• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEWBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEWBAHASAN"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEWBAHASAN

4.1. Validasi Model

Validasi model simulasi seleksi dilakukan dengan membandingkan antara hasil simulasi dengan data pemban- ding atau data hasil penelitian. Data yang digunakan untuk validasi model simulasi seleksi adalah data bobot setahunan hasil simulasi dan data pembanding.

Pengujian antara data simulasi dan data penelitian dilakukan terhadap model simulasi tanpa seleksi, sebab keluaran model ini diasumsikan tidak mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Keadaan bobot setahunan pada popu- lasi ini akan tetap berada dalam kisaran bobot setahunan pada populasi awal, dari awal sampai akhir simulasi.

Validasi dilakukan dengan membandingkan antara bobot setahunan keturunan pertama dan kedua hasil s'i- mulasi dengan bobot setahunan data pembanding dari data performans produksi sapi Bali tahun 1978 dan 1979 (Ditjennak

-

IPB) yang diolah kembali. Rataan dan sim- pangan baku bobot setahunan data hasil simulasi dan data pembanding, diperlihatkan pada Tabel 13.

Hasil uji-t student diperoleh bahwa antara bobot setahunan hasil simulasi keturunan tahun pertama dengan data lapang tahun 1978 dan hasil simulasi tahun kedua dengan data lapang tahun 1979 tidak berbeda nyata

(P > 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa model simulasi

(2)

Tabel 13. Rataan dan Simpangan Baku Bobot Seta- hunan Hasil Simulasi dan Data Lapang

No. Data simulasi Data lapang

---

---

N Rataan Sb N Rataan Sb

BI TH BI TH

Feteranaan: N

-

-

Jumlah data

Sb = Simpangan baku

a = Bobot setahunan keturunan tahun pertama

b = Bobot setahunan keturunan tahun kedua

c = Bobot setahunan data lapang tahun 1978

d = Bobot setahunan data lapang tahun 1979

dengan data lapang (data riil) sehingga model simulasi tersebut dapat diterima. Hasil uji-t student dapat di-

lihat pada Lampiran 6.

Secara teoritis satu model setelah divalidasi untuk menggambarkan satu populasi tanpa seleksi dari generasi ke generasi menggambarkan sifat yang di validasi, berar- ti kita menyesuaikan bahwa model yang sama dengan vali- dasi seleksi negatif dan seleksi terbaik juga dianggap berlaku atau valid.

4 . 2 . Simulasi Perkembanaan Kineria

Perubahan Genetik Bobot S a ~ i h dan Bobot Setahunan

Seleksi dilakukan berdasarkan bobot setahunan de- ngan harapan dapat meningkatkan bobot setahunan melalui

(3)

perbaikan mutu genetiknya secara langsung, dan secara tidak langsung diharapkan akan meningkatkan mutu genetik bobot sapih, sehingga akan meningkatkan bobot setahun

dan bobot sapih (Warwick dan Legates, 1979).

Hasil perubahan genetik bobot setahunan melalui seleksi massa (seleksi individu), pada populasi dengan seleksi terbaik, seleksi negatif I, dan negatif I1 di-

sajikan pada Lampiran 7. Rata-rata perubahan genetik

bobot setahunan dari populasi dengan seleksi terbaik adalah 0.29 kg/tahun. Rata-rata perubahan genetik bobot setahunan pada populasi dengan seleksi negatif I dan seleksi negatif I1 masing-masing berturut-turut adalah

0.12 kg/tahun dan 0.09 kg/tahun.

Rendahnya perubahan genetik bobot setahunan pada populasi dengan seleksi negatif I1 dibanding dengan se- leksi negatif I, mungkin disebabkan karena dengan se-

leksi negatif I sebesar 30 persen masih besar kemungkin-

an tersisa ternak-ternak yang berada di atas rataan populasi terseleksi sebagai pejantan, dengan keragaman yang lebih tinggi dibanding dengan populasi dengan

seleksi negatif I1 sebesar 66 persen.

,

Grafik perubahan genetik (respons seleksi) bobot setahunan sapi Bali dari populasi dengan metode seleksi

yang berbeda disajikan pada Gambar 5.

Perubahan genetik (respons seleksi) pada seleksi terbaik, terjadi peningkatan dari tahun ke tahun sampai

(4)

Respon- Seleksl (kg/ek/th)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 1 12 13 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 2 0

Tahun

Respon Seleksi (kg/ek/th)

Srlrksl Nogotlf I

+

Srlrkrl Nogotlf ll

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 2 0

Tahun

Gambar 5. Grafik Respons Seleksi Bobot Setahunan Sapi Bali dari Hasil Simulasi dengan Cara Seleksi Berbeda

(5)

tahun ke-13 simulasi, kemudian terjadi kecenderungan respons seleksi berkurang. Ini menunjukkan bahwa setelah tahun ke-13, seleksi mulai tidak efektif lagi. Peruba-

han genetik pada seleksi negatif I mulai tidak efektif

setelah tahun ke-18 simulasi. Sedangkan pada seleksi

negatif I1 respons seleksi berkurang setelah tahun ke-13 simulasi. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh keraga- man genetik dengan seleksi negatif I lebih tinggi di- banding seleksi negatif 11, demikian juga terlihat

respons seleksi pada seleksi negatif I menurun dengan

teratur setelah tahun ke-13. Pola yang sama tanggapan

seleksi untuk kandungan minyak pada jagung selama 70 generasi, dengan seleksi dua arah kandungan tinggi dan rendah. Dengan seleksi arah menurun pada mulanya sama efektifnya, tetapi pada saat kadar minyak di bawah dua persen perkecambahan yang rendah dari biji yang berkadar minyak sangat rendah itu akan mengurangi kemajuan selek- si (Dudley dkk., 1974 dalam Warwick dkk., 1984). Sedang-

kan seleksi dua arah berat tikus pada umur 60 hari,

tanggapan seleksi arah bawah tidak efektif setelah berat badan mencapai 12 gram, yang dicapai setelah generasi ke-12 (Mac Arthur, 1949 dalam Warwick dkk., 1984).

Perubahan genetik untuk bobot setahunan yang rendah kemungkinan disebabkan potensi genetik sapi Bali yang rendah, yang sudah mengalami degenerasi genetik. Selain daripada itu (Trikesowo, 1988) menyatakan saat ini sulit

(6)

menemukan sapi Bali yang bobot badannya tinggi dan kera- gaman yang tinggi.

Seleksi berdasarkan bobot setahunan merupakan kri- teria yang paling baik, karena mencerminkan potensi sapi itu sendiri karena tidak ada pengaruh induk secara lang- sung (Lasley, 1978; Minish dan Fox, 1979). Secara tidak langsung sebagai akibat seleksi bobot setahunan juga da- pat meningkatkan bobot sapih, karena antara bobot sapih dan bobot setahunan mempunyai korelasi genetik yang tinggi (Massey dan Benyshek, 1982; Preston dan Willis, 1974; Cole, 1966).

Rataan perubahan genetik bobot sapih sapi Bali sebagai akibat seleksi bobot sapih secara tidak langsung pada seleksi terbaik, terjadi peningkatan sebesar 0.22 kg/tahun. Rata-rata perubahan genetik bobot sapih se- bagai akibat seleksi bobot sapih secara tidak langsung pada seleksi negatif I dan negatif I1 masing-masing ber- turut-turut adalah 0.13 kg/tahun dan 0.09 kg/tahun. Respons seleksi bobot sapih sebagai akibat seleksi bobot setahunan secara langsung diperlihatkan pada Lampiran 8.

tahunan dan Bobot S a ~ i h Perubahan Rataan Bobot Se

Berdasarkan hasil simulasi komputer dari empat populasi sapi Bali dengan cara seleksi yang berbeda di- jelaskan sebagai berikut.

(7)

Populasi Tanpa Seleksi

Pada populasi tanpa seleksi selama 20 tahun simula-

si, tidak terjadi perubahan bobot sapih maupun bobot se- tahunan yang besar dan dapat diabaikan. Ini menunjukkan sama seperti keadaan populasi ternak secara alami jika suatu populasi kawin acak, tidak terjadi perubahan ling- kungan dan tidak terjadi seleksi, tidak terjadi mutasi dan tidak terjadi migrasi akan tetap sama dari waktu ke

waktu. Selama simulasi terlihat ada fluktuasi rataan

bobot badan yang turun naik tapi masih dalam kisaran po- pulasi awal baik pada bobot setahunan maupun bobot sapih dan terlihat pula bobot badan awal dan akhir selisihnya kecil. Rataan bobot setahunan dan bobot sapih awal dan

akhir simulasi diperlihatkan pada Tabel 14.

Tabel 14. Rataan Bobot Setahunan dan Bobot Sapih

Awal dan Akhir Simulasi (kg)

Bobot Awal

Bobot Akhir

Peningkatan

Populasi

simulasi

simulasi

tahun

ke-20 (%)

1.

Tanpa seleksi (a)*

118.27 118.62

+

0.29

(b)

84.93 83.63

-

1.53

2.

Seleksi negatif

I

(a)

118.38 106.99

-

9.62

I

(b)

84.98 76.10

-

10.45 3.

Seleksi negatif

I 1

(a)

118.41 103.26

-

12.79

1 1

(b)

84.84 74.99

-

11.61

4.

Seleksi terbaik (a)

118.69 132.91

+

11.98

(b)

84.61 95.13

+

12.43

. . .

Ketera naan (a) Bobot setahuan

*

(8)

Populasi Seleksi Negatif I dan I1

Seperti telah diuraikan dalam metode seleksi nega- 'tif yaitu sapi Bali jantan yang berat badannya di atas rata-rata populasi dikeluarkan, sehingga yang terseleksi jadi bibit adalah ternak yang bobot badannya rata-rata atau di bawah rata-rata populasi. Akibatnya terjadi pe- nurunan bobot badan, karena ternak yang terseleksi (jadi bibit) mutu genetiknya kurang baik akibat dari penjualan ternak yang bermutu baik untuk dipotong.

Hasil simulasi dengan seleksi negatif I (30 persen) terjadi penurunan bobot setahunan sebagai akibat seleksi secara langsung sebesar 9.62 persen dan terjadi penurun- an bobot sapih sebagai akibat seleksi bobot sapih secara tidak langsung sebesar 10.45 persen. Hasil simulasi seleksi negatif I1 terjadi penurunan bobot setahunan se- bagai akibat seleksi secara langsung dan terjadi penu- runan bobot sapih akibat seleksi secara tidak langsung masing-masing 12.79 persen (0.64 persen pertahun) untuk bobot setahunan dan 11.61 persen (0.58 persen pertahun) untuk bobot sapih. Hasil tersebut lebih rendah jika di- bandingkan dengan dugaan seleksi negatif yang terjadi selama ini dari rataan bobot potong menurut IPB (1970) dan Martojo (1984) -6 Martojo (1988) sebesar 413

+

49 kg turun menjadi 310

+

95 kg atau dengan penurunan 24.94 persen atau rata-rata 1.78 persen pertahun. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan karena penurunan bobot

(9)

potong tersebut selain disebabkan oleh seleksi negatif juga disebabkan oleh biak-dalam. Martojo (1988) menya- 'takan penurunan mutu sapi Bali di Bali mungkin disebab- kan karena biak-dalam yang ditandai dengan adanya ke- ragaman sapi Bali antar desa berbeda dan keseragaman fe- notipe sapi Bali dalam desa yang sama terutama yang me- nganut sistem perkawinan tertutup.

Populasi Seleksi Terbaik

Dengan seleksi terbaik selain dapat meningkatkan bobot setahunan akibat seleksi secara langsung, juga dapat meningkatkan bobot sapih secara tidak langsung. Hasil simulasi seleksi terbaik sampai akhir simulasi tahun-20 menunjukkan peningkatan bobot setahunan sebesar 11.98 persen (rata-rata 0.60 persen pertahun) dan secara tidak langsung meningkatkan bobot sapih sebesar 12.43 persen (rata-rata 0.62 persen pertahun). Hasil ini lebih rendah dibanding laporan Pane (1990) yang menyata- kan keunggulan hasil keturunan bobot setahun pejantan proyek terbaik 12

-

15 persen lebih unggul dibanding ke- turunan pejantan 1.B dari Dinas Peternakan di P3 Bali dari tahun 1986

-

1989. Perbedaan ini mungkin disebab- kan karena pejantan proyek yang digunakan adalah pejan- tan unggul yang sudah di seleksi. Demikian juga jika dibanding dengan hasil seleksi bangsa sapi unggul, rata- rata kemajuan yang diperoleh dari hasil simulasi seleksi terbaik sedikit lebih rendah seperti seleksi pertumbuhan

(10)

sapi Angus memperoleh peningkatan bobot setahun 0.84 persen dan bobot sapih sebesar 0.72 persen (Parnell, '1989). Grafik rataan bobot setahunan dan simpangan baku

dan grafik rataan bobot sapih dan simpangan baku disaji- kan masing-masing pada Gambar 6 dan Gambar 7.

Pola peningkatan rataan bobot setahunan mula-mula terjadi peningkatan dengan cepat, kemudian terjadi pe- ningkatan relatif lebih lambat setelah tahun ke-10 dan menunjukkan grafik yang mendatar setelah tahun ke-15 me- nunjukkan dicapainya batas seleksi seperti diperlihatkan pada Gambar 6. Sejalan dengan ha1 ini Warwick dkk.,

(1984) menyatakan seleksi yang dilakukan pada beberapa generasi sampai suatu saat akan dicapai batas seleksi, namun sukar menentukan kapan dicapai batas seleksi de- ngan pasti sebab sering ditemukan batas seleksi sudah tercapai, kemudian naik lagi karena respons seleksi. Berbeda dengan pola rataan bobot sapih, terjadinya pe- ningkatan rataan sebagai akibat seleksi bobot sapih se- cara tidak langsung, sampai akhir simulasi. Hal ini mungkin disebabkan karena peningkatan yang diperoleh ha- nya merupakan akibat dari respons karena adanya korela- si. Dengan hasil seleksi pada bobot setahunan menunjuk- kan ketepatan lebih tepat karena merupakan respons se- leksi secara langsung. Demikian pula seleksi terhadap bobot setahunan lebih baik karena mempunyai heritabili- tas lebih tinggi dibanding bobot sapih, dan tidak ada

(11)

B o b o t S e t a h u n ( k g ) 126

-Cmt.a 11.. +IIII.I ~*ms.b +mat.. marah e o b o t 8 e t a h u n ( k g )

1 4 0 B o b o t S e t a h u n (kg)

Tahun

B o b o t S e t a h u n (kg)

-8.1.. At.. +IIll.l T0ma.b [email protected].. At..

122

-a.t.. ~ t a a +1111.l 1ens.b *mat.. n a r a b

-..*..

.,..

+ . I $ . , h ...a

*..*..

....a Tahun 1 8 6 - 1 8 0 - 1 1 0 - 1. 8 e I e k . 1 T a r b a l k 2. S o l e k r l N o g a t i f l ( 3 0 % ) 1 1 6 L B n * ' a n a * 6 L 1 n 1 1 t 1 a 4

,

,

r 8

,

~ 0 ~ 1 1 1 a 1 4 1 , 1 ? 1 1 # 0 106 1 2 S 4 6 0 7 @ 8 10111¶1S14161@171@1820 ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' T a h u n Tahun 126

Gambar 6. Grafik Rataan Bobot Setahun dan Simpangan Baku dari Hasil Simulasi dengan Cara Seleksi Berbeda

(12)

B o b o t S a p i h (kg) Tahun B o b o t Saplh (kg) 2. Selek8i N a g a t i f 1 ( 3 0 % ) 7 0 l t l l l l * l a l ' * l l l l l l 1 2 a 4 6 8 7 8 9 1 0 1 1 1 Z 1 ~ 1 4 1 6 1 8 1 7 1 ~ 1 8 ) 0 Tahun e 0

- C S a I a a At.. +YII.I lorn#.*

*

0.1.. S a r a h

Gambar 7. Grafik Rataan Bobot Sapih dan

Simpangan Baku dari Hasil Simulasi dengan Cara Seleksi Berbeda

B o b o t S a p l h ( k g ) B o b o t S a p l h (kg) 9 0 + - ~ a t a a A I ~ . + Y I I ~ I T a r a a h * 0 a 1 . a 8 . r . h 8 0 - 7 6

-

C 3. S s l e k r i N a g a t i f 11 ( 6 6 % ) 7 0 1 1 ~ ' 1 ' ' 1 ' ' 1 ' ' ' ' ' 6. Tanpa 3 e I e k 0 l ? 6 Tahun

T

1 2 3 4 6 0 7 8 0 1 0 1 1 1 2 1 ~ 1 ~ ' ~ 1 ~ 1 ~1 ~ ~t 1a ~4 6 0 2 0 7 a e 1 0 l 1 1 t 1 l t 4 1 6 1 0 1 ? 1 0 1 , 1 0 Tahun

(13)

lagi pengaruh induk secara langsung (Lasley, 1978; Mi- nish dan Fox, 1979).

Dengan hasil simulasi seleksi terbaik menunjukkan bahwa dengan seleksi terbaik dapat mencegah terjadinya pengaruh seleksi negatif. Rataan bobot setahunan hasil simulasi seleksi masih berada dalam kisaran penelitian sebelumnya yaitu 124.47

+

48.43 kg (Pane, 1982). Rataan bobot setahun selama simulasi disajikan pada Lampiran 9 dan rataan bobot sapih disajikan pada Lampiran 10. Di- peroleh peningkatan rataan bobot setahun 14.22 kg dan bobot sapih sebesar 10.52 kg selama 20 tahun dengan cara seleksi terbaik. Kenaikan ini cukup tinggi jika dihi- tung dalam suatu populasi yang diseleksi.

Korelasi Genetik dan Korelasi F e n o t i ~ i k

Korelasi genetik dan korelasi fenotipik antara bo- bot sapih dan bobot setahunan dari populasi sapi Bali dengan seleksi yang berbeda diperlihatkan pada Tabel 15.

Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa korelasi genetik anta- ra bobot sapih dengan bobot setahunan untuk seleksi ter- baik berkisar antara 0.88

-

0.98. Korelasi genetik an- tara bobot sapih dengan bobot setahunan untuk seleksi negatif I berkisar 0.88

-

0.97, seleksi negatif I1 ber- kisar 0.88

-

0.97 dan tanpa 0.85

-

0.98. Kisaran ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi genetik antara bobot sapih dengan bobot setahun yang tinggi. Hasil ini dalam kisaran Massey dan Benyshek (1982) yaitu 0.85

+

0.04.

(14)

Tabel 15. Korelasi Genetik (rG) dan Korelasi Fenotipik (rp) antara Bobot Sapih dengan Bobot Setahun

Keteranuan:

+

Seleksi 1 Terbaik

2 Negatif I (30%)

3 Negatif I1 (66%)

(15)

Korelasi genetik antara bobot sapih dengan bobot setahunan hasil simulasi lebih tinggi dari hasil pene- litian James dan Pattie (1976) yang mendapatkan 0.75.

Tetapi korelasi genetik antara bobot sapih dengan bobot

setahunan hasil simulasi (0.88

-

0.98) berada dalam ki-

saran laporan Dickerson dkk. (1974) yaitu 0.94

+

0.09.

Korelasi fenotipik hasil simulasi seleksi untuk keempat populasi berturut-turut untuk seleksi terbaik

berkisar antara 0.26

-

0.49, seleksi negatif I berkisar

0.01

-

0.48, seleksi negatif I1 berkisar 0.26

-

0.46,

dan tanpa seleksi berkisar antara 0.33

-

0.48. Hasil

tersebut lebih rendah dibanding dengan hasil penelitian James dan Pattie (1976) yang menyatakan korelasi fenoti-

pik antara bobot sapih dengan bobot setahunan 0.50. KO-

relasi fenotipik laporan Dickerson dkk. (1974) juga

lebih tinggi dibanding hasil simulasi yaitu 0.67

+

0.03.

Adanya perbedaan korelasi fenotipik tersebut mungkin

disebabkan oleh bangsa sapi dan f aktor lingkungan, seba-

gaimana James dan Pattie (1976) menyatakan bahwa kore- lasi fenotipik dipengaruhi oleh korelasi genetik, kore- lasi lingkungan dan heritabilitas antara dua sifat yang berkorelasi.

4.3. Simulasi Perkembanaan Po~ulasi

Simulasi perkembangan populasi terdiri dari dua skenario yaitu (I) Populasi dengan pemanenan tidak ter- kontrol dan (11) Populasi dengan pemanenan terkontrol.

(16)

Skenario I

Berdasarkan simulasi komputer maka peranan pemanen- 'an terhadap pola perkembangan populasi dijelaskan seba-

gai berikut.

Pengaruh perubahan tingkat pemanenan ternak masing- masing sebesar 16 persen, 14 persen, dan 12 persen de- ngan kenaikan masing-masing 6.2 persen per tahun dikom- binasikan dengan tingkat kelahiran 60 persen, kematian anak enam persen dan kematian dewasa empat persen.

Hasil simulasi dari ketiga tingkat pemanenan ter- sebut menunjukkan bahwa pada pemanenan 16 persen dan pe- manenan 14 persen menghasilkan perkembangan populasi yang menurun, sedangkan pada pemanenan 12 persen meng- hasilkan perkembangan populasi yang meningkat. Rincian hasil simulasi perkembangan populasi seperti yang diper- lihatkan pada Tabel 16.

Tabel 16. Hasil Simulasi Perkembangan Populasi dari Berbagai Tingkat Pemanenan

T o t a l Populasi (ST) Rataan Pemanenan (ST)

pop+

- - -

Kenaikan

- - -

Rats-rats Awa 1 Akhir per t h (%) Awal Akhir (ST

Keteranaan: +pop 1 = Populasi dengan pemanenan 16% Pop 2 = Populasi dengan pemanenan 14% Pop 3 = Populasi dengan pemanenan 12%

(17)

Tabel 16 terlihat pada tingkat pemanenan 16 persen, total populasi menurun dari 377 955 ST pada awal simu- .lasi menjadi 263 091 ST pada akhir simulasi tahun ke-20,

atau rata-rata penurunan populasi sebesar 1.52 persen. Penurunan tingkat pemanenan dari 16 persen menjadi 14 persen, menyebabkan penurunan total populasi pada akhir simulasi lebih kecil yaitu dari 377 955 ST menjadi 284 666 ST atau turun sebesar 1.23 persen per tahun atau dengan perkataan lain penekanan pemanenan sebesar dua persen dari 16 persen menjadi 14 persen menaikkan total populasi sebesar 8.2 persen.

Pada tingkat pemanenan 12 persen menyebabkan pe- ningkatan populasi akhir simulasi tahun ke-20 dari 377 955 ST menjadi 436 729 ST atau populasi naik sebesar 0.78 persen per tahun.

Tabel 16 menunjukkan bahwa dengan pemanenan sebesar 12 persen tidak mempengaruhi pertumbuhan populasi karena persediaan ternak yang siap dipanen cukup, sehingga po- pulasi induk dan betina muda calon tetua tidak tergang- gu. Pada populasi tiga, total populasi dan total pema- nenan akhir simulasi meningkat rata-rata 0.78 persen dan

2.19 persen. Sebaliknya jika intensitas pemanenan cukup

tinggi (16 persen dan 14 persen), maka untuk memenuhi permintaan, setelah prioritas ternak yang akan dipanen (pejantan afkir, induk afkir, majir, jantan muda) habis maka kekurangannya diambil dari induk dan betina muda

(18)

sehingga akan mengurangi induk produktif yang sekaligus mengurangi angka kelahiran, dan penurunan jumlah popula- 'si. Grafik perkembangan populasi sapi Bali hasil simu- lasi skenario 1 (populasi tanpa kontrol) disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Grafik Perkembangan Populasi Sapi Bali Hasil Simulasi dengan Tingkat Pemanenan Berbeda

Pada Gambar 8 terlihat bahwa total populasi ter- tinggi pada Populasi 1, 2 dan 3 dicapai masing-masing berturut pada tahun kedua, keenam dan ke-12. Adanya perbedaan pencapaian populasi tertinggi dari ketiga po- pulasi ini disebabkan oleh intensitas pemanenan, makin tinggi prosentase pemanenan makin cepat terjadinya

(19)

pemanenan betina produktif sehingga mengurangi jumlah kelahiran. Dilihat dari perkembangan populasi dari awal "sampai akhir simulasi maka untuk mempertahankan total populasi saat ini pemanenan dapat dilakukan 12

-

13 per- sen. Hal ini didasarkan pada simulasi Populasi 3 ter- jadi peningkatan populasi pada akhir simulasi, sedangkan pemanenan 14 persen telah mengakibatkan penurunan popu- lasi setelah tahun ketujuh sampai akhir simulasi.

Pada tingkat pemanenan 16 persen, total pemanenan meningkat dari tahun ke tahun sampai tahun kedelapan dengan total pemanenan 88 959 ST, kemudian pemanenan me- nurun secara berangsur-angsur. Sejalan dengan itu pe- ningkatan populasi hanya berlangsung sampai pada tahun ketiga, kemudian mengalami penurunan. Total pemanenan pada akhir simulasi 64 422 ST atau rata-rata pemanenan 74 423 ST seperti diperlihatkan pada Lampiran 11.

Pola perubahan total pemanenan pada kondisi pema- nenan 14 persen hampir sama pada keadaan pemanenan 16 persen, dengan peningkatan pemanenan berlangsung sampai pada tahun ke-15 periode simulasi dengan total pemanenan 85 799 ST sementara keadaan total populasi meningkat da-

ri tahun pertama sampai pada tahun ketujuh, kemudian me- nurun. Total pemanenan pada akhir simulasi 68 692 ST atau dengan rata-rata pemanenan 74 408 ST setahun (Lam- piran 12).

(20)

Pemanenan sebesar 12 persen terjadi peningkatan po- pulasi dari awal sampai akhir simulasi dengan total pe-

.manenan 79 555 ST atau rata-rata pemanenan 67 445 ST.

Perkembangan total populasi juga meningkat dari tahun ke tahun sampai pada tahun ke-12, kemudian berangsur-angsur

terjadi penurunan. Hal ini berarti bahwa pada kondisi

ini mulai terjadi pemanenan betina produktif, setelah

mencapai total pemanenan 71 078 ST seperti dimuat pada

Lampiran 13.

Komposisi populasi anak dan muda dari ketiga popu- lasi hampir tidak mengalami perubahan. Akan tetapi kom- posisi populasi pejantan dan induk mengalami perubahan seperti dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Komposisi Induk dan Penjantan dari

Kondisi Awal dan Akhir Simulasi

Pop

o+

Pop 1 Pop 2 Pop 3

Klasifikasi

---

---

---

---

ST 1 ST 1 ST 1 ST 1 Pe jantan 7 1 4 2 8 1 8 . 9 0 1 3 4 4 5 5 . 1 1 1 7 7 0 2 6.22 1 2 1 4 1 0 27.80 Induk 1 7 1 2 1 5 1 5 . 3 0 1 1 6 3 1 6 4 4 . 2 1 1 2 3 6 7 2 1 3 . 4 1 1 1 7 9 2 9 3 3 . 8 7 Anak-luda 1 3 5 3 1 2 3 5 . 8 0 1 3 3 3 3 0 50.68 1 4 3 2 9 2 5 0 . 3 4 1 6 7 3 9 0 3 8 . 3 3 Total Populasi 3 7 7 9 5 5 1 0 0 . 0 0 2 6 3 0 9 1 1 0 0 . 0 0 2 8 4 6 6 6 1 0 0 . 0 0 4 3 6 7 2 9 1 0 0 . 0 0

Keteranaaq: +pop 0 = Populasi awal

Pop 1 = Populasi dengan pemanenan 16%

Pop 2 = Populasi dengan pemanenan 14%

(21)

Tabel 17 terlihat bahwa pada pemanenan 12 persen, prosentase pejantan tertinggi dari ketiga populasi yaitu .27.80 persen, tetapi prosentase populasi induk terendah yaitu 33.87 persen. Hal ini disebabkan tidak adanya kontrol pemanenan. Bila dilakukan pengurangan jumlah pejantan sebanyak 30 persen maka populasi induk dapat ditingkatkan sampai 40 persen. Hal ini akan sama dengan komposisi sapi Bali pada kondisi awal yaitu rasio pejantan dan induk 1 : 2.43 ST. Ini tidak berbeda de- ngan kondisi sapi Bali di Bali tahun 1989 dengan rasio pejantan induk 1 : 2.22 ST (Masudana, 1990).

Rasio pejantan-induk pada kondisi pemanenan 16 per- sen adalah 1 : 8.65 ST, sedangkan pada kondisi pemanenan 14 persen rasio pejantan-induk adalah 1 : 7.00 ST, ber- arti lebih tinggi dari keadaan populasi awal. Sekalipun rasio pejantan-induk pada kondisi pemanenan 16 dan 14 persen cukup ideal, tetapi dengan total populasi menurun pada akhir simulasi menunjukkan intensitas pemanenan yang cukup tinggi.

Jika keadaan pemanenan yang cukup tinggi 14

-

16

persen dari hasil simulasi ternyata menurunkan populasi, maka kekhawatiran terjadinya seleksi negatif sapi di Bali bisa terjadi. Apalagi pemanenan pada tahun sebe- lumnya pernah mencapai sampai 23 persen dari populasi (Dinas Peternakan Propinsi. Bali, 1987). Kejadian ini selain populasi yang menurun juga bisa terjadi seleksi

(22)

negatif karena ternak yang jadi tetua adalah ternak sisa yang tidak laku terjual. Sejalan dengan ini Trikesowo (1988) menyatakan telah terjadi seleksi negatif terhadap sapi-sapi di Indonesia ketika masih dilakukan ekspor ternak ke luar negeri (ke Hongkong) dalam kurun waktu tahun 1960 sampai tahun 1970-an. Bahkan sampai saat ini masih tetap berlangsung dengan adanya perdagangan ternak antar pulau yang cenderung mengantar pulaukan ternak

yang terbesar. Penjualan ternak terbesar (seleksi ne-

gatif) seperti ini diperkuat Pane (1982) menyatakan per- aturan ternak yang dapat diantar pulaukan adalah yang

mempunyai bobot badan nilai minimal 360 kg.

Skenario I1

Telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa daya dukung wilayah Propinsi Bali berdasarkan produksi bahan kering hijauan dan limbah pertanian diperkirakan dapat

menampung 617 788 ST. Tetapi jika diamsumsikan bahwa

limbah jerami padi yang berjumlah 302 212 ton bahan kering, hanya dapat dimanfaatkan 10 persen maka daya du-

kung proporsi Bali 518 000 ST berdasarkan bahan kering.

Dengan asumsi bahwa surplus pakan dalam satu wilayah tersedia, layak untuk ternak di daerah lain.

Pada skenario kedua ini pemanenan dikontrol, rasio pejantan dan induk diperlebar dan jumlah induk diperta-

hankan 200 000 ekor. Mengingat sapi Bali menempati jum-

(23)

yang ada, maka dalam perhitungan daya dukung wilayah untuk pengembangan ternak sapi Bali adalah 480 000 ST .berdasarkan bahan kering.

Hasil simulasi perkembangan populasi pada skenario I1 (populasi terkontrol) setelah dirinci disajikan pada Tabel 18. Sedangkan hasil lengkap simulasi perkembangan populasi dapat dilihat pada Lampiran 14-16.

Keadaan lima tahun pertama simulasi kombinasi ting- kat kelahiran 60 persen, kematian anak enam persen dan kematian dewasa empat persen, rata-rata total populasi 526 541 ekor atau naik sebesar 44 713 ekor dibanding keadaan populasi awal.

Keadaan lima tahun kedua simulasi kondisi pertama kombinasi dari tingkat kelahiran 65 persen, kematian anak lima persen dan kematian dewasa tiga persen rata- rata pemanenan meningkat menjadi 100 423 ekor pertahun total populasi rata-rata 582 188 ekor atau naik sekitar 15 persen. Keadaan kondisi kedua dimana tingkat kela- hiran tidak naik (60 persen), sedangkan kematian anak dan dewasa seperti kondisi pertama rata-rata populasi lebih rendah yaitu 574 998 ekor. Keadaan kondisi ketiga dimana tingkat kelahiran 65 persen, sedangkan kematian anak lima persen, kematian dewasa tiga persen rata-rata populasi 582 257 ekor.

(24)

Tabel 18. Rata-rata Populasi Pejantan, Induk dan Anak-Muda dan Populasi Total Setiap Lima Tahun Periode ~imulasi

Periode Lima Tahun ke-

No. Uraian Alternatif

. . .

1 2 3 4 (0-4) ( 5 - 9 ) (10-14) (15-20) 1. Pejantan I* I1 111 2. Induk I I1 I11 3. Anak-Muda I I1 I11 3. Populasi I Ekor Total ST I1 Ekor ST I11 Ekor ST

*

.Keteranaan: I = Tingkat kelahiran 0.60 (naik 5% setiap

5 tahun). Tingkat kematian anak 0.06

(turun 1% pada 5 tahun ke-2 dan ke-3),

kematian dewasa 0.04 turun 1% pada 5

tahun kedua.

I1 = Tingkat kelahiran 0.60 tetap selama

simulasi. Tingkat kematian sama de- ngan alternatif I.

I11 = Tingkat kelahiran sama dengan alter-

natif I. Tingkat kematian anak 0.06,

kematian dewasa 0.04 dan tetap se-

lama simulasi.

Keadaan periode tahun ketiga simulasi dengan kombi-

nasi tingkat kelahiran 70 persen kematian anak empat

(25)

dan pejantan masing-masing 10 persen dan pengafkiran dara 10 persen, rata-rata populasi berjumlah 611 655 ekor. Pada periode simulasi ini telah dicapai jumlah induk yang akan dipertahankan (induk stabil) sebanyak 200 000 ekor, dan daya dukung wilayah maksimal sebanyak 480 000 ST. Keadaan ini dicapai pada tahun ke-12 simulasi, yang merupakan jumlah populasi yang stabil. Pada saat dicapainya jumlah induk yang stabil, panen betina muda "surplus daraw mencapai 20 052. Pada kondi- si kedua rata-rata populasi berjumlah 600 315 ekor dan belum dicapai keadaan populasi yang stabil, sedangkan kondisi ketiga rata-rata populasi sedikit lebih tinggi dalam jumlah ekor (613 245 ekor) tapi dalam satuan ani- mal unit lebih rendah karena ternak 0-3 tahun lebih ba- nyak dibanding kondisi pertama. Populasi stabil ini di- capai pada tahun ke-12.

Keadaan lima tahun keempat (periode tahun 15

-

20) simulasi, dengan kombinasi tingkat kelahiran 75 persen, kematian anak empat persen, kematian dewasa tiga persen dengan pengafkiran pejantan dan induk masing-masing 20

persen, total populasi rata-rata 619 360 ekor, keadaan kondisi kedua rata-rata populasi 606 724 ekor, dan kestabilan populasi baru dicapai pada tahun ke-15. Ke- adaan populasi pada kondisi ketiga rata-rata 620 678 ekor

.

(26)

16 persen dari populasi yang berjumlah 461 123 ekor, setelah disimulasi mula-mula turun, kemudian meningkat 'kembali

.

Dengan pemanenan pejantan afkir 10

-

20 persen, induk afkir 10

-

20 persen, betina muda (dara) afkir 10 persen, kelebihan dara, dan jantan gemuk ( " s t e e r w )

,

keadaan lima tahun pertama prosentase pemanenan dari ketiga kondisi (alternatif) hasil simulasi pemanenan rata-rata 60 426 ekor atau 12 persen dari populasi. Angka ini lebih rendah 20 persen dari pemanenan di lapang. Pada lima tahun pertama belum terdapat surplus dara, karena semua ternak betina muda yang ada diperta- hankan sebagai ternak pengganti, sampai dicapai keadaan populasi stabil, yang jumlahnya sesuai dengan daya dukung wilayah 480 000 ST berdasarkan bahan kering.

Pada keadaan lima tahun kedua, terjadi peningkatan pemanenan yang cukup tinggi terutama disebabkan pengu- rangan jumlah pejantan yang digunakan, kestabilan popu- lasi dan mulai terdapat surplus dara. Demikian juga pada keadaan lima tahun ketiga dan keempat pemanenan meningkat sampai dicapai keadaan yang konstan, seperti dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 dapat dilihat bahwa komponen pemanenan terbanyak dari ketiga kondisi tersebut adalah jantan gemuk lebih dari 48 persen, induk afkir lebih dari 35

(27)

dara seluruhnya berjumlah 17 persen dari total pemanenan. Kondisi populasi pertama dengan kombinasi tingkat

~kelahiran 60 persen meningkat lima persen setiap lima

tahun dan penurunan kematian anak satu persen pada lima tahun pertama, kedua dan ketiga dan penurunan satu per- sen tingkat kematian dewasa, rata-rata per tahun terjadi

surplus betina muda (bibit) antara 8 079 ekor

-

13 409

Tabel 19. Rata-rata Pemanenan Setiap Lima Tahun

Simulasi

Alterna- Lima Tahun ke-

No. Komponen tif/

...

kondisi 1 2 3 4 1. Pejantan I afkir 11 I11 2. Induk I afkir I1 I11 3. Dara I afkir I1 I11 4 . Dara I surplus I1 I11 5. Jantan I gemuk I1 I11 6. Total I pemanenan I1 7. Prosentase I populasi I1 I11

(28)

ekor pada periode lima tahun kedua, ketiga dan keempat. Pada keadaan tingkat kelahiran sama seperti kondisi per- 'tama, tapi tingkat kematian anak tetap enam persen dan kematian dewasa empat persen, pada periode lima tahun kedua, ketiga dan keempat rata-rata terdapat surplus betina muda berturut-turut 5 927, 3 689 dan 8 356 ekor. Sedangkan pada kondisi dimana tingkat kelahiran tetap 60 persen, sekalipun tingkat kematian turun seperti kondisi pertama surplus betina muda pada periode lima tahun ke- dua rata-rata 6 053 ekor, lima tahun ketiga 78 ekor dan lima tahun terakhir 2 570 ekor.

Prosentase tingkat pemanenan pada kondisi pertama dari 12 persen menjadi 19 persen dari populasi pada akhir simulasi untuk kondisi pertama dan dari 12 persen menjadi 18 persen dari populasi pada kondisi kedua dan ketiga ini dapat dicapai jika persediaan hijauan atau surplus pakan di daerah tertentu layak digunakan untuk di daerah lain.

Grafik perkembangan populasi dan pemanenan pada populasi terkontrol disajikan pada Gambar 9.

Pada Gambar 9 terlihat peningkatan populasi sampai tahun ketujuh setelah itu total populasi sedikit menu- run dan sampai pada tahun 12 keadaan mendatar yang me- nunjukkan keadaan populasi sudah stabil. Pola yang sama diperlihatkan total pemanenan meningkat mengikuti total populasi

.

(29)

500 400 300 2 0 0 1 00 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 TAHUN

-

Populasi I

-

Pemanenan I

-

Populasi ll

-O- Pemanenan ll- Populasi I l l -+ Pemanenan Ill

L

-

Gambar 9. Grafik Perkembangan Populasi dan Pemanenan Sapi Bali selama Simulasi Populasi Terkontrol

4.4. D n ~ l i k a s i Hasil Penelitiaq

Hasil simulasi perkembangan penampilan produksi (simulasi seleksi) menunjukkan bahwa untuk meningkatkan bobot badan dan kualitas sapi Bali memungkinkan dengan melakukan seleksi, Dengan seleksi dua arah yaitu selek- si terbaik dan seleksi negatif menunjukkan adanya respon seleksi, Pengaruh seleksi negatif dengan pengeluaran/ pemotongan pejantan-pejantan yang bermutu baik memberi- kan respon seleksi negatif. Sebaliknya dengan seleksi terbaik memberikan hasil dengan peningkatan bobot badan atau kualitas sapi Bali. Ini berarti bahwa untuk me- nanggulangi penurunan mutu sapi Bali akibat terjadinya seleksi negatif dapat diatasi dengan melakukan seleksi terbaik terhadap populasi sapi Bali.

(30)

Hasil simulasi perkembangan populasi menunjukkan bahwa dengan pemanenan saat ini cukup tinggi yaitu 16 'persen dengan peningkatan 6.2 persen pertahun, maka jika keadaan ini berlangsung terus akan terjadi seleksi nega- tif yang dapat menurunkan mutu (kualitas) sapi Bali. Pemanenan antar pulau yang cukup tinggi atau sekitar dua pertiga dari sapi jantan produktif (Pane, 1982) dengan bobot badan minimal 360 kg, akan memacu terkurasnya sapi-sapi jantan potensial.

Kendala dalam peningkatan populasi sapi Bali ter- utama lahan yang terbatas dan tidak ada lahan khusus untuk menghasilkan hijauan. Untuk mempertinggi jumlah ternak yang lahir dapat dilakukan dengan memperlebar rasio pejantan-induk.

Sistem produksi sapi potong di Bali walaupun sulit dibedakan, menurut Darmadja (1980) terbagi dalam dua sistem yaitu: Sistem pembibitan yang terdapat di daerah persawahan terutama di Kabupaten Jembrana, Gianyar, Ka- rangasem, Badung dan Tabanan. Sedangkan daerah pengge- mukan terdapat di daerah pegunungan dan daerah pertanian darat yaitu terutama di Kabupaten Bangli, Buleleng me- nyusul Tabanan dan Klungkung. Di daerah pegunungan lebih banyak hijauan dan kualitas lebih tinggi terutama karena legum-palawija banyak ditanam di daerah pertanian tanah darat.

(31)

Ada kemungkinan batas wilayah daerah penggemukan dan daerah pembibitan lebih jelas pada masa mendatang. "Kriteria sementara di wilayah dimana banyak ditemukan

sapi-sapi jantan yang dipelihara merupakan daerah peng- gemukan dan daerah dimana lebih banyak betina yang dipe- lihara sebagai daerah pembibitan (Darmadja, 1980).

Jika dihitung jumlah satuan ternak per luas lahan pertanian Propinsi Bali sudah merupakan daerah padat ternak (461 123 ekor) dengan luas lahan darat menurut konversi Darmadja (1980) yaitu 317 321 ha, maka kepadat- an ternak saat ini 1.45 ekor per ha. Tetapi bila semua sumber hijauan dan limbah pertanian dimanfaatkan, masih bisa ditingkatkan.

Untuk meningkatkan produktivitas ternak dalam arti jumlahnya dan mutunya, membutuhkan usaha dan kerja keras terutama menyediakan bibit sapi Bali yang bermutu gene- tik tinggi. Pengendalian pemanenan merupakan suatu alternatif yang dapat dilakukan terutama menjaga agar mutu genetik ternak yang dijual seimbang dengan mutu ternak yang tinggal. Pengembangan potensi genetik, baru bisa terlihat jika didukung oleh penyediaan makanan ber- mutu dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan ialah dengan penanam leguminosa seperti lamtoro, gamal dan sebagainya dipeka- rangan rumah. Selain daripada itu pemanfaatan konsen- trat sebagai makanan tambahan akan meningkatkan kuali- tas pakan ternak.

(32)

115

Karena peningkatan mutu ternak terutama produk akhir lewat penggemukan, memerlukan modal yang besar, 'sehingga perlu melibatkan pemilik modal untuk membantu

petani yang bermodal sangat lemah. Rasanya untuk itu dewasa ini cukup memadai dengan adanya permintaan dari konsumen restoran dan hotel-hotel berbintang. Tentunya nilai jual sapi yang digemukkan mempunyai harga yang lebih tinggi per kilogram bobot badan.

Peranan pemerintah dalam usaha memperbaiki sistem pemeliharaan, pemuliaan dan manajemen lewat instansi terkait sangat menentukan. Tentunya ha1 yang tidak kalah pentingnya adalah adanya pengaturan ekspor atau antar pulau sapi potong keluar Pulau Bali, sehingga ke- khawatiran terjadinya seleksi negatif tidak terjadi.

Gambar

Tabel  13.  Rataan dan Simpangan Baku  Bobot Seta-  hunan Hasil Simulasi dan Data Lapang
Grafik  perubahan genetik  (respons seleksi) bobot  setahunan sapi Bali dari populasi dengan metode  seleksi  yang berbeda disajikan pada Gambar  5
Gambar  5.  Grafik Respons Seleksi Bobot Setahunan  Sapi Bali dari Hasil Simulasi dengan  Cara Seleksi Berbeda
Tabel  14.  Rataan Bobot Setahunan dan Bobot Sapih  Awal dan Akhir Simulasi (kg)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengucapkan Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah , karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penyusunan penelitian

“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan berkat, rahmat, dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

Fatwa Dewan Syariah Nasional No.03/DSN-MUI/IV/2000 menyatakan deposito adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan

Apakah terdapat pengaruh sikap Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam penggunaan absen elektronik (fingerprint) dan pola kepemimpinan secara simultan terhadap disiplin kerja

Setelah membandingkan MSE dari ketiga penaksir eksponensial untuk rata-rata populasi pada sampling acak sistematik, diperoleh bahwa MSE minimum dari kombinasi

Sumber daya manusia sebagai salah satu elemen utama dari organisasi, merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan dan memiliki peranan yang sangat penting,

Wawancara merupakan percakapan antara dua orang atau lebih yang dilakukan dengan carafaceto face maupun yang menggunakan pesawat telepon, akan selalu terjadi