• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. India mengalami masa penjajahan oleh bangsa Eropa dari abad ke-18

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. India mengalami masa penjajahan oleh bangsa Eropa dari abad ke-18"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

India mengalami masa penjajahan oleh bangsa Eropa dari abad ke-18 hingga negara tersebut memperoleh kemerdekaan dari Inggris. Menurut Gopal (2009), penjajahan India mulai pada tahun 1757 dengan Pertempuran Plassey yang memberi kemenangan pada British East India Company, sebuah perusahaan Inggris yang sangat besar di India, sehingga perusahaan ini memiliki kuasa untuk mengontrol Diwani Bengali. Kemudian pada tahun 1857 terjadi perang kemerdekaan pertama yang dikenal oleh Inggris sebagai Sepoy Mutiny. Sederetan peristiwa besar yang berkaitan dengan pendudukan penjajah terjadi di India hingga pada tahun 1945, yaitu saat Perang Dunia II berakhir. Pada tahun 1947 India memperoleh kemerdekaan, dan Inggris tidak lagi memegang kekuasaan. India akhirnya menjadi negara republik pada tahun 1950 dan, pada tahun 1952, mengadakan pemilihan umum pertama. Serangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa India memiliki pengalaman kolonial: India pernah dijajah dan dikuasai oleh pihak kolonial. Penguasa kolonial pernah mengatur segala aspek dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa India merupakan masyarakat pascakolonial.

Karena begitu lamanya pendudukan Inggris di India, dan begitu kuatnya pengaruh kolonial Inggris terhadap masyarakat India, masyarakat India masih mau menerima dan mengalami pengaruh kebudayaan kolonial – meskipun Inggris

(2)

sudah tidak berkuasa lagi di sana. Besarnya pengaruh kolonial Inggris ini bisa dilihat dengan sangat jelas dari bahasa yang digunakan. Menurut Kulper (2011: 16), salah satu peninggalan kolonial di India adalah aturan Inggris untuk menggunakan bahasa Inggris di lingkungan formal. Hal ini menjadikan India sebagai salah satu negara terbesar yang menggunakan bahasa Inggris, yang menunjukkan betapa kuatnya kontrol kolonial sehingga mampu menguasai negara dengan bahasa. Dalam hal pendidikan, misalnya, penerapan kurikulum di India sudah bergaya Barat seperti dinyatakan oleh Stein (2010: 233): These educational

developments are usually referred to as ‘western’ , meaning schooling based upon the curricula of upper schools, colleges and professional (e.g. law) schools in Britain, with English the medium of instruction. (Perkembangan pendidikan

mengacu ke arah “kebarat-baratan”, yang berarti bahwa pengajaran berdasarkan kurikulum sekolah yang lebih tinggi, sekolah profesi misalnya hukum yang ada di Inggris yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantarnya). Kutipan ini jelas menunjukkan bahwa, setidaknya dalam bidang pendidikan, konsep ‘western’ menjadi rujukan, sampai pada tataran kurikulum yang berlaku di Inggris. Jika dikaitkan dengan cakupan teori pascakolonial, salah satu kemungkinan perhatiannya menurut Lo and Helen (1998) dalam Faruk (2007) adalah pada kebudayaan masyarakat yang pernah mengalami penjajahan Eropa terhadap kebudayaan penjajah, baik sebagai efek penjajahan yang masih berlangsung sampai pada masa pascakolonial maupun kemungkinan transformasinya ke dalam bentuk-bentuk neokolonialisme (internal maupun global). Maka India juga termasuk dalam cakupan tersebut karena di masa pascakolonial ini India masih

(3)

menjalani budaya peninggalan penjajah. Dengan kata lain, India termasuk salah satu masyarakat yang masih menjalani kebudayaan yang ditinggalkan oleh penjajah Eropa, dalam konteks ini Inggris.

Meskipun India merupakan masyarakat dan kebudayaan bekas jajahan Eropa, orang-orang India tidaklah pasif. Masyarakat pascakolonial India tetap melestarikan budaya nenek moyang, disamping menjalankan budaya peninggalan penjajah. Menurut Sigh (2005: 132), di akhir kolonialisme India bisa memodernkan dirinya sendiri dengan budaya yang dimiliki, meskipun India tetap mengambil sisi intelektual kolonial. Masyarakat pascakolonial India juga menanggapi peninggalan penjajah dengan cara meniru atau melakukan mimikri. Sebagaimana diungkapkan oleh Homi K. Bhabha (1994: 86), the discourse of

mimicry is constructed around an ambivalence; in order to be effective, mimicry must continually produce its slippage, its excess, its difference. Dari situ dapat

dilihat bahwa wacana mimikri dibangun dari suatu ambivelensi: supaya efektif, mimikri secara terus-menerus menciptakan keterpelesetan, keberlebihan dan perbedaan. Dalam bidang sastra, seperti ditulis dalam bukunya Upamayu Pablo Mukerjee (2010: 3) bahwa masyarakat pascakolonial India menulis karya sastra dalam bahasa Inggris, sehingga muncul Indian English Novel. Tulisan kontemporer dalam bahasa Inggris tersebut, selain berisi kondisi masyarakat pascakolonial sendiri, juga mengandung kritikan terhadap rezim kolonial yang pernah berkuasa. Berbagai pernyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat India, sebagai masyarakat bekas jajahan, tetap aktif, tidak diam menerima pembentukan dan peninggalan penjajah. Aktivitas ini terwujud melalui kritikan terhadap rezim

(4)

kolonial, yang menunjukkan bahwa masyarakat merasa tertekan dengan rezim tersebut.

Respon aktif yang ditunjukkan masyarakat India tersebut menjadikan masyarakat India sebagai masyarakat yang berlapis atau dualistik. Artinya, mereka menjalankan tradisi India sendiri sekaligus konsep peninggalan kolonial. Sementara itu, tradisi maupun kolonial memiliki aturan masing-masing, yang suatu ketika aturan tersebut cenderung menjadi tekanan bagi masyarakat India sendiri.

