 15 jam.

Analisis Kualitas Fisikokimia Daging Sapi

Nilai pH dianalisis diukur dengan menggunakan pH meter (Hanna Instrument, USA). Water activity diukur dengan aw meter SAL-T&Sensor-Check

SC Number 75.

Analisis Kualitas Mikrobiologis Daging Sapi

Analisis mikrobiologi dilakukan dengan pour plate method menggunakan media baird parker agar (BPA) untuk uji bakteri Staphylococcus aereus, xylose lysine desoxycholate agar (XLDA) untuk uji bakteri Salmonella dan eosyn methylen blue agar (EMBA) untuk uji E. coli. Pemupukan untuk bakteri patogen diambil dari pengenceran 101,102 dan 103.Sampel diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37˚C (AOAC 2005).

Prosedur Analisis Data

Data penelitian dikoleksi dan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) berdasarkan rancangan acak lengkap faktorial 2x3 dengan dua faktor perlakuan (0.2% plantarisin dan kontrol) dan 3 ulangan. Jika terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan akan dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel & Torrie 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Purifikasi Plantarisin IIA-1A5

Plantarisin diisolasi dari 6 L MRSB yang telah diinokulasi bakteri Lactobacillus plantarum IIA-1A5 dengan populasi 9.6 x 1011 cfu/ml. Produksi bakteriosin terjadi pada fase pertumbuhan eksponensial dan berakhir ketika memasuki fase stasioner. Kultur cair Lactobacillus plantarum IIA-1A5 disentrifugasi untuk membuang sel-sel bakteri Lactobacillus plantarum IIA-1A5

(2)

6

sehingga didapat supernatan bebas sel (SBS). Nilai pH SBS dinetralkan dengan NaOH 1N sehingga berada pada kisaran pH 5.8-6.2. hal ini bertujuan untuk mentralisir hidrogen peroksida yang juga dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum IIA-1A5. Produksi bakteriosin terjadi pada kisaran pH 6.0 sampai 5.2. hanya sebagian kecil bakteriosin yang diproduksi pada pH rendah (5.0). sebagian mungkin besar nilai pH untuk produksi bakteriosin tergantung pada spesies atau strain (Borcena et al. 1998).

Proses penjenuhan dengan menggunakan serbuk amonium sulfat ditambahkan untuk membuat protein plantarisin IIA-1A5 “salt out”. Proses penambahan harus dilakukan secara bertahap karena apabila dilakukan secara berlebihan akan mengakibatkan amonium sulfat tidak terlarut dan protein plantarisin IIA-1A5 yang dihasilkan akan berbau garam. Total presipitat plantarisin yang dihasilkan dari 3 L sepernatan bebas sel sekitar 45 mg. Pengurangan volume SBS terjadi karena proses evaporasi yang dilakukan bertujuan untuk membuang sebagian aquadest yang digunakan untuk membuat media MRSB. Tahapan dialisis bertujuan untuk membuang serbuk amonium sulfat yang mungkin masih bercampur dengan presipitat plantarisin IIA-1A5. Proses pemisahan antara plantarisin IIA-1A5 dengan serbuk amonium sulfat dengan menggunakan gaya difusi selektif melalui membran semipermeabel. Hasil tahapan dialisis disebut sebagai plantarisin kasar.

Tahapan selanjutnya adalah purifikasi dengan menggunakan kolom kromatografi Hitrap SP xl dengan volume 5 mL untuk memurnikan plantarisin IIA-1A5. Kolom SP Xl mengandung fase stasioner dan fase gerak. Protein plantarisin IIA-1A5 dielusikan dengan 10 fraksi dengan kandungan NaCl yang semakin meningkat pada tiap fraksinya. Hasil pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm memperlihatkan bahwa konsentrasi protein plantarisin IIA-1A5 terdapat pada fraksi LE1, LE2, LE3, dan LE4. Secara acak maka, dipilih fraksi LE1 untuk diuji aktivitas antimikrob dan diaplikasikan pada daging sebagai bahan pengwet daging.

