• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENDAPATAN PEDAGANG BAKSO DI KOTA BOGOR JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENDAPATAN PEDAGANG BAKSO DI KOTA BOGOR JAWA BARAT"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

1

ANALISIS PENDAPATAN PEDAGANG BAKSO

DI KOTA BOGOR JAWA BARAT

SKRIPSI

MONALISA SEMBIRING H34076100

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

RINGKASAN

MONALISA SEMBIRING. Analisis Pendapatan Pedagang Bakso Di Kota

Bogor Jawa Barat. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan

Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah Bimbingan RAHMAT YANUAR).

Pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi perlahan-lahan telah mengubah gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat ini melatarbelakangi berkembangnya produsen pemasar makanan siap saji khususnya pedagang makanan salah satunya adalah pedagang bakso. Pedagang bakso adalah salah satu jenis lapangan kerja di sektor informal, kehadirannya sudah lama yakni dari tahun 1970an dan sampai sekarang dapat dikatakan banyak beroperasi dan cukup popular dimasyarakat khususnya di perkotaan

Permasalahan yang dihadapi oleh para pedagang bakso yang ada di Kota Bogor yaitu kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki sebagai pelaku usaha masih rendah, sehingga dalam upaya pengembangan usahanya sendiri mengalami kesulitan untuk berkembang. Keterbatasan pengetahuan merupakan kelemahan pelaku usaha bakso, sehingga jika ditanyakan keuntungan yang mereka dapatkan maka seringkali para pelaku usaha tersebut tidak mengetahui berapa keuntungan yang telah didapatkan dalam menjalankan usaha tersebut. Dengan demikian, kondisi saat ini dirasakan telah positif pendapatannya namun belum diketahui secara rinci pendapatan yang diterima oleh para pelaku usaha bakso tersebut. Hal ini terkait dengan masalah lemahnya pencatatan serta belum tahu apakah usaha tersebut sudah efisien atau tidak. Selain itu dengan perekonomian yang terjadi saat ini, usaha bakso seperti yang dilihat masih begitu menjamur di berbagai tempat. Akan tetapi usaha tersebut mampu bertahan dalam situasi perekonomian yang sulit.

Tujuan dalam penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi karakteristik pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling di Kota Bogor (2) menganalisis pendapatan dan efisiensi usaha dari pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling di Kota Bogor Proses pengumpulan data dilakukan pada bulan September hingga November 2009. Responden yang digunakan berjumlah 30 orang pedagang bakso, yakni 15 orang pedagang bakso keliling dan 15 orang pedagang bakso mangkal. Pendekatan yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yaitu menggunakan analisis tabulasi dan deskriptif, analisis keuntungan dan uji Mann-Whithney.

Dari hasil analisis diketahui bahwa pedagang bakso di Kota Bogor umumnya adalah laki-laki yang berumur 20 sampai 60 tahun, usia tersebut termasuk kedalam usia produktif untuk bekerja. Pendidikan formalnya, sebagian besar pedagang bakso sapi mangkal adalah tamatan SMP (53%). Sedangkan pedagang bakso keliling memiliki pendidikan Sekolah Menengah Pertama 40%. Rata-rata jumlah tanggungan keluarga pedagang bakso sapi mangkal berkisar antara 3 sampai 5 orang (54%) yang terdiri dari sepasang suami isteri dan sejumlah anak. Sedangkan jumlah tanggungan keluarga para pedagang bakso keliling rata-rata dibawah tiga orang yaitu sebanyak 12 responden (80%). Pengalaman usaha responden sebagai

(3)

pedagang bakso sapi mangkal berkisar antara satu sampai tiga puluh tahun. Sebagian besar responden mempunyai pengalaman usaha berkisar antara 0-5 tahun yaitu sebanyak 6 responden (40%). Sedangkan pengalaman usaha responden sebagai pedagang bakso sapi keliling lebih sedikit disbanding dengan pelaku usaha bakso mangkal. Pengalaman usaha bakso keliling yang telah dijalankannya berkisar dari 1-5 tahun yaitu sebanyak 10 responden (67%). Pedagang bakso sapi mangkal umumnya berasal dari daerah Jawa Tengah (60%). Sebagian besar pedagang bakso keliling yang ditemui di Kotamadya Bogor berasal dari daerah sekitar Bogor (60%). Usaha dagang bakso yang mereka jalankan merupakan pekerjaan pokok karena sulitnya memperoleh lapangan kerja di daerah perkotaan, walaupun para pedagang bakso tersebut harus bersaing dengan pedagang bakso sapi dari luar daerah bogor yang sama-sama berprofesi sebagai pedagang bakso.

Rata-rata pendapatan yang didapatkan pedagang bakso mangkal per bulan dikelompokkan menjadi tiga skala berdasarkan penerimaannya yakni pedagang bakso mangkal yang memiliki penerimaan di bawah 25 juta (skala mikro), penerimaan pedagang bakso mangkal sebesar 25 juta hingga 100 juta (skala kecil) dan penerimaan di atas 100 juta (skala menengah). Adapun pendapatan yang didapatkan oleh pedagang skala mikro sebesar Rp 3.440.948, pendapatan skala kecil Rp 42.780.947 dan skala menengah Rp 74.298.767 dengan R/C Rasio yang diperoleh sebesar 1,66. Sedangkan rata-rata pendapatan pedagang bakso keliling sebesar Rp 1.464.322 per bulan dengan R/C rasio 1,23. Perbedaan pendapatan antara pedagang bakso mangkal dengan pedagang bakso keliling adalah dari jumlah penerimaan yang didapatkan oleh pelaku usaha bakso. Harga yang ditawarkan oleh pelaku usaha tersebut juga memiliki perbedaan. Pedagang bakso mangkal menawarkan harga kepada konsumen mulai dari harga per mangkok Rp 6.000 hingga Rp 12.000 per mangkok. Sedangkan pedagang bakso keliling menawarkan harga per mangkok lebih murah dibanding dengan pedagang bakso mangkal. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp 5.000 per mangkok hingga Rp 8.000. Harga kapasitas yang diproduksi juga berbeda sehingga memiliki perbedaan jumlah yang terjual dalam satu hari tersebut juga berbeda. Dengan uji

Mann-Whithney terhadap R/C rasio yang didapatkan oleh pedagang bakso

mangkal dibandingkan dengan pedagang bakso keliling menunjukkan tingkat keuntungan 1.66 bagi pedagang bakso mangkal sedangkal tingkat keuntungan bagi pedagang bakso keliling sebesar 1.23. dengan uji tersebut menunjukkan keuntungan usaha kedua kelompok pedagang tersebut berbeda nyata, lebih menguntungkan pedagang bakso mangkal.

(4)

ANALISIS PENDAPATAN PEDAGANG BAKSO

DI KOTA BOGOR JAWA BARAT

MONALISA SEMBIRING H34076100

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(5)

NIM : H34076100

Disetujui, Pembimbing

Rahmat Yanuar, SP, MSi

NIP. 19760101 200604 1010

Diketahui

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS.

NIP. 19580908 198403 1002

Tanggal Lulus :

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan Pedagang Bakso di Kota Bogor Jawa Barat.

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Pendapatan Pedagang Bakso di Kota Bogor Jawa Barat” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2010

Monalisa Sembiring

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sibuhuan, Kabupaten Padang Lawas, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 1 Juni 1986. Penulis adalah anak pertama dari keluarga Bapak Pandai Sembiring dan Ibu Mastianna Simatupang.

Penulis mengawali jenjang pendidikan di SDN 2 Barumun pada tahun 1992 dan lulus tahun 1998. Tahun 2001 penulis lulus dari SLTPN 1 Barumun dan menyelesaikan pendidikan lanjutan menengah atas di SMA Negeri 1 Barumun pada tahun 2004.

Pada tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Diploma III Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian dan memperoleh gelar Ahli Madya pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada jenjang Strata Satu (S1) Program Sarjana Agribisnis, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis

Pendapatan Pedagang Bakso di Kota Bogor Jawa Barat”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pedagang bakso, menganalisis pendapatan pedagang bakso di Kota Bogor serta melihat efisiensi usaha pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling.

Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun kearah penyempurnaan pada skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Maret 2010 Monalisa Sembiring

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan, penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada:

1. Rahmat Yanuar, SP. Msi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, waktu serta kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen evaluator proposal penelitian serta masukan-masukannya kepada penulis.

3. Eva Yolynda Aviny, SP, MM selaku dosen penguji utama yang telah memberikan saran dan masukan dalam menyempurnakan skripsi ini.