Salah satu Indian English Novel yang tampaknya sarat dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat pascakolonial India yang dualistik ini adalah The God of

Small Things karya Arundhati Roy. Novel ini adalah novel pascakolonial yang

ditulis oleh Roy, seorang aktivis perempuan India, pada tahun 1996, kemudian mendapatkan penghargaan terbaik dari Booker Prize pada tahun 1997. Seperti diungkapkan oleh Tickell (2007: 3), The God of Small Things [is] set in the

southern Indian state of Kerala and divided, chronologically, between the late 1960s and the early 1990s, seting yang diambil adalah Kerala (India) pada akhir

tahun 1960an sampai awal tahun 1990an. Karena Arundhati Roy dilahirkan dari seorang ibu dari Kerala, India Selatan, yang beragama Kristen Siria dan ayah asli Bengali yang beragama Hindu, dia mengalami ketegangan budaya yang berbeda dari kedua orang tuanya, yaitu Kerala dan Bengali. Selain itu, ia menyaksikan kondisi masyarakat India pasca-kemerdekaan, termasuk konflik yang terjadi karena pengaruh kolonial. Kedua hal ini mempengaruhi penulisan novel The God

(5)

penganugrahan Booker Prize, With extraordinary linguistic inventiveness,

Arundhati Roy funnels the history of South India through the eyes of seven-year-old twins. The story she tells is fundamental as well as local… (Thampi,

2000:130). Yang dimaksud dengan fundamental sekaligus lokal adalah bahwa kehidupan yang dilukiskan novel ini tidak terbatas hanya pada ruang dalam kehidupan masyarakat secara luas, tetapi juga lokal, ruang domestik dalam keluarga.

Setelah penerbitannya, karya ini banyak dikaji, baik dari sisi isu sosial masyarakat maupun dari sisi kolonialisme dan pascakolonialisme, sebab – jika dikaitkan dengan sejarah India pada masa pasca-penjajahan Inggris – secara umum novel ini memotret kehidupan masyarakat India pasca-kemerdekaan. Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan sebagian besar peristiwa dari akhir tahun 1960-an sampai awal tahun 1990-an, maka kehidupan masyarakatpun tidak akan jauh dari apa yang terjadi dalam sejarah India sebenarnya.

Patchay (2007) meneliti novel ini dalam disertasinya. Kajiannya menunjukkan adanya penderitaan karena memori atau kenangan masa lalu karakternya. Ia mengatakan bahwa The God of Small Things berada dalam cakupan pascakolonial karena setingnya mengambil India sebagai masyarakat pascakolonial dan menunjukkan dampak hilangnya sejarah suatu keluarga yang disebabkan bukan hanya karena efek kolonialisme, tetapi juga banyak dipengaruhi oleh relasi keluarga dalam struktur budaya India (Patchay: 152). Selain itu, ia menyatakan bahwa Roy mencari puing-puing kehancuran dua rumah yang

(6)

diceritakan (Rumah Ayemenem dan Rumah Sejarah) serta karakter-karakternya dan pada saat bersamaan menggali memori masa lalu. Dapat disimpulkan bahwa penelitian ini fokus pada hilangnya sejarah masa lalu dan pengalaman buruk yang dialami karakter dalam relasi kehidupan keluarganya dalam masyarakat pascakolonial. Namun demikian, penelitian ini tidak melihat adanya korelasi antara hilangnya sejarah masa lalu – yang berkaitan dengan sejarah India- dengan jejak-jejak kolonial. Rumah Ayemenem sebagai rumah “keinggris-inggrisan” tidak dibahas sebagai dampak kolonial, dan Rumah Sejarah sebagai sesuatu yang hilang atau hilangnya masa lalu tidak dibahas pula sebagai manifestasi terhadap tidak bisa kembalinya masyarakat India kepada budaya asli.

Sementara itu, penelitian dalam tesis Sun Siao Jing (2009: 5) melihat adanya signifikansi hal-hal kecil yang terjadi di Rumah Ayemenem. Dengan

re-mapping hal-hal kecil dalam rumah tersebut, ia meneliti interelasi antara place, people dan space. Place yang dimaksud dalam penelitian tersebut diidentifikasi

oleh sejarah dan pengalaman personal, bukan oleh perubahan lanskap. Pengalaman personal tersebut akan menghasilkan space kehidupan atau life space sehingga life space ini masih mengandung sense place. Meskipun lanskap yang diceritakan dalam tiga tempat utama dalam novel ini (yaitu Rumah Ayemenem, Sungai Menachal, dan Rumah Sejarah) mengalami perubahan, namun bagi si kembar, Rahel dan Estha, Rumah Ayemenem tetaplah seperti place yang dulu mereka kenal sebelum meninggalkannya. Pikiran mereka tentang Rumah Ayemenem telah dibentuk oleh peristiwa sejarah, pengalaman dan kenangan masa lalu, yaitu kematian Velutha (kalangan kelas bawah yang dekat dengan mereka).

(7)

Sedangkan space di sini adalah life space atau ruang kehidupan. Life space ini terbentuk dari hal-hal kecil dalam Rumah Ayemenem yang memiliki signifikansinya sendiri. Misalnya, smell atau ‘aroma’ yang berbeda-beda bagi tiap karakter. Aroma parfum mewah Margareth adalah kecemburuan Mamachi terhadap Chacko. Smell yang mereka rasakan menciptakan spaces atau ruang-ruang yang mereka miliki sendiri.

