• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan hasil karya imajinatif seseorang dalam menggambarkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan hasil karya imajinatif seseorang dalam menggambarkan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Penelitian

Sastra merupakan hasil karya imajinatif seseorang dalam menggambarkan kehidupan di dalam masyarakat dengan medium bahasa. Sastra merekam peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi di sekitar masyarakat. Oleh sebab itu, sastra tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Tidak jauh berbeda, Damono (2002:1) berpendapat bahwa sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencangkup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan individu, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang.

Salah satu jenis sastra adalah novel. Novel adalah karya sastra fiksi berbentuk prosa dengan bentangan cerita yang lebih luas. Tarigan (1984:134) berpendapat bahwa penggambaran konflik dalam novel biasanya menyangkut permasalahan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan tuhannya atau bahkan permasalahan suatu ide dengan ide yang lainnya.

Sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa

(2)

sosial tertentu (Damono, 2002:2). Berdasarkan pernyataan Damono tersebut, banyak novel-novel yang mengambil tema cerita mengenai kondisi sosial dan politik masyarakat yang dialami bangsa Indonesia. Realitas sosial tersebut disuguhkan dalam bentuk karya fiksi. Novel dengan suguhan realitas sosial tersebut dapat dimanfaatkan sebagai media mengemukakan pendapat penulis terhadap situasi di Masyarakat.

Masyarakat Indonesia terdiri atas keragaman suku, agama, ras, dan kebudayaan yang tentunya memiliki kepentingan berbeda-beda. Perbedaan tersebut seringkali membawa benturan-benturan sosial yang bisa saja berakhir dengan konflik. Beberapa konflik yang menjadi contoh akibat perbedaan suku, agama, ras dan kebudayaan antara lain Konflik di Sampit, Kalimantan Tengah yang terjadi pada Februari 2001. Konflik tersebut terjadi akibat ketidakpuasan suku Dayak terhadap persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif. Warga Madura bertransmigrasi ke Kalimantan Tengah untuk pertama kalinya pada tahun 1930 melalui program transmigrasi pemerintah. Hukum-hukum baru yang ditetapkan oleh pemerintah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi Kalimantan Tengah seperti perkayuan, penambangan dan perkebunan (http://wikipedia.org/wiki/Konflik_Sampit) .

Konflik di Cikeusik, Pandeglang, Banten dan Temanggung, Jawa Tengah menjadi contoh selanjutnya benturan-benturan sosial akibat perbedaan agama hingga berakhir menjadi konflik. Konflik di desa Cigelis, kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten terjadi pada 6 Februari 2011. Konflik internal antara kelompok agama Islam dengan kelompok agama Islam aliran Ahmadiyah yang

(3)

merupakan aliran minoritas di Indonesia tersebut terjadi akibat kedua kelompok tetap mempertahankan ego sektoral masing-masing. Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menyatakan bahwa kelompok aliran Ahmadiyah merupakan kelompok aliran sesat seakan mendukung sikap kelompok Islam berkonflik dengan kelompok Islam aliran Ahmadiyah (http://www.kompasiana.com). Sementara itu, menyusul pada 8 Februari 2011 terjadi konflik di Temanggung. Vonis 5 tahun terhadap terdakwa penistaan agama, Antonius Richmond Bawengan di Pengadilan Negeri Temanggung menimbulkan ketidakpuasan warga Temanggung. Ketidakpuasan itu diwujudkan dengan pembakaran dua rumah ibadat dan satu sekolah di Temanggung (http://www.lawupos.net).

Konflik sosial yang selama ini menjadi persoalan besar di Indonesia tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kepentingan politik. Dengan kata lain, konflik sosial yang terjadi bukan murni konflik sosial sebab ada tendensi politik yang turut mempengaruhi terjadinya konflik sosial tersebut. Seperti contoh-contoh konflik sosial yang telah disebutkan di atas. Konflik-konflik sosial tersebut terjadi sebab ada tendensi politik. Contoh konflik sosial yang bertendensi politik lainnya yakni kasus kerusuhan Mei 1998. Secara permukaan, konflik tersebut merupakan konflik sosial yang terjadi akibat dari benturan perbedaan ras, yaitu penduduk pribumi dengan warga keturunan Tionghoa. Sebagian pihak percaya bahwa kerusuhan Mei 1998 tersebut merupakan perkembangan provokasi dari kalangan tertentu yang menyebar ke masyarakat. Namun, sebagian pihak lain meyakini bahwa peristiwa kerusuhan Mei 1998 merupakan peristiwa yang disusun secara sistematis oleh pemerintah pusat dengan tujuan tertentu. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Mei_1998).

