• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELEVANSI KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG SABAR DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RELEVANSI KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG SABAR DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

RELEVANSI KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG

SABAR DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN

DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam

Ilmu Pendidikan Islam

Oleh:

Oleh: AMIN HUSNI NIM : 043111103

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO

SEMARANG

(2)

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Amin Husni

Nim : 043111103

Jurusan/Program Studi : Pendidikan Agama Islam

menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.

. Semarang, 23 Mei 2011 Deklarator, Amin Husni NIM : 043111103

(3)

DEPARTEMEN AGAMA RI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS TARBIYAH

JL. Prof. Dr. HAMKA (Kampus ) Ngalian Semarang Telp. (024) 7601291 Fax.7615387

PENGESAHAN Naskah skripsi dengan:

Judul : Relevansi Konsep Imam Al-Gazâlî tentang Sabar dalam Kitab Ihya Ullumuddin dengan Tujuan Pendidikan Islam Nama : Amin Husni

NIM : 043111103

Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam

telah diujikan dalam sidang munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam

Semarang, Juni 2011 DEWAN PENGUJI

Ketua, Sekretaris,

H. Mursid, M.Ag. Yunita Rakhmawati, MA. NIP. 19670305 200112 1001 NIP. 19780627 200501 2004

Penguji I, Penguji II,

Drs. H. Mat Solikhin, M.Ag Dr. Ahwan Fanani, M.Ag NIP. 19600524 199203 1 001 NIP. 19780930 200312 1001

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Darmuin, M.Ag Amin Farih, M.Ag

(4)

NOTA PEMBIMBING Semarang, Juni 2011

Kepada

Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo

di Semarang

Assalamua’alaikum Wr.Wb.

Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan:

Judul : RELEVANSI KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG SABAR DALAM KITAB IHYA

ULUMUDDIN DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Nama : Amin Husni NIM : 043111103

Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam

Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam Sidang Munaqasyah

Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Pembimbing I, Drs. Darmuin, M.Ag. NIP. 19640424 199303 1 003

(5)

NOTA PEMBIMBING Semarang, Juni 2011

Kepada

Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo

di Semarang

Assalamua’alaikum Wr.Wb.

Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan:

Judul : RELEVANSI KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG SABAR DALAM KITAB IHYA

ULUMUDDIN DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Nama : Amin Husni NIM : 043111103

Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam

Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam Sidang Munaqasyah

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Pembimbing II,

Amin Farih, M.Ag

(6)

ABSTRAK

Judul : Relevansi Konsep Imam Al-Gazâlî Tentang Sabar dalam Kitab Ihya Ulumuddin dengan Tujuan Pendidikan Islam

Penulis: Amin Husni NIM : 043111103

Skripsi ini membahas konsep Imam Al-Gazâlî tentang sabar ditinjau dari tujuan pendidikan Islam. Realita fenomena di masyarakat terjadi suatu kesenjangan antara teori yang mengharuskan ikhtiar maksimal dengan sabar diri sepenuhnya tanpa usaha. Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan bagaimana konsep sabar menurut Imam Al-Gazâlî? Bagaimana sabar menurut Imam Al-Gazâlî ditinjau dari tujuan pendidikan Islam? Permasalahan tersebut dibahas melalui studi kepustakaan (library research) dengan jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Dalam membahas dan menelaah data, penulis menggunakan metode deskriptif Analisis.

Kajian ini menunjukkan bahwa

(

1) Menurut Imam Al-Gazali, Allah telah mensifati orang-orang yang sabar dengan beberapa sifat, Dia menyebut sabar dalam Al-Qur'an pada lebih dari tujuh puluh tempat. Ketahuilah bahwa sabar adalah kedudukan dari kedudukan agama dan derajat dari derajat-derajat orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah. Apabila mengkaji konsep sabar menurut Imam al-Ghazali sebagaimana telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, maka konsepnya sangat penting dan relevan dengan pendidikan, kode etik pendidik (guru) dan kode etik peserta didik. Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan. Syarat yang dimaksud sebagaimana dalam syairnya: "Seorang santri harus tabah menghadapi ujian dan cobaan. Sebab ada yang mengatakan bahwa gudang ilmu itu selalu diliputi dengan cobaan dan ujian. Ali bin Abi Thalib, berkata, "Ketahuilah, kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan bekal enam perkara, yaitu: cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk/bimbingan guru, dan waktu yang lama." (2) Hubungan konsep sabar menurut Imam al-Ghazali dengan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut: pendidikan Islam ialah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil). Karena itu tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil yang di dalamnya memiliki wawasan yang kaffah (utuh/lengkap/menyeluruh). Tujuan terakhir pendididikan Islam yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. "Kata penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah" dalam bahasa agama disebut tawakkal yang dicerminkan oleh sikap sabar. Tujuan pendidikan Islam seperti ini sesuai pula dengan Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam (1977).

(7)

TRANSLITERASI ARAB LATIN

Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor:158 th. 1987, Nomor:1543b/u/1987

. ا a ط t ب b ظ Z ت t ع ' ث ś غ g ج j ف f ح h ق q خ kh ك k د D ل l ذ ż م m ر r ن n ز Z و w س S ه h ش Sy ء , ص ş ي y ض d

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “RELEVANSI KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG SABAR DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM”, ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Suja'i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.

2. Bapak Drs. Darmuin, M.Ag selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Amin Farih, M.Ag selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Nasirudin, M.Ag selaku Kajur PAI Fakultas Tarbiyah

4. Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Pimpinan Perpustakaan Fakultas Tarbiyah yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Seluruh dosen, staf dan karyawan di lingkungan civitas akademik Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan pelayanan yang baik serta membantu kelancaran penulisan skripsi ini.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca pada umumnya.

(9)

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i PERNYATAAN ... ii PENGESAHAN ... iii NOTA PEMBIMBING ... iv ABSTRAK ... vi TRASLITERASI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Penegasan Istilah ... 6

C. Perumusan masalah ... 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

E. Telaah Pustaka ... 9

F. Metodologi Penelitian ... 13

BAB II : LANDASAN TEORI KONSEP SABAR DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM A. Konsep Sabar …. ... 15

1. Pengertian Sabar ... 15

2. Macam-Macam Sabar ... 16

B. Pendidikan Islam ... 21

1. Pengertian Pendidikan Islam ... 21

2. Landasan Pendidikan Islam ... 24

3. Tujuan Pendidikan Islam... 28

BAB III: KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG SABAR A. Biografi Imam Al-Gazâlî ... 31

(10)

1. Latar Belakang Imam Al-Gazâlî ... 31 2. Karya-Karyanya ... 35 B. Konsep Imam Al-Gazâlî tentang Sabar dalam

Kitab Ihya 'Ulum al-Din... 38 BAB IV: KONSEP SABAR MENURUT IMAM AL-GHAZALI DAN

RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM A. Analisis Pandangan Imam Al-Ghazali tentang Sabar ... 57 B. Analisis Pandangan Imam Al-Ghazali tentang Sabar Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam ... 61 BAB V : PENUTUP

A. Simpulan ... 80 B. Saran-Saran ... 81 C. Penutup ... 81 DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan Islam ialah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).1 Karena itu tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil yang di dalamnya memiliki wawasan yang kaffah (utuh/lengkap/menyeluruh).2 Sejalan dengan itu menurut Arifin tujuan terakhir pendidikan Islam yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah.3

Menurut seorang tokoh filsuf Islam Ibnu Thufail bahwa manusia yang terdiri dari badan dan jiwa, yang memiliki akal pikiran, ia selalu menggunakan akalnya untuk berpikir mengetahui hal-hal yang belum ia ketahui, tetapi akal tersebut kadang-kadang mengalami kebuntuan dan ketidak mampuan dalam memahami rahasia Illahi, mengungkap misteri kehidupan dan mengemukakan dalil-dalil pikiran. Akal yang sehat akan berpikir dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keindahan kedua-duanya dapat bertemu dalam satu titik tanpa harus diperselisihkan lagi.4

Manusia yang terdiri dua unsur tidak dapat dipisahkan, kedua unsur tersebut adalah jasad dan jiwa merupakan satu kesatuan. Karena bila dipisahkan ia bukan manusia lagi.5 Jasad dapat bergerak karena adanya jiwa, dan jiwa itu adalah tuan daripada jasad, namun kehidupan jasad tidak hanya bergantung pada jiwa semata hal ini disebut dengan kehidupan ragawi (lahiriyah), ia membutuhkan yang namanya pakaian, makanan, tempat tinggal,

1

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 28.

2

Abdul Mujib dan Yusuf Muzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm. 83.

3

Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 28.

4

Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 163

5

Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i Atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 282

(12)

harta kekayaan dan sebagainya. Beda dengan jasad, untuk dapat hidup selalu

dalam kebenaran maka jiwa juga membutuhkan makanan, sementara makanan yang dibutuhkan jiwa tidak serupa dengan apa yang dimakan oleh jasad, makanan itu berupa ajaran-ajaran agama, memegang teguh Kalam Suci (Al-Quran), menjalankan apa-apa yang telah disyari'atkan oleh Sang Maha Pencipta, dan juga bersabar, yakni sabar dalam menjalankan perintah dan larangan-Nya, menghadapi musibah dan menerima nikmat-Nya. Kalau kedua unsur pokok telah terpenuhi kebutuhannya, terdapatlah keseimbangan, maka kehidupan menjadi lebih tenang tentram dan bahagia. Inilah yang disebut kepribadian manusia dalam totalitasnya.6

Melihat segala tingkah laku manusia, tokoh Barat yang mengembangkan teori psikologi humanistik Abraham Maslow, memiliki asumsi dasar, bahwa tingkah laku manusia dapat ditelaah melalui kecenderungan dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga bermakna dan terpuaskan.7

Berkaitan dengan hal itu seorang tokoh tasawuf ulama besar Imam al-Gazâlî memeta-metakan tingkah laku manusia atau kepribadian (kejiwaan) manusia ke dalam beberapa dimensi, secara dimensi pada diri manusia terkumpul empat dimensi kejiwaan:

1. Dimensi ragawi (al-Jism) 2. Dimensi nabati (al-Natiyyah) 3. Dimensi Hewani (al-Hayawaniyyun) 4. Dimensi insani (al-insaniyah).8

Pada dasarnya pengetahuan manusia tentang dirinya secara umum masih pada tahap awal, pengetahuan itupun menjadi terbatas sebab; pertama,

Pembahasan masalah manusia terlambat dilakukan karena pada mulanya perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi.

6

Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 247

7

Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi; Telaah Atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abrahan Maslow, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 76

8

Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam; Menuju Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dana Yayasan Insani, 2001), hlm. 79

(13)

kedua, ciri khas akal manusia yang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks, ketiga, karena disebabkan multi kompleknya manusia.9

Akhir-akhir ini persaingan kehidupan yang terkotak-kotak pada bidang-bidang tertentu semakin ketat membuat perjalanan peradaban yang semakin cepat seperti terjadi sekarang ini menjadikan manusia yang hidup di dalamnya harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi, teknologi makin canggih, krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat perekonomian di masayarakat semakin parah, hingga akhirnya kelangkaan pangan makin menjadi.

Apabila dipandang dengan kaca mata Islam, tidak terpenuhinya keinginan-keinginan dalam hidup ini tidak hanya semata-mata karena kesalahan mekanisme dan prosesnya saja, tetapi selaku umat Islam harus memiliki keyakinan bahwa dibalik itu semua terdapat kekuatan (ketentuan) lain yang berasal dari Allah Swt, inilah yang sering dipahami dengan ujian, cobaan atau musibah dari Allah Swt , sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah; Ayat 155

"Dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar" (Q.S. Al-Baqarah: l55).10

Maka tidak reda-redanya Allah Swt., memberi peringatan kepada hamba-Nya untuk tabah dan berpegang teguh dalam menghadapi segala cobaan, sebagaimana Allah Swt., memberi peringatan kepada para Rasul dan nabi dan pembawa da'wah pada umumnya, bahwa mereka akan berjumpa dan mengalami bermacam-macam cobaan.11 Dari sini pentingnya konsep sabar

9 Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i Atas Berbagai Persoalan Umat, hlm.278 10

Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 99

(14)

diterapkan oleh manusia dalam menyikapi cobaan, ujian, musibah dan

berbagai masalah lainnya.

Dari sekian banyaknya konsep sabar, maka konsep Imam Al-Gazâlî menarik untuk dikaji. Alasannya karena konsepnya jelas dan lugas. Hal ini tidak berarti konsep pakar lainnya kurang menarik dan jelas, namun konsep Imam Al-Gazâlî bisa dijadikan salah satu alternatif.

Menurut Imam Al-Gazâlî, Allah Ta'ala telah mensifati orang-orang yang sabar dengan beberapa sifat, Dia menyebut sabar dalam Al-Qur'an pada lebih dari tujuh puluh tempat dan Dia menambah lebih banyak derajat dan kebaikan dan menjadikannya sebagai buah bagi sabar.12 Ketahuilah bahwa sabar adalah kedudukan dari kedudukan agama dan derajat dari derajat-derajat orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah. Dan semua kedudukan agama itu sesungguhnya dapat tersusun dari tiga perkata yaitu: Ma'rifat, hal ihwal dan amal perbuatan.13

Dari arti-arti yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesabaran menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berat, dan pahit, yang harus diterima dan dihadapi dengan penuh tanggung jawab. Berdasar kesimpulan tersebut, para agamawan merumuskan pengertian sabar sebagai "menahan diri atau membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik (luhur)".14 Orang yang sabar akan mampu menerima segala macam cobaan dan musibah. Berbagai musibah dan malapetaka yang melanda Indonesia telah dirasakan masyarakat. Bagi orang yang sabar maka ia rela menerima kenyataan pahit, sementara yang menolak dan atau tidak sabar, ia gelisah dan protes dengan nasibnya yang kurang baik.15

Realita fenomena di masyarakat terjadi suatu kesenjangan antara teori yang mengharuskan ikhtiar maksimal dengan sabar diri sepenuhnya tanpa

12

Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, (Semarang: CV Asy-Syifa, 1994), hlm. 314.

13

Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, hlm. 323.

14

M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 165.

15

(15)

usaha. Dengan kata lain kenyataan menunjukkan bahwa persepsi yang

berkembang di sebagian masyarakat yaitu sabar merupakan bentuk pasrah diri pada Allah Swt namun tanpa ikhtiar. Persepsi yang keliru ini mengakibatkan umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak mampu bersaing dengan dinamika zaman. Kenyataan ini dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.16

Dalam masyarakat bergulir sebuah anggapan bahwa sabar yang sesungguhnya adalah kepasrahan seorang hamba terhadap Allah SWT tanpa perlu usaha. Banyak orang yang diam bertopang dagu, mereka beranggapan bahwa jika sudah menjadi rizkinya maka ia tidak akan kemana-mana. Sebaliknya apabila bukan rizkinya maka dikejar pun akan lari dan menjauh. Kekeliruan persepsi dan interpretasi seperti ini merupakan salah satu fenomena ketidakmampuan manusia itu dalam berkompetisi di tengah-tengah masyarakat yang makin kompleks.17

Konsep sabar perspektif Imam al-Gazâlî mempunyai hubungan yang erat dengan tujuan pendidikan. Dengan kata lain bahwa konsep Imam al-Gazâlî berkaitan pula dengan pendidikan karena dalam pendidikan dibutuhkan kesabaran. Pendidik harus sabar dalam mentransfer ilmu dan peserta didik harus sabar dalam mempelajari dan mendalami ilmu. Apabila mengkaji konsep sabar menurut Imam al-Gazâlî, maka konsepnya sangat penting dan relevan dengan pendidikan, kode etik pendidik (guru) dan kode etik peserta didik.

Dalam mengungkapkan konsep sabar Imam al-Ghazali muncul suatu masalah yaitu apakah konsepnya ada kesesuaian dengan tujuan pendidikan Islam, jika sesuai sejauhmana hubungannya dengan pendidik dan peserta didik.

Bertitik tolak dari keterangan dan masalah tersebut mendorong peneliti mengangkat tema ini sebagaimana tersebut sebelumnya.

16

Achmad Mubarok, Psikologi Qur'ani, hlm. 73.

17

(16)

B. Penegasan Istilah

Agar pembahasan tema dalam skripsi ini menjadi terarah, jelas dan mengena yang dimaksud, maka perlu dikemukakan batasan-batasan judul yang masih perlu mendapatkan penjelasan secara rinci.

1. Sabar

Sabar (al-shabru) menurut bahasa adalah menahan diri dari keluh kesah. Bersabar artinya berupaya sabar. Ada pula al-shibru dengan

meng-kasrah-kan shad artinya obat yang pahit, yakni sari pepohonan yang pahit. Menyabarkannya berarti menyuruhnya sabar. Bulan sabar, artinya bulan puasa. Ada yang berpendapat, "Asal kalimat sabar adalah keras dan kuat.

Al-Shibru tertuju pada obat yang terkenal sangat pahit dan sangat tak enak. Al Ushmu'i mengatakan, "Jika seorang lelaki menghadapi kesulitan secara bulat, artinya ia menghadapi kesulitan itu secara sabar. Ada pula al-shubru

dengan men-dhamah-kan shad, tertuju pada tanah yang subur karena kerasnya. Ada pula yang berpendapat, "Sabar itu diambil dari kata mengumpulkan. memeluk, atau merangkul. Sebab, orang yang sabar itu yang merangkul atau memeluk dirinya dari keluh-kesah. Ada pula kata

shabrah yang tertuju pada makanan. Pada dasarnya, dalam sabar itu ada tiga arti. menahan, keras, mengumpulkan, atau merangkul, sedang lawan sabar adalah keluh-kesah.18

2. Tujuan Pendidikan Islam

Dalam pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

18

Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami, terj. Dadang Sobar Ali. (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 342.

(17)

mandiri. dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggungjawab.19

Dalam konteksnya dengan pendidikan Islam, menurut Arifin, tujuan pendidikan Islam secara filosofis berorientasi kepada nilai-nilai islami yang bersasaran pada liga dimensi hubungan manusia selaku "khalifah" di muka bumi, yaitu sebagai berikut.

a. Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan Tuhannya.

b. Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan masyarakatnya.

c. Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan memanfaatkan kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan hidupnya dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan ubudiahnya kepada Allah, dengan dilandasi sikap hubungan yang harmonis pula.20

Para pakar pendidikan Islam Muhammad Athiyah al-Abrasyi telah sepakat bahwa tujuan dari pendidikan serta pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui. melainkan: a. Mendidik akhlak dan jiwa mereka; b. Menanamkan rasa keutamaan (fadhilah): c. Membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi; d. Mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Dengan demikian, tujuan pokok dari pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi ialah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Semua mata pelajaran haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak, setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang

19

Undang-Undang RI No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: BP. Cipta Jaya, 2003), hlm. 7.

20

(18)

lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi,

sedangkan. akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.21 C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka yang menjadi permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep sabar menurut Imam Al-Gazâlî?

2. Bagaimana sabar menurut Imam Al-Gazâlî ditinjau dari tujuan pendidikan Islam?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai. dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui konsep sabar menurut Imam Al-Gazâlî

2. Untuk mengetahui sabar menurut Imam Al-Gazâlî ditinjau dari tujuan pendidikan Islam

b. Manfaat Penelitian

Nilai guna yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti, dengan meneliti konsep sabar, maka akan menambah pemahaman yang lebih mendalam melalui studi pemikiran Imam Al-Gazâlî

2. Hasil dari pengkajian dan pemahaman tentang konsep sabar sedikit banyak akan dapat membantu dalam pencapaian tujuan dalam membentuk pribadi yang sempurna yaitu yang beriman, berilmu dan beramal shaleh.

21

Muhammad 'Athiyyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah Al-lslamiyyah, Terj. Abdullah Zakiy alKaaf. "Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam", (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 13.

(19)

3. Penulisan ini sebagai bagian dari usaha untuk menambah khazanah

ilmu pengetahuan di Fakultas Tarbiyah pada umumnya dan jurusan pendidikan agama Islam khususnya.

E. Telaah Pustaka

Sepanjang pengetahuan peneliti, dalam penelitian di perpustakaan IAIN Walisongo belum ditemukan skripsi yang judulnya sama menyangkut sabar. Demikian pula berdasarkan browsing internet dalam hal tesis pasca sarjana belum ditemukan adanya judul yang sama. Sedangkan yang ada hanya membahas tokoh Imam Al-Gazâlî tetapi dalam tema yang sangat berbeda sehingga tidak ada sama sekali hubungannya dengan tema sabar dalam perspektif pendidikan Islam. Namun demikian sejauh yang peneliti ketahui telah banyak penelitian yang membahas konsep sabar namun belum ada yang menyentuh dan menganalisis pemikiran Imam Al-Gazâlî ditinjau dari tujuan pendidikan Islam.

Skripsi yang disusun Rizal Muttaqin (NIM: 1100094) jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam dengan judul Implikasi Sabar dalam Mencegah Penyakit Stres Pemikiran al-Ghazali (Tinjauan Konseling Islam), skripsi ini menitikberatkan pembahasan pada bimbingan dan konseling Islam dalam mencegah penyakit stress. Temuan skripsi ini adalah bahwa sabar dapat mencegah penyakit stress.22

Skripsi yang disusun oleh Ernawati (NIM: 4103063) dengan judul

Sabar dalam Perspektif Imam al-Ghazali Ditinjau dari Kesehatan Mental. Konsep Imam al-Ghazali yang menyuruh manusia untuk sabar sangat relevan dengan kesehatan mental karena dengan sabar maka dapat membentuk manusia yang bermental sehat. Al-Quran mengajak kaum muslimin agar berhias diri dengan kesabaran. Sebab, kesabaran mempunyai faedah yang besar dalam membina jiwa, memantapkan kepribadian, meningkatkan

22

Rizal Muttaqin, Implikasi Sabar dalam Mencegah Penyakit Stres Pemikiran al-Ghazali (Tinjauan Konseling Islam) (Skripsi Fakultas Dakwah, tidak diterbitkan, IAIN Walisongo Semarang).