Penelitian pertama membahas masyarakat pascakolonial India, terutama relasi hubungan keluarga dalam keluarga India (yaitu Rumah Ayemenem dan Rumah Sejarah) yang berhadapan dengan struktur kebudayaan India dan puing-puing rumah-rumah tersebut. Namun, dalam kajian ini belum dibahas secara spesifik kondisi rumah sebagai ruang tempat relasi keluarga tersebut berlangsung, sebagai lingkungan dengan struktur budaya India (Timur), dan mengapa kehancuran itu terjadi pada masyarakat pascakolonial. Sedangkan penelitian kedua mencoba mencari hubungan antara place (Rumah Ayemenem, Sungai Menachal, Rumah Sejarah), space dan orang-orang yang menghuni place tersebut. Meskipun penelitian ini telah menyinggung masalah space, ruang yang dimaksud adalah ruang kehidupan yang merupakan hasil interaksi pengalaman manusia dengan place atau tempat tertentu, sehingga – seperti halnya penelitian pertama, – penelitian kedua ini juga belum spesifik membicarakan space atau ruang, misalnya yang berupa rumah (sebagai tempat orang tinggal) atau ruang lain di luar rumah, ataupun kaitannya dengan kolonialisme Ingris di India. Sungai dibahas karena menyimpan kenangan yang menimbulkan sense of place untuk membentuk

(8)

aturan rumah, tempat di mana mereka keluar dari batas-batas yang ada di rumah. Sesuatu dianggap sebagai pelanggaran berarti ada sesuatu yang dilanggar, ada

border yang dilewati dan order yang ditentang.

Dengan melihat fenomena bahwa masyarakat India adalah masyarakat yang dualistik dalam struktur ruang pascakolonial, di mana aturan ganda, Barat dan Timur, yang dimiliki menyebabkan masyarakat India cenderung tertekan, maka muncul permasalahan tentang bagaimana masyarakat India bisa keluar dari atau bertahan dalam aturan kolonial dan tradisi yang ada. Untuk mengetahui adanya upaya yang dilakukan oleh masyarakat pascakolonial India, maka dilakukan penelitian terhadap novel The God of Small Things karena – sebagaimana dijelaskan di atas – novel ini secara sekilas membicarakan kondisi masyarakat pascakolonial yang menjalankan konsep Timur atau tradisi India dan Barat atau kolonial. Selain itu, penelitian yang pernah dilakukan belum menyentuh adanya konsep ruang yang mengontrol atau memberi batas-batas pada masyarakat beserta reaksi yang muncul akibat adanya kontrol tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini berkaitan dengan bagaimana Barat dan Timur representasikan dalam struktur ruang dalam novel

The God of Small Things, dengan rincian pertanyaan riset sebagai berikut:

1. Bagaimana Barat dan Timur direpresentasikan dalam struktur ruang di dalam dan di luar rumah dalam novel The God of Small Things karya Arundhati Roy?

(9)

2. Bagaimana strategi spasial pascakolonial dalam menyiasati munculnya dampak yang ditimbulkan oleh representasi tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua jenis tujuan, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis dari penelitian ialah untuk mengungkapkan kondisi rumah dalam novel The God of Small Things dalam konteks ruang pascakolonial. Sementara, tujuan praktis penelitian ini adalah menghasilkan karya tulis yang diharapkan bisa menambah wawasan bagi mahasiswa, pengajar, peneliti dan siapapun yang berkecimpung dalam dunia sastra terutama pascakolonial ruang. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi inspirasi untuk penelitian selanjutnya.

1.4 Tinjauan Pustaka

Sudah banyak penelitian yang mengangkat novel The God of Small Things karya Arundhati Roy; beberapa diuraikan di bawah. Pertama, ada skripsi Vita Irawati (2003) yang berjudul Caste Sytem as a Social Phenomenon in Arundhati

Roy’s The God of Small Things. Dengan menggunakan pendekatan ekstrinsik

yang melihat sistem kasta dan komunisme yang berkembang di India, penelitian ini menitikberatkan beberapa karakter yang dianggap berkaitan dengan sistem kasta dalam cerita novel. Dari hasil pembahasan tentang sistem kasta pada karakter yang dipilih, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan pandangan terhadap sistem kasta yang berkembang di India dalam novel. Terdapat dua tokoh

(10)

yang masih mempertahankan sistem kasta, meskipun mereka hidup dalam keluarga Kristen Siria yang tidak mengenal kasta. Terdapat dua karakter lagi yang berasal dari kasta berbeda (tinggi dan rendah) yang melakukan pelanggaran terhadap sistem kasta dengan saling mencintai (love relation). Dua karakter yang lain, penganut sistem komunisme, justru menunjukkan dukungan kuat terhadap sistem kasta, walaupun komunisme itu sendiri menghendaki kesamaan kedudukan manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan sistem kasta terhadap karakter dalam novel tidaklah mutlak: kasta masih bisa dilanggar, bisa dinegosiasi. Tindakan tidak setia terhadap kasta, melanggar, ataupun setia terhadap kasta memiliki dasar. Ketika kasta merupakan tradisi, maka dalam masyarakat pascakolonial seperti India, sudah tentu tradisi itu akan dibaca dengan makna yang berbeda dari bacaan kolonial. Namun, penelitian ini tidak banyak membahas kolonialisme ataupun pascakolonialisme, sementara di India, sebagai negara pascakolonial, sudah pasti terdapat ruang-ruang yang dipengaruhi kolonialisme. Dengan demikian, penelitian ini belum menyentuh konsep ruang, yang merupakan unsur penting dalam pascakolonial dan berkaitan erat dengan sistem kasta yang melekat pada tubuh dan kehidupan masyarakat pascakolonial India.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Winda Chandra Hantari (2008) yang berjudul Patterns of Domination in Arundhati Roy’s The God of Small

Things: A Postcolonial Study. Hantari mengkaji novel ini dengan mencari pola

dominasi serta konflik yang berkaitan dengan isu ras, bangsa, dan budaya. Dengan menggunakan teori Jameson mengenai karya sastra sebagai alegori bagi cerita

(11)

sebuah bangsa serta pendekatan pascakolonial Leela Gandhi yang menyatakan bahwa pascakolonialisme adalah kajian yang membuka, mengingat kembali dan mempertanyakan masa lalu, penelitian ini memfokuskan bagaimana Roy, melalui novelnya, mereproduksi, mempertanyakan, dan menggugat kolonialisme dengan melihat pengalaman salah satu tokoh, Estha. Temuan dari penelitian tersebut adalah, pertama: Roy menyajikan dominasi yang terjadi bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan sebagai konsekuensi dari kediaman total, sikap pasif atau ketidakmampuan mereka untuk melawan secara langsung pemilik kekuasaan dominan. Kedua: Roy menunjukkan kemunafikan dalam usaha pelestarian beberapa sistem; sistem tradisional yang dikawinkan dengan sistem Barat tampaknya menjadi sebuah senjata yang ampuh dalam meneguhkan dominasi kekuasaan. Ditunjukkan pula bagaimana praktik dominasi menimbulkan trauma. Trauma yang dialami tokoh ini merupakan representasi kondisi negara India.

