• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan epitel mukosa nasofaring, dan merupakan tumor paling umum yang mengenai nasofaring. Karsinoma nasofaring dikenal sebagai neoplasma agresif lokal dengan tingginya kejadian metastase ke limfonodi leher. Tumor primer di dalam nasofaring dapat meluas ke palatum, rongga hidung, orofaring dan basis kranii. Metastasis jauh dapat muncul di tulang, paru, mediastinum dan ke hepar.1

Karsinoma nasofaring merupakan keganasan dengan karakteristik variasi distribusi geografis dan etnis. Kejadian tertinggi terdapat di China Selatan dan pada imigran populasi Cina di Asia Tenggara, Hong Kong maupun Amerika, sedangkan kejadian menengah terdapat di Timur Tengah dan Afrika Utara. Karsinoma nasofaring paling sering muncul di resessus faringeus lateralis,yang juga dikenal sebagai fossa Rosenmuller, dan memiliki kecenderungan untuk menyerang secara luas dan bermetastasis. Pembengkakan di leher merupakan keluhan dan gejala yang paling sering ditemui, disamping nyeri kepala, nyeri tulang dan keluhan di hidung dan telinga.1,2

Diagnosis karsinoma nasofaring dapat dibuat pada biopsi-endoskopi, tetapi penanganan yang efektif membutuhkan pemetaan yang akurat dari volume tumor dan luasnya dengan pencitraan. Pencitraan memungkinkan evaluasi perluasan tumor, termasuk penyebar submukosa, tulang dan intrakranial yang tidak dapat dinilai secara klinis atau endoskopi. MRI merupakan modalitas terbaik untuk

(2)

2 menilai perluasan tumor, sedangkan CT scan resolusi tinggi memiliki nilai untuk menilai erosi korteks tulang.1

Latar belakang diangkatnya referat ini karena karsinoma nasofaring merupakan kasus yang relatif sering ditemui, sehingga tujuan ditulisnya referat ini adalah untuk mengangkat masalah-masalah yang dihadapi pada diagnosis karsinoma nasofaring dengan modalitas CT scan.

(3)

3 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Nasofaring

Nasofaring terletak di aspek superior dan posterior saluran pencernaan dan pernafasan. Ruangan ini terbuka ke anterior menghadap bagian posterior kavum nasi melalui choanae, dan terbuka ke inferior ke dalam orofaring setinggi palatum durum. Batas vertebra servikalis C1 dan C2 merupakan penanda batas antara nasofaring dan orofaring. Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel skuamosa dan dikelilingi oleh otot dan selubung fascia yang terdiri dari otot konstriktor superior dan fascia bukkofaringealyang berasal dari lapisan media fascia servikalis profunda. Nasofaring dilapisi jaringan limfoid, yang lebih menonjol di aspek superior dan membentuk adenoid. Drainase limfatik nasofaring dan ruangan terkait di sekitarnya menuju ke limfonodi rantai jugularis, terutama simpul jugulodigastrik, yang terletak di angulus mandibula.1,3

Nasofaring memiliki tiga dinding dan satu atap. Atap nasofaring berbatasan dengan dasar sinus sphenoidalis dan lereng posteroinferior sepanjang clivus atau basioksiput, sampai ke bagian atas vertebra servikalis. Sisa-sisa jaringan adenoid dapat menetap sampai dewasa dan ada sebagai penanda di atap nasofaring. Fascia faringobasilar, suatu aponeurosis yang menghubungkan otot konstriktor superior ke basis kranii merupakan struktur paling penting di nasofaring. Serabut fascia faringobasilar membuat kerangka yang menentukan konfigurasi nasofaring dan pendukungnya, dimana seluruh faring tergantung pada

(4)

4 basis kranii. Fascia faringobasilar berfungsi sebagai penghalang terhadap penyebaran karsinoma nasofaring.1,2

Dinding lateral fascia faringobasilar merupakan dinding paralel yang memanjang dari batas posterior medial pterygoid plate di anterior sampai ke tuberositas faringeal oksipitalis dan otot prevertebra di posterior. Foramen lacerum, yang berada dalam batas-batas fascia faringobasilar, merupakan struktur fibrokartilago yang membentuk bagian dasar dari kanalis karotis horisontal dan atap nasofaring. Foramen lacerum memberikan jalan bagi tumor nasofaring untuk mencapai sinus kavernosus dan ruang intrakranial. Sepasang tuba eustachius bersama dengan serabut media otot levator veli palatini masuk ke nasofaring melalui sinus Morgagni, yaitu suatu celah di posterolateral fascia faringobasilar. Bukaan tuba eustachius terletak di anterior (pada potongan aksial) dan di inferior (pada potongan koronal) dari torus tubarius. Torus tubarius merupakan ujung distal tuba eustachius yang membentuk struktur berlapis mukosa yang menonjol ke dalam lumen nasofaring dari aspek superior dinding posterior lateral nasofaring. Fossa Rosenmuller, yang juga dikenal sebagai resessus faringeal lateralis, terletak di posterior (pada potongan aksial) dan superior (pada potongan koronal) dari tubarius torus. Fossa Rosenmuller merupakan tempat paling sering munculnya karsinoma nasofaring. Di sebelah lateral nasofaring terletak parapharyngeal space, yang memisahkan nasofaring dari masticator space. Keterlibatan lemak parafaringeal berfungsi sebagai penanda penting infiltrasi tumor yang digunakan dalam penentuan stadium.1,2

(5)

5 Batas posterolateral nasofaring terdiri dari carotid space, yang terletak di belakang parapharyngeal space. Retropharyngeal space merupakan ruangan yang terletak di belakang nasofaring antara nasopharyngeal mucosal space dan otot prevertebra. Retropharyngeal space merupakan ruang potensial yang berisi limfonodi retrofaringeal medial dan lateral. Limfonodi retrofaringeal lateral, yang juga dikenal sebagai nodus Röuviere, merupakan stasiun pertama dalam drainase limfatik dari nasofaring dan bersama dengan limfonodi servikal level dua, merupakan tempat yang paling umum metastasis ke limfonodi. Limfonodi retrofaringeal medial tidak membentuk rantai nodal yang diskrit, sehingga sulit terlihat.1

