ISBN : 978-979-548-032-7
Bunga rampai
NILAM
(
Pogostemon cablin
Benth)
STATUS TEKNOLOGI HASIL PENELITIAN NILAM
PENYUNTING Supriadi, Prof. Dr. Molide Rizal, Dr. Dono Wahyuno, Dr. EDITOR Miftahudin Efiana
BALAI PENELITIAN TANAMAN OBAT DAN AROMATIK PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
KATA PENGANTAR
Sebagai tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, penghasil devisa dan dibudidayakan oleh petani dalam hamparan yang luas dibanding tanaman penghasil minyak atsiri lainnya. Balittro yang mempunyai tugas dan fungsi pokok untuk melakukan penelitian tanaman obat dan aromatik menempatkan nilam (Pogostemon cablin Benth) sebagai tanaman utama dalam fokus penelitian yang dilakukan. Penelitian mengenai nilam dari berbagai aspek budidaya maupun pasca panen telah dilakukan oleh Balittro sejak awal 1990-an. Sebagai usaha untuk merangkum kegiatan dan informasi terkait teknologi mengenai nilam yang telah diperoleh hingga saat itu, Balittro menerbitkan buku monograf nilam pada tahun 1998 .
Seiring dengan pemanfaatan minyak atsiri yang semakin luas, permintaan akan minyak nilam cenderung meningkat. Penelitian mengenai nilam telah dilakukan secara intensif pada beberapa tahun terakhir, meliputi aspek yang cukup luas dari sisi botani, budidaya, jenis-jenis organisme pengganggu tanaman hingga teknologi yang berkaitan dengan pasca panen.
Buku yang disusun berupa bunga rampai tentang nilam ini merupakan kumpulan dari berbagai kegiatan penelitian yang telah dilakukan akhir-akhir ini dan diharapkan dapat memberi informasi terbaru terkait dengan budidaya dan pasca panen nilam. Buku yang tidak untuk dikomersialkan ini diharapkan dapat memberi manfaat pada semua pihak yang terkait dengan pengembangan nilam di Indonesia.
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Kepala,
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ……… i DAFTAR ISI ……… iii 1 KARAKTERISTIK TANAMAN NILAM DI INDONESIA
(Amalia) ……….. 1 2 PROSEDUR PERBANYAKAN NILAM SECARA
KONVENSIONAL (Sukarman dan Melati) ……..…………..….. 9 3 BUDIDAYA NILAM ORGANIK (M. Djazuli) ……… 17 4 POLA TANAM NILAM (Rosihan) ……… 27 5 GULMA DAN PENGENDALIANNYA PADA BUDIDAYA
TANAMAN NILAM (A.S. Tjokrowardojo dan E. Djauhariya) 40 6 HAMA NILAM DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA
(T.L. Mardiningsih, Rohimatun dan M. Rizal) ………... 50 7 PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN NILAM DAN
USAHA PENGENDALIANNYA (D. Wahyuno, S.Y. Hartati,
S.R. Djiwanti, R. Noveriza dan Sukamto) ………...
66
8 PASCA PANEN NILAM (Ma’mun) ……... 112 9 PENGGUNAAN MINYAK NILAM DAN PEMANFAATAN
LIMBAHNYA (S. Suhirman) …………...
132 10 KELAYAKAN USAHATANI DAN AGROINDUSTRI
NILAM (Ermiati dan C. Indrawanto) ………
135
KARAKTERISTIK TANAMAN NILAM DI INDONESIA Amalia
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111
I. PENDAHULUAN
Nilam (Pogostemon cablin Benth) atau dilem wangi (Jawa), merupakan tanaman yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat luas. Tanaman nilam banyak ditanam untuk diambil minyaknya. Minyak nilam banyak dibutuhkan untuk industri kosmetik, parfum, antiseptik, dan lain-lain.
Tanaman yang merupakan salah satu komoditas yang cukup penting sebagai sumber devisa dan pendapatan petani. Areal pertanaman nilam di Indonesia rata-rata 10.000-12.000 ha dan sampai saat ini telah mencapai 21.440 ha yang tersebar di daerah-daerah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dengan rata-rata kepemilikan lahan 0,3 ha/keluarga dan melibatkan paling tidak 30.000-72.545 keluarga untuk usahatani nilam dan petani penyuling. Masalah utama yang dihadapi adalah rendahnya produktivitas dan mutu minyak. Berdasarkan data Ditjenbun tahun 2009 (199 kg/ha/tahun) bahwa rendahnya produktivitas dan mutu minyak nilam disebabkan oleh serangan penyakit tanaman, terutama layu bakteri dan budok yang dapat menurunkan kadar produksi 60-95% pertanaman nilam (Asman et al. 1993).
Minyak nilam termasuk salah satu dari minyak atsiri atau minyak eteris/minyak terbang (essential oil, volatile) karena sifatnya yang mudah menguap pada suhu kamar. Minyak nilam berbau wangi dan pada umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air. Secara fisiologis, minyak pada tanaman penghasil minyak atsiri berfungsi : (1) membantu proses penyerbukan atau sebagai atraktan terhadap beberapa jenis serangga atau hewan, (2) mencegah kerusakan tanaman oleh serangga, dan (3) sebagai makanan cadangan bagi tanaman. Minyak atsiri sendiri
merupakan salah satu hasil proses metabolisme pada tanaman yang terbentuk karena reaksi berbagai persenyawaan kimia dengan adanya air.
Tanaman penghasil minyak atsiri diperkirakan berjumlah 150-200 species, antara lain yang termasuk dalam famili Pinanceae, Labiate, Compositoe, Lauraceae, Myrtaceae, dan Umbelliferaceae. Minyak atsiri dapat ditemukan pada daun, bunga, buah, biji, batang, kulit, dan akar. Untuk tanaman nilam, minyak atsirinya banyak tersimpan di dalam sel-sel kelenjar minyak pada daun.
II. JENIS TANAMAN NILAM
Nilam (Pogostemon sp.) termasuk famili Labaiatae, ordo Lamiales, klas Angiospermae dan divisi Spermatophyta. Di Indonesia terdapat tiga jenis nilam yang dapat dibedakan menurut karakter morfologinya, kandungan PA dan kualitas minyak serta ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Ketiga jenis nilam tersebut adalah 1). P cablin Benth. Syn. P. pathcouli Pellet var. Suavis Hook disebut nilam aceh, 2). P. heyneanus Benth disebut nilam jawa, dan 3). P. hortenis Becker disebut nilam sabun (Guenther 1952). Diantara ketiga jenis nilam tersebut, nilam Aceh dan nilam sabun yang tidak berbunga. Adapun yang paling luas daerah penyebarannya dan banyak dibudidayakan adalah nilam aceh yang memiliki kadar minyak dan kualitas minyak lebih tinggi dibandingkan dengan kedua jenis nilam lainnya. Ciri spesifik yang dapat membedakan antara nilam aceh dan nilam jawa secara visual terdapat pada daunnya. Pada nilam aceh permukaan daunnya halus, bergerigi tumpul, ujung daunnya runcing sedangkan pada nilam jawa permukaan daunnya kasar, tepi daun bergerigi runcing dan ujung daunnya meruncing. Menurut Nuryani et al. (1997), nilam jawa lebih toleran terhadap nematoda dan penyakit layu bakteri dibanding dengan nilam aceh, karena antara lain disebabkan kandungan fenol dan ligninnya yang lebih tinggi daripada nilam aceh.
2.1. Pogostemon cablin
Nilam aceh merupakan tanaman introduksi diperkirakan berasal dari Filipina atau semenanjung Malaysia, dan masuk ke Indonesia lebih dari seabad yang lalu. Nama lainnya Pogostemon cablin adalah Pogostemon metha. Nilam jenis ini jarang berbunga. Nilam aceh mengandung sekitar 2,5-5 % minyak, sehingga banyak diminati oleh petani maupun pasar. Tiga varietas nilam unggul yang sudah dilepas dengan kadar dan mutu minyak tinggi, yaitu Lhokseumawe, Tapak Tuan, dan Sidikalang (Nuryani 2006). Hasil pengujian seleksi ketahanan nilam terhadap layu bakteri (Ralstonia solanacearum) menunjukkan bahwa varietas Sidikalang lebih toleran terhadap layu bakteri dibanding Lhokseumawe dan Tapak Tuan (Nasrun et al. 2004). Varietas Sidikalang juga lebih toleran terhadap nematoda (Mustika dan Nuryani 2006). Namun, ketiga varietas nilam itu tidak tahan terhadap penyakit budok (Wahyuno dan Sukamto 2010).
2.2. Pogostemon heyneanus
Sering juga dinamakan nilam jawa atau nilam hutan berasal dari India, disebut juga nilam kembang karena dapat berkembang. Kandungan minyaknya lebih rendah 2-3 kali lipat dari nilam aceh, yaitu berkisar antara 0,5-1,5%. Oleh karena itu, nilam jenis ini kurang diminati oleh petani meskipun bentuk tanamannya lebih besar dan rimbun dibanding nilam aceh. Namun, nilam jawa (Girilaya) lebih tahan terhadap penyakit layu bakteri dan nematoda dibanding nilam aceh. Wahyuno dan Sukamto (2010) juga melaporkan bahwa nilam jawa tahan terhadap penyakit budok yang disebabkan oleh jamur Synchytrium pogostemonis.
2.3. Pogostemon hortensis
Nilam jenis ini disebut juga sebagai nilam sabun. Jenis ini hanya terdapat di Banten. Kandungan minyaknya juga rendah, berkisar antara 0,5-1,5%. Mutu minyaknya juga kurang baik sehingga kurang diminati oleh pasar.