Penelitian yang dilakukan oleh Sara Gillis (2009) yang berjudul

Hybridized Identity and “Going Native” in Arundhati Roy’s The God of Small Things and Paul Theroux’s The Elephanta Suitei fokus pada hibriditas yang gagal,

atau unsustainability hibridity. Ia hanya melihat tokoh-tokoh yang tidak mampu menentukan identitas mereka dengan pasti, dan jika dilihat dari hasil pembahasannya, peneliti tersebut hanya mengangkat tokoh yang berada di Rumah Ayemenem. Rumah Ayemenem yang diceritakan dalam novel merupakan rumah keinggris-inggrisan yang tampak menunjukkan sistem kolonialisme di dalamnya, dengan memperlihatkan sejarah nenek moyang yang mewariskan rumah tersebut, yaitu pendeta Kristen. Sementara, dalam novel The God of Small Things, juga

(12)

disebutkan adanya tokoh yang menempati rumah di luar Ayemenem dan tetap memegang tradisi asal mereka, yaitu sistem kasta. Terdapat pula ruang di luar rumah sebagai tempat yang bisa dimasukkan semua kalangan (kecuali Sophie Mol), yaitu sungai; dalam penelitian ini, sungai tidak dibahas.

Penelitian keempat adalah disertasi yang ditulis oleh Priya Menon pada tahun 2010 dengan judul Liminal Resistances: Local Subjections in My Story,

Vidheyan, and The God of Small Things. Penelitian ini menggunakan pijakan teori

pascakolonial yang fokus pada resistensi liminal dan dilaksanakan melalui perbandingan tiga novel. Penelitian tersebut mengamati “the workings and

creative subversions”: suatu wacana hegemonik terhadap kasta, kelas sosial,

gender dan warna kulit dalam the local milieu of Kerala, India. Penelitian ini hanya menyinggung resistensi liminal atau kaum terpinggirkan dalam masyarakat pascakolonial; ia belum menyentuh konsep ruang, yang merupakan unsur penting dalam memahami isu-isu pascakolonial. Dengan demikian, seolah akan tampak bahwa pascakolonialisme hanya sebatas kaum liminal yang termarjinalkan dan upaya resistensi atau perlawanannya saja, padahal cakupan teori pascakolonial memiliki tiga kemungkinan perhatian yaitu pertama pada kebudayaan masyarakat yang pernah mengalami penjajahan Eropa terhadap kebudayaan penjajah, baik sebagai efek penjajahan yang masih berlangsung sampai pada masa pascakolonial maupun kemungkinan transformasinya ke dalam bentuk-bentuk neokolonialisme (internal maupun global), kedua respon perlawanan atau wacana tandingan dari masyarakat terjajah terhadap penjajah, ketiga segala bentuk marginalitas yang

(13)

diakibatkan oleh segala bentuk kapitalisme. (Lo and Helen 1998 dalam Faruk 2007).

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Umar dalam tesisnya pada tahun 2011, yaitu Kritik Sosial dalam Novel The God of Small Things karya

Arundhati Roy dan Saman Karya Ayu Utami: Sebuah Studi Banding

membandingkan The God of Small Things dan Saman untuk mencari – dan akhirnya menemukan – persamaan dalam kritik sosialnya. Penelitian ini menunjukkan adanya kritik sosial terhadap budaya patriarki, kritik sosial terhadap politik, kritik sosial terhadap diskriminasi ras, kritik sosial terhadap pencitraan wanita dalam masyarakat, dan kritik sosial terhadap dogma agama.

Sementara itu, disertasi Patchay (2007) yang berjudul “The Struggle of

Memory against Forgetting:” Contemporary Fictions and the Rewriting of Histories membahas lima novel pascakolonial; salah satunya adalah The God of Small Things. Yang dibahas adalah hilangnya sejarah masa lalu serta kenangan

pahit tokoh dalam relasi keluarga di Rumah Ayemenem dan Rumah Sejarah. masyarakat pascakolonial.

Sedangkan, penelitian dalam tesis Sun Siao Jing (2009) yang berjudul

Re-mapping the Small Things: Place and Life Space in Arundhati Roy’s The God of Small Things menyinggung konsep place dan space serta hubungan dengan

manusia dalam place tersebut. Namun pembahasan ini menggunakan perspektif yang berbeda dari apa yang disampaikan oleh Upstone. Place yang dimaksud bukanlah tempat (rumah tinggal) yang tetap dan berbatas, melainkan suatu place yang dibentuk oleh pengalaman sejarah individu. Sementara itu, space yang

(14)

dimaksud adalah space kehidupan yang terbentuk karena interaksi antara place dan manusianya, yang kemudian menciptakan pengalaman kehidupan serta life

space (ruang kehidupan). Space setiap manusia akan berbeda, tergantung pada

pengalaman kehidupannya terhadap place yang ditempati dan bertinteraksi.

Dari beberapa penelitian terhadap novel The God of Small Things yang diuraikan di atas, jelas bahwa sebagian besar membahas kondisi sosial, yaitu masalah kelas, gender, budaya patriarki, dan kasta – termasuk juga isu pascakolonial yang berkaitan dengan pola dominasi. Sementara itu, isu tentang ruang domestik yang melihat bahwa kondisi rumah dan kehidupan di dalam rumah maupun di sekitar rumah juga memiliki kaitan dengan pascakolonial sebagai ruang yang cair dan terjadinya chaos, sejauh pengamatan peneliti belum pernah diangkat.

