Indeks Massa Tubuh (IMT) Pra Hamil dan Kenaikan Berat Badan Ibu
Selama Hamil Berhubungan dengan Berat Badan Bayi Lahir
Eka Nurhayati1
1Universitas Alma Ata Yogyakarta
Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta Email: eka890211@gmail.com
Abstrak
IMT pra hamil digunakan sebagai pedoman status gizi ibu sebelum hamil dan juga menentukan penambahan berat badan optimal pada kehamilan. Sedangkan, kenaikan berat badan selama kehamilan merupakan indikator menentukan status gizi ibu. Penelitian dengan desain retrospektif ini bertujuan untuk mengetahui hubungan IMT pra hamil dan kenaikan berat badan ibu selama hamil dengan berat lahir bayi. Sampel adalah 71 ibu yang mempunyai anak usia 0-6 bulan yang dipilih secara purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan Sebagian besar responden 67,6% dalam penelitian ini mempunyai IMT pra hamil normal dan 62% respoden mengalami kenaikan berat badan selama hamil sesuai rekomendasi. Ada hubungan signifi kan antara IMT pra hamil dengan berat badan lahir p=0,006, begitu juga dengan kenaikan berat badan selama hamil mempunyai hubungan signifi kan dengan berat badan lahir dengan nilai p=0,024.
Kata Kunci: IMT pra hamil, kenaikan berat badan, berat lahir
Body Mass Index (BMI) of Pra Pregnant Women and Weight Gain During
Pregnancy are Related with Infant Birth Weight
Abstract
Prepregnancy BMI (Body Mass Index) is used as a guide to the nutritional status of the mother before pregnancy and also determine the optimal weight gain in pregnancy. Meanwhile, weight gain during pregnancy is a decisive indicator of the nutritional status of the mother. This retrospective study design aimed to determine the relationship of pre-pregnant BMI and maternal weight gain during pregnancy with birth weight babies. The sample was 71 mothers with children aged 0-6 months were selected by purposive sampling. The results showed 67.6% most respondents in this study had pre-pregnant BMI normal and 62% of respondents experienced weight gain during pregnancy, according to the recommendations. There is a signifi cant relationship between pre-pregnant BMI birth weight (p=0.006), as well as weight gain during pregnancy had no signifi cant relationship with birth weight, with p=0.024.
Keywords: pre-pregnancy BMI, weight gain, birth weight
Info Artikel:
Artikel dikirim pada 11 Januari 2015 Artikel diterima pada 11 Februari 2015 DOI : http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(1).1-5
PENDAHULUAN
Bagi ibu masa kehamilan merupakan salah satu masa penting dalam kehidupannya. Pada masa kehamilan, ibu harus mempersiapkan diri untuk menyambut kelahiran bayinya. Ibu yang sehat dapat melahirkan bayi yang sehat dan sempurna secara
jasmaniah dengan berat badan yang cukup(1). Status gizi ibu pada kehamilan berpengaruh pada status gizi janin. Asupan makanan ibu dapat masuk ke janin melalui tali pusat yang terhubung kepada tubuh ibu. Kondisi terpenuhinya kebutuhan zat gizi janin terkait dengan perhatian asupan gizi dari makanan yang ISSN2354-7642
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Tersedia online pada:
http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
adekuat agar tumbuh kembang janin berlangsung optimal(2).
Gangguan gizi pada awal kehidupan akan mempengaruhi kualitas kehidupan berikutnya(3). Berat lahir bayi merupakan prediktor penting kelangsungan hidup perinatal dan neonatal(4). Berat lahir bayi digunakan sebagai salah satu indikator untuk memprediksi pertumbuhan dan ketahanan hidup bayi di samping status gizi dan kesehatan bayi(5). Penurunan berat lahir rendah merupakan bentuk kontribusi penting terhadap Suitanable
Development Goal’s (SDG’s) untuk mengurangi
tingkat kematian neonatal setidaknya 12 per 1000 kelahiran hidup(6).
Berat lahir bayi yang tidak normal akan memberikan risiko pada ibu dan bayi. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) (<2.500 g) banyak dihubungkan dengan meningkatnya risiko kesakitan dan kematian bayi, terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan kognitif, dan selanjutnya menderita penyakit kronik di kemudian hari. BBLR mempunyai risiko kematian neonatal hampir 40 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi dengan berat lahir normal(7),penurunan durasi menyusui(8) dan risiko untuk tubuh pendek (stunted) pada masa anak (5). Sebaliknya, berat lahir bayi yang besar (>4.000 g) juga berisiko karena banyak dikaitkan dengan peningkatan melahirkan caesar, perdarahan, komplikasi pada ibu, distosia pada bahu bayi, trauma saat melahirkan dan gangguan metabolik lainnya termasuk obesitas pada masa anak-anak(9).
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013 angka kejadian BBLR diseluruh Indonesia sebesar 10,2%(10), persentase ini menurun dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2007 yaitu sebesar 11,1%(11). Dalam hal ini menurunkan angka kejadian BBLR termasuk kedalam salah satu target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2014-2019 yaitu dari angka 10,2% pada tahun 2014 menjadi 8% pada tahun 2019(12). Sedangkan kejadian BBLR di Yogyakarta tidak mengalami perbedaan pada tahun 2007 ataupun tahun 2010 masih berkisar pada angka 10%. Bayi yang lahir di Kabupaten Bantul tahun 2013 dilaporkan 100% ditimbang, hasilnya adalah bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) sejumlah 3,49%. Kasus BBLR terdapat di semua wilayah kerja puskesmas Kabupaten Bantul termasuk puskesmas Sewon yang masih mempunyai bayi yang lahir BBLR dengan jumlah 11-20 bayi setiap tahunnya(13).
Rata-rata total pertambahan berat badan ibu hamil berkisar 10-15 kg yaitu 1 kg pada trimester I dan selebihnya pada trimester II dan III. Mulai trimester II sampai III rata-rata pertambahan berat badan adalah
0,3-0,7 kg/minggu(14). Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa untuk setiap kenaikan 1 kg di penambahan berat badan, berat lahir akan bertambah 16,7-22,6 gram(7). Menurut penelitian Irawati, menunjukkan IMT pra hamil merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap berat badan bayi lahir (RR=3,8), berarti ibu yang mempunyai pertambahan berat badan selama kehamilan kurang dari 9,1 kg berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir <3.000 g dibanding ibu yang mempunyai pertambahan berat badan lebih dari 9,1 kg(15).Berat lahir khususnya BBLR merupakan masalah intergenerasi penting karena mempengaruhi kualitas kesehatan sepanjang daur kehidupan manusia. IMT pra hamil digunakan sebagai pedoman status gizi ibu sebelum hamil dan juga menentukan penambahan berat badan optimal pada kehamilan(7). Sedangkan, kenaikan berat badan selama kehamilan merupakan indikator menentukan status gizi ibu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan IMT pra hamil dan kenaikan berat badan ibu selama hamil dengan berat lahir bayi.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari penelitian untuk penyusunan tesis mahasiswa magister Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia(16). Sebagian data dari penelitian tersebut selanjutnya dianalisis ulang sesuai tujuan penulisan ini. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Mei 2015. Populasi penelitian ini adalah ibu yang melahirkan bayi dalam rentang waktu dari bulan Desember 2014 sampai bulan Mei 2015 yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Sewon Bantul Yogyakarta. Sampel dalam penelitian ini ibu yang memiliki bayi usia 0 sampai dengan 6 bulan yang datanya berhasil dikumpulkan melalui KMS. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara
purposive sampling yaitu sampel dipilih sesuai
dengan persyaratan sampel dengan memenuhi kriteria inklusi yaitu ibu yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas sewon yang melahirkan bayi tunggal cukup bulan (>37 minggu). Sampel penelitian diperoleh dari daftar nama di Puskesmas Sewon. Alat pengumpulan data berupa buku KIA yang dimiliki oleh ibu. IMT pra hamil dan kenaikan berat badan hamil ibu dihitung dengan menggunakan formulasi estimasi berdasarkan dua data berat badan hamil dengan selang waktu pengukuran minimal 11 minggu. Data pertama diperoleh dari data berat badan ibu pada umur kehamilan ≤6 bulan dan data kedua dari pemeriksaan berat badan ibu pada umur kehamilan >6 bulan. Perhitungan estimasi telah banyak digunakan
dalam berbagai penelitian, seperti pada penelitian di Lombok(17) dan Jawa Tengah(18).Perhitungan IMT pra hamil diperoleh dari berat badan pra hamil (kg) dibagi tinggi badan (m2). Data tinggi badan diperoleh dari informasi ibu dan observasi peneliti pada saat wawancara. Tabel rekomendasi dari Institute of
Medicine (IOM) digunakan untuk membandingkan
IMT prahamil dengan kenaikan berat badan hamil yang dicapainya(7). Selanjutnya, dilakukan analisis univariat, analisis bivariat terhadap data.
