• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Metronidazol

2.1.1 Sifat fisika kimia metronidazol

Struktur kimia metronidazol dapat dilihat pada Gambar 2.1 dibawah ini:

N N NO2

OH

CH3

Gambar 2.1 Struktur kimia metronidazol

Rumus molekul metronidazol adalah C9H9N3O3 dengan nama kimia (1β-hidroksi-etil)-2-metil-5-nitromidazol, mempunyai berat molekul 171,16. Pemeriannya antara lain: Serbuk hablur; putih atau kuning gading; bau lemah; rasa pahit dan agak asin. Larut dalam 100 bagian air, dalam 200 bagian etanol (95%) P dan dalam 250 bagian klorofom P; sukar larut dalam eter P.(Ditjen POM, 1995).

2.1.2 Farmakologi

Metronidazol adalah antimikroba dengan aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri anaerob dan protozoa. Spektrum antiprotozoanya mencakup

Trikomonasi Gardnerella Vaginalis,Entamoeba Histolytica, dan Guardian Lamblia. Aktifitas antibakterinya sangat bermanfaat untuk sepsis pada kasus

bedah dan ginekologis terutama bacteroides fragilis. Mekanisme kerjanya yakni berinteraksi dengan DNA menyebabkan perubahan struktur helik DNA

(2)

dan putusnya rantai sehingga sintesa protein dihambat dan kematian sel. (Sukandar, dkk.,2008).

2.1.3 Farmakokinetik

Absorbsi metronidazol berlangsung dengan sangat baik sesudah pemberian oral. Metronidazole diserap dengan baik secara oral dengan eliminasi plasma dengan waktu paruh mulai 6-7 jam (Mourya, et al., 2010). Pada beberapa kasus terjadi kegagalan karena disebabkan oleh absorbsi yang buruk atau metabolisme yang terlalu cepat. Obat ini diekskresi dalam urin dalam bentuk asal dan bentuk metabolis hasil oksidasi dan glukoronidasi. Metronidazol juga diekskresi melalui air liur, air susu, cairan vagina dan lain-lain (Sukandar, dkk.,2008).

2.2 Alginat

Alginat merupakan karbohidrat, seperti gula dan selulosa dan merupakan polimer struktural pada ganggang laut sama seperti selulosa pada tanaman. Alginat adalah kopolimer anionik yang terdiri dari residu asam β-D-manuronat dan asam α-L-guluronat dalam ikatan 1,4. (Dornish and Dessen, 2004). Alginat komersial paling banyak diproduksi dari Laminaria hyperborea,

Macrocystis pyrifera, Laminaria digitata, Ascophyllum nodosum, Laminaria japonica, Eclonia maxima, Lessonia nigrescens, Durvillea antarctica, dan Sargassum sp (Draget, et al., 2005) .

Tabel 2.1 menunjukkan perbandingan asam uronat dalam berbagai sepsies alga yang ditentukan dengan spektroskopi NMR high-field.

(3)

Tabel 2.1 Perbandingan asam uronat dalam berbagai spesies alga

Nama Spesies

Perbandingan asam uronat (%) Asam Guluronat

(G)

Asam Manuronat (M)

Laminaria hyperborean (blade) 55 45

Macrocystis pyrifera 39 61

Laminaria digitata 41 59

Ascophyllum nodosum (old tissue) 36 64

Laminaria japonica 35 65

Eclonia maxima 45 55

Lessonia nigrescens 38 62

Durvillea Antarctica 29 71

Perbandingan yang bervariasi dari asam uronat menyebabkan perbedaan sifat produk yang dihasilkan. Alginat yang mengandung asam guluronat yang tinggi akan cenderung mempunyai struktur yang kaku (rigid) serta mempunyai porositas yang besar, sedangkan yang mengandung asam mannuronat yang tinggi mempunyai struktur yang tidak kaku atau lebih fleksibel (Draget, et al., 2005).

