• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi asli dan murni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi asli dan murni"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sapi Bali

Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi asli dan murni Indonesia merupakan keturunan asli banteng (bibos banteng) dan sapi asli Pulau Bali. Ditinjau dari sistematika ternak, Sapi Bali masuk ke familia Bovidae, genus bos dan sub-genus Bovine, yang termasuk dalam jenis Bovine, yang termasuk dalam sub-genus tersebut adalah; Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus (Hardjosubroto, 1994), sedangkan Williamson dan Payne (1987) menyatakan bahwa Sapi Bali (Bos-Bibos Banteng) yang spesies liarnya adalah banteng termasuk famili Bovidae, genus bos dan sub-genus bibos.

Ciri khas Sapi Bali yang mudah dibedakan dari jenis sapi Indonesia lainnya adalah adanya bulu putih berbentuk oval yang disebut mirror atau cermin di bawah ekornya, serta warna putih di bagian bawah keempat kakinya. Warna bulu putih dijumpai pada bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Sapi Bali memiliki pola warna bulu yang unik dan menarik dimana warna bulu pada ternak jantan berbeda dengan betinanya, sehingga termasuk hewan dimoprhism-sex. Pada umumnya Sapi Bali berwarna merah keemasan. Sapi Bali betina dan sapi jantan muda berwarna merah bata kecoklatan, namun Sapi Bali jantan berubah menjadi warna hitam sejak umur 1,5 dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun, tetapi

(2)

bila sapi jantan dikastrasi warna bulunya akan berubah menjadi merah bata disebabkan pengaruh hormon testosteron (Payne dan Rollinson, 1973; National Research Council, 1983; Hardjosubroto dan Astuti, 1993).

Secara umum ukuran badan Sapi Bali termasuk kategori sedang dengan bentuk badan memanjang, dada dalam, badan padat dengan perdagingan yang kompak, kepala agak pendek, telinga berdiri dan dahi datar. Bulu Sapi Bali umumnya pendek, halus dan licin. Sapi Bali betina memiliki tanduk tetapi ukurannya lebih kecil dari Sapi Bali jantan. Umumnya tanduk berukuran besar, runcing dan tumbuh agak ke bagian luar kepala dengan panjang untuk sapi jantan antara 25--30 cm dengan jarak anata kedua ujung tanduk 45--65 cm. Sapi Bali jantan dan betina tidak memiliki punuk dan seolah tidak bergelambir (Payne dan Rollinson, 1973; National Research Council, 1983)

Umur dewasa kelamin rata-rata 18--24 bulan untuk betina dan 20--26 bulan untuk jantan (Payne dan Rollison, 1973; Pane, 1991); umur kawin pertama betina 18--24 bulan dan jantan 23--28 bulan; beranak pertama kali 28--40 bulan dengan rataan 30 bulan (Sumbung et al., 1978; Davendra et al., 1973; Payne dan Rollinson, 1973) dengan lama bunting 285--286 hari (Darmadja dan Suteja, 1976) dan jarak beranak 14--17 bulan (Darmadja dan Sutedja, 1976) dengan persentase

kebuntingan 80--90% dan persentase beranak 70--85% (Pane, 1991). Rata-rata siklus estrus adalah 18 hari, pada sapi betina dewasa muda berkisar antara 20--21 hari, sedangkan pada sapi betina yang lebih tua antara 16--23 hari selama 36--48 jam birahi dengan masa subur antara 18--27 jam dan menunjukkan birahi kembali setelah beranak antara 2--4 bulan (Pane, 1979). Sapi Bali menunjukkan estrus

(3)

musiman (seasonality of oestrus), 66% dari Sapi Bali menunjukkan estrus pada bulan Agustus – Januari dan 71% dari kelahiran terjadi bulan Mei – Oktober dengan sex ratio kelahiran jantan : betina sebesar 48,06% : 51,94% (Pastika dan Darmadja, 1976).

Bobot tubuh dewasa berkisar antara 211--303 kg untuk ternak betina dan 337--494 kg untuk ternak jantan (Talib et al., 2003). Pertambahan bobot badan harian sampai umur 6 bulan sebesar 0,32--0,37 kg dan 0,28--0,33 kg masing-masing jantan dan betina (Kirby, 1979). Pertambahan bobot badan pada berbagai

manajemen pemeliharaan antara lain pemeliharaan tradisional sebesar 0,23--0,27 kg (Nitis dan Mandrem, 1978); penggembalaan alam sebesar 0,36 kg (Sumbung et al., 1978); perbaikan padang rumput sebesar 0,25--0,42 kg (Nitis, 1976);

pemeliharaan intensif sebesar 0,87 kg (Moran, 1978).

