• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Ekonomi pendapatan nasional bruto GNI Gross National Income pendapatan perkapita income per capita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Ekonomi pendapatan nasional bruto GNI Gross National Income pendapatan perkapita income per capita"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertumbuhan Ekonomi

Sebelum tahun 1970-an, pembangunan (development) secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional -yang kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama- untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto atau GNI (Gross National Income). Indeks ekonomi lainnya yang juga sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan adalah tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capita) atau GNI perkapita (Todaro dan Smith, 2006). Tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan unsur yang paling diutamakan sedangkan masalah-masalah lain seperti kemiskinan, diskriminasi, pengangguran, dan ketimpangan distribusi pendapatan, seringkali dinomorduakan (Todaro dan Smith, 2006)

Pemikiran mengenai pertumbuhan ekonomi terus berkembang, dan secara umum terdapat empat aliran pemikiran, yakni teori klasik, teori neo-Keynes, teori neo-Klasik dan teori Modern (Tambunan, 2006). Teori klasik tentang pertumbuhan antara lain Teori Pertumbuhan Adam Smith, Teori Pertumbuhan David Ricardo, Teori Pertumbuhan Thomas Robert Malthus, dan Teori Marx. Terdapat dua hal penting dari teori-teori klasik ini yang membedakan dengan teori-teori yang muncul sesudahnya, yaitu faktor-faktor produksi utama adalah tenaga kerja, tanah dan modal, serta peran teknologi, sedangkan ilmu pengetahuan serta peningkatan kualitas dari tenaga kerja dan dari input-input produksi lainnya terhadap pertumbuhan output dianggap konstan (teknologi dianggap sebagai suatu koefisien yang tetap atau tidak berubah).

Teori pertumbuhan yang masuk kelompok pemikiran neo-Keynes adalah model pertumbuhan Harrod-Domar. Model pertumbuhan Harrod-Domar menekankan perlunya tabungan untuk kegiatan investasi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang direpresentasikan oleh peningkatan pendapatan nasional. Model ini merupakan gabungan dengan modifikasi pada model pertumbuhan dari Domar dan model pertumbuhan dari Harrod, dimana model pertumbuhan Domar memfokuskan pada laju pertumbuhan Investasi, sedangkan

(2)

model pertumbuhan Harrod lebih pada pertumbuhan Y atau GDP (Gross Domestic Product) jangka panjang melalui peningkatan rasio modal-output (Todaro and Smith, 2006).

Pemikiran dari teori neo-klasik didasarkan pada kritik atas kelemahan-kelemahan sebagai penyempurnaan terhadap pandangan teori klasik. Beberapa model neo-klasik diantaranya Model Pertumbuhan A. Lewis, Model Pertumbuhan Paul A. Baran, Teori Ketergantungan Neokolonial, Teori Pertumbuhan WW. Rostow, dan Teori Pertumbuhan Solow. Model Pertumbuhan A. Lewis dikenal dengan sebutan suplai tenaga kerja yang tidak terbatas dengan meneliti gejala-gejala di negara berkembang. Suplai tenaga kerja yang terlalu banyak di sektor pertanian menyebabkan produktivitas tenaga kerja di sektor ini rendah, sehingga perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri tidak sampai menurunkan produksi pertanian (Nafziger, 2007).

Model pertumbuhan Paul A. Baran dikenal sebagai teori pertumbuhan dan stagnasi ekonomi. Baran berpendapat akibat pengaruh Negara Maju, ekonomi Negara Berkembang menjadi buruk. Pendapat ini muncul sebagai penolakan terhadap pemikiran Marxis yang menyatakan bahwa Negara Sedang Berkembang akan maju seperti di Eropa karena hubungannya dengan Negara Maju (Negara Kapitalis), sehingga pemikiran ini sering disebut dengan tesis Neomarxis.

Teori Ketergantungan Neokolonial mempunyai dasar pemikiran yaitu pembangunan ekonomi di Negara Sedang Berkembang sangat tergantung pada Negara Maju, terutama investasi langsung (PMA) di sektor pertambangan dan impor barang-barang industri. Sedangkan menurut Rostow, pembangunan ekonomi di manapun merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat terbelakang ke masyarakat maju. Proses pembangunan yang dimaksud oleh Rostow yaitu masyarakat tradisional, pra kondisi untuk lepas landas, lepas landas, menuju kedewasaan dan era konsumsi massal tinggi (Nafziger, 2006).

Model Pertumbuhan Solow merupakan penyempurnaan dari Model Pertumbuhan Harrod-Domar (Tambunan, 2009). Menurut teori ini pertumbuhan ekonomi terjadi tidak saja dipengaruhi oleh peningkatan modal (melalui tabungan dan investasi) tetapi juga dipengaruhi oleh peningkatan kuantitas dan kualitas

(3)

13

tenaga kerja (pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan) dan peningkatan teknologi, dengan asumsi:

1. Diminishing return to scale bila input tenaga kerja dan modal digunakan secara parsial dan constant return to scale bila digunakan secara bersamasama. 2. Perekonomian berada pada keseimbangan jangka panjang (full employment).

(Todaro and Smith, 2006; Mankiw, 2007).