2.2.1 Struktur kimia alginat

Alginat merupakan sebuah kopolimer tak bercabang yang dibentuk dari 2 monomer, asam β-D-manuronat (M) dan epimer C-5nya asam α-L-guluronat (G), yang dihubungkan oleh ikatan 1 4 glikosida. Telah ditemukan bahwa alginat dibentuk dari monomer-monomer M dan G. Hal ini mengimplikasikan tiga tipe urutan blok yang dapat ditemukan dari molekul alginat yaitu homopolimerik blok M (M-M-M), homopolimerik blok G (G-G-G), dan heteropolimerik (G-M-G-M) yang ditunjukkan oleh Gambar 2.2.

(4)

Gambar 2.2 Struktur kimia alginat

Jumlah relatif dari dua monomer asam uronat dan pengaturan urutan dari kedua monomer tersebut sepanjang rantai polimer sangat bervariasi, tergantung pada jenis alginate (Dornish and Dessen, 2004).

2.2.2 Sifat alginat

Kelarutan alginat dalam air ditentukan dan dibatasi oleh tiga parameter berikut, antara lain:

- pH pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan adanya muatan elektrostatik pada residu asam uronat.

- Kekuatan ionik total zat terlarut juga memainkan peranan penting (efek

salting-out kation-kation non-gelling), dan

- Kandungan dari ion-ion pembentuk gel dalam pelarut membatasi kelarutan (Draget, et al., 2005).

(5)

Dasar dari sifat pembentuk gel alginat ialah karakteristik spesifik pengikatan ion. Eksperimen yang mencakup dialisis kesetimbangan alginat telah menunjukkan bahwa pengikatan selektif dari ion-ion logam alkali tanah tertentu (contoh. Pengikatan Ca2+ dengan alginat lebih kuat dan kooperatif dibanding dengan Mg2+) meningkat tajam dengan adanya peningkatan kandungan residu α-L-guluronat dalam rantai. Blok-blok poli-mannuronat dan blok-blok selang-seling hampir tanpa selektivitas (Draget, et al., 2005).

Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Natrium alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah Natrium alginat larut dengan lambat dalam air, membentuk larutan kental, tidak larut dalam etanol dan eter Salah satu sifat dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium tartrat dan kalsium sitrat. Pembentukan gel alginat dengan ion kalsium, disebabkan oleh adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion kalsium dan anion karboksilat pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai. Natrium alginat mempunyai rantai poliguluronat menunjukkan sifat pengikatan ion kalsium yang lebih besar (Morris, et al., 1980).

Untuk kepentingan farmasetik digunakan natrium alginat, dimana larutannya dalam air bereaksi netral sampai asam lemah. Sediaan alginat paling stabil pada daerah pH 6-7, pada pH 4,5 asam bebasnya akan mengendap. Pemanasan yang kuat dan lama, terutama >70oC dihindari, karena akan

(6)

mengalami kehilangan viskositas akibat terjadinya polimerisasi. Sediaan disimpan dingin dan dilindungi dari cahaya dalam wadah tertutup baik (Voight, 1995).

2.3 Kitosan

Kitin adalah polisakarida yang paling melimpah di alam, yang kedua setelah selulosa. Tulang punggung gulanya mengandung glukosamin ikatan β-1,4 dengan tingkatan N-asetilasi yang tinggi, strukturnya sangat mirip dengan selulosa, perbedaan satu-satunya ialah pemindahan beberapa hidroksil oleh gugus amino. Biopolimer polikationik ini merupakan komponen struktural rangka luar krustasea dan serangga, dan juga ada dalam beberapa fungi. Sumber utama kitin untuk industri adalah sampah kulit udang, lobster, dan kepiting, yang mana sampah-sampah tersebut mengandung senyawa organik sebanyak 70% (Felt, et al., 1998).

Turunan kitin dinamakan kitosan, yang biasanya dihasilkan oleh deasetilasi alkali, kedua polimer dibedakan oleh ketidaklarutan atau kelarutan dalam larutan cairan asam encer. Dikarenakan kitosan memiliki sifat biologi yang disukai seperti tidak toksik, biokompatibilitas dan biodegradabilitas, sehingga kitosan menarik perhatian yang besar dalam bidang farmasetikal dan biomedis. Secara biomedis, kitosan dilaporkan memilliki sifat-sifat farmakologi seperti aksi hipokolesterolemik, antasida dan aktivitas antiulkus. Sebagai tambahan, karakter polikationik memberikan kitosan kemampuan untuk mengikat dengan kuat beberapa sel-sel mamalia, yang mengarah kepada

(7)

banyaknya kegunaan, termasuk kegunaan hemostatik dan spermisidal (Felt, et

al., 1998).