Kompartemen dan ruangan di sekitar nasofaring terdiri dari kompartemen media, lateral dan posterior. Kompartemen media nasofaring berisi ruang mukosa faring. Keterlibatan ruang ini, akan terlihat asimetri fossa Rosenmuller disertai penebalan otot levator veli palatini. Kompartemen lateral berisi parapharyngeal space, masticator space, parotid dan carotid space. Masticator space terletak di anterior dan berisi fossa infratemporalis, otot pengunyahan dan corpus mandibula. Parotid space terletak di posterolateral parapharyngeal space dan berisi kelenjar parotis. Carotid space terletak di retrostyloid dan di bentuk oleh selubung karotis, mengandung arteri karotis interna, vena jugularis dan limfonodi servikalis profunda. Kompartemen posterior berisi retropharyngeal space dan prevertebral space. Penyebaran tumor ke ruang ini diidentifikasi dengan adanya massa tumor densitas jaringan lunak di midline dan ke otot prevertebral.4

(6)

6 B. Epidemiologi

Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang menunjukkan variasi etnis dan geografis yang berbeda. Secara global, terdapat lebih dari 80.000 kasus dan 50.000 kematian setiap tahun. Karsinoma nasofaring lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan sekitar 2-3:1. Karsinoma nasofaring jarang terjadi pada anak-anak dan paling sering terjadi pada pasien dewasa dengan usia antara 40-60 tahun.1,5,6,7

Kejadian tertinggi karsinoma nasofaring terdapat di China selatan (20-30 per 100.000 orang per tahun pada laki-laki dan 15-20 per 100.000 orang per tahun pada wanita), sehingga dianggap sebagai daerah endemik. Kejadian yang tinggi juga didapatkan pada imigran populasi Cina di Asia Tenggara, Hong Kong dan Amerika, sehinga karsinoma nasofaring dianggap sebagai penyakit Asia. Tingkat kejadian menengah terdapat di wilayah Kutub Utara, Timur Tengah dan Afrika Utara. Karsinoma nasofaring merupakan 0,25% dari semua keganasan di Amerika Serikat, 15-18% dari keganasan di Cina selatan dan 10-20 % dari keganasan anak di Afrika.2,4,5

C. Etiologi

Penyebab dari karsinoma nasofaring merupakan multifaktorial dan melibatkan banyak faktor risiko lingkungan, genetik dan infeksi virus. Secara khusus, diet tinggi garam dalam makanan awetan, seperti ikan asin, daging, telur, buah-buahan dan sayuran dalam diet Asia Selatan, telah diidentifikasi sebagai kemungkinan faktor penyebab yang bertindak melalui karsinogen

(7)

N-7 nitrosodimethylamine. Sebaliknya, konsumsi buah-buahan segar dan atau sayuran, terutama selama masa kanak-kanak, dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah. Virus Epstein-Barr (EBV) juga menunjukkan peran kausal dalam kejadian karsinoma nasofaring. Saat ini, serologi EBV telah digunakan sebagai alat skrining pada populasi berisiko tinggi di Cina selatan. Faktor lain yang terlibat termasuk asap rokok, serbuk kayu dan panas industri.1,5,8

D. Gejala Klinis

Gejala klinis pada karsinoma nasofaring dapat berupa keluhan di hidung, telinga, pembengkakan di leher, nyeri kepala, nyeri tulang dan neuropati saraf kranial. Beberapa pasien bahkan tidak menunjukkan adanya gejala. Keluhan pertama yang paling sering dirasakan adalah adanya benjolan di leher. Keluhan di hidung dapat berupa epistaksis, hidung tersumbat dan hidung berlendir, sedangkan keluhan pada telinga dapat berupa otitis media, telinga berdenging dan tuli.1,5,6

E. Diagnosis

Penegakan diagnosis karsinoma nasofaring terdiri dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, biopsi endoskopik serta pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan leher dan neurologis saraf kranialis, sedangkan pemeriksaan laboratorium meliputi hitung darah lengkap, tes fungsi hati dan kadar fosfat alkali. Semua tahapan manajemen pasien karsinoma nasofaring, dari diagnosis, stadium sampai penatalaksanaan dan tindak lanjut,

(8)

8 melibatkan pemeriksaan radiologi. Sebanyak 6 % karsinoma nasofaring terletak di submukosa dan tidak terlihat pada pemeriksaan endoskopi, sehingga pemeriksaan radiologi tetap diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis, serta untuk menentukan dengan akurat batas dinding faring yang terlibat dan invasi tumor ke struktur sekitarnya.1

Penilaian lesi mukosa paling baik dilakukan dengan endoskopi. Temuan pencitraan sering menyebabkan perkiraan yang salah tentang luasnya keterlibatan mukosa. Sebaliknya, evaluasi klinis tidak memadai pada tumor yang terletak seluruhnya atau hampir seluruhnya di bawah mukosa. Oleh karena itu, penentuan stadium harus mencakup endoskopi, pemeriksaan klinis leher dan pencitraan.8

Pemeriksaan radiologi karsinoma nasofaring meliputi computed tomography scan (CT scan) dan magnetic resonance imaging (MRI). CT scan merupakan modalitas pemeriksaan yang paling umum dan dapat diandalkan untuk menentukan stadium dan perluasan karsinoma nasofaring, walaupun saat ini telah tergantikan oleh MRI sebagai modalitas pilihan. CT scan dapat menunjukkan massa tumor, yang mungkin seluruhnya berada di submukosa, perubahan permeatif atau erosi tulang basis kranii atau penyebaran sepanjang jalur foraminal. Pada CT scan, tumor dapat dibedakan dari penebalan mukosa reaktif, dimana penebalan akan terlihat lebih hipodens dengan penyangatan lebih kecil dibanding massa tumor.1,2,4,5,7,8

