• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Sejarah Tanaman Purwoceng

Purwoceng (Pimpinella alpina Kds) merupakan tanaman obat.Seluruh bagian tanaman purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional, terutama akar. Purwoceng banyak tumbuh secara liar di kawasan Dieng pada ketinggian 2.000-3.000 m dpl. Potensi tanaman purwoceng cukup besar, tetapi masih terkendala oleh langkanya penyediaan benih dan keterbatasan lahan yang sesuai untuk tanaman tersebut (Yuhono 2004). Sampai saat ini yang dikenal sebagai daerah pengembangannya hanya di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah, dengan luas areal yang terbatas dan termasuk ke dalam 24 tumbuhan langka di Jawa (Pusat Konservasi Tumbuhan 2007).

2.2 Morfologi dan Klasifikasi Purwoceng

Morfologi tanaman Purwoceng(Pimpinella alpina):

Gambar 1. Purwoceng (Darwati dan Roostika 2006). a = tanaman, b = bunga kuncup, c = bunga mekar, d = buah, dan e = akar dari tanaman berumur 6 bulan.

(2)

Klasifikasi Purwoceng(Rahardjo dan Darwati 2006). Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae

Famili : Apiaceae/ Umbelliflorae Suku : Umbelliferae

Genus : Pimpinella

Jenis : Pimpinella pruatjan Molk, sinonim P. alpine KDS Ciri- ciri dari tanaman purwoceng adalah:

1. Daun

Daunnya merupakan daun majemuk berpasangan berhadapan, berbentuk jaunting dengan panjang ± 3cm dan lebar 2,5 cm, bentuk anak daun membulat dengan tepi bergerigi, ujung daun tumpul, pangkal daun bertoreh, tangkai daun dengan panjang ± 5 cm berwarna coklat kehijauan, warna permukaan atas daun hijau dan permukaan bawah hijau keputihan (Rahardjo dan Darwati 2006).

2. Batang

Batang merupakan batang semu, berbentuk bulat, lunak dan warnanya hijau pucat.

3. Bunga

Bunganya merupakan bunga majemuk berbentuk payung, tangkainya silindris, panjangnya ± 2 cm, kelopak bunga berbentuk tabung berwarna hijau. Mulai berbunga antara bulan ke- 5 sampai bulan ke -6 dan dapat dipanen pada umur 7 – 8 bulan (Yuhono.2004).

4. Biji

Bijinya berbentuk lonjong kecil, berwarna coklat. Biji yang sudah masak berwarna hitam, berukuran sangat kecil dengan berat sekitar 0,52 gr per 1.000 butir biji (Rahardjo dan Darwati 2006)

5. Akar/rimpang

Akarnya merupakan akar tunggang yang membesar membentuk struktur seperti umbi pada tanaman gingseng tapi dengan ukuran yang lebih kecil dan

(3)

berwarna putih(Rahardjo dan Darwati 2006).

2.3 Kandungan Bahan Aktif Puwoceng dan Khasiatnya

Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Kds) merupakan tanaman obat karena hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan. Bagian akar dari tanaman ini mempunyai sifat diuretika dan digunakan sebagai afrosidiak (Heyne 1987), yaitu khasiat suatu obat yang dapat meningkatkan atau menambah stamina. Pada umumnya tumbuhan atau tanaman yang berkhasiat sebagai afrosidiak mengandung senyawa turunan saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa-senyawa lain yang berkhasiat sebagai penguat tubuh serta memperlancar peredaran darah. Di Indonesia tumbuhan atau tanaman obat yang digunakan sebagai afrosidiak lebih banyak hanya berdasarkan kepercayaan dan pengalaman (Hernani dan Yuliani 1991).

Penelitian yang mempelajari fitokimia purwoceng sudah cukup banyak. Akar purwoceng mengandung bergapten, isobergapten, dan sphondin yang semuanya termasuk ke dalam kelompok furanokumarin. Dalam akar purwoceng mengandung senyawa kumarin, saponin, sterol, alkaloid, dan beberapa macam senyawa gula (Darwati dan Roostika 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Suzery et al. (2004) menunjukkan adanya senyawa stigmasterol dalam akar purwoceng berdasarkan data spektroskopi dengan UV-Vis, FTIR, dan GC-MS. Hernani dan Rostiana (2004) melaporkan pula adanya senyawa kimia yang teridentifikasi secara kualitatif, yaitu bergapten, marmesin, 4- hidroksi kumarin, umbeliferon, dan psoralen.

