• Tidak ada hasil yang ditemukan

memberikan gambaran terhadap teori-teori yang menunjang penelitian. Tinjauan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "memberikan gambaran terhadap teori-teori yang menunjang penelitian. Tinjauan"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini di bahas tinjauan pustaka yang digunakan untuk memberikan gambaran terhadap teori-teori yang menunjang penelitian. Tinjauan pustaka pada dasarnya digunakan untuk membahas mengenai konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian yang lain dan berguna untuk menjelaskan permasalahan penelitian. Dalam tinjauan pustaka ini akan diuraikan tentang sistem nilai budaya dalam masyarakat, konsep dalam budaya Huyula dalam bentuk tiayo , modernisasi dan perubahan Sosial Budaya serta Pola Interaksi Sosial dalam Masyarakat.

2.1 Sistem Nilai Budaya Kehidupan Masyarakat

Pemahaman terhadap sistem nilai budaya masyarakat mengacu pada masalah kebudayaan. Masalah kebudayaan banyak ahli yang membe-rikan pandangannya misalnya Tylor (dalam Soekanto, 1996:108) meman-dang kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota ma-syarakat. Masalah kebudayaan menurut Tylor mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat, ka-rena kebudayaan mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir.

Pandangan Tylor terhadap kebudayaan sejalan dengan Pendapat Marvin Harris. Marvin Haris (ddalam Spradley, 1997:5) memandang konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan

(2)

kelompok-9

kelompok masyarakat tertentu, seperti adat (custom) atau cara hidup masyarakat. Koentjaraningrat (1996:72) memandang kebu-dayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar.

Dari dua konsep kebudayaan ini akan lebih lanjut dijelaskan dalam wujud kebudayaan. Koentjaraningrat berpendapat kebudayaan itu dapat dilihat dalam wujud-wujudnya: Pertama; wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan dan se-bagainya. Wujud ideal dari kebudayaan ini sifatnya abstrak tak dapat diraba dan difoto. Lokasinya ada dalam pikiran warga masyarakat dimana kebu-dayaan itu hidup.

Kedua; wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas tindakan

berpola manusia dalam masyarakat. Sistem ini meliputi aktivitas manu-sia yang berintegrasi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain dari waktu ke waktu, dan menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat dan tata kelakukan serta wujud yang ketiga; adalah kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia atau lebih dikenal yang meliputi hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat.

Masalah wujud ketiga dari kebudayaan ini secara makro dipandang Semardjan dan Soemadri (dalam Soekanto, 1996:1989) sebagai hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat.

(3)

10

Namun demikian apabila dianalisis lebih lanjut, maka manusia mem-punyai dua komponen utama dalam kehidupannya yakni pertama; kompo-nen material dan kedua; komponen spritual. Komponen materiil mengan-dung karya, yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan benda-benda maupun yang lainnya yang berwujud benda.

Sedangkan komponen spritual manusia mengandung cipta yang menghasilkan ilmu pengetahuan, karsa yang menghasilkan kaidah keper-cayaan, kesusilaan, kesopanan, hukum serta rasa yang menghasilkan kein-dahan. Untuk menciptakan kedua komponen ini, maka manusia berusaha mendapatkan ilmu pengetahuan melalui logika, menyerasikan perilaku ter-hadap kaidah-kaidah melalui etika, dan mendapatkan keindahan melalui estetika. Hal itu semuanya merupakan kebudayaan, yang juga dapat dipergunakan sebagai patokan analisis. Hanya perbedaannya terletak pada kebudayaan masyarakat yang satu lebih sempurna dari pada masyarakat yang lain di dalam perkembangannya untuk memenuhi segala keperluan masyarakatnya.

Bertolak dari permasalahan kebudayaan, maka yang menjadi per-tanyaan adalah bagaimana sistem budaya masyarakat. Koentjaraningrat (1996:25) memandang sistem nilai budaya adalah tingkat tertinggi yang paling abstrak dari adat istiadat. Sebabnya nilai budaya terdiri dari konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedo-man orientasi pada kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan.

(4)

11

Walaupun sistem sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup masyarakat, memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun ia berada dalam daerah emosional alam jiwa seseorang. Dalam setiap masyarakat, baik yang kom-pleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang saling ber-kaitan dan bahkan telah merupakan suatu sistem. Sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal, maka konsep itu menjadi pendorong yang untuk mengarahkan dinamika dalam kehidupan masyarakat.

Suatu sistem nilai budaya seringkali merupakan suatu pandangan hidup. Konsep Koentjaraningrat terhadap pandangan hidup ini biasanya mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, dan telah dipilih secara selektif oleh individu-individu dan golongan-golong-an dalam masyarakat. Karena suatu pandangan hidup yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tertentu tidak selamanya dimiliki kelompok masyarakat lainnya.

Sehubungan dengan hal ini, maka Koentjaraningrat (1987:25) meman-dang: “Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam

alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang baru mereka anggap amat bernilai dalam hidup, karena itu suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia serta sistem-sistem, tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma yang juga berpedoman kepada sistem nilai budaya”.

(5)

12

Selanjutnya Koentjaraningrat (1987:25) memandang sistem nilai bu-daya orang Indonesia memngandung empat konsep yaitu (1) manusia tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dilingkungi oleh komunitasnya, masyarakatnya dan alam sekitarnya (2) manusia pada hakekatnya tergantung dalam segala aspek kehidupannya kepada sesamanya (3) karena itu ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara serta menciptakan hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata, sama rasa dan (4) selalu berusaha untuk sedapat mungkin berbuat sama dan bersama dengan sesamanya dalam komonditi, terdorong oleh jiwa sama tinggi sama rendah.

Suatu masyarakat tidak dapat mempertahankan dirinya sebagai ke-satuan apabila anggotanya tidak mempunyai nilai-nilai yang sama, tidak memiliki suatu sistem yang normatif yang mengatur interaksi yang paling mendasar. Sistem nilai budaya menurut Bachtiar dan Subadio (1982:25) meliputi:

1. Sistem idiologi meliputi etika, norma, adat istiadat, peraturan dan hokum yang berfungsi sebagai pengarahan untuk sistem sosial dan berupa interpretasi, operasional dan sistem nilai dan gagasan utama yang berlaku dalam suatu masyarakat,

2. Sistem sosial meliputi hubungan dan kegiiatan sosial di dalam masyarakat, baik yang terjalin dalam lingkungan kerabat, atau yang terjadi dalam masyarakat, lebih luas serta pimpinan-pimpinannya. Pengendalian masyarakat dalam pimpinan berkembang situasi dengan nilai bu-daya dan gagasan utama yang berlaku,

(6)

13

3. Sistem teknologi meliputi segala peralatan serta cara penggunaannya sesuai dengan nilai budaya yang berlaku.

Kembali kepada masalah sistem nilai budaya, sebenarnya bagaimana posisi nilai budaya ini dalam konteks kebudayaan. Analisis terhadap hal ini digunakan kerangka yang dikembangkan Kluckhon. Menurut kerangkanya Kluckhon, bahwa semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia ini mengacu pada tema-tema pokok seperti:

1. Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia (simbol MH), 2. Masalah mengenai hakekat dari karya ma-nusia (simbol MK),

3. Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu (simbol MW),

4. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam seki-tarnya (simbol MA),

5. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya (simbol MM).

Kelima kerangka ini mengkonsepsikan kebudayaan pada masalah-masalah yang universal. Misalnya pertama; mengenai hakekat dari hidup manusia (MH) ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada hakekatnya suatu hal yang buruk dan menyedihkan, dan karena itu harus dihindari. Dalam konteks ini pola-pola kelakukan manusia akan mementing-kan segala usaha untuk menunju ke arah tujuan untuk bisa memadammementing-kan hidup itu (nirwana-meniup habis), dan meremehkan segala kelakuan yang hanya mengekalkan rangkaian kelahiran kembali (samsara).

