• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN PERTAMBAKAN PADA LAHAN HUTAN MANGROVE DAN UPAYA PENGHIJAUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGELOLAAN PERTAMBAKAN PADA LAHAN HUTAN MANGROVE DAN UPAYA PENGHIJAUAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Oseana, Volume XXVI, Nomor 1, 2001 : 9 - 16 ISSN 0216- 1877

PENGELOLAAN PERTAMBAKAN PADA LAHAN HUTAN

MANGROVE DAN UPAYA PENGHIJAUAN

Oleh Pramudji1)

ABSTRACT

THE MANGROVE FOREST FISHPOND MANAGEMENT AND THE EFFORT TO REFORESTING. Mangrove forest plays an important role for the sustaining of development based on environment principles beside has o function to protect of sustaining of forest ecosystem and community of coastal region, even so give directly to the society.

Fishpond pattern and kinds of commodity must be followed by the regulation to ovoid decreasing fish or shrimp production, so that the function of the mangrove forest can be reached optimally and continuously.

Concerning to the benefit of mangrove forest, it can not be seen from the economical aspect only, because the role of mangrove forest is not replaceable and therefore needs a very high opportunity coast.

Discipline of all interlaced members in connection with establishing and the sustaining of mangrove forest must be ascended

GAMBARAN UMUM HUTAN MANGROVE Hutan mangrove oleh SUKARDJO (1999) didefinisikan sebagai suatu kelompok tumbuhan yang terdiri dari berbagai macam jenis dan suku yang berbeda, tetapi mempunyai kemampuan adaptasi morfologi dan fisiologi yang sama terhadap lingkungan pesisir yang ekstrim. Berbagai macam bentuk adaptasi morfologi dari tumbuhan mangrove antara lain dapat dilihat dari tipe perakaran jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora

stylosa dengan "prop root dan drop root" nya, jenis Sonneratia sp, Avicennia sp mempunyai pneumatophore, dan jenis Bruguiera sp. Ceriops sp memiliki akar lutut. Disamping tipe perakaran tumbuhan mangrove, adaptasai morfologi juga dapat dilihat pada biji tumbuhan mangrove yang berkecambah ketika masih menempel pada pohon. Kondisi ini memudahkan dan membantu biji tumbuhan mangrove untuk berkembang biak pada saat biji jatuh dan menancap ke substrat.

(2)

Sedangkan ekosistem hutan mangrove didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang terdiri dari gabungan komponen daratan dan komponen laut, yang didalamnya temasuk flora dan fauna yang hidup berdampingan dan saling membutuhkan satu dengan lainnya (BUJANG dkk. 1994). Komponen fauna biasanya hidup menempel pada pneumato-phore tumbuhan mangrove, akar, batang, lumpur dan juga hidup diperairan sekitar hutan mangrove. Sedangkan komponen floranya hidup di daerah berlumpur (jenis Avicennia marina, Rhizophora stylosa, Nypa fruticans), berpasir dan berair (jenis Sonneratia alba), pada lumpur yang mengering (Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Rhizophora apiculata) atau pada pasir-lumpur yang mengering (Aegiceras corniculatum, Ipomea pescaprae).

Indonesia merupakan negara yang memiliki panjang garis pantai sekitar 81.000 km dan ditumbuhi hutan mangrove yang cukup luas, namun konsentrasi luasan hutan mangrove tersebut hanya pada Pulau Irian, Pulau Kalimantan dan Sumatera, serta pada beberapa daerah teluk atau daerah muara sungai. Hutan mangrove ini umumnya berkembang di daerah pantai yang terlindung dan keberadaanya bergantung kepada adanya aliran air tawar dan sedimentasi dari darat termasuk didalamnya limbah akibat kegiatan manusia seperti pencemaran, perkebunan dan pertanian. Luas hutan mangrove di Indonesia masih belum diketahui secara pasti, misalnya DARSIDI (1987) memperkirakan sekitar 4.250.000 hektar, namun estimasi ini masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh GIESEN (1993), yaitu kurang lebih sekitar 2.490.185 hektar. Perbedaan luas ini kemungkinan disebabkan karena selama kurun waktu kurang lebih sekitar 6 tahun. telah terjadi pemanfaatan hutan mangrove untuk pertambakan, pertanian dan perkebunan, lokasi pertambangan, pembuatan garam serta kegiatan

pem-bangunan lainnya, sehingga luas areal hutan mangrove berkurang secara drastis. PRAMUDJI (1997; 1999) menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan mangrove beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat, terutama dari sektor perikanan yang menggunakan lahan mangrove tersebut untuk kegiatan pertambakan yang tidak memperhatikan dampak yang akan muncul.