III. VARIETAS UNGGUL, AGROEKOLOGI DAN KERAGAMAN NILAM 3.1. Varietas unggul.
Balittro telah mengoleksi 28 nomor nilam. Hasil seleksi terhadap nomor-nomor tersebut telah dilepas tiga varietas unggul nilam yaitu: Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang. Penamaan ketiga varietas nilam tersebut berdasarkan nama daerah asalnya. Ketiga varietas mempunyai keunggulan masing-masing. Tapak Tuan unggul dalam produksi dan kadar patchouli alkohol. Lhokseumawe kadar minyaknya tinggi sedangkan Sidikalang toleran terhadap penyakit layu bakteri dan nematoda.
Tabel 1. Diskripsi tiga varietas nilam
Varietas Tapak Tuan Lhokseumawe Sidikalang
Asal Tapak Tuan (NAD) Lhokseumawe (NAD) Sidikalang (Sumut) Tinggi tan. (cm) 50,57-82,28 61,07-65,97 70,70-75,69 Warna batang muda Ungu Ungu Ungu
Warna batang tua Hijau keunguan Ungu kehijauan Ungu kehijauan Bentuk batang Persegi Persegi Persegi Percabangan Lateral Lateral Lateral Jumlah cab. primer 7,30-24,48 7,00-19,76 8,00-15,64 Jumlah cab. sekunder 18,80-25,70 11,42-25,72 17,37-20,70 Cabang primer (cm) 46,24-65,98 38,40-63,12 43,01-61,69 Cabang sekunder (cm) 19,80-45,31 18,96-35,06 25,80-34,15 Bentuk daun Delta, bulat telur Delta, bulat telur Delta, bulat telur Pertulangan daun Menyirip Menyirip Menyirip Warna daun Hijau Hijau Hijau keunguan Panjang daun (cm) 6,47-7,52 6,23-6,75 6,30-6,45 Lebar daun (cm) 5,22-6,39 5,16-6,36 4,88-6,26 Tebal daun (mm) 0,31-0,78 0,31-0,81 0,30-4,25 Tangkai daun (cm) 2,67-4,13 2,66-4,28 2,71-3,34 Jumlah daun/cabang primer 35,37-157,84 48,05-118,62 58,07-130,43 Ujung daun Runcing Runcing Runcing Pangkal daun Rata, membulat Datar, membulat Rata, membulat Tepi daun Bergerigi ganda Bergerigi ganda Bergerigi ganda Bulu daun Banyak, lembut Banyak, lembut Banyak, lembut Terna segar (ton/ha) 41,51-103,05 42,59-64,67 31,19-80,37 Minyak (kg/ha) 234,89-583,26 273,49-415,05 176,47-464,42 Kadar minyak (%) 2,07-3,87 2,00-4,14 2,23-4,23 Patchouli alkohol (%) 28,69-35,90 29,11-34,46 30,21-35,20 Ketahanan
Meloidogyne incognita Sangat rentan Rentan Agak rentan Pratylenchus bracyurus Sangat rentan Agak rentan Agak rentan Radhopolus similis Rentan Rentan Agak rentan Ralstonia
solanacearum Rentan Rentan Toleran Peneliti Y. Nuryani, Hobir, C. Syukur dan I. Mustika
Tanaman nilam merupakan jenis tanaman berakar serabut, bentuk daun bervariasi dari bulat hingga lonjong dan batangnya berkayu dengan diameter berkisar antara 10-20 mm. Sistem percabangan banyak dan bertingkat mengelilingi batang antara (3-5 cabang per tingkat). Setelah tanaman berumur 6 bulan, tingginya dapat mencapai 1 meter dengan radius cabang selebar lebih kurang 60 cm. Karakteristik kualitatif yang dapat membedakan ketiga varietas nilam aceh adalah warna pangkal batang. Varietas Tapak Tuan, warna pangkal batangnya hijau dengan sedikit ungu, varietas Lhokseumawe lebih ungu dan varietas Sidikalang paling ungu.
Sebagai tanaman yang diambil minyak atsirinya, produksi, kadar dan mutu minyak nilam yang dihasilkan merupakan faktor penting yang dapat dipergunakan untuk menentukan keunggulan suatu varietas. Disamping itu, karakter lainnya seperti sifat ketahanan terhadap penyakit juga merupakan salah satu indikator penentu. Banyak faktor yang mempengaruhi kadar dan mutu minyak nilam, antara lain, genetik (jenis), budidaya, lingkungan, panen dan pasca panen.
3.2. Agroekologi
Tanaman nilam termasuk tanaman yang mudah tumbuh seperti herba lainnya. Untuk memperoleh produksi dan mutu yang tinggi, maka dalam budidaya nilam perlu memperhatikan beberapa hal agar usahatani yang dilakukan dapat menghasilkan produk dan mutu minyak nilam yang optimal. Tanaman nilam dapat tumbuh di dataran rendah hingga di dataran tinggi yang mempunyai ketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut. Ketinggian optimal agar nilam dapat berproduksi tinggi ada pada ketinggian tempat 10-400 meter di atas permukaan laut. Curah hujan yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman nilam berkisar antara 2.500-3.500 mm/tahun dan merata sepanjang tahun. Suhu udara yang optimal untuk tanaman nilam berkisar antara 240-28 0C dengan kelembaban udara lebih dari 75%.
Meskipun tanaman nilam tetap dapat tumbuh di bawah naungan, tetapi tanaman nilam memerlukan sinar matahari yang cukup agar tumbuh
optimal. Penggunaan lahan dan iklim sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan kualitas minyak nilam yang dihasilkan. Nilam yang tumbuh di dataran rendah-sedang (0-700 m dpl) dengan kadar minyak yang (>2%) lebih tinggi dibanding dengan yang tumbuh di dataran tinggi (>700 m dpl) (Rosman et al. 1998). Intensitas matahari 75-100% akan sangat mempengaruhi kadar Patchouli Alkoholnya, di daerah yang ternaungi akan menghasilkan kadar minyak yang rendah. Nilam sangat peka terhadap kekeringan, terutama pada musim kemarau yang sangat panjang, setelah dipanen akan menyebabkan kematian.
Tanah yang subur dan gembur serta kaya akan humus sangat diperlukan oleh tanaman nilam. Pada tanah yang kandungan airnya tinggi, perlu dilakukan sistem drainase yang baik dan intensif.
3.3. Keragaman
Tanaman nilam yang memiliki keragaman genetik yang relatif rendah merupakan kendala yang dihadapi oleh pemulia selama ini. Untuk mengatasi tanaman nilam yang memiliki keragaman genetik yang relatif rendah, maka sejak tahun 1985 telah dilakukan berbagai penelitian untuk mendapatkan varietas nilam yang mempunyai kadar dan kualitas minyak yang tinggi disamping tahan terhadap penyakit dan selanjutnya dikonservasi untuk dipelajari lebih lanjut (Hobir 2002). Wu et al. (2011) mendapatkan adanya polimorfisme dalam analisa RAPD, serta tingginya variasi morfologi dan kimia pada populasi nilam di China, dan mereka menduga variasi tersebut sangat terkait dengan daya adaptasi yang baik dari masing-masing populasi nilam terhadap kondisi agroekologi setempat.
Dalam meningkatkan keragaman, arah karakteristik yang ingin dicapai diusahakan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi, misalnya, pengembangan varietas nilam yang tahan layu bakteri merupakan salah satu upaya yang efektif untuk mengatasi penyakit layu bakteri. Untuk mendapatkan varietas yang toleran dan tahan penyakit layu bakteri perlu
dilakukan berbagai pendekatan untuk meningkatkan keragaman genetik, antara lain dengan cara irradiasi yang memanfaatkan varietas somaklonal.
Induksi variasi somaklonal pada kultur jaringan dapat digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik dan memperbaiki sifat tanaman. Variasi somaklonal dapat terjadi dengan penambahan zat pengatur tumbuh dan sitokinin, perubahan komposisi media dan periode pengkulturan yang panjang. Di samping itu keragaman genetik juga dapat ditingkatkan melalui induksi mutasi pada jaringan somatik secara fisik dengan irradiasi sinar gama (Handro 1981). Peristiwa mutasi secara umum dapat dibedakan menjadi 2 yaitu mutasi alam dan mutasi buatan. Mutasi buatan yang di gunakan sebagai salah satu cara menimbulkan keragaman genetik adalah salah satu cara cabang dari ilmu pemuliaan tanaman. Mutasi buatan dapat terjadi bila digunakan mutagen dengan dosis dan waktu tertentu, salah satu mutagen fisik yang sering dipakai untuk menimbulkan keragaman genetik yaitu dengan radiasi sinar gamma. Hal ini dimengerti mengingat bahwa pengaruh radiasi dapat menimbulkan perubahan struktur gen, stuktur kromosom ataupun jumlah kromosom sehingga mengakibatkan peristiwa mutasi yang selanjutnya akan menyebabkan perubahan fenotip. Amalia et al. (2008) menyatakan bahwa pada kultur in vitro irradiasi sinar gamma dapat menghambat pembentukan kalus dan tunas sehingga menyebabkan kematian sebesar 32,5 dan 51,5 %. Gangguan fisiologi yang diakibatkan pengaruh irradiasi juga terlihat pada diameter kalus (2,62 cm) serta jumlah tunas (14,1) dan tinggi tunas (1,31 cm) pada 2000 rad dibandingkan dengan kontrol (3,34 cm; 28,5; 4,42 cm). Pertumbuhan tunas juga terlihat lebih kerdil dengan warna kalus yang cenderung lebih cokelat dibanding dengan kontrol yang berwarna putih.