HASIL DAN BAHASAN
Populasi penelitian ini adalah ibu yang melahirkan bayi dalam rentang waktu dari bulan Desember 2014 sampai bulan Mei 2015 yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Sewon Bantul Yogyakarta berjumlah 71 responden.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan IMT Pra Hamil
IMT n %
Kurang (<18,5) 5 7
Normal (18,5-24,9) 48 67,6
Lebih (25,0-29,9) 18 25.4
Total 71 100
Sumber: Data Primer Tahun 2015
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu 48 orang (67,6%) mempunyai IMT pra hamil normal, serta responden dengan IMT lebih sebanyak 18 orang (25,4%) dan responden dengan IMT kurang berjumlah 5 orang (7%). Dalam penelitian ini tidak ada responden dengan IMT obesitas.
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu 44 orang (62%) mengalami kenaikan berat badan sesuai rekomendasi. Sedangkan sisanya 27 orang (38%) kenaikan berat badannya tidak sesuai rekomendasi.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Berat Badan Lahir Berat Badan Lahir n %
BBLR (<2.500 gram) 4 3,6
Berat Normal
(2.500 gram -4.000 gram)
67 60,4
Total 71 100
Sumber: Data Primer Tahun 2015
Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar bayi yaitu 67 orang (60,4%) lahir dengan berat normal dan hanya sebagian kecil 4 (3,6%) lahir dengan berat badan lahir rendah.
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa dari hasil uji statistik menggunakan chi- square
fisher exact terlihat bahwa hubungan signifikan
antara IMT pra hamil dengan berat badan lahir dengan nilai p-value=0,006 dengan OR: 11,6 (95% CI:0,29-38,0) artinya ibu dengan IMT pra hamil rendah mempunyai peluang 11,6 untuk melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dibanding dengan ibu yang mempunyai IMT sedang. IMT pra hamil digunakan untuk memonitor pertambahan BB selama kehamilan karena secara rasional wanita hamil yang kurus membuthkan pertambahan BB yang lebih banyak selama kehamilan dari pada wanita normal. IMT pra hamil juga dapat digunakan sebagai indikator baik atau buruknya status gizi wanita pra hamil. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Erika yang melaporkan adanya hubungan signifi kan berkorelasi positif antara IMT pra hamil ibu dengan berat lahir bayi(19).
Tabel 4. Hubungan IMT Pra Hamil dan Kenaikan Berat Badan Selama Hamil dengan Berat Badan Bayi Lahir di Wilayah Kerja Puskesmas Sewon Yogyakarta
Variabel Berat Badan Lahir Total p-value OR (95% CI)
BBLR Normal
n % n % n %
IMT pra hamil
0,006 11,6 (0,29-38,0)
Tinggi 0 0 18 100 18 100
Sedang 1 2,1 47 97,9 48 100
Rendah 3 60 2 40 5 100
Kenaikan Berat Badan selama Hamil
0,024 3,3 (1,00-13,4)
Sesuai Rekomendasi 0 0 42 100 42 100
Tidak Sesuai Rekomendasi 4 13,8 25 86,2 29 100 Sumber: Data Primer Tahun 2015
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kenaikan Berat Badan Selama Hamil
Kenaikan berat badan n %
Sesuai Rekomendasi 44 62
Tidak Sesuai Rekomendasi 27 38
Total 71 100
Hasil analisis kenaikan berat badan selama hamil dengan berat badan lahir juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan
p-value=0,024 dengan OR:3,3 (95% CI: 1,00-13,4)
yang artinya ibu yang mempunyai kenaikan berat badan tidak sesuai rekomendasi mempunyai peluang melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dibandingkan dengan ibu yang mengalami kenaikan berat badan sesuai rekomendasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian kohort (within family
cohort study) yang dilakukan di Amerika Serikat
yang melaporkan bahwa kenaikan berat badan ibu hamil berkorelasi dengan berat lahir bayi(20). Kenaikan berat badan sangat penting bagi ibu hamil karena sangat berpengaruh terhadap hasil
outcome kelahiran yang baik. Ibu dengan IMT pra
hamil kurang, seharusnya mengalami kenaikan berat badan lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang mempunyai IMT normal sebelum kehamilan dikarenakan kebutuhan fi siologis yang lebih besar untuk mendukung kehamilan. Kenaikan berat badan yang tidak sesuai dapat berdampak buruk bagi ibu dan bayi. Ibu dapat mengalami anemia, persalinan sulit, perdarahan pada saat persalinan. Pada bayi dapat mengalami anemia pada bayi, bayi dengan berat badan lahir rendah, serta bayi baru lahir dengan status kesehatan yang rendah. Kenaikan berat badan yang berlebih dapat mengakibatkan proses kelahiran secara caesar, asfi ksia dan diabetes gestasional(6). Disisi lain, menurut Kramer kenaikan berat badan juga dapat berakibat pada kejadian disproportionately
small for gestational age (dSGA) dan proportionately small for gestational age (pSGA)(4).Pada penelitian
Fajrina juga menunjukkan ibu dengan kenaikan BB yang kurang maka risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah lebih tinggi(21).
SIMPULAN DAN SARAN
Sebagian besar responden 67,6% dalam penelitian ini mempunyai IMT pra hamil normal dan 62% respoden mengalami kenaikan berat badan selama hamil sesuai rekomendasi. Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah sebanyak 4 bayi (3,6%). Ada hubungan signifi kan antara IMT pra hamil dengan berat badan lahir (p-value= 0,006), begitu juga dengan kenaikan berat badan selama hamil mempunyai hubungan signifi kan dengan berat badan lahir dengan nilai p-value=0,024. Hasil penelitian ini berguna bagi wanita yang berencana hamil agar mempunyai IMT yang normal (>18,5-24,9) agar persiapan kehamilan dari segi status gizi ibu bisa dipersiapkan semaksimal mungkin.
RUJUKAN
1. Susiana IWS. Hubungan antara Kenaikan Berat Badan, Lingkar Lengan Atas dan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil Trisemester III dengan Berat Bayi Lahir di Puskesmas Ampel I Boyolali Tahun 2005. Universitas Negeri Semarang; 2005.
2. Indreswari M, Hardiansyah, Damanik MRM. Hubungan antara Intensitas Pemeriksaan Kehamilan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Konsumsi Tablet Besi dengan Keluhan Selama Kehamilan. J Gizi dan Pangan. 2008;3(1):12– 21.
3. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat; 2002.
4. Kramer MS. Determinants of low birth Weight: Methodological Assesment and Meta-analysis. Bull WHO. 1987;65:663–737.
5. ACC/SCN. 4th Report on the World Nutrition-situation throughout the life cycle. 4th ed. Geneva: United Nations; 2000.
6. ICSU, ISSC. Review of the Suistanable Development Goals: The Science Perspective. Paris; 2015.
7. Institute of Medicine. Weigt gain during Pregnancy: reexamining the guidelines. Washington DC: The National Academy Press; 2009.
8. Li R, Jewell S, Grummer-Strawn L. Maternal obesity and breast-feeding practices. Am J Clin Nutr [Internet]. 2003 Apr;77(4):931–6. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/12663294
9. FERBER A. Maternal Complications of Fetal Macrosomia. Clin Obstet Gynecol [Internet]. 2000 Jun;43(2):335–9. Available from: http://content. wkhealth.com/linkback/openurl?sid=WKPTLP:la ndingpage&an=00003081-200006000-00011 10. Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS), Laporan Nasional. Jakarta; 2013.
11. Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), Laporan Nasional. Jakarta; 2007.
12. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. Rancangan Tenokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Jakarta; 2014.
13. Dinkes Bantul. Profi l Kesehatan Bantul 2014. Bantul; 2015.
14. Aritonang, Evawany. Kebutuhan Gizi Ibu Hamil. Bogor: IPB Press; 2010.
15. Irawati A, Triwinarto A, Salimar S, Raswanti I. Pengaruh Status Gizi Selama Kehamilan dan Menyusui terhadapa Keberhasilan Pemberian ASI. J Penelit Gizi dan Makanan [Internet]. 2003;26(2):10–9. Available from: http://ejournal. litbang.depkes.go.id/index.php/pgm/article/ view/1431
16. Nurhayati E. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Persepsi Ketidakcukupan ASI pada Ibu yang Memiliki Bayi Usia 0-6 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Bantul Yogyakarta. Universitas Indonesia; 2015.
17. Helwiah U, Achadi EL, Muslimatun S, Utomo B, Shanker A. The pattern of weight gain of Pregnant Women in Lombok. In: International symposium on Nutrition Makassar. Makassar; 2009. p. 11–3.
18. Winkvist A, Stenlund H, Hakimi M, Nurdiati DS, Dibley MJ. Weight-gain patterns from prepregnancy until delivery among women in
Central Java, Indonesia. Am J Clin Nutr [Internet]. 2002;75(6):1072–7. Available from: http://ajcn. nutrition.org/cgi/content/long/75/6/1072
19. Ota E, Haruna M, Suzuki M, Anh DD, Tho LH, Tam NTT, et al. Maternal body mass index and gestational weight gain and their association with perinatal outcomes in Viet Nam. Bull World Health Organ [Internet]. 2011 Feb 1;89(2):127–36. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/21346924
20. Ludwig DS, Currie J. The association between pregnancy weight gain and birthweight: a within-family comparison. Lancet (London, England) [Internet]. 2010 Sep 18;376(9745):984–90. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/20691469
21. Fajrina, Adiba. Hubungan Pertambahan Berat Badan Ibu Hamil dan Karakteristik ibu dengan Berat Lahir di Cibinong Tahun 2004. 2011.