Sebenarnya telah banyak diketahui bahwa peranan hutan mangrove adalah sangat penting bagi masyarakat yang hidup disekitarnya, karena secara langsung hutan tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan hidup mereka, misalnya untuk kayu bakar, kayu bangunan bahkan konon dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan. Secara tidak langsung, hutan man-grove juga mempunyai berbagai peranan yang cukup berarti bagi ekologi perairan yang didasarkan pada produksi bahan organik yang berupa serasah, yang seterusnya akan menopang kehidupan berbagai macam biota laut (COULIER & ALLAWAY 1999; HEALD 1971;SNEDAKER 1978).

PERANAN HUTAN MANGROVE

Hutan mangrove sebagai sumber bagi biota aquatik

Ekosistem hutan mangrove dikenal sebagai ekosistem pesisir yang memiliki produktivitas yang tinggi, karena mangrove mampu memberikan kontribusi nutrisi yang dibutuhkan oleh berbagai macam biota laut yang hidup disekitar perairan hutan man-grove. Daun mangrove yang gugur atau serasah akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme (misalnya protozoa dan bacteri), dan kemudian diuraikan menjadi komponen bahan-bahan organik yang lebih sederhana. Komponen inilah akhirnya menjadi sumber makanan bagi berbagai macam biota aquatik, misalnya moluska. udang, ikan,

(3)

kepiting dan biota laut lainnya. Hubungan positip antara hutan mangrove dengan produksi udang dalam penelitian yang dilakukan oleh MARTOSUBROTO & NAAAMIN (1977) adalah merupakan bukti bahwa hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi dan mempunyai kontribusi terhadap kesuburan perairan sekitar hutan mangrove.

Dibandingkan dengan hutan hujan tropis lainnya. biomas hutan mangrove jauh lebih kecil, namun jika dilihat dari produktivitasnya, hutan mangrove mem-p un yai n ilai leb ih tin ggi (BUDIMAN & PRAWIROATMODJO 1 9 9 2 ) . BROTONAGORO & ABDUL KADlR (1979) melaporkan hasil penelitiannya di hutan man-grove Pulau Rambut, bahwa serasah hutan

mangrove mencapai dua kali lipat bila dibandingkan dengan hutan daratan di Cibodas. Serasah yang dihasilkan hutan man-grove merupakan sumber karbon dan nitro-gen bagi hutan mangrove itu scndiri maupun terhadap perairan disekitarnya.

lnteraksi hutan mangrove dengan lingkungannya mampu menciptakan kondisi yang sesuai bagi berlangsungnya proses biologi beberapa organisme aquatik. Daerah perairan hutan mangrove yang diduga memberikan tempat berlangsungnya proses biologi biota laut, apabila lingkungannya relatif stabil dan tidak terlalu berfluktuatif, tergenang pada periode dan kedalaman tertentu serta tersedianya makanan bagi larva dan udang.

Hutan mangrove

Gambar : Hubungan saling membutuhkan antara berbagai komponen yang menghuni pada ekosistem hutan mangrove (modifikasi dari SUGIARTO & EKARIYONO 1996)

(4)

Hutan mangrove sebagai habitat sumberdaya ikan.

Hutan mengrove merupakan daerah perikanan yang cukup subur di sepanjang pesisir. Ekosistem mangrove tidak hanya melengkapi penyediaan makanan bagi biota, akan tetapi ikut berperan dalam membantu proses pendauran serasah yang melibatkan sejumlah besar mikro dan makroorganisme, sehingga konsisi tersebut memberikan iklim yang baik bagi kehidupan biota itu sendiri. Disebutkan oleh RIDD et. al. (1990) dan LUGO & SNEDAKER (1974), bahwa secara ekologis hutan mangrove memegang kunci dalam perputaran nutrien dan hara pada perairan pantai disekitar mangrove, ha1 ini karena adanya pergerakkan air pasang-surut yang masuk dan meninggalkan kawasan mangrove.