(20)

kekuatan manusia dalam menahan penderitaan, memperbaharui kekuatan

manusia dalam menghadapi berbagai problem hidup, beban hidup, musibah, dan bencana, serta menggerakkan kesanggupannya untuk terus-menerus berjihad dalam rangka meninggikan kalimah Allah SWT. Apabila seseorang bersabar dalam memikul kesulitan dan musibah hidup, bersabar dalam gangguan dan permusuhan orang lain, bersabar dalam beribadah, dan taat kepada Allah SWT, maka mentalnya akan sehat. Sabar dalam melawan syahwat, bersabar dalam bekerja dan berkarya, ia tergolong orang yang memiliki kepribadian yang matang, seimbang, paripurna, kreatif, dan aktif. Selain itu, ia juga menjadi orang yang terlindung dari kegelisahan dan aman dari gangguan-gangguan kejiwaan.23

Skripsi yang disusun Retno Wahyunigsih (NIM 4197027/AF) dengan judul: Hubungan Kausalitas Sabar dan Takdir dalam Perspektif Jabariyah dan Qadariyah. Pada intinya penulis skripsi ini menjelaskan bahwa yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana hubungan antara sabar dan takdir dam perspektif Jabariyah dan Qadariyah. Metode penelitian ini menggunakan metode komparasi dan hermeneutic. Menurut penyusun skripsi ini, kekeliruan umum orang terhadap sabar dan takdir itu ialah segala nasib baik dan buruk seseorang. atau muslim/kafirnya manusia, telah ditetapkan secara pasti oleh Allah. Manusia adalah ibarat robot Allah. Maka segala kenyataan hidup haruslah diterima apa adanya dengan sabar. Dengan begitu manusia harus sabar dalam arti menerima apa yang terjadi pada dirinya tanpa reserve. Kekeliruan ini misalnya terdapat dalam pendirian kaum Jabariyah, dimana menurutnya manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Konsep Jabariyah cenderung memaknai sabar secara berlebihan dan inilah bagian paham yang memukul umat Islam dalam berkompetisi' dengan dunia Barat. Menurut paham ini manusia tidak hanya

23

Ernawati, Sabar dalam Perspektif Imam al-Ghazali Ditinjau dari Kesehatan Mental (Skripsi Fakultas Ushuluddin, tidak diterbitkan, IAIN Walisongo Semarang)

(21)

bagaikan wayang yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai

bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

Sebaliknya kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham Qadariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Konsep ini pada hakekatnya menafikan konsep sabar. Dengan demikian dalam paham tersebut bahwa Allah ta'ala tidak mengetahui segala apa jua pun yang diperbuat oleh manusia dan tidak pula yang diperbuat oleh manusia itu dengan kudrat dan iradah Allah Ta'ala. Bahkan manusialah yang mengetahui serta mewujudkan segala apa yang diamalkannya itu dan semuanya dengan kudrat iradat manusia sendiri. Tuhan sama sekali tidak campur tangan di dalam membuktikan amalan-amalan itu.

Abdullah bin Umar ad-Dumaiji (guru besar Fakultas Dakwah dan Ushuluddin Universitas Ummul Qura) dalam disertasinya yang berjudul at-Tawwakal Alallah wa Alaqatuhu bi al-Asbab dan diterjemahkan oleh Kamaluddin. menjelaskan bahwa sikap manusia terhadap perkara sabar ini amat beraneka ragam. di antara mereka ada sekelompok manusia yang telah takluk dengan kehidupan materi yang melampaui batas hingga menimbulkan kesengsaraan seperti yang telah terjadi pada masa-masa terakhir ini, hal yang membawa mereka amat menggantungkan hidup dengan harta di mana untuk mendapatkannya harus dengan permusuhan dan tumpahan darah, demi harta manusia rela mengunci akal dan hati yang ada dalam dirinya. Sikap seperti ini amat jelas pengaruhnya pada hati yaitu hati menjadi asing untuk sabar, keterasingan ini mengendalikan manusia untuk tidak mau mensucikan jiwanya dengan mengingat Allah; mereka hanya mengandalkan otak dan merasa bangga dengan apa yang mereka miliki yang berupa pengetahuan. Mereka hanya melihat kehidupan dunia yang dengannya mereka mendapatkan

(22)

ketenangan hidup, mereka lupa atau melupakan bahwa Allah akan melupakan

mereka sebagaimana mereka melupakan Allah.24

Sebaliknya. di antara manusia ada yang merasa puas dengan duduk berdiam diri, senang menunda-nunda pekerjaan, kemalasan dan kebodohan menyelimuti diri mereka, walaupun demikian mereka tetap mencari-cari alasan atau dalih untuk membenarkan apa yang mereka lakukan dengan dalih bahwa mereka sabar pada kehendak Allah, mereka menganggap bahwa sabar adalah meninggalkan sarana dan usaha, yang mendatangkan keuntungan materi atau harta. Singkatnya mereka sudah merasa puas dengan rizki yang didapat dari orang lain dan dari sedekah-sedekah yang mereka terima, mereka hidup di sudut-sudut kehidupan dan terpencil dari dinamika kehidupan.

Sejalan dengan temuan tersebut, As'-Syarif dalam disertasinya yang berjudul al-lbadah al-Qalhiyah wa Atsaruhu fi Hayalil Mu'minin menguraikan pengaruh-pengaruh sabar. Menurutnya, sabar memberikan pengaruh yang sangat besar, antara lain: ketenangan, ketenteraman, kekuatan, kemuliaan, ridla dan harapan. Akan tetapi menurutnya untuk meraih sabar memiliki sejumlah rintangan, dan rintangan-rintangan inilah yang menghambat sabar, antara lain: bodoh terhadap Allah dan keagunganNya, terpedaya oleh nafsu. bersandar kepada makhluk, cinta kepada kehidupan duniawi dan terpedaya olehnya.

Skripsi yang disusun Mahfudz Yasin (Fakultas Dakwah IAIN Walisongo) berjudul: Analisis Dakwah terhadap Konsep Tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie. Pada intinya dijelaskan bahwa Relevansi konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie dengan dakwah yaitu da'i sebagai ujung tombak syiar Islam dapat meluruskan kesalahan dalam memaknai tawakal. Merujuk pada kondisi seperti ini tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dakwah memiliki nilai yang sangat urgen dalam memperkuat jati din dan mental bangsa ini. Dapat dipertegas bahwa tawakal mempunyai kaitan yang erat dengan dakwah. Tawakal tidak dapat dipisahkan dengan dakwah, karena masih banyak orang

24

http://www. ad-Dumaiji oocities.org/fauzy70/para/p043.html, diakses tanggal 29 Juli 2011

(23)

yang tawakal secara berlebihan, ia terlalu memasrahkan dirinya dalam

berbagai hal namun tanpa ikhtiar atau usaha sama sekali. Tawakal bukan hanya berserah din melainkan ia perlu usaha dahulu secara maksimal baru kemudian tawakal. Urgensi dakwah dengan konsep tawakal yaitu dakwah dapat memperjelas dan memberi penerangan pada mud'u tentang bagaimana tawakal yang sesuai dengan al-Qur'an dan hadits. Dengan adanya dakwah maka kekeliruan dalam memaknai tawakal dapat dikurangi.25

Dalam hubungannya dengan bimbingan dan konseling Islam, bahwa konsep tawakal TM. Hasbi Ash-Shiddiqie dapat dijadikan materi bagi konselor dalam membimbing dan mengkonsel klien yang belum atau sedang menghadapi masalah. Karena konsep tawakal TM. Hasbi Ash-Shiddiqie sesuai asas-asas dan tujuan bimbingan konseling Islam.