DAFTAR PUSTAKA
Asman, A., Nasrun, A. Nurawan dan D. Sitepu. 1993. Penelitian Penyakit Nilam. Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI. Yogyakarta 2, 903-911.
Amalia, E. Hadipoentyanti dan Nursalam. 2008. Pengaruh irradiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan kalus dan tunas nilam varietas siikalang secara in vitro. Prosiding Seminar Nasional Pengendalian Terpadu Organisme Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam.
Handro, W. 1981. Mutagenesis and in vitro selection. Dalam T. A. Thrope (Ed). Plant Tissue Culture Methods and Application in Agriculture. Acad Press, New York. Halaman berapa
Hobir. 2002. Pengujian adaptibilitas klon-klon nilam hasil variasi somaklonal. Lap. Teknis Penelitian. Balittro Cimanggu. Bogor. hal. 1-2.
Guenther, E. 1952. The Essential Oil Vol III. D. Van Nostrand, New York. 552-560 pp.
Mustika, I. dan Y. Nuryani, 2006. Strategi pengendalian nematoda parasit pada tanaman nilam. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25:7-15.
Nasrun, Y. Nuryani, Hobir dan Repianyo. 2004. Seleksi ketahanan nilam terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) secara in planta. Journal Stigma 12: 421-473.
Nuryani, Y., C. Syukur dan D. Rukmana , 1997. Evaluasi dan dokumentasi klon-klon harapan nilam. Laporan Tahunan (unpublish).
Nuryani, 2005. Pelepasan varietas unggul nilam. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan pengembangan Perkebunan. 11 : 1-3.
Nuryani, Y. 2006. Budidaya tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 23 p.
Wahyuno, D. dan Sukamto. 2010. Ketahanan Pogostemon cablin dan Pogostemon heyneanus terhadap Synchytrium pogostemonis. J. Penelitian Tan Industri. 16:91-97.
Wu, L., Y. Wu, Q. Guo, S. Li, K. Zhou dan J. Zhang. 2011. Comparison of genetic diversity in Pogostemon cablin from China revealed by RAPD, morphological and chemical analysis. J. of Medicinal Plant Research. 5:4549-4569
PROSEDUR PERBANYAKAN NILAM SECARA KONVENSIONAL Sukarman dan Melati
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111
I. PENDAHULUAN
Nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan penghasil minyak atsiri terpenting, dan Indonesia memasok 90% kebutuhan dunia. Berkembangnya industri kosmetik, parfum, dan farmasi memacu meningkatnya kebutuhan minyak nilam baik di tingkat domestik maupun internasional, dengan rata-rata 5% setiap tahunnya. Kebutuhan minyak nilam dunia pada tahun 2010 mencapai 1.500 ton. Indonesia memasok 700 ton, China dan India 350 ton, jadi masih kekurangan 450 ton. Seiring dengan meningkatnya permintaan minyak nilam perlu diupayakan sistem produksi berkelanjutan yang dapat menjamin permintaan dan kualitas minyak nilam yang memenuhi standar ekspor. Untuk mendukung pengembangan budidaya nilam yang berkelanjutan, diantaranya diperlukan ketersediaan benih unggul bermutu.
Benih unggul bermutu harus berasal dari varietas unggul yang diproduksi secara industrial dan telah melalui proses pemeriksaan di lapangan dan di laboratorium serta proses pengawasan sejak benih di pertanaman sampai ke konsumen/petani.
Tanaman nilam diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan setek. Setek nilam dapat berasal dari bagian pangkal tengah dan pucuk yang terstandar. Agar benih/setek tersebut dapat tumbuh dengan baik (sehat, cepat dan seragam) benih/setek harus diproduksi dengan cara dan prosedur yang terstandar. Dalam tulisan ini akan diuraikan prosedur perbanyakan nilam secara konvensional, yang dimulai dari pemilihan benih/bahan tanaman dan penyemaian
II. PEMILIHAN BENIH/BAHAN TANAMAN
Untuk meningkatkan dan menjamin produktivitas dan kualitas nilam, benih/bahan tanaman harus dipilih secara benar dan baik, karena benih merupakan salah satu unsur yang sangat menentukan keberhasilan sistem budidaya setelah lahan. Hampir 40% keberhasilan budidaya tanaman ditentukan oleh mutu benih. Benih yang benar adalah benih yang diambil dari kebun induk yang jelas varietasnya. Karakter tanaman pada kebun induk sama dengan deskripsi varietas tersebut, murni tidak tercampur dengan jenis dan varietas lainnya. Baik artinya tanaman di kebun induk tersebut tumbuh dengan baik, sehat tidak terserang OPT dan tidak ada gejala kekurangan unsur hara.
2.1. Standard Mutu Genetik, Fisik, Fisiologis dan Mutu Patologis kebun induk nilam
Mutu benih meliputi mutu genetik, fisiologis, fisik dan patologis. Keempat mutu tersebut akan menentukan produksi tanaman. Mutu genetik adalah benih yang mempunyai identitas genetik yang murni dan mantap, dan apabila ditanam mewujudkan kinerja pertanaman yang homogen sesuai dengan yang dideskripsikan pemulianya (Sadjad 1994). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat telah melepas beberapa varietas unggul nilam yaitu Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang. Atribut kualitas yang paling penting adalah viabilitas (mutu fisiologis), mutu fisiologis berkaitan dengan daya tumbuh setek nilam di pesemaian. Setek nilam yang bermutu tinggi secara fisiologis akan mempunyai kemampuan untuk hidup >80 %. Klasifikasi mutu benih nilam berdasarkan pada kinerja fisik seperti kebersihan setek (tidak ada daun yang cokelat), kesegaran setek (tidak layu), daun setek sempurna (tidak berlubang, keriput atau menggulung). Mutu patologis berhubungan kesehatan benih, setek nilam yang bermutu tinggi merupakan setek yang bebas dari penyakit layu bakteri (daun dan batang layu), bebas nematoda (daun berwarna cokelat, akar rusak), bebas
penyakit budok (daun keriput, batang membengkak), bebas hama (daun berlubang, keriput, menggulung) dan tidak kahat hara.
2.2. Standar benih/setek yang digunakan bahan perbanyakan
Kebun induk yang memenuhi standar seperti tersebut di atas, selanjutnya dapat dijadikan sumber benih dengan cara memanen seteknya. Berdasarkan hasil penelitian setek dapat diambil dari bagian pangkal, tengah dan pucuk. Tasma dan Darwati (1989) melaporkan bahwa semua bahan setek dapat dimanfaatkan untuk perbanyakan tanaman nilam. Hasil yang sama dilaporkan oleh Sukarman dan Melati (2009) bahwa viabilitas benih/daya tumbuh benih setek nilam tidak berbeda antara benih yang berasal dari bagian pangkal, tengah dan pucuk, walaupun setek pucuk menghasilkan pertumbuhan (tinggi dan jumlah ruas benih/bibit) yang lebih cepat dibandingkan benih yang berasal dari setek bagian pangkal dan tengah (Tabel 1.)
Tabel 1. Pengaruh bagian setek dan lama penyimpanan terhadap viabilitas benih nilam. Balittro. Bogor, 2006.
Bagian Setek tumbuh Daya (%)
Tinggi benih (cm)
Jumlah
ruas Jumlah daun
Pucuk 98,0 ns 26, 0 a 8,2 a 13,5 ns Pangkal dan tengah 97,3 ns 14, 4 b 7,7 b 14,7ns
Sumber: Sukarman dan Melati (2009)
Angka- angka dalam baris dan kolom yang sama diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji berganda Duncan pada tingkat kepercayaan 5%.
Apabila bahan tanaman cukup tersedia dan jarak lokasi pembenihan dengan kebun induk dekat (dapat dijangkau dalam waktu 24 jam), maka lebih baik menggunakan setek pucuk, karena setek pucuk mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan setek pangkal atau setek tengah (Suwandiyati 2009).
Setek nilam yang dipanen hendaknya dengan kriteria: 1. Umur tanaman induk ≥6 bulan.
2. Diameter setek: 0,3-0,5 cm
3. Ukuran setek: setek panjang:> 30 cm, setek pendek:± 15-20 cm 4. Fisik setek: segar, sehat, tanpa kahat hara, bebas dari serangan
hama dan penyakit dan, telah mengayu, tetapi tidak yang sudah tua 5. Kualifikasi setek dapat berasal dari batang, cabang primer, cabang
sekunder.
Gambar 1. Perbenihan nilam. (A) Setek pucuk (kiri), setek batang/cabang (kanan), (B) Persemaian nilam di polibag yang disungkup plastik, dan (C) Benih nilam yang siap ditanam.
III. PENYEMAIAN BENIH/SETEK
Penyemaian benih nilam dapat dilakukan di polibag atau bedengan.
3.1. Pesemaian di polibag
Untuk mengurangi tingkat kematian benih/setek perlu disemaikan dengan menggunakan kantong polibag. Penyemaian dilakuan dengan cara sebagai berikut:
a. Siapkan rumah atap dari paranet, alang-alang atau jerami (intensitas sinar matahari 50-70%, di bagian timur tinggi 180 cm dan di bagian barat tinggi 150 cm dan panjangnya disesuaikan dengan jumlah benih yang disemai.
b. Siapkan media pesemaian (campuran tanah subur gembur dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1) tambahkan fungisida dan nematisida masing-masing 2 g/1 kg tanah dan aduk media sampai rata.
c. Masukkan media tersebut ke dalam polibag ukuran 15 x 10 cm dan diberi lubang pada bagian bawahnya, sebanyak ¾ bagian.
d. Susun polibag berisi media semai tersebut di bawah rumah atap, kemudian siram sampai basah dan biarkan 4-5 hari kemudian benih/setek baru ditanam.
e. Sebelum disemai di polibag benih/setek direndam dalam air kelapa 25% selama 15 menit atau dioleskan ZPT perangsang perakaran, kemudian dicelupkan ke dalam fungisida sesuai anjuran.
f. Tanam benih/setek ke dalam polibag dengan cara membuat lubang semai dan membenamkan dua buku ke dalam media polibag dan padatkan tanah di sekitar setek, untuk menjaga kelembaban pesemaian ditutup dengan sungkup plastik (ukuran = lebar 1 m dan tinggi 0,5 m, panjang sesuai kebutuhan), sampai pesemaian berumur 2 minggu.
g. Lakukan pemupukan serta pengendalian hama dan penyakit satu atau dua minggu sekali dengan pupuk daun, fungisida dan insektisida dengan dosis anjuran.
h. Setelah persemaian berumur empat minggun diberi perlakuan ”hardening”dengan membuka atap sehingga benih/pesemaian
mendapat sinar matahari penuh.
i. Pada umur 5-6 minggu benih sudah sudah mempunyai cukup akar, tunas sudah tumbuh dan berdaun sehingga siap dipindahkan ke kebun untuk ditanam.
Untuk menjamin mutu, benih di persemaian harus mempunyai standar sebagai berikut:
1. Asal Benih Kebun induk (Balittro) atau petani penangkar varietas 2. Varietas: anjuran Balittro yaitu 3 varietas yang telah dilepas.
3. Naungan : sungkup plastik, atap, paranet, daun alang-alang, daun kelapa dan sebagainya dengan intensitas cahaya 50-70 %.
4. Tempat semai yaitu polibag hitam ukuran 10 x 15 cm
5. Media semai yang digunakan campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan yaitu: 2:1
6. Umur benih: 1,5 bulan setelah semai (5-7 ruas) 7. Tinggi benih: 20-25 cm
8. Jumlah daun: 5-7 lembar
9. Kesehatan bibit: Bebas OPT, tanpa gejala kekurangan hara.
3.2. Pesemaian di bedengan
Apabila dilokasi persemaian tidak tersedia polibag maka pesemaian dapat dilakukan di bedengan, dengan cara sebagai berikut:
a. Pilih lokasi yang datar, dekat sumber air dan tidak tercemar patogen. b. Gemburkan lahan/tanah dan bersihkan dari gulma untuk
memper-mudah pertumbuhan dan perkembangan akar.
c. Membuat bedeng persemaian dengan ukuran, lebar : 150 cm, tinggi: 30 cm dan panjang : tergantung kebutuhan dan kondisi lahan
d. Melakukan pengolahan tanah 3 minggu sebelum penanaman benih. e. Membuat parit pembuangan air : lebar 30 cm-40 cm.
f. Siapkan media persemaian pada bedengan dengan menambahkan pupuk kandang dan pasir dengan perbandingan tanah : pupuk kandang:pasir (2 : 1).
g. Menambahkan fungisida dan nematisida pada media tanam
h. Menanam benih setek dengan jarak 10/10 cm dengan posisi miring 60 derajat.
i. Memberikan naungan dari atap daun kelapa atau alang-alang. j. Melakukan penanaman setek pada pagi atau sore hari.
m. Lakukan pemindahan benih setelah berumur 4-5 minggu (tunas dan akar sudah tumbuh merata) secara hati-hati.
IV. PENUTUP
Perbanyakan benih nilam secara konvensional dapat dilakukan dengan menyemai benih/setek ke dalam polibag atau di bedengan.
Benih/setek harus diambil dari kebun induk yang benar dan baik artinya kemurnian varietasnya terjamin, tanamannya sehat, tidak terserang OPT dan tidak ada gejala kekurangan unsur hara.
Setek yang digunakan untuk benih sebaiknya memenuhi kriteria: umur tanaman ± 6 bulan, setek dapat berasal dari batang, cabang primer, cabang sekunder, diameter 0,3-0,5 cm, ukuran: setek panjang: lebih dari 30 cm, setek pendek ± 15-20 cm, fisik setek segar dan sehat.
Benih yang telah disemai dan siap dipindahkan ke lapang harus memenuhi standard sebagai berikut: umur 1-1,5 bulan setelah semai, tinggi 20-25 cm (5-7 ruas), jumlah daun 5-7 lembar, akarnya lebat, sehat, bebas OPT, dan tanpa gejala kekurangan hara.
DAFTAR PUSTAKA
Ditjenbun-Balittro. 2008. Standar Prosedure Operasional Budidaya Tanaman Nilam. Direktorat Budidaya Tanaman Semusim Kerjasama dengan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 41 hal.
Ditjenbun-Balittro. 2010. Pedoman Pembangunan Kebun Penangkar Benih Nilam. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi. Kerjasama dengan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 24 hal.
http://www.agromaret-agronilam.com/jual/1832/manfaat dan khasiat minyak nilam/1/5/2011.
Nuryani,Y., Emyzar dan A. Wahyudi, 2007. Teknologi Unggulan Nilam. Perbenihan dan Budidaya Pendukung Varietas Unggul. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.17 hal.
Sukarman. 2008. Penyediaan benih nilam sehat. Prosiding Seminar Nasional Pengendalian Terpadu Organisme Penganggu Tanaman Jahe dan Nilam. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor, 4 - November, hal 221-231. Sukarman dan Melati, 2009. Pengaruh bagian setek dan lama
penyimpanan terhadap viabilitas dan pertumbuhan nilam (Pogostemon cablin Benth). Prosiding Simposium V. Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 4. Bogor 14- Agustus 2009, hal 468-474, Kerjasama P.T. Penerbit IPB Press dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.
Suwandiyati, N.D. 2009. Pengaruh asal bahan setek dan dosis pupuk kandang terhadap pertumbuhan bibit nilam (Pogostemon cablin Benth). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) 34 hal.
BUDIDAYA NILAM ORGANIK Muhamad Djazuli
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111
I. PENDAHULUAN
Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan tanaman penghasil minyak atsiri yang penting dalam menghasilkan devisa. Komponen utama dari minyak nilam adalah Alpha Patchoulene, Beta Patchoulene, Alpha Guaiene, Alpha Bulnesene, Caryophyllene, Norpatchoulenol, Patchouli Alcohol, Seychellene dan Pogostol. Minyak nilam mempunyai manfaat sebagai antara lain: Antidepresi, antiflogistik, antiseptik, afrodisiak, astringen, antijerawat, regenerasi sel kulit baru, deodoran, menurunkan berat badan, tekanan darah, kolesterol dan racun dalam darah, penurun demam, dan sebagai insektisida/penolak serangga seperti nyamuk, semut, dan lalat (http://www.organicfacts.net/health-benefit-of-essential-oil.html).
Indonesia memasok sekitar 70-90% minyak nilam dunia dengan total ekspor minyak nilam pada tahun 2008 sebesar 2.496 ton dan luas areal mencapai 21.716 ha yang tersebar di 11 propinsi (Biro Statistik 2004). Volume ekspor minyak nilam terus meningkat, dan tahun 2006 mencapai 2.100 ton dengan nilai US $ 27.171 juta (Sukamto et al. 2008). Penambahan luas areal dan produksi nilam yang tinggi tidak sebanding dengan kemampuan penyerapan pasar menyebabkan penurunan dan fluktuasi harga minyak nilam dunia. Di lapang, selain harga yang tidak menentu, terbatasnya produk pupuk kimia bersubsidi di pasar, menyebabkan petani sulit mendapatkan pupuk kimia terutama menjelang musim tanam.
Di Indonesia masih ada yang melakukan budidaya nilam secara berpindah. Sistem ladang berpindah yang masih dilakukan petani nilam serta penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang berlebihan telah merusak dan mengganggu kelestarian lingkungan.
Meningkatnya kesadaran masyarakat dunia untuk mendapatkan lingkungan yang lebih sehat dan berkualitas menyebabkan meningkatnya permintaan produk pertanian organik. Tingginya permintaan dan terbatasnya produksi minyak nilam organik menyebabkan harga minyak nilam organik stabil dan lebih tinggi dibandingkan minyak nilam konvensional. Dengan beralihnya ke sistem budidaya organik, para petani organik tidak perlu lagi bergantung pada pupuk kimia yang terkadang langka dijumpai.
Pemerintah Indonesia juga sudah mencanangkan Go Organik Indonesia 2010 dan telah mengeluarkan SNI 6729:2010 tentang sistem pangan organik yang mengacu pada beberapa badan standardisasi organik yang ada di dunia (BSN 2010).
Semakin meningkatnya permintaan minyak nilam yang berasal dari sistem pertanian organik yang ramah lingkungan dan harga yang cukup tinggi, telah mendorong beberapa petani nilam di sentra produksi mencoba untuk melaksanakan budidaya nilam organik. Salah satunya adalah kelompok tani di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Adanya kelompok tani yang mengembangkan nilam organik diharapkan dapat mendorong petani nilam lainnya untuk mulai mengembangkan sistem pertanian nilam organik.
II. KENDALA DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN NILAM ORGANIK
Walaupun wacana pertanian organik sudah cukup lama dikenalkan di Indonesia bahkan aturannyapun sudah lama dibuat, namun sosialisasi informasi tentang sistem budidaya organik, harga, dan potensi pasar khususnya bagi petani nilam masih sangat terbatas.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah telah mencanangkan “Go Organik Indonesia” tahun 2010 dengan visi menjadikan Indonesia sebagai salah produsen organik utama dunia termasuk minyak nilam organik.
Salah satu tantangan bagi pengembangan nilam organik di Indonesia adalah adanya negara pesaing yang lebih dulu menjadi pemasok minyak
nilam organik dunia. Walaupun volume ekspor minyak nilam organik masih relatif kecil, namun India telah lebih dulu dikenal sebagai satu-satunya negara penghasil produk minyak nilam organik dunia, sehingga baik langsung maupun tidak India akan menjadi pesaing dalam produksi minyak nilam organik Indonesia. Dalam situsnya salah satu perusahaan produk minyak atsiri MUDAR di India pada tahun 2008 baru memproduksi 1,5 ton minyak nilam, namun pada tahun 2009 telah merencanakan akan terus mengembangkan pertanaman nilam organik di negara bagian Karnataka dan mentargetkan produksi 10 ton minyak nilam organik yang bersertifikat organik. Seperti halnya di Indonesia, India juga telah mencanangkan Go Organik India pada tahun 2010 (http://www.mudarindia.net/organic-patchouli-oil.htm)
III. BUDIDAYA NILAM ORGANIK HARUS MENGIKUTI PERSYARATAN POKOK DALAM SNI PANGAN
ORGANIK 6729:2010 3.1. Pemilihan lahan
Tanaman nilam mampu tumbuh pada hampir semua jenis tanah, namun untuk lahan marginal perlu in put pupuk organik yang cukup tinggi untuk mendapatkan pertumbuhan optimal. Oleh karena itu, sesuai dengan SNI Sistem Pangan Organik maka bagi daerah yang tergolong kesesuaiannya rendah tidak perlu memaksakan untuk ikut mengembangkan pertanaman nilam organik. Proses pelaksanaan budidaya nilam organik bisa langsung pada lahan bukaan hutan seperti yang terjadi di sentra pengembangan nilam di luar Jawa, sedangkan pelaksanaan sistem budidaya nilam organik pada lahan menetap bekas pertanaman nilam atau tanaman non organik lainnya wajib melalui program konversi lahan konvensional minimal 2 tahun (BSN 2010).
Untuk menimalkan penggunaan input, maka lahan yang digunakan harus memiliki agroekosistem yang sesuai untuk pertumbuhan optimal tanaman nilam diantaranya adalah lahan yang relatif subur, jumlah curah
hujan yang cukup tinggi, dan mempunyai elevasi rendah sampai sedang (Rosman et al. 2004).
Tanaman nilam relatif peka terhadap cekaman kekeringan, oleh karenanya faktor sumber air yang bebas kontaminasi menjadi sangat penting dalam sistem pertanian organik. Sumber air yang bebas kontaminasi pupuk kimia maupun pestisida kimia merupakan persyaratan mutlak bagi budidaya organik. Oleh karenanya itu, pengembangan nilam organik yang berada di sekitar pertanaman non organik memerlukan persyaratan yang lebih berat dibandingkan budidaya organik pada lahan yang terisolir dan elevasinya lebih tinggi dibanding tanaman konvensional yang ada.
Pemanfaatan lahan miring masih diperbolehkan dalam sistem pertanian organik, namun harus menggunakan prinsip konservasi dan meminimalisir erosi dengan menggunakan sistem terasiring atau rorak.
3.2. Penggunaan benih
Dalam budidaya organik, petani nilam dilarang mengggunakan benih yang berasal dari hasil rekayasa genetik (GMO). Saat ini, benih nilam yang banyak digunakan oleh petani adalah berasal dari setek batang nilam non GMO dari varietas unggul yang telah dilepas oleh Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro). Sampai saat ini Balittro baru melepas tiga varietas unggul nilam yang berproduktivitas dan bermutu tinggi dengan kandungan Patchouli Alkohol (PA) di atas 30 % antara lain Sidikalang, Tapak Tuan dan Lhokseumawe (Nuryani 2005). Diharapkan tidak lama lagi Balittro juga akan melepas varietas unggul baru yang berdaya hasil tinggi dan toleran terhadap penyakit utama nilam.
3.3. Pemupukan dan pembenah tanah
Salah satu sumber hara utama pada budidaya nilam organik adalah pupuk organik baik berupa pupuk kandang maupun kompos. Sesuai SNI 01-6729-2010 dipersyaratkan bahwa bahan baku pupuk kandang yang berasal dari sapi, kambing atau ayam tidak mendapatkan asupan hormon atau
antibiotik yang dilarang. Dengan demikian, direkomendasikan untuk menggunakan pupuk kandang yang berasal dari ternak milik petani sendiri atau peternak kecil bukan berasal dari factory farming.
Penggunaan kompos yang berasal dari limbah penyulingan minyak nilam sangat dianjurkan. Selain berwawasan lingkungan, kompos yang berasal dari limbah hasil sulingan nilam mengandung hara N yang tinggi dan tidak mengandung senyawa yang bersifat toksik bagi tanaman nilam (Djazuli 2002a). Hasil analisis hara beberapa jenis kompos, terlihat bahwa bahwa kadar N, K, Ca, dan Mg kompos limbah nilam jauh lebih tinggi dibandingkan kompos sampah maupun pupuk kandang sapi (Tabel 1). Dalam program pemupukan organik diperlukan tambahan komponen lain yang dapat meningkatkan kesuburan dan lingkungan tumbuh nilam yang optimal seperti penggunaan pupuk hayati seperti mikoriza, pupuk alam seperti fosfat alam, dan pembenah tanah yang dapat memperbaiki lingkungan fisik dan kimia tanah. Dalam aplikasi pupuk organik perlu dipertimbangkan aspek agroekologi dan sosial ekonominya, terutama ketersediaan bahan baku pupuk organiknya.
Tabel 1. Perbandingan status hara kompos hasil limbah penyulingan nilam dengan kompos sampah pasar dan pukan
Hara Kompos limbah nilam * Kompos sampah pasar (PGN1)** Pupuk kandang sapi**
N (%) 3,59 1,71 1,64 P2O5 (%) 0,28 0,25 0,36 K2O (%) 1,26 0,87 0,77 CaO (%) 1,70 0,61 0,21 MgO (%) 0,95 0,49 0,21 C-organik 35,7 18,9 31,00 C/N 9,94 11,7 19,35 * Djazuli (2002b) ** Tombe et al. (2001)
Selain pemberaan dan penggunaan pola tumpang gilir, aplikasi kapur dan pupuk organik mampu menekan efek negatif dari senyawa toksik dari proses alelopati, sehingga tanaman akan lebih sehat dan tahan terhadap serangan OPT (Djazuli 2002b).
Rusaknya lahan akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia jangka panjang terhadap fisik (meningkatnya kekerasan tanah) maupun biologi tanah (menurunnya jumlah dan jenis mikroba tanah yang bermanfaat) menyebabkan respon pemupukan jadi rendah, sehingga pada awal budidaya organik yang hanya mengandalkan pupuk organik menjadi penyebab terjadinya penurunan produktivitas lahan dan tanaman. Dari beberapa hasil kajian di lapangan menunjukkan bahwa dengan sistem budidaya organik jangka panjang akan memperbaiki fisik dan mikroba tanah menyebabkan produktivitas lahan dan tanaman meningkat setara dengan produk konvensional (Ananto 2008)
3.4. Pengendalian OPT
Tingginya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) menyebabkan produktivitas nilam menurun dengan tajam. Bahkan sebagian petani nilam di beberapa sentra produksi nilam pada tahun 2007 tidak bisa memanen karena sebagian besar tanaman nilam mati terserang OPT tersebut.
Salah satu penyakit yang banyak dijumpai dan spesifik pada pertanaman nilam adalah budok. Walaupun tidak mematikan secara langsung, namun keberadaan penyakit budok yang disebabkan oleh jamur Synchytrium pogostemonis akan menurunkan produktivitas dan mutu minyak secara nyata. Penyakit lain yang juga banyak dijumpai pada sentra produksi nilam adalah layu bakteri, hawar daun, dan nematoda.
Hama utama yang sering menyerang tanaman nilam adalah ulat daun, kumbang daun, belalang, penghisap daun, penghisap batang dan akar serta tungau. Teknologi pengendalian OPT menggunakan bahan baku organik masih relatif sedikit dibandingkan teknik pengendalian yang menggunakan pestisida kimia. Selain penggunaan varietas unggul nilam yang toleran terhadap serangan OPT, beberapa teknologi pengendalian OPT menggunakan pestisida nabati, agensia hayati, dan bahan alam yang dibolehkan dalam SN 6729-2010 telah menunjukkan prospek keberhasilan yang menggembirakan.
Dampak negatif serangan hama pada nilam terlihat jauh ringan dibandingkan dengan serangan penyakit. Oleh karenanya, upaya pengendalian OPT dengan pestisida organik yang efektif khususnya untuk penyakit sangat diharapkan oleh petani nilam.
Salah satu penyebab berfluktuasinya produksi nilam saat ini adalah munculnya serangan penyakit khususnya penyakit budok, layu bakteri, dan nematoda. Sampai saat ini ketersediaan informasi pengendalian OPT secara terpadu untuk sistem pertanian organik masih terbatas.