(4)

Selain kasus kerusuhan Mei 1998, Konflik Maluku menjadi contoh lain konflik sosial yang betendensi politik. Sekilas, konflik yang terjadi di Maluku merupakan konflik sosial akibat perbedaan kepentingan dua kelompok agama terbesar di Maluku, yakni kelompok Islam dan kelompok Kristen. Perbedaan kepentingan tersebut lambat laun berubah menjadi konflik berkepanjangan. Namun, banyak pihak yang meyakini bahwa konflik sosial di Maluku memiliki tendensi politik. Artinya, ada campur tangan unsur-unsur politik dalam konflik sosial di Maluku.

Salah satu spekulasi yang berkembang menunjukkan bahwa konflik sosial Maluku terjadi karena adanya pihak ketiga atau provokator untuk melancarkan kepentingannya dengan memanfaatkan konflik di Maluku. Pihak ketiga atau provokator tersebut diyakini adalah pemerintah dan elit politik yang merupakan unsur politik. Spekulasi tersebut didukung oleh fakta akan konfik Maluku yang tidak kunjung usai padahal pemerintah sudah menerjunkan berbatalion-batalion TNI/POLRI. Seolah-olah pemerintah dan elit politik memang membiarkan konflik di Maluku terus berkecamuk.

Salah satu pengarang yang peka terhadap kondisi sosial masyarakat di Indonesia ialah Ratna Sarumpaet. Ia lahir di Tarutung, Tapanuli Utara pada 16 Juli 1949. Ratna Sarumpaet dikenal sebagai seniman dan juga aktivis. Ia dikenal konsisten dalam menyuarakan pembelaan terhadap demokrasi dan ketidakadilan. Darah pejuang dan pemberontak itu didapatkannya dari ayahnya yang seorang Menteri Pertanian Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) juga dari ibunya yang merupakan tokoh penting pergerakan perempuan Tapanuli.

(5)

Ratna Sarumpaet sempat kuliah di Fakultas Teknik Arsitektur dan Fakultas Hukum UKI (Universitas Kristen Indonesia). Tiga belas tahun terakhir ini ia disibukkan dengan kegiatan sebagai aktivis HAM dan kemanusiaan. Namun, di samping kesibukannya itu ia sempat melahirkan sepuluh karya drama yang seluruhnya buah dari kegelisahannya akan nasib dan kedudukan perempuan serta keberpihakannya terhadap orang-orang kecil dan marjinal. Karya drama itu, antara lain, Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah (1994); Terpasung (1996); Pesta

Terakhir (1997); Marsinah Menggugat (1997); ALIA, Luka Serambi Mekkah

(2000); Anak-Anak Kegelapan (2003); Pelacur dan Sang Presiden (2006); Titik

Terang, Sidang Rakyat Dimulai (2013).

Selama ini, Ratna Sarumpaet memang lebih dikenal sebagai seniman yang banyak melahirkan karya sastra berupa drama. Ia hanya menulis satu novel dengan judul Maluku Kobaran Cintaku. Novel tersebut terbit pada Desember 2010 dan diterbitkan oleh Komodo Books. Tepat 4 tahun kemudian, novel tersebut direvisi dengan judul Kobaran Cintaku – Maluku Baku Bae. Novel tersebut diterbitkan oleh Noura Books yang merupakan anak dari PT Mizan Publika pada Desember 2014.

Jika dibandingkan, novel Kobaran Cintaku – Maluku Baku Bae tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan novel Maluku Kobaran Cintaku. Salah satu contoh perbedaan tersebut yakni novel Kobaran Cintaku – Maluku

Baku Bae pandangan orang Belanda terhadap konflik Maluku mendapatkan bab

tersendiri sementara pada novel Maluku Kobaran Cintaku tidak. Artinya, perubahan tersebut disesuaikan oleh Ratna Sarumpaet terhadap situasi yang sudah berubah. Dimana pandangan masyarakat di luar Indonesia mulai dianggap penting

(6)

untuk menandai dinamika konflik Maluku. Sementara itu, dari segi isi, baik novel

Kobaran Cintaku – Maluku Baku Bae dan novel Maluku Kobaran Cintaku tidak

memiliki perbedaan. Kedua novel tersebut sama-sama menceritakan situasi Maluku pada kurun waktu satu setengah tahun konflik Maluku meletus untuk pertama kalinya.