1.5 Landasan teori

Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan pascakolonialisme, khususnya rumah pascakolonial. Teori ini diuraikan pertama kali Sara Upstone. Di sini, akan diuraikan beberapa pengertian tentang kolonialisme, pascakolonialisme, dan selanjutnya konsep ruang, termasuk chaos dan post-space, menurut Upstone, serta rumah sebagai salah satu level ruang.

1.5.1 Kolonialisme

Terdapat banyak pendapat tentang kolonialisme. Pertama, secara umum kolonialisme didefinisikan sebagai penguasaan atas kontrol terhadap tanah dan

(15)

barang milik pihak lain. Sedangkan, pada kolonialisme modern penguasaan tersebut tidak terbatas pada tindakan perampasan atas benda-benda dan kekayaan milik wilayah yang dikuasai, tetapi di dalamnya terdapat upaya penstrukturan kembali bangunan perekonomian bangsa yang dikuasai, yang mengakibatkan adanya aliran sumber daya manusia dan alam di antara penguasa dan wilayah yang dikuasai (Lombaa, 2005: 8-9 dalam Dwiwardani, 2013: 18). Berdasarkan pendapat pertama, dapat dikatakan bahwa kontrol kolonial meliputi teritori atau wilayah, isi dalam wilayah tersebut, serta struktur bangunan perekonomian bangsa yang dijajah. Berkaitan dengan kontrol atas teritori tersebut, pendapat kedua dinyatakan oleh Upstone (2009: 4) bahwa kolonialisme sebagai klaim terhadap wilayah atas nama penyebaran agama, pengembangan perekonomian, dan pengembangan wilayah (labenstrum) melihat kecocokan wilayah jajahannya sebagai empire, dan empire sebagai tujuan klaim atas wilayah tersebut.

1.5.2. Pascakolonialisme

Salah satu pengertian pascakolonial dirumuskan Stephen Slemon, sebagai berikut.

‘Pascakolonialisme’ adalah sesuatu yang saat ini digunakan dalam berbagai bidang, menggambarkan seperangkat posisi subjek yang heterogen, bidang-bidang profesional, dan aktifitas-aktifitas kritis. Istilah ini digunakan untuk suatu cara menata kritik dari sejumlah bentuk historisisme Barat; sebagai paduan istilah untuk gagasan ‘kelas’ yang diperbaharui, sebagai bagian dari posmodernisme dan postrukturalisme (dan sebaliknya, sebagai kondisi yang darinya dua struktur logika dan kritik kultural itu sendiri tampak muncul); sebagai nama bagi kondisi pribumi semasa pengelompokan-pengelompokan nasional pada masa sesudah kemerdekaan, sebagai penanda kultural non-residensi bagi kader intelektual dunia ketiga; sebagai sisi yang tak terhindarkan dari wacana kekuasaan kolonial yang terpatahkan dan ambivalen; sebagai bentuk oposisional ‘praktik pembacaan’ ; dan sebagai

(16)

nama bagi kategori aktifitas ‘sastra’ yang tumbuh dari suatu energi politik yang baru dan ramah yang berlangsung dalam apa yang disebut studi sastra ‘Commonwealth’ (dalam Ashcroft dkk., 1995: 45; lo Gilbert, 1998: 1; dalam Dermawan, 2010: 29).

Rumusan tersebut jelas menunjukkan bahwa istilah ‘pascakolonialisme’ digunakan dalam berbagai bidang dan dengan berbagai tujuan. Dalam Dermawan (2010: 27) dijelaskan pula bahwa konsep dasar pascakolonial ini, berdasarkan pemikiran Said (1979) yang menggugat wacana tentang Timur sebagai suatu produksi ilmu pengetahuan yang memiliki landasan ideologis dan kepentingan-kepentingan kolonial. Didukung oleh tradisi, kekuasaan, lembaga, dan berbagai modus penyebaran pengetahuan, wacana tersebut menciptakan mitos dan stereotip tentang Timur yang dikontraskan dengan Barat. Hal ini merupakan cermin negatif untuk membesarkan citra Eropa sebagai pelopor peradaban. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa wacana tentang Timur lebih rendah dari Barat sehingga perlu diberadabkan oleh Barat. Salah satu wilayah Timur tersebut, antara lain, adalah India.

Berkaitan dengan anggapan bahwa Timur adalah produksi ilmu pengetahuan yang memiliki landasan ideologis dan kepentingan kolonial, maka hal senada dikemukakan oleh Lombaa (2005: 16). Dinyatakan bahwa pascakolonialisme merupakan kontestasi atas dominasi kolonial dan warisan-warisan kolonialisme. Dalam kata lain, dominasi kolonial dan warisan-warisan-warisan-warisan kolonialisme itu akan dibongkar oleh konsep pascakolonial. Akan ditunjukkan bahwa kolonial yang mewariskan keteraturan sebenarnya tidak benar-benar bisa mewujudkan keteraturan yang diidamkan, dan masih ada jejak masa lalu yang

(17)

dimiliki bangsa terjajah. Karena itu, terjadi kontestasi atau pertentangan-pertentangan yang, pada akhirnya, memunculkan keberagaman.

Sedangkan, pendekatan pascakolonial yang akan digunakan di sini adalah pendekatan pascakolonial menurut Sara Upstone dalam bukunya Spatial Pilotics

in the Postcolonial Novel. Pendekatan pascakolonial menurut Upstone

menekankan pada politik ruang, dalam artian pascakolonial yang telah dipahami sebagai masa dimana suatu wilayah pernah ditempati dan dikontrol oleh kolonial, dan kolonial telah meninggalkan wilayah tersebut, oleh Upstone dianggap masih ada ruang-ruang kolonial yang ditinggalkan pada wilayah jajahan meskipun secara fisik kolonial sudah tidak berada lagi pada ruang terjajah. Ruang-ruang tersebut oleh Upstone dikelompokkan menjadi beberapa level mulai dari bangsa, perjalanan, kota, rumah dan tubuh, dimana pada setiap ruang tersebut terdapat unsur politik yang ingin diungkap. Pendekatan pascakolonial yang fokus pada ruang oleh Upstone, akan dijelaskan dalam poin berikut ini.