Disamping itu, ekosistem hutan man-grove merupakan tempat untuk mencari makan dan bertelornya biota laut, seperti ikan, udang, moluska dan biota lainnya. Daerah ini juga dimanfaatkan sebagai perlindungan bagi larva ikan, udang dan moluska, yang sekaliguss juga sebagai tempat untuk pembesaran anakan ikan.

Hutan mangrove sebagai stabilitas daerah pesisir.

Nilai penting lain dari hutan mangrove adalah dalam bentuk-bentuk fungsi ekologis yang sangat penting bagi stabilitas kawasan pesisir, antara lain dalam peran dan kemampuannya dalam pengendalian erosi pantai dan bahkan ikut berperan dalam penambahan perluasan hutan. Peranan hutan mangrove dalam menghimpun sedimen dalam proses peninggian teras-teras pantai dan penambahan luas areal hutan ini merupakan bukti dari suatu teori yang mengungkapkan bahwa hutan mangrove adalah hutan yang paling dinamis di kawasan tropis.

Hutan mangrove sudah dikenal sebagai hutan yang paling dinamis, memiliki

kemampuan dalam menjaga stabilitas sediment, dan masa lumpur yang terbawa aliran sungai dapat diendapkan diantara perakaran mang-rove, yang secara tidak langsung dapat melindungi padang lamun dan terumbu karang yang berada di sekitar hutan mangrove. Tumbuhan mangrove, seperti jenis Sonneratia sp. Avicennia sp dan Rhizophora sp memiliki perakaran yang mampu meredam hambatan ombak dan mempercepat dalam pengendapan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai. Peran hutan mangrove yang sangat besar tersebut akan hilang apabila vegetasinya dibabat habis. atau dikonversi menjadi berbagai macam kegiatan pembangunan lainnya.

USAHA PERTAMBAKAN DAN PERMASALAHAN

Hutan mangrove yang dikenal sebagai salah satu ekosistem hutan tropis yang unik dan sangat komplek tersebut merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat potensial dan menjanjikan untuk dikelola, karena hutan mangrove mampu memberikan sumbangsih yang cukup bermanfaat bagi kehidupan masyarakat pesisir. Hutan mangrove ini pada dasarnya memiliki nilai yang sangat berarti dan bermanfaat, baik itu ditinjau dari aspek ekonomi, ekologi maupun aspek sosial.

Hutan mangrove sudah sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat pantai sebagai penghasil kayu bangunan, kayu bakar, pertanian dan pertambakan udang/ikan dengan pengelolaan secara tradisional. Dalam perkembangan selanjutnya, pemanfaatan lahan hutan mangrove tersebut bekembang ke arah bentuk usaha yang bersifat hanya mementingkan aspek komersial saja. yaitu dengan mengkonversi hutan mangrove secara besar-besaran. Menurut ALIKODRA (1998). konversi lahan mangrove terbesar digunakan untuk mendukung kegiatan pertambakan udang, yang pada tahun 1977 diperkirakan mencapai sekitar 174.605 hektar, dan pada

(5)

tahun 1993 meningkat menjadi 268.743 hektar. Dilaporkan oleh PARRY (1996). bahwa produksi udang di Indonesia pada tahun 1983 (Penaeus monodon. P. merguensis dan Metapenaeid sp) mencapai 27.595 ton, kemudian meningkat menjadi sebesar 105.906 ton pada tahun 1990. Konsekuensi dari meningkatnya produksi udang tambak di Indonesia adalah semakin meluasnya penggunaan lahan mangrove untuk pertambakan. Selain itu, tingginya harga udang di pasaran Internasional dan kebutuhan akan peningkatan komoditi ekspor negara kita, juga akan memacu dalam pemanfaatan lahan mangrove.

Usaha peningkatan pendayagunaan hutan mangrove untuk usaha pertambakan tersebut sebetulnya mempunyai peran ganda, yaitu selain meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat nelayan, usaha ini juga dapat meningkatkan penyediaan pangan khususnya protein hewani serta meningkatkan devisa negara. SUMARHANI (1994) melaporkan, bahwa sejak tahun 1987 dengan adanya kebijaksanaan pemerintah didalam menggalakkan komoditi ekspor udang, maka lahan mangrove banyak yang dikonversi menjadi pertambakan secara intensif. Pertambakan secara intensif yang mempergunakan peralatan pompa untuk pengambilan air laut yang tidak terkendali, dampaknya adalah mengakibatkan instrusi air laut ke daratan. Akibat pemanfaatan lahan dalam skala besar dan tidak terkontrol tersebut akan menimbulkan berbagai macam masalah dan keresahan masyarakat, karena air tanah tercemar air laut sehingga tidak layak digunakan untuk keperluan sehari-hari.