Pendidikan Kesehatan dengan Media Slide Efektif dalam
Meningkatkan Pengetahuan tentang Perawatan Vulva Hygiene
pada Siswi Kelas VIII SMP 2 Sedayu Bantul
Egi Ade S1, Wahyuningsih2, Kayat Haryani31,2,3 Universitas Alma Ata Yogyakarta
Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta Email: wahyuningsih.psik.aa@gmail.com
Abstrak
Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian kaum wanita. Kebanyakan pasien datang berobat pada saat kanker pada stadium lanjut, padahal kanker serviks dapat kita cegah, dengan pengetahuan perawatan organ genetalia sejak dini khususnya vulva hygiene. Strategi yang tepat untuk meningkatkan pengetahuan tentang pencegahan kanker serviks adalah dengan memberikan pendidikan kesehatan. Tujuan penelitian untuk mengetahui efektifi tas pendidikan kesehatan dengan media slide efektif dalam meningkatkan pengetahuan tentang perawatan vulva hygiene pada siswi SMP 2 Sedayu, Kabupaten Bantul Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah siswi kelas VIII SMP 2 Sedayu Bantul berjumlah 69 orang. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik total sampling. Data dianalisis menggunakan uji statistic Wilcoxon. Hasil menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan dengan media slide efektif meningkatkan pengetahuan siswi dengan nilai p=0,000. Kesimpulan pendidikan kesehatan dengan media slide efektif meningkatkan pengetahuan siswi SMP 2 Sedayu Bantul Yogyakarta.
Kata Kunci: kanker serviks, pendidikan kesehatan, vulva hygiene
Health Education with Media Slide Effective in Improving Knowledge of
Vulva Hygiene Treatment Toward 8
thGrade Students of SMP 2 Sedayu,
Bantul, Yogyakarta
Abstract
Cervical cancer is one of the main cause of the woman death. Most patients come for treatment is when cancer at an advanced stage, while cervical cancer can be prevented, with early knowledge of the vulva hygine treatment. Appropriate strategies to improve knowledge about cervical cancer prevention is to provide health education. The purpose of this research was to know effectiveness of health education with the media slide in increasing knowledge about vulva hygine treatment at Junior High School 2 Sedayu, Bantul Yogyakarta. The research was pre experiment research. The population in this study were 8th grade students of SMP
2 Sedayu, Bantul amounted to 69 respondents. Samples were selected by total sampling technique. Data were analyzed using the Wilcoxon statistical test. The results showed that health education with media slide effective increase of knowledge students. In conclusion, health education with media slide was effectively improve the level of knowledge of 8th grade students of Sedayu SMP 2 Sedayu, Bantul Yogyakarta.
Keywords: cervical cancer, health education, vulva hygiene
Info Artikel:
Artikel dikirim pada 12 Desember 2015 Artikel diterima pada 18 Januari 2015
DOI : http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(1).6-10 ISSN2354-7642
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Tersedia online pada:
http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Salah satu strategi untuk meningkatkan pengetahuan remaja tentang perawatan alat genitalnya adalah dengan memberikan pendidikan kesehatan karena pendidikan kesehatan merupakan metode yang tepat untuk memberikan informasi kepada remaja tentang perawatan alat genitalnya(7). Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pendidikan kesehatan dengan media slide terhadap tingkat pengetahuan tentang perawatan vulva hygiene pada siswi kelas VIII SMP 2 Sedayu Bantul.
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian pra
eksperiment sedangkan rancangan pada penelitian
ini menggunakan one group pretest-posttest. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi kelas VIII SMP 2 Sedayu Bantul yang berjumlah 69 orang. Metode pengambilan sampel menggunakan
nonprobaility sampling dengan teknik total sampling.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah siswi kelas VIII SMP 2 Sedayu Bantul dan siswi yang berumur 13-16 tahun serta yang bersedia menjadi responden, sedangkan kriteria eksklusinya adalah siswi yang tidak berada di tempat saat penelitian. Pengambilan data menggunakan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitas.
HASIL DAN BAHASAN
Karakteristik responden dalam penelitian ini digambarkan berdasarkan umur, pendidikan orang tua, terpapar informasi, sumber informasi, tingkat pengetahuan responden sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan dan perbedaan pengetahuan setelah diberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan vulva hygiene.
Karakteristik Responden berdasarkan Umur Usia yang dikategorikan di dalam penelitian ini terbagi menjadi empat kategori yang dijabarkan dalam Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Karakteristik Responden berdasarkan Umur
Umur f % 13 14 15 16 15 37 15 2 21,7 53,6 21,7 2,9 Total 69 100
Sumber: Data Primer Tahun 2015 PENDAHULUAN
Kesehatan reproduksi merupakan unsur terpenting dan merupakan masalah vital dalam pembangunan kesehatan umumnya, baik pada perempuan ataupun pada laki-laki(1). Kesehatan reproduksi diartikan sebagai suatu kondisi yang menjamin bahwa fungsi reproduksi, khususnya proses reproduksi dapat berlangsung dalam keadaan sejahtera fisik, mental maupun sosial dan bukan sekedar terbebas dari penyakit atau gangguan fungsi alat reproduksi. Faktor infeksi pada alat reproduksi semakin meningkat serta kebersihan bagian alat reproduksi yang kurang mendapat perhatian sehingga menimbulkan terjadinya infeksi serta timbulnya penyakit alat reproduksi lainnya dan salah satunya adalah penyakit kanker serviks.
World Health Organization (WHO) pada tahun
2008 melaporkan terdapat 493.234 jiwa per tahun penderita kanker serviks baru di dunia dengan angka kematian 273.505 jiwa per tahun(2). Di Indonesia, menurut yayasan kanker diperkirakan dalam setiap hari terjadi 41 kasus baru kanker serviks dan sekitar 20 orang setiap hari meninggal dunia(3). Penyakit kanker serviks di Yogyakarta merupakan penyakit yang menempati prevalensi tertinggi di Indonesia pada tahun 2011 yaitu sebanyak 9,6 per 1.000 penduduk(3).
Kanker serviks dan upaya pencegahannya masih merupakan masalah yang menarik perhatian para profesional kesehatan. Di sisi lain, upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan sosialisasi mengenai pencegahan kanker serviks karena hal ini sangat diperlukan untuk dapat mengubah perilaku wanita dalam menjaga kesehatan organ reproduksinya.
Kanker serviks dapat ditularkan melalui beberapa hal yaitu hubungan seksual pada usia muda, berganti-ganti pasangan seksual, adanya keturunan kanker, serta kebersihan genetalia yang kurang, dapat menimbulkan infeksi dan berkembang biaknya kuman(4). Pengetahuan dan keterampilan dalam perawatan vulva hygiene merupakan salah satu upaya untuk mencegah dan mengontrol infeksi serta upaya untuk terhindar dari penyakit kanker serviks yang disebabkan oleh virus(5).
Kebersihan genetalia dapat dilakukan dengan
vulva hygiene yang baik dan benar. Vulva hygiene
adalah membersihkan daerah kewanitaan atau kemaluan alat genital luar wanita. Vulva hygiene dapat dilakukan dengan cara: mengganti pakaian dalam 2 kali dalam sehari, melakukan cebok yang benar pada liang vagina dan anus. Masih banyak wanita yang tidak memiliki pengetahuan tentang cara melakukan vulva hygiene yang baik dan benar (6).
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berada pada usia 14 tahun yaitu sebanyak 37 responden (53,6%) sedangkan usia responden paling kecil yaitu usia 16 tahun yang berjumlah 2 responden (2,9%).
Secara fi sik pada masa usia ini terjadi perubahan organ seksual. Salah satu perubahan fi sik yang dialami remaja putri adalah menstruasi pertama, yang menuntut remaja putri mampu merawat organ reproduksi dengan baik terutama dalam hal kebersihan organ reproduksi. Hal ini disebabkan oleh peristiwa menstruasi yang merupakan darah kotor, yang jika kurang dijaga kebersihannya akan berpotensi untuk menimbulkan infeksi pada organ reproduksi(8).
Karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan yang dikategorikan di dalam penelitian ini terbagi menjadi empat kategori yakni SD, SMP, SMA dan PT. Berdasarkan tingkat pendidikan yang telah dikategorikan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Kategori Pendidikan Orang Tua
Pendidikan f % SD SMP SMA PT 13 13 40 3 18,8 18,8 58 4,3 Total 69 100
Sumber: Data Primer Tahun 2015
Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar pendidikan orang tua responden SMP 2 Sedayu memiliki pendidikan SMA yaitu sebanyak 40 responden (58%).
Pendidikan akan berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan manusia baik pikiran, perasaan maupun sikapnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula kemampuan dasar yang dimiliki oleh seseorang(9). Apabila pendidikan orang tua semakin tinggi maka akan mampu memberikan informasi kepada anaknya khususnya dalam berperilaku yang baik.