Pencitraan karsinoma nasofaring meliputi CT scan leher dengan kontras, dari basis kranii sampai ke thoracic inlet. CT scan aksial dan koronal potongan tipis dengan bone window, dapat menunjukkan invasi basis kranii, dan sangat

(9)

9 sensitif untuk menunjukkan invasi korteks tulang awal. Pada CT scan, karsinoma nasofaring menunjukkan densitas yang sama dengan otot. Karena perbedaan densitas yang rendah antara otot dan massa tumor, karsinoma nasofaring yang kecil akan sulit didiagnosa. Infiltrasi parapharyngeal space adalah tanda yang paling dapat diandalkan. Temuan yang khas pada karsinoma nasofaring adalah asimetri fossa Rosenmuller berupa penumpulan atau pengkaburan, sering disertai dengan penebalan lapisan otot di sekitarnya akibat infiltrasi tumor. Meskipun demikian, fossa Rosenmuller ukurannya bervariasi dan asimetri kadang-kadang suatu yang normal, akibat hipertrofi, inflamasi dan sekresi jaringan limfoid. Keterlibatan fossa Rosenmuller dapat menyebabkan disfungsi tuba Eustachius, baik secara langsung atau tidak langsung, dengan infiltrasi otot-otot di sekitarnya, menyebabkan stasis sekresi telinga tengah dan gangguan pendengaran unilateral.1,4,7,8

Asimetri fossa Rosenmuller merupakan temuan pada tahap awal, dimana massa tumor masih berada di submukosa dan tidak menginfiltrasi fascia faringobasilar. Hilangnya lemak antara otot tensor dan levator veli palatini atau di jaringan parafaringeal menunjukkan adanya keganasan.4,7,8

Ketebalan preoccipital space dapat digunakan untuk memperkirakan keganasan nasofaring. Preoccipital space didefinisikan sebagai lebar antero-posterior maksimum densitas soft tissue di midline, setinggi pertengahan nasofaring, dengan batas anterior berupa permukaan mukosa dan batas posterior berupa tulang oksipital. Pelebaran daerah preoksipital lebih dari 1,5 cm merupakan penanda karsinoma nasofaring, yang menunjukkan awal infiltrasi

(10)

10 submukosa. Preoccipital space hanya dinilai pada potongan aksial dan tidak dapat dinilai dari potongan sagital.4

Secara umum, CT scan lebih unggul daripada MRI dalam mendeteksi keterlibatan basis kranii, tetapi perubahan pada basis kranii lebih baik diidentifikasi dengan MRI. Meskipun erosi kortikal sering didiagnosis dengan menggunakan CT scan, infiltrasi sumsum tulang lebih baik ditentukan dengan MRI. Hilangnya lapisan lemak di lateral foramen rotundum atau foramen ovale merupakan penanda adanya infiltrasi awal perineural.8

Sebagian besar kasus karsinoma nasofaring muncul dari fossa Rosenmuller. Tumor dapat tetap berada di nasofaring atau menyebar ke daerah di sekitarnya. Tumor dapat menyebar secara submukosa dan infiltrasi dalam ke ruang dan lapisan leher yang lebih dalam. Infiltrasi dalam terjadi dengan perluasan langsung melalui fascia faringobasilar atau perluasan tumor melalui sinus Morgagni, yaitu suatu celah di batas superior fascia faringobasilar, dimana tuba eustakhius melewati celah ini. Jika sudah melalui fascia ini, tumor dapat menyebar ke anterior, lateral atau superior. Karsinoma nasofaring cenderung memiliki pola penyebaran yang jelas.4,5

Penyebaran karsinoma nasofaring secara mukosa menunjukkan kecenderungan untuk menyebar ke superior menuju basis kranii, daripada ke inferior menuju orofaring. Sehingga, perluasan ke inferior menuju hipofaring yang merupakan tempat paling inferior dalam sistem TNM, sangat jarang terjadi.1,5

(11)

11 Limfonodi retrofaringeal, submandibula, submental dan servikalis lateral merupakan limfonodi yang secara klinis penting. Sekitar 75% pasien dengan karsinoma nasofaring memiliki limfadenopati servikal yang teraba. Keterlibatan limfonodi servikal terjadi melalui penyebaran ke arah bawah, dimana semakin bawah letaknya, semakin buruk prognosisnya. Limfonodi retrofaringeal dan jugularis interna tertinggi tidak teraba pada pemeriksaan klinis. Limfonodi retrofaringeal lateral (nodus Rouviere) merupakan tingkatan pertama drainase limfatik nasofaring. Nodus retrofaringeal medial biasanya tidak terlihat dan bila terlihat baik pada CT maupun MRI merupakan suatu kelainan.8

Kriteria diagnostik metastase limfonodi pada CT scan adalah berdasarkan ukuran, bentuk, invasi ekstrakapsular, pengelompokan limfonodi dan nekrosis sentral. Ukuran merupakan kriteria yang paling sering dipakai, dengan menggunakan diameter aksial terpendek. Batas maksimal diameter limfonodi normal adalah 1,5 cm (pada level I dan II) dan 1,0 cm untuk level IV sampai VII dan 0,5 cm untuk limfonodi retrofaringeal lateral, sedangkan pada kelompok medial, ukuran berapapun bila terlihat sudah dianggap tidak normal. Limfonodi yang memiliki diameter diatas batas tersebut mempunyai kemungkinan 80% suatu metastasis. Nodul metastasis biasanya lebih bulat daripada yang hiperplastik, dengan rasio ukuran longitudinal terpanjang dengan diameter aksial kurang dari dua, dan hilangnya fatty hilum. Limfonodi yang normal mempunyai rasio lebih dari dua. Invasi ekstrakapsular ditandai dengan penyangatan kapsul dengan batas yang irreguler dan tidak tegas. Gabungan lebih dari tiga limfonodi dengan diameter maksimum 8 sampai 15 mm atau diameter aksial minimal 8 sampai 10

(12)