Dengan mencermati uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian terdahulu berbeda dengan penelitian yang penulis susun. Perbedaannya yaitu penelitian terdahulu belum mengungkap konsep Imam Al-Gazâlî Ditinjau dari Tujuan Pendidikan Islam.

F. Metodologi Penelitian

Ketepatan menggunakan metode dalam penelitian adalah syarat utama dalam menggunakan data. Apabila seorang mengadakan penelitian kurang tepat metode penelitiannya, maka akan mengalami kesulitan, bahkan tidak akan menghasilkan hasil yang baik sesuai yang diharapkan.

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Penelitian ini menggunakan-jenis penelitian kualitatif. Menurut Arief Fuchan dan Agus Maimun studi tokoh atau sering disebut juga dengan penelitian tokoh atau penelitian riwayat hidup individu merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif.26 Analisis ini akan digunakan dalam usaha mencari dan mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta

25

Mahfudz Yasin berjudul: Analisis Dakwah terhadap Konsep Tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie. (Skripsi: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, tidak diterbitkan)

26

Arief Fuchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 1

(24)

menafsirkan data yang sudah ada. Untuk menguraikan secara lengkap,

teratur dan teliti terhadap suatu obyek penelitian, yaitu menguraikan dan menjelaskan konsep sabar menurut Imam Al-Gazâlî dan hubungannya dengan tujuan pendidikan Islam. Adapun pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan pendidikan tasawuf.27

2. Sumber Data

a. Data Primer yaitu sejumlah buku karya Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII.

b. Data Sekunder yaitu sejumlah literatur yang relevan dengan judul ini, di antaranya: buku-buku, kitab, artikel, internet dan sejumlah data tertulis lainnya.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, peneliti menempuh langkah-langkah melalui riset kepustakaan (library research) yaitu penelitian kepustakaan murni. Metode riset ini dipakai untuk mengkaji sumber-sumber tertulis. Sebagai data primernya adalah karya tulis Imam al-Gazâlî. Di samping itu juga tanpa mengabaikan sumber-sumber lain dan tulisan valid yang telah dipublikasikan untuk melengkapi data-data yang diperlukan. Misalnya kitab-kitab, buku-buku, dan lain sebagainya yang ada kaitannya dengan masalah yang penulis teliti sebagai data sekunder.

4. Metode Analisis Data

Dalam membahas dan menelaah data, penulis menggunakan metode deskriptif analitis yang akan digunakan dalam usaha mencari dan mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta menafsirkan data yang sudah ada, Untuk menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu obyek penelitian, yaitu menguraikan dan menjelaskan pemikiran Imam al-Gazâlî tentang sabar dan hubungannya dengan tujuan pendidikan Islam.

27

Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 235.

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

KONSEP SABAR DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Konsep Sabar

1. Pengertian Sabar

Sabar (al-shabru) menurut bahasa adalah menahan diri dari keluh kesah. Bersabar artinya berupaya sabar. Ada pula al-shibru dengan

meng-kasrah-kan shad artinya obat yang pahit, yakni sari pepohonan yang pahit. Menyabarkannya berarti menyuruhnya sabar. Bulan sabar, artinya bulan puasa. Ada yang berpendapat, "Asal kalimat sabar adalah keras dan kuat.

Al-Shibru tertuju pada obat yang terkenal sangat pahit dan sangat tak enak. Al Ushmu'i mengatakan, "Jika seorang lelaki menghadapi kesulitan secara bulat, artinya la menghadapi kesulitan itu secara sabar. Ada pula Al-Shubru dengan men-dhamah-kan shad, tertuju pada tanah yang subur karena kerasnya.1

Ada pula yang berpendapat, "Sabar itu diambil dari kata mengumpulkan, memeluk, atau merangkul. Sebab, orang yang sabar itu yang merangkul atau memeluk dirinya dari keluh-kesah. Ada pula kata

shabrah yang tertuju pada makanan. Pada dasarnya, dalam sabar itu ada tiga arti, menahan, keras, mengumpulkan, atau merangkul, sedang lawan sabar adalah keluh-kesah.2

Dari arti-arti yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesabaran menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berat, dan pahit, yang harus diterima dan dihadapi dengan penuh tanggung jawab. Berdasar kesimpulan tersebut, para agamawan menurut M. Quraish Shihab merumuskan pengertian sabar sebagai "menahan diri atau

1

Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami, terj. Dadang Sobar Ali, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 342

2

(26)

membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik (luhur)".3

Al-Gazâlî mendefinisikan sabar merupakan sutu proses untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang penuh dengan nafsu syahwat, yang dihasilkan oleh suatu keadaan.4 Menurut Imam al-Gazâlî, sabar adalah kedudukan dari kedudukan agama dan derajat dari derajat-derajat orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah. Dan semua kedudukan agama itu sesungguhnya dapat tersusun dari tiga perkata yaitu: "Ma'rifat, hal ihwal dan amal perbuatan. Ma'rifat adalah pokok dan ia menimbulkan bal ihwal, dan bal ihwal membuahkan amal perbuatan. Ma'rifat adalah seperti pohon dan hal ihwal adalah seperti dahan, dan amal perbuatan itu seperti buah-buahan. Dan ini berlaku pada semua kedudukan orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah Ta'ala. Dan nama iman suatu ketika tertentu dengan ma'rifat dan suatu ketika disebutkan secara keseluruhan sebagaimana kami sebutkan pada perbedaan nama iman dan Islam pada Kitab Kaidah-kaidah Aqidah.5

Terlepas dari pandangan Imam al-Ghazali di atas, namun dapat disimpulkan bahwa al-Quran mengajak kaum muslimin agar berhias diri dengan kesabaran. Sebab, kesabaran mempunyai faedah yang besar dalam membina jiwa, memantapkan kepribadian, meningkatkan kekuatan manusia dalam menahan penderitaan, memperbaharui kekuatan manusia dalam menghadapi berbagai problem hidup, beban hidup, musibah, dan bencana, serta menggerakkan kesanggupannya untuk terus-menerus berjihad dalam rangka meninggikan kalimah Allah .SWT

2. Macam-Macam Sabar

Dilihat dari lemah dan kuatnya sabar, Imam al-Gazâlî membaginya ke dalam tiga kategori: pertama, bahwa ia memaksakan penggerak hawa

3 M.Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 165-166. 4

Al-Gazâlî, Ihya Ulumuddin, Terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1982), hlm. 275

5

Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, (Semarang: CV Asy-Syifa, 1994), hlm. 323.

(27)

nafsu, lalu penggerak hawa nafsu itu tidak lagi mempunyai kekuatan untuk melawan. Kedua, bahwa menanglah penggerak-penggerak hawa nafsu dan jatuhlah perlawanan penggerak agama, jadi dalam hal ini kesabaran dapat terkalahkan oleh hawa nafsu yang kemudian menyebabkan jatuhnya kesabaran, lalu ia menyerahkan dirinya kepada tentara syetan dan ia tidak berjuang (bermujahadah). Ketiga, bahwa peperangan itu adalah menjadi hal yang biasa diantara dua tentara, sekali ia memperoleh kemenangan atas peperangan dan pada waktu yang lain peperangan itu mengalahkannya.

Uraian kuat dan lemahnya sabar tersebut mengandung suatu pengertian bahwa terjadinya tarik menarik antara memenuhi hawa nafsu dan meninggalkannya dengan pilihan sabar. Namun sebagai manusia biasa, pada suatu waktu hawa nafsu itu mendominasi sehingga manusia cenderung memenuhi nafsu syahwatnya dan terkadang pula hawa nafsu itu dapat diredam.