(7)

14

Kedua; mengenai masalah hakekat dari karya manusia (MK) kebu-dayaan

ini memandang bahwa karya manusia itu pada hakekatnya ber-tujuan untuk memungkinkannya hidup, serta karya manusia itu mem-berikan suatu kedudukan yang penuh kehormatan dalam masyarakat, dan sebagai manusia yang hidup harus mampu menghasilkan sesuatu bagi orang lain, ketiga; mengenai hekekat dari kedudukan manusia dari ruang dan waktu (MW) pada hakekat ini kebudayaan memandang bahwa masa yang lampau itu sangat penting dalam tatanan kehidupan manusia, sebab melalui hal ini orang akan lebih sering mengambil pedoman dalam kelakuannya.

Keempat; mengenai hakekat hubungan manusua dengan alam se-kitarnya

(MA), kebudayaan yang memandang alam itu suatu hal yang begitu dahsyat, sehingga manusia pada hakekatnya hanya bersifat menyerah saja tanpa banyak ada yang dapat diusahakan. Sebaliknya banyak pula ke-budayaan memandang alam itu sebagai suatu hal yang bisa dilawan oleh manusia, dan mewajibkan manusia untuk berusaha menaklukkan alam.

Kelima; mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.

Pemahaman terhadap hakekat ini ada kebudayaan yang agak me-mentingkan hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya. Dalam konteks ini segala tindakan maupun aktivitas manusia selalu berpedomankan pada tokoh-tokoh pemimpin orang-orang yang dianggap mampu dalam kelompoknya.

Bila konsep ini dikaitkan dengan masalah budaya gotong royong, maka akan terlihat bahwa, masalah sistem nilai budaya gotong royong merupakan sistem nilai budaya bangsa yang perlu dipertahankan, sebab me-lalui gotong

(8)

15

royong ini akan tercipta suasana yang sehat dalam menyelesaikan suatu pekerjaan bersama.

Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah bagaimana sistem gotong royong dalam bentuk tiayo itu masih tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat baik masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan. Sebab makin maju dan berkembangnya budaya dalam masyarakat, maka makin berkembang pula perubahan-perubahan dalam dinamika kehidupannya. Seperti halnya dalam kehidupan masyarakat di desa Bulotalangi Kecamatan Bulango Timur Kabupaten Bone Bolango.

2.2 Konsep Reciprocity Dalam Huyula (Gotong Royong)

Masalah gotong royong merupakan masalah yang tidak dapat dipisahkan dengan masalah kebudayaan bangsa, sebab masalah ini merupakan sistem nilai suatu bangsa. Dalam kehidupan bangsa Indonesia gotong royong selalu disamakan dengan kerjasama. Koentjaraningrat (1987:26) mengemukakan “gotong royong merupakan suatu konsep yang bersangkut paut dengan kehidupan rakyat petani dalam masyarakat agraris”.

Istilah gotong royong untuk pertama kali tampak dalam bentuk tulisan dalam karangan-karangan tentang hukum adat dan juga dalam karangan-karangan tentang aspek-aspek sosial dari pertanian. Dalam kehidupan masyarakat desa di Jawa, gotong royong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitas produksi dalam hal bercocok tanam di sawah.

(9)

16

Untuk keperluan itu, dengan adanya sopan santun yang sudah tetap, seorang petani meminta beberapa orang sedesanya, misalnya untuk mem-bantunya dalam mempersiapkan sawahnya untuk penanaman yang baru misalnya memperbaiki saluran-saluran air, memperbaiki pematang-pematang, menyangkul, membajak dan lain sebagainya.

Dalam hubungan dengan ini petani meminta bantuan hanya menyediakan makan siang tiap hari kepada teman-temannya yang datang mem-bantu itu, selama pekerjaan berlangsung. Kompensasi lain tidak ada, tetapi yang meminta bantuan harus mengembalikan jasa tersebut pada saat ia membutuhkan bantuan dalam pekerjaan yang serupa maupun pekerjaan yang berbeda dan pernah ia lakukan. Oleh Koentjaraningrat sistem gotong royong semacam itu sebagai suatu pengerahan tenaga seperti itu amat cocok dan fleksibel untuk teknik bercocok tanam yang bersifat usaha kecil dan terbatas, terutama waktu dan unsur uang belum masuk sebagai eko-nomi pedesaan.

Koentjaraningrat (1977:7-9) membedakan gotong royong tolong me-nolong dan gotong royong kerja bakti. Aktivitas gotong royong tolong meme-nolong tampak dalam aktivitas kehidupan masyarakat Pertama; aktivitas tolong menolong antara tetangga yang tinggal berdekatan, untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah atau pekarangan misalnya, membersikan sumur, dan mengganti dinding bilik rumah.

Kedua; aktivitas tolong menolong antara kaum kerabat (dan

kadang-kadang beberapa tetangga yang paling dekat) misalnya untuk upa-cara penyelenggaraan pesta seperti; sunatan, perkawinan atau upacara-upacara adat

(10)

17

lain, serta yang ketiga; aktivitas spontan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untuk membantu secara spontan pada waktu seseorang penduduk desa mengalami musibah (seperti kematian maupun bencara-bencana lain tanpa diduga).

Lebih lanjut Koentjaraningrat melihat aktivitas gotong royong dalam bentuk kerja bakti meliputi: Pertama; kerja bakti untuk proyek-proyek yang dari inisiatif atau swadaya para warga komuniti. Aktivitas yang dilakukan dalam hal ini misalnya proyek yang berguna dan dikerjakan bersama de-ngan aman dan rela serta penuh semangat. serta yang kedua; kerja bakti untuk proyek-proyek yang dipaksakan dari atas. Aktivitas ini tidak dapat dihindari kecuali dengan cara mewakilkan giliran kepada orang lain dengan bayaran.

Dari rumusan ini dapat dipahami bahwa unsur utama gotong royong adalah kerja sama antara individu di dalam suatu masyarakat. Walaupun tidak semua bentuk kerja sama itu adalah gotong royong. Kerjasama pada hakekatnya bertujuan untuk mencapai sesuatu yang pada dasarnya ber-azaskan timbal balik. Sedangkan azas timbal balik adalah merupakan unsur kedua yang mewarnai kerjasama itu.

Dengan azas timbal balik ini, maka kerjasama itu untuk kepentingan sepihak saja, tetapi pada dasarnya sifat memberi yang dibarengi pula oleh keinginan untuk menerima balasan dari pemberinya. Jadi, sikap memberi dan keinginan menerima yang bertimbal balik itulah yang terlihat pada un-sur kerjasama.

Kerjasama dengan azas timbal balik menyebabkan adanya keteraturan sosial dalam masyarakat. Keteraturan sosial terwujud karena me-mang

(11)

unsur-18

unsur yang ada di dalam gotong royong itu sudah dan sedang dihayati oleh masing-masing individu yang terlihat di dalamnya. Apabila unsur itu tidak dihayati, maka tentu tidak ada keteraturan, bila tidak ada keteraturan , maka sistem inipun berubah atau mungkin menghilang sama sekali.

Bila kita mengkaji secara lebih mendalam tentang masalah gotong royong maka didalamnya terlihat bentuk-bentuknya. Dalam laporan hasil penelitian tentang Sistem Gorong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Sulawesi Tengah (1983:4) memaparkan bentuk-bentuk ini yaitu: Wujud gotong royong terdapat beberapa hakiki yang melandasinya seperti sifat spontanitas, sifat pamrih atau karena ingin memenuhi kewajiban sosial, walaupun landasan pokok yang hakiki adalah azas timbal balik.