1.5.3 Ruang dalam Pandangan Pascakolonialisme

Berkaitan dengan konsep ruang, Sara Upstone dalam bukunya Spatial

Politics in the Postcolonial Novel menawarkan pembacaan atas novel

pascakolonial yang menitikberatkan konsep-konsep alternatif tentang politik ruang, yang tidak semata-mata berakar pada politik suatu bangsa, tetapi juga merefleksikan beraneka ruang yang mengonstruksi pengalaman kolonial (Upstone, 2009:1). Pengalaman kolonial yang dimaksud di sini adalah pengalaman yang terjadi pada daerah yang pernah diduduki, atau mengalami kolonialisme Barat.

(18)

Hal ini berkaitan dengan konsep kolonialisme tentang penguasaan teritori. Berkaitan dengan pengertian kolonialisme sebagai penguasaan teritori, maka penguasa kolonial ingin menanamkan kuasanya dan melestarikan kekuasaannya dengan berbagai strategi. Strategi penting yang digunakan adalah melakukan kontrol terhadap wilayah kekuasaan serta masyarakatnya. Upaya kontrol ini dimanfaatkan untuk mewujudkan dan melanggengkan wilayah teritori jajahannya, baik pada tingkat bangsa, ruang-ruang publik (misalnya kota), maupun sampai ke ruang-ruang domestik seperti tempat tinggal dan ruang-ruang pribadi (seperti individu).

Dalam bukunya, Upstone menjelaskan strategi kontrol tersebut dengan konsep batas. Oxford English Dictionary menjelaskan bahwa koloni bukan hanya mencakup sebuah komunitas masyarakat tertentu, namun juga wilayah dari komunitas tersebut (Upstone, 2009: 4). Dari pengertian tersebut, bisa dikatakan bahwa wilayah tertentu merupakan batas teritori, yang digunakan pihak kolonial untuk menguasai koloninya. Ini dapat dilakukan melalui penenerapan pemetaaan yang jelas dan pasti, dalam rangka melanggengkan kekuasaannya.

Konsep ruang berbatas ini ditanamkan pada masyarakat sebagai sesuatu yang tetap, terkontrol, absolut, dan natural. Dengan adanya konsep batas yang tampak absolut, tidak dapat digoyahkan oleh kelompok-kelompok lokal, wilayah teritori dengan batas-batasnya menjadi sesuatu yang harus dihargai sebagai sebuah keberadaan yang sah (legitimate entity), dan statusnya yang absolut menghancurkan berbagai preferensi dari masyarakat sebelumnya, serta praktik-praktik kesukuan yang telah ada (Upstone, 2009: 4–5). Konsep tentang batas yang

(19)

ditanamkan pada masyarakat dan memiliki tujuan untuk melakukan kontrol, mempertahankan stabilitas, serta menghindarkan berbagai resistensi, terjaga dengan adanya penerimaan dan persetujuan masyarakat bahwa batas bersifat alamiah. Dengan demikian, seolah masyarakat tidak menyadari adanya konstruksi kolonial tentang batas tersebut. Kondisi inilah yang akan menjadikan masyarakat homogen, sehingga mudah dikontrol.

Namun demikian, upaya homogenisasi tersebut tidak sepenuhnya berhasil, karena masih ada jejak-jejak dari elemen masa lampau. Meskipun upaya ini merupakan suatu totalisasi untuk sebuah tujuan, ia tidak pernah mencapai totalisasi. Apa yang telah ‘tertulis’ sebelumnya berusaha dimunculkan kembali, mungkin dengan representasi baru: penghapusan selalu meninggalkan bekas (Upstone, 2009: 6-7).

Dalam pandangan pascakolonial, ruang lebih bersifat cair, berbeda dengan harmonisasi dan idealisasi ala kolonial (Upstone, 2009: 11). Sara Upstone menawarkan gagasan bahwa penulis-penulis pascakolonial menciptakan ruang sebagai tempat berbagai kemungkinan dan resistensi, dengan merebut kembali kecairan ruang yang telah ditolak oleh konsep kolonial dalam gagasan ruang berbatasnya dan dengan memberi lokasi-lokasi fungsi-fungsi politis (Upstone, 2009: 11). Ini berarti bahwa penulis pascakolonial ingin mengungkapkan chaos yang ada, dan membuka peluang untuk suatu perlawanan atau resistensi terhadap konstruksi kolonial.

Dikatakan pula bahwa pandangan ruang pascakolonial menolak konstruksi teritori, memberi penawaran bahwa ruang seharusnya direklamasi, suatu

(20)

pandangan yang pada awalnya mengandung berbagai pebedaan dan melihat ruang di luar pemikiran kolonial, di mana ruang menjadi lokasi, bukan sebagai negasi atas apa yang telah berlalu sebelumnya, namun negosiasi (Upstone, 2009: 13). Berbeda dengan pandangan kolonial, pandangan pascakolonial melihat ruangan berisi suara-suara heterogen, yang memiliki berbagai pengalaman, yang memberi penekanan pada perbedaan dan subjektivitas (Upsotone, 2009: 13). Suara-suara heterogen dan pengalaman inilah yang memunculkan chaos. Penyingkapan chaos tersebut tidak untuk menghilangkan semua stabilitas yang ada, melainkan lebih pada upaya pemanfaatannya dalam membongkar pandangan yang dianggap tetap dan menanamkan pola-pola pemahaman dan pengalaman-pengalaman yang baru sehingga dibutuhkan fluiditas ruang yang tidak bisa didapatkan dalam konsep kolonial maupun tradisi, atau pula dari konsep Barat dan Timur yang sudah dibatas-batasi tersebut; ini, pada akhirnya, memunculkan post-space. Menurut Upstone (2009: 15), post-space merupakan konsep yang berada di luar batas-batas kolonial maupun bata-batas tradisi, bahkan melampaui atau berada sebelum batas-batas tersebut muncul; ia juga bisa dikatakan suatu ruang yang hibrid, cair dan bergerak, sehingga tidak memiliki batas-batas lagi. Dalam subbab berikut akan diuraikan pengertian ruang pascakolonial, yang akan digunakan sebagai dasar pembahasan novel.

