1
A. Latar Belakang
Industri perbankan merupakan salah satu penunjang pembangunan di Indonesia. Segala yang berkaitan dengan industri perbankan diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank sebagai lembaga keuangan yang sangat dibutuhkan keberadaannya untuk menunjang sektor ekonomi, hal ini disebabkan karena bank merupakan lembaga yang berfungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Seperti diketahui bahwa di Indonesia telah ada dua sistem perbankan yaitu Bank Konvensional dan Bank Syariah. Bank konvensional lebih dulu banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Meskipun mayoritas muslim, bank syariah baru berdiri tahun 1992. Bank Islam atau yang lazim disebut dengan bank syariah, keberadaannya relatif baru di Indonesia.
Transaksi yang dijalankan dalam bank syariah diharapkan berdasar pada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam hukum perjanjian Islam. Namun belum spesifik sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
perbankan syariah. Pengertian perbankan syariah pada Undang-Undang ini adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencangkup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya, sehingga tata cara operasionalnya berdasarkan tata cara muamalat, yaitu berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam syariat Islam. Berpedoman pada praktik-praktik bentuk usaha yang ada pada zaman Rasulullah SAW, bentuk-bentuk usaha yang tidak dilarang oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru yang lahir sebagai hasil ijtihad para ulama dan cendikiawan yang tidak menyimpang dari ketentuan al-Quran dan al-Hadist. 1
Berdasarkan perkembangan zaman dan tingkat pengetahuan masyarakat di Indonesia, menyadari akan keuntungan dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank konvensional didapat dari bunga kredit yang dimanfaatkannya dari dana simpanan masyarakat dan dipinjamkan kembali pada masyarakat yang membutuhkan dengan tambahan bunga, bunga merupakan keuntungan yang diperoleh bank konvensional berasal dari kredit yang dipinjamkan pada masyarakat yang membutuhkan dana.
Sistem penarikan bunga yang dilakukan oleh bank konvensional merupakan hal yang menjanjikan keuntungan yang mudah tanpa menanggung resiko yang tinggi, hal ini bertentangan dengan hukum Islam yang mengharamkan riba dan menghargai usaha. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Quran Surat Al-Baqarah ayat 275:
1 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI,
Takaful dan Pasar Modal) di Indonesia, cet.4, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.
⧫❑➔→⧫
❑⧫
⧫❑❑→⧫
☺
❑→⧫
⧫⧫
⬧
▪☺
⬧
❑⬧
☺
⧫
❑⧫
◆
⧫
⧫▪◆
❑⧫
☺⬧
◼◆
⬧→❑⧫
◼▪
⧫⬧
⬧⬧
⧫
◼
◼◆
◼
⧫◆
⧫
⬧⬧
⬧
➔
→
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu ia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.2
Di dalam bank syariah yang berdasarkan prinsip syariah, yang kegiatan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip pembagian keuntungan dan kerugian sehingga tidak ada pemakaian bunga seperti halnya yang dilakukan bank konvensional. Perbankan syariah di Indonesia dapat berkembang dengan pesat karena kemampuannya dalam menghimpun dan menyediakan dana pembiayaan dengan menerapkan sistem bagi hasil dari pembiayaan yang diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan, jika terjadi resiko maka ditanggung oleh kedua belah pihak, yaitu bank dan masyarakat pengguna dana, hal ini disebabkan karena 2 Departemen Agama, Al’Aliyy Al-Quran dan Terjemahan, (Bandung : CV Penerbit
kedudukan antara bank dan masyarakat pengguna dana bukan sebagai kreditor dan debitor tetapi sebagai mitra, jadi yang digunakan adalah prinsip kemitraan (partnership), sehingga dalam perbankan syariah menerapkan asas kehati-hatian dan kegiatan usaha yang sehat serta diterapkan konsep keadilan, seperti halnya adanya jaminan atau agunan dari nasabah yang melakukan pembiayaan pada perbankan syariah. Jaminan atau agunan ini timbul dikarenakan adanya perjanjian pembiayaan antara nasabah dan bank. Dalam perjanjian ini timbul kewajiban bagi nasabah untuk mengembalikan dana yang dipinjamnya, tetapi dalam pengembalian dana yang dipinjam itu sering kali menimbulkan masalah, dimana yang salah satunya adalah nasabah lalai dalam mengembalikan dana tersebut, sehingga dibutuhkan jaminan guna memastikan pengembalian dana bank.
Jaminan dikenal dengan agunan. Istilah agunan dapat dilihat di dalam Pasal 1 angka 23 undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu agunan adalah:
“jaminan tambahan diserahkan debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah” Sedangkan pembiayaan berdasarkan prinsip Syari’ah adalah:
“penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepkatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.3
Dengan adanya jaminan maka menimbulkan hak yang diutamakan bagi bank dalam pelunasan pembiayaannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata, yang menyatakan:
“Segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan” .
