1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki banyak potensi berupa sumber daya kelautan. Usaha pengembangan eksploitasi perairan selalu dilakukan untuk memanfaatkan kelebihan ini. Usaha pemanfaatan sumber daya tersebut bertujuan untuk memakmurkan bangsa dan negara pada umumnya dan para masyarakat sekitar wilayah pantai pada khususnya telah bertahun-tahun menggantungkan hidupnya pada laut. Sektor pertanian Indonesia juga merupakan andalan sebagian besar masyarakat, akan tetapi potensi laut juga menjadi penopang hidup bagi masyarakat yang berada pada daerah dekat pantai.
Karimunjawa merupakan sebuah gugusan kepulauan yang penuh dengan kekayaan alam. Masyarakat setempat yang tinggal di kepulauan tersebut sangat menggantungkan kehidupan mereka dari potensi yang ada. salah satu hal utama yang diandalkan oleh masyarakat setempat adalah sektor perikanan. Keadaan hasil tangkapan yang selalu menurun setiap tahunnya, itu tidak mengubah banyak nelayan yang tetap menggantungkan hidupnya dalam sektor ini.
Berdasarkan data Wildlife Conservation Society (WCS), organisasi nonpemerintahan di bidang konservasi, kelimpahan ikan di zona pemanfaatan Taman Nasional (TN) Karimunjawa dalam lima tahun terakhir terus menurun. Dari 7.268,3 ekor per hektar di tahun 2004, menjadi 6.751 ekor per hektar pada 2007, dan menjadi 6.005 ekor per hektar pada 20091.
2 Meskipun demikian, Karimunjawa tidak berhenti sampai di situ saja dalam menghidupi setiap warganya. Keindahan alam dari Karimunjawa juga mereka manfaatkan sebagai salah satu daya tarik terhadap wisatawan yang ternyata dapat memberikan pemasukan tersendiri. Perekonomian warga Karimunjawa senantiasa terangkat seiring dengan semakin tersebarnya berita tentang keindahan ekowisata Karimunjawa kapal yang biasa digunakan sebagai alat tangkap beralih fungsi menjadi kapal wisata ketika para wisatawan datang.
Berbagai potensi yang diberikan oleh alam Karimunjawa telah memberikan kehidupan banyak penduduk. Dari sekian banyak potensi yang ada di kepulauan ini, ada tiga sektor utama yang menjadi penopang laju perekonomian masyarakat Karimunjawa yaitu sektor perikanan, pariwisata, dan budi daya. Meskipun perikanan di Karimunjawa semakin surut, akan tetapi masih banyak dari penduduk yang tetap bekerja sebagai nelayan. Ketika saya berjalan di daerah dermaga lama pulau Karimunjawa, ada beberapa nelayan yang datang dari melaut dan membawa hasil tangkapan yang cukup banyak. Beberapa kwintal ikan mereka turunkan dari kapal. Memang kapal nelayan yang bersandar di dermaga lebih banyak jumlahnya daripada kapal yang berangkat untuk mencari ikan. Kondisi perekonomian nelayan Karimunjawa semakin terpuruk. Beberapa orang nelayan mengatakan pendapatan mereka sekarang dalam satuan kilogram padahal beberapa tahun yang lalu hasil tangkapan ikan mereka setiap harinya dalam satuan kwintal bahkan ton. Seperti yang diceritakan oleh Pak kadir, seorang pegawai dinas kelautan dan perikanan kabupaten Jepara yang bertugas di Karimunjawa, beberapa tahun yang lalu sekitar 1-2 tahun yang lalu, masyarakat karimunjawa tidak mau memakan ikan dengan ukuran sebesar telapak tangan. Dulu yang mereka makan adalah ikan sebesar lengan orang dewasa. Akan tetapi pada saat ini ikan sebesar 3 jari tangan sudah menjadi rebutan di pasar. Bahkan jika datang ke pasar terlalu siang, mereka sudah tidak mendapatkan ikan. Hal tersebut seperti yang di alami oleh Mbak Darma seorang warga
3 Dusun Batulawang. Ketika berbelanja ke pasar dia selalu tergesa-gesa takut tidak mendapatkan ikan. setiap sampai di rumah dia selalu mengeluh, “ikan sama pembelinya lebih banyak pembelinya”.