1.5.4 Ruang Pascakolonial dalam Rumah

Dalam lingkup yang lebih kecil, rumah (bagi kepentingan kolonial) merupakan salah satu konstruksi yang berperan untuk menjalankan fungsi politis

(21)

dalam menegakkan nilai-nilai kolonial, dan peran ini ditampilkan pada rumah secara paradoks dalam idealisasi dan apolitisasi (Upstone, 2009: 115). Apolitisasi yang dimaksud di sini adalah rumah dieksklusikan dari konteks yang lebih besar: rumah bukanlah pembawa pesan ideologi negara, meskipun pada dasarnya penguasa kolonial menggunakan rumah untuk mempropagandakan wacana negara kolonial dengan berbagai startegi. Strategi yang digunakan untuk menanamkan wacana tersebut dalam pemikiran masyarakat koloninya adalah dengan menjadikan rumah sebagai lokasi yang tetap, berakar, stabil, antitesis dari perjalanan. Kecairan dari rumah dikaburkan. Hirarki spasial, spesialisasi atas rumah dan batas-batas yang jelas, serupa dengan bagaimana daerah koloni dibagi dalam wilayah-wilayah terirori. Akuisisi teritori dan keterkaitannya dengan kekerasan digantikan dengan konsep pembentukan rumah sebagai sebuah proses yang natural. Misalnya, dalam kutipan pendek di novel disebutkan bahwa “Comrade K. N. M. Pillai was essentially a political man. A professional

omeletteer”, yang mengindikasikan bahwa Comrade bukanlah sekedar pembuat

telor dadar. Yang penting di sini ialah perlakuan dia terhadap telor yang akan di buat dadar: harus di pecah terlebih dahulu, sama halnya dengan sikap dia ketika akan menguasai teritori orang lain. Dengan demikian, ia melakukan kekerasan (meski tidak secara langsung). Sedangkan, harmoni yang ideal tentang rumah dimunculkan dengan mempropagandakan pandangan bahwa rumah adalah lokasi penanaman nilai-nilai dan tingkah laku yang dianggap krusial untuk membentuk dan mempertahankan identitas nasional, serta merupakan perlindungan yang diperlukan dari perubahan sosial dan kondisi ekonomi yang tak terduga (Upstone,

(22)

2009: 117). Di sini jelas sekali bahwa kekuasaan kolonial ingin menciptakan konstruksi rumah dengan batas-batas, dengan hirarki, yang dianggap natural.

Di sisi lain, kritik pascakolonial mengaitkan rumah dengan pertarungan politis, sebagai ruang domestik lokasi terjadinya upaya resistensi dengan dimensi politis yang radikal (Upstone, 2009: 16). Bila representasi kolonial atas rumah mengaburkan ketidakteraturan dan memisahkan rumah dari politik di ruang publik, maka representasi pascakolonial justru menampilkan ketidakteraturan dan status politis dari rumah. Dapat dikatakan bahwa pascakolonial ini benar-benar ingin mengungkapkan bahwa rumah (sebagai ruang domestik) menolak isolasi rumah dari lingkungan yang lebih besar, misalnya nation, karena pascakolonial menganggap bahwa pertarungan politis tersebut ada.

Berkaitan dengan hirarki dan divisi-divisi yang diterapkan oleh kekuasaan kolonial dalam rumah, tampak bahwa rumah memiliki sekat-sekat, batas-batas yang sudah tetap. Dengan ini, maka rumah pascakolonial akan mengungkap bahwa dalam hirarki serta batas rumah kolonial terdapat ketidakteraturan dan

chaos (Upstone, 2009: 124). Misalnya, dalam teks novel disebutkan bahwa ruang

belajar bukan saja tempat untuk belajar, bisa juga untuk melakukan opresi terhadap anggota keluarga yang lain. Pertengkaran bisa terjadi di mana saja, dan dalam suasana yang seharusnya tenang untuk belajar justru diciptakan riuh dengan penyiksaan. Pappachi beating Mammachi in the study (Roy, 1997: 29).

Dapat dikatakan pula bahwa pascakolonial juga ingin mengungkapkan

chaos dalam rumah terjadi karena ‘tidak semua penghuni rumah mendukung ideal

(23)

diungkap, dan kecairan pun akan dimunculkan. Misalnya, kamar digunakan untuk tidur, baik malam maupun istirahat siang, tetapi tidak semua penghuni rumah dibentuk untuk selalu teratur dan patuh jadwal tidur siang di kamar. Bisa saja mereka istirahat di ruang tamu atau di luar rumah, atau bahkan tidak mau tidur siang.

Chaos yang muncul pada rumah juga bisa digambarkan dengan

pelanggaran atas geometri. Hal ini karena penguasa kolonial menganggap fungsi geometri dalam konstruksi sebuah rumah sangat penting (Upstone, 2009: 130). Geometri dibuat dengan bentuk-bentuk yang simetris, yang pada akhirnya mengantarkan pada order dan homogenitas, di mana homogenitas ini akan memudahkan penguasa kolonial dalam melakukan kontrol atas jajahannya. Pandangan pascakolonial beranggapan bahwa dibalik order dan homogenitas tersebut muncul chaos, yang pada akhirnya diwujudkan dalam bentuk rumah yang asimetris.

Dengan demikian, jelas bahwa rumah pascakolonial tidak lagi untuk melayani kepentingan kolonial, tetapi untuk melayani tujuan-tujuan lain yang akhirnya merusak relasi kekuasaan yang telah dibangun oleh konsep kolonial (Upstone, 2009: 131). Dari sini, maka akan muncul chaos, yang pada akhirnya bisa membuka potensi untuk alternatif makna baru misalnya, ruang tidur atau kamar bisa dibentuk menjadi suatu galeri, misalnya karena penghuni kamar tersebut ingin keluar dari aturan, ingin menciptakan dunianya sendiri dengan mengubah fungsi ruang yang dimiliki.