Jadi hak tagih bank dijamin dengan barang nasabah yang sudah ada pada saat terjadinya perjanjian pembiayaan, barang yang akan ada yaitu barang yang pada saat perjanjian pembiayaan belum ada tetapi kemudian menjadi milik nasabah baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Jaminan dapat berupa jaminan materiil/kebendaan maupun immaterial/perorangan.
Praktiknya di Perbankan Syariah menerapkan jaminan tambahan atau agunan seperti halnya pada bank umum berdasarkan prinsip konvensional. Bentuk jaminan yang diterapkan pada bank umum dengan prinsip konvensional.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dikeluarkanlah beberapa peraturan yang memperbolehkan dipergunakannya jaminan dalam melakukan transaksi perbankan. Di Indonesia terdapat beberapa peraturan yang mengatur tentang keberadaan jaminan dalam pembiayaan murabahah, diantaranya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, PBI Nomor 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Fatwa DSN No.04/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000 Tentang Pembiayaan Murabahah.
Pada pembiayaan murabahah, jaminan utamanya adalah barang yang menjadi objek pembiayaan tersebut, sedangkan jaminan tambahannya berupa jaminan kebendaan maupun jaminan perseorangan.
Jaminan yang bersifat perorangan dapat berupa penanggungan yang berbentuk jaminan pribadi maupun jaminan perusahaan, sedangkan jaminan kebendaan merupakan pengikatan barang sebagai jaminan utang.
Terhadap jaminan kebendaan dikenal beberapa macam dalam hukum, yaitu:4 1. Hak Tanggungan, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan tanah, atau yang dikenal dengan UUHT. Objek jaminan kebendaan hak tanggungan adalah tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah sehingga yang dulunya menggunakan hipotik sebagai lembaga jaminan untuk tanah dan turutannya tidak berlaku lagi dengan adanya UUHT.
2. Hipotik digunakan untuk jaminan kebendaan yang objek jaminannya adalah benda tidak bergerak selain tanah. Hipotik ini diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan 1178 KUHPerdata.
3. Gadai digunakan untuk benda bergerak yang pelaksanaannya dengan cara diserahkan, sehingga objek jaminan yang menggunakan lembaga gadai berada dalam kekuasaan kreditor, baik penguasaan secara fisik maupun hak kepemilikannya (yuridis/hukum). Gadai diatur dalam KUHPerdata Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160.
4 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia (Jakarta: PT. Raja Grafindo
4. Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pada Jaminan Fidusia objek jaminannya sama dengan gadai yaitu benda bergerak dan tidak bergerak tetapi debitor tetap dapat menguasai secara fisik objek tersebut, sedangkan kreditor hanya menguasai secara yuridis (hak milik) atas objek tersebut, oleh karenanya Jaminan Fidusia merupakan lembaga jaminan yang didasarkan kepercayaan, sehingga apabila debitor telah membayar kewajibannya, maka kreditor berkewajiban untuk mengembalikannya, begitu juga sebaliknya jika debitor wanprestasi maka kreditor berhak mengeksekusi objek tersebut.
Berdasarkan keempat macam lembaga jaminan kebendaan, maka lembaga Jaminan Fidusia merupakan salah satu lembaga jaminan yang dianggap menguntungkan, karena benda bergerak yang menjadi objek jaminannya tetap dapat digunakan untuk kegiatan debitor (nasabah). Objek Jaminan Fidusia tidak hanya benda bergerak saja tetapi juga benda tidak bergerak, oleh karena itu lembaga Jaminan Fidusia lahir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan dana dengan cara pembiayaan (kredit), dan perlu diketahui juga bahwa jaminan dengan fidusia yang dijaminkan adalah hak kepemilikan bendanya saja, sedangkan bendanya tetap berada dalam penguasaan pemiliknya.
Pada tanggal 30 September 1999 Undang–undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah disahkan. Maksud ditetapkannya Undang–Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah untuk menampung kebutuhan masyarakat Indonesia tentang Jaminan Fidusia sebagai salah satu sarana untuk
membantu kegiatan usaha mereka, untuk memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan dan juga untuk memberikan kemudahan bagi pihak yang menggunakan Jaminan Fidusia dalam melakukan kegiatan pembiayaan. Pemilik barang juga mempunyai keuntungan dengan adanya Jaminan Fidusia ini, karena jaminan ini hanya berpindah haknya saja bukan barang yang dijaminkan. Bagi penerima fidusia lebih di untungkan dengan dimudahkannya pembiayaan tersebut dengan adanya jaminan yang disyaratkan oleh pihak bank.