Model-model pertumbuhan yang telah dibahas tersebut, secara umum hanya melihat pada salah satu sumber pertumbuhan saja, yaitu kontribusi dari penambahan jumlah faktor-faktor produksi. Model ini kurang bisa menjelaskan fenomena pertumbuhan ekonomi dewasa ini, dimana sumber pertumbuhan yang terpenting adalah produktivitas yang menunjukkan adanya kemajuan teknologi, dan bukan dari peningkatan jumlah faktor-faktor produksi yang digunakan. Oleh karena itu, muncul pemikiran baru tentang pentingnya pengaruh kemajuan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi yang dikenal dengan model pertumbuhan modern.

Model pertumbuhan modern tidak hanya memasukkan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal saja sebagai faktor-faktor krusial dalam pertumbuhan ekonomi, akan tetapi juga memasukkan kualitas sumber daya manusia (SDM), kemajuan teknologi, kewirausahaan, bahan baku dan material. Faktor-faktor krusial lainnya yang berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi diantaranya ketersediaan dan kondisi infrastruktur, hukum serta peraturan, stabilitas politik, kebijakan pemerintah, birokrasi dan terms of trade (ToT). Secara umum, dalam model pertumbuhan modern, teknologi dan manusia tidak lagi sebagai faktor eksogen saja, tapi merupakan faktor endogen sebagai faktor produksi yang dinamis.

2.2. Kemiskinan

Kemiskinan seringkali didefinisikan sebagai ketidakcukupan pendapatan dan harta untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan, yang semuanya berada dalam lingkup dimensi ekonomi. Todaro dan Smith (2006) menuliskan cakupan kemiskinan absolut sebagai persoalan kemiskinan yang lebih penting. Cakupan kemiskinan absolut adalah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang

(4)

cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Penduduk ini hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu atau di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan yang digunakan berbeda untuk tiap negara, tetapi yang umum dijadikan standar adalah berdasarkan ketetapan World Bank yaitu pendapatan perkapita sebesar US$ 1 atau US$2 per hari dalam US $ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate).

Menurut Bellinger (2007) konsep kemiskinan melibatkan multidimensi, multidefinisi dan berbagai alternatif pengukuran. Secara umum, kemiskinan dapat diukur dalam dua dimensi yaitu dimensi income atau kekayaan dan dimensi non-faktor keuangan. Kemiskinan dalam dimensi income atau kekayaan tidak hanya diukur dari rendahnya pendapatan yang diterima karena pendapatan rendah biasanya bersifat sementara, tetapi juga diukur melalui kepemilikan harta kekayaan seperti lahan bagi petani kecil dan melalui akses jasa pelayanan publik. Sedangkan dari dimensi non-faktor keuangan ditandai dengan adanya keputusasaan atau ketidakberdayaan yang juga dapat menimpa berbagai rumah tangga berpenghasilan rendah.

Kemiskinan merupakan permasalahan umum yang terjadi dalam pembangunan ekonomi, dengan berbagai ukuran kemiskinan yang digunakan sebagai indikator tingkat kemiskinan. World Bank menetapkan kemiskinan berdasarkan pendapatan per orang per hari, dimana penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang mempunyai pendapatan kurang dari US$ 1 atau US$ 2 per hari. Sedangkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menetapkan kemiskinan berdasarkan kriteria keluarga pra sejahtera (pra KS) dan keluarga sejahtera I (KS I).

Penghitungan tingkat kemiskinan dihadapkan pada dua hal, yaitu pengidentifikasian penduduk miskin dari total penduduk dan menghitung indeks kemiskinan berdasarkan data yang tersedia (Sen, 1976). Head-count ratio H sebagai ukuran kasar kemiskinan memenuhi dua aksiom yaitu aksiom monotonicity dan aksiom transfer. Aksiom monotonicity yaitu suatu kondisi dimana penurunan pendapatan seseorang yang berada di bawah garis kemiskinan akan meningkatkan ukuran kemiskinan. Aksiom transfer yaitu suatu kondisi

(5)

15

dimana transfer pendapatan dari seseorang yang berada di bawah garis kemiskinan ke seseorang yang lebih kaya akan meningkatkan ukuran kemiskinan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar. Penduduk miskin adalah penduduk yang tidak memiliki kemampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar. Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100 kkal per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumahtangga dan individu yang mendasar lainnya. Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan (BPS, 2007).

Indikator kemiskinan yang dihitung oleh BPS selain jumlah dan persentase penduduk miskin, juga digunakan ukuran indeks kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) dan indeks keparahan kemiskinan (Distributionally Sensitive

Index-P2

=





 −

=

q i i

z

y

z

n

P

1

1

α α

) yang dirumuskan oleh Foster-Greer-Thorbecke (Foster, et. al., 1984) sebagai berikut:

dimana: α = 0, 1, 2

z = garis kemiskinan yi

bawah garis kemiskinan ( i=1, 2, 3, …, q), y

= rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di

i

q = banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan < q

n = jumlah penduduk

Jika α = 0 maka diperoleh Head Count Index (P0); α = 1 adalah Poverty Gap

Index (P1); dan α = 2 merupakan ukuran Distributionally Sensitive Index (P2).

Poverty Gap Index (P1) merupakan ukuran rata-rata ketimpangan pengeluaran

masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai indeks ini semakin besar rata-rata ketimpangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Distributionally Sensitive Index (P2) sampai batas

(6)

tertentu dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin, dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.