Pada penelitian ini, akar purwoceng yang digunakan berasal dari Dieng dan telah dianalisa kandungan bahan aktifnya seperti yang tertera pada Tabel 1 di bawah ini.

(4)

Tabel 1. Hasil uji fitokimia akar Purwoceng

Uji fitokimia Hasil Pengujian

Alkaloid +++ Saponin - Tanin + Fenolik - Flavonoid +++ Triterfenoid + Steroid + Glikosida + Keterangan:

- : Negatif, +: Positif Lemah, ++ : Positif, +++ : Positif kuat, ++++ : Positif kuat sekali Sumber : Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011).

2.4 Afrodisiak

Tumbuhan obat digolongkan sebagai afrodisiak karena mengandung berbagai komponen kimia seperti turunan steroid, saponin, alkaloid, tannin, dan senyawa lain yang mampu melancarkan peredaran darah, menimbulkan efek stimulan baik secara hormonal dan non hormonal sehingga dapat meningkatkan stamina tubuh. Tumbuhan afrodisiak pada umumnya menunjukkan efek peningkatan sirkulasi darah pada genetalia pria dan meningkatkan aktivitas hormon androgenik. Hal ini akan memperbaiki aktivitas jaringan tubuh sehingga secara tidak langsung akan memperbaiki fungsi organ (Gunawan 2002).

Purwoceng mengandung komponen kimia berkhasiat antara lain; kelompok at- siri terdiri dari germacrene, β- Besabolene, β-Cayophylline, α- Humulene dan Carvacrol, kelompok steroid terdiri dari sitosterol, stigmasterol, stigmasta-7, 16 dien-3-ol dan stigmasta-7, 25 dien-dien-3-ol, kelompok turunan furanokumarin terdiri dari xanthotoxin dan bergapten, serta mengandung vitamin E. Simplisia purwoceng baik akar maupun batang kaya akan komponen kimia yang berfungsi dapat meningkatkan stamina tubuh, sedangkan kelompok komponen kimia yang berfungsi sebagai afrodisiak adalah steroid (Rahardjo 2010).

(5)

2.5 Biologi umum tikus

Tikus putih (Rattus norvegicus) terutama galur Sprague- Dawley (SD) merupakan jenis tikus yang banyak digunakan sebagai hewan model. Penelitian ini menggunakan tikus putih karena memiliki sifat-sifat yang khas yaitu ukuran tubuhnya kecil sehingga memudahkan penanganan dan pemeliharaan, mudah berkembang biak, jumlah anaknya cukup banyak dan siklus reproduksinya cepat (Malole dan Pramono 1989). Galur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sparague- Dawley karena galur ini memiliki pertumbuhan yang cepat, temperamen baik, kemampuan laktasi yang tinggi (Baker et al. 1980) serta mempunyai siklus reproduksi yang cepat (Ballenger 2000). Periode kebuntingan tikus 21-23 hari dengan jumlah anak rata-rata 6-12 ekor setiap kelahiran, bobot lahir 5-6 gram dengan kondisi tubuh tidak berambut, mata dan telinga tertutup, tidak mempunyai gigi dan tikus sangat aktif. Pada saat umur 2 hari, tubuh berwarna kemerah-merahan, kemudian pada hari ke-4 rambut mulai terlihat. Setelah berumur 10 hari tubuh sudah tertutup rambut, pada saat umur 13 hari mata dan telinga terbuka. Anak tikus disapih pada usia 21 hari (Veterinary Library 1996).