Selanjutnya masalah gotong royong mencakup konotasi kerjasama atau tolong menolong, akan tetapi hal ini masih menimbulkan pertanyaaan apakah setiap kerjasama itu ada unsur nilai di dalamnya?. Untuk melihat hal ini maka akan dikemukakan pandangan Slamet (Bintarto, 1980:10) ten-tang gotong royong bahwa “gotong royong dapat dibedakan fungsinya yak-ni gotong royong sebagai jaminan sosial dan gotong royong bersifat pekerjaan umum”.

Pertama; Gotong royong berfungsi sebagai jaminan sosial meliputi tolong

menolong yang terbatas dalam lingkungan keluarga, tetangga sifat-nya sukarela dengan tidak ada campur tangan para pamong desa. Gotong royong seperti ini bersifat statis karena merupakan suatu tradisi saja serta sesuatu hal yang turun temurun dari generasi yang pertama sampai generasi berikutnya.

(12)

19

Kedua; Gotong royong yang fungsinya sebagai pekerjaan umum, misalnya

untuk pembuatan atau perbaikan jalan, memperbaiki saluran-saluran air, perbaikan bangunan-bangunan seperti Kantor Desa dan Balai desa. Gotong royong yang berfungsi sebagai pekerjaan umum telah disa-lah gunakan oleh penjajah Belanda dan jepang yang dijadikan sebagai kerja rodi dan romusa.

Bagi masyarakat Gorontalo masalah gotong royong dikenal dengan istilah “Huyula” yang menjadi ciri khas keperibadian masyarakat Gorontalo yang telah dibina seraca turun temurun. Dalam Buku Perjurangan Rakyat di Daerah Gorontalo Menentang Kolonialisme dan mempertahankan Negara Proklamasi (1982:9) Huyula bagi masyarakat Gorontalo merupakan suatu sistem tolong menolong antara anggota-anggota masyarakat, untuk meme-nuhi kebutuhan dan kepentingan bersama yang didasarkan pada solida-ritas sosial melalui ikatan keluarga tetangga dan kerabat.

Huyula atau gotong royong ini sudah dikenal sejak dahulu dimana pada

waktu itu daratan Gorontalo masih tergenang air, terutama air laut dan penduduknya masih mengembara di pegunungan Tilongkabila. Usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka masyarakat Gorontalo mengerjakan bersama demi untuk kepentingan bersama pula (heluma)

Setelah daratan Gorontalo terwujud pada abad ke-10 Huyula ini semakin besar perkembangannya terutama dalam bidang pertanian dan pada waktu itu juga sudah mulai terbentuk perkampungan (kambungu). Dengan perkembangan perkampungan ini, maka lahirlah pula kerajaan-kerajaan Gorontalo pada sekira

(13)

20

abad ke-12, dengan sistem pemerintahan pada waktu itu terus mengembangkan huyula dalam kehidupan rakyatnya.

Raja memanfaatkan huyula ini untuk mengolah tanah pertaniannya. Rakyat secara spontan, tanpah pamrih mengolah lahan pertanian milik raja dan para bangsawaan dan juga disadarai oleh rasa kebersamaan dari para warga masyarakat setempat. Setelah masuknya Islam, maka terjadilah perubahan-perubahan masyarakat, terutama adat istiadat dan norma-norma yang berlaku dalam kehidupannya.

Budaya daerah terus berkembang dengan pesat dan pada akhirnya budaya-budaya yang bercorak keislaman mulai mewarnai adat istiadat misalnya dalam hal perkawinan, penyambutan tamu, gunting rambut, pembeatan, akan tetapi nilai budaya huyula ini masih tetap terbina dalam masyarakat terutama dalam pelaksanaan adat istiadat.

Dalam Buku Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan di Sulawesi Utara (1979:64) telah dirumuskan bahwa ditinjau dari segi pelaksanaanya huyula dapat dibagi dalam tiga jenis yakni; swadaya gotong royong laten, gotong royong transisi dan gotong royong menivest. Pertama; swadaya gotong royong laten yakni masyarakat yang melakukan huyula bilamana ada instruksi dari pemerintah misalnya Kepala desa (Taudaa) memberikan instruksi kepada masyarakat agar mereka dapat memperbaiki jalan yang rusak, tanggul dan sebagainya.

(14)

21

Kedua; gotong royong transisi yakni dilaksanakan oleh masyarakat atas inisiatif sendiri maupun ada intruksi dari pemerintah sedangkan gotong royong manivest, masyartakat desa nelakukan huyula atas inisiatif ketiga; gotong royong manives, artinya masyarakat desa melakukan huyula seluruhnya atas inisiatif masyarakat desa, dan bila sudah selesai melaksanakan pekerjaan, masyarakat melaporkan pekerjaan kepada atasan dalam hal ini Kepala kampung (Taudaa).

Selanjutnya Syamsudin dkk (1993:141) dalam penelitiannya terha-dap Sistem Gotong Royong Dalam masyarakat Pedesaan di Daerah Sulawesi Tengah menyimpulkan bahwa gotong royong adalah suatu wujud ke-hidupan tradisional yang merupakan tata kelakukan yang merupakan suatu jaringan dari cita-cita, norma-norma, aturan-aturan, pandangan-pandangan dan sebagainya.

Konsep ini menunjukkan bahwa gotong royong dibangun oleh berbagai unsur nilai dari kebudayaan. Dalam hubungan dengan konsep budaya huyula dilihat dua makna pelaksanaanya yakni pertama: Huyula dilihat dari kontak antara manusia dengan supranatural (relasi vertikal) seperti dewa, roh dan kekuatan gaib, sedangkan yang kedua: adalah hubungan manusia dengan sesamanya (relasi horisontal).

Dalam konteks relasi vertikal budaya huyula dilihat dari kontak antara manusia dengan supranatual, yang dinyatakan dalam bentuk kepercayaan atau religi melalui upacara-upacara pemujaan dan pengabdian kepada kekuatan gaib dan dipercayai oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sangat menentukan

(15)

22

kehidupan dan kebahagian mereka, dan ini harus dihadapi secara bersama-sama untuk kepentingan bersama.

Selanjutnya dalam konteks horisontal huyula yang terwujud dalam berbagai bentuk antara lain melalui hubungan-hubungan sosial antara rakyat dengan raja, loyalitas dan solidaritas yang tinggi baik terhadap raja maupun terhadap sesamanya. Saling mengangkat derajat dan martabat yang kesemuanya itu harus dipertahankan. Aktivitas ini sudah menjadi tra-disi dari masyarakat Gorontalo, dan tampaknya menjadi suatu tatanan perilaku masyarakat dan merupakan komitmen tanpa tertulis.

Menurut Garna (1992:88) suatu tradisi yang berlaku dalam suatu masyarakat, dan merupakan tatanan yang berwujud mapan, baik sebagai bentuk hubungan antara unsur-unsur kehidupan maupun sebagai bentuk aturan sosial yang memberikan pedoman tingkah laku dan tindakan anggo-ta suatu masyarakat. Dari konsep Garna ini, maka kegiatan tolong menolong atau huyula bagi masyarakat Gorontalo dapat dilihat dalam sistem yaitu:

1. Sistem mata pencaharian; mata pencaharian pokok masyarakat Gorontalo adalah hidup dalam bidang pertanian. Mata pencaharian dalam bidang pertanian yang dilakukan masyarakat Gorontalo lebih banyak dilakukan secara tradisional, artinya dalam mengolah tanah pertanian dilakukan dengan tenaga manusia dan hewan (sapi)

(16)

23

2.3.Modernisasi dan Perubahan Sosial Budaya

Secara umum modernisasi merupakan suatu proses yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat dan dapat mempengaruhi dinamika kehidupannya, serta merupakan suatu bentuk dari perubahan sosial budaya masyarakat yang terarah dan didasarkan pada suatu perencanaan yang bersifat positif maupun negatif sesuai dengan perkembangan ilmu penge-tahuan dan teknologi serta tranformasi masyarakat tradisional ke dalam masyarakat pramoderen.