Sapi Bali memiliki sedikit lemak, kurang dari 4% (Payne dan Hodges, 1997) tetapi persentase karkasnya cukup tinggi berkisar antara 52-60% (Payne dan Rollinson, 1973) dengan perbandingan tulang dan daging sangat rendah; komposisi daging 69--71%, tulang 14--17% lemak 13--14% (Sukanten, 1991 dalam Anjar 2012). Sapi Bali mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat selain sebagai penghasil daging, petani kecil memanfaatkannya sebagai ternak kerja, penghasil pupuk, dan tabungan.

B. Kondisi Wilayah Pringsewu

Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tanggamus, dan dibentuk

(4)

berdasarkan Undang-undang Nomor 48 tahun 2008 tanggal 26 November 2008 dan diresmikan pada tanggal 3 April 2009 oleh Menteri Dalam Negeri.

Secara geografis Kabupaten Pringsewu terletak diantara 104045’25” – 10508’42” Bujur Timur (BT) dan 508’10” - 5034’27” Lintang Selatan (LS), dengan luas wilayah dimiliki sekitar 625 km2 atau 62.500 ha. Secara administratif Kabupaten Pringsewu berbatasan dengan 3 (tiga) wilayah kabupaten sebagai berikut : 1. sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sendang Agung dan Kecamatan

Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah;

2. sebelah timur berbatasan Kecamatan Negeri Katon, Kecamatan Gedongtataan, Kecamatan Waylima dan Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran; 3. sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bulok dan Kecamatan Cukuh

Balak, Kabupaten Tanggamus;

4. sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pugung dan Kecamatan Air Naningan, Kabupaten Tanggamus.

Kabupaten Pringsewu merupakan daerah tropis, dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 161,8 mm/bulan, dan rata-rata jumlah hari hujan 13,1 hari/bulan. Rata-rata temperatur suhu berselang antara 22,9--32,40C. Selang rata-rata kelembaban relatifnya adalah antara 56,8% sampai dengan 93,1%. Rata-rata tekanan udara minimal dan maksimal di Kabupaten Pringsewu adalah 1008,1 Nbs dan 936,2 Nbs. Dengan karakteristik iklim tersebut, wilayah ini berpotensial untuk dikembangkan sebagai daerah pertanian. (Dinas Komunikasi & Informatika Kabupaten Pringsewu, 2014)

(5)

Struktur perekonomian Kabupaten Pringsewu kurun waktu 2008--2010

didominasi oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan (Dinas Komunikasi & Informatika Kabupaten Pringsewu, 2014). Populasi sapi potong di Kabupaten Pringsewu sebesar 14.402 ekor, dengan populasi sapi Bali sebesar 3.632 ekor (PSPK, 2011).

C. Repat Breeder

Sapi kawin berulang (repeat breeding) adalah sapi betina yang mempunyai siklus normal dan telah dikawinkan paling tidak tiga kali dengan pejantan atau semen pejantan fertil tetapi belum bunting tanpa disertai gejala klinis dari penyakit atau abnormalitas alat reproduksi (Gustari, et al., 1991 dalam Yuliana, 2000).

Kawin berulang bisa menjadi faktor utama ketidaksuburan. Kawin berulang dapat terjadi apabila sapi betina yang belum bunting setelah tiga kali atau lebih kawin. Dalam kelompok hewan fertil yang normal, kecepatan pembuahan biasanya 50--55% (Brunner, 1984). Menurut Zemjanis (1980), secara umum kawin berulang disebabkan oleh 2 faktor utama yaitu kegagalan pembuahan/fertilisasi dan kematian embrio dini. Faktor kegagalan pembuahan merupakan faktor utama penyebab kawin berulang sapi, termasuk dalam faktor ini adalah kelainan anatomi saluran reproduksi, kelainan ovulasi, sperma yang abnormal (Hardjopranjoto, 1995), sel telur yang abnormal dan kesalahan pengelolaan reproduksi (Toelihere, 1981). Kelainan anatomi saluran reproduksi dapat bersifat genetik dan

nongenetik, yang paling sering dijumpai pada induk adalah adanya penyumbatan pada tuba falopii. Tuba falopii yang buntu karena penyumbatan mencapai 2-9%

(6)

dari kasus kawin berulang. Penyumbatan tuba falopii menyebabkan sel telur yang diovulasikan dari ovarium gagal mencapai tempat pembuahan, yaitu pada

sepertiga bagian atas dari tuba falopii yang disebut ampula (sel mani) terhalang untuk mencapai tempat pembuahan, sehingga proses pembuahan gagal (Johnson, 1986).