2.3 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan

Distribusi pendapatan merupakan porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah. Pendapatan yang diterima setiap individu atau rumah tangga tersebut tergantung pada tingkat produktivitas dan peranannya dalam perekonomian. Ukuran yang sering digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan adalah distribusi ukuran pendapatan, kurva Lorenz, dan Gini ratio. Ketimpangan pendapatan terjadi apabila sebagian besar penduduk memperoleh pendapatan yang rendah dan pendapatan yang besar hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk. Semakin besar perbedaan pendapatan yang diterima masing-masing kelompok menunjukkan semakin besarnya ketimpangan.

Adanya ketimpangan yang tinggi antara kelompok kaya dan miskin menurut Todaro dan Smith (2006) akan menimbulkan setidaknya dua dampak negatif yaitu:

1. Terjadinya inefisiensi ekonomi. Hal ini sebagian dikarenakan adanya ketimpangan yang tinggi menyebabkan semakin banyak penduduk yang kesulitan mengakses kredit terutama penduduk miskin, sedangkan penduduk kaya cenderung lebih konsumtif untuk barang mewah atau investasi ke luar negeri.

2. Melemahkan stabilitas dan solidaritas sosial.

Kuznets (1955) membuat hipotesis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan pendapatan membentuk kurva U-terbalik (inverted-U curve). Hipotesa Kuznets bersandar pada asumsi bahwa terdapat dua sektor ekonomi dalam suatu negara, yaitu sektor pertanian tradisional di perdesaan dengan pendapatan perkapita dan ketidakmerataan pendapatan yang rendah dan sektor modern (sektor industri dan jasa) di perkotaan dengan pendapatan perkapita dan ketidakmerataan pendapatan yang tinggi.

(7)

17

Sumber: Todaro dan Smith (2006)

Gambar 4. Kurva U Terbalik Kuznets (Inverted U Curve Hypothesis)

Kuznets menekankan adanya perubahan struktural dalam pembangunan ekonomi, dimana dalam prosesnya sektor industri dan jasa cenderung berkembang dan terjadi pergeseran dari sektor tradisional ke sektor modern. Selama masa transisi tersebut, produktifitas dan upah tenaga kerja di sektor modern lebih tinggi daripada sektor tradisional, sehingga pendapatan perkapita yang diterima juga lebih tinggi, akibatnya ketidakmerataan pendapatan antara kedua sektor tersebut meningkat. Sehingga pada awal pembangunan, pendapatan perkapita dan kesenjangan pendapatan yang masih rendah, selanjutnya kesenjangan pendapatan meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan perkapita. Setelah melampaui titik kulminasi akan terjadi perbaikan pada distribusi pendapatan.

2.4 Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu prasyarat keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan (Tambunan, 2009). Pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan dalam hal ini peningkatan kesejahteraannya, merupakan hal yang saling berkaitan. Keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan menurut Todaro dan Smith (2006) dapat diidentifikasi sebagai berikut. Pertama, pendapat yang menuliskan bahwa pertumbuhan yang cepat akan berakibat buruk pada kaum miskin, karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern. Akan tetapi

(8)

menurut Warr (2000) pertumbuhan yang cepat akan bermanfaat bagi semua pihak, termasuk penduduk miskin. Kedua, kalangan pembuat kebijakan yang berpendapat bahwa pengeluaran publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk mempercepat pertumbuhan. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa kebijakan untuk mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan, dengan alasan sebagai berikut:

1. Kemiskinan akan membuat kaum miskin tidak mempunyai akses sumber modal, tidak mampu menyekolahkan anaknya, tidak punya peluang berinvestasi dan mempunyai banyak anak sebagai investasi di masa tua. Berbagai faktor ini akan menyebabkan pertumbuhan perkapita lebih kecil. 2. Data empiris menunjukkan kaum kaya di negara miskin tidak mau menabung

dan berinvestasi di negara mereka sendiri, walaupun sumber kekayaan mereka berasal dari negara mereka sendiri.

3. Kaum miskin memiliki standar hidup seperti kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah sehingga menurunkan tingkat produktivitas. Strategi yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan dan standar hidup golongan miskin, selain akan memperbaiki kesejahteraan mereka juga meningkatkan produktivitas dan pendapatan keseluruhan.

4. Peningkatan pendapatan kaum miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk lokal, memperbesar kesempatan kerja lokal dan menumbuhkan investasi lokal.

5. Penurunan kemiskinan secara masal akan menciptakan stabilitas sosial dan memperluas partisipasi publik dalam proses pertumbuhan.

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pengurangan kemiskinan bukanlah hal yang saling bertentangan, tetapi harus dilaksanakan secara simultan.

Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya tentang dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan jumlah penduduk miskin menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh secara signifikan dalam mengurangi kemiskinan, namun magnitude dari pengaruh tersebut relatif tidak besar. Secara umum ditemukan bahwa kemiskinan tidak dapat dipecahkan hanya

(9)

19

dengan mengharapkan proses trickle down effect dari pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan untuk mengurangi kemiskinan.

Dollar dan Kraay (2002) menyatakan bahwa secara rata-rata, pendapatan kelompok termiskin dalam masyarakat akan meningkat secara proporsional dengan peningkatan pendapatan rata-rata. Peningkatan pendapatan rata-rata berarti peningkatan pendapatan dari kelompok termiskin, yang selanjutnya mengubah kondisi perekonomian kelompok termiskin dan mengurangi kemiskinan. World Bank (2006) dalam ikhtisarnya menuliskan empat butir penting dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia yaitu (i) mengurangi kemiskinan dari segi pendapatan melalui pertumbuhan, (ii) memperkuat kemampuan sumber daya manusia, dan (iii) mengurangi tingkat kerentanan dan risiko di antara rumah tangga miskin, dan juga (iv) memperkuat kerangka kelembagaan untuk melakukannya dan membuat kebijakan publik lebih memihak masyarakat miskin.