Dalam hubungan dengan hal itu Wilbert E. Moore (dalam David dan Mark, 1990:34) memandang modernisasi merupakan transformasi “total” masyarakat tradisional atau pra-modern ke dalam tipe teknologi dan organisasi sosial terkait yang mensiasati bangsa “maju” sejahtera secara ekonomi, dan relatif stabil secara politik. Pandangan Wilbert E. Moore se-nada dengan pandangan Raillon. Raillon (1989:117) memandang bahwa:

“modernisasi merupakan suatu proses dimana berlangsung transformasi di segala bidang seperti politik, ekonomi, sosial kultural dan lain-lain, dimana berbagai perubahan-perubahan yang merombak dasar, susunan dan corak masyarakat lama, yang statis dan terkebelakang yang bersifat tradisional agraris dan sebagai akibat perubahan, lahirlah masyarakat baru, yang dinamis dan progresif yang bersifat industrial rasional, yang bertujuan produktivitas yang lebih tinggi”.

Bagi ahli yang lain seperti Apter (dalam Lauer, 1993:414) memandang modernisasi sebagai proses non ekonomi dimulai bila kebudayaan mewujudkan sekap menyelidik dan mempertanyakan tentang bagaimana manusia membuat pilihan moral (atau normatif), sosial (atau struktural) dan personal (atau perilaku).

(17)

24

Sedangkan Pool (dalam Lauer,1993:414) me-lihat modernisasi sangat luas artinya, mencakup proses memperoleh citra (images) baru seperti citra tentang arah perubahan atau citra tentang ke mungkinan perkembangan.

Selain itu Black (dalam David dan Mark, 1990:34) memandang modernisasi sebagai suatu proses yang dengan proses itu lembaga-lembaga yang berkembang secara historis beradaptasi pada fungsi-fungsi yang berubah dengan cepat yang menggambarkan peningkatan pengetahuan manusia, yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang memungkinkan manusia mengendalikan lingkungannya dan menghasilkan revolusi ilmu penge-tahuan.

Arief Budiman (1996:39) memandang modernisasi didasarkan pada faktor non material penyebab kemiskinan, khususnya dunia ide atau alam pikiran. Faktor ini menjelma dalam alam pikiran psikologi individu, atau nilai-nilai kemasyarakatan yang menjadi orientasi penduduk dalam mem-berikan arah kepada tingkah lakunya.

Faktor non material atau ide yang di anggap sebagai faktor yang mandiri, dan biasa dipengaruhi secara langsung melalui hubungan dengan dunia ide yang lain. Karena itu, pendidikan menjadi salah satu cara yang sangat penting untuk mengubah psikologi seseorang atau nilai-nilai budaya masyarakat.

Meskipun terdapat sejumlah ciri-ciri, pandangan serta perbedaan ahli terhadap modernisasi, namun pandangan yang demikian itu pada akhirnya tetap bermuara pada arti modernisasi. Daniel Lirner (dalam Robert Lauer, 1993:415) memadang ciri-ciri kemoderenan sebuah masyarakat tersebut meliputi komponen-komponen seperti:

(18)

25

1. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang terus berlanjut sendiri, setidaknya tingkat pertumbuhan yang cukup untuk meningkatkan produksi mauoun konsumsi secara tetap;

2. Kadar partisipasi rakyat dalam pemerintahan yang memadai; 3. Difusi norma-norma sekulerrasional dalam kebudayaan; 4. Peningkatan mobilitas dalam masyarakat;

5. Tranformasi keperibadian individu, sehingga dapat berfungsi secara efektif dalam tatanan sosial yang sesuai dengan tuntutan komodernan.

Studi terhadap modernisasi masih menjadi pertentangan, sebab disatu pihak modernisasi merupakan suatu hukum keharusan historis yang memaksa setiap masyarakat untuk berusaha mencapai tingkat yang sudah dicapai oleh masyarakat yang sudah maju atau modern, dilain pihak moder-nisasi itu itu tidak hanya dimiliki oleh bagian wilayah tertentu artinya tidak berorientasi pada satu model.

Setiap wilayah mempunyai kemungkinan-kemungkinan modernisasi yang muncul atau berubahnya sistem sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat. Memudarnya nilai sosial budaya dalam masyarakat tampak jelas apabila dari proses perubahan sosial. Himes dan Moore (1963:430) memandang ada tiga dimensi perubahan sosial yaitu “dimensi struktural, dimensi kultural serta dimensi interaksional”.

Pertama; Perubahan struktural mengacu kepada perubahan-perubahan

dalam bentuk struktural masyarakat seperti perubahan peranan, munculnya penemuan baru, perubahan dari kelas sosial serta lembaga-lembaga sosial. Kedua;

(19)

26

Perubahan dalam dimensi kultural mengacu kepada perubahan kebudayaan dalam masyarakat, seperti adanya penemuan (dis-covery) dalam berpikir (ilmu pengetahuan) pembaharuan hasil teknologi, kontak dengan kebudayaan lain sehingga terjadinya difusi dan peminjam-an kebudayaan, Ketiga; dimensi perubahan interaksional mengacu pada adanya hubungan sosial dalam masyarakat meliputi perubahan dalam kontiunitas kontak sosial atau pola-pola dalam masyarakat serta perubahan dalam bentuk hubungan solidaritas antar sesama.

Dari berbagai dimensi perubahan baik struktural, kultural maupun interaksional dalam masyarakat merupakan akibat dari derasnya proses modernisasi dengan berbagai nilai teknologi yang ditawarkannya, maka ciri utama yang ditampilkan modernisasi yakni semangat rasional dan positivis, sebab proses modernisasi mencakup seluruh lapisan masyarakat luas dan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat. Rasionalitas dalam suatu gerakan modernisasi di arahkan pada cara berpikir dan berbuat (berperi-laku), sehingga dapat dilihat bahwa masyarakat modern lebih inovatif dan mampu mengidentifikasi dirinya baik dengan lingkungan alam maupun ling-kungan sosial budayanya.

Dalam proses modernisasi lembaga atau pranata yang ada selalu bergeser dan berubah sesuai dengan kepentingan. Pranata dalam masyarakat ini selalu didasarkan atas hubungan fungsional antara kepentingan dan sikap. Soedjito (198624) memandang jika kepentingan berubah, maka sikap pun berubah. Dari beberapa pandangan tentang modernisasi, maka timbul pertanyaan, bagaimana keterkaitan antara modernisasi dengan perubahan sosial budaya?.

(20)

27

Kajian terhadap pertanyaan ini diawali dengan pembahasan ter-hadap berbagai pandangan para ahli terhadap perubahan sosial itu sendiri. Perubahan dalam masyarakat baik yang dialami oleh individu maupun perubahan yang dialami oleh kelompok secara kolektif seringkali tidak dira-sakan. Bahkan hanya orang yang berada di luar masayarakat itu yang me-lakukan kajian maupun penelahaan.

Dalam hubungan dengan ini Susanto (1983:157) memandang peru-bahan masyarakat sebagai suatu kenyataan dapat dibuktikan dengan melihat gejalanya, antara lain: depersonalisasi, adanya frustrasi dan apati, pertentangan dan perbedaan pendapat mengenai norma-norma susila yang sebelumnya dianggap mutlak, adanya pendapat generation gap (jurang pengertian antar generasi) dan lain-lain.

Konsep yang diajukan Susanto menimbulkan pertanyaan, bahwa apa sebenarnya perubahan sosial. Berbagai ahli sosiologi telah mendefinisikan pengertian perubahan sosial. Wilbert Moore misalnya dengan menggunakan pendekatan struktural, mengemukanan perubahan sosial sebagai perubahan penting dari struktur sosial, seperti pola-pola perilaku dan interkasi sosial. Tampaknya Moore dalam pandangannya terhadap perubahan sosial dari sudut pandang ekspresi tentang struktural, seperti norma, nilai dan fenomena kultural.