12 mm, mencurigakan suatu metastases limfonodi. Nekrosis sentral merupakan kriteria diagnostik yang paling akurat untuk metastasis limfonodi. Pada CT scan tanpa kontras, nekrosis sentral muncul sebagai daerah dengan atenuasi rendah di tengah limfonodi. Pada CT scan dengan kontras, nekrosis muncul sebagai daerah yang tidak menyangat dikelilingi oleh lingkaran tipis penyangatan perifer.1,2,8

Evaluasi limfonodi servikal dapat dilakukan secara akurat baik dengan CT scan maupun MRI. Tetapi untuk membedakan antara massa tumor primer dan limfonodi retrofaringeal yang berdekatan paling baik dinilai dengan MRI. MRI lebih unggul daripada CT scan dalam menunjukkan perluasan tumor ke jaringan lunak, terutama pada tumor dengan keterlibatan submukosa yang luas. MRI memiliki resolusi kontras jaringan lunak yang baik serta lebih unggul dalam mengidentifikasi infiltrasi submukosa, perubahan sumsum tulang di basis kranii, penyebaran intrakranial, penyebaran perineural dan membedakan hiperintensitas mukosa dari hipointensitas torus tubarius dan bagian intrapharyng otot levator palatini. MRI juga lebih dapat diandalkan untuk membedakan antara tumor primer dan adenopati retrofaringeal.1,2,8

Foto polos masih digunakan dalam evaluasi awal metastase tulang. Pada foto polos lesi jinak maupun ganas mempunyai tampilan yang sama, sehingga adanya destruksi tulang merupakan petunjuk adanya keganasan. Destruksi tulang paling banyak terdapat di foramen lacerum, basis prosesus pterygoideus atau di dekat anterolateral sinus sphenoidalis dan di midline. Karsinoma nasofaring biasanya dapat dilihat sebagai massa jaringan lunak di nasofaring. Pada foto lateral, lesi ganas mempunyai batas yang tegas, dengan tepi tampak tidak rata

(13)

13 dibanding tumor jinak. Lesi jinak biasanya terletak di midline, sedangkan lesi ganas hampir selalu unilateral. Bayangan jaringan lunak pada foto lateral di nasofaring berukuran 1,5 cm atau lebih pada proyeksi submento-vertikal dianggap abnormal.8,9

F. Klasifikasi dan stadium

WHO mengklasifikasikan karsinoma nasofaring ke dalam tiga tipe, yaitu tipe satu; keratinizing squamous cell carcinoma, tipe dua; non-keratinizing carcinoma dan tipe tiga; undifferentiated carcinoma. Semua tipe karsinoma nasofaring merupakan 80% dari keganasan nasofaring, diikuti oleh limfoma, tumor kelenjar ludah minor dan rhabdomyosarcoma. Tipe satu terkait dengan rokok dan penggunaan alkohol, dan memiliki prognosis terburuk. Tipe dua dan tiga merupakan tipe yang paling umum, bersifat radiosensitif dan memiliki prognosis yang lebih baik.2,5,7

Penentuan stadium karsinoma nasofaring menggunakan sistem TNM dari American Joint Committee on Cancer (AJCC), yaitu evaluasi tumor primer (kategori T), keterlibatan limfonodi (kategori N) dan ada tidaknya metastasis (kategori M). Kategori T ditentukan oleh hubungan antara tumor primer dengan struktur yang berdekatan.5

Kategori T1, tumor terbatas pada nasofaring, atau meluas ke orofaring dan /atau rongga hidung tanpa ekstensi parafaringeal. Tampak adanya penebalan mukosa dan asimetris nasofaring. Penyebaran mukosal cenderung melibatkan bagian superior nasofaring. Infiltrasi ke lapisan dalam leher dapat terjadi

(14)

14 meskipun lesinya kecil. Rongga hidung biasanya terlibat. Invasi minimal ke tepi lubang choanae sering terjadi. Karsinoma nasofaring di bagian atap nasofaring bisa menyebar di tengah di sepanjang septum. Perluasan superfisial ke inferior menuju mukosa orofaring jarang terjadi.2,5

Kategori T2, tumor menyebar ke parapharyngeal space. Hal ini terjadi ketika tumor menyebar ke posterolateral dan biasanya melibatkan penetrasi lateral melalui otot levator palatini dan fascia faringobasilar dan mengenai otot tensor palatini dan parapharyngeal fat space. Invasi parapharyngeal space berhubungan dengan peningkatan risiko metastasis jauh dan kekambuhan tumor. Hal ini dapat menyebabkan kompresi tuba eustachius dengan efusi telinga tengah dan mastoid. Penyebaran posterolateral lebih lanjut dapat mengenai carotid space dan menyelimuti arteri karotis. Penyebaran retrofaringeal terjadi ketika tumor menyebar ke posterior mengenai otot capitis longus dan prevertebral space. Daerah ini berisi pleksus limfatik dan vena, sehingga invasi ke prevertebral space dikaitkan dengan peningkatan risiko metastasis jauh.5

Kategori T3, tumor menginvasi struktur tulang basis kranii dan/atau sinus paranasalis. Karsinoma nasofaring memiliki kecenderungan untuk menyerang basis kranii saat terdiagnosa. Yang paling sering terkena adalah clivus, tulang pterigoid, sphenoid dan apeks petrosus tulang temporalis. Sklerosis prosesus pterygoideus dengan peningkatan atenuasi rongga meduler atau penebalan korteks tulang dapat terdeteksi. Tumor sering menginvasi foramina di basis kranii (foramen rotundum, ovale dan lacerum dan kanalis vidian) dan fissura pterigomaksillar dan petroclival. Perluasan tumor ke fossa pterigopalatina

(15)

15 menjadi rute penyebaran ke orbita, fossa infratemporalis, rongga hidung dan fossa kranialis media. Keterlibatan sinus paranasal terjadi sebagai akibat perluasan langsung. Terkenanya sinus dapat diketahui dari hilangnya kontinuitas dinding sinus. Keterlibatan sinus maksilaris terjadi setelah erosi hidung atau dinding infratemporal maksila. Perluasan ke sinus sphenoid sering terjadi karena terletak di atas atap nasofaring.2,5