Pesatnya pertumbuhan pertambakan ikan maupun udang secara intensif dan dalam skala besar, dengan pola pengelolaan hutan mangrove yang kurang rasional yang hanya memikirkan aspek ekonomi saja, merupakan ancaman yang paling besar dan mengkhawatirkan bagi eksistensi ekosistem

hutan mangrove. Konsekuensinya antara lain adalah menyebabkan kondisi ekosistem pesisir menjadi kritis, keberadaan lahan hutan mangrove semakin terdesak dan arealnya semakin menciut, vegetasi mangrove akan menipis atau rusak dan pada akhirnya produksi nener serta benurnya menjadi menurun atau bahkan akan menghilang.

Walaupun norma-norma dan per-aturan kebijakan pemerintah tentang pemanfaatan lahan hutan mangrove sering dibicarakan dalam pertemuan ilmiah dan diinformasikan khususnya kepada masyarakat pantai, namun sampai saat ini masih tetap terlihat pemanfaatan lahan mangrove yang semakin meningkat dan beragam. Kondisi ini dapat dilihat di sepanjang pantai utara Pulau Jawa, Pulau Lombok barat, Teluk Saleh (Pulau Sumbawa), Sumatera Utara, Riau, Sulawesi Selatan dan beberapa daerah lainnya. Oleh karena itu pembangunan masyarakat nelayan adalah tidak dapat terlepas dari pembangunan masyarakat pada umumnya. Strategi pembangunan masyarakat nelayan seyogyanya dilakukan dengan cara membantu masyarakat untuk dapat membangun dan berkembang atas kemampuan dan kekuatan sendiri, dan dengan didasari pada pengetahuan pengembangan alam lingkungan yang ramah lingkungan dan lestari. Peran serta masyarakat nelayan adalah sangat penting artinya didalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungannya, dalam upaya untuk membantu menangani permasalahan lingkungan dan berbagai aspeknya.

UPAYA REHABILITASI LAHAN

Melihat kenyataan yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, banyak lahan mangrove yang sudah mengalami tekanan dan rusak sebagai akibat berbagai macam aktifiitas manusia, khususnya pertambakan udang dan ikan. Oleh karena itu upaya

(6)

rehabilitasi hutan mangrove merupakan suatu keharusan dan sangat urgen dalam rangka upaya memulihkan dan meningkatkan fungsi perlindungan, pelestarian dan upaya pemanfaatan hutan mangrove secara optimum dan lestari.

Merehabilitasi lahan mangrove pada areal yang sudah rusak atau kritis sebagai akibat penebangan untuk berbagai kepentingan, merupakan suatu tantangan dan tanggung jawab yang besar dan diperlukan biaya serta disiplin yang tinggi. Sampai saat ini, niat untuk menghutankan kembali lahan mangrove yang kondisinya sudah kritis nampaknya sangat rendah. Kalaupun niat itu ada. hanya dalam skala kecil dan selalu dikaitkan dengan biaya yang sangat terbatas, misalnya di daerah Langkat (Sumatera Utara), pantai utara Jawa Barat. Benoa (Bali), Sinjai (Sulawesi Selatan) dan pantai Teluk Ambon (Ambon).

Sebagai contoh program penghijauan lahan mangrove yang telah dllakukan adalah di Pulau Jawa. Pemerintah melibatkan petani dengan cara memberikan tanggung jawab kepada petani, masing-masing seluas 5 hektar (SUROYO 1999). Pemerintah setempat juga memberikan kebijaksanaan, bahwa setiap petani diizinkan untuk membuat tambak seluas 20% dari luas lahan, dan petani diberi kewajiban untuk menanami mangrove 80% dari lahan yang kritis tersebut. Contoh lain adalah rehabilitasi hutan mangrove di daerah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Di daerah ini pemerintah setempat melibatkan sekitar 1.500 masyarakat untuk merehabilitasi lahan seluas 35.000 hektar, dengan dukungan dana APBD dan pihak swasta selaku bapak angkat. Program ini dilakukan dengan cara bahwa setiap kepala keluarga nelayan diberi 20.000 bibit tanaman mangrove untuk ditanam pada lahan seluas 2 hektar.