Dalam pada itu Fairchid (dalam Robert Lauer, 1993:120) mendefinisikan perubahan sosial sebagai variasi atau modifikasi dalam setiap masyarakat, meliputi aspek proses sosial, pola sosial dan bentuk-bentuk sosial serta modifikasi pola antar hubungan yang mapan dan standar perilaku.

(21)

28

Sedangkan Dalam hubungan dengan hal ini Garna. (1982:323) me-mandang perubahan dapat menyangkut tentang berbagai hal, perubahan fisikal oleh proses alamiah dan perubahan dinamika kehidupan itu sendiri. Perubahan yang menyangkut kehidupan manusia, atau terkait dengan lingkungan kehidupannya yang berupa fisik, alam sosial, disebut perubahan sosial.

Selanjutnya Lauer (1993:5) berpendapat bahwa perubahan sosial dipandang sebagai sebuah konsep yang menunjuk kepada perubahan fenomena sosial diberbagai tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individu hingga tingkat global (dunia). Secara umum perubahan sosial dapat dipelajari pada tigkat-tingkat tertentu dengan menggunakan berbagai kawasan studi dan berbagai satuan analisis.

Namun Lauer dalam analisisnya melihat bahwa perubahan penting pada tingkat tertentu, tidak harus penting pada tingkat yang lain. Oleh karena itu perlu perlu mengenali pada tingkat mana analisis perubahan sosial itu dilakukan, yang sudah tentu kesimpulan-kesimpulan dari tingkat analisis tertentu tidak mesti berlaku sama untuk menarik kesimpulan pada tingkat yang lain.

Bila mengacu pada analisis di atas, maka tema analisis tentang perubahan sosial budaya, pembahasannya meliputi kebudayaan material maupun kebudayaan non material. Menurut Koentjaraningrat (1997:5-7) melihat kedua wujud ini yakni wujud pertama; kebudayaan material adalah dalam bentuk fisik kebendaan yang dapat diraba, dilihat dan dirasakan oleh indera manusia.

Sedangkan wujud kedua; kebudayaan non material merupakan kompleksitasnya yang lebih abstrak seperti ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma

(22)

29

peraturan hukum serta sistem sosial yang termanifestasi dari aktivitas manusia dan berkomunikasi serta bergaul atau sama lain. Parsudi Suparlan (1986:106) membedakan perubahan sosial dan perubahan kebudayaan adalah sebagai berikut:

“Perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan dalam pola-pola hubungan sosial yang antara lain mencakup sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, dan persebaran penduduk. Sedangkan perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh para warga atau sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan, yang antara lain mencakup aturan-aturan atau norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan warga masyarakat yang meliputi nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa”.

Dalam dunia empirik, antara masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Menurut Pudjiwati (1986:119) tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, sebaliknya pula tidak ada kebudayaan yang tidak terjelma dalam suatu masyarakat. Dengan demi-kian, istilah yang lebih lengkap semestinya adalah “perubahan sosial kebu-dayaan”

Konsep perubahan sosial budaya sebagai fenomena penyelidikan sosiologi dan antropologi sering menimbulkan perdebatan yang spekulatif. Hal ini disebabkan oleh perbedaan perspektif dalam menganalisis perubahan sosial budaya. Secara teoritis perubahan sosial budaya paling tidak dapat dianalisis melalui pendekatan teori fungsionalisme struktural.

(23)

30

Perspektif fungsionalisme struktural dalam sosiologi antropologi pada hakekatnya dilandasi oleh konsepsi-konsepsi yang dikembangkan Emile Durkheim. Menurut Durkheim (dalam Poloma, 1994:25) masyarakat meru-pakan itu keseluruhan organisme yang memiliki realitas sosial. Keseluruahn itu memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagiannya agar ia tetap eksis dalam keadaan normal dan tetap langgeng.

Khusus dalam bidang antropologi, yang dianggap sebagai peletak dasar dari teori fungsionalisme ini yakni Molinowski dan Radeliffe Brown. Kemudian kedua pendapat tokoh ini dikembangkan dan dimodifikasi oleh seorang muridnya Brown yakni Meyer Fortes. Sementara yang dianggap berjasa dalam teori struktural fungsional modern adalah Talcott Parson.

Perspektif fungsional struktural sebenarnya juga menerangkan masalah perubahan. Karena perspektif ini mewakili salah perspektif utama da-lam sosiologi, maka perlu melihat pandangan fungsionalime struktural terhadap perubahan dalam masyarakat. Van den Berghe (dalam Robert Lauer 1993:105) melihat ciri-ciri umum dari perspektif ini terhadap perubahan masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat harus dianalisis selaku keseluruhan, selaku sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan

2. hubungan sebab dan akibat bersifat “jamak dan timbal balik”

3. sistem sosial senantiasa berada dalam keadaan “keseimbangan dinamis”, peneyesuaian terhadap kekuatan yang menimpa sistem menimbulkan perubahan minimal di dalam sistem itu;

(24)

31

4. Integrasi sempurna tak pernah terwujud, setiap sistem menga-lami ketegangan dan penyimpangan namun cenderung dinetra-lisir melalui institusionalisasi;

5. Perubahan pada dasarnya berlangsung secara lambat, lebih me-rupakan proses penyesuaian ketimbang revolusioner;

6. Perubahan adalah hasil peneyesuaian atas perubahan yang terjadi diluar sistem, pertumbuhan melalui diferensiasi dan melalui penemuan-penemuan internal dan

7. Masyarakat terintegrasi melalui nilai-nilai bersama.

Konsep ini memandang bahwa perspektif fungsionalisme struktural dalam masyarakat, bahwa berbagai perubahan yang muncul dalam kehidupan dan perubahannya tidak berjalan cepat, akan tetapi tetap memperhatikan bagaimana keseimbangan antara satu sistem dengan yang lain.

Menurut Hoogvelt (1985:82) mengungkapkan premis pokok teori struktural fungsional. Pertama; masyarakat adalah suatu sistem yang secara keseluruhan terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung. Kedua; keseluruhan atau sistem yang utuh itu menentukan bagian-bagiannya. Artinya bagian yang satu tak dapat dipahami secara terpisah kecuali dapat memperhatikan hubungan dengan sistem keseluruhan yang lebih luas, di-mana bagian-bagian itu meliputi nilai kultural, pranata hukum, pola organisasi kekeluargaan, pranata politik, dan organisasi ekonomi teknologi. Ketiga; bagian-bagian harus dipahami dalam kaitannya dengan fungsinya terhadap keseimbangan sistem keseluruhan.

(25)

32

Jadi antara bagian-bagian dan keseluruhan sebagai suatu sistem terdapat hubungan fungsional.

Selanjutnya selain Durkheim, maka Parsons melihat persamaan an-tara masyarakat dengan organisme hidup. Dengan kata lain, dia melihat masyarakat sebagai suatu sistem. Menurut Parsons (Poloma, 1994:180) da-lam memahami masyarakat sebagai suatu sistem, maka ada dua hal penting yang harus dipahami. (1), sistem itu hidup dalam dan berinteraksi terhadap lingkungan dan yang (2), sistem tersebut berusaha mempertahankan kelangsungan pola-pola organisasi serta fungsi-fungsi yang keduanya harus dibedakan dari lingkungan, bahkan dalam beberapa hal ia lebih stabil dari pada lingkungan.

Walaupun masyarakat memiliki batas-batasnya sendiri, namun tetap ada ketergantungan dengan sistem lain yang berada di luarnya. Mengingat satu sistem harus menjangkau satu kebutuhan mediasi kombinasi-kombinasi internal, di samping ia juga sebagai sistem terbuka yang menuntut perlu adanya hubungan-hubungan dengan lingkungannya, maka Parsons (dalam Poloma, 1994:181) menawarkan dua dimensi sistem tersebut. Pertama; adanya saling kaitan bagian-bagian yang merupakan sistem, dan yang kedua; mencakup pertukaran sistem dengan lingkung-annya. Ciri-ciri umum yang terdapat dalam sistem yang hidup itu adalah adanya persya-ratan functional imperativ.