Gejala-gejala perubahan siklus birahi dapat diamati pada gambaran jenis sel epitel vagina yang dapat berubah pada masing-masing stadium dengan preparat ulas vagina. Menurut Baker et al. (1980) siklus birahi tikus dapat dibagi dalam 4 fase, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus dengan gambaran epitel vagina yang berbeda. Hal ini dapat terjadi apabila tikus betina telah mencapai umur 34 dan 109 hari (Kohn dan Barthold 1984). Dewasa kelamin pada hewan betina ditandai oleh birahi pertama yang disertai ovulasi. Tikus termasuk hewan nokturnal yang hampir semua kegiatan dilakukan malam hari termasuk kegiatan reproduksi sehingga perkawinan pun sering terjadi pada malam hari. Pada umumnya tikus betina akan dikawini oleh pejantan apabila berada dalam fase estrus yaitu ketika hormon estrogennya tinggi. Terjadinya perkawinan diindikasikan apabila ada spermatozoa diantara sel-sel kornifikasi vagina. Biasanya ini dianggap sebagai hari pertama kebuntingan (Malole dan Pramono 1989).

(6)

Bobot badan tikus betina dewasa sekitar 250 – 300 gr dan bobot badan tikus jantan dewasa 450 – 520 gr, mulai dikawinkan umur 65 – 110 hari untuk jantan dan betina. Tikus yang baru lahir memiliki bobot lahir antara 5 – 6 gr (Harkness dan Wagner 1989). Klasifikasi Tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Jasin (1984) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Classis : Mammalia Ordo : Rodentia Famili : Muridae Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus, L.

2.6 Reproduksi Tikus

Proses reproduksi meliputi periode pematangan, dewasa kelamin, perkawinan, kebuntingan, kelahiran, dan laktasi. Penelitian ini menggunakan tikus bunting. Kebuntingan meliputi periode perkawinan, fertilisasi, implantasi, dan plasentasi.

2.6.1 Perkawinan

Sistem perkawinan atau pengembangbiakan yang dapat diterapkan pada tikus yaitu sistem monogami, poligami, dan sistem koloni. Pada sistem monogami, satu jantan dan satu betina dicampur secara permanen. Pada sistem poligami, satu jantan dicampur dengan dua sampai enam ekor betina. Pada sistem koloni, jantan dan betina dicampur seperti sistem poligami, namun jantan bisa lebih dari satu (Malole dan Pramono 1989). Sebagai hewan nokturnal, tikus akan melakukan perkawinan di malam hari. Indikasi adanya perkawinan adalah adanya spermatozoa pada vagina atau terdapatnya sumbat vagina (vaginal plug) (Baker et al. 1979).

(7)

2.6.2 Fertilisasi

Fertilisasi merupakan peristiwa bersatunya sel telur (ovum) dengan sel spermatozoa. Fertilisasi umumnya terjadi di bagian kaudal ampula atau sepertiga atas tuba Fallopii (Sukra et al. 1989). Pada tikus, fertilisasi terjadi di ampula dari oviduk (Baker et al. 1980). Setelah terjadi fertilisasi terbentuk embrio yang akan membelah (mitosis) sampai embrio membentuk morula kemudian embrio akan memasuki uterus. Selama waktu yang tidak panjang, morula akan mengambang di rongga uterus dan berubah menjadi blastosis (Baker et al. 1980), tahap ini biasa disebut tahap blastula (Sukra et al. 1989). Dalam masa peralihannya menjadi blastosis, morula memasuki uterus dan proses ini disebabkan oleh relaksasi otot yang dikendalikan estrogen dan progesteron (Hunter 1995).

Pertumbuhan setelah tahap blastula adalah tahap gastrulasi yakni proses pembentukan tiga daun kecambah yaitu ektoderm, mesoderm dan endoderm. Tahap gastrulasi erat kaitannya dengan pembentukan susunan saraf dan penjelmaan bentuk primitif dari embrio. Tahap ini merupakan periode kritis perkembangan mahluk hidup (Sukra et al. 1989). Setelah proses fertilisasi terjadi selanjutnya adalah proses implantasi.

2.6.3 Implantasi

Satyaningtijas (2001) melaporkan bahwa implantasi tikus terjadi pada hari ke 5 kebuntingan yang ditunjukan dengan adanya peningkatan kadar RNA. Proses implantasi merupakan interaksi yang kompleks antara embrio trofoblast dan jaringan maternal uterus dengan perubahan yang terus-menerus. Implantasi pada tikus terjadi pada hari ke-5 dan ke-6 masa kebuntingan dan selesai pada hari ke-7. Sedangkan masa praimplantasi berlangsung mulai hari ke-0 kebuntingan yaitu saat ditemukannya sperma pada saat ulas vagina hingga hari ke-4 kebuntingan. Proses implantasi umumnya sempurna setelah dua hari lamanya (Baker et al. 1980).