Rehabilitasi lahan hutan mangrove yang sudah rusak adalah sangat unik dan memerlukan cara khusus. Oleh karena itu,

sebelum program tersebut dilakukan harus diketahui lebih dulu rentang formasi jenis tumbuhan penyusun komunitas mangrove di daerah yang akan dilakukan program penghijauan. Hutan mangrove biasanya terbentuk dari formasi jenis tumbuhan pioner yang tumbuh pada daerah garis pantai yang selalu tergenang oleh air pasang-surut, misalnya Avicennia marina, Sonneratia alba, Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa. Sedangkan formasi yang tumbuh pada daerah yang hanya tergenang pada saat air pasang adalah Bruguiera gymnorrhiza, Aegiceras corniculatu, Lumnitzera littorea. Rhizophora apiculata dan Ceriops tagal.

Kegiatan untuk penghijauan lahan mangrove yang sudah rusak atau kritis kondisinya dapat dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain adalah pengadaan bibit tanaman, seleksi bibit, persemaian dan media semai, pengangkutan, penanaman, pemeli-haraan tanaman dan perlindungan (SUGIARTO & EKARIYONO 1996).

Bibit untuk penghijauan lahan man-grove biasanya diambil langsung dari pohon induk, dan itu harus dipilih dari tumbuhan mangrove yang sehat dan sudah tua. Bibit yang dikumpulkan lebih baik dipilih dari yang sehat dan sudah tua. Bibit yang dikumpulkan dan dimasukkan dalam suatu kontainer (polibag) dan dikelompokan menurut jenisnya. Khusus untuk bibit yang sudah memiliki daun dan akar, pengambilan bibit dilakukan dengan hati-hati, agar akar dari bibit tidak ada yang lecet dan rusak.

Lokasi persemaian sebaiknya tidak jauh dari daerah yang akan direhabilltasi dan terlindung dari pukulan ombak. Untuk bibit dari jenis tumbuhan Rhizophora stylosa Avicennia marina dan Sonneratia alba, lokasi persemaiannya dapat dibuat di daerah bebatasan dengan laut, sedangkan untuk bibit dari jenis Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Aegicerus corniculatum dan Lumnitzera littorea ditempatkan pada daerah

(7)

yang tingkat salinitasnya agak rendah, yaitu pada daerah dibelakang garis pantai. Bila perlu, pembuatan atap bisa dilakukan untuk menghindari sengatan sinar matahari, dan pagar untuk menghindari hama kepiting.

Pemeliharaan dan monitoring tanaman mangrove pada lokasi penghijauan, perlu dilakukan agar supaya diketahui kondisinya dan apabila ada tanaman yang mati dapat segera diganti. Khusus pada lokasi yang ditumbuhi jenis Acrostichum aureum, Achantus ilicifolius dan Derris trifoliate perlu mendapat perhatian, karena jenis ini adalah jenis herba yang sangat cepat pertumbuhannya, sehingga kemungkinan dapat berkompetisi dan menghambat pertumbuhan tanaman penghijauan.

DAFTAR PUSTAKA

ALIKODRA. H. S. 1998. Kebijaksanaan pengelolaan hutan mangrove dilihat dari lingkungan hidup.Proseding Semi-nar. VI Ekosistem Mangrove : 33-34. BROTONEGORO. S. dan S. ABDULKADIR

1979. Penelitian pendahuluan tentang kecepatan gugur daun dan penguraiannya dalam hutan bakau Pulau Rambut. Proseding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove : 81-85. BUDIMAN, A dan S. PRAWIROATMODJO

1992. Penelitian hutan mangrove di Indonesia : Pendayagunaan dan Konservasi. Lokakarya Nasional Penyusunan Program Biologi Kelautan dan Proses Dinamika Pesisir, Semarang, 24-28 November 1992.

BUJANG, J. S., E. KAMAL dan S. OTHMAN 1998. Mangrove: fungsi, manfaat dan pengelolaaonya. Proseding Seminar VI Ekosistem Mangrove : 288-292.

COULTER. D. F. and W. G. ALLAWAY 1979. Litter fall and decomposition in man-grove stand Avicennia marina (Forsh) Viers in Middle Harbour, Sydney. Australia Journal Marine Freshwater Research 30:541 -546.