Pada penelitian ini, peneliti memilih novel Kobaran Cintaku – Maluku

Baku Bae sebagai objek kajian. Novel yang terbit tahun 2014 tersebut dipilih

karena merupakan edisi revisi dari novel Maluku Kobaran Cintaku yang terbit tahun 2010. Perubahan-perubahan yang ada pada novel Kobaran Cintaku –

Maluku Baku Bae tersebut tentunya akan memengaruhi hasil penelitian sehingga

dipilih sebagai objek kajian.

Dalam novel Kobaran Cintaku – Maluku Baku Bae, kata Baku Bae berasal dari dialek Maluku. Dalam dialek Maluku, Baku Bae dipakai untuk menunjukkan aktivitas berbaikan antara dua pihak yang sebelumnya terlibat perkelahian (Baku

Mara) (https://manshurzikri.wordpress.com). Penamaan organisasi PMBB atau Pemuda Maluku Baku Bae kemungkinan dimaksudkan oleh Ratna Sarumpaet sebagai jembatan dalam mendamaikan dua pihak yang telah berseteru. Ratna Sarumpaet ingin adanya suatu kelompok atau organisasi pemuda yang dengan kesadaran mereka berkeinginan mempersatukan kembali kelompok-kelompok yang berseteru.

Novel Kobaran Cintaku – Maluku Baku Bae, selanjutnya akan disingkat

KC-MBB, karya Ratna Sarumpaet ini merupakan salah satu novel yang memuat

aspek sosiologis mengenai konflik sosial dalam masyarakat Maluku. Novel tersebut menceritakan situasi Maluku pada kurun waktu satu setengah tahun

(7)

ketika konflik Maluku pertama kali meletus. Berbagai spekulasi terus bermunculan terkait konflik tersebut. Ketegangan antarmasyarakat Maluku terus memuncak. Dua kelompok agama terbesar di Maluku terus-menerus mengobarkan konflik. Selama ratusan tahun, tradisi Pela Gandong melekat dan menjadikan masyarakat Maluku satu saudara tanpa melihat perbedaan agama yang dipercaya tiap individunya. Namun, tradisi tersebut hampir tidak berlaku lagi ketika seorang sopir angkot dan penumpangnya bertengkar. Pertengkaran itu pun pada akhirnya menimbulkan konflik antaragama. Dalam waktu yang singkat perang saudara di Maluku berkecamuk dan meluas.

Sebagian besar masyarakat, terutama mahasiswa Maluku lebih mempercayai adanya tendensi politik. Maka sekelompok intelektual muda, yaitu Ali, Mey, Melky dan Ridwan mendirikan sebuah LSM yang membantu korban perang dan menyerukan damai. Mereka tetap berjuang meski harus dimusuhi dan diintimidasi.

Novel KC – MBB karya Ratna Sarumpaet ini dipilih dengan beberapa alasan. Pertama, novel KC – MBB merupakan novel yang memuat aspek sosiologis mengenai konflik sosial. Novel tersebut menceritakan situasi di Maluku pada kurun waktu satu setengah tahun ketika konflik Maluku pertama kali meletus sebagai latar cerita. Konflik sosial yang terjadi di Maluku menarik untuk diungkap karena diyakini adanya tendensi politik di dalamnya. Kedua, novel

KC-MBB memuat konflik Maluku yang diyakini banyak pihak sebagai kejadian yang

melanggar HAM. Ratna Sarumpaet sebagai pengarang novel KC – MBB merupakan aktivis HAM selama 13 tahun terakhir ini. Dengan demikian, konteks sosial pengarang mempengaruhi penciptaan novel KC-MBB dan memunculkan