2.3.1 Struktur kimia kitosan

Kitosan merupakan biopolimer yang linear, tidak bercabang, polimer yang dibangun dari monomer-monomer glukosamin dan N-asetilglukosamin yang terikat pada pola β-(14). Hasil deasetilasi kitin terdapat sebagai distribusi acak unit-unit glukosamin sepanjang rantai polimer.

Struktur kimia dari kitin dan kitosan ditunjukkan seperti pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Struktur kimia kitin dan kitosan 2.3.2 Sifat kitosan

Dalam larutan, garam kitosan membawa muatan positif melalui protonisasi gugus amino bebas pada glukosamin. Kationik alam kitosan memberi polimer ini sifat bioadhesif. Sebagai tambahan untuk mempengaruhi sifat bioadhesif kitosan, tingkat deasetilasi juga mempengaruhi kelarutan. Sebagai contoh, kitosan dengan deasetilasi 95% akan larut sempurna pada pH 5

(8)

tetapi tidak larut sama sekali pada pH 6,5. Kitosan dengan tingkatan deasetilasi yang rendah, sebagai contoh 63% akan mudah larut pada pH 7, sedang kitosan dengan deasetilasi 40% akan tetap tinggal pada pH 7 (Dornish and Dessen, 2004).

Salah satu sifat kitosan yang penting untuk aplikasi penyampaian obat (contoh penyampaian obat nasal) adalah kemampuannya untuk menginduksi pembukaan jaringan ikat sementara pada lapisan epithelial. Hal ini telah ditunjukkan untuk bergantung pada bobot molekul dan tingkat deasetilasi (Dornish and Dessen, 2004).

2.4 Kalsium Alginat-Kitosan

Alginat merupakan poliasam natural dan memiliki sifat yang unik dalam pembentukan gel dengan adanya kation multivalent seperti ion-ion kalsium dalam medium cair. Hal ini tampak melalui pengikatan ion-ion kalsium dalam rongga residu-residu asam guluronat, membentuk mikrokapsul polianion. Penambahan polikation seperti kitosan dengan karakteristik polikation yang unik, menuntun kepada interaksi kuat dengan alginat yang bermuatan negatif (Farahani, et al., 2006).

Ketika butiran kalsium-alginat ditambahkan ke dalam larutan kitosan, interaksi elektrostatik gugus karboksilat dari alginat dengan gugus amin dari kitosan menghasilkan pembentukan sebuah membran. Proses ini telah banyak digunakan dalam pembuatan membran alginat-kitosan dengan inti gel kalsium-alginat yang padat. Ada banyak keuntungan penyalutan dengan kitosan, seperti

(9)

peningkatan jumlah muatan obat dan sifat bioadesif, juga sifat pelepasan obat yang diperlama (Farahani, et al., 2006).

2.5 Matriks

Matriks dapat digambarkan sebagai zat pembawa padat inert yang di dalamnya obat tercampur secara merata. Suatu matriks dapat dibentuk secara sederhana dengan mengempa atau menyatukan obat dengan bahan matriks bersama-sama. Umumnya, obat ada dalam persen yang lebih kecil agar matriks memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap air dan obat berdifusi keluar secara lambat. Sebagian besar bahan matriks tidak larut dalam air meskipun ada beberapa bahan yang dapat mengembang secara lambat dalam air. Jenis matriks dari pelepasan obat dapat dibentuk menjadi suatu tablet atau butir-butir kecil bergantung pada komposisi formula (Shargel, dkk., 1999).