Kelainan ovulasi dapat menyebabkan kegagalan pembuahan sehingga mendorong terjadinya kawin berulang meliputi 3-5%. Kelainan ovulasi tentu akan

menghasilkan sel telur yang cacat atau belum dewasa, sehingga tidak mampu dibuahi oleh sel mani dan menghasilkan embrio yang tidak sempurna. Kegagalan ovulasi pada folikel de graaf yang sudah matang, gagal menjadi pecah karena ada gangguan sekresi hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH. Kasus adanya kista folikel dan kista luteal, pada folikel yang tidak tumbuh lebih lanjut dan tidak pernah tumbuh menjadi folikel de graaf karena rendahnya sekresi LH. Selain itu, kelainan ovulasi yang terjadi adalah ovulasi tertunda (delayed ovulaiton), ovulasi yang normal pada kebanyakan hewan ternak terjadi pada periode awal masa birahi atau sampai beberapa jam setelah berakhirnya gejala birahi. Ovulasi tertunda terjadi satu atau dua hari setelah berhentinya birahi, hal ini disebabkan sel mani di dalam tuba falopii harus menunggu terlalu lama untuk membuahi sel telur yang sangat terlambat diovulasikan.

Sel telur yang abnormal disebabkan keseimbangan hormon-hormon reproduksi yang tidak normal. Sel telur abnormal dapat menyebabkan kegagalan pembuahan mencapai 2-9,5% pada ternak sapi. Beberapa bentuk abnormal dari sel telur adalah 1) degenerasi sel telur, dengan bentuk yang tidak beraturan disertai

(7)

dindingnya mengkerut; 2) zona pelusida yang sobek atau rusak; 3) sel telur muda; 4) sel telur yang bentuknya gepeng; 5) sel telur yang bentuknya lonjong; 6) sel telur yang ukurannya sangat kecil yaitu sel telur yang ukurannya kurang dari 120 mikron; 7) sel telur raksasa yaitu sel telur yang ukurannya lebih dari 220 mikron; 8) sel telur yang didalam sitoplasmanya mengandung vakuola yang besar.

Sel mani abnormal menyebabkan kehilangan kemampuan untuk membuahi sel telur di dalam tuba falopii. Kasus kegagalan proses pembuahan karena sel mani yang abnormal bentuknya, mencapai 24-39% pada sapi induk yang menderita kawin berulang dan sebesar 12-13% pada sapi dara yang menderita kawin

berulang. Angka kegagalan pembuahan sel telur merupakan penyebab utama dari rendahnya angka kebuntingan, baik pada induk sapi yang normal maupun yang menderita kawin berulang. Kesalahan pengelolaan reproduksi yang mendorong sel mani gagal membuahi sel telur dan timbulnya kawin berulang dapat

berbentuk: 1) kurang telitinya dalam deteksi birahi sehingga terjadi kesalahan waktu untuk dilakukan inseminasi buatan (Toelihere, 1981). Deteksi birahi yang tidak tepat menjadi penyebab utama kawin berulang, karena itu program deteksi birahi harus selalu dievaluasi secara menyeluruh. Saat deteksi birahi salah, birahi yang terjadi akan kecil kemungkinan terobservasi dan lebih banyak sapi betina diinseminasi berdasarkan tanda bukan birahi, hal ini menyebabkan timing inseminasi tidak akurat sehingga akan mengalami kegagalan pembuahan (Brunner, 1984); 2) pelaksanaan teknik inseminasi buatan yang kurang baik (Brunner, 1984); 3) kekurangan pakan pada induk khususnya vitamin dan mineral (Toelihere, 1981); 4) kesalahan dalam memperlakukan air mani, khususnya

(8)

perlakuan pada air mani beku yang kurang benar, pengenceran yang kurang tepat, proses pembekuan air mani yang kurang baik, penyimpanan dan pencairan

kembali mani beku yang kurang baik (Toelihere, 1981).