Penyebab utama kelangkaan ikan yang dialami tersebut karena berkurangnya populasi ikan di kawasan perairan Karimunjawa dan adanya juragan-juragan ikan yang menampung tangkapan para nelayan. Penyebab lain adalah ketika hari-hari kedatangan KMP Muria yang datang membawa wisatawan. Keadaan dermaga sepi dari kapal yang bersandar. Mereka sibuk hilir mudik membawa wisatawan yang ingin berputar-putar mengelilingi pulau-pulau yang ada di gugusan kepulauan ini. Menurut beberapa nelayan, pekerjaan tersebut lebih menjanjikan hasilnya dibanding dengan mencari ikan. Keadaan laut dengan berkurangnya ikan tangkapan sering mengecewakan nelayan. Tidak jarang mereka pulang dari melaut dengan tangan kosong. Ketika kapal mereka disewakan untuk wisata, mereka sudah pasti mendapatkan uang.
Seiring perkembangannya, pada sekitar tahun 2005, pemerintah memberikan sebuah penyuluhan tentang Budi Daya Rumput Laut. Ternyata hal tersebut juga cukup memberikan dampak positif bagi masyarakat Karimunjawa. Apabila kita melihat perairan bagian dalam diantara kepulauan Karimunjawa terdapat banyak botol-botol plastik bekas minuman yang terapung. Botol-botol tersebut terikat dengan tali dan membentuk barisan-barisan yang cukup banyak. Tali-tali tersebut mengaitkan rumput laut yang mereka budidayakan. Seiring berjalannya waktu, budi daya rumput laut memiliki banyak peminat. Budidaya rumput laut ini lah yang juga banyak berperan dalam mengurangi minat masyarakat Karimunjawa untuk melaut mencari ikan. Tidak sedikit dari nelayan yang kemudian benar-benar beralih untuk mengerjakan budidaya rumput laut. Secara ekonomis budidaya rumput laut juga lebih memiliki kepastian daripada melaut untuk mencari ikan. Rumput laut hasil dari budidaya sudah pasti akan laku terjual.
4 Untuk menjual rumput lautnya, masyarakat Karimunjawa tidak perlu kerepotan karena sudah ada yang akan mengambil dan ketika itu juga mereka mendapatkan uang. Masa panen pun dapat dikatakan tidak lama hanya sekitar 3-4 bulan.
Beberapa peluang kerja yang disuguhkan oleh kepulauan Karimunjawa ini merupakan suatu keuntungan yang cukup melegakan bagi warga setempat dan sangat menguntungkan bagi beberapa pihak. Jaringan kerja para nelayan, pelaku wisata, dan petani rumput laut memiliki sebuah kesamaan yaitu adanya “juragan” yang di ikuti. Nelayan, tour guide, dan petani rumput laut sebagian besar adalah buruh yang bekerja pada “juragan-juragan” yang membiayai mereka dan mengikat mereka untuk menggantungkan kehidupan sehari-hari pada “juragan” tersebut.
B. Tinjauan Pustaka
Berbagai tulisan mengenai nelayan selalu menggambarkan tentang kemiskinan.
“Tidak bisa diingkari bahwa kehidupan nelayan adalah kemiskinan yang absolute dan mendasar. Absolut, maksudnya meyoritas warga masyarakat nelayan adalah orang miskin karena mereka memang miskin, bukan sekedar miskin dalam perbandingan dengan kelompok lain. Mendasar, artinya sumber daya yang mereka jadikan penopang hidup juga sudah dalam kondisi rusak parah. Ikan di laut semakin menipis. Biaya investasi dan perbekalan melaut juga semakin mahal” (Semedi:1998:10-11).
Dalam tulisan tersebut dicontohkan nelayan di sebuah desa bernama Kirdowono di wilayah pantai utara pulau Jawa. Diceritakan keadaan perekonomian nelayan yang sangat terhimpit karena adanya hutang, keterbatasan alat tangkap, dan sumber daya yang telah mulai menipis. Hasil tangkapan mulai sangat berkurang tetapi tuntutan perut semakin mahal.