(8)

adanya keterkaitan antara konteks sosial pengarang dan tema konflik Maluku yang diambil. Keterkaitan tersebut akan dapat menguatkan fungsi sosial yang terdapat pada novel KC – MBB. Ketiga, novel KC – MBB ini mencerminkan kondisi masyarakat Maluku pada saat konflik terjadi. Konflik sosial pada novel

KC-MBB memiliki kesejajaran dengan realitas sosial yang terjadi pada masyarakat

Maluku, yang merupakan masyarakat tempat KC-MBB diciptakan, pada peristiwa konflik sosial Maluku. Keempat, novel KC – MBB dapat dipahami sebagai dokumen sosial budaya sehingga menarik untuk diteliti. Konflik yang terjadi di Maluku satu setengah tahun lalu, memang benar-benar terjadi. Dalam menulis novel KC-MBB, Ratna Sarumpaet benar-benar melakukan riset yang mendalam untuk mengungkapkan fakta-fakta sejarah konflik Maluku.

Penelitian ini akan difokuskan pada konflik sosial yang terdapat dalam novel KC – MBB. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa konflik sosial yang terjadi di Maluku bertendensi politik. Dengan kata lain, konflik sosial di Maluku bukanlah murni konflik sosial sebab ada unsur-unsur politik yang terlibat di dalamnya sebagai pemicu konflik. Dalam penelitian ini nantinya akan didapat konflik sosial di Maluku yang bertendensi politik dalam novel KC-MBB.

Novel KC – MBB karya Ratna Sarumpaet ini akan dianalisis menggunakan Teori Sosiologi Sastra Ian Watt. Teori Sosiologi Sastra Ian Watt bekerja dengan tiga konsep penting dalam mengidentifikasikan makna suatu teks, yaitu konteks sosial pengarang, cermin kondisi sosial dalam novel dan kehidupan masyarakat, serta fungsi sosial bagi pembaca. Selain itu, teori ini dapat digunakan sebagai alat untuk mencerminkan persoalan-persoalan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, peneliti akan menggunakan teori Sosiologi

(9)

Sastra Ian Watt sebagai alat untuk menganalisis novel KC – MBB karya Ratna Sarumpaet.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan tiga masalah yang akan diteliti:

1. Konteks sosial pengarang yang melatarbelakangi penciptaan novel KC

– MBB dan kondisi sosial budayanya.

2. Cermin konflik sosial masyarakat Maluku dalam novel KC – MBB. 3. Fungsi sosial novel KC – MBB.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis dari penelitian ini adalah mendeskripsikan konteks sosial pengarang ialah Ratna Sarumpaet, menganalisis novel KC – MBB sebagai cermin masyarakat Maluku, dan menganalisis fungsi sosial novel KC – MBB. Konteks sosial pengarang akan menjawab kedudukan Ratna Sarumpaet di Masyarakat, sejauh mana Ratna Sarumpaet menganggap pekerjaannya sebagai sebuah profesi, dan menjelaskan masyarakat yang dituju oleh Ratna Sarumpaet. Dengan demikian akan didapat jawaban bagaimana hubungan antara pengarang dan masyarakat. Analisis novel KC-MBB sebagai cermin masyarakat Maluku dapat menjawab adanya tendensi politik pada konflik sosial Maluku. Terakhir, fungsi sosial novel KC-MBB dapat menjawab apakah novel KC-MBB dapat memengaruhi pembacanya.

(10)

Tujuan Praktis dari penelitian ini adalah membantu pembaca memahami substansi konflik sosial Maluku melalui pemaparan dinamika konflik Maluku. Dengan demikian akan didapat pengetahuan yang jelas mengenai koflik sosial Maluku. Pemahaman masyarakat terhadap novel KC – MBB akan dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra juga.

Dengan memahami novel KC – MBB pembaca dapat menentukan katerlibatan pengarang dan ideologi yang melatarbelakangi pengarang menciptakan karya sastra yang muncul melalui teks-teks novel KC – MBB dan identitas pengarang. Selain itu, pembaca juga dapat menentukan cermin realitas dalam novel dengan realitas dalam masyarakat Maluku serta agar pembaca tahu fungsi sosial novel KC–MBB.

1.4 Tinjauan Pustaka

Novel KC – MBB pertama kali diluncurkan pada Rabu, 17 Desember di Aula Terapung, Universitas Indonesia (UI) Depok. Dalam acara peluncuran tersebut, hadir Pendeta Rudy Rahabeat yang merupakan pendeta yang memimpin Gereja Protestan Maluku (GPM) dan sedang mengambil S3 di UI. Pendeta Rudy Rahabeat menilai bahwa novel KC – MBB sebagai sebuah karya etnografik yang mendalam dan menarik. Dari berbagai segi yang dilukiskan dalam novel KC –

MBB benar-benar memotret realitas manusia dan masyarakat Maluku, khususnya

saat terjadi tragedi kemanusiaan sejak 19 Januari 1999. Pendeta Rudy Rahabeat juga berharap agar novel tersebut dapat membawa pembaca keluar dari ketidakberdayaan sekaligus mengangkat harkat kemanusiaan yang pernah dan mungkin akan terus teraniaya di Republik tercinta ini (http://ambonekspres.com).

(11)

Beberapa tokoh lain juga memberikan testimoninya pada halaman sampul novel KC –MBB. Sofyan Daud, budayawan yang selama konflik terlibat dalam usaha-usaha rekonsiliasi di Maluku Utara, khususnya Ternate dan Tidoe, lewat jurnalisme damai mengatakan bahwa konflik SARA di Maluku merupakan episode paling muram dalam sejarah kemanusiaan di Indonesia dekade ini. Ia (konflik SARA di Maluku) telah menggerus kerukunan antarsuku dan agama yang berabad dibangun lewat pela gandong. Lewat novel ini (KC – MBB), Ratna Sarumpaet menyuarakan kembali kearifan humanitas pela gandong.

Berbeda dengan Sofyan Daud, Rudi Fofid yang merupakan jurnalis, penyair, relawan sekaligus korban kerusuhan Maluku juga pegiat yang mengampanyekan jurnalisme damai berpendapat bahwa selama ini kerusuhan Maluku dipersepsi sebagai konflik horizontal antara Islam versus Kristen. Novel ini menyuguhkan kenyataan lain, yakni kompleksitas kepentingan yang bertarung saat konflik yang melibatkan juga perseteruan rakyat versus unsur-unsur dalam kekuasaan negara. Membaca novel ini, saya (Rudi Fofid) seperti menyaksikan kembali peristiwa kerusuhan 1999 – 2003 di Maluku dan Maluku Utara yang tersuguh secara filmis dan dramatis.

Ratna Sarumpaet terkenal produktif dalam menciptakan karya-karya sastra khususnya karya sastra dalam bentuk drama. Salah satu karya Ratna Sarumpaet yang berjudul drama Marsinah, Nyanyian Bawah Tanah pernah diteliti oleh Clara Atika Dwi Cahyarini pada 2012 di FIB UGM. Cahyarini meneliti karya drama

Marsinah, Nyanyian Bawah Tanah dengan menggunakan teori analisis struktur

(12)

Beberapa karya sastra yang diteliti dengan menggunakan sosiologi sastra Ian Watt, antara lain, teks drama Sidang Susila karya Ayu Utami yang diteliti oleh Rosa Witha Armaya pada 2010 di FIB UGM. Dalam skripsinya tersebut, Rosa Witha Armaya memaparkan mengenai peristiwa pro dan kontra pembuatan rancangan undang-undang pornografi dan pornoaksi di Indonesia dalam teks drama Sidang Susila.

Novel Mahar Cinta Gandoriah karya Mardhiyan Novita MZ diteliti oleh Eka Damayanti pada 2014 di FIB UGM. Damayanti memberikan kesimpulan pada skripsinya bahwa konteks sosial pengarang berperan dalam penciptaan karya sastra, novel Mahar Cinta Gandoriah merupakan cerminan masyarakat Pariaman, dan novel Mahar Cinta Gandoriah memiliki fungsi sosial, antara lain, memengaruhi masyarakat, mendidik, menghibur, dan berguna bagi masyarakat.

Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini diteliti oleh Dyah Erta Damayanti pada 2014 di FIB UGM. Damayanti hanya menekankan pada dua aspek yang dikemukakan Ian Watt, yakni konteks sosial pengarang dan karya sastra sebagai cerminan masyarakat. Dalam skripsinya tersebut, Damayanti memaparkan hal-hal mengenai kehidupan beragama, adat istiadat dan perempuan yang terkandung dalam novel.