Kematian embrio dini pada induk yang normal terjadi karena pada dasarnya embrio sampai umur 40 hari, kondisinya labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang tidak baik atau kekurangan pakan (Hardjopranjoto, 1995). Kematian embrio menunjukkan kematian dari ovum dan embrio yang fertil sampai akhir dari implantasi. Stevenson dan Anderson (1980), menyatakan perkawinan induk yang menderita kawin berulang dengan mani pejantan yang subur banyak diikuti oleh kematian embrio dini, sedangkan perkawinan dari induk yang menderita kawin berulang dengan air mani dari pejantan dengan kesuburan yang rendah banyak menghasilkan kegagalan pembuahan. Faktor yang

mendorong kematian embrio dini yaitu kelainan genetik, infeksi penyakit, lingkungan, gangguan hormonal (Hafez, 1993).

Kelainan genetik yang menyebabkan kematian embrio dini penyebab terjadinya kawin berulang pada ternak, dapat terjadi pada sel telurnya yang akan dibuahi sel mani atau embrionya sendiri. Adanya gen lethal yang melekat pada sel telur, menyebabkan embrio yang terbentuk akan segera mati. Selain itu, kematian embrio dini dapat disebabkan oleh penyakit. Penyakit kelamin menular dan penyakit kelamin yang disebabkan oleh kuman nonspesifik seperti Stafilokokus, Streptokokus, E. Coli, P. Aeroginosa, dan C. Piogenes dapat menyebabkan kematian embrio dini dan kawin berulang. Selain itu, peradangan pada saluran alat kelamin khususnya peradangan pada uterus yang ringan juga dapat

(9)

menyebabkan kematian embrio dini. Hal ini disebabkan embrio tidak dapat tumbuh pada lingkungan uterus yang menderita kawin berulang (Zamjenis, 1980).

Lingkungan yang kurang serasi di dalam rongga tuba falopii atau uterus

menghasilkan angka kematian embrio dini meningkat, menyebabkan kasus kawin berulang juga meningkat. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor penyakit induk, stres panas pada uterus yang disebabkan dari suhu kandang terlalu tinggi, dan kasus hormonal khususnya hormon steroid. Ketidakseimbangan hormon yang sering menyebabkan kematian embrio dini, adalah hormon estrogen dan

progresteron. Hormon estrogen yang berlebihan kadarnya dalam darah pada awal kebuntingan dapat menyebabkan terjadinya kontraksi dinding uterus yang

berlebihan, akan diikuti dengan kematian embrio. Selain itu, kekurangan hormon progresteron akibat regresi korpus luteum pada awal kebuntingan, dapat diikuti kematian embrio dini. Hormon progresteron pada masa awal kebuntingan berfungsi untuk memelihara pertumbuhan mukosa uterus dan kelenjar-kelenjarnya, sehingga mampu menghasilkan cairan yang merupakan bahan penting sebagai sumber makanan embrio.

Hasil penelitian Astuti (2008), faktor yang memengaruhi repeat breeder pada sapi potong di Kecamatan Terbanggi Besar Kabupaten Lampung Timur untuk tingkat peternak dan ternak adalah umur pertama kali dikawinkan, birahi pertama setelah melahirkan, perkawinan postpartum dan luas kandang. Tingkat inseminator faktor yang memengaruhi adalah pendidikan inseminator dan jumlah akseptor. Umur pertama kali dikawinkan berasosiasi negatif terhadap repeat breeder, yang berarti semakin tinggi umur pertama kali sapi dikawinkan maka akan menurunkan

(10)

kejadian RB (Astuti, 2008). Hal ini terjadi karena pada awal pubertas hormon-hormon reproduksi belum bekerja dan beraktifitas secara optimal. Hormon reproduksi optimal pada saat sapi mencapai umur 2,5 tahun, jadi jika sapi

dikawinkan kurang dari 2,5 tahun maka akan menaikkan RB. Akan tetapi, apabila sapi dara belum dikawinkan pada umur 4 tahun, cenderung terjadi siklus birahi yang tidak teratur dan cendrung menyebabkan penurunan prestasi reproduksi (Hardjopranjoto, 1995).