Berdasarkan kategori terpapar informasi dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua kategori yaitu pernah dan tidak pernah, dapat dilihat pada Tabel 3.
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di SMP 2 Sedayu pernah terpapar informasi tentang perawatan vulva hygiene yaitu sebanyak 65 responden (94,2%).
Internet dapat dijadikan pusat informasi segala hal termasuk dalam masalah kesehatan organ
reproduksi. Hal ini didukung dengan akses internet (warnet) yang semakin mudah karena banyaknya warung internet (warnet) di berbagai penjuru kota Yogyakarta. Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang adalah informasi dan pengalaman (10).
Kategori sumber informasi di dalam penelitian ini terbagi menjadi tujuh yaitu, televisi, petugas kesehatan, orang tua, saudara, guru, teman dan tidak tahu, dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik Responden berdasarkan Kategori Sumber Informasi
Sumber Informasi f % Televisi Petugas Kesehatan Orang Tua Saudara Guru Teman Tidak Tau 17 24 12 1 8 3 4 24,6 34,8 17,4 1,4 11,6 4,3 5,8 Total 69 100
Sumber: Data Primer Tahun 2015
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar sumber informasi yang didapatkan oleh responden berasal dari tenaga kesehatan yaitu sebanyak 24 responden (34,8%). Hal ini disebabkan pihak sekolah SMP 2 Sedayu bekerja sama dengan pihak Puskesmas Sedayu 2 sehingga para siswi pernah mendapatkan informasi yang bersumber dari tenaga kesehatan meskipun tidak terlalu khusus melainkan hanya dasar-dasarnnya saja terkait dengan kesehatan reproduksi khususnya perawatan alat kelamin. Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan mempunyai tingkat pengetahuan yang lebih luas(11).
Tingkat pengetahuan responden sebelum diberikan pendidikan kesehatan di dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga kategori yaitu baik, cukup dan kurang, dapat dilihat pada Tabel 5.
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat pengetahuan responden tentang perawatan vulva hygiene sebelum diberikan pendidikan kesehatan berada dalam kategori 25 responden (36,2%), cukup 36 responden (52,2%) dan kategori kurang hanya 8 responden (11,6%).
Tabel 3. Karakteristik Responden berdasarkan Kategori Pekerjaan Orang Tua
Pekerjaan f % Pernah Tidak pernah 65 4 94,2 5,8 Total 69 100
Hasil dari tingkat pengetahuan responden sebelum diberikan pendidikan kesehatan di dukung dengan hasil penelitian sebelumnya yang meneliti tentang perbedaan pengetahuan tentang perawatan organ genetalia sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan pada siswa di MTS Al-Asror Gunung Pati Semarang(12).
Tingkat pengetahuan responden setelah diberikan pendidikan kesehatan di dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kategori baik dan cukup, dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Tingkat Pengetahuan Responden Setelah Diberikan Pendidikan Kesehatan
Tingkat pengetahuan f % Baik Cukup Kurang 61 8 0 88,4 11,6 0 Total 69 100
Sumber: Data Primer Tahun 2015
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan responden setelah diberikannya pendidikan kesehatan dengan kategori baik sebanyak 61 responden (88,4%) dan kategori cukup hanya 8 responden (11,6%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna tingkat pengetahuan tentang menstruasi sebelum dan sesudah pemberian pendidikan kesehatan reproduksi.
Tabel 7. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Responden Sebelum dan Setelah Pendidikan Kesehatan
n Median (minimum-maksimum) p-value Pengetahuan sebelum pendidikan kesehatan 69 (8-16) 0,000 Pengetahuan setelah pendidikan kesehatan 69 (11-18)
Sumber: Data Primer Tahun 2015
Pada Tabel 7 di atas menunjukkan hasil uji statistik menggunakan uji wilcoxon didapatkan nilai
p-value=0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan kesehatan dengan metode pendidikan kesehatan dengan media slide efektif meningkatkan pengetahuan siswi SMP 2 Sedayu. Maka dapat disimpulkan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak berarti ada perbedaan yang signifi kan pengetahuan responden sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehatan.
Berdasarkan hasil analisis statistic wilcoxon terjadi peningkatan pengetahuan setelah diberikan
pendidikan kesehatan, hal ini disebabkan karena adanya suatu perlakuan yang diberikan pada siswi-siswi kelas VIII SMP 2 Sedayu Bantul yaitu pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan tentang perawatan
vulva hygiene merupakan salah satu sumber
informasi bagi siswi-siswi kelas VIII SMP 2 Sedayu Bantul tentang perawatan vulva hygiene.
Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan kesehatan yang sebenarnya bahwa pendidikan kesehatan adalah suatu upaya atau kegiatan untuk menciptakan perilaku masyarakat yang kondusif untuk kesehatan. Artinya pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana menghindari atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan mereka, kesehatan orang lain, kemana seharusnya mencari pengobatan bilamana sakit, dan sebagainya(1). Tujuan akhir dari pendidikan adalah agar masyarakat dapat mempraktekkan hidup sehat bagi dirinya sendiri dan atau masyarakat dapat berperilaku hidup sehat bagi dirinya sendiri dan atau masyarakat dapat berperilaku hidup sehat (healthy
life style)(1).
Adapun penelitian terdahulu yang mendukung hasil penelitian ini yaitu penelitian tentang perbedaan pengetahuan dan sikap siswi sebelum dan sesudah pemberian pendidikan kesehatan tentang keputihan di SMA N 4 Semarang tahun 2009. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifi kan sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan siswi tentang perawatan keputihan (p<0,05). Peningkatan yang signifikan dari yang berpengetahuan baik sebanyak 36,2% menjadi sebanyak 88,4% dengan menggunakan uji statistic wilcoxon didapatkan
p-value 0,000 yang berarti Ha diterima dan Ho
ditolak dan dapat disimpulkan ada perbedaan tingkat pengetahuan setelah diberikan pendidikan kesehatan tentang keputihan(13).
Penelitian sebelumnya yang juga mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu penelitian tentang efektivitas pendidikan kesehatan menggunakan media audiovisual terhadap perilaku personal hygiene (genitalia) remaja putri dalam mencegah keputihan, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan terhadap perilaku sebelum diberikan pendidikan kesehatan dengan menggunakan media audiovisual dengan setelah diberikan pendidikan kesehatan dengan menggunakan media audiovisual(14).
Media slide merupakan salah satu media atau alat bantu pendidikan kesehatan untuk menyampaikan bahan pendidikan atau ajaran. Slide merupakan media audiovisual yang sering digunakan. Tulisan
yang dapat dibaca dan gambar bergerak yang ditayangkan akan memudahkan seseorang untuk memahami materi yang disampaikan sehingga slide dapat dikatakan sebagai media pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan pengetahuan kepada orang lain.
SIMPULAN DAN SARAN
Pengetahuan responden sebelum diberikannya pendidikan kesehatan sebagian besar berada pada katagori cukup, dan tingkat pengetahuan responden setelah diberikannya pendidikan kesehatan sebagian besar berada pada katagori baik. Pendidikan kesehatan dengan media slide efektif meningkatkan pengetahuan.
Hasil penelitian ini berguna bagi siswi dan juga pihak sekolah agar dapat lebih memahami tentang pentingnya vulva hygine. Sehingga untuk media pembelajaran selanjutnya dapat menggunakan media
slide.
RUJUKAN
1. Emilia O. Promosi Kesehatan Reproduksi Wanita. Yogyakarta: Pustaka Cendekia; 2008.
2. WHO. Cervical Cancer [Internet]. 2008 [cited 2015 Mar 11]. Available from: http://www.who. int/reproductivehealth/topics/cancers/en/index. html.
3. YKI. Prevalensi kanker serviks [Internet]. 2007 [cited 2015 Mar 15]. Available from: http://www. yki.2007/index/html.
4. Belle. Kanker Serviks [Internet]. 2012 [cited 2015
Feb 19]. Available from: http://waspadakanker-serviks.html.
5. Perry, Potter. Keterampilan dan Prosedur Dasar Keperawatan. In: Buku Kedokteran. 3rd ed. Jakarta: EGC; 2000.
6. Khasananah A. Kesehatan Genetalia [Internet]. 2011 [cited 2015 Jan 31]. Available from: http:// kebersihandankesehatangenitalia.html
7. BKKBN. Kanker Serviks [Internet]. 2006 [cited 2015 Feb 17]. Available from: http://kankerserviks. html
8. Bobak. Kebersihan Organ Reproduksi. Jakarta: Salemba Medika; 2011.
9. Mairusnita. Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pengetahuan. Jakarta: EGC; 2007.
10. Notoatmodjo. Pendidikan Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Fitramaya; 2007. 11. Notoatmodjo. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2003.
12. Dewi. Perbedaan pengetahuan tentang perawatan organ genitalia sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan pada siswa di MTS AL-ASROR GUNUNG PATI SEMARANG. STIKES Ngudi Waluyo Semarang; 2012.