Beberapa karya sastra lainnya yang diteliti dengan menggunakan analisis sosiologi sastra, antara lain, novel Bibir Merah karya Achmad Munif pernah diteliti oleh Indra Dwi Fitrianto pada 2008 di FIB UGM. Fitrianto mengungkapkan dalam skripsinya bahwa relasi kekuasan antara elit dengan massa

(13)

dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni perilaku politik elit dan massa, budaya politik, dan model distribusi kekuasaan.

Novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo diteliti oleh Esthi Maharani pada 2008 di FIB UGM. Dalam skripsinya tersebut, Maharani memaparkan bagaimana citra pewayangan pada rezim Orde Baru. Pertunjukan Wayang dianggap dapat menarik masa dalam suatu kampanye politik sehingga wayang menjadi suatu perantara dalam hubungan antara masyarakat dan pemerintah elit politik.

Novel Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma diteliti oleh Muhammad Ardi Kurniawan pada 2008 di FIB UGM. Dalam skripsinya tersebut, Kurniawan memaparkan kondisi sosial masyarakat dalam novel yang sejalan dengan masyarakat pada pemerintahan era Orde Baru. Di era tersebut, masyarakat melakukan pemberontakan terhadap kekejaman akan penindasan yang dilakukan oleh penguasa.

Rachmad Bayu Aji meneliti Konflik Sosial Politik dalam Novel “Tapol”

karya Ngarto Februana: Analisis Sosiologi Sastra pada 2009 di FIB UGM.

Dalam skripsinya tersebut, Aji memaparkan mengenai adanya kesejajaran terhadap konflik sosial dan politik masyarakat Indonesia pada 1965 dan 1989. Ia menyimpulkan bahwa latar belakang sosial geografis pengarang ketika tinggal di Yogyakarta berpengaruh pada penggunaan nama-nama daerah di Yogyakarta. Pengalaman pengarang ketika aktif di pergerakan mahasiswa dan pekerjaan pengarang di bidang jurnalistik juga berdampak pada kematangan pengarang dalam berkarya.

(14)

Novel KC – MBB karya Ratna Sarumpaet belum pernah diteliti dalam bentuk skripsi dan dengan menggunakan teori apapun. Oleh karena itu, pada penelitian ini muncul kebaharuan dari segi objek kajiannya. Selain itu, dari segi teori yang digunakan yakni teori Sosiologi Sastra Ian Watt, baru pertama kali ini digunakan dalam menganalisis novel KC – MBB.

1.5 Landasan Teori

Teori yang digunakan untuk memecahkan permasalahan penelitian ini adalah teori Sosiologi Sastra Ian Watt. Teori tersebut digunakan sebab memiliki konsep-konsep yang dapat menjawab masalah dalam penelitian.

Damono (2002:8) menyatakan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan telaah tentang lembaga-lembaga dan proses sosial. Dengan mempelajari lembaga-lembaga-lembaga-lembaga sosial dan masyarakatnya akan didapatkan gambaran tentang manusia dalam konteks sosio-budaya kehiduapan masyarakat. Selain itu, sosiologi sastra mempunyai tugas menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh dalam karya dan situasi ciptaan pengarang dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya (Damono, 1984:9).

Dengan kata lain, pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra (Damono, 2002:2). Sejalan dengan Damono, Ratna (2009:2) berpendapat bahwa sosiologi sastra adalah pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.

(15)

Tujuan dari sosiologi sastra menurut Ratna (2009:2) adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Akan tetapi, Analisis Sosiologi Sastra tidak bermaksud mereduksi hakikat rekaan ke dalam fakta dan tidak bermaksud melegitimasikan hakikat fakta ke dalam dunia imajinasi (Ratna, 2004:11).

Sementara itu, menurut Damono (2002:2-3), ada dua kecenderungan utama dalam pendekatan sosiologi sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa karya sastra merupakan cerminan sosial-ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra dan sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu. Kedua, pendekatan yang mengutamakan sastra sebagai bahan penelaahan, jadi metode yang digunakan dalam pendekatan ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, yang kemudian digunakan untuk memahami gejala sosial yang ada di luar sastra.