Kusnadi juga menulis hal yang senada mengenai hal tersebut,
“Kemiskinan dan masalah kesulitan hidup lainnya merupakan masalah krusial yang selalu dihadapi oleh komunitas nelayan, khususnya nelayan-nelayan kecil atau nelayan tradisional” (kusnadi:2002:119).
5 Dalam pernyataan tersebut terlihat adanya pengerucutan pada komunitas nelayan yaitu dengan menyebutkan nelayan kecil atau nelayan tradisional. Apabila kita melihat nelayan yang ada di Karimunjawa, mayoritas atau bahkan seluruh nelayan yang ada di sana adalah nelayan tradisional. Hal ini bukan karena tidak adanya modal atau kesempatan untuk menjadikan mereka sebagai nelayan modern dengan alat tangkap yang lebih canggih dan lebih besar, tetapi karena mereka tersangkut oleh peraturan pemerintah tentang pembatasan alat tangkap yang diterapkan di kawasan Karimunjawa semenjak kawasan tersebut dijadikan sebagai taman nasional. Maka dari itu nelayan Karimunjawa harus memutar otak untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Dalam hal ini yang terjadi pada masyarakat Karimunjawa meskipun mereka mengalami perubahan dalam beberapa sektor kehidupannya, akan tetapi tidak ada perubahan pada struktur sosialnya. Masyarakat setempat seperti menikmati struktur yang ada. Memang ada bentuk-bentuk perlawanan antara juragan dengan nelayan buruh. Tetapi yang mereka lakukan bukan sebuah wujud dari perjuangan kelas dan tidak untuk merubah struktur yang ada tetapi demi keuntungan yang mereka peroleh berupa materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Meskipun secara kasat mata kehidupan masyarakat Karimunjawa memiliki barang-barang yang cukup mewah. Seperti sepeda motor, telepon seluler, televisi, kulkas, dan lain sebagainya.
C. Permasalahan
1. Bagaimana masyarakat kepulauan Karimunjawa dapat bertahan hidup dengan peluang kerja yang sangat tidak stabil?
2. Apa yang menyebabkan sebagian besar masyarakat kepulauan Karimunjawa dengan mudah dapat beralih kepada budidaya rumput laut?
6 D. Kerangka Pemikiran
Kehidupan manusia sangat bergantung pada sumber daya alam. Untuk tetap bertahan hidup manusia mengeksploitasi sumber daya alam sesuai dengan kebutuhannya. Nelayan merupakan sebuah contoh yang paling cocok untuk menggambarkan hal tersebut. Dalam memenuhi kebutuhanya nelayan sangat bergantung pada hasil laut. Kemakmurannya hanya bergantung pada hasil tangkap setiap harinya. Dalam tulisannya Koentjaraningrat membandingkan tentang keberadaan mata pencaharian mencari ikan ini dengan mata pencaharian manusia yang lain sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan. Menurutnya mata pencaharian berburu dan mencari ikan merupakan mata pencaharian manusia yang paling tua. Akan tetapi mata pencaharian berburu akan digantikan dengan bercocok tanam atau mata pencaharian lain yang lebih modern, sedangkan mata pencaharian mencari ikan tetap akan berlangsung karena perkembangannya berada pada sektor pengembangan alat tangkapnya (koentjaraningrat,1980).