13. Kustriyani M. Perbedaan pengetahuan dan sikap siswi sebelum dan sesudah pemberian pendidikan kesehatan tentang keputihan di SMAN 4 Semarang. STIKES Ngudi Waluyo Semarang; 2009.
14. Yulistasari Y. Efektivitas Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media Audiovisual terhadap Perilaku Personal Higyene (Genitalia) Remaja Putri dalam Mencegah Keputihan. Universitas Riau; 2013.
Tingkat Pendidikan PUS Berhubungan dengan Pemilihan Jenis Alat
Kontrasepsi tetapi Tidak Berhubungan dengan Keikutsertaan KB
di Desa Argomulyo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta
Beyna Handayani1, Nur Indah Rahmawati21,2Universitas Alma Ata Yogyakarta
Jalan Ring Road Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta Email: beyna1211@gmail.com
Abstrak
Data praktik komunitas pada tahun 2013 di Desa Argomulyo diketahui jumlah pasangan usia subur (PUS) adalah 900 pasangan dan yang mengikuti KB sejumlah 533 pasangan (59,22%). Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan PUS dengan keikutsertaan KB dan pemilihan jenis alat kontrasepsi pada PUS di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta tahun 2014. Jenis penelitian observasional analitik dengan metode cross sectional. Populasinya adalah semua PUS di Dusun Puluhan, Kemusuk Kidul, Karang Lo, Pedes, Surobayan, Kali Berot di Desa Argomulyo, Sedayu Bantul, Yogyakarta sebanyak 916 pasangan. Sampel diambil menggunakan teknik total sampling dengan jumlah pasangan usia subur 907 pasangan dan 9 pasangan termasuk dalam kriteria eksklusi. Analisis data yang digunakan adalah chi-square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 610 pasangan (67,3%) yang mengikuti KB dan 297 pasangan (32,7%) tidak mengikuti KB. Hasil chi-square χ2
keikutsertaan KB istri 3,658 dan x2pemilihan jenis alat kontrasepsi istri 50,194, x2keikutsertaan KB suami 0,926
dan χ2pemilihan jenis alat kontrasepsi suami 53,862. Kesimpulan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan
pasangan usia subur dengan keikutsertaan KB dan ada hubungan antara tingkat pendidikan pasangan usia subur dengan pemilihan jenis alat kontrasepsi di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta tahun 2014.
Kata Kunci: tingkat pendidikan, keikutsertaan KB, jenis alat kontrasepsi
The Education Level of Reproductive Age Couples had Relationship
with Selection of Contraceptives but Had No Relation with FP
Participation in Argomulyo Village, Sedayu, Bantul, Yogyakarta
Abstract
Based on data of community practices in 2013 at the Argomulyo village, total of reproductive age couples were 900 couples and 533 couples (59.22%) following family planning (FP). The purpose of this study was to know the relationship between the education level of reproductive age couples with FP participation and selection of contraceptives on reproductive age couples in the Argomulyo village, Sedayu, Bantul Yogyakarta. The study design was observational analytic with the cross sectional. The total population of reproductive age couples in hamlet of Kemusuk Kidul, Karang lo, Pedes, Surobayan, Kali Berot in the Argomulyo village, Sedayu Bantul were 916 couples. Samples were selected by total sampling technique which consisted of 907 couples and 9 couples included in the exclusion criteria. Data analysis was done by chi-square test. The results showed that 610 couples (67.3%) was following FP and 297 couples (32.7%) not following FP programs. The results of chi-square χ2 of wife participation
was 3.658 and selection of contraceptives was 50,194, χ2 of husband participation was 0.926 and selection of
contraceptives was 53.862. In conclusion, there was no relationship between the education level of reproductive age couples with FP participation and there was a relationship between the education level of reproductive age couples with selection of contraceptives in Argomulyo village, Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
Keywords: levels of education, FP participation, contraceptives selection
Info Artikel:
Artikel dikirim pada 19 April 2015 Artikel diterima pada 29 Mei 2015
DOI : http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(1).11-18 ISSN2354-7642
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Tersedia online pada:
http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
mengikuti KB sejumlah 533 pasangan atau sekitar 59,22%. Jika dilihat dari persentase berdasarkan data tersebut maka akseptor KB di 6 Dusun di Desa Argomulyo masih rendah. Keikutsertaan KB pada PUS di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pengetahuan, pendidikan, agama, jumlah anak, sosial ekonomi dan dukungan pasangan atau dukungan keluarga akan mempengaruhi perkembangan dan kemajuan program KB di Indonesia. Dari hasil informasi setiap Kepala Dusun mengatakan bahwa tingkat pendidikan masyarakat di sana bervariasi. Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan, variabel latar belakang pendidikan responden merupakan variabel yang sejak lama dianggap memiliki pengaruh terhadap keikutsertaan KB. Menurut Westoff dan Bankole dalam Ubaidiyah penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa variabel latar belakang pendidikan responden berpengaruh signifi kan terhadap keikutsertaan KB(5).
Menurut Rizali et al. menuliskan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan akan jelas mempengaruhi pribadi seseorang berpendapat, berpikir, bersikap, lebih mandiri dan rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan. Pendidikan juga akan meningkatkan kesadaran wanita terhadap manfaat yang dapat dinikmati bila ia mempunyai jumlah anak sedikit, sehingga akan mempengaruhi dalam mengambil keputusan dalam mengikuti program KB(6).
Tingkat pendidikan tidak saja mempengaruhi kerelaan menggunakan keluarga berencana tetapi juga pemilihan suatu metode. Beberapa studi telah memperlihatkan bahwa metode kalender lebih banyak digunakan oleh pasangan yang lebih berpendidikan. Dikatakan bahwa wanita yang berpendidikan biasanya menginginkan keluarga berencana yang efektif, tetapi tidak rela untuk mengambil resiko yang terkait dengan efek samping dari metode kontrasepsi(7). Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan PUS dengan keikutsertaan KB dan pemilihan jenis alat kontrasepsi pada PUS di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta tahun 2014. BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian
observasional analitik dengan menggunakan
rancangan cross sectional. Populasi penelitian semua pasangan usia subur (PUS) yang sudah menikah di Dusun Puluhan, Kemusuk Kidul, karang Lo, Pedes, Surobayan, Kali Berot, Desa Argomulyo, Sedayu Bantul, Yogyakarta yaitu sebanyak 916 pasangan. Sampel diambil menggunakan teknik total sampling dengan jumlah pasangan usia subur 907 responden dan 9 responden termasuk dalam kriteria eksklusi. PENDAHULUAN
Perkembangan penduduk dunia saat ini terus mengalami peningkatan. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke 4 di dunia. Pada tahun 2012 urutan pertama ditempati oleh China dengan jumlah penduduk 1.354,8 juta jiwa, peringkat ke dua diduduki oleh India dengan jumlah penduduk 1.261,0 juta jiwa, peringkat ke tiga diduduki oleh Amerika Serikat dengan jumlah penduduk 315,8 juta jiwa dan penduduk Indonesia menempati urutan ke empat dunia yaitu sebesar 244,2 juta jiwa(1).
Menurut Badan Kesejahteraan Keluarga Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BKKPPKB) dan United Nations Population Found (UNFPA, 2005) pelaksanaan program KB masih mengalami beberapa hambatan sehingga jumlah kelahiran masih tinggi. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, masih sekitar 46% Pasangan usia subur (PUS) yang belum menjadi akseptor KB. Tingkat prevalensi pemakaian alat kontrasepsi atau Contraceptive Prevalence
Rate (CPR), yang menunjukkan tingkat kesertaan
ber-KB di antara PUS mencapai 61,9% (suatu cara). Sebanyak 57,9% di antaranya menggunakan cara KB modern, hanya meningkat sebesar 0,5% dari 57,4% dalam 5 tahun terakhir. Penggunaan kontrasepsi didominasi oleh alat kontrasepsi jangka pendek, terutama suntikan, yang mencapai 31,9%. Tingkat pemakaian metode KB jangka panjang (MKJP), yaitu IUD, implan, metode operasi pria (MOP/vasektomi) target MDG’s tahun 2015 adalah 4,5% tetapi yang baru dicapai 0,27% (2). Untuk metode operasi wanita (MOW/tubektomi) hanya sebesar 10,6%. Kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (unmet need) sudah berhasil diturunkan menjadi 8,5% namun masih jauh dari sasaran yang telah ditetapkan(2).
Berdasarkan hasil survey BKKPPKB pada tahun 2013 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, jumlah PUS sebanyak 1.104.844 jiwa dan yang menjadi peserta KB aktif sebanyak 877.576 jiwa. Sedangkan khusus untuk Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, jumlah PUS sebanyak 152.793 peserta, pasangan yang menjadi peserta KB aktif pada tahun 2013 sebanyak 124.372 jiwa. Sementara pasangan usia subur yang bukan peserta keluarga berencana (KB) ada sebanyak 28.421(3). Dari data laporan pencapaian peserta KB dari 17 Kecamatan di Kabupaten Bantul untuk persentase pencapaian KB aktif di kecamatan Sedayu sebesar 83,46%(4).