Wellek dan Warren (1989:190) menyatakan bahwa karya sastra merupakan gambaran kehidupan masyarakat, terutama pada zamannya. Pada dasarnya, setiap sastra diilhami oleh kehidupan masyarakat sebenarnya. Jadi karya sastra menggambarkan keadaan suatu kelompok masyarakat pada waktu tertentu, baik itu ketika karya sastra tersebut diciptakan atau waktu sebelum karya sastra tersebut diciptakan.

Sementara itu, Ratna (2011: 332-333) berpendapat bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan

(16)

masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut:

1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat. 2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan

yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.

3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.

4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. 5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas,

masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Dalam membicarakan sosiologi sastra banyak sekali pendapat mengenai telaah dan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli. Salah satunya adalah pendapat yang dikemukakan Ian Watt. Dalam esainya yang berjudul Literature

and Society, Ian Watt mengklasifikasikan tiga masalah sosiologi sastra, yaitu pertama, konteks sosial pengarang, kedua sastra sebagai cerminan masyarakat,

dan ketiga fungsi sosial sastra (Damono, 2002:4).

Ian Watt menjelaskan ketiga klasifikasi masalah sosiologi sastra tersebut (dalam Damono, 1984:3-4). Pertama konteks sosial pengarang berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Hal-hal utama yang harus diteliti adalah (a) bagaimanakah si pengarang mendapat mata pencahariannya; apakah ia menerima bantuan dari pengayom, atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap, (b)

(17)

profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang; hubungan antara pengarang dan masyarakat dalam hal ini sangat penting, sebab sering didapati bahwa macam masyarakat yang dituju menentukan bentuk dan isi karya sastra.

Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat; sampai sejauh mana sastra

dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Hal-hal utama yang harus diperhatikan adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis. (b) Sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilhan dan penampilan fakta-fakta sosial dan karyanya. (c) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat. (d) Sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cerminan masyarakat.

Ketiga, hal yang perlu diperhatikan dalam fungsi sosial sastra yaitu sastra

berfungsi sebagai pembaharu dan perombak. Selain itu, sastra bertugas sebagai penghibur belaka, dan sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. Kemudian, dilihat sejauh mana terjadi sintesis antara fungsi sastra sebagai pembaharu dan perombak dengan sastra sebagai penghibur.

Teori sosiologi sastra yang digunakan untuk menganalisis novel KC –

(18)

menekankan ketiga aspek yang dikemukakan Ian Watt, yakni konteks sosial pengarang, sastra sebagai cerminan masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Dengan demikian, penelitian ini menaruh perhatian terhadap latar belakang pengarang yang mempengaruhi proses penciptaan karya sastra, teks karya sastra yang dikaitkan dengan aspek sosial masyarakatnya, serta fungsi karya sastra itu sendiri.

1.6 Metode Penelitian

Metode adalah cara yang dipergunakan seorang peneliti di dalam usaha memecahkan masalah yang diteliti (Siswanto, 2010: 55-56). Metode juga berkaitan dengan langkah-langkah yang akan ditempuh oleh peneliti sebagai usaha untuk mempermudah penelitiannya.

Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Novel KC – MBB karya Ratna Sarumpaet ini akan diteliti dengan menggunakan analisis sosiologi sastra Ian Watt. Oleh karena Sosiologi sastra merupakan teori yang memandang teks sastra sebagai pencerminan realitas sosial, maka metode yang tepat digunakan dalam meneliti novel KC – MBB yakni metode dielektik.

Menurut Sangidu (2004:28) untuk melukiskan “hubungan” antara faktor sosial yang terkandung dalam teks sastra (realita literer) dengan faktor-faktor sosial yang ada di dalam masyarakat (realita empiris), diperlukan metode dialektik (hubungan timbal-balik) antara karya sastra dengan realitas sosial. Dengan kata lain, metode dialektik memperhitungkan rangkaian mediasi antara sastra dan masyarakat. Artinya, antara masyarakat dengan sastra terbuka mengenai hubungan yang dialektik atau timbal balik (Faruk, 2010:12).