Masa implantasi tergantung pada kadar hormon. Kadar estrogen yang tinggi menyebabkan uterus tidak dapat menerima implantasi blastosis. Jika terjadi kekurangan progesteron dapat meningkatkan kontraksi uterus secara terus menerus

(8)

sehingga terjadi kegagalan implantasi dan aborsi (Arkaraviehien dan Kendle 1990) sehingga dibutuhkan keseimbangan kadar estrogen dan progesteron. Pada siklus ovulasi normal, estrogen mempengaruhi proliferasi endometrium.

2.6.4 Plasentasi

Masa plasentasi adalah masa ketika plasenta sudah terbentuk yang didefinisikan sebagai masa terbentuknya zona yang berbatasan dan memiliki vaskularisasi yang tinggi yang menghubungkan antara induk dan embrio (Hunter 1995). Pada tikus plasentasi dimulai pada hari ke-9 dan ke-10. Terdapat dua plasenta pada tikus yaitu korio-alantois dan kuning telur yang berfungsi sebagai organ pertukaran dari embrio ke induk dan sebaliknya. Korio-alantois berfungsi untuk transport kalsium, sementara kuning telur berfungsi untuk transpor besi, transport pasif imun dari ibu ke anak dan difusi protein (Baker et al. 1980). Tiga fungsi utama plasenta, yaitu sebagai pengangkutan, penyimpanan dan biosintesa sari makanan dari induk untuk anak (Toelihere 1985).

2.7 Fisiologi Kebuntingan

Kebuntingan merupakan suatu proses yang sangat penting dalam siklus reproduksi karena menyangkut pemeliharaan calon anak mulai dari zygot sampai dilahirkan serta pertumbuhan dan perkembangan (Manalu 1996). Proses terjadinya keberhasilan kebuntingan memerlukan kehadiran hormon reproduksi yang secara langsung dan tidak langsung berpartisipasi dalam proses reproduksi (Guyton dan Hall 1997). Hormon reproduksi primer berpengaruh langsung terhadap ovulasi, fertilisasi, pengangkutan sel telur, implantasi, kebuntingan, kelahiran, dan laktasi. Sebagai contoh adalah FSH yang berfungsi untuk mensekresi estrogen yang akan digunakan mempertahankan sistem saluran kelamin betina dan terjadinya proliferasi sel. Sewaktu terjadi kebuntingan ketika sekresi estrogen bertambah maka akan terjadi pertambahan bobot badan (Hardjoprajonto 1995).

Hormon reproduksi sekunder berpengaruh secara tidak langsung adalah untuk mempertahankan keadaan dan kesejahteraan umum berupa keadaan metabolik suatu

(9)

organisme yang memungkinkan terjadinya reproduksi. Pada umumnya kelompok hormon ini mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan metabolisme seperti tiroksin, kortikoid adrenal dan insulin sehingga kebuntingan terjadi secara normal. Hormon-hormon tersebut mempertahankan keadaan metabolik individual yang akan mempengaruhi hormon-hormon reproduksi primer (Toelihere 1985).Pengaturan hormon kebuntingan diatur oleh hormon steroid yang berasal dari ovarium.dan sangat berperan dalam fungsi reproduksi adalah estrogen dan progesteron (Re et al. 1995).

Estrogen merupakan hormon yang diproduksi oleh ovarium dan plasenta yang berfungsi merangsang perkembangan organ kelamin wanita, payudara dan berbagai sifat kelamin sekunder (Guyton dan Hall 1997). Estrogen merupakan hormon yang menimbulkan estrus atau berahi pada hewan betina (Toelihere 1985). Estrogen memiliki struktur kimia berdasarkan pada inti steroid, yang mirip kolesterol dan sebagian besar berasal dari kolesterol itu sendiri (Guyton dan Hall 1997). Menurut Ellizar (1983) estrogen memiliki inti steroid cyclopentanoperhydrophenanthrene dengan |3| cincin phenanthrene dan satu cincin cyclopentane.