Fungsi-fungsi atau kehendak-kehendak yang harus dipenuhi oleh setiap sistem harus terpenuhi, sehingga ia dapat mempertahankan eksis-tensinya. Menurut Tallcolt Parsons (dalam Poloma, 1994:181) ada dua hal pokok yang termasuk dalam kebutuhan fungsional yaitu: (a) kebutuhan yang berkaitan dengan

(26)

33

kebutuhan sistem internal ketika berhubungan dengan lingkungannya dan (b) kebutuhan yang berhubungan dengan pen-capaian sasaran atau tujuan.

Mengacu dari pemikiran-pemikiran di atas, dapat ditegaskan bahwa Parsons termasuk tokoh terkemuka dalam teori struktural fungsional (makrio), terutama karena berbagai perspektif baru yang ditawarkan yang belum pernah diperhatikan para fungsionalis struktural klasik. Menurut Parsons (dalam Johnson, 1990:122), bahwa dinamika hubungan sosial mencermin-kan orientasi hubungan timbal balik yang terpola dipengaruhi oleh struktural yang berlaku. Bahkan Parsons berpendirian dimana ada struktur disitu ada fungsi, dan disini individu hanya berperan sebagai aktor untuk men-capai tujuan bersama.

Dalam hubungan dengan ini Parsons memperkenalkan strategi pendekatan yang dapat dipergunakan sebagai berikut: (1) mengidenifikasikan persayaratan fungsional yang utama dalam sistem yang dipelajari dan (2) analisis struktural harus memenuhi berbagai persyaratan fungsional. Dalam hubungan dengan hal ini Dahrendorf (dalam Johnson, 1986:194) meman-dang sebagai berikut teori Fungsionalisme struktural meliputi komponen-komponen sebagai berikut:

1. Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang secara relatif mantap dan stabil;

2. Setiap masyarakat merupakan suatu struktur ekemen-elemen yang terintegrasi dengan baik;

3. Setiap elemen-elemen dalam suatu masyarakat mempunyai fungsi, yakni memberikan sumbangan pada bertahannya masyarakat itu sebagai suatu sistem;

(27)

34

4. Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada suatu konsensus nilai diantara para anggota-anggotanya.

Sedang Teori Konflik meliputi hal-hal seperti:

1. Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan; perubahan sosial ada dimana-mana;

2. Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik; konflik sosial ada dimana-mana;

3. Setiap elemen dalam suatu masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan;

4. Setiap anggota masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.

Teori fungsionalisme strktural mengasumsikan masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung satu sama lain. Asumsi ini bermula muncul dari pemikiran August Comte, kemudian berlanujut dalam karya Spensear dan Emile Dukheim. Perubah-an dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan suatu proses terus menerus artinya antara kelompok dengan kelompok lain tidak selalu sama (kompleks) serta banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Selanjutnya para penganut teori konflik melihat perubahan sosial budaya bukan saja dipandang sebagai gejala yang melekat di masyarakat, akan tetapi lebih dari itu masyarakat merupakan sumber konflik, karena di dalam masyarakat itu sendiri terdapat perbedaan-perbedaan dalam tatanan kehidupannya. Oleh Marx (dalam Anthony Giddens, 1986:4) perbedaan yang demikian menghasilkan suatu

(28)

35

hubungan model antar kelas, yang pada dasarnya bersifat dikhotomis; semua masyarakat kelas terbentuk disekitar suatu garis utama dari pembagian antara dua kelas yang antagonistis, yang satu dominan dan yang satunya lagi dibawahi olehnya.

Bagi mereka yang memiliki kewenangan atau dominan dan yang tidak memiliki kewenangan masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda-beda, serta terjadi saling pengaruh mempengaruhi. Ramlan Surbakti (1992:19) memberikan contoh dalam keputusan politik di masyarakat. Bila ada kelompok masyarakat tertentu yang merasa dirugikan atau yang tidak diuntungkan oleh kebijakan yang ada tentu berupaya untuk mempengaruhi pemerintah agar mengubah kebijakan yang atau membuat kebijakan yang menguntungkan mereka, dengan kata lain suatu keputusan kadang dapat menyelesaikan konflik, tetapi tidak jarang juga melahirkan konflik baru. Semua itu menimbulkan perubahan-perubahan baik yang direncanakan maupun yang tak terduga.

Meskipun konflik tersebut tidak selamanya dirasakan oleh masya-rakat secara langsung, dan dengan adanya konflik inilah yang mengakibat-kan perubahan sosial budaya. Astrid Susanto (1983:158) memandang ter-jadinya perubahan mengakibatkan dua kemungkinan (a) bahwa manusia menemukan sistem nilai dan falsafah hidup yang baru dan (b) manusia tenggelam dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya dan tidak dapat mengambil sikap (keputusan) terhadap keadaan baru. Bila dikaji secara le-bih mendalam pandangan Astrid Susanto, bahwa kemungkinan perubahan pertama dapat terjadi apabila

(29)

36

anggota masyarakat menyadari dan menilai bahwa unsur-unsur sosial budaya yang masuk dalam lingkaran kehidupan meraka dapat diterima dengan baik.

Sedangkan kemungkinan perubahan kedua adalah berkaitan dengan kondisi mentalitas manusia sebagai anggota masyarakat yang belum atau tidak siap untuk menerima kenyataan, bahwa masyarakat yang dinamis adalah masyarakat yang selalu diperhadapkan dengan berbagai prob-lematika perubahan, sebab ketidak siapan dalam menerima perubahan, maka akan menyebabkan seseorang mengalami frustrasi dan bersikap apatis.

Seperti yang telah dibahas di atas, bahwa konflik dapat menimbul-kan perubahan-perubahan dalam mayarakat, maka ogburn memandang pe-rubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik material maupun imaterial, yang ditekankan adalah pengaruh unsur-unsur kebudayaan ter-hadap unsur-unsur imaterial.

Bila Ogbrun lebih menekankan pada perubahan sosial pada dimensi kebudayaan, maka Davis memiliki pandangan berbeda dengan Ogbrun. Davis (dalam Soekanto,1990:336) melihat perubahan sosial sebagai peru-bahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya timbul pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis, telah menyebabkan dalam hubungan antara buruh dengan majikan dan seterusnya menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi ekonomi politik.

Selanjutnya setiap kebudayaan dan masyarakat biasanya memiliki faktor-faktor penunjang dan penghambat dalam dinamika kehidupan masyarakat

(30)

37

khususnya menerima ide-ide baru. Suparlan (1986:12-19) mengemu-kakan faktor-faktor penunjang sebagai berikut:

a. Terbiasanya masyarakat tersebut mempunyai hubungan/kontak kebudayaan dengan orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut, yang mempunyai kebudayaan yang berbeda. Sebuah masya-rakat yang terbuka bagi hubungan-hubungan dengan orang yang ber-aneka ragam kebudayaannya, cenderung menghasilkan warga masyarakat yang bersikap terbuka terhadap unsur-unsur kebudayaan asing. Sikap mudah menerima kebudayaan asing lebih-lebih lagi tampak menonjol kalau masyarakat tersebut menekankan pada ide bahwa kemajuan dapat dicapai dengan adanya sesuatu yang baru, yaitu baik yang datang dan berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, maupun yang berasal dari kebudayaan yang datang dari luar. b. Kalau pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan dalam kebuda-yaan

tersebut ditentukan oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama; dan ajaran agama ini terjalin erat dalam keseluruhan pranata yang ada dalam masyarakat tersebut; maka penerimanaan unsur-unsur kebudayaan baru atau asing selalu mengalami keterlambatan, karena harus disensor dulu oleh berbagai ukuran yang berlandaskan pada ajaran agama yang berlaku. Dengan demikian, suatu unsur kebudaya-an yang baru tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama yang berlaku dan karenanya tidak merusak pranata-pranata yang sudah ada

c. Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan unsur kebudayaan baru. Suatu struktur sosial yang didasarkan atas sistem