2.5 Pro poor growth

Konsep Pro poor growth dijelaskan secara implisit oleh World Bank pada tahun 1990 dalam laporannya dengan ‘broadbased growth’. Kemudian istilah pro poor growth baru dijelaskan secara eksplisit dalam bahan kajian World Bank pada tahun 1993. Sejak saat itu isu pro poor growth telah menarik perhatian secara luas berbagai kalangan. Pro poor growth merupakan hubungan timbal-balik antara tiga unsur: pertumbuhan, kemiskinan, dan ketidakmerataan. Tingkat kemiskinan tidak hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi tetapi juga dipengaruhi oleh level dan perubahan ketidakmerataan distribusi pendapatan.

Menurut World Bank (2008) terdapat empat metode pengukuran pro poor growth meliputi:

1. Pro poor growth Index (PPGI) dikemukakan oleh Kakwani and Pernia pada tahun 2000.

2. Poverty Bias of Growth (PBG) dikemukakan oleh Kakwani pada tahun 2000. 3. Poverty Growth Curve (PGC) dikemukakan oleh Son pada tahun 2003.

4. Poverty Equivalent Growth Rate (PEGR) dikemukakan oleh Kakwani, et. al. pada tahun 2004.

(10)

Ravallion (2004) mendefinisikan pro poor growth sebagai peningkatan PDB yang menurunkan kemiskinan. Menurut definisi ini, pertumbuhan yang diikuti dengan penurunan kemiskinan termasuk pro poor growth, meskipun tidak terjadi perbaikan distribusi pendapatan. Sedangkan badan-badan internasional seperti PBB, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), UNDP, dan World Bank lebih sering menggunakan definisi pro poor growth sebagai pertumbuhan ekonomi yang lebih menguntungkan penduduk miskin dan memberikan kesempatan pada kelompok penduduk miskin untuk memperbaiki situasi ekonomi seperti dikemukakan Kakwani, et al. (2004).

Kakwani dan Pernia (2000), dan Son (2003) menuliskan pro-poor growth tidak hanya memperhitungkan pengurangan tingkat kemiskinan namun distribusi pendapatan yang lebih merata. Pada prinsipnya pengurangan kemiskinan bergantung pada dua faktor yaitu pertumbuhan dan distribusi pendapatan antara penduduk miskin (kelas bawah) dan kaya (kelas atas). Grimm, et. al. (2007) menuliskan tentang strategi ‘pro poor growth’ yaitu strategi pencapaian pertumbuhan ekonomi yang mendorong peningkatan pendapatan dari masyarakat miskin

Bourguignon (2004) menjelaskan hubungan pertumbuhan dan kemiskinan dalam bentuk hubungan segitiga pertumbuhan, ketidakmerataan dan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan melakukan perubahan pada distribusi pendapatan atau dapat juga dengan meningkatkan level pendapatan (mendorong pertumbuhan). Kelompok dengan pendapatan rendah akan mendapatkan tambahan pendapatan melalui redistribusi pendapatan, sehingga bisa memenuhi kebutuhan dasarnya dan dapat terbebas dari kemiskinan. Sedangkan dengan meningkatkan tingkat pendapatan, pertumbuhan ekonomi harus cukup tinggi sehingga secara rata-rata pendapatan masyarakat naik. Kenaikan pendapatan ini akan meningkatkan taraf hidup dan mengentaskan dari kemiskinan.

Gambar 5. merupakan penjelasan grafis dari efek pertumbuhan dan efek distribusi terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan. Efek pertumbuhan adalah efek perubahan secara proporsional pada seluruh level pendapatan sehingga secara relatif distribusi pendapatan tidak berubah. Sedangkan efek

(11)

21

distribusi adalah efek dari perubahan dalam distribusi pendapatan relatif yang independen terhadap rata-ratanya.

Sumber: Bourguignon (2004)

Gambar 5. Hubungan antara Kemiskinan, Tingkat Pendapatan Agregat dan Distribusi Pendapatan

Gambar 6. menunjukkan perubahan tingkat kemiskinan, dimana sumbu x menunjukkan kepadatan distribusi pendapatan yaitu jumlah individu pada tiap level pendapatan dalam skala logaritma. Sumbu y menunjukkan share penduduk pada level pendapatan tertentu terhadap seluruh jumlah penduduk. Misalkan pada distribusi awal jumlah penduduk miskin adalah area di bawah kurva sebelah kiri garis kemiskinan dan diasumsikan pendapatan perkapita penduduk mengikuti distribusi log Normal.

Peningkatan pada pendapatan seluruh lapisan masyarakat dengan distribusi tetap, berarti distribusi pendapatan bergeser ke kanan dan bentuk kurva tetap, sehingga penduduk yang masuk kategori miskin menjadi sebesar daerah yang diarsir gelap dan daerah terang. Efek pertumbuhan menyebabkan jumlah penduduk miskin akan berkurang sebesar daerah yang diarsir lebih terang, sehingga jumlah orang miskin sekarang sebesar daerah yang diarsir gelap dan daerah terang. Perubahan menjadi distribusi yang lebih merata dengan tingkat pendapatan tetap, berarti distribusi pendapatan semakin menyempit, menyebabkan penduduk yang masuk kategori miskin semakin sedikit (daerah terang). Efek

Kemiskinan Absolut dan Pengentasan Kemiskinan Distribusi dan Perubahan Distribusi Tingkat Pendapatan dan Pertumbuhan Agregat Strategi Pembangunan

(12)

distribusi menyebabkan jumlah penduduk miskin berkurang sebesar daerah yang diarsir gelap, sehingga jumlah orang miskin sekarang sebesar daerah terang.

Sumber: Bourguignon (2004)

Gambar 6. Perubahan Kemiskinan karena Efek Pertumbuhan dan Efek Distribusi Peningkatan pendapatan dan perbaikan distribusi pendapatan masyarakat secara bersama-sama akan menggeser distribusi pendapatan ke kanan dan mempersempit ketimpangan antar individu. Hal ini akan mengurangi kemiskinan sebesar daerah diarsir gelap ditambah dengan daerah diarsir lebih terang, sehingga semakin efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Pada kondisi ini maka jumlah orang miskin akan sebesar daerah terang.

Hubungan pertumbuhan dan kemiskinan, Kakwani dan Son (2006) berpendapat bahwa pertumbuhan akan mempengaruhi tingkat kemiskinan tidak hanya melalui pertumbuhan itu sendiri, tetapi juga melalui cara pendistribusian manfaat pertumbuhan diantara penduduk. Kombinasi antara pertumbuhan dan redistribusi pendapatan dalam porsi yang tepat diperlukan untuk membuat pertumbuhan dapat bermanfaat bagi penduduk miskin sehingga proses pengurangan kemiskinan menjadi optimal.

(13)

23

2.6 Faktor-faktor yang memengaruhi Pro poor growth

Isu tentang pro poor growth yang semula didefinisikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan pengurangan penduduk miskin oleh World Bank, selanjutnya oleh para peneliti seperti Ravallion dan Chen (2001), Son (2003), Kakwani dan Son (2006) mendefinisikan pro poor growth sebagai suatu kondisi dimana pertumbuhan ekonomi akan memberikan manfaat yang lebih ke penduduk miskin. Penduduk miskin mempunyai kesempatan untuk merubah kondisi perekonomiannya, sehingga bisa keluar dari kondisi miskin. Isu pro poor growth erat kaitannya dengan pengentasan kemiskinan, dan faktor yang berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan akan memengaruhi juga pro poor growth.

Produktifitas sektor pertanian

Bekerja di sektor pertanian akan memberikan peluang untuk menjadi miskin, sehingga investasi di sektor pertanian merupakan prioritas utama dalam pengentasan kemiskinan. Luas lahan yang dimiliki bukanlah sebagai faktor utama yang harus dipenuhi, akan tetapi lebih ke kualitas lahan dan produktifitas sektor pertanian (Geda, et al, 2005). Menurut Klasen (2007) produktifitas di sektor tanaman pangan sebagai faktor penting yang berpengaruh terhadap pro poor growth, khususnya negara yang sebagian besar penduduk miskin berada di wilayah perdesaan. Meskipun investasi memegang peranan penting dalam menggerakkan pro poor growth, namun demikian upaya peningkatan produktifitas di sektor pertanian menjadi lebih penting sebagai instrumen dalam menggerakkan pro poor growth.

Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya tentang Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin menunjukkan bahwa share sektor pertanian terhadap PDB berpengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Suparno (2010) menyimpulkan bahwa peningkatan PDRB sektoral khususnya pertanian merupakan faktor yang berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin.

(14)

Pengeluaran Pemerintah untuk Investasi Publik

Fan (2004) membuktikan bahwa pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur dan jasa di daerah pedesaan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan di sektor pertanian yang menjadi sektor terbesar terjadinya kemiskinan di Negara berkembang. Selain itu pengeluaran pembangunan untuk teknologi dan modal manusia juga merupakan faktor yang berpengaruh dalam pengentasan kemiskinan di Negara Berkembang, khususnya negara-negara di Afrika. Pengeluaran pembangunan baik untuk infrastruktur, jasa, teknologi dan modal manusia terangkum sebagai pengeluaran investasi publik. Suparno (2010) juga menemukan bahwa ternyata pengeluaran APBD sebagai proksi pengeluaran pemerintah untuk sektor publik berpengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin.

Pengeluaran pemerintah dapat memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kemiskinan (Fan, et al., 1999). Dampak langsung pengeluaran pemerintah adalah manfaat yang diterima penduduk miskin dari berbagai program peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pekerja, serta skema bantuan dengan target penduduk miskin. Dampak tidak langsung berasal dari investasi pemerintah dalam infrastruktur, riset, pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi penduduk, yang secara simultan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh sektor dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dan peningkatan pendapatan terutama penduduk miskin serta lebih terjangkaunya harga kebutuhan pokok. Iradian (2005) juga menyatakan bahwa selain ketimpangan pendapatan, pengeluaran pemerintah juga memiliki pengaruh terhadap penurunan kemiskinan.

Pendidikan bagi Kaum perempuan

Tingkat pendidikan kaum perempuan, khususnya bagi perempuan yang berperan sebagai kepala rumah tangga memberikan pengaruh yang besar terhadap upaya pengurangan kemiskinan (Geda, et al., 2005). Penelitian yang menunjukkan hubungan negatif antara pendidikan kaum perempuan dengan fertilitas, dengan pendidikan yang semakin tinggi maka fertilitas akan semakin rendah yang akan berdampak pada ukuran rumah tangga, dimana ukuran rumah tangga merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap kemiskinan. Hal ini terkait dengan dependency ratio. Berkurangnya ketimpangan gender akan mempengaruhi pro

(15)

25

poor growth, dimana peningkatan pendidikan bagi kaum perempuan dan akses untuk bekerja akan mengurangi ketimpangan gender tersebut (Klasen, 2007).

Mukherjee dan Benson (2003) meneliti tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan di Malawi menemukan dua variabel penting yang berpengaruh. Dua variabel penting tersebut adalah tingkat pendidikan khususnya kaum perempuan, dan redistribusi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor perdagangan dan jasa, terbukti efektif dalam mengurangi kemiskinan.

Tingkat Pendidikan bagi Kaum Laki-laki

Geda, et al., (2005) meneliti tentang faktor-faktor yang menentukan kemiskinan di Kenya menyimpulkan tiga hal yang berpengaruh terhadap kemiskinan, salah satunya yaitu tingkat pendidikan dari kepala rumah tangga. Semakin rendah tingkat pendidikan kepala rumah tangga akan semakin besar memberikan peluang yang lebih besar bagi rumah tangga menjadi miskin. Kepala rumah tangga yang biasanya dipegang oleh kaum laki-laki, sehingga tingkat pendidikan bagi laki-laki bepengaruh terhadap pengurangan kemiskinan.

Tingkat Pendidikan

Klasen (2007) menemukan bahwa peningkatan kepemilikan asset dasar bagi penduduk miskin akan berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan. Asset dasar yang dimaksud adalah modal manusia, dalam hal ini adalah pendidikan penduduk miskin. Fan (2004) juga membuktikan bahwa modal manusia dalam pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan khususnya negara-negara di Afrika. Demikian pula halnya dengan Siregar dan Wahyuniarti (2007) menemukan variabel yang signifikan dan relatif paling besar pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan adalah pendidikan.

Ketimpangan Pendapatan

Pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal, investasi publik, desentralisasi fiskal yang berpihak ke masyarakat miskin serta jaring pengaman sosial yang fokus ke daerah tertinggal berperan terhadap pengurangan ketimpangan wilayah, dimana penurunan ketimpangan antar wilayah berpengaruh

(16)

terhadap pro poor growth (Klasen, 2007). Sehingga peningkatan ketimpangan antar wilayah akan berpengaruh terhadap pro poor growth yang berarti pula berpengaruh terhadap kemiskinan. Ketimpangan antar wilayah salah satunya bisa didekati dengan ketimpangan pendapatan antar wilayah yang bisa dilihat dari ukuran indeks gininya. Gelaw (2010) menyatakan bahwa kemiskinan akan tetap tinggi jika pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan ketimpangan pendapatan

Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk mempunyai pengaruh terhadap jumlah penduduk miskin. Semakin besar jumlah penduduk, maka kemungkinan jumlah penduduk miskin juga akan semakin besar. Jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin (siregar dan Wahyuniarti, 2007). Indra (2008) juga memasukkan variabel populasi dalam penelitiannya dengan asumsi bahwa peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin

Berdasarkan berbagai uraian yang telah dibahas, maka secara umum dapat dituliskan beberapa faktor yang memengaruhi pro poor growth yang berarti pula mempengaruhi poverty reduction, yaitu produktifitas sektor pertanian, pengeluaran pemerintah untuk investasi publik, pendidikan bagi kaum perempuan, pendidikan bagi kaum laki-laki, tingkat pendidikan, ketimpangan pendapatan dan jumlah penduduk.

2.7 Tinjauan Empiris

Beberapa studi empiris yang menjelaskan hubungan pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan, khususnya pro poor growth, telah banyak dilakukan oleh para ahli di berbagai negara maupun di Indonesia. Studi empiris yang pernah dilakukan para ahli di berbagai Negara diantaranya sebagai berikut:

(17)

27

No Peneliti Obyek/Tahun Metode/Hasil

(1) (2) (3) (4)

1 Kakwani, et al. (2003)

Meneliti tentang keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan dan kemiskinan di Korea dan Thailand tahun 1990-1999

Melalui ide pro poor growth, studi ini meneliti sejauh mana masyarakat miskin memperoleh manfaat dari pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan Poverty Equivalent Growth Rate (PEGR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Korea relatif lebih memberikan manfaat ke masyarakat miskin daripada di Thailand.

2 Nunez dan

Espinosa (2005)

Mengukur pro poor growth dengan PEGR dan

dekomposisi kemiskinan di Kolombia periode 1996-2004

Pertumbuhan ekonomi baik di daerah perkotaan maupun perdesaan, keduanya mampunyai sifat yang hampir sama. Hanya pada tahun 2001 dan 2003 pertumbuhan bersifat pro poor growth sedangkan pada tahun lainnya bersifat anti pro poor growth. Peningkatan kemiskinan di perkotaan pada periode 1996-2004 sebesar 8,84 persen lebih banyak disebabkan oleh efek pertumbuhan 5,17 persen dan efek distribusi 2,27 persen serta efek pergeseran penduduk 1,41 persen. Sedangkan di perdesaan mengalami penurunan kemiskinan sebesar -0,60 persen dapat didekomposisi menjadi efek pertumbuhan sebesar 1,45 persen dan efek distribusi sebesar 0,46 persen serta efek mobilitas penduduk sebesar -2,21 persen.

(18)

(1) (2) (3) (4)

3 Contreras (2001) Meneliti tentang evolusi kemiskinan di Chile selama tahun 1990-1996

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan merupakan faktor yang penting dalam menjelaskan penanggulangan kemiskinan di Chile. Dekomposisi Kemiskinan Datt dan Ravallion menunjukkan bahwa pola dari pertumbuhan dan kontribusinya terhadap pengurangan kemiskinan bervariasi antar daerah.

4 White dan

Anderson (2001)

Meneliti tentang berbagai pola pertumbuhan antar Negara di dunia dari waktu ke waktu, dengan menggunakan 143 pola pertumbuhan (Tahun 1960an sampai tahun 1990an)

Regresi sederhana digunakan untuk mengelompokkan pertumbuhan sebagai extreme pro-poor growth, pro-poor growth, neutral growth, anti-poor growth, extreme anti-anti-poor growth. Sebagian besar menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan (growth) mempunyai peran yang dominan terhadap perubahan masyarakat miskin. Terdapat juga bukti adanya trade-off antara pertumbuhan dan distribusi pendapatan, dimana pertumbuhan dengan perbaikan distribusi pendapatan lebih baik bagi masyarakat miskin daripada pertumbuhan saja.

5 Ravallion dan Datt (2001)

Meneliti tentang pertumbuhan ekonomi sektoral dan yang berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan di

Metode yang digunakan yaitu model regresi data panel dengan fixed effects pada data elastisitas kemiskinan. Hasilnya menunjukkan bahwa wilayah dengan proses pertumbuhan di sektor non pertanian, lebih bersifat pro poor growth di wilayah dengan angka melek huruf yang tinggi, produktifitas

(19)

29

(1) (2) (3) (4)

India, dengan menggunakan data dari 20 rumah tangga di 15 wilayah dengan rentang tahun 1960-1994

pertanian yang tinggi, standar hidup masyarakat perdesaan yang tinggi (relatif terhadap penduduk perkotaan), sedikit penduduk yang tidak memiliki tanah dan rendahnya angka kematian bayi.

6 Son (2003) Meneliti tentang apakah pertumbuhan ekonomi bersifat pro poor atau tidak pro poor, dengan data survey rumah tangga di Thailand dan data antar Negara, tahun 1988-2000

Penelitian menggunakan ‘poverty growth curve’ untuk mengetahui sifat dari pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai dalam pembangunan. Hasil penelitian menunjukkan kurva yang disebut dengan ‘poverty growth curve’ menunjukkan pro poor growth di hampir keseluruhan kasus.

7 Kraay (2005) Meneliti pro poor growth di beberapa sampel Negara Berkembang selama tahun 1980-an dan 1990-an

Growth dikatakan pro-poor jika ukuran kemiskinan menurun. Menurut definisi ini ada tiga sumber potensi pro poor growth, yaitu (a) tingkat pertumbuhan yang tinggi berdasarkan pendapatan rata-rata; (b) sensitivitas kemiskinan yang tinggi terhadap pertumbuhan berdasarkan pendapatan rata-rata; (c) pola pengurangan kemiskinan terhadap pola pertumbuhan berdasarkan pendapatan relatif.

(20)

(1) (2) (3) (4)

8 Ravallion (2005) Meneliti ketimpangan terhadap kemiskinan di India

dan China tahun 1980 hingga 2000

Metode Growth Incidence Curve dan Watts Index digunakan dalam penelitian ini dengan hasil sebagai berikut: (1) pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan di India dan China, dan ketimpangan pendapatan akan menghambat pengentasan kemiskinan; (2) pengentasan kemiskinan memerlukan kombinasi dari pertumbuhan ekonomi, pola pertumbuhan yang lebih pro poor dan pengurangan ketimpangan.

9 Timmer (2004) Meneliti perjalanan

pertumbuhan yang pro-poor di Indonesia Tahun 1980-1998

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model persamaan struktural, dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa pro poor growth di Indonesia merupakan yang terbaik di Asia. Berdasarkan sekumpulan data dari delapan Negara di Asia, proses pertumbuhan di Indonesia paling berpihak ke rakyat miskin dibanding lainnya

10 Siregar dan Wahyuniarti (2007)

Meneliti tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi dan faktor lain terhadap kemiskinan di Indonesia tahun 1998-2006

Persamaan regresi data panel menunjukkan pertumbuhan ekonomi berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia walaupun dengan pengaruh yang relatif kecil. Selain itu inflasi, jumlah penduduk, share sektor pertanian, share sektor industry juga berpengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin, dimana

(21)

31

(1) (2) (3) (4)

pendidikan mempunyai pengaruh yang paling besar. 11 Suryadarma dan

Suryahadi (2007)

Meneliti tentang pengaruh pertumbuhan pada sektor publik dan swasta terhadap penurunan kemiskinan di Indonesia tahun 1984-2002

Penelitian menghasilkan bahwa pertumbuhan di kedua sektor tersebut mengurangi kemiskinan secara signifikan pada tahun 1984-2002. Sebagai implikasinya, peningkatan pengeluaran di kedua sektor baik publik maupun swasta yang akan memicu pertumbuhan, akan dapat mengurangi kemiskinan dua kali lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan pengeluaran di sektor publik saja

Penelitian tentang pro poor growth di Indonesia dilakukan oleh Suparno (2010) dengan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2002, 2005 dan 2008. Metode Poverty Equivalent Growth Rate (PEGR) dan Dekomposisi kemiskinan Shapley digunakan untuk melihat seberapa besar growth memberikan manfaat terhadap rakyat miskin, menurut status daerah desa dan kota serta sektoral. Penelitian tentang pro poor growth di tingkat provinsi juga pernah dilakukan oleh Hajiji (2010) di Provinsi Riau, dengan metode Pro Poor Growth Index (PPGI) dan dekomposisi kemiskinan Shapley. Penelitian ini mengkaji tentang pro poor growth hingga di tingkat provinsi di Indonesia untuk mengetahui manfaat pertumbuhan dalam pengentasan kemiskinan di masing-masing provinsi. Selain itu penelitian ini juga mengkaji manfaat pertumbuhan yang dicapai selama periode RPJM tahun 2005-2009 yang pro grop34wth, pro job dan pro poor.

(22)

2.8 Kerangka Penulisan

Kerangka penulisan dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk diagram alur pada Gambar 7. Strategi pencapaian pertumpbuhan ekonomi yang tinggi di masa Orde Baru telah menyisakan ketimpangan yang makin melebar dalam distribusi pendapatan di masyarakat. Bahkan kemiskinan yang sempat mengalami penurunan, kembali mengalami peningkatan yang cukup signifikan ketika krisis ekonomi tahun 1997 melanda Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai selama ini kurang berkualitas, dalam arti kurang memberikan manfaat ke masyarakat miskin atau pro poor growth.

(23)

33

Sehubungan dengan persoalan yang mendasar terkait kemiskinan, pemerintah dalam RPJM tahun 2005-2009 memberikan komitmen pada pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan pendapatan melalui program pembangunan yang pro growth, pro job dan pro poor. Tingkat kemiskinan mencapai 14,15 persen pada tahun 2009 dan 13,33 persen tahun 2010, walaupun angka ini masih jauh berada di bawah target yang tercantum dalam RPJM tahun 2005-2009 serta The millenium development goals. Selain itu, penurunan tingkat kemiskinan yang terjadi secara nasional ternyata tidak terjadi di semua provinsi. Terdapat beberapa provinsi yang pada tahun 2009 justru mengalami peningkatan persentase penduduk miskin dibandingkan tahun 2008.

Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bermaksud untuk melihat manfaat pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai, apakah memberikan manfaat lebih bagi masyarakat miskin daripada tidak miskin di tingkat provinsi, seperti yang diharapkan dari program pembangunan yang pro growth, pro job dan pro poor. Selain itu juga akan diteliti faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pro poor growth tersebut di tingkat provinsi. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan rekomendasi kebijakan terkait pro poor growth, yaitu pertumbuhan ekonomi yang memberikan manfaat lebih bagi masyarakat miskin di tingkat provinsi.

2.9 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah:

1. Efek pertumbuhan dan efek distribusi yang mempengaruhi perubahan kemiskinan, berbeda-beda di tiap Provinsi.

2. Pertumbuhan ekonomi akan memberikan manfaat yang signifikan kepada masyarakat miskin dengan tingkat yang berbeda di tiap Provinsi. Dalam arti terdapat perbedaan derajat pro poor growth di tingkat Provinsi.

3. Produktifitas sektor pertanian, pengeluaran pemerintah untuk investasi publik, pendidikan bagi kaum perempuan, dan tingkat pendidikan mempunyai pengaruh yang positif terhadap pengurangan kemiskinan atau pro poor growth. Sebaliknya ketimpangan pendapatan dan jumlah penduduk mempunyai pengaruh yang negatif terhadap pengurangan kemiskinan.

Gambar

Gambar 4.  Kurva U Terbalik Kuznets (Inverted U Curve Hypothesis)
Gambar 5.   Hubungan antara Kemiskinan, Tingkat Pendapatan Agregat dan         Distribusi Pendapatan
Gambar 6. Perubahan Kemiskinan karena Efek Pertumbuhan dan Efek Distribusi  Peningkatan pendapatan dan perbaikan distribusi pendapatan masyarakat  secara bersama-sama akan menggeser distribusi pendapatan ke kanan dan  mempersempit ketimpangan antar individ
Gambar 7. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Nilai PASS ( Pediatric Analog Sedation Score ) yang didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna di antara kedua kelompok sebelum pemberian premedikasi, menit ke-60 (p=0,454),

Apabila kontrol yang dilakukan atasan sesuai dengan kebutuhan karyawan, dalam arti atasan melakukan pengawasan secara teratur terhadap karyawan, terutama saat karyawan bekerja,

Halaman login adalah tempat admin untuk masuk kehalaman admin agar dapat melakukan input, edit, dan delete pada menu / field yang ada pada halaman admin Sistem

Menginformasikan tema yang akan dibelajarkan yaitu tentang ”Berbagai Pekerjaan” dan menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu menilai cerita, membandingkan pemanfaatan

Karena orang yang tidak memiliki keterampilan berjual beli dapat bergantung kepada orang lain (untuk berbinis) dan hatinya tetap merasa tentang.. barang dan menjual

Berdasarkan nilai duga heritabilitas dan kemajuan genetik harapan pada famili A4 karakter yang dapat dijadikan bahan pertimbangan seleksi selanjutnya adalah umur

Nilailah produk flat wafer secara keseluruhan berdasarkan atribut sensori di bawah ini dengan memberikan tanda centang (√) pada kolom tersedia. Netralkan lidah anda

Banyak destinasi unggulan yang dapat menarik minat wisatawan untuk berkunjung kesana, jika kita lihat dari banyak nya jumlah objek wisata yang ada di desa kabupaten