Lachman, dkk. (1994), menyatakan matriks digolongkan menjadi tiga jenis yaitu:

a. Matriks tidak larut, inert

Polimer inert yang tidak larut seperti polietilen, polivinil klorida dan kopolimer akrilat, etil selulosa dirancang untuk tidak pecah dalam saluran cerna. Bentuk tablet dengan matriks ini tidak dapat digunakan untuk formulasi bahan aktif dalam miligram yang tinggi, dan obat yang sukar larut dalam air dimana disolusi dalam matriks sebagai pembatas laju disolusinya.

b. Matriks tidak larut, dapat terkikis

Matriks jenis ini mengontrol pelepasan melalui difusi pori dan erosi. Oleh karena itu karakteristik penglepasan lebih peka terhadap komposisi cairan

(10)

pencernaan dibandingkan dengan matriks polimer yang tidak larut secara keseluruhan. Pelepasan obat total dari matriks ini tidak mungkin terjadi, karena fraksi tertentu dari dosis tersebut disalut dengan lapisan tipis yang tidak permeabel. Penglepasan obat dari jenis matriks ini dikontrol lebih efektif dengan penambahan surfaktan atau zat pengikat dalam bentuk polimer-polimer hidrofilik, yang mendorong penetrasi air dan erosi matriks yang berurutan. Bahan-bahan yang termasuk dalam golongan ini adalah asam stearat, stearil alkohol, malam carnauba dan polietilen glikol.

c. Matriks hidrofilik

Penglepasan obat dikontrol oleh penetrasi air melalui suatu lapisan gel, yang dihasilkan dari hidrasi polimer dan difusi obat melalui matriks terhidrasi yang mengalami pengembangan, disamping erosi dari lapisan gel. Besarnya erosi dan difusi yang mengontrol penglepasan tergantung pada polimer yang dipilih untuk formulasi, dan juga pada perbandingan obat:polimer. Matriks jenis ini diantaranya adalah metal selulosa, Hidroksietil selulosa, Hidroksipropil metilselulosa, Natrium karboksimetilselulosa, Natrium alginat, Xanthan gum dan karbopol,

Sebuah sistem matriks memiliki kandungan aktif dan tidak aktif yang dicampur secara homogen dalam bentuk dosis. Hal tersebut yang jarang dari yang paling umum digunakan dalam teknologi oral controlled release, dan popularitas dari sistem matriks dapat dikaitkan kepada beberapa faktor. Pertama, tidak seperti sistem reservoir dan osmotic, produk-produk dengan dasar rancangan matriks dapat dibuat menggunakan proses dan peralatan

(11)

konvensional. Kedua, waktu perkembangan dan biaya yang bersesuaian dengan sistem matriks umumnya kelihatan seperti yang diharapkan, dan tidak ada tambahan modal investasi yang diharuskan. Terakhir, sistem matriks mampu mengakomodasi baik kandungan obat berdosis rendah maupun yang tinggi dan mampu mengakomodasi kandungan aktif dengan kisaran sifat-sifat fisik dan kimia yang cukup luas.

Sebagaimana dengan teknologi yang lain, sistem matriks juga memiliki keterbatasan tertentu. Pertama, sistem matriks memiliki sifat yang kurang fleksibel dalam penambahan tingkat dosis konstan yang mengalami perubahan, seperti yang disyaratkan oleh studi klinis ke depan. Saat kekuatan dosis baru dipandang perlu, lebih sering terjadi dan bukanlah formulasi baru sehingga dengan demikian diharapkan sumber daya tambahan. Lebih lanjut, untuk beberapa produk yang membutuhkan profil pelepasan yang unik (misalnya pelepasan ganda dua atau pelepasan tertunda tambah pelepasan diperpanjang), teknologi bahan berdasar matriks yang lebih kompleks seperti tablet selaput (misal Alegra D) akan dibutuhkan kemudian.