Jaminan Fidusia yang saat ini telah banyak digunakan oleh masyarakat luas dalam hal mengajukan pembiayaan. Dengan pengertian dasar dari fidusia adalah kepercayaan maka hal mendasar yang terjadi dalam praktik fidusia adalah hubungan nasabah dengan pihak perbankan dalam menyelesaikan kewajiban hutangnya.
Memang dalam melakukan suatu usaha atau bisnis, modal adalah suatu hal yang mutlak dimiliki oleh pemilik usaha tersebut. Karena dengan modal dapat dikembangkannya usaha–usaha mereka, dan yang tidak hilang unsur pembiayaan tersebut adalah jaminan dari nasabah. Oleh karena itu pembiayaan harus di syaratkan adanya jaminan dan juga melalui analisis–analisis yang meyakinkan pihak perbankan bahwa nasabah tersebut layak untuk diberikan pembiayaan.
Pada Bank Syariah, jaminan atau agunan digunakan untuk jasa pembiayaan. Dengan ketentuan barang yang dijadikan jaminan itu harus disimpan oleh bank atau disebut dengan rahn pada istilah Bank Syariah. Rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam Kitab al-Mughni yang dinukilkan oleh Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq dalam bukunya yang berjudul Gadai Syariah
Indonesia adalah suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang
berhutang tidak sanggung membayarnya dari orang yang berpiutang. Sedangkan menurut Imam Abu Zakaria al-Anshary dalam kitabnya Fathul Wahab yang dinukilkan pula oleh Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq mendefinisikan rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta benda sebagai kepercayaan dari suatu yang dapat dibayarkan dari harta benda tersebut bila utang tidak dibayar.5
Salah satu bank yang menerapkan sistem jaminan dalam pembiayaan adalah Bank Bjb Syariah KCP Subang. Bank Bjb Syariah KCP Subang menawarkan beberapa produk pembiayaan yang dapat memfasilitasi para nasabahnya untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Dan diantara produk pembiayaan yang disyaratkan adanya suatu jaminan yaitu Pembiayaan konsumtif berupa Pembiayaan Pemilikan Kendaraan Bermotor IB Maslahah dengan akad
Murabahah. Dalam memberikan pembiayaan, ada ketentuan barang yang
dijadikan jaminan harus disimpan oleh pihak bank. Namun hal ini dapat menghambat usaha yang dilakukan oleh nasabah pengguna dana. Apabila barang yang dijadikan jaminan tersebut merupakan barang yang digunakan untuk usahanya, oleh karena itu untuk mempermudah nasabah pengguna dana, maka pihak bank pada pembiayaan melakukan perjanjian pengikatan jaminan yang dilakukan secara fidusia dan didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Keberadaan Lembaga Fidusia dapat memberikan manfaat bagi kreditur maupun debitur. Memberikan kepastian hukum bagi pihak kreditur maupun
5 Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
debitur. Kepastian bagi kreditur adalah kepastian untuk menerima pengembalian kredit, sedangkan bagi debitur adalah kepastian untuk mengembalikan kredit.
Jaminan Fidusia lahir disebabkan kebutuhan masyarakat yang tidak terpenuhi dengan sistem gadai dan asas inbezitstelling-nya. Lembaga jaminan ini bersifat ikutan (accessoir) atas suatu utang yang lahir. Islam pun mengenal akad kafalah (dhaman) dan rahn sebagai akad peneguh kepercayaan (jaminan). Dalam perkembangannya, lahirlah Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily (selanjutnya disebut Fatwa Rahn Tasjily). Konsep hukum rahn tasjily memiliki karakteristik sama dengan Jaminan Fidusia. Obyek jaminan rahn tasjily (marhun) tidak diserahkan kepada kreditur (murtahin), melainkan sebatas bukti kepemilikan marhun tersebut yang diserahkan debitur (rahin) kepada murtahin sebagai jaminan atas utangnya (marhun bih).
Bank syariah sebagai bagian dari sistem perbankan nasional, perbankan tunduk pada aturan umum tentang perbankan dalam hukum perbankan nasional. Dalam prakteknya terkadang perbankan syariah memakai aturan-aturan yang sudah lazim dipakai dalam dunia perbankan baik produk hukum maupun lembaga hukum barat yang terus dipakai dalam praktek. Salah satunya ialah mengenai Lembaga Jaminan yang dipakai sebagai pengaman dalam Pembiayaan Pemilikan Kendaraan Bermotor di Bank Bjb Syariah KCP Subang. Hal ini menimbulkan permasalahan, karena penerapan lembaga Jaminan Fidusia dimana didalamnya terdapat akta Notaris di Perbankan Syariah didasarkan pada hukum positif Indonesia yang bertitik tolak pada Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia dan harus pula disesuaikan dengan ketentuan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia tersebut. Pada Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/19/PBI/2007 Tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah Pasal 2 ayat (1) disebutkan “Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa, Bank wajib memenuhi Prinsip Syariah. Pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam antara lain prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, dzalim,
riswah, dan objek haram. Sedangkan mengenai pengikatan jaminan fidusia
dilakukan atau didasarkan pada hukum positif Indonesia yang notabene bukan konsep hukum Islam terutama Fatwa mengenai Rahn Tasjily.
Sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) dalam Undang-Undang No.42 Tahun 1999 dijelaskan Pengikatan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia. Karena di BJBS KCP Subang menggunakan dasar hukum UU No.42 Tahun 1999 maka diberlakukan akta Jaminan Fidusia.
B. Rumusan Masalah
Bank Bjb Syariah KCP Subang mengeluarkan produk Murabahah pada Produk Pembiayaan Pemilikan Kendaraan Bermotor dengan mengunakan Jaminan Fidusia sementara pengikatan jaminan dengan akta Notaris dalam Islam
diperselisihkan. Agar penelitian ini terarah maka perlu diadakan pembatasan masalah yang akan diteliti. Penelitian ini hanya berfokus kepada Pengikatan Jaminan Fidusia Dengan Akta Notaris Dalam Perjanjian Pembiayaan Pemilikan Kendaraan Bermotor. Adapun secara spesifik perumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Penerapan Pengikatan Jaminan Fidusia Dengan Akta Notaris Dalam Perjanjian Murabahah pada Pembiayaan Pemilikan Kendaraan Bermotor Di Bank Bjb Syariah KCP Subang?
2. Bagaimana Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Pengikatan Jaminan Fidusia Dengan Akta Notaris Dalam Perjanjian Murabahah pada Pembiayaan Pemilikan Kendaraan Bermotor Di Bank Bjb Syariah KCP Subang berdasarkan UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dirumuskan oleh penulis di atas, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini, diantaranya:
1. Untuk mengetahui Penerapan Pengikatan Jaminan Fidusia Dengan Akta Notaris Dalam Perjanjian Pembiayaan Pemilikan Kendaraan Bermotor Di Bank Bjb Syariah KCP Subang.
2. Untuk mengetahui Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Pengikatan Jaminan Fidusia Dengan Akta Notaris Dalam Perjanjian Pembiayaan Pemilikan Kendaraan Bermotor Di Bank Bjb Syariah KCP Subang berdasarkan UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Akademik
Sebagai asset pustaka yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh kalangan akademisi, baik dosen maupun mahasiswa, dalam upaya memberikan pengetahuan, informasi, dan sebagai proses pembelajaran mengenai penerapan Jaminan Fidusia.
2. Secara Praktek
a. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang akan diteliti dan dapat dijadikan bahan masukan bagi para pihak yang terkait atau pembaca.
b. Sebagai syarat untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan strata satu Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
E. Kerangka Pemikiran
1. Studi Terdahulu
Sebelum membuat desain penelitian ini, penulis melakukan perbandingan antara penelitian-penelitian yang terdahulu untuk mendukung materi dalam penelitian ini. Sebelumnya terdapat beberapa penelitian yang mengangkat tema tentang Jaminan Fidusia di ranah lembaga keuangan syariah. Diantaranya:
a. May Rurin Puspitasari.6 Penelitiannya bertujuan untuk menganalisis tentang apa yang dimaksud dengan Jaminan Fidusia, tentang nasabah yang mengajukan pembiayaan yang menggunakan Jaminan Fidusia dan tentang bagaimanakah prosedur yang ada dalam pembiayaan tersebut yang ada pada PT Bank Muamalat Indonesia Cabang Solo. Pembiayaan yang menggunakan Jaminan Fidusia sebagai jaminan tambahannya merupakan pembiayaan yang sering dipakai oleh nasabah yang jaminan utamanya tidak mencukupi syarat. Walaupun menggunakan jaminan tambahan pihak bank tetap harus memeriksa lebih teliti bagaimana keaslian dari jaminan tersebut atau kesungguhan nasabah dalam melunasi hutangnya yang bisa dinilai dengan prinsip 5C dan 7P.
b. Ulil Abshoriyah7 dalam skripsinya yang berjudul “Studi Analisis Terhadap Keberadaan Barang Jaminan Dalam Pembiayaan Murabahah di KJKS BMT El-Amanah Kec. Kendal Kab. Kendal” menyatakan dibolehkan adanya sebuah jaminan dalam pembiayaan murabahah dikarenakan dalam pembiayaan murabahah pembayarannnya secara tempo dan melalui angsuran dan dalam Hukum Islam setiap muamalah yang dilakukan secara tempo disyariatkan harus ada jaminan yang dapat dipegang oleh yang memberi kepercayaan bagi yang memberikan pembiayaan.
6 May Rurin Puspitasari, “Analisis Prosedur Pemberian Pembiayaan dengan Jaminan
Fidusia pada PT Bank Muamalat Indonesia Cabang Solo”, Tugas Akhir Mahasiswi Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam Program Studi D3 Perbankan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, 2014
7 Ulil Abshoriyah, “Studi Analisis Terhadap Keberadaan Barang Jaminan Dalam
Pembiayaan Murabahah Di Kjks Bmt El Amanah Kec. Kendal Kab. Kendal”, Skripsi Mahasiswa
c. Desi Susilawati8 dalam skripsinya yang berjudul “Pelaksanaan Jaminan Fidusia pada Pembiayaan Murabahah di Bank Mandiri Syariah Cabang Tasikmalaya” bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan Jaminan Fidusia dalam pembiayaan murabahah di Bank Mandiri Syariah Cabang Tasikmalaya dan mengetahui aspek hukum pemanfaatan objek fidusia menurut Hukum Islam. Pelaksanaan Jaminan Fidusia pada pembiayaan
murabahah di Bank Mandiri Syariah Cabang Tasikmalaya dilakukan
dengan cara setiap nasabah yang mengajukan pembiayaan murabahah wajib menyerahkan barang jaminanya itu barang yang dibeli nasabah kepada pihak Bank Mandiri Syariah cabang Tasikmalaya otomatis diikar oleh bank menjadi barang jaminan. Aspek hukum pemanfaatan objek fidusia menurut hukum Islam, dalam ranah hukum Islam pemanfaatan objek gadai (ar-rahn) itu diperselisihkan. Ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh memanfaatkan al-marhun. Sementara Mazhab Hanafi berpendapat bahwa apabila pemilik barang mengizinkan pemegang agunan memanfaatkan barang tersebut maka diperbolehkan karena dengan adanya izin tersebut, maka tidak ada halangan bagi pemegang agunan untuk memanfaatkan barang itu.
Banyak berbagai karya tulis ilmiah dan hasil penelitian mulai dari artikel, makalah, dan skripsi yang sudah dilakukan peneliti terdahulu. Namun, peneliti terdahulu hanya menitikberatkan pada Jaminan Fidusia secara keseluruhan dan umum. Sedangkan salam penelitian ini lebih menitikberatkan pada Pengikatan 8 Desi Susilawati, “Pelaksanaan Jaminan Fidusia Pada Pembiayaan Murabahah Di
Bank Mandiri Syariah Cabang Tasikmalaya”, Skripsi Mahasiswi Jurusan Muamalah Fakultas
Jaminan Fidusia Dengan Akta Notaris Dalam Perjanjian Murabahah pada Pembiayaan Pemilikan Kendaraan Bermotor perspektif Hukum Islam.
2. Kerangka Berpikir
Perbankan syariah sebagai lembaga keuangan akan terlibat dengan berbagai jenis kontrak perdagangan syariah, setiap kontrak perdagangan syariah mempunyai prinsip yang jelas dalam menyalurkan dananya bentuk pembiayaan syariah, diantaranya pembiayaan murabahah. Penyaluran dana yang dilakukan oleh bank syariah haruslah memiliki suatu yang menguatkan kedudukan bank syariah dalam memperoleh kembali atas dana yang telah disalurkan, yaitu dengan adanya suatu lembaga jaminan.9 Kegiatan ekonomi khususnya dalam kegiatan perbankan syariah dapat dibuat dengan suatu bukti otenik yang merupakan salah satu hal yang dapat dijadikan pembuktian tertulis, atau adalah akta otentik.
Akta otentik sebagai alat yang terkuat dan mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Akta otentik menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum. Dalam Bank Syariah akad-akad yang dibuat dengan nasabah sebagai penerima pembiayaan dan/atau pemberi Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan akad yang dibuat dibawah tangan maupun didepan Notaris.10 Penggunaan jasa Notaris dalam perbankan syariah bukan saja kehendak para pihak yang melakukan akad, tetapi juga sebagai orang yang memiliki pengetahuan dalam ketentuan hukum karena pada Bank Syariah tidak memberikan pinjaman dengan mengenakan sistem bunga pinjaman, melainkan memberikan penyertaan modal berdasarkan prinsip bagi hasil, maka 9 M.Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), hlm.124
penerapannya harus sesuai dengan rukun dan syarat yang benar, karena apabila terjadi ketidaksesuian antara rukun dan syarat, maka dapat terjerumus kedalam riba, dengan demikian seorang Notaris yang menjadi Notaris bank syariah harus memahami secara mendalam mengenai perbankan syariah dan seorang Notaris harus selalu meng-update pengetahuan sesuai dengan perkembangan hukum yang berkembang di masyarakat, khususnya mengetahui peraturan yang mengatur tentang transaksi pembiayaan yang ada dalam al-quran, hadits, dan ijma. Sehingga Notaris diharapkan dapat berperan agar penyimpangan hukum dapat dihindari. Seorang Notaris juga harus memberikan nasehat atau masukan kepada pihak yang akan melakukan akad agar isi dari akad tersebut dipastikan tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang ada termasuk hukum syariah, meskipun suatu perjanjian atau akad merupakan suatu hal yang disepakati dan diinginkan oleh pihak yang dapat dijadikan undang-undang bagi para pihak didalamnya.
Perbankan syariah dalam menerapkan kehati-hatian dan pembiayaan yang sehat diwujudkan dengan adanya jaminan atau agunan dari nasabah penerima pembiayaan. Jaminan atau agunan ini berfungsi unuk mendukung keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan nasabah penerima pembiayaan untuk melunasi pembiayaan yang diterimanya sesuai dengan perjanjian. Prinsip kehati-hatian sangat diperlukan khususnya ketika bank hendak menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit/ pembiayaan. Prinsip kehati-hatian dalam hakikatnya juga memberikan perlindungan hukum bagi nasabah secara implisit, khusunya bagi nasabah penyimpan dana. Intinya adalah bahwa bank harus
berhati-hati dalam menyalurkan dana yang dihimpun dari masyarakat kepada bank dapat dipertahankan dan ditingkatkan.11
Dalam Hukum Islam, istilah jaminan biasanya dikenal dengan istilah
kafalah, sedangkan objek/barang yang dijaminkan dengan rahn, akan tetapi
mengenai pengikatan objek/barang yang dijaminkan tidak diatur dan kenyataannya secara rinci tetapi yang digunakan dalam muamalat sesuai dengan kebiasaan dalam masyarakat. Objek/barang yang dijaminkan secara rahn berada ditangan bank. Rahn merupakan bentuk jaminan bukan pengikatan jaminan barang, oleh karena itu terhadap rahn digunakan gadai sebagai pengikat jaminan barang. 12
Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari
fasilitas pembiayaan yang diberikan. Rahn ditangan al-murtahin (pemberi utang, kreditor) hanya berfungsi sebagai jaminan utang dari ar-rahin (orang yang berutang, debitur). Barang jaminan itu baru dapat dijual/dihargai apabila dalam waktu yang disetujui oleh kedua belah pihak utang tidak dapat dilunasi oleh debitor. Oleh sebab itu, hak kreditor terhadap barang jaminan hanya apabila debitur tidak melunasi utangnya.
Terhadap ulama fiqih dalam menetapkan rukun pelaksanaan akad ar-rahn. Diantaranya adalah:
1. Sighat (lafal ijab dan qabul)
2. Orang yang berakad (al-rahin dan al-murtahin) 3. Harta yang dijadikan agunan (al-marhun)
11 Abdul Ghafur Anshori,.Hukum Perbankan Syariah (UU No.21 Tahun 2008),
(Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hlm. 59
4. Utang (al-marhun bih)
Adanya jaminan dalam pembiayaan syariah didasarkan atas pemahaman dalam surat Al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi:
◆
◼⧫
⬧◆
⬧
⬧
❑
⬧
→➔⧫
➔⧫
⬧⬧
☺➔⧫
⧫◆⧫
◆◆
◆
◆
❑☺⬧
◼
⧫◆
☺⧫
⬧
◆
⬧
◆
☺
⧫❑➔☺➔⬧
⧫
Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, Maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah menyembunyikan kesaksian, karena Barangsiapa menyembunyikannya, sungguh hatinya kotor (berdosa); Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.13
Menyebutkan bahwa dalam bermuamalah barang yang dijadikan jaminan/pertanggungan dipegang/dikuasai oleh pemberi utang, sehingga hal ini yang dijadikan dalam rahn, akan tetapi hal tersebut dilakukan apabila satu sama lain tidak percaya mempercayai. Ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang di rahnkan (barang yang diagunkan) itu secara hukum sudah berada ditangan kreditor, dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh debitor.
13 Departemen Agama, Al’Aliyy Al-Quran dan Terjemahan, (Bandung : CV Penerbit
Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak, seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah itu diberikan, tetapi cukup sertifikat tanah atau suarat-surat rumah itu yang dipegang oleh kreditor. Syarat yang terakhir (kesempurnaan rahn) oleh ulama disebut sebagai akad Qabd
Al-Marhun (barang jaminan dikuasai secara hukum oleh kreditor). Syarat ini menjadi
penting karena Allah swt. Dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 283 menyatakan : “farihan maqbudah” (barang jaminan itu dipegang/dikuasai [secara hukum]). Apabila agunan itu telah dikuasai oleh kreditor, maka baru akad rahn itu mengikat bagi kedua belah pihak.14
Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa barang yang dijaminkan tetap berada di tangan pemberi fidusia dan yang beralih hanya hak milik dari barang tersebut. Terhadap Jaminan Fidusia merupakan salah satu jenis pengikatan barang sebagai jaminan utang yang bersifat kebendaan itu sendiri.