(31)

38

otoriter akan sukar untuk dapat menerima suatu unsur kebudayaan baru, kecuali unsur kebudayaan tadi secara langsung atau tidak langsung dirasakan oleh orang yang rezim yang berkuasa sebagai suatu yang menguntungkan bagi mereka.

d. Suatu unsur kebudayaan baru dengan lebih mudah diterima oleh suatu masyarakat kalau sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang baru tersebut. Di pedesaan Jawa, sepeda sebagai alat pengang-kut dapat menjadi landasan memudahkan diterimanya sepeda motor di daerah pedesaan tersebut, dan memang kenyataannya demikian.

e. Sebuah unsur kebudayaan baru yang mempunyai kegiatan terbatas dan dapat dengan mudah dibuktikan kegunaannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan akan mudah diterima dibandingkan dengan sesuatu unsur kebudayaan yang mempunyai skala luas dan sukar secara konkrit dibuktikan kegunaannya. Contohnya adalah diterimanya radio transistor dengan mudah oleh warga masyarakat Indonesia, dan bahkan dari golongan berpenghasilan rendah merupakan benda yang biadanya mereka miliki. Sedangkan faktor penghambat adalah:

a. Perubahan atau ide baru tersebut bertentangan dengan pola-pola kebudayaan yang ada.

b. Perubahan atau ide itu akan mengakibatkan perubahan pada pola-pola kebudayaan dan struktur sosial yang sudah ada dan menggantikannya dengan yang baru.

(32)

39

c. Kalau ada yang baru itu bersifat mendasar berkenaan dengan pandangan hidup atau nilai yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan: misalnya “free love” untuk masyarakat Indonesia akan ditentang, kalau harus diterima sebagai suatu cara hidup.

d. Bila hal atau ide baru itu dianggap terlalu mahal biayanya, maka akan

memperlambat proses penyebaran atau penerimaan hal atau ide baru tersebut. Terkecuali kalau oleh kelompok yang digolongkan sebagai vested interestes (suatu kelompok yang mempunyai pengaruh atas kehi-dupan sosial dan mempunyai andil untuk menarik keuntungan atas kehi-dupan sosial yang ada) hal atau ide baru itu dianggap menguntungkan , maka hal atau ide baru itu akan diterima.

Selanjutnya bagaimana dampak modernisasi terhadap perubahan sosial budaya masyarakat?. Apabila perubahan yang terjadi dalam masyarakat itu disebabkan oleh masalah teknologi modern, maka perubahan itu sering disebut dengan modernisasi. Seperti yang telah diuraikan pem-bahasan sebelumnya, bahwa modernisasi itu tidak hanya akan memberi-kan gambaran tentang perubahan dalam masyarakat hanya dari segi teknik saja yang mengalami perubahan, tetapi juga secara umum akan terjadi pada perubahan sosial budaya masyarakat. Halivaland (1988:271) menge-mukakan bahawa modernisasi adalah proses perubahan kultural dan sosio-ekonomis dimana masyarakat-masyarakat sedang berkembang memperoleh sebagian karakteristik dari masyarakat industri barat.

(33)

40

Ada asumsi bahawa proses modernisasi adalah proses pembaratan masyarakat atau menjadikan masyarakat Timur sama dengan masyarakat barat, dan apabila tidak mengikuti pola pemikiran barat berarti ketinggalan zaman dan kuno, sesungguhnya pola pemikiran maupun anggapan yang demikian itu terlalu etnosentrisme, maka orang akan berpikir mereka harus sama dengan barat.

Jika asumsi ini yang dipakai, maka akan terjadi penafsiran yang keliru dalam melihat perubahan yang terjadi dalam masyarakat, sebab peru-bahan dalam masyarakat diharapkan pada proses perubahan orientasi berpikir ke arah yang lebih maju atau adanya perubahan pola hidup dari kehidupan sebelumnya.

Untuk tidak menimbulkan berbagai tafsiran yang keliru terhadap per-ubahan dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat dari proses moder-nisasi, maka Haviland (1988:272) mengemukakan beberapa subproses ter-hadap modernisasi yaitu: Pertama; ialah perkembangan teknologi dalam proses modernisasi, pengetahuan dan teknik tradisional yang sederhana terdesak oleh penerapan pengetahuan ilmiah dan teknik yang pada intinya dipinjam dari barat.

Kedua; ialah pengembangan pertanian, yang berupa pergeseran dari

pertanian untuk keperluan sendiri menjadi pertanian untuk pemasaran. Orang tidak membudi dayakan tanaman dan hewan untuk keperluan sen-diri, tetapi mereka makin lama banyak mengadakan budi daya untuk dipa-sarkan, dengan lebih banyak bersandar kepada ekonomi uang dan pasar untuk mengadakan pembelian-pembelian.

Ketiga; ialah industrialisasi, dengan lebih mengutamakan bentuk energi

(34)

41

menjadi kurang penting, seperti halnya dengan kerajinan. Keempat ialah urbanisasi, yang ditandai oleh perpindahan penduduk dari pemukiman pedesaan ke kota-kota

Berdasar dari uraian-uaraian terdahulu, maka terlihat bahwa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di desa Buhu Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo nampak telah terjadi berbagai perubahan sosial budaya sebagai akibat dari peoses modernisasi. Pertama; masuknya ekonomi uang dan teknologi modern sampai di daerah-daerah pedesaan, akan banyak mempengaruhi sistem huyula. Karena dengan masuknya uang maka masyarakat mulai mempraktekan

sistem upah untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu dengan memperhitungkan volume pekerjaan yang dilaksanakan.

Kedua; masuknya atau berkembangnya berbagai teknologi modern seperti

mesin penggiling padi, perontok padi dan pemanfaatan traktor, hal ini menyebabkan berkurangnya peran buruh tani dalam pengolahan tanah serta bergesernya penggunaan bajak dengan sapi. Bila sebelumnya masya-rakat desa Buhu di Kecamatan Kabupaten Gorontalo menggunakan tenaga manusia maupun binatang dalam hal pengolahan tanah pertanian, maka sekarang para petani sudah ada yang menggunakan mesin-mesin pertanian dalam mengolah tanah pertaniannya.

Ketiga; berubahnya dinamika kehidupan masyarakat pada umumnya

khususnya masyarakat petani di desa ini terlihat pula pada pemikiran mereka pada orientasi pasar. Bila sebelumnya hasil pertanian hasil pertanian berorientasi pada konsumsi, akan tetapi sekarang ini para petani secara intensif mengejar pasar,

(35)

42

dengan jalan menjual hasil-hasil pertaniannya di pasar di luar desanya, bahkan ada petani yang langsung menjual tanaman-nya seperti jagung yang belum layak untuk dipanen untuk kepentingan makanan ternak di luar desa bahkan daerah, maka yang demikian ini ber-implikasi pada kehidupan petani yang serba konsumeristis.

Dengan adanya perkembangan teknologi pertanian sebagai akibat dari introduksi modernisasi, dapat terlihat bahwa modernisasi yang masuk dalam suatu wilayah maupun desa dapat mengeser nilai-nilai budaya tradisional yang berlaku dalam masyarakat dan dapat menumbuhkan nilai maupun tradisi baru. Disamping masalah teknologi pertanian sebagai intro-duksi dari modernisasi yang dapat menyebabkan masayarakat beubah.