2.5.1 Pengembangan matriks

Sifat pengembangan matriks polimerik dapat berpengaruh terhadap kinetika pelepasan obat dan sifat dosis muatan, juga perubahan sediaan dan kegunaan dari sistem pelepasan. Untuk polimer-polimer netral, jumlah pelarut yang dapat diabsorbsi bergantung kepada afinitas pelarut kimia untuk polimer dan sifat elastik jaringan polimer yang telah mengembang, yang mana sebaliknya, sangat bergantung kepada jumlah ikatan-ikatan intermolekular,

(12)

yaitu densitas ikatan silang. Pada kasus polimer dengan muatan, kesetimbangan pengembangan matriks polimerik lebih rumit sebagaimana hal tersebut sangat bergantung juga pada kekuatan ionik. (Grassi and Grassi, 2005).

2.5.2 Pelepasan obat dari matriks

Kinetika pelepasan obat dapat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti pengembangan polimer, erosi polimer, kelarutan obat atau karakteristik difusi, distribusi obat dalam matriks, perbandingan obat:polimer dan sistem geometri dari matriks (silinder maupun bulat). Selama mengalami sentuhan dengan cairan yang dilepaskan (air atau media fisiologis), polimer matriks mengembang dan pelarutan obat dapat terjadi. Seketika setelah konsentrasi pelarut di sekitarnya melebihi ambang batas, ikatan polimerik terlepas sehingga terjadi perubahan polimer dari seperti kaca atau karet menjadi kelihatan seperti lapisan gel. Perubahan ini mengimplikasikan perubahan molekular rantai-rantai polimerik yang cenderung mencapai kondisi kesetimbangan yang baru sedangkan yang lama pecah oleh adanya pelarut yang datang. Perubahan dari bentuk seperti kaca ke bentuk seperti karet menghasilkan peningkatan yang besar terhadap mobilitas rantai-rantai polimer, sehingga lubang-lubang jaring bertambah besar dan obat tersebut dapat larut dan berdifusi melalui lapisan gel. Secara singkat pelepasan obat dari sistem matriks dapat diamati dari tiga bidang utama yang muncul selama proses penglepasan yaitu bidang yang terkikis, bidang yang mengembang dan bidang yang mengalami difusi (Grassi and Grassi, 2005).

(13)

Higuchi mengusulkan suatu persamaan untuk menggambarkan kecepatan pelepasan obat yang terdispersi dalam suatu matriks yang padat dan inert.

Keterangan :

M = Jumlah obat yang dilepaskan dari matriks ε = Porositas matriks.

τ = Tortuositas matriks.

Ca = Kelarutan obat dalam medium pelepasan. Ds = Koefisiensi difusi dalam medium pelepasan. Co = Jumlah total persen obat per unit dalam matriks. Persamaan diatas dapat ditulis menjadi sangat sederhana, yaitu:

Dengan k adalah konstanta. Jika suatu plot dibuat antar M (jumlah total obat yangdilepaskan) versus akar waktu (t1/2) maka hubungan yang linier akan diperoleh (Grassi and Grassi, 2005).

2.6 Disolusi

Disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju bioabsorbsi obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini seringkali merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai tahapan yang ada dalam pelepasan obat dari bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik (Martin, dkk., 2008).

(14)

Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu: a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:

i. Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat.

ii. Efek ukuran partikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi meningkat.

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi:

i. Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah, sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.

ii. Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan menambah laju disolusi.

c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi :

i. Tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan mempunyai pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat

(15)

meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang sukar larut dengan penambahan surfaktan kedalam medium disolusi.

ii. Viskositas medium. Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju disolusi bahan obat.

iii. pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu mempercepat laju disolusi (Gennaro, 2000).

United States Pharmacopeia (USP) XXI memberi beberapa metode

resmi untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu: a. Metode Keranjang (Basket )

Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi.

b. Metode Dayung (Paddle)

Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan

(16)

yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada 37oC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan.

c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi

Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP ”basket and rack” dirakit untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk pelarutan maka cakram dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat. 2.7 Sistem Penghantaran Obat Pelepasan Terkontrol (Gennaro, 2000)

Istilah pelepasan terkontrol menunjukkan bahwa pelepasan obat dari bentuk dari bentuk sediaan terjadi sesuai yang direncanakan, dapat diramalkan dan lebih lambat dari biasanya. Lebih tepatnya, pelepasan terkendali dapat didefinisikan sebagai:

1. Pelepasan berkesinambungan (sustained drug action) pada laju yang telah ditetapkan dengan mempertahankan tingkat obat yang efektif

(17)

relatif konstan dalam tubuh dengan meminimalkan efek samping yang tidak diinginkan

2. Aksi obat terlokalisir (localized drug action) pada tempat kerja tertentu berdekatan atau dalam jaringan yang sakit atau organ.