Kategori T4, tumor dengan ekstensi intrakranial dan/atau keterlibatan saraf kranial, hipofaring, orbita, atau dengan ekstensi ke fossa infratemporal/masticator space. Keterlibatan meningeal muncul sebagai nodul dengan penyangatan, sering di sepanjang dasar fossa kranialis media atau posterior clivus. Invasi langsung ke otak jarang terjadi. Invasi ke sinus kavernosa dapat menyebabkan beberapa kelemahan beberapa saraf kranial. Saraf merupakan jaringan yang resisten terhadap tumor, dan penyebaran tumor perineural merupakan proses yang membahayakan dan sering asimtomatik, sehingga tumor dapat menjalar ke basis kranii, sinus kavernosus dan fossa kranialis media.5

Perluasan ke intra kranial dapat terjadi secara langsung atau melalui penyebaran perineural. Gambaran yang menunjukkan perluasan ke intra kranial adalah nodul yang menyangat di meninges, massa di fossa kranialis media dan posterior, keterlibatan nervus maxillaris dan mandibularis.2

Invasi orbita merupakan penanda penyakit yang luas. Keterlibatan orbita dapat melalui berbagai rute. Perluasan langsung dari fossa pterigopalatina dan fissura orbitalis inferior merupakan rute paling sering. Perluasan ke orbita juga dapat melalui kanalis optikus, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis, dan fissura

(16)

16 orbitalis superior melalui sinus kavernosus. Hipofaring merupakan tempat paling inferior dari invasi tumor yang masuk dalam klasifikasi stadium, tetapi sangat jarang terlibat pada diagnosis.2,5

Dalam sistem klasifikasi N saat ini, stadium N1 terdiri dari metastasis di limfonodi servikal unilateral yang ukuran terbesarnya 6 cm or kurang, dan /atau metastases unilateral atau bilateral limfonodi retrofaringeal yang ukuran terbesarnya 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikula. Limfonodi yang berukuran lebih dari 3 cm umumnya dianggap "massa limfonodi" dan adalah menunjukkan gabungan limfonodi. Stadium N2 didefinisikan sebagai bilateral metastasis di limfonodi servikal yang ukuran terbesarnya 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikula. Stadium N1 dan N2, masih terbatas di atas fossa supraklavikula. Jika fossa supraklavikula sudah terlibat, maka stadium sudah masuk ke N3b. Limfonodi supraklavikula mencakup semua limfonodi yang terlihat pada potongan aksial yang sama sebagai bagian dari klavikula, dan termasuk limfonodi level IV dan Vb. Stadium N3a didefinisikan sebagai limfonodi yang ukuran terbesarnya lebih dari 6 cm, meskipun hal ini jarang ditemukan.1

Stadium M pada karsinoma nasofaring sama dengan keganasan lainnya, dimana M0 menandakan tidak adanya metastasis jauh dan M1 menunjukkan adanya metastasis jauh. Karsinoma nasofaring memiliki insidensi tertinggi metastasis jauh di antara kanker kepala dan leher lainnya, dengan tingkat setinggi 11% pada saat terdiagnosis, yang akan meningkat dengan meningkatnya stadium T dan N. Yang paling sering terkena adalah tulang, paru dan hepar.1, 5

(17)

17 G. Penatalaksanaan dan prognosis

Penatalaksanaan karsinoma nasofaring terutama dengan terapi radiasi, dengan penambahan kemoterapi ajuvan untuk stadium yang lebih tinggi. Pada kasus kekambuhan dapat dilakukan pembedahan (nasopharyngectomy). Pada stadium awal yang diterapi dengan radiasi saja, angka ketahanan hidup tiga tahun mencapai 90%.1,7,5,10

Ketahanan hidup secara konsisten berkorelasi dengan stadium penyakit. Pasien dengan penyakit pada tahap awal, lebih baik daripada yang lain, dengan tingkat ketahanan hidup secara keseluruhan 80% untuk stadium I dan 65% untuk stadium II. Pasien dengan stadium lanjut, tingkat ketahanan hidup 45% pada stadium III dan 30% pada stadium IV. Perluasan tumor di belakang prosesus styloideus atau ke dalam masticator space sering terjadi dan berhubungan dengan kelangsungan hidup yang buruk. Prognosis yang buruk termasuk kelumpuhan saraf kranial, keterlibatan paranasopharyngeal space, usia lanjut, jenis kelamin laki-laki dan keterlibatan limfonodi. Prognosis memburuk dengan keterlibatan limfonodi distal lanjutan dari rantai limfonodi servikal atas ke media dan inferior.8

H. Diagnosa Banding H1. Limfoma

Nasofaring merupakan salah satu tempat yang paling umum limfoma non-Hodgkin ekstranodal di daerah kepala dan leher. Limfoma biasanya terjadi pada dekade keenam, dan pada 10% pasien berhubungan dengan limfoma traktus gastrointestinal. Limfoma sering berada di midline, tidak seperti karsinoma

(18)

18 nasofaring yang sering muncul dari lateral. Invasi tulang jarang terjadi bahkan pada tumor yang berukuran besar, dan seperti karsinoma nasofaring, sering disertai dengan keterlibatan limfonodi, tetapi limfoma melibatkan limfonodi submandibular dan parotis, yang kurang sering terlibat pada pasien dengan karsinoma nasofaring.5

H2. Juvenile angiofibroma nasofaring

Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang sering ditemukan di nasofaring dan sering mengenai remaja laki-laki, dengan usia rata-rata 15 tahun saat terdiagnosis. Secara histopatologis tumor bersifat jinak tetapi secara klinis mempunyai sifat destruktif, dan mempunyai angka kekambuhan yang tinggi. Gejala klinis yang khas adalah epistakis berulang dan keluhan hidung tersumbat pada satu sisi.11,12

Tumor berasal dari dinding posterior rongga hidung di dekat batas superior foramen sphenopalatina. Tumor meluas dengan cara erosi tulang dan mendesak struktur di dekatnya, dan dapat meluas ke basis kranii. Tumor mempunyai aliran vaskuler yang tinggi dengan mendapatkan suplai paling sering dari arteri karotis eksterna. Gambaran radiologis pada tumor ini adalah massa jaringan lunak di rongga hidung posterior disertai dengan pembesaran dari foramen sphenopalatina dan erosi margin posterior. Adanya penonjolan ke anterior dari dinding posterior sinus maxillaris, yang dikenal sebagai Holman-Miller sign, merupakan temuan karakteristik. Penonjolan ini disebabkan adanya massa di pterygomaksillary space.11,12

(19)

19 BAB III

PEMBAHASAN

Karsinoma nasofaring merupakan keganasan dengan variasi etnis dan geografis yang berbeda. Kejadian tertinggi karsinoma nasofaring terdapat di China Selatan dan pada imigran populasi Cina di Asia Tenggara, Hong Kong maupun Amerika. Sehingga wilayah Cina Selatan dianggap sebagai daerah endemik dan karsinoma nasofaring dianggap sebagai penyakit Asia. Karsinoma nasofaring lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.1,2

Pada umumnya keluhan yang paling sering dirasakan adalah adanya benjolan di leher. Sebanyak 50% sampai 70% pasien pada awalnya datang dengan keluhan limfadenopati servikal dalam bentuk benjolan leher, yang kemudian terdiagnosis dengan biopsi limfonodi. Karsinoma nasofaring jarang menjadi perhatian pasien sebelum menyebar ke limfonodi regional, sehingga pada pasien dengan benjolan di leher dengan tumor primer yang tidak diketahui, perhatian harus diberikan kepada kemungkinan karsinoma nasofaring.1

Pembesaran dan perluasan tumor dari nasofaring dapat menyebabkan gejala sumbatan hidung misalnya hidung tersumbat, hidung berlendir dan epistaksis. Gangguan pendengaran dan otitis media biasanya berhubungan dengan penyumbatan tuba eustachius. Sedangkan perluasan tumor ke intra kranial dapat menyebabkan keluhan nyeri kepala, nyeri tulang atau neuropati.1,6

Penentuan stadium tumor harus mencakup endoskopi, pemeriksaan klinis leher dan pencitraan. Penilaian lesi mukosa paling baik dilakukan dengan

(20)

20 endoskopi. Tetapi sebanyak 6 % karsinoma nasofaring terletak di submukosa dan tidak terlihat pada pemeriksaan endoskopi, sehingga pemeriksaan radiologi tetap diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis, serta untuk menentukan dengan akurat batas dinding faring yang terlibat dan invasi tumor ke struktur sekitarnya. Peran utama spesialis radiologi dalam evaluasi tumor nasofaring tidak untuk memprediksi histologi tumor tetapi untuk melakukan identifikasi dan pemetaan tumor untuk perencanaan terapi.1,8

Pemeriksaan radiologi karsinoma nasofaring meliputi CT scan dan MRI, dimana keduanya saat ini tidak lagi digunakan secara rutin untuk tujuan skrining. Namun, ahli radiologi harus mempertimbangkan adanya karsinoma nasofaring pada setiap pemeriksaan kepala dan leher, terutama pada pasien berisiko tinggi, seperti keturunan Asia, dalam evaluasi otitis media atau terdapat opasitas di telinga tengah.1,7

CT scan merupakan modalitas pemeriksaan yang paling umum dan dapat diandalkan untuk menentukan stadium dan perluasan karsinoma nasofaring, walaupun saat ini telah tergantikan oleh MRI sebagai modalitas pilihan. CT scan lebih unggul dalam mendeteksi erosi kortikal, tetapi infiltrasi sumsum tulang lebih baik ditentukan dengan MRI.2,4,5,8

Kelebihan CT scan adalah relatif murah, waktu pengambilan gambar cepat dan tersedia di banyak tempat. Sedangkan kekurangannya adalah kurang akurat dibandingkan MRI untuk mengevaluasi invasi tumor ke jaringan sekitarnya dan adanya paparan radiasi pengion. Adanya edema, fibrosis, peradangan dan jaringan

(21)

21 parut post terapi juga membatasi kemampuan diagnosis pada residu tumor atau kekambuhan.1

Temuan CT scan pada karsinoma nasofaring adalah asimetri fossa Rosenmuller, hilangnya lapisan lemak di parapharyngeal space, destruksi tulang, penebalan preoccipital space dan pembesaran limfonodi. Asimetri fossa Rosenmuller merupakan tanda yang paling khas, berupa penumpulan atau pengkaburan, menyebabkan disfungsi tuba eustachius dan menyebabkan stasis sekresi telinga tengah dan gangguan pendengaran unilateral.1,4

Asimetri fossa Rosenmuller merupakan temuan pada tahap awal, dimana massa tumor masih berada di submukosa dan tidak menginfiltrasi fascia faringobasilar. Pelebaran daerah preoksipital lebih dari 1,5 cm merupakan penanda karsinoma nasofaring, yang menunjukkan awal infiltrasi submukosa.4,7,8

Karsinoma nasofaring paling sering muncul di fossa Rosenmuller. Tumor dapat tetap berada di nasofaring atau menyebar ke daerah di sekitarnya. Karsinoma nasofaring cenderung memiliki pola penyebaran yang jelas. Penyebaran tumor dapat terjadi secara submukosa atau infiltrasi. Infiltrasi terjadi dengan perluasan langsung melalui fascia faringobasilar. Jika sudah melalui fascia ini, tumor dapat menyebar ke anterior, lateral atau superior.4,5

Penyebaran karsinoma nasofaring secara mukosa cenderung ke arah superior menuju basis kranii, daripada ke inferior menuju orofaring. Sehingga, perluasan ke inferior menuju hipofaring sangat jarang terjadi. Penyebaran ke arah superior akan mengenai basis kranii dan fossa kranialis media, yang merupakan tempat paling sering terjadinya infiltrasi dalam. Penyebaran dapat terjadi dengan

(22)

22 perluasan langsung, atau melalui tuba eustachius, mengikuti foramen lacerum dan ovale, kemudian ke sinus kavernosus. Penyebaran perivaskular atau perineural juga melalui foramen lacerum dan foramen ovale ke daerah sinus kavernosa. Perluasan intrakranial dapat mengenai struktur di basis kranii, seperti destruksi pars petrosus os temporalis, pembesaran foramen lacerum, ovale dan rotundum, pembesaran saraf, infiltrasi kanalis karotis, sinus kavernosus, sinus sphenoidalis, kranium dan orbita. Tetapi pada saat foramen basis kranii membesar, tumor mungkin sudah dalam stadium lanjut. Opasitas atau fluid level di sinus sphenoid dapat terjadi seiring peradangan sinus atau akibat penurunan drainase mukus akibat sumbatan nasopharyngeal airway.1,4,7,8

Penyebaran tumor ke arah lateral menuju parapharyngeal space, menyebabkan pengkaburan atau pendesakan parapharyngeal space, infiltrasi fossa temporalis dan pterigopalatina, destruksi pterygoid plate, pendesakan prosesus styloideus, mengenai otot levator dan tensor palatini, infiltrasi parapharyngeal fat space, otot pterigoideus medial dan lateral, otot temporalis dan masseter, mandibula dan kelenjar parotis di posterolateral. Perluasan parafaringeal dikaitkan dengan otitis media serosa karena penyumbatan tuba eustachius. Opasitas di telinga tengah dan sellulae mastoidea juga sering terlihat.4,8

Penyebaran tumor ke arah posterior ke retropharyngeal space dapat mengenai otot prevertebra, clivus, bagian anterior foramen magnum dan korpus vertebra C1 dan C2, dan di posterolateral, carotid space yang berisi arteri karotis interna, vena jugularis, saraf kranialis IX-XII, pleksus simpatis servikalis dan

(23)

23 limfonodi retrofaringeal. Penyebaran tumor ke arah anterior dapat mengenai prosesus pterigoideus, kavum nasi, fisura pterigomaksilla, fossa pterigopalatina, sinus maksilaris dan selulae ethmoidalis posterior.4,8

Sistem klasifikasi limfonodi pada karsinoma nasofaring berbeda dengan keganasan mukosa kepala dan leher lainnya. Sebanyak 60-90 % pasien memiliki metastasis ke limfonodi pada saat munculnya, sehingga hanya 10-40 % kasus yang datang tanpa keterlibatan limfonodi (stadium N0). Adanya limfadenopati di leher dikaitkan dengan peningkatan risiko kekambuhan lokal dan metastasis jauh. Limfadenopati pada pada karsinoma nasofaring lebih sering bilateral.1

Penyebaran limfadenopati karsinoma nasofaring umumnya mengikuti jalur yang sangat tertib, walaupun dapat terjadi pelompatan, dimulai dari limfonodi retrofaringeal lateral, yang terletak di medial arteri karotis, kemudian melibatkan kelompok limfonodi sepanjang rantai jugularis interna (level II sampai IV), rantai aksesori spinal (Va dan Vb), serta limfonodi supraklavikula. Limfonodi level IIa atau b, yang terletak di belakang vena jugularis di leher bagian atas, merupakan tempat yang paling umum limfadenopati non-retrofaringeal. Limfonodi daerah submandibula dan parotis jarang terkena.1,2,5

Limfonodi retrofaringeal lateral merupakan tempat yang paling umum bagi penyebaran karsinoma nasofaring dan dianggap sebagai tingkatan pertama penyebaran metastasis. Metastasis limfonodi retrofaringeal lateral dapat diidentifikasi dari basis kranii sampai setinggi vertebra servikalis C3. Keterlibatan limfonodi retrofaringeal diklasifikasikan sebagai kategori N1, baik unilateral maupun bilateral.5

(24)

24 BAB IV

KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring paling sering muncul dari fossa Rosenmuller. Gambaran karsinoma nasofaring pada CT scan adalah asimetri fossa Rosenmuller, destruksi tulang di basis kranii, hilangnya lapisan lemak di parapharyngeal space, penebalan preoccipital space lebih dari 1,5 cm, dan pembesaran limfonodi.

Penyebaran karsinoma nasofaring dari fossa Rosenmuller dapat ke arah superior menuju basis kranii dan intra kranial, ke arah inferior menuju orofaring, ke arah lateral menuju parapharyngeal space, ke arah anterior menuju kavum nasi dan ke posterior menuju retropharyngeal space. Penyebaran limfadenopati karsinoma nasofaring umumnya mengikuti jalur yang sangat tertib, dimulai dari limfonodi retrofaringeal lateral.

Diagnosis banding karsinoma nasofaring antara lain limfoma dan juvenile angiofibroma. Limfoma sering berada di midline, jarang terjadi invasi ke tulang dan dengan keterlibatan limfonodi submandibular dan parotis. Juvenile angiofibroma sering terjadi pada remaja laki-laki, berasal dari dinding posterior rongga hidung, dengan gambaran khas Holman-Miller sign.

(25)

25 LAMPIRAN

Gambar 1. Anatomi nasofaring

Gambar 2. CT scan nasofaring, potongan aksial.3

Gambar 3.Diagram menunjukkan jaringan lunak pre oksipital di midline setinggi pertengahan nasofaring.(e = eustachian orifice, f = fossa of Rosenmuller, pbf = faringobasilar fascia, RPS = Retropharyngeal space, PVS = provertebral space, POS = preoccipital space).4

(26)

26 Gambar 4. Klasifikasi limfonodi. Level IA mengacu ke limfonodi submentall IB ke submandibular. Level II mengacu ke limfonodi jugularis interna di atas os hyoid, di anterior vena jugularis (IIA) atau posterior vena jugularis (IIB). Level IIA termasuk limfonodi jugulodigastrik. Level III; limfonodi rantai jugularis antara hyoid dan krikoid, level IV; limfonodi rantai jugularis di bawah kartilago krikoid. Level V; limfonodi di belakang segitiga leher (di belakang otot sternokleidomastoideus dan di atas os klavikula). Jika di atas kartilago krikoid masuk level VA, jika di bawahnya level VB. Level VI; limfonodi di depan segitiga leher, level VII; limfonodi di daerah mediastinum superior.7