Keempat; kemajuan komunikasi. Rogers (dalam Wahyudi, 1992:5)

memberi batasan terhadap teknologi informasi sebagai perangkat keras bersifat organisatoris, dan meneruskan nilai-nilai sosial dengan siapa individu atau khalayak lain. Teknologi informasi dapat dilihat melalui media cetak seperti majalah, koran sedangkan media elektronik seperti radio dan televisi.

2.4.Tinjauan Teoritis Tentang Perubahan Sosial Kultural

Para ahli kemasyarakatan telah mengemukakan berbagai teori tentang perubahan sosial, namun oleh karena demikian kompleknya kehidupan manusia, teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli tidak mampu hekekat perubahan sosial secara tuntas. Para ahli melihat perubahan sosial dari perspektif yang berbeda-beda, bahkan tidak jarang teori yang satu bertolak belakang dengan teori yang lain.

(36)

43

Penelaahan terhadap teori perubahan sosial meliputi berbagai hal yang penting diantaranya, proses dan mekanisme perubahan, dimensi perubahan sosial serta kondisi dan faktor-faktor perubahan sosial. perubahan Sosial adalah perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi dari bentuk-bentuk masyarakat. Adaya interaksi sosial akan menimbulkan proses sosial di dalam masyarakat.

Tetapi secara teoritis dapatlah dikatakan bahwa perubahan sosial mengacu kepada perubahan dalam struktur sosial dan hubungan sosial, sedangkan perubahahan kebudayaan mengacu kepada perubahan pola-pola perilaku, termaksud teknologi dan dimensi-dimensi dari ilmu, material dan nonmaterial. Menurut Ogbum (1932) perubahan sosial bahwa perubahan teknologi mengakibatkan perubahan lingkungan material dan mengaturnya, sehinga menimbulkan perubahan atau modifikasi kebiasan-kebiasan dan lembaga sosial. Untuk melihat perbedaan perubahan masyarakat, maka Alvin berpendapat bahwa perubahan sosial pada dasarnya tidak dapat diterangkan oleh dan berpegang pada faktor tunggal. Konsep Alvin di dukung Williams. (1980) mengemukakan bahwa faktor Determinisme monofaktor ini sudah ketinggalan zaman, dalam ilmu Sosiologi moderen interpretasi-interpretasi sepihak yang mengatakan bahwa perubahan itu hanya disebabkan oleh satu macam rangkaian faktor saja.

Perbedaan yang diajukan sebetulnya bersifat teknis, karena dalam situasi-situasi tertentu benar-benar tidak mungkin untuk menentukan tipe perubahan yang terjadi. Walaupun secara teoritis kedua konsep ini dapat dibedakan. Menurut Davis (dalam Soekanto 1990). tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan tidak ada kebudayaan menjelma di luar atau bukan pada

(37)

44

masyarakat. Pernyataan yang muncul adalah bagaimana perubahan sosial kultural masyarakat pedesaan dalam tatanan kehidupannya sehari-hari. Pertanyaan ini akan dibahas pada uraian-uaraian selanjutnya yang diawali dengan tinjauan teortis tentang perubahan sosial kultural, serta bagaimana perubahan sosial kultural masyarakat pedesaan.

Marx (dalam Munandar Sulaimen,1998) memberikan kedudukan tertingi terhadap kenyataan kondisi meterial di dalam interelasi dialektika dengan kenyataan ide dan hubungan sosial. Proses perkembangan kapitalisme melahirkan perubahan-perubahan sosial yang obyektif di dalam pola antarhubungan dengan kesadaran kelas proretariat yang sedang bertumbuh, menciptakan kesaudaraan aktif yang di perlukan untuk mentransformasikan masyarakat lewat praxis revolusioner. contohya aliansi buruh terjadi akibat dari perubahan sosial perkembangan kapitalisme,di mana buruh tidak mempunyai kekuasan untuk memarsarkan produk-produknya .karena apapun yang ia produksi akan diambil orang lain (pemilik modal ) dan tidak akan keuntungan yang dihasilkannya. Semua pola hubungan ekonomi adalah pola hubungan, akibatnya keterasingan buruh akan merembet ke masalah sosial.

Analisis perubahan sosial budaya juga telah dilakukan Pitirin Sorokin (dalam Munandar 1998), mengatakan bahwa jangka panjang pola-pola kebudayaan berubah, proses sejarahnya dan sosial terus menerus mengalami variasi-variasi baru, disertai dengan hal-hal yang sulit diduga dan sulit diramalkan secara keseluruhan, bahkan bersifat unik.

(38)

45

Selanjutnya dalam dimensi interaksional, perubahan sosial kultural dapat dianalisis dari proses interaksi sosial. Misalnya perubahan sosial kultural dipedesaan terjadi karena urbanisasi. Urbanisasi dapat berpenagruh terhadap pergeseran tenaga kerja agraris misalnya ke dalam model pekerjaan sektor in formal, maka dengan sendiri akan membuat masyarakt tersebut berubah pula tatanan kehidupannya sebab dalam kehidupan kota misalnya frekuensi interaksi lebih di kedepankan, karena dengan model yang demikian akan membuat masyarakat dapat memahami setiap karakter masing-masing masyarakatnya.

Dalam dinamika kehidupan masyarakat terutama masyarakat pedesaan banyak perubahan dan perkembangan yang dialami salah satunya adalah peniruan teknologi dalam bidang pertanian yang merupakan orientasi utama pembangunan di Indonesia. Menurut Munandar (1996) Penerimaan terhadap teknologi bagi masyarakat terutama masyarakat desa baik itu yang dipaksakan maupun inisiatif sendiri dari masyarakat akan mempengaruhi perilaku sosial (social behavior) dalam skala atau derajat yang besar. Lebih dari itu, introduksi teknologi yang tidak tepat membawa implikasi terhadap perubahan sosial kultural masayarakat.

Ketika teknologi berupa traktor atau mesin penggilingan padi sekitar tahun 60-an masuk ke desa, banyak buruh tani di pedesaan menjadi pengangguran. Keadaan ini menimbulkan perubahan struktur, kultur dan interaksional di pedesaan. Analisis Munandar (1998) perubahan dalam satu aspek akan merembet keaspek lain. Struktur keluarga berubah, bimana buruh wanita tani yang biasanya menumbuk padi sebagai penghasilan tambahan, sekarang tinggal di rumah. Masuknya traktor menyebabkan tenaga kerja hewan menganggur dan

(39)

46

buruh tani kehilangan pekerjaan. Keadaan demikian menyebabkan terjadinya urbanisasi.

Referensi

Dokumen terkait

Konselor hendaknya menghindarkan diri dari pikiran-pikiran yang abstrak, keinginan-keinginannya untuk melakukan diagnosis, interpretasi maupun memberi nasihat. Konselor

Meskipun belum terlihat ada pola tertentu, setidaknya hasil-hasil ini mengkonfirmasi hasil yang dicapai oleh beberapa peneliti sebelumnya, misalnya [8] yang

Hasil wawancara dan observasi menunjukkan rendahnya kreativitas dan prestasi belajar siswa kelas IV SD Negeri 3 Pliken, sehingga penelitian ini bertujuan untuk

Berikut adalah notasi yang digunakan dalam pembuatan model resiko alokasi kursi optimal untuk dua penerbangan paralel yang mempertimbangkan tipe perilaku penumpang

Parameter yang paling penting dalam pengembangan wisata diving dan wisata snorkling adalah tutupan komunitas terumbu karang, karena komunitas terumbu karang

Mirip seperti osilasi pada simulasi tekanan darah sebelumnya, osilasi naik perlahan secara linier dari titik mulai sampai titik puncak (saat MAP), lalu turun perlahan secara

Salah satu pelaksanaan yang dilakukan pada awal mula masuk sekolah yaitu adanya Masa Orientasi Siswa yang pada hari terakhir guru tiap agama mengajak peserta didik sesuai

Dan semakin tidak bisa kita pahami, meskipun katanya saat ini pertumbuhan ekonomi trennya menurun, tetapi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di 5 (lima) besar