Gambar 1. Konsentrasi protein berdasarkan spektrofotometer (280nm) 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8

LE1 LE2 LE3 LE4 LE5 LE6 LE7 LE8 LE9 CUCI F1 CUCI F2 Konse ntra si P rote in Nomor Fraksi

(3)

7 Bobot Molekul dan Konsentrasi Protein Plantarisin IIA-1A5

Sodium Dodecyl Sulphate Poly Acrilamide Gel Electrophoresis (SDS page) yang dilakukan berhasil mendeteksi pita tunggal protein plantarisin dari Lactobacilllus plantarum IIA-1A5 hasil kromatografi. Berdasarkan elektroforesis SDS page diketahui bobot molekul plantarisin IIA-1A5 adalah 6.55 kDa (Gambar 1). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan plantarisin yang diproduksi oleh Lactobacillus plantarum TF711 sekitar 2.5kDa (Hernandez et al. 2005).Isolasi Lactobacillus plantarum 423 dari bir sorgum menghasilkan plantarisin dengan bobot molekul sekitar 3.5 kDa (Van-reenan et al. 1998). Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan strain Lactobacillus plantarum akan mempengaruhi karakteristik plantarisin yang dihasilkan. Berdasarkan bobot molekul tersebut, plantarisin IIA-1A5 termasuk jenis bakteriosin kelas IIa. Bakteriosin kelas IIa berukuran kecil (<10 kDa) dan bersifat relatif stabil terhadap panas (Zacharof & Lovitt 2012).

Gambar 2. Profil hasil SDS Page. a: Low marker, b: plantarisin

Konsentrasi protein plantarisin yang dihasilkan Lactobacillus plantarum IIA-1A5 adalah 76.53 µg/mL. Konsentrasi protein plantarisin ASM1 adalah 17500 µg/mL (Hata et al. 2010) sedangkan pada plantarisin LR14 berada pada kisaran 59,21 µg/mL (Tiwari & Srivasta 2008). Hal ini membuktikan bahwa perbedaan strain Lactobacillus plantarum akan mempengaruhi karakteristik plantarisin yang dihasilkan (Saenz et al. 2009).

Gambar 3.Grafik persamaan fungsi untuk menentukan konsentrasi protein plantarisin IIA-1A5 dengan persamaan garis: Y= 0.023X -0.026

0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0,14 0,16 0 2,5 5 10 15 20 25 Absor ba nsi Standar a a b kDa

(4)

8

Aktivitas Antimikrob Plantarisin IIA-1A5

Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) K11 merupakan bakteri yang diisolasi dari feses anak-anak penderita diare (Budiarti et al. 1997). EPEC merupakan salah satu dari enam viro tipe E. coli yang dapat menyebabkan diare.Terdapat enam viro tipe Escherichia coli yang biasanya dapat menyebabkan diare pada manusia yaitu enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC), enteropathogenic E. coli (EPEC), and enteroaggregative E. coli (EAEC). Escherichia coli adalah bakteri gram negatif anaerobik fakultatif terbanyak dari mikroflora usus. EPEC merupakan penyebab utama kasus infeksi diare. Sebanyak 55% kasus infeksi diare di Indonesia menyerang bayi dan anak-anak. Diare merupakan penyebeb kematian kedua pada anak-anak mulai usia 5 tahun dengan jumlah 1.3 juta kematian per tahun (Black et al. 2010). EPEC menyebabkan diare berair, kronis sering disertai dengan demam dan muntah. EPEC dapat ditularkan ke manusia melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi atau air yang terkontaminasi.

Shigella adalah bakteri patogen kedua yang paling sering dideteksi pada penderita diare (Eppy 2009). Salmonella merupakan jenis bakteri yang sering mengkontaminasi pangan asal ternak seperti daging, susu serta produk olahannya yang dapat mengakibatkan terjadinya wabah salmonelosis. Wabah salmonellosis dapat menyebab kematian penduduk sekitar 3 juta setiap tahunnya di negara berkembang (Zein et al. 2004). Salmonella merupakan salah satu penyebab keracunan makanan. Biasanya, orang-orang yang terinfeksi Salmonella tidak menunjukkan gejala dan dapat kembali sehat dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Akan tetapi, Salmonella dapat menyebabkan penyakit lebih serius pada orang dewasa yang lebih tua, bayi, dan orang-orang dengan penyakit kronis. Infeksi Salmonella biasanya disebabkan saat memakan makanan mentah atau kurang masak misal daging, telur atau produk olahannya. Ketiga isolat bakteri patogen tersebut bersifat intoksikasi sehingga penting untuk diteliti karena dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi silang. Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan.

Plantarisin diproduksi oleh Lactobacillus plantarum IIA-1A5 memiliki aktivitas antimikrob yang sedang terhadap bakteri patogen meliputi Salmonella P38, EPEC K11 dan Shigella A33 (Tabel 1) (Ismail et al 2013). Daya hambat plantarisin IIA-1A5 terhadap bakteri EPEC K11 lebih baik dibandingkan antibiotik. Hal ini disebabkan bakteri EPEC K11 bersifat resisten terhadap tetrasiklin dan ampisilin (Budiarti & Mubarik 2007). Daging sapi dan ayam mentah merupakan jenis makanan yang sering menjadi penyebab diare. Oleh karena itu, plantarisin IIA-1A5 dapat direkomendasikan sebagai pengawet alami pada daging untuk mengurangi resiko infeksi diare di Indonesia.

Plantarisin IIA-1A5 yang diproduksi oleh bakteri gram positif yang dapat menghambat bakteri gram negatif, disebut fenomena yang tidak biasa (Todorov et al. 2007). Boziaris dan Adams (1999) melaporkan bahwa bakteri gram negatif memiliki membran pelindung luar menghalangi kerja bakteriosin. Beberapa strain Lactobacillus plantarum yang memproduksi bakteriosin yang dapat menghambat bakteri gram negatif telah dilaporkan. Lactobacillus plantarum ST202Ch dan Lactobacillus plantarum ST216Ch memproduksi bakteriosin yang memiliki

(5)

9 aktivitas antimikrob terhadap bakteri gram positif dan gram negatif (Todorov & Dicks 2005). Lactobacilllus plantarum diisolasi dari dua makanan fermentasi Nigeria, ogi dan tufu menghambat lebih dari 40% strain bakteri gram negatif dari ikan lele (Adenika et al. 2009). Aktivitas penghambatan bakteriosin bergantung pada produsen dan strain dihambat (Smetankova et al. 2014).

Tabel 1. Diameter zona hambat plantarisin IIA-1A5 terhadap bakteri pathogen (mm)

Gambar 4. Aktivitas antimikrob plantarisin IIA-1A5 terhadap bakteri patogen. (a) Shigella A33 (b) EPEC K11 (c) Salmonella P38

Persentasi Plantarisin Konsentrasi protein (µg/mL) EPEC K11 Salmonella P38 Shigella A33 0% 0 0 0 0 0.2% 0.153 7.21±0.23 7.32±0.23 7.14±0.26 1% 0.7653 7.24±0.21 7.42±0.34 7.25±0.43 10% 7.653 7.37±0.25 7.58±0.88 9.10±1.02 25% 19.35 7.34±0.93 7.52±0.64 8.78±0.3 50% 38.265 7.55±0.36 8.98±0.10 8.63±0.64 b a c

(6)

10

Aplikasi Plantarisin IIA-1A5 pada Daging Sapi

Nilai pH dan aw adalah parameter fisikokimia yang paling penting untuk

menentukan kualitas makanan. Nilai pH dagingdapat mempengaruhi warna, kelembutan dan kualitas makanan (Jelenikova et al.2008). Tabel 2 menunjukkan bahwa pada awal penyemprotan plantarisin IIA-1A5 sebagai bahan pengawet alami pada daging sapi dapat meningkatkan aktivitas air (water activity) daging sapi. Hal ini karena, plantarisin yang disemprotkan terlebih dahulu diencerkan dengan aquabidest. Setelah pengamatan jam ke-5, aktivitas air pada daging sapi cenderung menurun. Arief et al. (2012) yang menyatakan bahwa pemberian bahan pengawet cenderung dapat menurunkan aktivitas air. Sebenarnya, penurunan aw

merupakan kondisi yang sesuai untuk menghambat pertumbuhan bakteri pada pangan. Penurunan aktivitas air pada pangan dilakukan dengan cara menambahkan padatan, ion, koloid hidrofilik, pembekuan dan pengeringan. Tabel 2. Kondisifisikokimia daging sapi pada penyimpanan suhu ruang Kondisi

Fisikokimia

Perlakuan Lama Penyimpanan

0 jam 5 jam 10 jam 15 jam

Water activity Plantarisin 0.2% 0.90±001 0.90±0.02 0.88±0.01 0.90±0.02 Kontrol 0.89±0.03 0.89±0.01 0.88±0.01 0.89±0.02 pH Plantarisin 0.2% 5.44±0.08 5.43±0.05 5.44±0.07 5.43±0.04 Kontrol 5.38±0.08 5.40±0.07 5.42±0.01 5.44±0.04 Nilai pH yang diperoleh pada penelitian cukup baik yaitu berkisar 5.3 sampai 5.4 (Tabel 2). Menurut Puolanne et al. (2001), nilai rataan pH akhir daging berkisar 5.4 dan 6.0, tergantung pada potensi glikolitik pada saat pemotongan. Perbedaan nilai pH daging dengan plantarisin IIA-1A5 dan kontrol (tanpa plantarisin IIA-1A5) disebabkan aktivitas air yang sedikit lebih tinggi pada daging dengan perlakuan plantarisin dibandingkan kontrol. Setelah 5 jam, nilai pH daging dengan perlakuan 0.2% plantarisin cenderung lebih stabil. Hal ini berbeda dengan nilai pH daging tanpa plantarisin yang cenderung meningkat selama penyimpanan. Peningkatan nilai pH mencerminkan terjadinya tingkat kerusakan daging melalui proses degradasi protein dengan produksi asam amino bebas, yang mengarah pada pembentukan senyawa alkali seperti NH3 dan amina (Vázquez et al.2009).

(7)

11

c d

Gambar 5. Perubahan warna daging selama penyimpanan di suhu ruang (a) 0 jam, (b) 5 jam, (c) 10 jam, (d) 15 jam, (kanan) daging tanpa plantarisin, (kiri) daging denfan plantarisin

Total mikroba atau jumlah Total Plate Count (TPC), Staphylococcus aureus, Escherichia coli merupakan indikator kontaminasi yang paling sering diuji, karena ketiga bakteri tersebut secara alami terdapat pada daging sapidan apabila melebihi jumlah batasan normal akan mengakibatkan penyakit. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang mencemari daging ditentukan oleh tingkat pengendalian higienis yang dilaksanakan selama penanganan, diawali saat penyembelihan ternak dan pembersihan karkas hingga sampai ke konsumen. Pertumbuhan mikroorganisme berhubungan erat dengan kualitas daging segar. Tabel 3.Aplikasi penghambatan platarisin 0.2% pada daging sapi

Kualitas Mikrobio- logis

Perlakuan Lama Penyimpanan

0 jam 5 jam 10 jam 15 jam

E.coli (log cfu/g) Plantari- sin 0.2% 1.49±0.2c 0c 0c 0c Kontrol 1.98±0.4 a 2.27±0.35 ab 2.42±0.36 ab 2.83±0.49 ab S.aureus (log cfu/g) Plantari- sin 0.2% 2.02±0.23 2.00±0.56 1.98±0.92 1.73±1.13 Kontrol 2.49±0.11 2.69±0.11 2.72±0.23 2.92±0.30 Salmonella Plantari- sin 0.2%

Negatif Negatif Negatif Negatif Kontrol Negatif Negatif Negatif Negatif

Huruf yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)

Escherchia coli merupakan bakteri yang digunakan sebagai indikator sanitasi. Pada awal penyemprotan, cemaran bakteri E. coli tidak memenuhi standar yang ditetapkan dalam SNI 3932-2008 yaitu maksimum 1 log cfu/g. Tabel 3 menunjukkan bahwa plantarisin IIA-1A5 efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri E.coli sehingga tidak ditemukan pada lama penyimpanan setelah 5 jam. Hal ini berbeda dengan kontrol, bakteri E. coli mengalami peningkatan setiap jam. Apabila mengkonsumsi bakteri ini melebihi batas maksimal dapat mengakibatkan infeksi diare dan penyakit foodborne diseases

Gambar

Gambar 2. Profil hasil SDS Page. a: Low marker, b: plantarisin
Tabel  1.  Diameter  zona  hambat  plantarisin  IIA-1A5  terhadap  bakteri      pathogen     (mm)
Gambar 5. Perubahan warna daging selama penyimpanan di suhu ruang  (a)     0  jam,  (b)  5  jam,  (c)  10  jam,  (d)  15  jam,  (kanan)  daging  tanpa  plantarisin, (kiri) daging denfan plantarisin

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Karena itu, dengan ditekannya keserakahan, kehidupan yang sederhana seharusnya men- jadi bagian dari kehidupan seorang injili. Tidak hanya itu, seorang injili pun dapat men-

Tingkat signifikansi variabel ukuran perusahaan yaitu sebesar 0,000 &lt; 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ukuran perusahaan (SIZE) berpengaruh signifikan terhadap

Dilihat dari sistem saat ini perusahan ini masih menggunakan sistem manual proses memberikan penawaran dan laporan pemasangan ini dengan menggunakan Microsoft

Tingkat signifikan dari GCG_BOPO menunjukkan nilai sebesar 0.000 yang berarti tingkat signifikan lebih kecil dari alpha 0.05 sehingga hasil penelitian ini menerima hipotesis

Tanaman kakao dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asal persyaratan fisik dan kimia tanah yang berperan terhadap pertumbuhan dan produksi kakao

 Kemampuan untuk dapat dilaksanakan (Implementability); seperti dapatkah hasil desain pembelajaran tersebut digunakan sesuai dengan apa yang diharapkan?, Apakah

path coefficient diff sebesar 0,027 yang menunjukkan arah hubungan positif. Dengan demikian hipotesis H0 diterima, artinya tidak ada pengaruh moderasi jenis kelamin