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, sabar ini ada tiga macam: Sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari kedurhakaan kepada Allah, dan sabar dalam ujian Allah. Dua macam yang pertama merupakan kesabaran yang berkaitan dengan tindakan yang dikehendaki dan yang ketiga tidak berkait dengan tindakan yang dikehendaki.6

Menurut Yusuf Qardawi, dalam al-Qur'an terdapat banyak aspek kesabaran yang dirangkum dalam dua hal yakni menahan diri terhadap yang disukai dan menanggung hal-hal yang tidak disukai:7

1. Sabar terhadap Petaka Dunia

Cobaan hidup, baik fisik maupun non fisik, akan menimpa semua orang, baik berupa lapar, haus, sakit, rasa takut, kehilangan orang-orang yang dicintai, kerugian harta benda dan lain sebagainya. Cobaan seperti itu bersifat alami, manusiawi, oleh sebab itu tidak ada

6

Ibnu Qayyim Jauziyah, Madarijus Salikin, Pendakian Menuju Allah: Penjabaran Konkrit: Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in, hlm.206.

7

Yusuf Qardawi, al-Qur'an Menyuruh Kita Sabar, Terj. Aziz Salim Basyarahil, (Jakarta: Gema Insani Press, 1990), hlm. 39.

(28)

seorangpun yang dapat menghindar. Yang diperlukan adalah menerimanya dengan penuh kesabaran, seraya memulangkan segala sesuatunya kepada Allah SWT. Allah berfirman:

Artinya: "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang-orang-orang yang apabila ditimpa. musibah, mereka mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-Baqarah/2: 155-157).8

2. Sabar terhadap Gejolak Nafsu

Hawa nafsu menginginkan segala macam kenikmatan hidup, kesenangan dan kemegahan dunia. Untuk mengendalikan segala keinginan itu diperlukan kesabaran. Jangan sampai semua kesenangan hidup dunia itu membuat seseorang lupa diri, apalagi lupa Tuhan. Al-Qur'an mengingatkan, jangan sampai harta benda dan anak-anak (di antara yang diinginkan oleh hawa nafsu manusia) menyebabkan seseorang lalai dari mengingat Allah SWT.

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta.-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.

(29)

Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. " (QS. Al-Munafiqun 63: 9).9

3. Sabar dalam Ta'at kepada Allah SWT

Dalam menta'ati perintah Allah, terutama dalam beribadah kepada-Nya diperlukan kesabaran. Allah berfirman:

Artinya: "Tuhan langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?" (QS. Maryam 19: 65).10

Penggunaan kata ishthabir dalam ayat di atas bentuk

mubalaghah dari ishbir menunjukkan bahwa dalam beribadah diperlukan kesabaran yang berlipat ganda mengingat banyaknya rintangan baik dari dalam maupun luar diri.11

4. Sabar dalam Berdakwah

Jalan dakwah adalah jalan panjang berliku-liku yang penuh dengan segala onak dan duri. Seseorang yang melalui jalan itu harus memiliki kesabaran. Luqman Hakim menasehati puteranya supaya bersabar menerima cobaan dalam berdakwah.

Artinya: "Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk

9

Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahny, hlm. 936.

10 Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 462. 11

(30)

hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS. Luqman/31:17).12

5. Sabar dalam Perang

Dalam peperangan sangat diperlukan kesabaran, apalagi menghadapi musuh yang lebih banyak atau lebih kuat. Dalam keadaan terdesak sekalipun, seorang prajurit Islam tidak boleh lari meninggalkan medan perang, kecuali sebagai bagian dari siasat perang (QS. Al-Anfal 8: 15-16). Di antara sifat-sifat orang-orang yang bertaqwa adalah sabar dalam peperangan:

Artinya: "...dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang-orang-orang yang bertaqwa." (QS. Al-Baqarah/2: 177).13

6. Sabar dalam Pergaulan

Dalam pergaulan sesama manusia baik antara suami isteri, antara orang tua dengan anak, antara tetangga dengan tetangga, antara guru dan murid, atau dalam masyarakat yang lebih luas, akan ditemui hal-hal yang tidak menyenangkan atau menyinggung perasaan. Oleh sebab itu dalam pergaulan sehari-hari diperlukan kesabaran, sehingga tidak cepat marah, atau memutuskan hubungan apabila menemui hal-hal yang tidak disukai. Kepada para suami diingatkan untuk bersabar terhadap hal-hal yang tidak dia sukai pada diri isterinya, karena boleh jadi yang dibenci itu ternyata mendatangkan banyak kebaikan.14

12 Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 653. 13 Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 70. 14

(31)

Artinya: "...Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (QS. An-Nisa'/4:19).15

Adapun tingkatan orang sabar ada tiga macam: pertama, orang yang dapat menekan habis dorongan hawa nafsu hingga tidak ada perlawanan sedikitpun, dan orang itu bersabar secara konstan. Mereka adalah orang yang sudah mencapai tingkat shiddiqin. Kedua; Orang yang tunduk total kepada dorongan hawa nafsunya sehingga motivasi agama sama sekali tidak dapat muncul. Mereka termasuk kategori orang-orang yang lalai (alghofilun). Ketiga; Orang yang senantiasa dalam konflik antara dorongan hawa nafsu dengan dorongan keberagamaan. Mereka adalah orang yang mencampuradukkan kebenaran dengan kesalahan.16

Secara psikologis, tingkatan orang sabar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: Pertama; orang yang sanggup meninggalkan dorongan syahwat. Mereka termasuk kategori orang-orang yang bertaubat (at taibin). Kedua; orang yang ridla (senang/puas) menerima apa pun yang ia terima dari Tuhan, mereka termasuk kategori zahid. Ketiga; orang yang mencintai apa pun yang diperbuat Tuhan untuk dirinya, mereka termasuk kategori

shidddiqin.17

3. Keutamaan Sabar

Seorang mukmin yang sabar tidak akan berkeluh kesah dalam menghadapi segala kesusahan yang menimpanya serta tidak akan menjadi lemah atau jatuh gara-gara musibah dan bencana yang menderanya. Allah SWT telah mewasiatkan .kesabaran kepadanya serta mengajari bahwa apa

15

Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 116.

16

Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, hlm. 74.

(32)

pun yang menimpanya pada kehidupan dunia hanyalah merupakan cobaan dari-Nya supaya diketahui orang-orang yang bersabar.18

Kesabaran mengajari manusia ketekunan dalam bekerja serta mengerahkan kemampuan untuk merealisasikan tujuan-tujuan amaliah dan ilmiahnya. Sesungguhnya sebagian besar tujuan hidup manusia, baik di bidang kehidupan praksis misalnya sosial, ekonomi, dan politik maupun dl bidang penelitian ilmiah, membutuhkan banyak waktu dan banyak kesungguhan. Oleh sebab itu, ketekunan dalam mencurahkan kesungguhan serta kesabaran dalam menghadapi kesulitan pekerjaan dan penelitian merupakan karakter penting untuk meraih kesuksesan dan mewujudkan tujuan-tujuan luhur.19

Sifat sabar dalam Islam menempati posisi yang istimewa. Al-Qur'an mengaitkan sifat sabar dengan bermacam-macam sifat mulia lainnya. Antara lain dikaitkan dengan keyakinan (QS. As-Sajdah 32: 24), syukur (QS. Ibrahim 14:5), tawakkal (QS. An-Nahl 16:41-42) dan taqwa (QS. Ali 'Imran 3:15-17). Mengaitkan satu sifat dengan banyak sifat mulia lainnya menunjukkan betapa istimewanya sifat itu. Karena sabar merupakan sifat mulia yang istimewa, tentu dengan sendirinya orang-orang yang sabar Juga menempati posisi yang istimewa. Misalnya dalam menyebutkan orang-orang beriman yang akan mendapat surga dan keridhaan Allah SWT, orang-orang yang sabar ditempatkan dalam urutan pertama sebelum yang lain-lainnya.20 Perhatikan firman Allah berikut ini:

18

Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur'an, Terapi Qur'ani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, Terj. Zaka al-Farisi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), hlm. 467.