(19)

Menurut Goldmann (dalam Faruk, 2010:79) teknik pelaksanaan metode dialektik yang melingkar serupa itu berlangsung sebagai berikut. Pertama, peneliti membangun sebuah model yang dianggapnya memberikan tingkat probabilitas tertentu atas dasar bagian. Kedua, ia melakukan pengecekan terhadap model itu dengan membandingkannya secara keseluruhan dengan cara menentukan: (1) sejauh mana setiap unit yang dianalisis tergabungkan dalam hipotesis yang menyeluruh; (2) daftar elemen-elemen dan hubungan-hubungan baru yang tidak diperlengkapi dalam model semula; (3) frekuensi elemen-elemen dan hubungan-hubungan yang diperlengkapi dalam model yang sudah dicek.

Hipotesis adalah dugaan sementara yang didapat setelah membaca berulang-ulang objek kajian yang akan diteliti sebagai dasar penelitian. Dalam penelitian novel KC-MBB ini, hipotesis yang didapat berupa konflik sosial yang bertendensi politik. Seperti yang telah dijelaskan sebelum-sebelumnya bahwa ada dugaan bahwa konflik sosial yang terjadi di Maluku bukanlah murni konflik sosial. Campur tangan hal-hal yang bersifat politik turut menjadi sebab terjadinya konflik sosial di Maluku.

Langkah-langkah yang akan ditempuh peneliti dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Menentukan novel yang akan digunakan sebagai objek penelitian. Dalam hal ini, novel KC – MBB karya Ratna Sarumpaet dipilih oleh peneliti sebagai objek penelitian.

2. Membaca berulang-ulang novel KC – MBB agar mendapat pemahaman yang mendalam.

(20)

3. Menentukan hipotesis yang akan digunakan sebagai dasar penelitian. 4. Mencari, mengumpulkan dan mempelajari bahan-bahan yang

mendukung penelitian sebagai studi pustaka. 5. Menentukan masalah penelitian.

6. Menganalisis novel KC – MBB dengan menggunakan analisis sosiologi sastra Ian Watt. Langkah-langahnya adalah mendeskripsikan konteks sosial pengarang yang melatarbelakangi penciptaan novel KC – MBB dan kondisi sosial budayanya. Kemudian menganalisis cermin konflik sosial yang digambarkan novel KC – MBB dalam kehidupan masyarakat. Terakhir, menganalisis Fungsi sosial novel KC – MBB. 7. Mengambil kesimpulan berdasarkan penelitian tersebut.

1.7 Sistematika Laporan Penelitian

Laporan penelitian ini disusun berdasarkan sistematika berikut:

Bab I berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II mendeskripsikan latar belakang sosial pengarang dan sosial budayanya.

Bab III menganalisis cerminan realitas dalam novel dan realitas dalam masyarakat.

Bab IV menganalisis fungsi sosial novel KC – MBB

Referensi

Dokumen terkait

Mendiskripsikan citra perempuan dalam novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburrahman El Shirazy ditinjau dari kritik sastra feminis... Sebagai suatu karya ilmiah, maka hasil

Dalam pembelajaran sastra di sekolah karya sastra (novel) dapat berfungsi sebagai media dakwah terutama novel religi misalnya novel Syahadat Cinta seperti yang akan dikaji

Semua itu dituangkan oleh pengarang dalam suatu karya sastra baik cerpen maupun novel (Djojosuroto 2000:1). Novel merupakan salah satu jenis karya sastra yang

Adapun penelitian lain yang membahas tentang kajian semiotika pada sebuah karya sastra, berjudul “Kajian Semiotika dalam novel Jentera Bianglala karya Ahmad Tohari” yang

Karya sastra yang digunakan sebagai simbol merupakan bentuk yang berbeda dengan arti kata di dalam sebuah kalimat, karena simbol pada kalimat tersebut menandai adanya

Maka penulis menganalisis novel Milea Suara dari Dilan karya Pidi Baiq berdasarkan struktur karya sastra dengan menggunakan kajian Strukturalisme Robert Stanton

Penelitian ini menggunakan kritik sastra feminis Ruthven untuk mengidentifikasi tokoh, mendeskripsikan aspek kebahasaan yang digunakan oleh pengarang, menganalisis ideologi

Penambahan maksudnya adalah dalam dua buah karya sastra yang di dalam penelitian ini menggunakan karya sastra dongeng dan film merupakan dua karya yang berbeda