(24)

1.6 Metode Penelitian

Karena pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan (Poedjawijatna, 1982: 16-17 dalam Faruk, 2012: 23), cara perolehan atau pengetahuan metode penelitian harus sesuai dengan kenyataan adanya objek yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang disebut sebagai kodrat keberadaan objek itu. Kenyataan adanya objek itu dinyatakan oleh konsep, teori, dan pengertian-pengertian yang terkandung di dalam hipotesis dan juga variabel-variabel yang ditentukan atas dasarnya.

Untuk menguji hipotesis yang merupakan hasil deduksi teoritik, diperlukan data-data empirik yang diperoleh secara induktif yang kemudian harus dianalisis sehingga ditemukan hubungan antar-data yang dianggap merepresentasikan hubungan antar-fakta sebagaimana yang dinyatakan dalam teori dan hipotesis (Faruk, 2012: 22). Dengan demikian, terdapat dua langkah yang harus dilakukan, yaitu langkah pengumpulan data dan analisis data.

1.6.1 Metode Pengumpulan data

Data dalam penelitian ini merupakan data kualitatif, karena tidak berupa angka tetapi berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan, dari sesuatu atau gejala, atau pernyataan mengenai hubungan-hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain (Ahimsa-Putra, 2009: 18 dalam Dwiwardani). Data dalam penelitian ini berupa satuan-satuan tekstual yang dikumpulkan dengan metode kajian pustaka, dengan objek material The God of Small Things karya Arundhati Roy. Satuan tekstual diambil dari keseluruhan isi novel, mulai dari bab

(25)

1 sampai bab 21, karena cerita berkelanjutan. Satuan tekstual tersebut kemudian diseleksi menurut konsep ruang pascakolonial, terutama yang berkaitan dengan rumah, dengan melihat representasi Barat dan Timur yang muncul.

1.6.2 Metode Analisis data

Faruk (2012: 25) menyatakan bahwa metode analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik penelitian yang merupakan perpanjangan dari pikiran manusia. Ini karena fungsinya bukan untuk mengumpulkan data, melainkan untuk mencari hubungan antar data yang tidak akan pernah dinyatakan oleh data itu sendiri. Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan dengan mencari satuan-satuan tekstual untuk melihat hubungan antara satuan-satuan-satuan-satuan tekstual yang signifikan di dalam teks The God of Small Things, sesuai dengan konsep ruang pascakolonial. Sebelum menentukan ruang pascakolonial yang muncul, dirunut terlebih dahulu dari konstruksi ruang yang ada yang merepresentasikan Barat maupun Timur, baik di dalam maupun di luar rumah, yang diceritakan dalam novel. Kemudian dijelaskan bagaimana konstruksi ruang tersebut mengatur kehidupan masyarakat, lalu dipaparkan pula dampak yang muncul akibat adanya pembatasan Barat maupun Timur karena keinginan masyarakat untuk keluar dari batas-batas yang diperoleh dengan cara membuat oposisi antara batas ataupun

order dengan chaos. Upaya untuk keluar tersebut lah dimungkinkan dalam chaos

(26)

1.7 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari empat bab, sebagai berikut:

Bab I berisi pengantar, yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II berisi pemaparan tentang struktur ruang di dalam rumah dalam novel The God of Small Things, ruang yang dijelaskan berkaitan dengan batas-batas baik fisik maupun non fisik (atau order dan border), dan pemaknaan atas ruang yang memunculkan batas-batas baik aturan Barat maupun Timur yang kemudian memunculkan chaos.

Bab III berisi pembahasan tentang struktur ruang di luar rumah Ayemenem. Seperti halnya pada bab 2 di atas, bab ini membahas tentang batas-batas yang memicu terjadinya chaos namun berada pada ruang di luar rumah.

Bab IV meliputi pembahasan tentang startegi pascakolonial (baik di dalam maupun di luar rumah), chaos ataupun post-space yang muncul pada ruang (baik di dalam maupun di luar rumah) yang disebabkan karena adanya batas-batas yang mengontrol kehidupan manusia di dalamnya serta paparan tentang ruang alternatif yang ditawarkan oleh penulis novel.

Referensi

Dokumen terkait

Tapi pada stenosis pulmonal yang cukup berat, kateterisasi harus segera dilakukan untuk mengetahui gradient tekanan antara ventrikel kanan dengan arteri pulmonal, perbedaan

%ilakukan penyesuaian rencana kegiatan oleh Kepala Puskesmas, Penanggungjawab Upaya Puskesmas, lintas program dan lintas sektor terkait berdasarkan hasil monitoring, dan jika

Dalam wawancara ini peneliti bertanya langsung pada narasumber yaitu cucu dari Raden Ono Lesmana Kartadikusumah, Raden Widawati Noer Lesmana S.Sen yang berkaitan

Perlindungan kepada seorang tersangka jauh lebih bayak dibandingkan dengan perlindungan terhadap korban kejahatan, beberapa bentuk perlindungan yang diberikan kepada tersangka

Hasil analisa dari laporan keuangan pokok syariah pada Pegadaian Syariah pada website mereka ditemukan bahwa Pegadaian Syariah hanya mempublikasikan laporan posisi

Alat penambah daya Black & Decker Anda telah dirancang untuk mengisi daya baterai Black & Decker dari tipe yang disertakan dengan perkakas ini8.

Untuk hasil evaluasi dari blueprint enterprise dan implementasi sistem, perusahaan mencoba melakukan implementasi blueprint arsitektur data dan proses bisnis berupa dokumen

Hasil dari pengolahan data dengan menggunakan SPSS ini memperlihatkan bahwa citra merek, harga, dan kualitas produk memberi pengaruh positif dan signifikan terhadap