Gambar 2. Struktur estrogen (Johnson dan Everitt 1984)

Menurut Guyton dan Hall (1997) pada kondisi tidak hamil, estrogen disekresikan dalam jumlah besar hanya oleh ovarium, walaupun juga disekresi dalam jumlah kecil oleh korteks adrenal. Pada metabolisme tubuh, estrogen menambah sintesis dan sekresi hormon pertumbuhan sehingga dapat menstimulir pertumbuhan sel – sel dalam tubuh, mempercepat pertambahan bobot badan, merangsang korteks adrenal untuk lebih banyak meningkatkan metabolisme protein karena resistensi

(10)

nitrogen meningkat (Hardjoprajonto 1995). Estrogen berfungsi dalam merangsang pertumbuhan uterus dengan meningkatkan massa endometrium dan miometrium, merangsang kontraktilitas uterus, merangsang pertumbuhan epithelium vagina, merangsang estrus pada hewan betina, merangsang perkembangan duktus kelenjar ambing dan mempengaruhi perkembangan alat kelamin sekunder (Toelihere 1985). Menurut Guyton dan Hall (1997) estrogen mempengaruhi perkembangan fetus dan akan mengontrol pertumbuhan fetus serta differensiasi jaringan (Fowden 1995)

Pada kehamilan, estrogen dalam jumlah yang sangat besar juga disekresi oleh plasenta. Tiga estrogen yang ada dalam jumlah bermakna di dalam plasma wanita yaitu -estradiol, estron, dan estriol. Estrogen utama yang disekresi oleh ovarium adalah -estradiol. Sellman (1996) mengatakan bahwa kelebihan estrogen akan menyebabkan percepatan proses penuaan, alergi, penurunan kelamin, depresi, kelelahan, osteoporosis, kanker rahim, disfungsi tiroid, dan pembentukan jaringan ikat pada uterus.

Progesteron merupakan hormon steroid yang berasal dari kolesterol. Selama proses sintesis steroid seks, progesteron disintesis terlebih dahulu dan sebagian besar akan diubah menjadi estrogen (Guyton dan Hall 1997). Hormon ini berfungsi untuk mempertahankan kebuntingan dengan menciptakan lingkungan endometrial yang sesuai untuk kelanjutan hidup dan perkembangan embrio (Toelihere 1985). Pada fase luteal akan terjadi peningkatan rasio antara progesteron dan estrogen (Johnson dan Everitt 1984).

Pada hewan politokus seperti tikus, korpus luteum merupakan penghasil utama progesteron selama kebuntingan (Taya dan Greenwald 1981). Semakin bertambahnya umur kebuntingan akan terjadi peningkatan sekresi estradiol dan progesteron yang erat kaitannya dengan peningkatan massa plasenta (Manalu et al. 1995). Progesteron yang disekresikan selama kebuntingan juga membantu dalam mempersiapkan ambing untuk laktasi. Perkembangan dari lobules dan alveoli ambing menyebabkan sel-sel alveolar berproliferasi, membesar dan memiliki sifat sekretorik (Knight dan Peaker 1982).

Gambar

Gambar  1.    Purwoceng  (Darwati  dan  Roostika  2006).  a  =  tanaman,  b  =  bunga  kuncup,  c  =  bunga  mekar,    d  =  buah,  dan  e  =  akar  dari  tanaman  berumur 6 bulan
Tabel 1. Hasil uji fitokimia akar Purwoceng

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Nikerson (2001) jenis pertama Context Diagram (CD), adalah data flow diagram tingkat atas (DFD Top Level), yaitu diagram yang paling tidak detail,

[r]

[r]

Tugas akhir skripsi ini dibuat dengan judul “Evaluasi Sistem Informasi Akuntansi Penjualan Kredit dan Perancangan Standard Operating Procedure untuk Meningkatkan Pengendalian

Berdasarkan perhitungan yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaaan kemampuan pemahaman konsep matematis peserta didik yang diberi strategi

Alasan investor mau menanamkan modalnya pada pembangunan Jalan Tol Trans Jawa dikarenakan meskipun membutuhkan modal investasi yang besar di awal,

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu menganalisa daya penyerapan air laut pada Material Komposit serat pelepah sawit per 24 jam selama 9 hari

harga bahan dan upah kerja sesuai dengan kondisi setempat;.. b) Spesifikasi dan cara pengerjaan setiap jenis pekerjaan disesuaikan dengan standar. spesifikasi teknis pekerjaan