19

Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur'an, Terapi Qur'ani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, hlm. 471.

20

(33)

Artinya: "Katakanlah" "Inginkan aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu". Untuk orang-orang yang bertaqwa, pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan ada pula pasangan-pasangan yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. Yaitu orang-orang yang berdo'a: "Ya Tuhan Kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka. Yaitu orang-orang yang sahar, yang benar, yang tetap ta'at, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur." (QS. Ali 'Imran 3:15-17).21

Di samping itu, setelah menyebutkan dua belas sifat hamba-hamba yang akan mendapatkan kasih sayang dari Allah SWT (dalam Surat Al-Furqan 25: 63-74), Allah SWT menyatakan bahwa mereka akan mendapatkan balasan surga karena kesabaran mereka. Artinya untuk dapat memenuhi dua belas sifat-sifat tersebut diperlukan kesabaran.22

(

Artinya: "Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya". (QS. Al-Furqan/25: 75).23

Di samping segala keistimewaan itu, sifat sabar memang sangat dibutuhkan sekali untuk mencapai kesuksesan dunia dan Akhirat. Seorang mahasiswa tidak akan dapat berhasil mencapai gelar kesarjanaan tanpa sifat sabar dalam belajar. Seorang peneliti tidak akan dapat menemukan

21

Soenayo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.77.

22

Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, hlm. 139.

23

(34)

penemuan-penemuan ilmiah tanpa ada sifat sabar dalam penelitiannya. Demikianlah seterusnya dalam seluruh aspek kehidupan.24

Lawan dari sifat sabar adalah al-jaza'u yang berarti gelisah, sedih, keluh kesah, cemas dan putus asa, sebagaimana dalam firman Allah SWT:

Artinya: "...Sama saja bagi kita, mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri." (QS. Ibrahim/14: 21).25

Artinya: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat." (QS. Al-Ma'arij/70: 19-22).26

Ketidaksabaran dengan segala bentuknya adalah sifat yang tercela. Orang yang dihinggapi sifat ini, bila menghadapi hambatan dan mengalami kegagalan akan mudah goyah, berputus asa dan mundur dari medan perjuangan. Sebaliknya apabila mendapatkan keberhasilan juga cepat lupa diri. Menurut ayat di atas, kalau ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, kalau mendapat kebaikan ia amat kikir. Semestinyalah setiap Muslim dan Muslimah menjauhi sifat yang tercela ini.27

B. Pendidikan Islam

1. Pengertian Pendidikan Islam

Maulana Muhammad Ali dalam bukunya The Religion of Islam

menegaskan bahwa Islam mengandung arti dua macam, yakni (1) mengucap kalimah syahadat; (2) berserah diri sepenuhnya kepada

24

Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, hlm. 139.

25

Soenayo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.383..

26

Soenayo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.974.

27

(35)

kehendak Allah.28 Pengertian tersebut jika diawali kata pendidikan sehingga menjadi kata "pendidikan Islam" maka terdapat berbagai rumusan.

Menurut Arifin, pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang bersifat progresif menuju ke arah kemampuan optimal anak didik yang berlangsung di atas landasan nilai-nilai ajaran Islam.29 Sementara Achmadi memberikan pengertian, pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.30

Abdur Rahman Saleh memberi pengertian juga tentang pendidikan Islam yaitu usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi dalam pengabdiannya kepada Allah.31 Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, pendidikan Islam adalah penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk taat pada Islam dan menerapkannya secara sempurna di dalam kehidupan individu dan masyarakat. Pendidikan Islam merupakan kebutuhan mutlak untuk dapat melaksanakan Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Berdasarkan makna ini, maka pendidikan Islam mempersiapkan diri manusia guna melaksanakan amanat yang dipikulkan kepadanya. Ini berarti, sumber-sumber Islam dan pendidikan Islam itu sama, yakni yang terpenting, al-Qur’an dan Sunnah Rasul.32

28

Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, (USA: The Ahmadiyya Anjuman Ishaat Islam Lahore, 1990), hlm. 4.

29

M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 4.

30

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 28-29.

31

Abdur Rahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi, (Jakarta: PT Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hlm. 2-3.

32

Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: CV.Diponegoro, 1996), hlm. 41.

(36)

Dilihat dari konsep dasar dan operasionalnya serta praktek penyelenggaraannya, maka pendidikan Islam pada dasarnya mengandung tiga pengertian:

Pertama, pendidikan Islam adalah pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami, yakni pendidikan yang difahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam pengertian yang pertama ini, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut atau bertolak dari spirit Islam.

Kedua, pendidikan Islam adalah pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan hidup) dan sikap hidup seseorang. Dalam pengertian yang kedua ini pendidikan islam dapat berwujud (1) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan dan menumbuh-kembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya; (2) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya adalah tertanamnya dan atau tumbuh-kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak.33

Ketiga, pendidikan Islam adalah pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam realitas sejarah umat Islam. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam dalam realitas sejarahnya mengandung dua kemungkinan, yaitu pendidikan Islam tersebut benar-benar dekat dengan idealitas Islam atau mungkin mengandung jarak atau kesenjangan dengan idealitas Islam.34

Walaupun istilah pendidikan Islam tersebut dapat dipahami secara berbeda, namun pada hakikatnya merupakan satu kesatuan dan mewujud

33

Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 23-24.

34

(37)

secara operasional dalam satu sistem yang utuh. Konsep dan teori kependidikan Islam sebagaimana yang dibangun atau dipahami dan dikembangkan dari al-Qur’an dan As-sunnah, mendapatkan justifikasi dan perwujudan secara operasional dalam proses pembudayaan dan pewarisan serta pengembangan ajaran agama, budaya dan peradaban Islam dari generasi ke generasi, yang berlangsung sepanjang sejarah umat Islam.35

Kalau definisi-definisi itu dipadukan tersusunlah suatu rumusan pendidikan Islam, yaitu: pendidikan Islam ialah mempersiapkan dan menumbuhkan anak didik atau individu manusia yang prosesnya berlangsung secara terus-menerus sejak ia lahir sampai meninggal dunia. Yang dipersiapkan dan ditumbuhkan itu meliputi aspek jasmani, akal, dan ruhani sebagai suatu kesatuan tanpa mengesampingkan salah satu aspek, dan melebihkan aspek yang lain. Persiapan dan pertumbuhan itu diarahkan agar ia menjadi manusia yang berdaya guna dan berhasil guna bagi dirinya dan bagi umatnya, serta dapat memperoleh suatu kehidupan yang sempurna.

Dengan melihat keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam adalah segenap upaya untuk mengembangkan potensi manusia yang ada padanya sesuai dengan al-Qur'an dan hadis.