Jaminan Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan kerentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu. Dengan demikian apabila dilihat penjelasan yang diuraikan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283, maka ayat tersebut dapat dijadikan dasar hukum menurut Al-Quran dalam penggunaan Jaminan Fidusia dalam pembiayaan syariah, sehingga tidak hanya
rahn (gadai) yang dijadikan dasar hukum pada ayat tersebut, tapi ayat itu
merupakan dasar hukum bagi adanya jaminan dalam pembiayaan syariah.
14 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukan dalam Tata Hukum
Jaminan Fidusia dan rahn merupakan produk pembiayaan yang saat ini berkembang dengan pesat di tengah-tengah kehidupan masyarakat, karena selain mempermudah masyarakat dalam memenuhi kehidupan baik perseorangan ataupun badan hukum. Kedua produk pembiayaan melalui kegiatan pinjam meminjam dengan bentuk penjaminan barang. Yang dijadikan jaminan adalah harta benda untuk mendapatkan kepercayaan suatu barang, di mana harta tersebut dapat dilelang jika yang berhutang tidak dapat melunasi hutangnya tersebut. Di dalam Islam, kegiatan pinjam meminjam yang menggunakan penjaminan barang dapat menggunakan akad yang disebut rahn tasjily yang merupakan salah satu bentuk dari rahn.
Menurut fatwa Nomor 68/DSN-MUI/III/2008 dinyatakan bahwa : rahn tasjily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang tetapi barang jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan (pemnafaatan) rahin dan bukti kepemilikannya diserahkan kepada murtahin.
Penggunaan ketentuan tersebut karena, dalam hukum Islam yang mengatur mengenai syariah yang mana termasuk didalamnya adalah kegiatan muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia. Dalam bidang muamalah diserahkan pada manusia dengan proses ijtihad, seperti sabda Nabi Muahammad saw : “antum a’lamu bi umuuri dunyakum”, yang artinya kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian dan dalam hukum muamalat menyatakan bahwa “segala sesuatu boleh dilakukan, kecuali ada larangan dari al-quran atau sunnah”, jadi dalam bidang muamalah terdapat lapangan yang luas sehingga kita boleh saja menambah, menciptakan, mengembangkan dan lain-lainnya sesuai dengan
kebutuhan masyarakat yang bermuamalah, selama “kreativitas” tersebut tidak bertentangan dengan hal yang dilarang dalam Al-Quran dan Sunnah.15 Barang bergerak yang diikat dengan Jaminan Fidusia dalam penulisan ini timbul sebagai akad tambahan dari pembiayaan murabahah yang menjadi akad pokoknya. Dalam pembiayaan murabahah digunakan akta Notaris, karena lebih memiliki kekuatan hukum daripada akad dibawah tangan dan sebagai alat pembuktian yang kuat, karenanya dalam pemberian Jaminan Fidusia pun menggunakan akta notariil, karena lebih menjamin kekuatan hukumnya mengenai apa yang yang dijadikan jaminannya.
Berdasarkan pada apa yang banyak dikemukakan oleh para fuqaha ketika mendeskripsikan fiqih al-muamalah, maka setidaknya ada empat prinsip dalam
muamalah yaitu: 16
1. Pada asalnya muamalah itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkan (al-ashl fial-muamalah al-ibadahah hatta yaquma al-dalil’
ala al-tahrim);
2. Muamalah itu hendaknya dilakukan dengan suka sama suka (an taradhin); 3. Muamalah yang dilakukan hendaknya mendatangkan maslahatdan
menolak madharat (jalb al-mashalih wwa dar’u al-mafasid); dan
4. Dalam muamalah itu harus terlepas dari unsur gharar, kezaliman, dan unsur lain yang diharamkan berdasarkan Syara.
15 Adiwarman A Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007), hlm. 9
Sesuai dengan dasar operasionalnya yakni syariah islam, maka sudah harus mengikuti tata cara bermuamalah yang benar sesuai dengan asas-asas muamalah sebagai berikut: 17
1. Asas taabadulul manafi’ di mana segala bentuk kegiatan muamalat harus memberikan keuntungan dan manfatt bersama bagi pihak-pihak yang terlibat.