Dari hasil data praktik komunitas yang kemudian dijadikan sebagai data untuk studi pendahuluan pada 6 Dusun diketahui bahwa jumlah PUS pada tahun 2013 adalah 900 pasangan dan jumlah PUS yang
Tempat penelitian dilakukan di Desa Argomulyo, Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, di Dusun Puluhan, Kemusuk Kidul, Karang Lo, Pedes, Surobayan dan Kali Berot. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni tahun 2014. Variabel independen dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan pasangan usia subur di enam Dusun di Desa Argomulyo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah keikutsertaan KB pada pasangan usia subur dan pemilihan jenis KB pada pasangan usia subur di enam Dusun di Desa Argomulyo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Instumen penelitian menggunakan kuesioner hasil adopsi penelitian sebelumnya(8). Analisis bivariat dalam penelitian ini dengan uji statistik chi-square.
HASIL DAN BAHASAN Karakteristik Responden
Jumlah pasangan usia subur (PUS) yang mengikuti KB di Desa Argomulyo dalam 6 Dusun 610 dari 907 Pasangan Usia Subur yang menjadi responden. Hasil analisis data mengenai karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Agama, Pendidikan di
Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta
Karakteristik Istri Suami
f % f % Umur <20 tahun 20- 35 tahun >35 tahun 4 476 427 0,4 52,5 47,1 1 383 523 0,1 42,2 57,7 Agama Islam Kristen Budha Hindu Khatolik Khonghucu 888 10 0 0 9 0 97,9 1,1 0 0 1,0 0 888 10 0 0 9 0 97,9 1,1 0 0 1,0 0 Pendidikan Tidak tamat SD SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Diploma/lebih tinggi 9 82 150 548 118 1,0 9,0 16,5 60,4 13,0 10 78 127 563 129 1,1 8,6 14,0 62,1 14,2 Jumlah 907 100 907 100
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Berdasarkan Tabel 1 diketahui karakteristik umur responden istri sebagian besar berusia antara 20-35 tahun yaitu sebanyak 476 (52,5%) responden dan responden suami sebagian berusia >35 tahun yaitu sebanyak 523 (57,7%) responden. Untuk
karakteristik agama sebagian besar beragama Islam yaitu sebanyak 888 (97,9%) PUS. Untuk karakteristik pendidikan mayoritas pendidikan istri adalah SMA/ sederajat yaitu sebanyak 548 (60,4%) dan pendidikan suami juga mayoritas adalah SMA/sederajat yaitu sebanyak 563 (60,1%) responden.
Keikutsertaan KB
H a s i l a n a l i s i s d a t a m e n g e n a i j u m l a h keikutsertaan KB di Desa Argomulyo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta berdasarkan tingkat pendidikan istri dan suami disajikan dalam Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pendidikan Istri di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta tahun 2014
dengan Keikutsertaan KB Tingkat Pendidikan Istri Tidak Tamat SD 8 1,3 1 0,3 SD 54 8,9 28 9,4 SMP 107 17,5 43 14,5 SMA 365 59,8 183 61,6 Diploma/PT 76 12,5 42 14,1 Jumlah 610 100,0 297 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pendidikan Suami di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta tahun
2014 dengan Keikutsertaan KB Tingkat Pendidikan Suami Tidak Tamat SD 7 1,1 3 1,0 SD/sederajat 52 8,5 26 8,8 SMP/sederajat 90 14,8 37 12,5 SMA/sederajat 375 61,5 188 63,3 Diploma/PT 86 14,1 43 14,5 Jumlah 610 100,0 297 100,0
Sumber: Data Primer 2014
Berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan sebagian besar PUS di Desa Argomulyo mengikuti KB yaitu sebanyak 610 responden (67,3%) dan yang tidak ikut KB sebanyak 297 responden (32,7%), dengan perincian tingkat pendidikan terbanyak yang mengikuti KB adalah dengan tingkat pendidikan menengah (tamat SMA/sederajat) responden istri sebanyak 365 (59,8%) responden dan suami 375 (61,5%) responden.
Pemilihan Jenis Alat Kontrasepsi
Hasil analisis data mengenai pemilihan jenis alat kontrasepsi dapat dilihat pada Tabel 4.
KB
Ya % Tidak %
KB
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi pemilihan jenis alat kontrasepsi berdasarkan tingkat pendidikan istri adalah sebagian besar memilih alat kontrasepsi jenis suntik yaitu sebanyak 258 (28,4%) responden, sedangkan yang paling sedikit memilih alat kontrasepsi jenis lain-lain sebanyak 10 (1,1%) responden. Untuk tingkat pendidikan Diploma/PT jenis alat kontrasepsi yang dipilih hampir sama antara IUD dan suntik, sedangkan yang memutuskan untuk tidak memilih jenis KB apapun lebih banyak yaitu 42 (4,6%) responden.
Berdasarkan Tabel 5 menunjukan bahwa distribusi frekuensi pemilihan jenis alat kontrasepsi berdasarkan tingkat pendidikan suami adalah sebagian besar memilih alat kontrasepsi jenis suntik yaitu sebanyak 258 (28,4%) responden, sedangkan yang paling sedikit memilih alat kontrasepsi jenis lain-lain sebanyak 10 (1,1%) responden. Untuk tingkat pendidikan Diploma/PT jenis alat kontrasepsi
yang dipilih sama antara IUD dan suntik yaitu 23 (2,5%) responden, sedangkan yang memutuskan untuk tidak memilih jenis KB apapun lebih banyak yaitu 43 (4,7%) responden.
Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan keikutsertaan KB di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta
Tabulasi silang dan hasil uji statistik hubungan antara tingkat pendidikan dengan keikutsertaan KB di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta disajikan pada Tabel 6.
Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa responden istri dengan tingkat pendidikan tamat SMA/ sederajat lebih banyak mengikuti KB yaitu sebanyak 365 (66,6%) responden sedangkan yang tidak ikut sebanyak 183 (33,4%) responden. Keikutsertaan KB paling sedikit adalah responden dengan tingkat pendidikan tidak tamat SD yaitu 8 (88,9%) responden dan yang tidak mengikuti KB 1 (11,1%) responden.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Pendidikan Istri dengan Pemilihan Jenis Alat Kontrasepsi di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta tahun 2014
Jenis KB
Tingkat Pendidikan Istri
Jumlah Tidak SD/ SMP/ SMA/ Diploma/
Tamat SD sederajat Sederajat sederajat PT
n % n % n % n % n % n % Tidak Memilih 1 0,10 28 3,10 43 4,70 183 20,20 42 4,60 297 32,70 PIL 1 0,10 7 0,80 17 1,90 60 6,60 7 0,80 92 10,10 IUD 1 0,10 7 0,80 14 1,50 69 7,60 22 2,40 113 12,50 Suntik 1 0,10 30 3,30 56 6,20 148 16,30 23 2,50 258 28,40 Implant 1 0,10 0 0,00 4 0,40 15 1,70 4 0,40 24 2,60 Kondom 2 0,20 2 0,20 8 0,90 33 3,60 12 1,30 57 6,30 Kontap 1 0,10 5 0,60 4 0,40 14 1,50 1 0,10 25 2,80 Kalender 1 0,10 2 0,20 2 0,20 19 2,10 7 0,80 31 3,40 Lain-Lain 0 0,00 1 0,10 2 0,20 7 0,80 0 0,00 10 1,10
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Pendidikan Suami dengan Pemilihan Jenis Alat Kontrasepsi di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta tahun 2014
Jenis KB
Tingkat Pendidikan Suami
Jumlah Tidak SD/ SMP/ SMA/ Diploma/
Tamat SD sederajat Sederajat sederajat PT
n % n % n % n % n % n % Tidak Memilih 3 0,30 26 2,90 37 4,10 188 20,70 43 4,70 297 32,70 PIL 1 0,10 6 0,70 19 2,10 58 6,40 8 0,90 92 10,10 IUD 1 0,10 7 0,80 10 1,10 72 7,90 23 2,50 113 12,50 Suntik 4 0,40 25 2,80 44 4,90 162 17,90 23 2,50 258 28,40 Implant 0 0,00 2 0,20 2 0,20 16 1,80 4 0,40 24 2,60 Kondom 1 0,10 1 0,10 9 1,00 30 3,30 16 1,80 57 6,30 Kontap 0 0,00 7 0,80 2 0,20 15 1,70 1 0,10 25 2,80 Kalender 0 0,00 3 0,30 2 0,20 17 1,90 9 1,00 31 3,40 Lain-Lain 0 0,00 1 0,10 2 0,20 5 0,60 2 0,20 10 1,10
Hasil perhitungan uji statistik menggunakan
chi-square seperti yang disajikan pada Tabel 6
bahwa hasil χ2
hitung untuk hubungan antara tingkat pendidikan istri dengan keikutsertaan KB adalah 3,658 dan p-value 0,454 > α (0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antar tingkat pendidikan istri dengan keikutsertaan KB.
Berdasarkan Tabel 7 menunjukkan bahwa responden suami dengan tingkat pendidikan tamat SMA/sederajat lebih banyak mengikuti KB yaitu sebanyak 375 (66,6%) responden sedangkan yang tidak ikut sebanyak 183 (33,4%) responden. Keikutsertaan KB paling sedikit adalah responden dengan tingkat pendidikan tidak tamat SD yaitu 7 (70%) responden dan yang tidak mengikuti KB 3 (30%) responden.