Gambaran 5. Gambaran CT scan dengan kontras menunjukkan karsinoma nasofaring dengan perluasan parafaring kanan dan adenopati retrofaringeal.8

(27)

27 Gambar 6. Gambaran CT scan dengan kontras menunjukkan keterlibatan rongga hidung dari karsinoma nasofaring.8

Gambar 7. Gambaran CT scan tanpa kontras menunjukkan penebalan dinding parafaringeal lateral kanan.8

(28)

28 Gambar 8. Karsinoma nasofaring (1) Karsinoma nasofaring tahap awal. Tampak penumpulan fossa Rosenmuller kiri dan pembesaran otot levator palatini. Meskipun ada asimetri kontur mukosa superfisial nasofaring, perubahan bisa sangat halus.(2) Tumor telah menyebar melalui fascia faringobasilar melibatkan parapharyngeal fat space. Perhatikan bahwa densitas lemak normal di ruang ini sebagian kabur dan tampak asimetri fossa Rosenmuller yang jelas.4

(29)

29 Gambar 9. Limfoma nasofaring. (a) Gambar MRI T1 aksial dengan kontras menunjukkan tumor nasofaring kiri (panah). (b) Pada potongan koronal T2 fat sat menunjukkan penyebaran tumor ke inferior sepanjang mukosa pharyngeal space kiri (panah). Tidak ada infiltrasi dari lapisan profunda leher yang jelas.

Gambar 10. Angiofibroma. CT scan menunjukkan dinding posterior sinus maxillaris menonjol ke anterior.11

(30)

30 DAFTAR PUSTAKA

1. Chan M, Bartlett E, Sahgal A, Chan S and Yu E. Imaging of Nasopharyngeal Carcinoma, In : Carcinogenesis, Diagnosis, and Molecular Targeted Treatment for Nasopharyngeal Carcinoma. Shih-Shun Chen (Ed.), 2012. InTech. Diunduh dari http://www.intechopen.com

2. Goh J, Lim K. Imaging of Nasopharyngeal Carcinoma. Ann Acad Med Singapore. 2009; 38 (9): 809-16

3. Ryan S, McNicholas M, Eustace S. Anatomy for Diagnostic Imaging. 2nd ed. Elsevier; 2004

4. Hoe J. CT of Nasopharyngeal Carcinoma: Significance of Widening of the Preoccipital Soft Tissue on Axial Scans. AJR. 1989; 153:867-72

5. Abdel Razek AAK, King A. MRI and CT of Nasopharyngeal Carcinoma. AJR. 2012; 198:11-8

6. Paulino CA. Nasopharyngeal cancer. Diunduh dari http//:www. emedicine.medscape.com [updated June 21, 2012]

7. Yousem DM, Grossman RI. Neuroradiology : The Requisite, 3rd ed. Mosby-Elsevier; 2010

8. Simon S. Imaging in Nasopharyngeal Squamous Cell Carsinoma. 2013. Diunduh dari http//:www.emedicine.medscape.com [updated Oct 14, 2013] 9. Miller E, Holman CB, Dockerty MB, Devine KD. Roentgenologic

manifestations of malignant Tumors of the nasopharynx. AJR. 1969; 106 (4) : 813-23

10. Her C. Nasopharyngeal Cancer and the South East Asian Patient. Am Fam Physician. 2001; 63 (9) : 1776-83

11. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J Gen Med. 2010;7(4):419-25

12. Nas N, Ahmed Z, Shaikh SM, Marfani MS. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma Role of Imaging in Diagnosis, Staging and Recurrence. Pakistan Journal of Surgery. 2009; 25 (3) : 185-9

Gambar

Gambar 3.Diagram menunjukkan jaringan lunak pre oksipital di midline setinggi  pertengahan  nasofaring.(e  =  eustachian  orifice,  f  =  fossa  of  Rosenmuller,  pbf  =  faringobasilar fascia, RPS  = Retropharyngeal space, PVS  = provertebral space,  POS
Gambar  7.  Gambaran  CT  scan  tanpa  kontras  menunjukkan  penebalan  dinding  parafaringeal lateral kanan
Tabel 1. Sistem klasifikasi karsinoma nasofaring. 5
Gambar  10.  Angiofibroma.  CT  scan  menunjukkan  dinding  posterior  sinus  maxillaris menonjol ke anterior

Referensi

Dokumen terkait

Laporan skripsi dengan judul “Sistem Informasi Pengelolaan Usaha Jasa Desain Banner Dan Cetak Undangan Menggunakan Framework Code Igniter Pada Percetakan Muria Grafis

Apabila dilihat dari tipe Bisnis Ritel atas Kepemilikan (Owner) yang digunakan, maka dapat disimpulkan bahwa LotteMart WholeSale termasuk dalam kategori.

Penguat harus memiliki impedansi masukan yang tinggi untuk mengintegrasi pulsa muatan yang lemah lalu mengubahnya ke pulsa tegangan yang sebanding dengan energi

Laporan skripsi dengan judul “Sistem Infromasi Quick Count berbasis web dengan SMS Gateway pada PILKADA Kabupaten Kudus” telah dilaksanakan dengan tujuan untuk

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas

Tidak terdapat hubungan bermakna antara klasifikasi histopatologis dengan respon terhadap kemoradiasi berdasarkan gambaran CT scan pada pasien dengan

Oleh karena itu dapat dipahami bila tahan luntur hasil pencelupan dengan zat warna levelling lebih rendah bila dibanding dengan tahan luntur hasil celup dengan zat warna asam

Perilaku informan dalam bentuk sikap terhadap guru-guru yang merokok disekolah, dalam penilitian ini informan mempunyai sikap yang positif dalam memberikan