3. Kerja obat bertarget (targeted drug action) dengan menggunakan pembawa atau turunan kimia untuk memberikan obat pada target jenis sel tertentu.

4. Menyediakan suatu sistem obat yang pelepasannya terkendali secara fisiologi maupun terapeutik.

Tujuan ideal dalam perancangan sistem pelepasan terkendali adalah untuk memberikan obat pada tempat yang diinginkan pada tingkat yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Semua produk pelepasan terkendali bertujuan untuk meningkatkan terapi obat pada pasien. Kepatuhan pasien telah diakui sebagai komponen penting dalam keberhasilan terapi semua obat yang diberikan. Meminimalkan atau menghilangkan masalah kepatuhan pasien adalah keuntungan nyata dari terapi pelepasan terkendali. Karena sifat alamiah dari pelepasan kinetika, sistem pelepasan terkendali harus dapat menggunakan jumlah obat yang lebih sedikit selama waktu terapi dari sediaan konvensional. Keuntungan dari hal ini adalah penurunan atau penghapusan efek samping baik lokal maupun sistemik, mengurangi potensiasi atau pengurangan aktivitas obat dengan penggunaan kronis dan meminimalkan akumulasi drug dalam jaringan tubuh dengan dosis kronis.

(18)

Alasan yang paling penting untuk terapi obat pelepasan terkendali untuk meningkatkan efisiensi dalam pengobatan, terapi dioptimalkan. Hasil dari perolehan kadar obat dalam darah yang konstan dari sistem pelepasan terkontrol adalah untuk segera mencapai efek yang diinginkan dan mempertahankannya untuk jangka waktu yang diperpanjang. Selain itu, metode pelepasan terkendali dapat meningkatkan bioavailabilitas beberapa obat. Misalnya, obat rentan terhadap inaktivasi enzimatik atau bakteri pengurai dapat dilindungi dengan sistem polimer enkapsulasi yang cocok untuk pelepasan terkendali. Untuk obat yang memiliki jendela khusus untuk penyerapan, peningkatan bioavailabilitas dapat dicapai dengan lokalisasi sistem pengiriman pelepasan terkendali di daerah tertentu dari saluran pencernaan.

Gambar

Gambar 2.2 Struktur kimia alginat
Gambar 2.3 Struktur kimia kitin dan kitosan  2.3.2 Sifat kitosan
Gambar 2.4  Disolusi obat dari suatu padatan matriks (Martin, dkk., 2008 )

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat faktor keterbatasan masyarakat pada umumnya dan masyarakat adat Pakpak perbuatan hukum jual beli tanah adat seringkali dilakukan tanpa menggunakan akta otentik di

Faktor koreksi persamaan diperoleh dari data pengukuran konsentrasi sedimen suspensi (data pengukuran laboratorium dan lapangan) yang digunakan dalam penelitian ini,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsumsi, pertambahan berat badan harian, konversi dan efisiensi pakan sapi Bali jantan muda yang diberi pakan lamtoro

Sesuai tujuan Raker yaitu perluasan, mungkin kita bisa melakukan perbaikan kebijakan karena sektor kehutanan harus diberikan waktu untuk menuai hasilnya sedangkan KUR maksimal

Croup adalah istilah umum yang meliputi kelompok heterogen keadaan- keadaan yang relatif akut (kebanyakan infeksi) yang ditandai dengan batuk keras dan kasar yang khas atau

Fokus Masalah maka penulis membatasi masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : Usaha Guru pendidikan agama Islam dan Kepala Sekolah dalam membina nilai-nilai

Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa ligan asli memiliki interaksi ikatan yang lebih stabil dengan protein 3PGH dibandingkan beberapa ligan uji, dan senyawa marker lada

ADLN Perpustakaan Universitas