Birahi pertama setelah melahirkan berasosiasi negatif terhadap RB, yang berarti semakin panjang timbulnya birahi pertama setelah melahirkan dapat menurunkan kejadian RB dibandingkan dengan birahi pertama setelah melahirkan yang cepat (Astuti, 2008). Hal ini disebabkan karena semakin panjang birahi pertama setelah melahirkan maka regenerasi endometrium sudah optimal, keadaan uterus sudah kembali normal (involusi uterus), dan pulihnya siklus birahi sehingga mampu menghasilkan prostaglandin F2α yang berakibat pada perkembangan ovarium serta aktifitas hormonal dapat berjalan dengan normal. Birahi pertama setelah melahirkan yang panjang juga akan memudahkan peternak dalam melakukan deteksi birahi sehingga hasilnya lebih akurat dan dapat menurunkan RB.

Faktor perkawinan postpartum berasosiasi positif terhadap kejadian RB, artinya semakin lama perkawinan postpartum akan menaikkan nilai RB (Astuti, 2008). Hal ini disebabkan karena apabila perkawinan dilakukan jauh setelah 90 hari dari persalinan, adaptasi kebuntingan akan berlangsung lama lagi seperti kebuntingan pertama kalinya (Bandini,1999). Lambatnya perkawinan postpartum dapat disebabkan karena terjadinya anestrus postpartus yang tidak normal. Menurut

(11)

Hardjopranjoto (1995), anestrus pasca melahirkan yang tidak normal dapat disebabkan oleh laktasi atau selama pedet dibiarkan menyusu induk pada sapi potong. Pada keadaan yang demikian anestrus dapat berjalan 4--6 bulan setelah melahirkan (Vale-Filho et al., 1986 dalam Astuti, 2008).

Faktor luas kandang berasosiasi negatif terhadap kejadian RB, artinya semakin luas kandang yang digunakan untuk memelihara sapi potong maka dapat

menurunkan kejadian RB (Astuti, 2008). Hal ini disebabkan karena ternak dapat leluasa bergerak sehingga otot menjadi rileks, sirkulasi darah menjadi lebih lancar, ternak menjadi sehat dan mempermudah peternak dalam menangani dan merawat sapi, termasuk kesehatan, deteksi birahi, pemberian pakan, serta perawatan kebersihan kandang dan sapi. Kandang yang luas juga menjadikan sirkulasi udara lancar sehingga ternak tidak mengalami stres, karena faktor stres dapat memperpendek lama birahi.

Pendidikan inseminator berasosiasi negatif terhadap kejadian RB, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan inseminator maka akan menurunkan RB (Astuti, 2008). Inseminator yang tamat D3 lebih baik jika dibandingkan dengan inseminator yang tamat SMA, hal ini disebabkan karena tamatan D3 umumnya lebih kritis, lebih mudah menerima masukkan dan lebih terampil jika dibandingkan dengan tamatan SMA atau dibawahnya. Jumlah akseptor berasosiasi positif terhadap kejadian RB, berarti semakin banyak jumlah akseptor maka akan menaikkan RB. Hal ini

dikarenakan jika jumlah akseptor banyak maka pelayanan inseminator kurang optimal, tidak kondusif, dan inseminator tergesa-gesa dalam melakukan IB.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya komitmen dari setiap pihak maka pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Penanggulangan HIV-AIDS di Kabupaten Semarang dapat berjalan secara

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian intervensi Mulligan Bent Leg Raise lebih baik dalam menurunkan nyeri fungsional punggung bawah non-spesifik dari

Sistem pendingin primer mengambil panas dari teras reaktor, untuk kemudian dipinciahkan ke pendingin sekunder melalui alat penukar panas, dan panas tersebut dibuang ke

3) Daftar Nilai Hasil Ujian Akhir Sekolah Berstandart Nasional yang selanjutnya disebut dengan DNHUASBN, adalah daftar nilai mata pelajaran yang didapat dari hasil Ujian Akhir

Sebagai upaya untuk menjamin mutu dan validitas data yang dapat dipertanggung jawabkan pada publikasi yang akan datang, saya menghimbau kepada segenap instansi, lembaga pemerintah

Membuat suatu tabel perkembangan masyarakat dari masyarakat tidak maju (belum melakukan transisi ke arah masyarakat informasi) sampai ke masyarakat super maju dimana

Pencapaian periode fertil sperma ayam Pelung yang lebih lama dibandingkan dengan dua strain ayam Jawa Barat lainnya merupakan manifestasi dari kualitas semen ayam Pelung yang

Daya tampung lingkungan sosial adalah kemampuan manusia dan kelompok penduduk yang berbeda-beda untuk hidup bersama-sama sebagai satu masyarakat