Hasil perhitungan uji statistik menggunakan
chi-square seperti yang disajikan pada Tabel 7
bahwa hasil χ2
hitung untuk hubungan antara tingkat pendidikan suami dengan keikutsertaan KB adalah 0,926 dan p-value 0,921 >α (0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifi kan antar tingkat pendidikan suami dengan keikutsertaan KB.
Berdasarkan Tabel 6 dan Tabel 7, baik tingkat pendidikan istri maupun suami sama-sama tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
keikutsertaan KB. Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian Ubaidiyah bahwa tidak ada hubungan yang signifi kan antara tingkat pendidikan dengan keikutsertaan KB(5). Sejalan dengan penelitian Maharyani yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan keikutsertaan suami menjadi akseptor KB di Wilayah Desa Karangduwur Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen Jawa Tengah(9).
Berdasarkan pendapat Kartini, bahwa bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah maka akan memiliki pengetahuan yang rendah pula, karena peningkatan pengetahuan seseorang tidak hanya diperoleh dari pendidikan formal saja, akan tetapi diperoleh melalui pendidikan non formal, sehingga bisa saja seseorang dengan pendidikan rendah ataupun tinggi memutuskan sesuatu berdasarkan pengetahuan dan pengalaman(10).
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Saputra yang mengatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendidikan suami dengan partisipasi suami menjadi akseptor KB(11). Serta pendapat Rahmanti yang menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dan keikutsertaan melaksanakan program KB pada ibu nifas yang mengikuti Jampersal di Kecamatan Kemiri Kabupaten Purworejo Jawa Tengah(12).
Tabel 6. Hubungan antara Tingkat Pendidikan Istri dengan Keikutsertaan KB dalam 6 Dusun di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta
Tingkat Pendidikan Keikutsertaan KB Total χ² hitung p-value Ya Tidak n % n % n % Tidak Tamat SD 8 88,9 1 11,1 9 100 3,658 0,454 SD/sederajat 54 65,9 28 34,1 82 100 SMP/sederajat 107 71,3 43 28,7 150 100 SMA/sederajat 365 66,6 183 33,4 548 100 Diploma/PT 76 64,4 42 35,6 118 100 Jumlah 610 67,3 297 32,7 907 100
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Tabel 7. Hubungan antara Tingkat Pendidikan Suami dengan Keikutsertaan KB dalam 6 Dusun di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta
Tingkat Pendidikan Keikutsertaan KB Total χ² hitung p-value Ya Tidak n % n % n % Tidak Tamat SD 7 70 3 30 10 100 0,926 0,921 SD/sederajat 52 66,7 26 33,3 78 100 SMP/sederajat 90 70,9 37 29,1 127 100 SMA/sederajat 375 66,6 188 33,4 563 100 Diploma/PT 86 66,7 43 33,3 129 100 Jumlah 610 67,3 297 32,7 907 100
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan pemilihan jenis alat kontrasepsi di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta
Hasil Tabulasi silang antara tingkat pendidikan suami dan istri dengan pemilihan jenis alat kontrasepsi disajikan dalam Tabel 8 dan Tabel 9.
Berdasarkan Tabel 8 menunjukan bahwa responden istri dengan tingkat pendidikan tamat SMA/sederajat lebih banyak yang mengikuti KB dan lebih memilih alat kontrasepsi suntik yaitu sebanyak 148 (57,4%) responden. Alat kontrasepsi jenis suntik dari semua tingkat pendidikan diikuti sebanyak 258 responden, pada tingkat pendidikan tidak tamat SD tidak tampak perbedaan yang besar dalam pemilihan jenis alat kontrasepsi, pemilihan alat kontrasepsi jenis
suntik tampak dominan dimulai dari tingkat pendidikan SD, SMP, SMA sedangkan untuk tingkat pendidikan Diloma/PT tidak jauh berbeda antara IUD dan suntik.
Hasil perhitungan uji statistik menggunakan
chi-square seperti yang disajikan pada Tabel 8 bahwa
hasil χ2
hitung untuk hubungan antara tingkat pendidikan istri dengan pemilihan jenis alat kontrasepsi adalah 50,194 dan p-value 0,021 <α (0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifi kan antara tingkat pendidikan istri dengan pemilihan jenis alat kontrasepsi.
Berdasarkan Tabel 9 menunjukkan bahwa responden suami dengan tingkat pendidikan tamat SMA/sederajat lebih banyak yang mengikuti KB dan lebih memilih alat kontrasepsi suntik yaitu sebanyak
Tabel 8. Hubungan antara Tingkat Pendidikan Istri dengan Pemilihan Jenis Alat Kontrasepsi dalam 6 Dusun di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta
Jenis KB
Tingkat Pendidikan Istri
Total
χ² hitung p-value Tidak SD/ SMP/ SMA/ Diploma/
Tamat
SD sederajat Sederajat Sederajat PT
n % n % n % n % n % n % Tidak Memilih 1 0,3 28 9,4 43 14,5 183 61,7 42 14,1 297 100 50,194 0,021 PIL 1 1,1 7 7,6 17 18,5 60 65,2 7 7,6 92 100 IUD 1 0,9 7 6,2 14 12,4 69 61,1 22 19,5 113 100 Suntik 1 0,4 30 11,6 56 21,7 148 57,4 23 8,9 258 100 Implant 1 4,2 0 0 4 16,7 15 62,5 4 16,7 24 100 Kondom 2 3,5 2 3,5 8 14 33 57,9 12 21,1 57 100 Kontap 1 4 5 20 4 16 14 56 1 4 25 100 Kalender 1 3,2 2 6,5 2 6,5 19 61,3 7 22,6 31 100 MAL 0 0 0 0 1 16,7 5 83,3 0 0 6 100 S.Terputus 0 0 1 25 1 25 2 50 0 0 4 100 Jumlah 9 1 82 9 150 16,5 548 60,4 118 13 907 100
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Tabel 9. Hubungan antara Tingkat Pendidikan Suami dengan Pemilihan Jenis Alat Kontrasepsi dalam 6 Dusun di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta
Jenis KB
Tingkat Pendidikan Suami
Total
χ² hitung p-value Tidak SD/ SMP/ SMA/ Diploma/
Tamat SD sederajat Sederajat Sederajat PT
n % n % n % n % n % n %
Sumber: Data Primer Tahun 2014
T.Memilih 3 1 26 8,8 37 12,5 188 63,3 43 14,5 297 100 53,862 0,009 PIL 1 1,1 6 6,5 19 20,7 58 63 8 8,7 92 100 IUD 1 0,9 7 6,2 10 8,8 72 63,7 23 20,4 113 100 Suntik 4 1,6 25 9,7 44 17,1 162 62,8 23 8,9 258 100 Implant 0 0 2 8,3 2 8,3 16 66,7 4 16,7 24 100 Kondom 1 1,8 1 1,8 9 15,8 30 52,6 16 28,1 57 100 Kontap 0 0 7 28 2 8 15 60 1 4 25 100 Kalender 0 0 3 9,7 2 6,5 17 54,8 9 29 31 100 MAL 0 0 1 25 1 16,7 4 66,7 0 0 6 100 S.Terputus 0 0 0 0 1 25 1 25 2 50 4 100 Jumlah 10 1,1 78 8,6 127 14,0 563 62,1 129 14,2 907 100
162 (62,8%) responden. Alat kontrasepsi jenis suntik dari semua tingkat pendidikan diikuti sebanyak 258 responden, pada tingkat pendidikan tidak tamat SD tidak tampak sedikit perbedaan dalam pemilihan jenis alat kontrasepsi, pemilihan alat kontrasepsi jenis suntik tampak dominan dimulai dari tingkat pendidikan SD, SMP, SMA sedangkan untuk tingkat pendidikan Diloma/PT tidak ada perbedaan antara jumlah yang memilih IUD dan suntik yaitu sebanyak 23 responden.
Hasil perhitungan uji statistik menggunakan
chi-square seperti yang disajikan pada Tabel 9 bahwa
hasil χ2
hitung untuk hubungan antara tingkat pendidikan suami dengan pemilihan jenis alat kontrasepsi adalah 53,862 dan p-value 0,009 <α (0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifi kan antar tingkat pendidikan istri dengan pemilihan jenis alat kontrasepsi.
Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9, baik tingkat pendidikan istri maupun suami sama-sama memiliki hubungan yang signifi kan dengan pemilihan jenis alat kontrasepsi. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ismail dan Febryani yang menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan PUS dengan pemilihan alat kontrasepsi mantap di Desa Karangampel Kidul Kecamatan Karangampel Kabupaten Indramayu(13). Didukung juga oleh hasil penelitian Kusumaningrum yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan yang bermakna dengan pemilihan jenis kontrasepsi yang digunakan pada PUS(14). Serta pendapat Lontaan yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pendidikan dengan pemilihan kontrasepsi(15).