4. Ir. Harmini, Msi sebagai dosen penguji dari Komisi Pendidikan dalam sidang skripsi yang telah memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini.

5. Orangtua dan keluarga tercinta untuk setiap dukungan cinta kasih dan doa yang diberikan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik

6. Para pedagang bakso yang ada di Kota Bogor yang telah membantu dan memberikan waktunya dalam wawancara yang telah dilakukan.

7. Para Bapak dan Ibu dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor yang telah membantu dan memberi informasi selama penelitian ini. 8. Asri, Nita, Ratih, Albar, Ardian, Rofi sebagai saudara seperjuangan dalam

menata masa depan yang kita mulai bersama.

9. Teman-temanku enin, rendrat, cici, adib, adin, kiki, banghot, bangjulianto, amli, iqbal, rully, qq, teh ani, k.lerin dan ina atas semangat dan sharing selama penelitian hingga penulisan skripsi, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuannya.

10. Seluruh staf sekretariat Ekstensi AGB yang telah membantu penulis.

Bogor, Maret 2010 Monalisa Sembiring

(10)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN .. ... vi I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 3 1.3. Tujuan Penelitian ... 6 1.4. Manfaat Penelitian ... 6 1.5. Ruang Lingkup ... 6 II TINJAUAN PUSTAKA ... 7 2.1. Bakso ... 7

2.1.1. Bahan-bahan Pembuatan Bakso ... 8

2.2. Usaha Sektor Informal ... 10

2.2.1. Prospek Usaha Sektor Informal ... 11

2.2.2. Karakteristik Sektor Informal ... 12

2.2.3. Usaha Kecil Menengah ... 15

2.3. Penelitian Terdahulu ... 16

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 20

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 20

3.1.1. Karakteristik Individu ... 20

3.1.2. Kegiatan Usaha sektor Informal ... 21

3.1.3. Analisis Usaha ... 22

3.1.4. Teori Biaya ... 23

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 25

IV METODE PENELITIAN ... 28

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 28

4.3. Metode Pengambilan Sampel ... 29

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 29

4.4.1. Tabulasi dan Analisis Deskriptif ... 30

4.4.2. Analisis Biaya ... 30

4.4.3. Analisis Pendapatan Usaha ... 31

4.4.4. Analisis R/C Ratio ... 32

4.4.5. Uji Mann-Whithney ... 32

(11)

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 37

5.1. Keadaan Umum Wilayah Kota Bogor ... 37

5.2. Sejarah dan Perkembangan Usaha Bakso ... 37

5.3. Karakteristik Usaha Pedagang Bakso Sapi ... 38

5.4. Karakteristik Pribadi Responden ... 44

5.4.1. Jenis Kelamin Responden ... 44

5.4.2. Umur Responden ... 45

5.4.3. Tingkat Pendidikan Responden ... 46

5.4.4. Jumlah Tanggungan responden ... 46

5.4.5. Pengalaman Usaha Responden ... 47

5.4.6. Asal Daerah responden ... 47

VI HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

6.1. Pengadaan dan Penanganan Bahan Baku ... 49

6.2. Analisis Pendapatan ... 49

6.2.1. Analisis Pendapatan Pedagang Bakso Mangkal ... 49

6.2.2. Analisis Pendapatan Pedagang Bakso Keliling ... 54

VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

7.1. Kesimpulan ... 65

7.2. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perkembangan Jumlah Pelaku Usaha Menurut Skala Usaha Tahun 2006-2007 di Indonesia ... 2

2. Data Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Berdarsakan

Skala Usaha Tahun 2006-2007 ... 2

3. Ringkasan Penelitian Terdahulu ... 19

4. Metode Analisis Data Berdasarkan Tujuan Penelitian... 30

5. Sebaran Responden Pedagang Bakso di Kota Bogor Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Tahun 2009 ... 45

6. Sebaran Responden Pedagang Bakso di Kota Bogor Berdasarkan Umur Pada Tahun 2009 ... 45

7. Sebaran Responden Pedagang Bakso di Kota Bogor Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pada Tahun 2009 ... 46

8. Sebaran Responden Pedagang Bakso di Kota Bogor Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga Pada Tahun 2009 ... 47

9. Sebaran Responden Pedagang Bakso di Kota Bogor Berdasarkan Lama Usaha Pada Tahun 2009 ... 47

10. Sebaran Responden Pedagang Bakso di Kota Bogor Berdasarkan Asal Daerah Pada Tahun 2009 ... 48

11. Penerimaan Pedagang Bakso Mangkal Per Bulan di Kota Bogor Pada Tahun 2009 ... 51

12. Penerimaan Pedagang Bakso Mangkal < 25 Juta Rupiah Per Bulan di Kota Bogor Pada Tahun 2009 ... 51

13. Penerimaan Pedagang Bakso Mangkal 25 Juta- 100 Juta Rupiah Per Bulan di Kota Bogor Pada Tahun 2009 ... 52

14. Penerimaan Pedagang Bakso Mangkal di Atas 100 Juta Rupiah Per Bulan di Kota Bogor Pada Tahun 2009 ... 52

15. Pengeluaran dan Pendapatan Pedagang Bakso Mangkal Skala Mikro Pada Tahun 2009 ... 53

(13)

Pada Tahun 2009 ... 53

17. Pengeluaran dan Pendapatan Pedagang Bakso Mangkal Skala Menengah Pada Tahun 2009 ... 54

18. Pengeluaran dan Pendapatan Pedagang Bakso Keliling Pada Tahun 2009 ... 54

19. Rata-rata Biaya Variabel dan Biaya Tetap Pedagang Bakso Keliling Per Hari dan Per Bulan Pada Tahun 2009 ... 55

20. Rata-rata Biaya Penerimaan Pedagang Bakso di Kota Bogor Pada Tahun 2009 ... 59

21. Rata-rata Penerimaan, Total Biaya, dan Pendapatan Bersih Pedagang Bakso Pada Tahun 2009 ... 61

22. Pengelompokan Pedagang Responden Penelitian Berdasarkan Tingkat R/C Rasio yang diperoleh Pada Tahun 2009 ... 62

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian …...………….

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. 2. 3. 4. 5. Kuisioner Penelitian …...………... Karakteristik Pribadi Responden Pedagang Bakso Sapi Mangkal/Kios di Kota Bogor, 2009 ……….

Karakteristik Pribadi Responden Pedagang Bakso Sapi Keliling di Kota Bogor, 2009 ………... Analisis Biaya dan Pendapatan Usaha Bakso Pada Pedagang Bakso Mangkal Satu Periode (Rp/bulan) ………. Analisis Biaya dan Pendapatan Usaha Bakso Pada Pedagang Bakso Keliling Satu Periode (Rp/bulan) ………..

70

77

78

79

(16)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi perlahan-lahan telah mengubah gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat ini melatarbelakangi berkembangnya produsen pemasar makanan siap saji khususnya pedagang makanan salah satunya adalah pedagang bakso. Pedagang bakso adalah salah satu jenis lapangan kerja di sektor informal, kehadirannya sudah lama yakni dari tahun 1970an dan sampai sekarang dapat dikatakan banyak beroperasi dan cukup popular dimasyarakat khususnya di perkotaan. Pedagang bakso adalah seseorang yang menjual bakso dengan gerobak yang dilakukan secara keliling atau mangkal. Pelaku usaha bakso tidak hanya bertindak sebagai penjual, tetapi terlibat dalam proses produksi atau pengadaan barang dagangan. Pedagang bakso dapat dikategorikan ke dalam Usaha Kecil Menengah (UKM). Menurut keputusan Presiden RI No.99 tahun 1998 pengertian usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah persaingan usaha tidak sehat.

Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah menjadi sangat strategis, karena potensi yang dimiliki besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat dan sekaligus menjadi tumpuan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya. Eksistensi dan peran UKM pada tahun 2007 mencapai 49,84 juta unit usaha, dan merupakan 99,99 persen dari pelaku usaha nasional1. Eksistensi dalam unit usaha tersebut juga berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja, sehingga kesempatan kerja terbuka untuk mereka yang kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. UKM memiliki keterkaitan usaha dalam perkembangan pertumbuhan perekonomian dan perkembangan pelaku usaha. Perkembangannya dapat dilihat pada Tabel 1.

1

Guritno Kusumo. 2008. Statistik Usaha Kecil dan Menengah. http://www.depkop.go.id. Diakses 17 juli 2009.

(17)

Tabel 1. Perkembangan Jumlah Pelaku Usaha Menurut Skala Usaha Tahun

2006-2007 di Indonesia.

No SKALA USAHA Jumlah (Unit) Perkembangan

2006 2007 Jumlah (%)

1 Usaha Mikro 46.746.567 47.702.310 955.743 2,04

2 Usaha Kecil (UK) 1.917.897 2.017.926 100.029 5,22

3 Usaha Kecil & Menengah (UKM)

48.779.151 49.840.489 1.061.338 2,18

Sumber : Departemen Koperasi dan Badan Pusat Statistik Indonesia (2008).

Pada tahun 2006 jumlah UKM mencapai 48,7 juta unit, meningkat 2,18 persen dari tahun sebelumnya. Usaha kecil dan usaha rumah tangga yang terdapat disemua kategori lapangan usaha ekonomi selain kategori lapangan usaha pertanian merupakan usaha yang banyak memberikan peluang tersedianya lapangan kerja atau usaha tanpa harus mempunyai jenjang pendidikan maupun keahlian khusus, sehingga usaha tersebut memberikan sumbangan yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi baik secara nasional maupun regional.

Kota Bogor memiliki keadaan ekonomi yang relatif stabil dengan pertumbuhannya yang cukup baik, hal tersebut dikarenakan struktur ekonomi kota Bogor yang didominasi oleh sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar 30,04% dan sektor sektor industri pengolahan sebesar 28,07 % dimana sektor ini sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan daya beli masyarakat (BPS, 2008). Potensi strategis ini mendukung pertumbuhan ekonomi dalam mengembangkan Kota Bogor sebagai Kota jasa, perdagangan, pemukiman, pendidikan dan pariwisata. Sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Kota Bogor memiliki potensi yang baik sesuai dengan perkembangan jumlah UKM yang ada di Kota Bogor. Perkembangan jumlah UKM di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan Jumlah Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Tenaga

Kerja di Kota Bogor Tahun 2004-2008.

Jumlah Tahun

2004 2005 2006 2007 2008

Unit UKM 22.304 24.534 31.831 32.147 32.256

Tenaga Kerja - - 51.798 54.388 57.107

(18)

Berdasarkan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor jumlah Usaha Kecil dan Menengah paling banyak mendominasi adalah perdagangan. Dari tahun 2004 sampai tahun 2008 jumlah Usaha Kecil dan Menengah ini selalu mengalami peningkatan sehingga, menimbulkan semakin tingginya persaingan usaha antar unit. Salah satu pelaku usaha kecil menengah yang bergerak di bidang perdagangan di Kota Bogor adalah pedagang bakso. Pedagang bakso merupakan salah satu jenis lapangan kerja yang mudah untuk dimasuki oleh para pelaku usaha serta keberadaan pedagang bakso saat ini dapat dikatakan banyak beroperasi dimana saja, misalnya di pasar, disekitar pemukiman serta di tempat lainnya. Meskipun telah banyak restoran-restoran yang menyediakan menu bakso dengan tempat yang menyenangkan, namun pedagang bakso yang ada di Kota Bogor yakni pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling terlihat semakin banyak. Keberadaan mereka menunjukkan bahwa mereka memang diperlukan oleh masyarakat.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2008) yang dikutip dalam Paguyuban Pedagang Mi dan Bakso Megapolitan Indonesia (Paguyuban Miso Indonesia), pada tahun 2006, dari 48.7 juta UKM di Indonesia, 20 persen atau sekitar 10 juta diantaranya adalah pedagang usaha mi Bakso. Dari jumlah tersebut jika 60 persen saja yang aktif, berarti ada sekitar 6 juta pelaku usaha Bakso di Indonesia2. Dengan kata lain usaha Bakso merupakan mata pencarian yang menjanjikan jika dikaitkan dengan pola konsumsi serta kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia. Berdasarkan Dinas Peridustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor jumlah pelaku pedagang bakso yang tercatat dan yang ada di data oleh dinas sekitar 200 orang pada tahun 2006. Pelaku usaha bakso yang terdapat dalam penelitian ini adalah pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling. Dalam proses penyampaian barang dari produsen kepada konsumen akhir, pedagang eceran merupakan perantara yang terdekat dengan konsumen, sehingga respon konsumen sehingga respon konsumen sangat ditentukan oleh kemampuan

2

Erman Suparno. 2007. Melawan Pengangguran Dengan Gerobak Mi Bakso. http://www.apIndonesia.com. Diakses 21 Mei 2009.

(19)

pedagang eceran dalam menyalurkan barang. Agar dapat menjangkau sebanyak mungkin konsumen, para pedagang dituntut untuk dapat memilih lokasi dan waktu yang strategis untuk berjualan. Dalam pemilihan lokasi dan waktu tersebut dapat dibedakan menurut cara berdagang, yaitu pedagang mangkal dan pedagang keliling. Pedagang bakso mangkal merupakan pedagang bakso yang berjualan secara mangkal yang sifatnya mangkal di rumah sendiri atau bersifat kontrakan, sedangkan pedagang bakso keliling adalah pedagang bakso yang menjual bakso dengan berkeliling, mengunjungi langsung konsumennya. Keberadaan pedagang bakso diperlukan oleh masyarakat. Dengan keberadaan pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling yang memang diperlukan oleh masyarakat ternyata dapat menciptakan lapangan usaha bagi para pedagang bakso sebagai usaha di sektor informal yang cukup berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Pedagang bakso tidak hanya sekedar sebagai penjual tetapi juga terlibat dalam proses produksi atau pengadaan barang. Hal ini menggambarkan aktivitas produksi dan penjualan merupakan cerminan kegiatan ekonomi yang tidak dapat berdiri sendiri tetapi senantiasa menunjukkan adanya saling ketergantungan satu sama lainnya. Pedagang bakso berperan langsung antara produsen sebagai pedagang menyalurkan langsung ke konsumen akhir. Pedagang bakso dalam melakukan aktivitas usahanya beroperasi di daerah-daerah yang dianggap strategis dan ramai dikunjungi konsumen. Kadangkala pedagang tidak menghiraukan tempat-tempat yang dilarang untuk berjualan, sehingga seringkali pedagang bakso dan umumnya pedagang keliling mendapat peringatan dan ancaman gusuran dari petugas keamanan, karena memanfaatkan fasilitas umum untuk berjualan seperti jalan, trotoar, dan areal parkir. Sektor usaha ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah, sehingga pengembangan potensi, fungsi dan mekanisme kegiatan usaha kurang produktif dan berdayaguna. Namun alasan ekonomi menjadi lebih penting jika pendapatan menjadi sasaran utama bagi pedagang bakso tersebut dan hingga saat ini keberadaan para pedagang bakso masih tetap bertahan dan masih begitu banyak ditemui dalam sejumlah tempat.

Salah satu komponen utama dalam penyeimbangan struktur usaha nasional adalah mengembangkan pengusaha kecil yang berorientasi produksi menjadi pengusaha kecil yang berorientasi bisnis atau berwawasan yang mampu mengikuti

(20)

peluang dan perubahan situasi sebagai faktor penentu kegiatan usahanya. Pengusaha kecil akan selalu dihadapkan pada berbagai kendala keterbatasan, khususnya keterbatasan skala usaha, manajemen usaha, modal, teknologi, keterampilan berusaha dan pemasaran produk. Salah satu pelaku usaha yang terlibat tersebut adalah para pedagang bakso yang ada di Kota Bogor. Pedagang bakso yang ada ditemui di Kota Bogor ini adalah pedagang bakso yang berjualan secara keliling dan pedagang bakso mangkal. Tetapi dalam menjalankan usaha tersebut nampaknya pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling dengan segala kesederhanaan dan keterbatasannya masih tetap bisa bertahan dalam situasi perekonomian yang sulit dengan alasan ekonomi merupakan hal yang sangat penting bagi pedagang bakso tersebut.

Umumnya permasalahan yang dihadapi pedagang bakso yang ada di Kota Bogor yaitu kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki sebagai pelaku usaha masih rendah, sehingga dalam upaya pengembangan usahanya sendiri mengalami kesulitan untuk berkembang. Keterbatasan pengetahuan merupakan kelemahan pelaku usaha bakso, sehingga jika ditanyakan keuntungan yang mereka dapatkan maka seringkali para pelaku usaha tersebut tidak mengetahui berapa keuntungan yang telah didapatkan dalam menjalankan usaha. Dengan demikian, kondisi saat ini dirasakan telah positif pendapatannya namun belum diketahui secara rinci pendapatan yang diterima oleh pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling. Besarnya keuntungan yang diperoleh pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling dapat diketahui dengan melakukan analisis terhadap pendapatan dan efisiensi yang dihasilkan dari usaha bakso tersebut. Analisis pendapatan digunakan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan yang dihasilkan dari setiap rupiah yang dikeluarkan serta melihat keuntungan relatif yang didapatkan oleh pedagang bakso dalam menjalankan usahanya.

Sehubungan dengan keadaan pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling yang ada di Kota Bogor juga dilihat mengenai kondisi dan situasi usaha bakso, yakni yang mencerminkan keterkaitan berbagai potensi dan aktivitas usaha yang dialami dan yang dilakukan oleh pedagang bakso mangkal maupun pedagang bakso keliling. Sehingga untuk melihat kegiatan maupun aktivitasnya

(21)

tersebut maka berdasarkan gambaran di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah karakteristik para pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling di Kota Bogor?

2. Bagaimana pendapatan dan efisiensi usaha dari pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling di Kota Bogor?

1.3. Tujuan

1. Menganalisis karakteristik para pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling di Kota Bogor.

2. Menganalisis pendapatan dan efisiensi usaha dari pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling di Kota Bogor.

1.4. Manfaat

1. Bagi pelaku usaha bakso sebagai masukan dalam pengelolaan usaha khususnya dalam menjalankan usaha.

2. Bagi penulis sebagai sarana penerapan ilmu dari teori yang telah diperoleh semasa kuliah.

3. Bagi kalangan umum untuk dapat menjadi tambahan bahan informasi untuk pihak-pihak yang membutuhkan dan sebagai bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya yang ada dengan penelitian ini.

1.5. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah meliputi mengidentifikasi karakteristik pribadi responden pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling. Mengidentifikasi karakteristik usaha pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling, menganalisis pendapatan yang diperoleh pedagang bakso mangkal dan pedagang bakso keliling dan melihat tingkat efisiensi dari masing-masing usaha bakso yang ada di Kota Bogor serta fokus hanya pada pelaku usaha bakso sapi yang bertempat dipusat keramaian Kotamadya Bogor, yakni di kawasan perdagangan, terminal, pendidikan dan pemukiman.

(22)

22

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bakso

Bisnis makanan adalah bisnis yang tidak akan pernah mati, karena bersifat cepat habis dan dibutuhkan orang banyak. Semua orang pasti membutuhkan makan dan juga hampir rata-rata bisa membuat makanan, apalagi dengan perkembangan saat ini dapat dengan mudah mendapatkan resep-resep dan cara-cara dari media komunikasi. Hal tersebut merupakan pendukung untuk memulai bisnis makanan walaupun tidak sedikit yang gagal, tetapi banyak juga yang kemudian sukses. Apalagi jika konsep usahanya disesuaikan dengan kemampuan permodalan dengan menjual beberapa produk saja, dan ditangani sendiri. Salah satunya adalah usaha bakso. Bakso adalah makanan berupa bola daging dan berbahan utama daging, baik sapi, ikan, udang, maupun cumi-cumi. Bentuknya yang menyerupai bola kecil, sehingga orang barat menyebutnya dengan meat ball. Cita rasa yang khas dan tekstur yang kenyal menyebabkan bakso banyak disukai, dari anak-anak hingga orang dewasa. Bakso dalam perkembangannya menjadi popular di seluruh belahan bumi, termasuk Indonesia, dan dipercaya bakso awalnya berasal dari Republik Rakyat Cina. Sehingga kondisi ini membuka peluang bisnis bakso yang menjanjikan bagi yang bergerak dalam bisnis tersebut. Bisnis bakso adalah usaha yang membutuhkan modal yang relatif kecil dan tidak memerlukan modal terlalu besar. Peralatan yang diperlukan sederhana, proses pembuatan mudah, dan resiko kegagalan rendah. Hal tersebut memungkinkan siapa saja bisa melakukannya, baik skala besar maupun industri rumahan. Bisnis bakso bukanlah bisnis makanan baru, tetapi kebanyakan seperti usaha kuliner lainnya, prospek usaha bakso sangat popular.

Bakso merupakan produk pangan yang dibuat dari daging yang dihaluskan, dicampur tepung berkarbohidrat tinggi, dibentuk bulat-bulat sebesar kelereng atau lebih besar dan dimasak dalam air panas untuk mengkonsumsinya. Berdasarkan SNI 01-3818-1995, bakso daging didefinisikan sebagai produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang diizinkan. Bakso dapat dikelompokkan

(23)

menurut jenis daging yang digunakan. Bakso yang paling popular di Indonesia adalah bakso yang terbuat dari daging sapi (Sutomo, 2009).

Bahan-bahan dasar bakso adalah daging, bahan pengisi, garam dapur, bumbu penyedap dan es atau air es. Daging sapi digunakan karena dagingnya lebih mudah dibentuk menjadi butiran-butiran kenyal karena kandungan dan struktur proteinnya lebih kenyal dan kuat. Bakso pada mulanya hanya dikenal dan dijual didaerah pemukiman orang cina dan dijual di restoran-restoran cina. Namun akhir-akhir ini setelah tahun 1980, bakso mulai berkembang dan mulai popular dimasyarakat selain dikota besar juga kota kecil, terutama di pelosok dan daerah wisata. Bakso dapat dijumpai di restoran mewah, hotel berbintang, warung makan sederhana, pedagang kaki lima, dan pedagang keliling. Konsumen berasal dari golongan elit sampai golongan berpenghasilan rendah (Yuliadini, 2000).

2.1.1. Bahan-bahan Pembuatan Bakso

Ada beberapa metode yang dikenal dalam pembuatan bakso, namun secara garis besar prinsipnya sama, yaitu meliputi tahap penghancuran daging, pembentukan adonan dan pemasakan. Penghancuran daging dapat dilakukan dengan mencacah dan mencincang (chopping) ataupun menggiling (grinding). Bahan-bahan baku bakso terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utamanya adalah daging. Daging yang digunakan tergantung dari selera, yaitu daging sapi, daging ayam, daging ikan atau udang. Sedangkan bahan tambahan terdiri dari bahan pengisi berupa tepung, es, garam dan bumbu (Sutomo, 2009).

Daging

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Untuk membuat bakso sapi dapat digunakan semua bagian dari karkas sapi, namun karena kandungan lemak dari jaringan ikat daging berbeda-beda untuk setiap karkas maka penggunaannya disesuaikan dengan mutu yang diinginkan. Daging yang digunakan untuk membuat bakso adalah daging yang sesegar mungkin yaitu segera setelah pemotongan tanpa mengalami proses penyimpanan sehingga dapat menghasilkan mutu yang baik.

(24)

Bahan Pengisi

Bahan pengisi (fillers) merupakan bahan bukan daging yang ditambahkan dalam pembuatan bakso.Bahan pengisi yang biasa digunakan pada pembuatan bakso adalah tepung yang mengandung karbohidrat tinggi misalnya tepung tapioka, dan pati aren. Tepung-tepung tersebut mempunyai kandungan protein yang rendah. Penambahan tepung dilakukan sebesar 50 sampai 100 persen dari berat daging. Tujuan ditambahkan bahan pengisi seperti dalam pembuatan bakso adalah memperbaiki sifat dan mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat fisik dan cita rasa dan menurunkan biaya produksi. Jumlah penambahan tepung pati tergantung pada harga bakso yang dijual, semakin banyak tepung pati yang digunakan maka harga bakso semakin murah.

Garam Dapur dan Bumbu

Garam merupakan bahan baku yang umumnya ditambahkan pada pembuatan bakso, yang fungsinya untuk memberi rasa, mengawetkan dan melarutkan protein dalam daging. Selain garam dapur, bumbu yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah MSG (Monosodium Glutamat), bawang putih dan bawang merah kadang-kadang juga ditambahkan merica yang dapat meningkatkan rasa pada produk bakso. Pemakaian garam dapur pada pembuatan bakso tidak terlalu bervariasi, umumnya berkisar antara 5 sampai 10 persen dari berat daging. Dalam fungsinya sebagai pemberi rasa bakso, maka penambahan tepung yang tinggi memerlukan pemakaian garam yang lebih banyak sedangkan pemakaian MSG dalam adonan bakso berkisar antara 1,0 sampai 2,5 persen dari berat daging. Bawang putih mengandung antioksidan yang kuat dan dapat memperpanjang daya tahan bakso. Bawang putih dapat dipakai sebagai pengawet karena bersifat bakteriastatik yang disebabkan oleh adanya zat aktif allicin yang sangat efektif terhadap bakteri.

Es atau Air Es

Fungsi air adalah untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari minyak) daging, melarutkan protein yang mudah larut dalam air, membentuk larutan garam yang diperlukan untuk melarutkan protein larut garam, berperan sebagai fase kontinu dari emulsi daging dan menjaga temperature produk. Penambahan air

(25)

dalam bentuk es bertujuan untuk melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian masa daging, memudahkan ekstraksi protein serabut otot, membantu pembentukan emulsi dan mempertahankan suhu adonan. Air dalam bakso terutama dipengaruhi oleh jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan. Jika jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan besar maka jumlah air yang terdapat dalam bakso pun akan besar pula. Air juga akan mempengaruhi tekstur dari bakso. Bakso yang terlalu banyak mengandung air akan terlihat basah dan lembek, sedangkan bakso yang mengandung sedikit air akan terlihat kering dan keras.

Rasa

Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup cecapan yang terletak pada papilla. Faktor yang mempengaruhi rasa yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi pangan dengan komponen rasa yang lain. Atribut rasa banyak ditentukan oleh formulasi yang digunakan dan kebanyakan tidak dipengaruhi oleh pengolahan suatu produk pangan. Warna pada bakso berasal dari bahan utamanya yaitu daging, bahan pengisi dan bahan pengikat serta bahan-bahan yang ditambahkan. Aroma pada bakso sebagian besar dipengaruhi oleh bahan-bahan yang ditambahkan selama proses pembuatan dan pemasakan produk terutama penambahan bumbunya.

Pembuatan Bakso

Daging segar dipotong-potong, daging kemudian digiling dalam food processor bersama garam, STPP, dan ½ bagian es batu. Bumbu-bumbu seperti merica dan bawang putih, tepung tapioca, dan sisa ½ bagian es ditambahkan ke dalam adonan. Adonan kembali digiling sampai tercampur rata dan menjadi legit. Adonan tersebut lalu dibentuk bulat-bulat dan dimasukkan ke dalam air panas, setelah mulai mengambang bakso direbus sampai matang.

2.2. Usaha Sektor Informal

Berdasarkan kriteria Departemen Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi dan Biro Pusat Statistik yang termasuk kedalam kelompok sektor informal adalah mereka yang bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain, bekerja dengan bantuan buruh tidak tetap, bekerja dengan bantuan pekerja keluarga, dan mereka yang

(26)

bekerja sebagai pekerja keluarga, sedangkan yang termasuk kedalam sektor formal adalah diluar kriteria yang telah disebutkan.

Berdasarkan surat keputusan Menteri Perindustrian dan perdagangan Republik Indonesia no.23/MPP/Kep/1/1998 pasal 4 tentang lembaga-lembaga usaha perdagangan, dijelaskan hal-hal sebagai berikut :

1. Termasuk perdagangan informal adalah ; pedagang keliling, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pedagang kelontong, bakul gendong, kedai, warung, los pasar, jasa reparasi, jasa pertukangan dan jasa-jasa informal lainnya.

2. Pedagang informal harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a) Memiliki modal usaha diluar tanah dan bangunan tempat usaha tidak lebih

dari lima juta rupiah.

b) Dikerjakan sendiri oleh beberapa orang

c) Jenis kegiatan usaha yang dijalankan umumnya tidak tetap.

Dalam perdagangan eceran yang langsung berhadapan dengan konsumen, terutama bagi pedagang menetap adalah pemilihan tempat dan waktu berjualan. Karena menurut wahyudin (1993) masalah lokasi usaha pedagang eceran dihadapkan pada keterbatasan lahan (space) yang selain dipakai untuk kegiatan perdagangan eceran, juga diperuntukkan bagi pemukiman, gedung-gedung dan prasarana lainnya. sementara itu untuk masalah waktu merupakan penyesuaian antara waktu berdagang dan waktu pengadaan barang. Dari segi waktu jualan (berdagang), pekerja sektor informal menjajakan barangnya dalam rentang waktu yang bervariasi. Waktu berdagang dipilih didasarkan pada pertimbangan waktu calon pembeli ke luar rumah. Pokoknya dimana banyak calon pembeli membutuhkan mereka, pedagang akan menyesuaikannya. Secara umum rentangan waktu pedagang menetap berkisar antara jam 06.00 sampai jam 12.00. kemudian jam 15.30 sampai jam 21.00. Jika perdagangan informal yang berjualan secara keliling adalah pada awalnya berjualan dilokasi tertentu di jalan umum, ketika mereka telah menentukan pilihan pada tempat tertentu, mulailah diadakan pendudukan tempat umum tersebut sebagai tempat berjualan.

2.2.1. Prospek Usaha Sektor Informal

Sektor informal dapat dipandang sebagai suatu lapangan kerja yang dibangun atas dasar konsep pemasaran yang kehadirannya didasarkan pada

(27)

adanya kebutuhan akan barang dan jasa yang berkembang di masyarakat, dan kebutuhan itu menuntut untuk segera dilayani (Wahyudin, 1993). Sektor informal merupakan sektor yang sesungguhnya cukup mampu untuk menghadapi persoalan dan tantangan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat. Ini dapat dipahami karena sektor informal memiliki tingkat penyesuaian yang baik untuk menghadapi berbagai perubahan yang terjadi. Sektor informal adalah lapangan kerja yang menuntut kreativitas dan kemampuan untuk bertahan. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan mereka untuk mencari pasar, menawarkan, mengelola modal usaha dan menanggung resiko serta melakukan hubungan yang saling menguntungkan.

Menurut Didik dalam Wahyudin (1993) mengemukakan bahwa penanganan masalah sektor informal diperkotaan masih tidak beranjak dari pola lama, yakni usir dan gusur demi kebersihan, keamanan dan kenyamanan kota. Namun perlu diakui adanya beberapa kebijakan yang cukup terpuji seperti program perbaikan kampung kumuh di Jakarta dan alih profesi pedagang jalanan di Jakarta dan penarik becak . pembangunan itu pada hakekatnya merupakan suatu proses perubahan struktural dalam bidang sosial dan ekonomi (Wahyudin, 1993). Oleh karena itu dalam rangka pengembangan sektor informal di Indonesia ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan, yaitu permodalan, teknologi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan. Sektor informal dengan segala keberadaannya akan senantiasa terus bertahan dan berkembang. Disamping itu, dalam melakukan aktivitasnya sektor informal disadari atau tidak akan selalu berhubungan dengan pemerintah setempat. Hubungan ini terutama pada pemakaian lokasi usaha dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan usaha sektor informal.

2.2.2. Karakteristik Sektor Informal

Kajian mengenai kehidupan usaha pedagang bakso, merupakan suatu tinjauan tentang kondisi dan situasi usaha sektor informal, yang mencerminkan adanya keterikatan dan keterikatan potensi dan aktivitas usaha sektor informal yang berlangsung secara dinamis. Menurut wahyudin (1993) Tampak beberapa hal penting dalam memahami tumbuh dan berkembangnya sektor informal, yaitu :

1. Pertambahan angkatan kerja yang tidak seimbang dengan lapangan kerja yang tersedia. Keadaan ini tidak hanya menimbulkan pengangguran, tetapi

(28)

investasi dan pertumbuhan ekonomi cenderung lambat. Bahkan kondisi ini dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan dan mengguncang stabilitas politik nasional.

2. Pemanfaatan modal (capital) dan keterampilan. Industrialisasi yang berkembang di Indonesia, menurut pemanfaatan modal yang besar dengan penggunaan teknologi modern, misalnya bahwa sistem padat modal dijadikan sebagai alternatif pemecahan persoalan industrialisasi. Hal ini memungkinkan manusia-manusia Indonesia yang tidak punya modal dan pengetahuan serta keterampilan canggih belum dapat diserap oleh lapangan kerja tersebut. 3. Keterbatasan sektor pertanian. Sektor pertanian dapat dikatakan sebagai

lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Akan tetapi dengan adanya pertambahan penduduk dan penyebarluasan teknologi pertanian, mengakibatkan lapangan kerja pertanian tidak lagi mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak lagi. Sifat tradisional yang masih melekat pada sebagian masyarakat pertanian dan alih usaha kepada non pertanian belum dapat dijembatani dengan baik. Tampaknya disatu pihak dituntut adanya pemanfaatan lahan pertanian yang terbatas secara tepat guna. Namun disis lain keterbatasan keterampilan masih menguasai sebagian besar petani (masyarakat) Indonesia.

4. Dampak keterbatasan sektor formal dan variabel tingkat upah. Sektor formal, yang meliputi bidang pemerintahan (pegawai), swasta (perbankan, perusahaan-perusahaan dan pabrik) dengan persyaratan dan kemampuan daya serapnya, ternyata tidak mampu mengantisipasi pertambahan angkatan kerja. Oleh karena itu, sektor informal dengan segala kesederhanaan dan elastisitasnya merupakan terobosan dan alternatif yang tepat.

5. Tuntutan bekerja bagi setiap angkatan kerja. Berbagai kondisi angkatan kerja Indonesia yang relatif rendah pendidikan, minim pengetahuan teknologi dan berbagai kelemahan lainnya, maka bagi mereka yang termasuk dalam angkatan kerja harus bekerja keras, dan apabila tidak mampu bekerja maka penduduk yang belum pantas bekerjapun harus bekerja. Sementara pemerintah sampai saat ini belum mampu untuk memberikan kompensasi bagi penganggur.

(29)

Jelaslah, bahwa tumbuh dan berkembangnya sektor informal merupakan akibat dari arah pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa keseluruhan. Dengan sektor informal memungkinkan masyarakat (pelaku usaha sektor informal) dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sektor informal dipandang sebagai usaha berskala kecil yang beroperasi dalam kegiatan produksi atau distribusi yang sedang berada dalam tahap pertumbuhan. Jenis usaha berskala kecil yang dimaksud dikelola oleh mereka yang miskin modal dan berpendidikan rendah atau sama sekali tidak berpendidikan yang tujuan utamanya untuk mencari pekerjaan dan memperoleh pendapatan. Sedangkan yang dimaksud dengan sektor formal adalah pekerja bergaji dengan jangka waktu tertentu (harian, mingguan, atau bulanan) dalam pekerjaan permanen, seperti dalam perusahaan industri, kantor pemerintah dan perusahaan-perusahaan lainnya. Sektor informal mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1. Kegiatan usaha yang dilakukan tidak terorganisir secara baik. Hal ini dapat dilihat dari faktor munculnya usaha tersebut tanpa menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang ada pada perekonomian modern.

2. Karena kebijaksanaan pemerintah umumnya tidak sampai pada sektor ini, maka sektor informal tidak mempunyai hubungan langsung dengan pemerintah.

3. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha dari pemerintah. 4. Pola kegiatan tidak teratur, baik dalam arti tempat maupun mengenai jam

kerja.

5. Unit usaha bisa dengan mudah beralih dari suatu sub sektor ke sub sektor lainnya.

6. Teknologi yang digunakan termasuk ke dalam teknologi yang sederhana. 7. Perputaran modal usaha relatif kecil dan skala usahanya terbatas.

8. Karena usahanya kecil dan tingkat teknologi sangat sederhana, maka untuk mengelola usaha ini tidak menuntut pendidikan tertentu, bahkan keahliannya didapat dari sistem pendidikan non formal dan pengalaman sambil keluarga. 9. Kebanyakan dari unit usahanya dimiliki oleh seseorang pengusaha dan tenaga

(30)

10. Sumber dana untuk modal tetap atau modal kerja kebanyakan berasal dari tabungan sendiri dan dari sumber-sumber keuangan tidak resmi lainnya.

2.2.3. Usaha Kecil Menengah (UKM)

Usaha Kecil Menengah meliputi usaha industri dan usaha perdagangan. Defenisi usaha mencakup paling tidak dua aspek, yaitu aspek penyerapan tenaga kerja dan aspek pengelompokan. Usaha ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang diserap dalam gugusan atau kelompok usaha tersebut. Menurut undang-undang tentang usaha mikro, kecil dan menengah tahun 2008, yang dimaksud dengan Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan. Undang-undang Republik Indonesia No.20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah pasal 3 menyatakan bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan.

Adapun kriteria usaha mikro, kecil dan menengah dalam undang-undang tersebut tercantum pada pasal 6. Kriteria usaha mikro adalah memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00. Kriteria usaha kecil adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00. Kriteria usaha menengah adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari

(31)

Rp500.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 sampai paling banyak Rp50.000.000.000,00.

Badan Pusat Statistik dan Departemen Perindustrian melakukan pemisahan yang berlaku terhadap skala usaha didasarkan pada jumlah tenaga kerja. Apabila tenaga kerja yang dimiliki terdiri atas 1-5 orang digolongkan kedalam usaha rumah tangga atau usaha skala kecil, usaha skala menengah mempunyai tenaga kerja antara 6-19 orang, dan usaha skala besar mempunyai tenaga kerja lebih dari 19 orang. Usaha Kecil Menengah memiliki kendala-kendala dalam mempertahankan dan pengembangan usaha (bisnis) baik yang bersifat internal maupun eksternal, permasalahan-permasalahannya diantaranya adalah kurangnya pengetahuan pengelolaan usaha (manajemen), kurang modal, teknologi, lemah di bidang pemasaran dan adanya pungutan. Usaha kecil menengah memegang peranan penting dan strategis baik di lingkungan domestik, regional maupun internasional. Usaha kecil menengah mempunyai potensi yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat sehingga perlu diberdayakan dan dikembangkan agar mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan.

2.3. Penelitian Terdahulu

Wahyudin (1993) melakukan penelitian tentang pedagang bakso di Salatiga, studi kasus tentang sebuah usaha di sektor Informal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui latar belakang sebelum menjadi pedagang bakso, mengetahui proses menjadi pedagang bakso, dan menganalisis bentuk dan mekanisme kegiatan usaha pedagang bakso. Jumlah sampel dalam penelitian 30 pedagang bakso yang beroperasi di Salatiga, terdiri atas 18 orang pedagang keliling dan 12 orang pedagang kaki lima. Analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitiannya adalah sebagian besar pedagang bakso berasal dari daerah pedesaan di luar kota Salatiga, kegiatan sebelum menjadi pedagang bakso ialah sebagai penjual es potong, petani penggarap, menganggur dan bersekolah sambil rewang. Dalam proses menjadi pedagang bakso seseorang dapat dengan mudah, murah dan cepat memperoleh keterampilan usaha tanpa biaya pendidikan atau persyaratan lainnya yang menyusahkan calon pedagang.

(32)

Yuliadini (2000) melakukan penelitian tentang analisis pendapatan dan faktor kewirausahaan pedagang bakso sapi keliling di Kota Bogor Jawa Barat dengan tujuan menganalisis pendapatan/keuntungan usaha, menganalisis besarnya kontribusi pendapatan dari usaha bakso sapi keliling terhadap pendapatan total keluarga dan mengidentifikasi pengaruh faktor-faktor pendidikan, pengalaman usaha, motivasi, lokasi usaha dan nilai masyarakat sekitar lokasi usaha terhadap prilaku kewirausahaan pedagang bakso sapi keliling. Rata-rata pendapatan pedagang bakso sapi keliling yang menggunakan gerobak sebesar Rp 5.890.010,34 dan pikulan sebesar Rp 5.240.007,69. Rata-rata pendapatan pedagang bakso keliling di Kota Bogor secara keseluruhan sebesar Rp 5.648.580,79/tahun/pedagang. Rata-rata kontribusi pendapatan pedagang bakso sapi keliling terhadap pendapatan total keluarga sebesar 91,82 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan pedagang bakso sapi keliling di kota Bogor adalah pendidikan, pengalaman usaha, motivasi dan lokasi usaha berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku kewirausahaan dengan nilai F=36,24 pada taraf signifikasi 0,01.

Elmi (2005) penelitian tentang Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah Industri Kecil Keripik dan Sale Hasil Produk Olahan Pisang, kasus industri kecil keripik dan sale pisang di desa sawarna kecamatan bayah, kabupaten lebak, provinsi banten. Alat analisis yang digunakan adalah analisis pendapatan, analisis R/C dan analisis nilai tambah. Berdasarkan alat analisis yang digunakan tersebut maka hasilnya rata-rata penerimaan pengrajin keripik pisang di desa sawarna perbulan sebesar Rp 20.670.000,- dengan kapasitas produksi sebesar 1.950 kg keripik. Rata-rata total pengeluaran pengrajin Rp 17.237.630,- sehingga pendapatan pengrajin keripik selama sebulan sebesar Rp 3.432.370,-. Rata-rata penerimaan pengrajin sale pisang selama sebulan sebesar Rp 4.561.440,- dengan kapasitas produksi sebesar 1.786,9 kg sale. Rata-rata pengeluaran total sebesar Rp 3.922.249,5 perbulan, sehingga pendapatan yang diterima pengrajin atas total pengeluaran perbulan sebesar Rp 771.970,5. Pada kegiatan pengolahan keripik pisang, rasio R/C atas biaya tunai sebesar 1,22 dan rasio R/C atas biaya total sebesar 1,3 dan rasio R/C atas biaya total sebesar 1,2. Nilai R/C rasio dari kedua

(33)

kegiatan pengolahan bernilai lebih besar dari satu, dapat dikatakan bahwa kedua kegiatan pengolahan sudah efisien, menguntungkan dan layak dilaksanakan.

Anggraini (2006) melakukan penelitian tentang analisis pendapatan dan strategi pemasaran usaha warung tenda pecel lele di sepanjang jalan pajajaran Bogor dengan tujuan mengidentifikasi profil dan karakteristik pedagang warung tenda pecel lele, menganalisis pendapatan usaha warung tenda pecel lele dan memformulasi strategi pemasaran yang dapat diterapkan pada usaha warung tenda pecel lele. Alat analisis yang digunakan adalah IFE, EFE dan SWOT. Maka hasil yang didapatkan adalah berdasarkan matrik IFE dan EFE, posisi usaha berada pada sel V dan strategi yang sesuai adalah hold and maintain. Strategi yang dapat diterapkan adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk. Berdasarkan matrik SWOT diperoleh strategi yaitu meningkatkan kualitas produk, fasilitas pesan antar, promosi yang lebih baik lagi, hubungan yang baik dengan pemasok.

Syukron (2009), melakukan penelitian tentang analisis keuntungan pedagang martabak manis kaki lima di Kota Bogor, dalam penelitian ini menggunakan alat analisis keuntungan yang merupakan hasil pengurangan antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan, analisis keuntungan untuk usaha martabak ini dianalisis peneliti pada saat terjadinya kenaikan dan sebelum terjadinya kenaikan tepung terigu sebagai bahan bahan baku martabak. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan didapat nilai R/C ratio sebesar 1,56 sebelum terjadinya kenaikan harga tepung terigu dan terjadinya penurunan R/C ratio yang didapat nilai sebesar 1,34 yaitu pada saat terjadi kenaikan harga tepung terigu, berdasarkan analisis menunjukan bahwa secara keseluruhan usaha martabak tersebut menguntungkan secara ekonomi karena memiliki nilai R/C ratio lebih besar dari satu.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dari topik dan tujuan penelitian. Penelitian ini membahas analisis pendapatan yang diperoleh pedagang bakso di Kota Bogor dengan melihat seberapa besar penerimaan dan pengeluaran dari usaha yang dilakukan oleh pedagang bakso mangkal serta pedagang bakso keliling yang ada di Kota Bogor. Selain itu, membahas karakteristik pedagang bakso di Kota Bogor. Adapun ringkasan penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai berikut:

(34)

34 Tabel 3. Ringkasan Penelitian Terdahulu

Nama Judul Alat Analisis Hasil

Syukron (2009)

Analisis Keuntungan Pedagang Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor

 Analisis deskriptif  R/C Rasio  / Rasio

 Usaha martabak manis kaki lima dilokasi penelitian mampu memberikan manfaat financial bagi pedagang

 R/C ratio atas biaya tunai dan biaya total lebihbesar daripada 1

Dian Anggraini (2006) Analisis Pendapatan dan Strategi Pengembangan Pemasaran Usaha Warung Tenda Pecel Lele di Sepanjang Jalan Pajajaran Bogor

 IFE  EFE  SWOT

 Berdasarkan matriks IFE dan EFE, pososi usaha berada pada sel V dan strategi yang sesuai adalah hold and maintain. Strategi yang dapat diterapkan adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk

 Berdasarkan matriks SWOT diperoleh strategi yaitu meningkatkan kualitas produk, fasilitas pesan antar, promosi yang lebih baik lagi, hubungan yang baik dengan pemasok.

Elmi Sipta Jati (2005)

Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah Industri Kecil Keripik dan Sale Hasil Produk Olahan Pisang  Analisis Pendapatan  R/C Rasio  Analisis nilai tambah

 Pada pengolahan keripik R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1.22 dan R/C rasio atas biaya total sebesar 1.17 persen.

 Pada pengolahan sale R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1,3 dan R/C rasio atas biaya total sebesar 1,2 persen Yuliadini

(2000)

Analisis Pendapatan

dan Faktor

Kewirausahaan Pedagang Bakso Sapi Keliling di Kota Bogor Jawa Barat

 Analisis Pendapatan  Analisis

Regresi Linier Berganda

 Rata-rata pendapatan pedagang bakso sapi keliling di Kota Bogor sebesar Rp 5.648.580,79/tahun/pedagang  Faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku kewirausahaan pedagang bakso sapi keliling di Kota Bogor adalah pendidikan, pengalaman usaha, motivasi dan lokasi usaha berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku kewirausahaan dengan nilai F = 35,24 pada taraf signifikan 0,01.

Wahyudin (1993)

Pedagang Bakso di Salatiga: Studi Kasus Tentang Sebuah Usaha di Sektor Informal.

 Analisis Deskriptif

 sebagian besar pedagang bakso berasal dari daerah pedesaan di luar kota Salatiga.

 kegiatan sebelum menjadi pedagang bakso ialah sebagai penjual es potong, petani penggarap, menganggur dan bersekolah sambil rewang.

 Dalam proses menjadi pedagang bakso seseorang dapat dengan mudah, murah dan cepat memperoleh keterampilan usaha tanpa biaya pendidikan atau persyaratan lainnya yang menyusahkan calon pedagang.

(35)

35

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Karakteristik Individu

Karakteristik individu sangat berpengaruh terhadap kelompoknya. Karakteristik individu adalah sifat yang ditampilkan seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan di lingkungan dimana ia tinggal. Karakteristik individu juga merupakan sifat yang berupa pola pikir, pola sikap, dan pola tindak. Tunggal (2009) mendefenisikan karakteristik individu sebagai keseluruhan pola kelakuan dan kemampuan yang ada pada kehidupan sebagai hasil dari pembawaan dan lingkungan sosialnya, sehingga menentukan pola aktivitasnya dalam meraih apa yang telah menjadi tujuan dan cita-citanya. Tunggal (2009) mengemukakan bahwa karakteristik individu terdiri dari usia, jenis kelamin, status perkawinan dan kedudukan seseorang. Hijriyah (2004) mengemukakan bahwa karakteristik individu yang terpenting adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, asal daerah, jumlah tanggungan keluarga, dan lamanya usaha.

1) Usia

Menurut Zimmerer (2002) di Amerika Serikat pada umumnya seseorang memulai usaha antara usia 30-40 tahun. Namun tidak ada batasan usia dalam aspirasi kewirausahaan mereka. Hurlock (1991), diacu dalam Hijriyah (2004) berpendapat bahwa perkembangan karier berjalan seiring dengan proses perkembangan manusia, dan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok usia, yaitu usia dewasa awal, dewasa madya, dan dewasa akhir. Setiap kelompok usia memiliki ciri-ciri khas bila dikaitkan dengan perkembangan karier. Ciri khas perkembangan karier menurut Hurlock adalah sebagai berikut:

a) Usia dewasa awal (usia 18-40 tahun)

Masa dewasa awal sangat terkait dengan tugas dan perkembangan dalam hal membentuk keluarga dan pekerjaan. Ketika seorang masuk dalam usia dewasa awal, ia memiliki tugas pokok, yaitu memilih bidang usaha yang cocok dengan bakat, minat, dan faktor psikologis yang dimilikinya sehingga kesehatan mental dan fisiknya tetap terjaga. Pada masa dewasa awal seseorang akan mencoba-coba untuk berkarier.

(36)

b) Usia dewasa madya (usia 40-60 tahun)

Masa dewasa madya bercirikan keberhasilan dalam pekerjaan. Pada usia ini pada umumnya orang mencapai prestasi puncak, mereka memiliki pekerjaan yang lebih baik daripada pekerjaan yang mereka miliki pada waktu masih muda. Hal ini dikarenakan mereka sudah cukup mantap dengan pilihan pekerjaan dan sudah memiliki pengalaman yang cukup

c) Usia dewasa akhir (usia di atas 60 tahun)

Pada masa ini orang mulai mengurangi kegiatan kariernya atau berhenti sama sekali. Karena menurunnya kesehatan dan fisik, pada usia ini banyak orang mulai berhenti bekerja dan lebih banyak melakukan kegiatan-kegiatan sosial. 2) Tingkat Pendidikan

Menurut Staw (1991), diacu dalam Hijriah (2004) menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang menunjang keberhasilan usaha, dengan asumsi bahwa pendidikan yang lebih baik akan memberikan pengetahuan yang lebih baik dalam mengelola usaha. Pendidikan memiliki peranan penting saat pelaku usaha mencoba mengatasi masalah dan mengoreksi penyimpangan dalam praktik usaha. Meski pendidikan formal bukan syarat untuk memulai usaha baru, pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal memberi dasar yang baik apalagi bila pendidikan formal tersebut terkait dengan bidang usaha yang dikelola.

3) Pengalaman.