Pengendalian penyakit budok masih relatif susah. Namun demikian sesuai dengan kaidah organik, maka metode eradikasi lahan dan rotasi atau pergiliran tanaman non nilam cukup efektif untuk mengendalikan penyakit budok. Sukamto dan Djazuli (2011) melaporkan bahwa penggunaan 1% bubur bourdeux (100 g terusi + 100 g kapur tohor dalam 1 liter air) efektif mengendalikan penyakit budok yang disebabkan oleh jamur Synchytrium.
Hasil penelitian Balittro menunjukkan bahwa aplikasi pupuk organik dan mimba serta inokulasi bakteri endofit TT2, NJ16, MSK,NJ57, dan EH11 berpotensi untuk digunakan dalam pengendalian nematoda Pratylenchus brachyurus (Mustika dan Nazarudin 1998; Harni 2008).
Penyiangan gulma secara mekanis perlu dilakukan secara terus menerus. Selain untuk mengurangi terjadinya kompetisi dalam penyerapan hara dan cahaya, beberapa jenis gulma seperti Ageratum dapat menjadi inang penyakit pada nilam (Sukamto et al. 2008). Untuk pengendalian OPT secara terpadu juga diperlukan aplikasi pemupukan dan pembenah tanah yang tepat akan meningkatkan kesehatan dan ketahanan terhadap serangan OPT.
3.5. Pasca Panen
Untuk pengangkutan terna hasil panen, sarana pengangkutan harus bebas dari kontaminasi oleh bahan kimia yang dilarang dan tidak diperkenankan pula menggunakan kemasan atau karung bekas pupuk kimia atau produk lainnya yang dilarang dalam SNI organik.
Apabila menggunakan alat penyulingan minyak nilam digunakan bersama dengan produk non organik, maka perlu upaya pembersihan dan pembilasan alat penyulingan sesuai dengan persyaratan SNI organik. Untuk proses penyulingan direkomendasikan menggunakan alat suling yang terbuat dari stainless steel sehingga diperoleh produk minyak nilam yang memenuhi standar produk minyak nilam SNI 06-2385-2006.
3.6. Sertifikasi
Untuk mendapatkan jaminan bahwa produk minyak nilam organik yang dihasilkan selama proses produksi terutama untuk ekspor, maka petani nilam organik harus melakukan sertifikasi organik.
Salah satu kegiatan yang harus ada dalam sistem budidaya organik adalah pencatatan pembuatan dokumen sistem mutu yang berisi organisasi, sejarah lahan, SOP budidaya dan rekaman proses produksi mulai dari penyediaan bahan tanaman, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemupukan, pengendalian OPT, panen, penyulingan, hingga pemasaran. Selanjutnya petani nilam organik harus melaksanakan budidaya sesuai SOP organik secara konsisten dan berkelanjutan.
Untuk menjamin konsumen minyak nilam organik baik di dalam dan luar negeri perlu dilakukan sertifikasi organik yang mengacu pada institusi Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) di dalam negeri dan di luar negeri yang telah terakreditasi. Produk minyak nilam yang telah tersertifikasi di LSO dalam negeri berhak diberi logo organik Indonesia sebagai jaminan keorganik bagi konsumen baik di dalam maupun di luar negeri.
IV. PEMASARAN
Rendahnya biaya produksi dan tingginya nilai jual produk organik yang tersertifikasi menyebabkan pendapatan petani organik meningkat dengan nyata. Adanya permintaan dari beberapa eksportir minyak nilam akan produk minyak nilam organik yang bermutu tinggi dan bersertifikat
untuk memenuhi permintaan konsumen di negara maju perlu ditindak lanjuti secara nyata.
Dengan dicanangkannya program Indonesia Go Organik pada tahun 2010, maka sudah saatnya petani nilam Indonesia mengembangkan nilam organik sekaligus sebagai eksportir utama minyak nilam organik dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Ananto. E. 2008. Fasilitasi dan Bimbingan Inspektor Organik. 2-5 Juni 2008. Bogor. Direktorat Mutu dan Standarisasi, Departemen Pertanian. (unpublished)
Biro Statistik. 2004. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor. Biro Statistik, Jakarta.
BSN. 2010. Sistem Pangan Organik. SNI 6729:2010. Badan Standarisasi Nasioanl Jakarta. 32 hal.
Djazuli, M. 2002a. Pengaruh aplikasi kompos limbah penyulingan minyak nilam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth). Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik. Jakarta, 2-3 Juli 2002. hal. 323-332.
Djazuli, M. 2002b. Alelopati pada tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.). Jurnal Ilmiah Pertanian. Gakuryoku. 8: 163-172.
Harni, R. 2008. Pengaruh beberapa isolat bakteri endopit untuk mengendalikan nematoda peluka akar (Pratylenchus brachyurus) pada tanaman nilam. Prosiding Seminar Nasional Pengendalian Terpadu Organisme Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam. Balittro, Bogor Hal. 137-146.
http://www.organicfacts.net/health-benefit-of-essential-oil. html http://www.mudarindia.net/organic-patchouli-oil.htm
Mustika, I. dan S.B. Nazarudin 1998. Gangguan nematoda dan cara pengendaliannya. Monograf Nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Hal 89-95
Nuryani, Y. 2005. Pelepasan varietas unggul nilam. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. No. 11 : 1-3.
Rosman, R., Emmyzar dan P. Wahid. 1998. Karakteristik lahan dan iklim untuk perwilayahan pengembangan. Monograf Nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Hal 47-55.
Sukamto. M. Djazuli dan D. Wahyuno. 2008. Teknik pengelolaan budidaya pada tanaman nilam. Laporan Teknis TA 2008. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. (unpublish).
Sukamto dan M. Djazuli. 2011. Pengendalian penyakit budok pada tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth). Warta Badan Litbang Pertanian. 33: 6-7
Tombe, M., K. Mulya, R. Zaubin. E.R, Pribadi, C. Indrawanto, O. Trisilawati dan A. Ruhnayat. 2001. Uji coba pemanfaatan dan peningkatan mutu kompos produksi pilot plant klender, berikut pemasarannya. Final Report. PT Gas Negara dan Balittro. (unpublish).
POLA TANAM NILAM
Rosihan Rosman
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111
I. PENDAHULUAN
Nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang penting dalam menghasilkan devisa negara. Minyaknya bernilai ekonomi tinggi, dapat digunakan sebagai fiksatif dalam industri parfum dan kosmetik. Ekspor nilam pada tahun 2009 mencapai 1079 ton ton dengan nilai 18.609.000 US$ (Ditjenbun 2011).
Luas areal penanaman nilam di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 1989 hanya 8.745 hektar dengan produksi 3.312 ton, meningkat menjadi 22.150 hektar dengan produksi 2.546 ton pada tahun 2007 (Anon 2007) dan tahun 2009 adalah 19.963 ha dengan hasil minyaknya 1672 ton (Ditjenbun 2011). Namun perkembangan areal pertanaman nilam, belum diikuti oleh peningkatan produktivitas, mutu serta stabilitas harga. Pada tahun 1989 produktivitas nilam 378,7 kg/ha turun menjadi 114,94 kg/ha pada tahun 2007. Sedangkan mutu Patchouli Alkohol (PA) nya di bawah 31 % dan harga selalu berfluktuasi.
Rendahnya produksi sebagian besar nilam Indonesia salah satunya disebabkan oleh penerapan teknologi yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Selain itu pola penanamannya sangat beragam. Studi yang telah dilakukan ke beberapa lokasi penanaman nilam menunjukkan, sebagian penanaman nilam ditanam di lokasi dengan lahan yang kurang sesuai berdasarkan persyaratan tumbuhnya. Selain itu ada lokasi penanaman nilam yang sesuai namun tidak memperhatikan kaidah konservasi lahan sehingga tanah menjadi tidak subur, terutama penanaman di lahan berlereng dengan kemiringan lebih dari 3%. Sistem pola tanam berpindah disertai kondisi lahan kurang sesuai terutama lokasi yang memiliki bulan kering lebih dari dua bulan menyebabkan tanaman hanya mampu dipanen satu kali dalam setahun.
Rendahnya kandungan PA dapat disebabkan oleh banyak faktor, selain pengembangan di lahan yang tidak sesuai, juga dapat dikarenakan teknologi yang digunakan belum menyesuaikan dengan kondisi lahan, terutama kebutuhan cahaya. Adanya fluktuasi harga yang tajam di pasar, perlu diantisipasi dengan teknologi budidaya yang mampu memberikan kekuatan bagi petani untuk bertahan dalam menghadapinya.
II. PERKEMBANGAN NILAM DI INDONESIA
Nilam merupakan salah satu tanaman perdu yang masuk ke Indonesia melalui Singapura pada tahun 1895 (Burkill 1935) dan ditanam di Cultuurtuin, Cimanggu-Bogor (Heyne 1927). Pada masa penjajahan Belanda, nilam belum ditanam secara luas di Indonesia dan penelitian yang dilakukan umumnya mengenai teknik penyulingan dan analisis mutu minyak. Penyulingan daun nilam menjadi minyak nilam mulai dilakukan tahun 1920, sehingga tahun 1921 Indonesia mulai mengekpor minyak nilam sebanyak 387 kg ke Singapura dan Malaysia (Heyne 1927).
Pada tahun 1960 an Indonesia merupakan negara pengekspor minyak nilam terbesar di dunia yaitu sebesar 245 ton, sedangkan Malaysia 160 ton (Allen 1969). Namun petani membudidayakan nilam masih secara tradisional dengan sistim budidaya berpindah (Dhalimi et al. 1998). Penanaman nilam terus meluas, namun belum memperhatikan aspek ekologi secara baik. Selain itu petani membudidayakan nilam secara tradisional dan masih banyak yang menggunakan sistem berpindah, teknologi yang digunakan juga masih seadanya.