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Grestasari yang menyatakan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pemilihan jenis kontrasepsi(16). Adyani juga menyatakan hal yang sama bahwa faktor tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pemilihan jenis kontrasepsi pada akseptor wanita usia 20-39 tahun(17). SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan tingkat pendidikan responden di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta, khususnya di Dusun Puluhan, Kemusuk Kidul, Karang Lo, Pedes, Surobayan dan Kaliberot mayoritas lulusan SMA/sederajat, keikutsertaan KB 67,3% ikut KB, pemilihan jenis alat kontrasepsi terbanyak adalah suntik, tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan pasangan usia subur dengan keikutsertaan KB, dan ada hubungan antara tingkat pendidikan pasangan usia subur dengan pemilihan jenis alat kontrasepsi di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta tahun 2014.
Selama waktu penelitian bagi PUS di Desa Argomulyo Sedayu Batul Yogyakarta tahun 2014 dapat digunakan untuk membantu dalam pemilihan alat kontrasepsi yang efektif. Sebagai referensi dalam penyusunan program, khususnya pada pelayanan KB bagi tenaga kesehatan agar lebih memperhatikan kualitas pelayanan program yang baik dan dapat meningkatkan keikutsertaan KB pada pasangan usia subur serta lebih meningkatkan dan mengembangkan program sosialisasi tentang efek samping berbagai macam jenis alat kontrasepsi. Sumbangan aplikatif bagi tenaga kesehatan khususnya bidan, sehingga profesi Bidan khususnya dapat memberikan perhatian khusus dalam membuat program khusus untuk mempromosikan tentang berbagai macam jenis alat kontrasepsi pada PUS dengan berbagai tingkatan pendidikan agar dapat meningkatkan cakupan KB. Sebagai bahan informasi yang meningkatkan kinerja lintas program terkait dengan KB, guna membantu keberhasilan program KB wilayah setempat serta mengembangkan sikap positif terhadap info tentang KB, serta bagi perangkat desa dapat bekerja sama dengan petugas kesehatan untuk lebih meningkatkan sosialisasi tentang KB dan macam-macam jenis alat kontrasepsi.
RUJUKAN
1. BPS. Perkiraan Penduduk Beberapa Negara 2008-2012. Yogyakarta: Badan Pusat Statistik; 2013.
2. BKKPPKB. Siaran pers BkkbN. Jakarta: BKKPPKB; 2013.
3. BKKPPKB. Data Laporan Bulanan, Kantor KB Yogyakarta. DIY: BKKPPKB; 2013.
4. BKKPPKB. Data Hasil Kegiatan Program KB Nasional Kabupaten Bantul. Bantul: BKKPPKB; 2013.
5. Ubaidiyah. Hubungan antara umur, pendidikan, jumlah anak masih hidup dengan kejadian unmet need KB pada pasangan usia subur (PUS) di Kota Yogyakarta. STIKES Alma Ata Yogyakarta; 2013. 6. Rizali, Ikhsan, Ummu. Faktor yang berhubungan
dengan pemilihan metode kontrasepsi suntik di kelurahan Mattoangin kecamatan Mariso kota Makasar tahun 2013. Universitas Hasanuddin Makassar; 2013.
7. Handayani S. Buku ajar Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Pustaka Rihama; 2010.
8. Hadi H. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan terjadinya Unmet Need KB pada PUS di Kota Yogyakarta Tahun 2013. Yogyakarta; 2013.
9. Maharyani HW, Handayani S. Hubungan Karakteristik Suami Dengan Keikutsertaan Suami Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di Wilayah Desa Karangduwur Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. J Kesehat Masy UAD [Internet]. 2010;4(1):49–58. Available from: http://journal.uad.ac.id/index.php/KesMas/ article/view/1102
10. Kartini LI. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan jenis kontrasepsi yang digunakan pada keluarga miskin. Universitas Diponegoro; 2009. 11. Saputra AM. Hubungan antara Pengetahuan,
Pendidikan dan Persepsi Suami Tentang Keluarga Berencana dengan Partisipasi Suami Menjadi Akseptor Keluarga Berencana di Indonesia. J Poltekkes Palembang [Internet]. 2014;1(13):1–14. Available from: http://jurnal.poltekkespalembang. ac.id/wp-content/uploads/2015/11/2.pdf
12. Rahmanti R. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dan Keikutsertaan Melaksakan Program KB pada Ibu Nifas yang Mengikuti Jampersal di Kecamatan Kemiri Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Universita Muhammadiyah Surakarta; 2014. 13. Ismail, Febryani S. Hubungan Tingkat Pendidikan
dan Pengetahuan Pasangan Usia Subur (PUS)
Terhadap Pemilihan Alat Kontrasepsi Mantap (Kontap) Di Desa Karangampel Kidul Kabupaten Indramayu. J Gema Wiralodra [Internet]. 2012;6(8):1–7. Available from: http://ejournal. unwir.ac.id/fi le.php?fi le=preview_jurnal&id=563 &cd=0b2173ff6ad6a6fb09c95f6d50001df6&nam e=ismail_no8.pdf
14. Kusumaningrum R. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Jenis Kontrasepsi yang digunakan pada Pasangan Usia Subur. Universitas Diponegoro; 2009.
15. Lontaan A, Kusmiyati, Dompas R. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan Kontrasepsi Pasangan Usia Subur di Puskesmas Damau Kabupaten Talaud. J Ilm Bidan. 2014;2(1):1–6. 16. Grestasari LE. Hubungan antara Tingkat
Pendidikan, Pengetahuan, dan Usia Ibu Pus dengan Pemilihan Jenis Kontrasepsi di Desa Jetak Kecamatan Sidoharjo Kabupaten Sragen. Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2014. 17. Adhyani AR. Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Pemilihan Kontrasepsi Non IUD pada Akseptor KB Wanita Usia 20-39 Tahun. Universitas Diponegoro; 2012.
Pengetahuan Ibu tentang Pertumbuhan Berhubungan dengan Status
Gizi Anak Usia 0-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Banguntapan I
Bantul, Yogyakarta
Rikardus Nendi Irwanto1, Sulistiyawati2, Prastiwi Putri Basuki3
1,3Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Husada Yogyakarta Jalan Babarsari, Glendongan, Daerah Istimewa Yogyakarta
2 Universitas Alma Ata Yogyakarta
Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta Email: jellistya@yahoo.com
Abstrak
Salah satu tujuan lain dari MDGs adalah untuk memberantas kemiskinan dan kelaparan. Semakin tinggi kemiskinan dan kelaparan suatu negara akan berdampak pada kesehatan, kesejahteraan dan kekurangan gizi, terutama pada balita. Kebutuhan Nutrisi adalah perhatian utama yang harus diperhatikan dalam pertumbuhan mereka. Nutrisi dapat menentukan tingkat kesehatan anak-anak. Pertumbuhan yang baik tidak hanya pertumbuhan fi sik tetapi juga perkembangan mental dan intelektual yang juga diharapkan berkembang dengan baik. Oleh karena itu menjadi pertumbuhan lazim. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu tentang pertumbuhan dan status gizi anak-anak usia 0-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan I Bantul. Metode ini merupakan penelitian deskriptif analitik menggunakan desain cross sectional dan analisis penelitian data spearman rho. Pengambilan sampel menggunakan cluster sampling dengan undian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang pertumbuhan dalam kategori baik 55,1% dan kategori kurang 3,4%. Sementara itu, status gizi anak-anak pada usia 0-59 bulan adalah dalam kategori baik 70,8% dan kategori sangat tipis 3,4%. Kesimpulannya, ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang pertumbuhan dan status gizi anak-anak usia 0-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan I Bantul (p-value=0,000).
Kata Kunci: pengetahuan, pertumbuhan, status gizi
Mother’s Knowledge on Growth is Related with Children’s Nutrition
Status Aged 0-59 Months in Working Area of Puskesmas Banguntapan I
Bantul, Yogyakarta
Abstract
One of the stated goals of MDGs is to eradicate extreme poverty and hunger. The higher the poverty and hunger of a country will have an impact on the health, welfare and food consumption of malnourished people, especially in toddlers. Nutrition necessity is main concern that must be considered in their growth. Nutrition status can determine the level of children’s health. Good growth is not only physical growth but also their mental and intellectual development that is also expected to develop well. Therefore it becomes prevalent growth. The purpose of study was to know the relationship between mother’s knowledge on growth and children’s nutrient status aged 0-59 months in working area of Puskesmas Banguntapan I Bantul. The method was descriptive analytical research using cross sectional design and data research analysis of spearman rho. The sample collection was cluster sampling with lottery. Results showed that mother’s knowledge on growth was in good category 55.1% and less category 3.4%. Meanwhile, the nutrition status of children at age 0-59 months was in good category 70.8% and very thin category 3.4%. In conclusion, there was a relationship between mother’s knowledge on growth and children’s nutrition status aged 0-59 months in working area of Puskesmas Banguntapan I Bantul (p-value=0,000).
Keywords: knowledge, growth, nutrient status
Info Artikel:
Artikel dikirim pada 9 Januari 2016 Artikel diterima pada 9 Februari 2016
DOI : http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(1).19-24 ISSN2354-7642
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Tersedia online pada:
http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA