PERPAJAKAN
Penyusun:
Wiwit
Irawati,
S.E
BAHAN
AJAR
MATA
KULIAH
PERPAJAKAN
PROGRAM
STUDI
S1
AKUNTANSI
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
PAMULANG
2015
LEMBAR PESETUJUAN
Mata Kuliah : Perpajakan
Kode / SKS : E022404 / 3 SKS Dosen Pengampu : Wiwit Irawati, S.E Penyusun Buku : Wiwit Irawati, S.E Judul Buku Ajar : Perpajakan
Program Studi : S1 Akuntansi
Fakultas : Ekonomi
Pamulang, Desember 2015
Reviewer, Penyusun,
H. Endang Ruhiyat, S.E., M.M Wiwit Irawati, S.E
NIDN. 04090672303 NIDN.
Menyetujui, Pamulang, Desember 2015
Koordinator E‐Learning Ketua Program Studi
Aeng Muhidin, M.Pd H. Endang Ruhiyat, S.E., M.M
NIDN. 0421108203 NIDN. 04090672303
LEMBAR PENGESAHAN
Mata Kuliah : Perpajakan
Kode / SKS : E022404 / 3 SKS Dosen Pengampu : Wiwit Irawati, S.E Penyusun Buku : Wiwit Irawati, S.E Judul Buku Ajar : Perpajakan
Program Studi : S1 Akuntansi
Fakultas : Ekonomi
Menyetujui, Pamulang, Desember 2015
Wakil Rektor Bidang Akademik Dekan Fakultas Ekonomi,
Drs. H. Buchori H. Nuriman, M.M Dr. Ir. Boedi Hasmanto, M.S
NIDN. 0418045803 NIDN. 0418015902
Mengesahkan,
Rektor Universitas Pamulang
Dr. H. Dayat Hidayat, M.M
NIDN. 0408046402
Hal. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGANTAR
Mata Kuliah Perpajakan 2 ini sebagian besar membahas tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tambahan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Meterai pada bab terakhir. Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak yang dikenakan pada setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value
Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST).
PPN muncul sejak tahun 1983 dengan diterbitkannya Undang‐ undang Nomor 8 tahun 1983 yang mulai berlaku sejak 01 April 1985, menggantikan Pajak Penjualan (PPn) yang sudah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1951. Dikarenakan Pajak Penjualan (PPn) ini dalam penerapannya banyak terjadi kelemahan antara lain menimbulkan efek pajak berganda dan adanya bermacam‐macam tarif sehingga menimbulkan kesulitan untuk mengontrol dari sisi fiskus (pajak) juga kesulitan penerapan oleh pihak Wajib Pajak itu sendiri. Dalam perkembangannya, PPN yang terbit tahun 1983 dan mulai berlaku sejak tahun 1985 ini, terkenal dengan Undang‐undang PPN tahun 1984
PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang/pemberi jasa) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Sedangkan menurut mekanismenya, PPN harus dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP.
Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Hal. 2
2. Menjelaskan karakteristik PPN
3. Menjelaskan mekanisme pemungutan PPN 4. Menjelaskan metode perhitungan PPN
B. DESKRIPSI MATERI
1. Latar Belakang Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) muncul menggantikan Pajak Penjualan (PPn) yang sudah cukup lama diterapkan di Indonesia, yakni dari tahun 1951 sampai munculnya Undang‐undang Nomor 8 tahun 1983. Alasan perubahan seperti yang tercantum dalam paragraf awal Undang‐undang Nomor 8 tahun 1983 adalah bahwa Pajak Penjualan (PPn) sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia sehingga belum dapat menggerakkan peran serta semua lapisan pengusaha kena pajak dalam meningkatkan pendapatan negara. Oleh karenanya dipandang perlu untuk mengatur kembali sistem pajak penjualan dengan sistem pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah dengan undang‐undang.
Kelemahan dan kelebihan Pajak Pertambahan Nilai dibandingkan dengan Pajak Penjualan (PPn) adalah sebagai berikut:
Kelemahan PPn (Pajak Penjualan) a. Menimbulkan pajak berganda
Hal ini mendorong wajib pajak untuk menghindar dari pengenaan PPn bahkan kalau perlu mereka melakukan penggelapan pajak. Tax
avoidance (penghindaran pajak) masih tergolong sebagai tindakan
legal misalnya beberapa perusahaan dalam satu rangkaian beberapa mata rantai jalur produksi atau distribusi yang sejenis melakukan peleburan usaha, sehingga beberapa mata rantai produksi atau distribusi lolos dari pengenaan PPn. Misalnya perkebunan kapas, pabrik benang, pabrik tekstil, perusahaan garmen meleburkan diri menjadi satu perusahaan garmen terpadu. Dengan demikian, maka penyerahan bahan baku antar divisi tersebut tidak dapat dikenakan PPn karena berada dalam satu perusahaan terpadu.
Hal. 3
c. Tidak mendorong ekspor, dikarenakan dalam pelaksanaannya UU PPn 1951 menimbulkan pengenaan pajak berganda sehingga PPn menjadi tidak netral baik dalam perdagangan didalam negeri maupun internasional
Kelebihan PPN :
a. Menghilangkan pajak berganda.
Dikarenakan PPN dikenakan hanya terhadap nilai tambah (added
value) pada setiap jalur produksi dan jalur distribusi Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak. PPN dikenakan berulang‐ulang pada setiap mutasi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Meskipun demikian,PPN tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda (non kumulasi).
b. Menggunakan tarif tunggal
PPN tarifnya hanya satu, yakni 10% sehingga memudahkan pelaksanaan oleh Wajib Pajak sekaligus pengawasannya.
c. Dapat mendorong ekspor.
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang di dalam negeri, maka Barang yang diekspor atau dikonsumsi di luar negeri tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karenanya Barang yang diekspor dikenakan tarif 0% (nol persen).
Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajakdan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
d. Netral terhadap persaingan Dalam Negeri, Luar Negeri, dan pola konsumsi.
Hal ini dikarenakan PPN bukan merupakan beban yang menambah harga pokok penjualan karena PPN menganut sistem pengkreditan yang memungkinkan PPN yang dibayarkan pada saat pembelian diperhitungkan dengan PPN yang harus dipungut saat penjualan.
Pajak‐pajak yang pernah diterapkan di Indonesia sampai dengan diterbitkannya Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut :
a. Pajak Pembangunan I (PPb I) sebelum tahun 1950 b. Pajak Peredaran 1950 (PPe 1950)
Hal. 4
d. Pajak Pertambahan Nilai, yakni dengan keluarnya UU No. 8 Tahun 1983
2. Karakteristik PPN
PPN mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a. Pajak Objektif. Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang timbulnya kewajiban pajaknya sangat ditentukan oleh objek pajak. Keadaan subjek pajak tidak menjadi penentu kecuali untuk kasus tertentu.
b. Dikenakan pada setiap rantai distribusi (Multi Stage Tax). Sepanjang suatu transaksi memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam angka 2, maka pihak PKP Penjual berkewajiban memungut PPN atas transaksi yang terjadi dan kemudian menyetorkan ke Kas Negara dan melaporkannya. c. Menggunakan mekanisme pengkreditan. Sesuai dengan
namanya maka pada hakekatnya PPN hanya dikenakan atas nilai tambah yang terjadi atas BKP karena adanya proses pabrikasi maupun distribusi. Oleh karena itu PPN yang terutang dalam suatu Masa Pajak diperhitungkan terlebih dahulu dengan PPN yang telah dibayarkan oleh PKP pada saat pembelian bahan baku dan faktor produksi lainnya, sehingga meskipun PPN dikenakan beberapa kali namun tidak menimbulkan efek pajak berganda. d. Merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri. Oleh karena itu
salah satu syarat dikenakannya PPN atas suatu transaksi adalah bahwa BKP/JKP dikonsumsi di dalam Daerah Pabean. Hal inilah yang mendasari pengenaan PPN dengan tarif 0% atas kegiatan ekspor sedangkan untuk kegiatan impor tetap dikenakan PPN 10%.
e. Merupakan beban konsumen akhir. PPN merupakan pajak tidak langsung sehingga beban pajaknya bisa dialihkan oleh PKP. Pengenaan PPN yang dilakukan beberapa kali tidak menjadi beban PKP karena beban PPN tersebut pada akhirnya akan dialihkan kepada konsumen yang menikmati BKP pada rantai terakhir.
Hal. 5
saat pembelian diperhitungkan dengan PPN yang harus dipungut saat penjualan.
g. Menganut destination principle. Untuk menentukan suatu transaksi dikenakan PPN atau tidak, terlebih dahulu harus dilihat di negara mana pihak konsumen berada. Apabila konsumen berada di luar negeri maka transaksi tersebut tidak dikenakan PPN karena PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri.
Gambar 1.1 PPN bersifat multi stage levy
Pajak
Penjualan
(PPn)
Pengusaha
Harga
Jual PPn
10% Setor
ke
Negara Dibayar
Pembeli
Benang
10.000
1.000
1.000
11.000
Tekstil
16.000
1.600
1.600
17.600
Garmen
22.600
2.260
2.260
24.860
Pedagang
Besar
29.860
2.986
2.986
32.846
Pedagang
Eceran
37.846
3.785
3.785
41.631
Jumlah
dibayar
pembeli
akhir
41.631
Jumlah
pajak
ditanggung
pembeli
11.631
Beban
pajak
=
11.631/37.846
31%
Pajak
Pertambahan
Nilai
(PPN)
Pengusaha
Harga
Jual PPN
10% Setor
ke
Negara Dibayar
Pembeli
Benang
10.000
1.000
1.000
11.000
Tekstil
16.000
1.600
600
16.600
Garmen
21.600
2.160
560
22.160
Pedagang
Besar
27.160
2.716
556
27.716
Pedagang
Eceran
32.716
3.272
556
33.272
Hal. 6
3. Mekanisme Pemungutan PPN
Mekanisme pemungutan PPN di Indonesia secara umum adalah sebagai berikut :
(1) Penghitungan PPN terutang yang disetor ke negara menggunakan
indirect substraction method/credit method/invoice method dengan
cara mengkreditkan pajak masukan (PK‐PM).
(2) Direct Subtraction Method
Metode yang menggunakan bendaharawan pemerintah dan KPKN (Kantor Perbendaharaan Kas Negara ) sebagai pemungut PPN atas transaksi yang menggunakan dana APBN/APBD, diatur dalam pasal 16A ttg pemungut PPN.
(3) Self Imposition Method
Yakni pemungutan PPN yang dilakukan sendiri oleh perusahaan ataupun orang pribadi yang melakukan usaha.
Contoh :
‐ Import BKP tidak berwujud /JKP oleh PKP dan bukan PKP
‐ Obyek PPN pasal 16 C atas kegiatan membangun sendiri
‐ Obyek PPN pasal 16 D atas penyerahan aktiva tidak untuk diper jual belikan
Gambar 1.2 Mekanisme PK‐PM PPN
Hal. 7
Keterangan Gambar :
(1) Setiap PKP yang menyerahkan BKP atau JKP diwajibkan membuat Faktur Pajak untuk memungut pajak yang terutang. Pajak yang dapat dipungut disebut Pajak Keluaran (output tax). (2) Pada saat suatu PKP membeli/menerima BKP atau JKP dari PKP
lain, maka PKP pembeli/penerima membayar pajak yang terutang kepada negara lewat PKP penjual. Pajak yang dibayar disebut Pajak Masukan (input tax).
(3) Pada akhir masa pajak, Pajak Masukan dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran.
(4) Jika Pajak Keluaran > Pajak Masukan, berarti kurang bayar, harus dibayar ke Kas Negara paling lambat akhir bulan berikutnya sebelum SPT masa PPN disampaikan
4. Metode Perhitungan PPN
Metode penghitungan PPN ada tiga cara sebagai berikut :
a. Subtraction Method (pengurangan secara langsung), yakni
dengan cara mengalikan tarif PPN dengan selisih antara harga jual dengan harga beli
b. Indirect Substraction Method ( pengurangan secara tidak
langsung ), yakni dengan cara mengurangkan PPN yang dipungut oleh penjual atau pengusaha jasa atas penyerahan barang atau jasa dengan PPN yang dibayarkan kepada penjual atau pengusaha jasa lain atas perolehan barang dan atau jasa.
c. Addition Method (Metode penghitungan nilai tambah), yakni
mengalikan tarif PPN dengan hasil penjumlahan unsur‐unsur nilai tambah.
C. LATIHAN
1. Jelaskan latar belakang timbulnya Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia, kaitkan dengan kelemahan dari Pajak Penjualan yang berlaku sebelumnya!
2. PPN mempunyai banyak karakteristik, sebutkan dan jelaskan apa saja!
3. Jelaskan apa saja mekanisme pemungutan PPN di Indonesia!
Hal. 8
5. Lengkapilah tabel perhitungan PPN dan PPn di bawah ini, dengan asumsi bahwa penjual BKP selanjutnya menginginkan laba Rp10.000,00
Pajak
Penjualan
(PPn)
Pengusaha
Harga
Jual PPn
10% Setor
ke
Negara Dibayar
Pembeli
Benang
25.000
……….. ………..
………..
Tekstil
……….. ……….. ………..
………..
Garmen
……….. ……….. ………..
………..
Pedagang
Besar
……….. ……….. ………..
………..
Pedagang
Eceran
……….. ……….. ………..
………..
Jumlah
dibayar
pembeli
akhir
……….
Jumlah
pajak
ditanggung
pembeli
……….
Beban
pajak
=
……….
Pajak
Pertambahan
Nilai
(PPN)
Pengusaha
Harga
Jual PPN
10% Setor
ke
Negara Dibayar
Pembeli
Benang
25.000
………. ……….
……….
Tekstil
………. ………. ……….
……….
Garmen
………. ………. ……….
……….
Pedagang
Besar
………. ………. ……….
……….
Pedagang
Eceran
………. ………. ……….
……….
Jumlah
dibayar
pembeli
akhir
……….
Jumlah
pajak
ditanggung
pembeli
……….
Hal. 9 D. TUGAS
PETUNJUK :
• Tugas ini adalah TugasI Mata Kuliah Perpajakan 2
• Tugas diketik dalam kertas ukuran A4, dengan margin ukuran normal, jenis huruf Arial ukuran 12, spasi 1,15
• Tugas dilengkapi dengan keterangan : nama, NIM, ruang kelas, dan nilai (dikosongkan saja) pada pojok kanan atas. Contoh layout lembar jawaban sebagai berikut :
• Tugas dikumpulkan pada saat pertemuan berikutnya.
• Sanksi keterlambatan adalah dianggap tidak mengerjakan dan mendapatkan nilai 0 (nol) untuk Tugas I
RINCIAN TUGAS :
Carilah UU No. 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Kemudian kerjakan tugas di bawah ini :
1. Apa yang dimaksud dengan barang dan Barang Kena Pajak (BKP)? 2. Apa yang dimaksud dengan jasa dan Jasa Kena Pajak (JKP)?
3. Pada pasal berapa dibahas Barang Kena Pajak dan barang tidak kena pajak? Jelaskan dan berikan contohnya.
4. Pasal 1 UU Nomor 42 th 2009 membahas tentang apa saja?
Nama :
NIM :
Hal. 10 E. RINGKASAN MATERI
Pajak Pertambahan Nilai mulai dipakai di Indonesia sejak terbitnya Undang‐undang nomor 8 tahun 1983 yang berlaku sejak tanggal 01 April 1985 menggantikan Pajak Penjualan (PPn) yang sudah digunakan cukup lama, yakni sejak tahun 1951 sampai dengan tahun 1983. Uniknya Undang –undang ini lebih terkenal dengan sebutan Undang‐undang PPN tahun 1984.
Digantinya Pajak Penjualan dengan Pajak Pertambahan Nilai tak lepas karena adanya kelemahan pada Pajak Penjualan antara lain seperti (1) Adanya pajak berganda, (2) Adanya bermacam2 tarif (9 macam tarif), sehingga menimbulkan kesulitan pelaksanaannya, (3) Tidak mendorong ekspor, dan (4) Belum dapat mengatasi penyelundupan. Hal ini kebalikan dari keunggulan PPN yang antara lain (1) Menghilangkan pajak berganda, (2) Menggunakan tarif tunggal, sehingga memudahkan pelaksanaan, (3) Dapat mendorong ekspor, dan (4) Netral terhadap persaingan Dalam Negeri, Luar Negeri, dan pola konsumsi.
Secara umum, pemungutan PPN menggunakan metode indirect
substraction method /credit method/invoice method dengan cara
mengkreditkan pajak masukan terhadap pajak keluaran (PK‐PM), tetapi selain cara tersebut masih ada cara lainnya yakni dengan cara pemungutan secara langsung oleh bendaharawan pemerintah dan KPKN (Kantor Perbendaharaan Kas Negara ) sebagai pemungut PPN atas transaksi yang menggunakan dana APBN/APBD, dan yang ketiga
adan Self Imposition Method yakni pemungutan PPN yang dilakukan
sendiri oleh perusahaan ataupun orang pribadi yang melakukan usaha atas (1) Import BKP tidak berwujud /JKP oleh PKP dan bukan PKP, (2) Obyek PPN pasal 16 C atas kegiatan membangun sendiri, dan (3) Obyek PPN pasal 16 D atas penyerahan aktiva tidak untuk diperjual belikan.
Karakteristik PPN yang membuatnya menjadi unik dan berbeda dibandingkan dengan pajak lainnya adalah sebagai berikut: (1) PPN adalah pajak tidak langsung, artinya beban pajak dilimpahkan kepada pihak lain. Sehingga pemikul beban pajak dan penyetor pajak ke negara berada pada pihak yang berbeda, (2) PPN adalah pajak objektif, artinya timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh objek pajak, (3) PPN Indonesia menggunakan tarif tunggal 10%, (4) PPN bersifat multi stage
levy, artinya dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur
Hal. 11
(destination principle) dan (6) Pemungutan pajaknya menggunakan
faktur pajak.
F. REFERENSI
UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPn BM
Bina Fiscal Indonesia, 2013, Pajak Terapan Brevet A‐B
Perpajakan, Edisi Revisi 2009, Prof. Dr. Mardiasmo, Mba., Ak
Pajak Pertambahan Nilai, Edisi Revisi 2009, Untung Sukardji, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Hal. 12
Bab II
OBJEK DAN BUKAN OBJEK PPN
A. PENGANTAR
Pada bab I sudah dijelaskan latar belakang timbulnya PPN, metode untuk pemungutannya, karakteristiknya, dasar hukumnya hingga perhitungan sederhana bagaimana PPN berbeda dengan Pajak Penjualan yang salah satu efeknya menimbulkan beban pajak berganda. Maka pada Bab II ini fokus bahasan ada pada objek dan bukan objek PPN.
Objek PPN adalah barang dan jasa yang dikenai pajak berdasarkan undang‐undang PPN 1984, dan dimuat pada pasal 4, pasal 16C, dan pasal 16D . Pasal 4 mengatur pengenaan PPn atas penyerahan, impor dan ekspor Barang Kena Pajak &/Jasa Kena Pajak, pasal 16 C mengatur pengenaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan baik orang pribadi maupun badan , sedang pasal 16 D mengatur pengenaan PPN atas penyerahan aktiva yang semula tujuannya tidak untuk diperjual belikan oleh Pengusaha Kena Pajak.
Untuk lebih meningkatkan kepastian hukum dan rasa keadilan, melalui undang‐undang ini pemerintah menetapkan beberapa jenis barang yang tidak dikenai PPN (barang non PPN ) dan jasa yang tidak dikenai PPN (jasa non PPN). Barang yang tidak dikenai PPN antara lain : (1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, (2) Barang‐barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak , (3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, dan (4) Uang, emas batangan, dan surat berharga.
Hal. 13
umum di darat, air, jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, (11) Jasa Tenaga Kerja, (12) Jasa perhotelan, (13) Jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, (14) Jasa Penyediaan tempat parkir, (15) Jasa Telepon Umum koin, (16)Jasa pengiriman uang dengan wesel pos, dan (17) Jasa Boga atau Katering.
Setelah menyelesaikan materi bahasan ini, diharapkan mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan Objek PPN
2. Menjelaskan Barang Kena Pajak dan Bukan Barang Kena Pajak 3. Menjelaskan Jasa Kena Pajak dan Bukan Jasa Kena Pajak
4. Menjelaskan Objek PPN Pasal 16 C
5. Menjelaskan Objek PPN Pasal 16 D
B. DESKRIPSI MATERI 1. Objek PPN
Objek PPN adalah barang dan jasa yang dikenai pajak berdasarkan undang‐undang PPN 1984, dan dimuat pada pasal 4, pasal 16C, dan pasal 16D .
a. Objek PPN dalam Pasal 4 UU PPN 1984 PPN dikenakan atas :
1) Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yg dilakukan oleh pengusaha
Penjelasan :
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat‐syarat sebagai berikut : (a) barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak; (b) barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; (c )penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan (d) penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Hal. 14
a) penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
b) penggunaan atau hak menggunakan peralatan
/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
c) pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
d) pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak‐hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
e) penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
f) pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak‐hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
2) Impor Barang Kena Pajak. Penjelasan :
Hal. 15
dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.
3) Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean yg dilakukan oleh pengusaha
Penjelasan :
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat‐syarat sebagai berikut: (a) jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak; (b) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan (c) penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma‐cuma.
4) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Penjelasan :
Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan impor Barang Kena Pajak, atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh:
Pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.
5) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean didalam daerah pabean.
Penjelasan :
Hal. 16
Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.
6) Ekspor Barang Kena Pajak berwujud yang dilakukan Pengusaha Kena Pajak.
Penjelasan :
Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
7) Ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
Penjelasan :
Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
8) Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak Penjelasan :
Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.
b. Objek PPN pasal 16 C
Yakni objek PPN yang dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tatacaranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
c. Objek PPN pasal 16 D
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
Hal. 17
dengan kegiatan usaha, sedangkan Pasal 9 ayat (8) huruf c adalah perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan
station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan
Penjelasan :
Penyerahan Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak. Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor berupa sedan dan
station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan
huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.
Gambar 2.1 Objek PPN
2. BKP dan Barang Non PPN a. Barang Kena Pajak
Hal. 18
sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud, sedangkan Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang‐Undang ini.
b. Penyerahan Barang Kena Pajak
Diatur dalam pasal 1 angka 4 yang mengatakan “Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak” termasuk dalam pengertian di atas adalah :
1) penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “perjanjian” meliputi jual beli, tukar‐menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang. 2) pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa
beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing); Penjelasan :
Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing).
Yang dimaksud dengan “pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna usaha (leasing)” adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi.
Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee).
3) penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
Penjelasan :
Hal. 19
dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner.
Yang dimaksud dengan “juru lelang” adalah juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.
4) pemakaian sendiri dan/atau pemberian cumacuma atas Barang Kena Pajak;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “pemakaian sendiri” adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
Yang dimaksud dengan “pemberian cuma‐cuma” adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
5) Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
Penjelasan :
Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak.
Hal. 20
Penjelasan :
Dalam hal suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antartempat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak.
Yang dimaksud dengan “pusat” adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan. Yang dimaksud dengan “cabang” antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya
7) penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; Penjelasan :
Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang Kena Pajak yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan tersebut.
Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik Barang Kena Pajak, pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian Barang Kena Pajak (retur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A Undang‐Undang ini 8) penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
Penjelasan :
Hal. 21
dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.
c. Bukan Penyerahan BKP
Sedangkan yang bukan penyerahan Barang Kena Pajak adalah sebagai mana tertulis dalam pasal 1A ayat (2) UU PPN, yakni :
1) penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang‐ Undang Hukum Dagang;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan ”makelar” adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang‐ Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden
dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka
menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang‐orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja.
2) penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang‐ piutang;
Penjelasan : sudah cukup jelas
3) penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
Penjelasan :
Hal. 22
4) pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “pemecahan usaha” adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang‐ Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas.
5) Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan yakni yang tidak berhubungan langsung dengan usaha dan jenisnya sedan dan station wagon.
d. Bukan Barang Kena Pajak
Maksudnya adalah barang yang tidak dikenai PPN , sesuai dengan pasal 4A ayat (2) UU PPN 1984, barang yang tidak dikenai PPN adalah :
1) barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
Penjelasan :
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi:
a) minyak mentah (crude oil);
b) gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
c) panas bumi;
d) asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
Hal. 23
f) bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
2) barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
Penjelasan : a) beras; b) gabah; c) jagung; d) sagu; e) kedelai;
f) garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g) daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
h) telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
i) susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
j) buah‐buahan, yaitu buah‐buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di‐grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
k) sayur‐sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
3) makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering;
Penjelasan :
Hal. 24
Pajak Daerah.
4) uang, emas batangan, dan surat berharga.
3. JKP dan Bukan JKP a. Jasa Kena Pajak
Dalam pasal 1 angka 5 dan 6 undang‐undang PPN 1984 disebutkan : Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Sedangkan Jasa Kena Pajak jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang‐ Undang ini.
b. Penyerahan Jasa Kena Pajak
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak. Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat‐syarat sebagai berikut: (a) jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak; (b) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan (c) penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma‐cuma.
Hal. 25
sebagai ekspor Barang Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.”
Kemudian dalam pasal 2 PMK Nomor 70/PMK.03/2010, dikatakan :
(1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
(2) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(3) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah 0% (nol persen).
(4) Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Penggantian
Menurut pasal 2 PMK 70/PMK.03/2010, selain ekspor Jasa Maklon, ekspor JKP yang terutang PPN juga dikenakan terhadap :
(1) jasa perbaikan dan perawatan
(2)jasa konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.
c. Bukan Jasa Kena Pajak
Bukan Jasa Kena Pajak maksudnya adalah jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Diatur dalam pasal 4A ayat (3) UU PPN 1984. Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
1) jasa pelayanan kesehatan medis; Penjelasan :
Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:
a) jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi; b) jasa dokter hewan;
c) jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
Hal. 26
f) jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium
g) jasa psikolog dan psikiater; dan
h) jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
2) jasa pelayanan sosial; Penjelasan :
Jasa pelayanan sosial meliputi:
a) jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo; b) jasa pemadam kebakaran;
c) jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan; d) jasa lembaga rehabilitasi;
e) jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan
f) jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial. 3) jasa pengiriman surat dengan perangko;
Penjelasan :
Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel. 4) jasa keuangan;
Penjelasan :
Jasa keuangan meliputi:
a) jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu; b) jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau
meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
c) jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
(1) sewa guna usaha dengan hak opsi; (2)anjak piutang;
(3)usaha kartu kredit; dan/atau (4)pembiayaan konsumen;
Hal. 27
e) jasa penjaminan. 5) jasa asuransi;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “jasa asuransi” adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
6) jasa keagamaan; Penjelasan :
Jasa keagamaan meliputi:
a) jasa pelayanan rumah ibadah;
b) jasa pemberian khotbah atau dakwah;
c) jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan d) jasa lainnya di bidang keagamaan.
7) jasa pendidikan; Penjelasan :
Jasa pendidikan meliputi:
a) jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah,seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional;
b) jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah. 8) jasa kesenian dan hiburan;
Penjelasan :
Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.
9) jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan; Penjelasan :
Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
Hal. 28
11) jasa tenaga kerja Penjelasan :
Jasa tenaga kerja meliputi:
a) jasa tenaga kerja;
b)jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
c) jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja. 12) jasa perhotelan;
Penjelasan :
Jasa perhotelan meliputi:
a) jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap;
b)jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
13) jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
Penjelasan :
Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam
rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jenis‐jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian lzin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk 14)jasa penyediaan tempat parkir;
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “jasa penyediaan tempat parkir” adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran.
15) jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; Penjelasan :
Hal. 29
dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.
16)jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan 17) jasa boga atau katering.
4. Objek PPN Pasal 16 C
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Menurut PMK nomor 163/PMK.03/2012, :
a. Pengertian Kegiatan Membangun Sendiri
Kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain.
b. Syarat PPN KMS :
Bangunan yang dikenai PPN KMS adalah satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
1) konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
2) diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
3) luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi).
c. Tarif PPN KMS
1) 10 % dikali Dasar Pengenaan Pajak.
2) Dasar Pengenaan Pajak adalah 20% (dua puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.
d. Saat dan Tempat Terutang PPN KMS
Hal. 30
kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan‐ tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. Dan Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.
Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.
e. Penyetoran dan Pelaporan PPN KMS :
1) Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri wajib disetor ke kas negara melalui kantor pos atau bank persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
2) Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang harus diisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan di bidang perpajakan.
3) Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom NPWP yang tercantum pada Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dengan NPWP orang pribadi atau badan tersebut.
4) Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dengan ketentuan sebagai berikut :
a) kolom NPWP diisi dengan :
angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;
angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan
angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.
Hal. 31
5) Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dengan ketentuan sebagai berikut :
a) kolom NPWP diisi dengan :
angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;
angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan
angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.
b) pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.
6) Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. Ketentuan tambahan :
a) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak
Hal. 32
penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak
c) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang, wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
f. Hal‐hal lain yang perlu diperhatikan :
1) Dalam hal bangunan sebagai hasil kegiatan membangun sendiri digunakan oleh pihak lain sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib menyerahkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri kepada pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut;
2) Dalam hal orang pribadi atau badan yang membangun sendiri bangunan untuk digunakan pihak lain tidak dapat menunjukkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.
Hal. 33
didirikan atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dapat mengeluarkan surat teguran .
4)Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah melakukan penyetoran atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri namun berdasarkan data yang dimiliki dan diperoleh oleh Direktorat Jenderal Pajak diyakini terdapat indikasi penyetoran atau pelaporan yang tidak wajar, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama dapat menerbitkan surat himbauan
5) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya surat teguran atau surat himbauan, orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat melakukan verifikasi atau pemeriksaan untuk menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut.
6)Berdasarkan hasil verifikasi atau pemeriksaan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas kegiatan membangun sendiri.
7) Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sesuai ketentuan perundang‐undangan di bidang perpajakan.
8)Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah memiliki NPWP namun berbeda dengan tempat bangunan didirikan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sebagai cabang sesuai ketentuan perundang‐undangan di bidang perpajakan
g. Penetapan secara jabatan PPN KMS :
Hal. 34
Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi.
2) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, maka jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan ditetapkan secara jabatan berdasarkan nilai terendah dari data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) masing‐masing daerah sesuai
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara dan perubahannya.
3) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak benar atau tidak lengkap, sehingga:
a) jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan lebih rendah dari nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN), maka penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) tersebut; atau
b) jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan lebih tinggi dari nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN), maka penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan.
Hal. 35
Penetapan Secara Jabatan Jumlah Biaya yang Dikeluarkan dan/atau yang Dibayarkan untuk Membangun Bangunan yang Digunakan untuk Menghitung Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri
h. Contoh Perhitungan PPN KMS 1) Contoh soal :
PT Grahaku membangun gedung kantor mulai Januari 2014, seluas 1.500 m2, dengan perincian biaya selama Januari 2014 adalah sbb :
Pembersihan lahan Rp 5.000.000
Pemadatan lahan Rp 10.000.000
Pemancangan tiang Rp 17.500.000
Pembelian bahan
Besi Rp 120.000.000
Semen Rp 17.500.000
Pasir Rp 15.000.000
Batu kali Rp 15.000.000
Rp 167.500.000
Penyewaan Alat Berat Rp 30.000.000 Tenaga Kerja
Pengawas tukang 4 X 200.000 X 26 Rp 20.800.000 Kepala Tukang 8 X 150.000 X 26 Rp 31.200.000 Tukang 32 X 100.000 X 26 Rp 83.200.000 Pembantu tukang 24 X 75.000 X 26 Rp 46.800.000
Rp182.000.000
Total Biaya Bulan Januari 2013 Rp412.000.000 DPP = 20 % X 412.000.000 Rp 82.400.000 PPN = 10 % X 82.400.000 Rp 8.240.00
Hal. 36
berapakah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pembangunan rumah tersebut?
Sesuai dengan PMK No. 163/PMK.03/2012 tarif PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang terhutang adalah:
= 10% X DPP
= 10% X (20% X Total biaya Pembangunan) = 10% X (20% X (Rp 180.000.000 + Rp 70.000.000)
Sehingga PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang terhutang adalah
= 10% X 20% X Rp 250.000.000 = Rp 5.000.000
5. Objek PPN Pasal 16 D
Menurut pasal 16 D undang‐undang PPN 1984, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
Pasal 9 ayat (8) huruf b adalah perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha, sedangkan Pasal 9 ayat (8) huruf c adalah perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan
station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan
Penyerahan Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak. Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor berupa sedan dan
station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan
huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.
Jadi untuk bebas dari pengenaan PPN pasal 16 D ini, aktiva yang dimiliki pengusaha kena pajak ini harus memenuhi 2 persyaratan berikut :
Hal. 37
b. Bukan berjenis sedan dan station wagon
PPN dihitung dengan mengalikan tarif PPN 10% dengan harga pasar wajar aktiva tersebut
Contoh perhitungan
Tuan A mengelola sebuah perusahaan persewaan kendaraan bermotor. Adapun jenis kendaraan bermotor yang disewakan adalah jip, van, dan sedan. Tuan A telah dikukuhkan sebagai PKP sejak 21 April 2005. Dalam rangka peremajaan, maka dalam bulan April 2014 dilakukan penjualan beberapa aktiva perusahaan, sebagai berikut:
10 unit sedan yang semula disewakan yang dibeli pada 31 Maret 2010 dijual dengan harga jual seluruhnya Rp 1 milyar
2 unit Van yang semula untuk kegiatan pemasaran dan antar jemput karyawan, yang dibeli 30 April 2011 dijual dengan harga jual seluruhnya 150 juta;
Diminta : Hitung PPN yang terutang atas penjualan aktiva di atas! Maka :
a. Atas penjualan 10 unit sedan senilai Rp 1 milyar
PPN = 10% X Rp 1 M Rp 100 juta
b. Atas penjualan 2 unit van senilai Rp150 juta
PPN = 10% X Rp150 juta Rp 15 juta
Jumlah PPN terutang keseluruhan Rp 115 juta
C. LATIHAN
1. Tentukan apakah transaksi berikut terutang PPN atau tidak? a. Penjualan motor bekas oleh dealer PT. Maju Makmur.
b. Jasa perbankan dalam menghimpun uang masyarakat oleh BCA. c. Impor komputer dr PT. IBM International (Amerika) ke PT. Pasti
Untung di Berikat Nusantara Pulogadung.
d. PT. Carefour Indonesia membeli beras dari kelompok tani makmur.
e. PT. Carefour Indonesia membeli madu murni dari PT. Perhutani (Persero)
f. Apotik Kimia Farma jual obat kepada pasen di RSCM.
g. PT. Carefour Indonesia menjual beras rojolele kepada konsumen. h. Kantor pusat PT. Malu‐Malu Kucing di Jakarta mengirim mobil
Hal. 38
2. Pada Bulan April 2015 Tuan Wijaya memulai membangun sebuah rumah untuk tempat tinggal pribadinya. Luas keseluruhan dari rumah tersebut adalah sebesar 250 m2, biaya‐biaya yang dikeluarkan oleh Bapak Andi di Bulan April 2015 dalam upaya membangun rumah tersebut adalah sebagai berikut: pembelian tanah seluas 300 M2 di Bogor sebesar Rp 225.000.000, pembelian bahan baku bangunan keseluruhan Rp 80.000.000, biaya upah mandor dan pekerja bangunan Rp. 20.000.000. Maka berapakah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pembangunan rumah tersebut?
D. TUGAS PETUNJUK :
Tugas ini adalah Tugas II Mata Kuliah Perpajakan 2
Tugas diketik dalam kertas ukuran A4, dengan margin ukuran normal, jenis huruf Arial ukuran 12, spasi 1,25
Tugas dilengkapi dengan keterangan : nama, NIM, ruang kelas, dan nilai (dikosongkan saja) pada pojok kanan atas. Contoh layout lembar jawaban sebagai berikut :
Tugas dikumpulkan pada saat pertemuan berikutnya.
Sanksi keterlambatan adalah dianggap tidak mengerjakan dan mendapatkan nilai 0 (nol) untuk Tugas II
Hal. 39 RINCIAN TUGAS :
1. Carilah contoh perhitungan untuk PPN pasal 16 D untuk aktiva yang semula tidak utuk dijual, kemudian bandingkan pengenaannya sebelum berlakunya UU no 42 tahun 2009 tentang PPN & PPnBM 1, dengan sesudah berlakunya Undang‐undang tersebut.
2. Kapan saja penyerahan Barang Kena Pajak terutang PPN?
3. Apa syaratnya penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN? 4. Jelaskan apa saja ekspor JKP yang dikenai PPN dan bagaimana
perlakuan terhadap pajak masukannya?
E. RINGKASAN MATERI
PPN adalah negative list maksudnya barang dan jasa yang tertulis dalam undang‐undang ini tidak dikenai pajak, jadi yang tidak tertulis semuanya dikenakan pajak pertambahan nilai. Barang Kena Pajak adalah semua barang yang dikenai pajak menurut undang‐undang PPN 1984, demikian juga Jasa Kena Pajak adalah semua jasa yang dikenai pajak menurut UU PPN 1984.
Objek PPN adalah barang dan jasa yang dikenai pajak berdasarkan undang‐undang PPN 1984, dan dimuat pada pasal 4, pasal 16C, dan pasal 16D . Pasal 4 mengatur pengenaan PPn atas penyerahan, impor dan ekspor Barang Kena Pajak &/Jasa Kena Pajak, pasal 16 C mengatur pengenaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan baik orang pribadi maupun badan , sedang pasal 16 D mengatur pengenaan PPN atas penyerahan aktiva yang semula tujuannya tid