2. Asas pemerataan, yaitu prinsip keadilan yang menghendaki agar harta tidak hanya bergulir dan dikuasai sebagian orang.
3. Asas ‘an taradlin, yaitu adanya kerelaan antara pihak-pihak yang bermuamalah.
4. Asas ‘adamul gharar, yaitu menghilangkan gharr yang bisa menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan.
5. Asas al-birr wa at-taqwa, yaitu prinsip saling tolong menolong antar sesama manusia.
6. Asas musyarakah, yakni kerja sama antar pihak yang saling menguntungkan.
Setiap kegiatan muamalah bila tidak ada dalil yang menerangkan tentang keharamannya serta telah memenuhi asas-asas tersebut, maka kegiatan muamalah tersebut hukumnya sah. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul yang berbunyi: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan”.
Jika digambarkan dalam bentuk bagan, maka akan tampak seperti berikut:
Pembiayaan Pemilikan Kendaraan Bermotor Jaminan Pengikatan dengan Akta Notaris Rahn UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Rahn Tasjily
Fatwa DSN-MUI No. 68 tentang Rahn Tasjily
Jaminan dalam Hukum Positif Indonesia Jaminan dalam Hukum
Ekonomi Syariah
Jaminan Perorangan Jaminan Kebendaan
Jaminan Fidusia
Prinsip dan Asas-asas Muamalah
=
=
Murabahah
F. Langkah-langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan deskriptif-analisis. Yaitu memberikan gambaran yang jelas mengenai pelaksanaan pengikatan Jaminan Fidusia dengan Akta Notaris pada pembiayaan Murabahah dalam Pembiayaan Pemilikan Kendaraan Bermotor yang terjadi dalam lingkungan masyarakat dan menjelaskan ketentuan yang seharusnya terjadi menurut Hukum Ekonomi Syariah yang kemudian menganalisisnya lebih lanjut untuk mendapatkan kesimpulan yang selanjutnya menjabarkan dalam bentuk kata-kata.
2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari Ibu Yuke pada bagian Financing Officer Bank BJB Syariah KCP Subang, baik melalui observasi, interview dan modul pedoman produk yang berkaitan dengan pelaksanaan akad murabahah pada produk Pembiayaan Pemilikan Kendaraan Bermotor di Bank BJB Syariah KCP Subang.
b. Sumber Data Sekunder
Teori-teori yang penulis ambil dari berbagai literatur, melalui sumber buku, melalui internet, dan literatur-literatur lain yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti oleh penulis.
3. Teknik Pengumpulan Data
Agar dapat mendukung metode yang digunakan diatas, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui:
a. Observasi
Observasi yang dilakukan adalah pengamatan secara langsung mengenai pengikatan jaminan fidusia dengan akta notaris dala perjanjian murabahah pada produk Pembiayaan Pemilikan Kendaraan Bermotor di Baank BJB Syariah KCP Subang. Tujuan dari observasi ini adalah untuk memperoleh data yang sebenar-benarnya.
b. Wawancara (interview)
Dalam wawancara peneliti mengambil informasi dari pihak Bank Bjb Syariah KCP Subang agar diperoleh informasi mendalam mengenai penerapan akta Notaris. Dilakukan dengan bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai dengan menggunakan pedoman (guide) wawancara. Adapun yang diwawacarai ialah Ibu Yuke Financing Ofiicer Bank BJB Syariah KCP Subang.
c. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan digunakan sebagai sarana untuk pengumpulan data yang bersifat kualitatif dengan cara mencari data dari buku-buku, artikel-artikel, kitab, dan sumber-sumber tertulis lainnya. Hasil dari studi kepustakaan ini dapat dijadikan lantasan/sumber data pelengkap mengenai konsep, teori, dan praktik pengikatan jaminan fidusia dengan akta notaris dala perjanjian murabahah pada
produk Pembiayaan Pemilikan Kendaraan Bermotor di Baank BJB Syariah KCP Subang.
4. Metode Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan cara mengelompokkan dan menghubungkan jawaban, pandangan, dan relevansi masalah, kemudian setelah itu dilakukan analisis data yang melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Tahap inventarisasi data. Langkah ini dilakukan dengan mengumpulkan data awal dan informasi yang diperlukan tentang pelaksanaan pengikatan Jaminan Fidusia dengan akta notaris dalam perjanjian Murabahah pada Pembiayaan Pemilikan Kendaraan Bermotor.
b. Tahap menyeleksi data. Melakukan seleksi terhadap data yang telah terkumpul dari berbagai sumber data, baik sumber data primer maupun sekunder.
c. Tahap interpretasi data. Tahap ini merupakan tahap merangkumkan apa yang diperoleh, menilai apakah data tersebut berbasis kenyataan, teliti,, ajeg, dan benar.
d. Tahap menyimpulkan data. Tahap ini merupakan tahapan akhir dalam suatu penelitian, hasil analisis dan interpretasi data digunakan untuk menarik kesimpulan dalam laporan.