Bagian tanaman nilam yang bernilai ekonomi adalah bagian atasnya, sehingga berpotensi menguras unsur hara yang ada dalam tanah akibatnya tanah menjadi miskin hara. Untuk itu teknologi pemupukan diperlukan untuk mengantisipasi agar tanah di lokasi penanaman nilam tetap dalam keadaan subur. Pada tahun 1973, Adiwiganda et al. (1973) telah melakukan penelitian mengenai pemupukan N, P dan K pada tanaman nilam. Begitu juga Tasma dan Wahid (1988). Namun penerapan hasil penelitian ini
tampaknya masih mengalami kendala di tingkat petani. Penanaman nilam di tingkat petani hingga saat ini masih banyak belum menggunakan pupuk sesuai kebutuhan bahkan ada yang tidak dipupuk sama sekali.
Pada era globalisasi petani dituntut mempunyai kemampuan untuk menghasilkan produk yang mampu bersaing. Oleh karenanya, teknologi budidaya maupun penanganan pasca panen yang efisien dalam berusahatani sangat diperlukan. Efisiensi akan terjadi apabila teknologi yang digunakan tidak banyak membutuhkan biaya. Selain itu dalam berusahatani nilam juga sering mengalami kendala terutama dalam gejolak turunnya harga, sehingga petani tidak mau lagi menanam nilam. Untuk mengantisipasi hal itu diperlukan komoditas lain yang mampu berdampingan bersama nilam sehingga ketika harga minyak nilam turun, petani tetap mampu memanfaatkan hasil pertanian lainnya dan menyimpan minyak nilam sambil menunggu harga nilam naik kembali. Teknologi pola tanam memiliki berpeluang untuk itu, namun dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan faktor-faktor yang akan mempengaruhi pertumbuhan nilam apabila akan dilakukan pengaturan pola tanam.
III. FAKTOR-FAKTOR UTAMA YANG BERPENGARUH DALAM MENENTUKAN POLA TANAM NILAM
Selama pertumbuhannya tanaman nilam dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu faktor tanah, iklim dan jenis tanaman. Tanah yaitu unsur kimia meliputi terutama pH, N, P, dan K. Unsur fisik tanah adalah tekstur tanah, drainase, dan kedalaman air tanah. Sedangkan unsur iklim yang paling menentukan adalah curah hujan, bulan kering, dan intensitas cahaya. Jenis tanaman yang cocok untuk digunakan dalam kegiatan pola tanam adalah tanaman yang mampu bersinergi dengan nilam.
3.1. Tanah
Tanah dengan pH 5-7 adalah tanah yang terbaik untuk penananamn nilam, dengan tingkat kandungan unsur hara N, P dan K yang optimal sangat diharapkan. N-total sedang sampai tinggi adalah yang terbaik (berkisar antara 0,21-0,75 %). Kandungan P2O5 sedang sampai tinggi
(10-25 ppm). K2O (lebih dari 0,3 me/100 g). Untuk daerah-daerah yang memiliki
pH rendah dibutuhkan kapur sedangkan N, P dan K rendah diperlukan pupuk yang mengandung N, P dan K. Hasil penelitian Trisilawati et al. (2004) menunjukkan bahwa penggunaan kapur pertanian (kaptan) dan pupuk kandang sapi mampu meningkatkan rendemen minyak dari 3,6% menjadi 4,8%. Pemberian kapur merupakan pula suatu upaya peningkatan kemasaman tanah (pH) yang akan mempengaruhi keseimbangan unsur hara tanah. Selain itu menurut Sufiani dan Hobir (1998) pH yang rendah akan mengakibatkan timbulnya serangan nematoda.
Pada sistem pola tanam komoditas yang sesuai dengan kondisi yang dikehendaki tanaman nilam sangat diperlukan. Tanaman yang memiliki daya serap N, P dan K tinggi sebaiknya dianjurkan untuk dilakukan pemupukan sesuai SOP (Standard Operational Procedure) yang telah tersedia. Pada tanaman nilam pemupukan diperlukan apabila kondisi tanah memiliki kandungan hara yang rendah. Pemberian pupuk yang berlebihan akan menjadi budidaya nilam tidak efisien. Pupuk dapat meningkatkan
pertumbuhan dan hasil tanaman (Adiwiganda et al. 1973). Pupuk di pembibitan dapat diberikan dalam bentuk organik maupun anorganik.
Tasma dan Wahid (1988), melaporkan pemupukan 280 kg Urea, 70 kg TSP, dan 140 kg KCl per ha pada tanah Latosol Merah Kecokelatan yang mempunyai pH rendah (4,9) dan kandungan hara rendah dapat meningkatkan produksi terna basah nilam aceh sebesar 64% dan kandungan minyak 77% apabila dibandingkan dengan kontrol. Pemberian pupuk tersebut jika disetarakan dalam bentuk unsur N, P dan K adalah 126 N + 35 P + 70 K kg per hektar.
Selain unsur kimia, hal yang penting untuk diperhatikan adalah unsur fisik tanah. Pada sistem pola tanam tanaman, tanaman yang akan dipola tanamkan dengan nilam sebaiknya menghendaki kondisi fisik tanah yang sama. Tekstur tanah sangat berpengaruh dalam menyerap unsur hara dan meningkatkan sebaran akar nilam. Tanah dengan tekstur liat berpasir, drainase baik dan kedalaman air tanah lebih dari 75 cm sangat baik bagi tanaman nilam.
3.2. Iklim
Iklim dengan curah hujan 1.750-3.000 mm/tahun, bulan kering kurang dari 2 bulan, intensitas cahaya 75-100 % adalah yang terbaik. Pada sistim pola tanam sebaiknya kondisi juga cocok untuk tanaman yang akan dipolakan dengan nilam. Namun untuk tanaman yang berupa pohon atau yang mampu menutupi/menaungi tanaman nilam, intensitas cahaya dipertahankan tidak kurang dari 75 %. Menurut Mansur dan Tasma (1987), tanaman nilam respon terhadap naungan, nilam yang ditanam di bawah naungan mempunyai rendemen minyak yang rendah, sebaliknya untuk yang ditanam di lahan terbuka, rendemen minyaknya tinggi.
Cahaya berpengaruh terhadap tingkat evapotranspirasi yaitu penguapan air baik pada tanah maupun tanaman, sehingga mempengaruhi ketersediaan air dalam tanah. Tingkat pencahayaan yang tinggi disertai adanya bulan kering dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Untuk menekan penguapan pada lahan, penggunaan mulsa merupakan salah satu alternatif konservasi lahan agar tanah tetap subur. Namun pada kondisi curah hujan tinggi sebaiknya menghindari penggunaan mulsa, karena akan berpengaruh terhadap kelembaban tanah. Kelembaban tanah dan air hujan yang berlebihan udara yang lembab dan suhu yang tinggi (26-300C) akan merangsang bakteri untuk menyerang nilam (Asman et al.
1990). Hasil penelitian penggunaan mulsa menunjukkan bahwa mulsa alang-alang nyata meningkatkan produksi daun dan minyak nilam aceh sebesar 159,6% dan 181,7% dibandingkan kontrol, sedangkan mulsa semak belukar sebesar 286,5% dan 344,1% (Tasma dan Wahid 1988).
3.3. Jenis tanaman
Penelitian pengaruh berbagai jenis tanaman terhadap pertumbuhan dan produksi nilam sangat minim. Nilam dapat dipola tanamkan bersamaan dengan tanaman lainnya. Namun pola penanamannya disesuaikan dengan sifat dan morfologi tanaman. Tanaman yang memiliki sifat rakus akan hara serta akan menjadi inang hama dan penyakit sebaiknya dihindari.
Tanaman yang berupa pohon dan kelak akan menanungi nilam diupayakan dipangkas atau dicari tanaman yang masih mampu memberikan intensitas cahaya tidak kurang dari 75 %. Sedangkan untuk tanaman yang tingginya lebih rendah dari nilam atau sama tingginya dengan nilam tidak terlalu bermasalah sejauh ia tidak rakus hara dan tidak merupakan inang penyakit, karena intensitas cahaya yang diterima nilam masih dapat mencapai 75 %, bahkan sampai 100 %.
IV. TEKNOLOGI BUDIDAYA POLA TANAM NILAM
Untuk mencapai hasil yang diharapkan, teknologi yang diperlukan pada pola tanam nilam sebaiknya berdasar pada persyaratan yang dibutuhkan oleh tanaman nilam. Faktor-faktor yang akan berpengaruh buruk ditekan sekecil mungkin, sehingga pertumbuhan dan produksi nilam akan tetap optimal. Pola tanam nilam dengan tanaman lain agar memiliki daya hasil nilam yang tinggi mulai dari persiapan lahan hingga panen dan pasca panen sebaiknya mengikuti persyaratan tersebut. Ada beberapa sistem pola tanam yaitu pola tumpangsari, berurutan, rotasi dan sistem lorong.
4.1. Pola tumpang sari
Tanaman nilam dapat di pola tanam kan dengan tanaman berupa pohon atau berupa perdu setahun atau tahunan. Di Pasaman, Sumatera Barat nilam ditumpangsarikan dengan kacang-kacangan dan atau cabai. Selain itu, nilam juga dapat ditanam dengan akar wangi. Pada prinsipnya nilam dapat ditanam baik sebagai tanaman sela atau tanaman pokok (Gambar 1). Sebagai tanaman pokok, tanaman nilam ditanam sesuai dengan
jarak tanam berdasarkan SOP monokultur, sedangkan tanaman lainnya sebagai tanaman sela (Gambar 1). Sebaliknya apabila tanaman nilam sebagai tanaman sela, produksinya akan tidak sebanyak sebagai tanaman pokok, karena populasi tanaman nilam yang ditanam menjadi berkurang. Penanaman nilam (sebagai tanaman pokok) dengan sistem ini bisa bersamaan dengan tanaman selanya atau sebaliknya. Apabila tanaman tanaman nilam sebagai tanaman pokok dan tanaman selanya lebih tinggi seperti jagung, maka sebaiknya jagung ditanam terlebih dahulu, terutama untuk wilayah yang memiliki bulan kering. Hal ini dimaksudkan agar ketika menanam nilam, lahan pada kondisi terlindungi, sehingga evapotranspirasi yang terjadi dapat ditekan. Kondisi kering akan menghambat pertumbuhan tanaman nilam (Kurniasari 2010). Hasil penelitian Rosman (2004), bahwa tanaman nilam ketika masih muda sangat membutuhkan naungan dengan intensitas cahaya 50 %. Pada kondisi ini nilam memiliki pertumbuhan lebih baik dari pada terbuka (100 %).
Untuk lahan yang memiliki curah hujan merata sepanjang tahun dapat ditentukan waktu tanam untuk setiap komoditas. Pada Gambar 2 diuraikan bahwa tanaman sela dapat ditanam sebulan sebelum panen nilam atau setelah panen nilam seperti jagung.
X J X J X J X J X J X J J J X J J J X J J J X J J J X J X J X J X J X J X J J J X J J J X J J J X J J J X J X J X J X J X J X J J J X J J J X J J J X J J J X J X J X J X J X J X J J J X J J J X J J J X J J J X J X J X J X J X J X J J J X J J J X J J J X J J J X J X J X J X J X J X J J J X J J J X J J J X J J J Gambar 1. Nilam sebagai tanaman pokok (kiri) dan nilam sebagai tanaman
sela (kanan)
Keterangan:
X = Nilam jarak tanan 40 x 60 cm X = Nilam jarak tanan 40 x 120 cm J = Tanaman sela berupa perdu J = Tanaman sela berupa perdu
Jan Feb Maret Apr Mei Juni Juli Agst Sept Oktob Nov Des
Gambar 2. Waktu tanam nilam (di awal musim hujan Oktober) dan tanaman sela setahun
Gambar 3. Pola tanam nilam. (A) nilam sebagai tanaman utama ditanam dengan kacang hijau, (B) dengan jagung sebagai tanaman sela, dan (C) tanaman nilam di antara pohon pala.
4.2. Pola tanam berurutan
Pada sistem pola tanam berurutan, tanaman nilam tidak selamanya ditanam melainkan setelah panen lahan diberakan atau ditanami dengan tanaman lainnya. Pada lahan yang diperlakukan dengan sistim rotasi, produksi nilam dan penyulingan akan terhenti apabila tidak ada lahan lain yang menanam nilam. Pada sistem ini, nilam tidak ditanam terus menerus, melainkan setelah panen waktu tertentu, bila dianggap tidak lagi menguntungkan karena kondisi lahan dan iklim yang tidak menguntungkan, maka tanaman diganti dengan tanaman lainnya. Sistem ini memiliki keuntungan karena hama atau penyakit tertentu yang tadinya akan
J J J
J
berkembang menjadi terputus siklus hidupnya. Selain itu bila yang ditanam sebagai rotasi adalah tanaman penyubur tanah, maka tanah akan menjadi subur kembali. Gambar 4 memperlihatkan urutan saat tanam nilam dengan tanaman lainnya. Nilam dipanen pada menjelang akhir musim hujan yaitu Februari atau awal Maret dan setelah itu ditanam tanaman lain sebagai pengganti.
Jan Feb Maret Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des
Gambar 4. Waktu tanam nilam pada sistim berurutan
4.3. Pola rotasi
Pada pola rotasi, tanaman nilam tidak ditanami di satu lahan terus menerus. Setelah digunakan untuk menanam tanaman nilam beberapa kali, jenis tanaman diganti dengan tanaman lain selain nilam. Sistem ini dimungkinkan apabila lahan yang ditanami nilam sudah mengalami penurunan tingkat kesuburan karena lahan memiliki unsur N, P, K, Ca, pH dan C/N rasio yang rendah. Seandainya dipaksakan ditanami nilam akan memerlukan biaya perbaikan lahan yang cukup besar. Oleh karenanya untuk menghindari biaya tinggi dilakukan rotasi dengan menghentikan menanam nilam. Lahan diberakan atau ditanami dengan tanaman lain yang mampu meningkatkan kesuburan lahan. Selanjutnya penanaman nilam dilakukan di lahan lain dalam jangka waktu tertentu baru kembali ke lahan yang telah ditinggalkan tersebut.
4.4. Sistim lorong
Pada sistim lorong, tanaman ditanam diantara tanaman lain yang biasanya berupa pohon (Gambar 3C). Pada sistem ini yang perlu diperhatikan adalah intensitas cahaya yang masuk ke tanah. Tanaman nilam yang ditanam tidak sebanyak sistem monokultur. Nilam ditanam di antara
J/Tanaman Sela Nilam Nilam
lorong pepohonan. Hasil pengamatan di lapang penanaman nilam di bawah tegakan berupa pohon seperti jati dan mengkudu menyebabkan daun nilam lebih lebar, tipis dan hijau daripada nilam yang ditanam di lahan terbuka. Namun menurut Anon (1975), pada kondisi terlindung kadar minyaknya lebih rendah dibanding terbuka. Hal ini dibuktikan oleh Supadyo dan Tan (1978) yang menyatakan bahwa kandungan minyak atsiri pada pola tanam monokultur tanpa naungan sebesar 5,1%, sedangkan di sela pohon karet dan kelapa sawit lebih rendah yaitu 4,66 %.
V. UPAYA PENGEMBANGAN TANAMAN NILAM BERKELANJUTAN MELALUI POLA TANAM
Dalam upaya mendukung pengembangan nilam diperlukan teknologi yang tepat agar pengembangan nilam mampu berkelanjutan. Salah satu upaya yang perlu mendapat perhatian adalah dukungan teknologi yang mampu memperkuat posisi petani dalam menghadapi gejolak harga. Selain itu, teknologi yang dimaksud juga mampu meningkatkan produktivitas lahan. Pengembangan nilam dengan dukungan teknologi pola tanam perlu menjadi bahan pertimbangan. Sistem ini akan membantu memecahkan masalah akibat fluktuasi harga. Pemanfaatan lahan di antara nilam atau nilam sebagai tanaman sela menjadikan usahatani nilam lebih kuat melawan kemungkinan jatuhnya harga minyak nilam. Ketika harga minyak nilam jatuh, hasil dari tanaman lain akan membantu kebutuhan petani dan minyak nilam dapat disimpan sambil menunggu harga yang layak untuk dijual.
Untuk tercapainya pengembangan nilam melalui pola tanam, sebaiknya ditekankan kepada teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas dan efisiensi yang bertitik tolak pada pendekatan ekologi yang ramah lingkungan. Peta kesesuaian lahan dan iklim untuk nilam yang telah dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk menentukan teknologi yang diperlukan di suatu lokasi, seperti pemupukan, pola tanam dan teknik konservasi lainnya seperti pemulsaan dan drainase.
Meskipun penelitian mengenai tanaman yang layak untuk dipola tanamkan dengan nilam masih dirasakan kurang, namun petani telah memulai menanam tanaman nilam dengan tanaman lain, baik secara berurutan maupun bersamaan dengan tanaman nilam (Emmyzar dan Ferry 2004; Soepadyo dan Tan 1978). Teknologi pola tanam yang dilakukan oleh petani tersebut dapat dijadikan acuan untuk menentukan pola tanam yang lebih baik. Penanaman tanaman lain di antara nilam (pola tanam nilam), selain dapat meningkatkan pendapatan petani juga menjaga kelestarian lingkungan (Wahid dan Rosman 1998).
VI. PENUTUP
Pengembangan nilam sering terkendala oleh fluktuasi harga yang berakibat menurunnya keinginan petani dalam berusahatani nilam. Ketika harga jatuh tanaman dibiarkan tidak terpelihara sehingga tanaman menjadi tidak produktif. Untuk mengantisipasi hal tersebut pola tanam merupakan salah satu kunci yang dapat mempertahankan minat petani untuk tetap memelihara tanamannya. Melalui pola tanam, berarti ada tanaman lain yang ditanam sehingga petani tidak hanya mengandalkan kepada hasil nilam. Minyak nilam yang diperoleh dapat disimpan sambil menunggu harga tinggi siap untuk dijual. Adanya tanaman lain berarti juga secara tidak langsung memelihara tanaman nilam juga. Pola tanam juga dapat meningkatkan atau mempertahankan kesuburan tanah apabila ditanam dengan tanaman penyubur tanah seperti kacang-kacangan atau limbah dari tanaman sela bila dikembalikan ke tanah akan membantu memperbaiki kesuburan tanah.
Pola tanam nilam dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu pola tumpang sari, berurutan, rotasi atau sistem lorong. Untuk menghindari gagal panen sebaiknya dalam pola tanam perlu diperhatikan kesesuaian persyaratan tumbuh tanamannya. Pola tanam yang digunakan seyogyanya didasarkan juga kepada efisiensi usahatani, mudah dilaksanakan, dan mampu meningkatkan produktivitas tanaman nilam.