Menurut Staw (1991), diacu dalam Hijriyah (2004) berpendapat bahwa pengalaman dalam menjalankan usaha merupakan penentu terbaik bagi keberhasilan. Kebutuhan akan pengalaman mengelola usaha semakin dibutuhkan dengan meningkatnya kompleksitas lingkungan. Pengalaman dalam mengelola usaha member pengaruh pada keberhasilan usaha. Pengalaman bisa diperoleh bila seseorang terlibat secara langsung dalam kegiatan-kegiatan usaha.

3.1.2. Kegiatan Usaha Sektor Informal

Menurut Wahyudin (1993) mengemukakan ada tiga macam kegiatan pokok yang termasuk kedalam kegiatan usaha sektor informal, yaitu kegiatan produksi, konsumsi dan pertukaran atau distribusi. Kegiatan produksi adalah kegiatan untuk menimbulkan atau menaikkan nilai suatu barang dan jasa. Yang

(37)

melaksanakan produksi disebut produser. Dan kegiatan pertukaran atau distribusi adalah memindahkan barang dari pihak produser atau pembuat ketangan konsumen, atau sering disebut juga dengan kegiatan pemasaran. Yang melaksanakan kegiatan pertukaran atau distribusi disebut pedagang atau penjual. Untuk melakukan kegiatan tersebut seseorang mungkin hanya dapat melakukan kegiatan produksi saja, atau sebagai pedagang saja. Tetapi diantara mereka ada juga yang melakukan produksi dan penjualan sekaligus.

3.1.3. Analisis Usaha

Keberhasilan suatu usaha dapat dilihat dengan cara melakukan analisis pendapatan. Pendapatan usaha bakso merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya. Pendapatan usaha bakso dapat digambarkan sebagai balas jasa dari faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal dan jasa pengelolaan (manajemen). Besarnya keuntungan usaha bakso tergantung pada besarnya penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan.

Ada dua keterangan pokok yang diperlukan dalam analisis pendapatan usaha bakso, yaitu keadaan penerimaan dan pengeluaran dalam batasan waktu tertentu misalnya satu musim atau satu tahun. Keuntungan yang diperoleh dari usaha bakso dapat dilihat dari penerimaan dan pengeluaran dalam batas waktu tertentu. Penerimaan usaha bakso adalah hasil perkalian dari jumlah produksi total dengan harga satuan produk atau harga jual. Sedangkan pengeluaran atau biaya usaha bakso adalah nilai penggunaan sarana produksi, upah dan lain-lain yang dibebankan pada proses produksi yang bersangkutan.

Keuntungan adalah selisih antara hasil yang diterima dari penjualan dengan biaya sumberdaya yang telah dipergunakan, jika biaya lebih besar dari pendapatan maka keuntungan negatif atau mengalami kerugian. Konsep analisis keuntungan usaha bakso mengadopsi konsep analisis pendapatan usahatani. Pada usaha bakso, faktor produksi yang digunakan tidak berbeda dengan faktor produksi pada usahatani seperti faktor lahan, modal, tenaga kerja dan manajemen. Perbedaannya terletak pada bentuk fisik dari faktor lahan dalam usaha bakso yaitu tempat atau alat untuk berjualan (gerobak), sedangkan lahan pada usaha tani dapat berupa lahan tegalan sawah, kolam dan sebagainya. Perbedaan lainnya terletak pada waktu untuk usaha. Pada usahatani, waktu untuk berusaha berupa musiman

(38)

dan tahunan, sedangkan pada usaha bakso tidak ada waktu tertentu, tetapi dalam kasus ini peneliti menentukan batasan waktu analisis pendapatan dalam satu periode bulan.

3.1.4. Teori Biaya

Biaya dari perusahaan yang kegiatannya memproduksi barang adalah nilai

input yang akan digunakan untuk memproduksi outputnya. Sedangkan konsep

biaya adalah suatu pengorbanan yang dilakukan untuk memperoleh suatu barang ataupun jasa diukur dengan nilai uang, baik itu pengeluaran berupa uang, melalui tukar-menukar ataupun melalui pemberian jasa. Penggolongan biaya umumnya ditentukan atas dasar tujuan yang hendak dicapai dari penggolongan biaya.

Biaya produksi merupakan semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksi perusahaan tersebut. Apabila jumlah suatu faktor produksi yang digunakan selalu berubah-ubah, biaya produksi yang dikeluarkan juga berubah-ubah nilainya. Namun, apabila jumlah suatu faktor produksi yang digunakan adalah tetap, biaya produksi yang dikeluarkan untuk memperolehnya adalah berubah nilainya. Dengan demikian keseluruhan jumlah biaya produksi yang dikeluarkan produsen dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu biaya tetap dan biaya biya variabel.

Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah meskipun output berubah, jumlahnya tidak tergantung atas besar kecilnya kuantitas produksi yang dilaksanakan. Misalnya gaji tenaga kerja administrasi dan pemasaran, penyusutan peralatan, dan lain-lain. Biaya variabel adalah biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan perberubah-ubahan kuantitas produksi yang dihasilkan. Biaya variabel merupakan biaya yang berkaitan langsung dengan output yang bertambah besar dengan meningkatnya produksi dan berkurang dengan menurunnya produksi. Yang termasuk dalam biaya ini antara lain adalah biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan lain-lain. Perhitungan atas biaya secara umum yaitu:

TB = BT + BV

Keterangan:

(39)

BT = Biaya Tetap (Rp/bln) BV = Biaya Variabel (Rp/bln)

TR = P x Q

Keterangan:

TR = Penerimaan penjualan (Rp/bln) P = Harga per unit (Rp)

Q = Jumlah output yang dijual

Biaya penyusutan peralatan yang digunakan dalam usaha dihitung berdasarkan metode garis lurus (Stright Line Method) yaitu nilai pembelian dikurangi tafsiran nilai sisa dibagi dengan umur ekonomis. Rumus yang digunakan adalah:

Penyusutan = Nb - Ns N

Keterangan:

Nb = Nilai pembelian barang (Rp) Ns = Tafsiran nilai sisa (Rp) N = Umur ekonomis barang (Th)

Pendapatan selain diukur dengan nilai mutlak dapat pula diukur dengan nilai efisiennya. Salah satu alat yang digunakan untuk mengukur nilai efisiensi pendapatan tersebut yaitu penerimaan untuk setiap biaya yang dikeluarkan atau imbangan penerimaan dan biaya atau revenue and Cost Ratio (R/C ratio). Analisis imbangan penerimaan dan biaya digunakan untuk mengetahui tingkat keuntungan relatif dari kegiatan usaha bakso berdasarkan perhitungan finansial. Konsep penerimaan usaha dikemukakan oleh Hernanto dalam Syukron (2009), sebagai hasil perkalian antara hasil harga jual dengan output produksi. Konsep tersebut secara matematis sebagai berikut:

TRi = Yi x Pi

Keterangan:

Y = Produksi Usaha Py = Harga Y

Gambar

Tabel 1.  Perkembangan Jumlah Pelaku Usaha Menurut Skala Usaha Tahun 2006- 2006-2007 di Indonesia
Gambar 1.  Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian Pedagang Bakso di Kota  Bogor
Tabel 4.  Metode Analisis Data Berdasarkan Tujuan Penelitian
Tabel 6.   Sebaran  Responden Pedagang Bakso di Kota Bogor Berdasarkan  Umur  Pada  Tahun 2009.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bisnis syariah adalah bisnis yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan hadis dimana terdapat kesesuaian kegiatan bisnis dengan syariah Islam sebagai ibadah kepada Allah S.W.T untuk

Dalam penanganan kasus ini Bapepam bekerjasama dengan pihak kepolisian melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 2 (dua) orang direksi PT UBS. Kewajiban UBS itu

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi dengan responden adalah petani kakao. Untuk mengetahui gambaran fungsi produksi pada usahatani

Komunikasi organisasi adalah bentuk penyampaian informasi melalui pertukaran pikiran ataupun informasi di dalam suatu organisasi. Komunikasi dalam organisasi

Sumber daya manusia adalah faktor pendukung dan penghambat dalam kinerja organisasi. Tanpa adanya sumber daya manusia makan visi, misi dan tujuan organisasi tidak akan

Dalam peraturan pemerintah diatur biaya²biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksut dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu

Observasi dilakukan dalam penelitian ini mencakup observasi partisipasi dan non-partisipasi yang bersifat insidental. Penggunaan metode pengumpulan data ini

Berdasarkan pada latar belakang tersebut dan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara merek, promosi dan keputusan pembelian konsumen pada produk susu Bendera,