2. Landasan Pendidikan Islam

Dasar pendidikan Islam dapat dibedakan kepada; (1) Dasar ideal, dan (2) Dasar operasional.36

Dasar ideal pendidikan Islam adalah identik dengan ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Kemudian dasar tadi dikembangkan dalam pemahaman para ulama dalam bentuk :

35

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 30.

36

(38)

(1) Al-Qur'an

Al-Qur'an sebagaimana dikatakan Manna Khalil al-Qattan dalam kitabnya Mabahis fi Ulum al-Qur'an adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad Saw untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.37 Semua isi Al-Qur’an merupakan syari’at, pilar dan azas agama Islam, serta dapat memberikan pengertian yang komprehensif untuk menjelaskan suatu argumentasi dalam menetapkan suatu produk hukum, sehingga sulit disanggah kebenarannya oleh siapa pun.38

(2) Sunnah (Hadis)

Dasar yang kedua selain Al-Qur'an adalah Sunnah Rasulullah. Amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW dalam proses perubahan hidup sehari-hari menjadi sumber utama pendidikan Islam karena Allah SWT menjadikan Muhammad sebagai teladan bagi umatnya. Firman Allah SWT.

"Di dalam diri Rasulullah itu kamu bisa menemukan teladan yang baik..." (Q.S.Al-Ahzab:21).39

Muhammad 'Ajaj al-Khatib dalam kitabnya Usul al-Hadis 'Ulumuh wa Mustalah menjelaskan bahwa as-sunnah dalam terminologi ulama' hadis adalah segala sesuatu yang diambil dari Rasulullah SAW., baik yang berupa sabda, perbuatan taqrir, sifat-sifat fisik dan non fisik atau sepak

37

Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur'an, (Mansurat al-A'sr al-Hadis, 1973), hlm. 1.

38

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, Terj. M.Thohir dan Team Titian Ilahi, (Yogyakarta: Dinamika,1996), hlm. 16.

39

(39)

terjang beliau sebelum diutus menjadi rasul, seperti tahannuts beliau di Gua Hira atau sesudahnya.40

(3) Perkataan, Perbuatan dan Sikap Para Sahabat

Pada masa Khulafa al-Rasyidin sumber pendidikan dalam Islam sudah mengalami perkembangan. Selain Al-Qur'an dan Sunnah juga perkataan, sikap dan perbuatan para sahabat. Perkataan mereka dapat dipegang karena Allah sendiri di dalam Al-Qur'an yang memberikan pernyataan.

Firman Allah:

"Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Allah dan Allah menjadikan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar". (Q.S. Al-Taubah: 100) 41

Dalam Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, Ibnu Katsir menerangkan bahwa Allah Swt. menceritakan tentang rida-Nya kepada orang-orang yang terdahulu masuk Islam dari kalangan kaum Muhajirin, Ansar, dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah rida kepada mereka, untuk itu Dia menyediakan bagi mereka surga-surga yang penuh dengan kenikmatan dan kenikmatan yang kekal lagi abadi.42

40

Muhammad 'Ajaj Khatib, Usul Hadis 'Ulumuh wa Mustalah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 19.

41

Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 532

42

Isma'il ibn Katsir al-Qurasyi Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azim, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1978), Jilid 11, hlm. 9.

(40)

Firman Allah SWT:

"Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama dengan orang yang benar." (Q.S. Al-Taubah: 119)43

Ibnu Katsir menerangkan bahwa jujurlah kalian dan tetaplah kalian pada kejujuran, niscaya kalian akan termasuk orang-orang yang jujur dan selamat dari kebinasaan serta menjadikan bagi kalian jalan keluar dari urusan kalian.44

(4) Ijtihad

Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Usûl al-Fiqh

mengemukakan bahwa ijtihad artinya adalah upaya mengerahkan seluruh kemampuan dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan. Ijtihad menurut ulama usul ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.45 Sehubungan dengan itu, Nicolas P.Aghnides dalam bukunya, The Background Introduction to Muhammedan Law menyatakan sebagai berikut:

The word ijtihad means literally the exertion of great efforts in order to do a thing. Technically it is defined as "the putting forth of every effort in order to determine with a degree of probability a question of syari'ah."It follows from the definition that a person would not be exercising ijtihad if he arrived at an 'opinion while he felt that he could exert himself still more in the investigation he is carrying out. This restriction, if comformed to, would mean the realization of the utmost degree of thoroughness. By extension, ijtihad also means the opinion rendered. The person exercising ijtihad is called mujtahid. and the question he is considering is called mujtahad-fih.46

43

Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 534

44

Isma'il ibn Katsir al-Qurasyi Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azim, Jilid 11, hlm. 95.

45

Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, (Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958), hlm. 379.

46

Nicolas P. Aghnides, The Background Introduction To Muhammedan Law, New York: Published by The Ab. "Sitti Sjamsijah" (Publishing Coy Solo, Java, with the authority – license of Columbia University Press), hlm. 95

(41)

Perkataan ijtihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh melaksanakan sesuatu. Secara teknis diartikan mengerahkan setiap usaha untuk mendapatkan kemungkinan kesimpulan tentang suatu masalah syari'ah". Dari definisi ini maka seseorang tidak akan melakukan ijtihad apabila dia telah mendapat suatu kesimpulan sedangkan dia merasa bahwa dia dapat menyelidiki lebih dalam tentang apa yang dikemukakannya. Pembatasan ini akan berarti suatu penjelmaan bagi suatu penyelidikan yang sedalam-dalamnya. Jika diperluas artinya maka ijtihad berarti juga pendapat yang dikemukakan. Orang yang melakukan ijtihad dinamai mujtahid dan persoalan yang dipertimbangkannya dinamai mujtahad-fih.

Dari pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa ijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan mempergunakan daya kemampuan intelektual serta menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang resmi, yaitu al-Qur'an dan hadis.

3. Tujuan Pendidikan Islam

Dalam pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.47

Menurut Arifin, pendidikan Islam secara filosofis berorientasi kepada nilai-nilai islami yang bersasaran pada tiga dimensi hubungan manusia selaku "khalifah" di muka bumi, yaitu sebagai berikut.

a. Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan Tuhannya.

47

Undang-Undang RI No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: BP. Cipta Jaya, 2003), hlm. 7.

Referensi

Dokumen terkait

Kualitas air baku (TDS) RO tahap 1 (desalinasi) bervariasi sesuai dengan musim, jika musim hujan TDS air baku menjadi rendah sampai 500 mg/l karena resapan air hujan ke sumur air

Mempertimbangkan perbedaan antara tuntutan yang benar-benar tuntutan (biasanya mencerminkan kebutuhan individu) dan kebutuhan artifisial (hasil dari

Pada penelitian “Keragaman Makna Politik dan Kekuasaan Cerpen „Sepotong Bibir paling Indah di Dunia‟ Karya Agus Noor: Kajian Semiotik Roland Barthes”, penelitian

Di sekolah, perilaku yang dianggap menyimpang ialah perilaku yang melanggar aturan yang telah diberikan oleh sekolah dan telah dimuat dalam tata tertib yang

Tujuan : mengetahui p& sediaan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan Prinsip : pengukuran p& cairan uji menggunakan p& meter yang telah dikalibrasi

Aku juga menyaksikan tepat disamping rumah kami tanah kosong—yang dulunya dijanjikan taman bermain anak dan kolam renang oleh pengembang, meski tidak terealisasi namun masih dapat

Murid- murid nakal yang suka melanggar disiplin lebih berani dan bebas melakukan perbuatan yang melanggar peraturan dan undang-undang kerana mereka tahu guru-guru tidak

Bahwa seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, penyelenggaraan pelayanan publik diharuskan