Dengan keadaan yang cukup terbatas dan membatasi ruang gerak para nelayan untuk memenuhi kebutuhannya, nelayan harus mencari sesuatu yang lain untuk menyembung hidup mereka ketika tidak ada ikan yang tertangkap jaring atau pancing mereka. Banyak usaha yang dilakukan oleh para nelayan untuk menyambung hidup dan salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan berhutang dan sepertinya hutang adalah solusi paling baik dalam pola pikir para nelayan. Salah satu contoh adalah seperti yang di kemukakan oleh Pudjo Semedi,
“Beri kami kredit lagi yang cukup untuk menbuat perahu yang kuat berlayar jauh, ke Karimun Jawa, dengan Gill Net yang panjangnya 2.500 meter dan lebarnya 50 meter”, demikian pandangan jurumudi darsono. “dengan alat kerja seperti itu, kami akan mendapat hasil yang besar, cukup untuk membayar kreditnya dan memperbaiki nasib”. Para nelayan kirdowono umumnya memiliki visi yang sama untuk keluar dari kemelut rendahnya hasil tangkapan” (Semedi: 1998:9)
7 Pola hutang-piutang tersebut juga merupakan pola hidup yang ada di dalam masyarakat Karimunjawa. Dalam keseharian masyarakat Karimunjawa, hutang-piutang diantara nelayan dan juragan disebut dengan “ngalap-nyaur”. Dalam kehidupan masyarakat Karimunjawa juragan memiliki peran penting dalam perputaran uang dan barang beserta dengan keberlangsungan roda kehidupan mayoritas masyarakat. Kemampuan juragan dalam menyediakan barang-barang pemenuh kebutuhan, telah menyokong kehidupan mayoritas nelayan. Pola “ngalap-nyaur” yang pada awalnya hanya berlaku untuk biaya perbekalan atau yang sering mereka sebut dengan “raman” dan alat-alat yang mendukung untuk berlayar seperti jaring, solar sebagai bahan bakar kapal, onderdil kapal, hingga kapal itu sendiri, ternyata nelayan juga berhutang kepada juragan untuk kepentingan sehari-hari, seperti sabun mandi, beras, sabun cuci, dan lain sebagainya.
Banyak faktor yang mempengaruhi nelayan untuk berusaha dengan keras untuk memperbaiki nasib. Salah satu faktor utamanya adalah dengan mengusahakan alat tangkap yang lebih baik. Dalam bukunya Koentjaraningrat mengutarakan,
“Kalau perahu untuk menangkap ikan itu kecil, maka ia hanya dapat berlayar dekat pantai saja, dan kesempatan mencari sebanyak mungkin tempat untuk menghadang kawanan ikan menjadi amat terbatas. Ia hanya dapat menangkap jenis-jenis ikan lain yang biasanya hidup sendiri-sendiri, terpencar, dan tidak dalam kawanan. Dalam hal itu walaupun ikan yang ditangkapnya dengan jala-jala besar banyak jumlahnya, namun jenisnya tidak seragam, sehingga lebih sukar membersihkan dan mengawetkannya, dan untuk menjualnya kemudian” (Koentjatraningrat:1980:33).
E. Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu pada bulan Juli hingga Agustus 2010 di Desa Batulawang dan Desa Jatikerep, Kecamatan Karimunjawa. Alasan pemilihan lokasi ini didasarkan atas beberapa letak informan dan informasi yang dibutuhkan. Penelitian yang dilakukan di Desa Batulawang yang terletak di Pulau Kemujan, Kepulauan
8 Karimunjawa ini karena desa tersebut terdapat banyak nelayan-nelayan tradisional yang masih sangat menggantungkan hidupnya dari hasil laut baik dari menangkap ikan maupun budidaya rumput laut. Sedangkan penelitian yang dilakukan di desa Jatikerep yang terletak di pulau Karimunjawa karena sangat dibutuhkan informasi tentang nelayan yang sudah mengalami perubahan pola pikir dari nelayan kepada beberapa pekerjaan yang lain. Selain itu banyaknya juragan dan adanya pasar utama yang ada di Karimunjawa merupakan informasi yang sangat dibutuhkan untuk melengkapi data yang harus dipenuhi.
Beberapa informan yang dapat dipercaya telah dipilih dalam penelitian ini untuk melakukan wawancara secara mendalam dan mendapatkan informasi yang akurat. salah satu informan kunci adalah Carik Ngatiman yang juga merupakan juragan dari para petani rumput laut. Carik Ngatiman juga sangat mengerti tentang seluk beluk seluruh warga yang ada di Karimunjawa baik juragan ikan, juragan kapal wisata, para pemilik wisma, nelayan biasa, dan lain sebagainya. Selain itu ada juga Pak Tayik (nelayan tradisional Desa Batu Lawang), Pak Tuwono (nelayan tradisional desa Jatikerep), Pak Iryanto (nelayan Karimun Jawa), Pak Kadir (petugas Dinas Kelautan), dan Zaenal yang merupakan anak pertama dari Carik Ngatiman yang dapat dikatakan sebagai tangan kanan dari perputaran bisnis Carik Ngatiman.