DARSIDI A. 1987. Perkembangan

pe-manfaatan hutan mangrove di Indone-sia. Proseding Seminar II Ekosistem Mangrove : 27-37.

GIESEN, W. 1993, Indonesian mangroves : An update on remaining area and main management isues. Presented an lnternational Seminar on Coastal zone Management of Small Island Ecosystem. Ambon. 7-10 April 1993. HEALD, E. J. 1971. The production of organic

detricus in the South Florida estuary. University of Miami Sea Grant Tech-nical Bulletin. 6: 1-110.

LUGO. A. E. and S.C. SNEDAKER 1974. The ecology on mangrove. Annual Rev. Ecology and Systematic 5:39-64. MARTOSUBROTO, P. and N. NAAMIN 1977.

Relationship between mangrove forest and commercial shrimp production in Indonesia. Marine Research Indone-sia 18: 81-86.

PARRY, D. E. 1996. National strategy for mangrove project management in In-donesia. Lokakarya Strategi Nasional Pengelolaan Hutan mangrove di In-donesia. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Jakarta. Juni 1996. PRAMUDJI 1997. Mangrove forest in Maluku

province eastern part of lndonesia and the effort to conserve the area. Paper presented on the SIMCOAST Man-aged Ecosystem Workshop on August 1997 in the Philippine

(8)

PRAMUDJI 1999. Hutan mangrove di wilayah Propinsi Maluku dan upaya pelestariannya. Pros. Sem. Tentang Oseanologi dan Ilmu Lingkungan Laut dalam rangka penghargaan kepada Prof Dr. A. Sugiarto : 165-172. RIDD, P. T. E.. E. WOLANSKI and Y.

MAZDA 1990. Longitudinal diffusion in mangrove fringed tidal creeks. Estuarin, Coastal and Science. 31: 541-544.

SNEDAKER, S. C. 1978. Mangrove : Their values and perpetuation. National Resources 14: 6-80.

SUGIARTO dan W. EKARIYONO 1996. Penghijauan Pantai. PT Penebar Swadaya, Anggota IKAPI, Jln. Gunung Sahari III/7, Jakarta : 80 hal.

SUMARHANI 1994. Rehabilitasi hutan man-grove terdegradasi dengan sistem perhutanan nasional. Proseding Ekosistem Mangrove : 110-116. SUKARDJO,S. 1996. Gambaran umum ekologi

mangrove di Indonesia. Lokakarya Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Jakarta 26-27 Juni 1996.

SUROYO 1999. Kondisi dan upaya rehabilitasi mangrove di Indonesia. Proceeding Seminar Tentang Oseanologi & Ilmu Lingkungnn Laut Dalam Rangka Penghargaan Kepadu Prof Dr. A. Sugiarto.: 173-179.

Gambar

Gambar :   Hubungan  saling membutuhkan  antara berbagai komponen yang  menghuni pada  ekosistem hutan mangrove (modifikasi dari SUGIARTO & EKARIYONO 1996)

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Mulyasa (2005a), implementasi kurikulum mencakup tiga.. kegiatan pokok yaitu pengembangan program, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi. Berkenaan dengan pembuatan

Sebagai proses terakhir di hari kedua pertemuan, peserta yang telah dibagi menjadi beberapa kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil evaluasi kegiatan yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas hepatoprotektor ekstrak etanol rimpang temu giring (EERTG) dilihat dari aktivitas ALT, AST dan gambaran

Hasil analisis statistik menunjukkan pengaruh nyata dan positif persepsi, dan kesadaran kesehatan terhadap keinginan membeli produk pangan organik pada umumnya, disamping

IX/2011 TENTANG PENGAKUAN MODEL NOKEN DALAM PEMILUKADA KABUPATEN LANNY JAYA PAPUA PERSPEKTIF TEORI HUKUM MURNI

Kripik Kulit Singkong dengan aneka rasa yang kaya akan insoluble fiber (serat yang tidak larut dalam air) yang bermanfaat untuk memperlancar proses buang air

viii Dalam penelitian ini yang dibahas adalah mengenai salah satu bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yaitu Merek. Merek merupakan suatu tanda yang melekat pada suatu barang

Dari beberapa kasus tersebut merupakan contoh mengenai beberapa kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik UU No.11 Tahun 2008 terhadap