• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. Nitobe (1998) mengemukakan pengertian Bushido sebagai berikut :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. Nitobe (1998) mengemukakan pengertian Bushido sebagai berikut :"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2 Landasan Teori

2.1 Teori Bushido Menurut Nitobe

Nitobe (1998) mengemukakan pengertian Bushido sebagai berikut : 武士道は文字通り武人あるいは騎士の道であり、武士がその職分を尽くす ときでも、日常生活の言行においても、守らなければならない道であって、 いいかえれば、武士の掟であり、武士階級の身分に義務なのである。... 以上に述べたように、武士道は武士の道徳的な掟であって、武士はこれを 守る、行うことを教えられ、かつ要求されるものである。しかし、それは 成文法ではない。あるいは先人の口伝えに、あるいは数人の名のある武士 や筆によって伝えられた、わずかの格言があるにすぎない。むしろそれは、 語れもしない書かれもしない、(つまり不言不文の)道徳の掟であって、 だからこそ実行を強く求める力があるのであり、武士の心に刻みこまれて いる律法なのである。 Terjemahan:

Bushido (武士道) secara harafiah berarti Jalan Ksatria, sebuah jalan yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh para ksatria pada saat bertugas maupun dalam kehidupan sehari-hari; dengan kata lain, sebuah peraturan ksatria yang merupakan suatu kewajiban dalam kedudukan kelas bushi;… Seperti yang telah dijelaskan, bushido merupakan sebuah peraturan kstaria yang mengatur secara moril, di mana para ksatria diajarkan penerapannya dan dituntut untuk mematuhinya. Akan tetapi, peraturan ini tidak tertulis. Dapat dikatakan berasal dari ucapan yang diturunkan turun temurun, atau pun dari tulisan-tulisan ksatria yang cukup dikenal, yang merupakan suatu kepastian. Selanjutnya, karena tidak diucapkan maupun tertulis, peraturan ini menuntut penerapannya dengan segenap kekuatan, dan terukir di dalam hati para ksatria.

(2)

Menurut Nitobe, Bushido bersumber dari ajaran-ajaran kepercayaan yang telah lama ada di sekitar masyarakat Jepang yang mengatur hal-hal seputar kehidupan manusia antara lain Buddha Zen, Shinto, dan Konfusianisme.

1. Buddha Zen

Nitobe mengemukakan Buddha Zen sebagai salah satu sumber dari Bushido. Menurut Nitobe, Zen adalah kata dalam bahasa Jepang yang sepadan dengan kata Dhyâna, yang “mencerminkan usaha manusia untuk mencapai zona meditasi dari suatu pikiran di luar jangkauan ekspresi verbal”. Caranya dengan melakukan perenungan, dan isinya adalah meyakinkan tentang sebuah prinsip yang mendasari semua hal dan tentang kemutlakan, dan menempatkan seseorang dalam suatu keharmonisan dengan kemutlakan ini. Konsep Buddha Zen inilah yang menurut Nitobe yang melengkapi suatu perasaan tentang kepercayaan dalam takdir, suatu kepasrahan kepada hal yang tidak dapat dielakkan, yang membatasi diri dalam pandangan tentang bahaya atau bencana yang meliputi penghinaan dalam kehidupan dan keterkaitan dengan kematian (Nitobe, 1998:11-12).

Unsur spiritual Bushido berasal dari Buddha Zen, dan latihan-latihan rohani Zen digunakan kaum samurai untuk melatih fisik dan mental mereka. Mereka mendapatkan kemampuan dalam mengembangkan seni militer mereka dengan cara yang menjaga ketenangan pikiran, apapun yang terjadi, melalui Zen (Ikeno, 2002:43).

2. Shinto

Nitobe (1998) mengemukakan Shinto sebagai salah satu sumber dari Bushido sebagai berikut :

(3)

仏教が武士道に与えることができなかったものを、神道が豊かに充たして くれた。主君に対する忠節、祖先に対する崇拝、および親に対する孝行が これである。この三つの教えは、他のいかなる宗教の信条によっても教え られなかったものである。これによって、武士の(ややもすれば陥りやす い)傲慢な性格は抑制されて、服従性が加えられた。 Terjemahan :

Hal-hal yang tidak dapat diberikan oleh agama Buddha ke dalam Bushido, diberikan secara berlimpah oleh agama Shinto. Hal itu adalah kesetiaan terhadap majikan, penghormatan kepada leluhur, dan bakti terhadap orangtua. Ketiga hal tersebut merupakan ajaran yang bahkan tidak diajarkan oleh ajaran kepercayaan maupun agama lainnya. Hal ini meningkatkan kepatuhan dan mengontrol karakter serta rasa sombong (yang cenderung menjadi kejatuhan) para ksatria.

3. Konfusianisme

Nitobe mengemukakan bahwa ajaran-ajaran Konfusius merupakan sumber yang paling besar bagi Bushido. Ucapannya tentang lima hubungan moral antara majikan dan pelayan, ayah dan anak, suami dan istri, kakak dan adik, serta antara teman merupakan suatu kejelasan yang telah dikenal masyarakat Jepang sebelum tulisan-tulisannya diperkenalkan dari China. Karakter-karakter dari aturan-aturan etika poltiknya yang tenang, ramah, dan bijaksana secara tutur kata sangat cocok bagi kaum samurai yang membentuk golongan yang memerintah. Sifat kebangsawanan dan konservatifnya diadaptasi menjadi persyaratan untuk menjadi prajurit negara (Nitobe, 1998:15-16).

Dalam Bushido terkandung tujuh unsur utama yang mengatur prinsip hidup seorang bushi, yaitu kebenaran (義 – Gi), keberanian (勇 – Yuu), kebajikan (仁 – Jin), kesopanan (礼 – Rei), kejujuran (誠 – Makoto), kehormatan (名誉 – Meiyo), dan kesetiaan (忠義 –

(4)

1. Kebenaran (義 – Gi)

Kebenaran bagaikan tulang yang memberikan kekuatan pada tubuh. Bagaikan tanpa tulang maka kepala tidak dapat diletakkan di atas tulang belakang, maupun tangan tidak dapat bergerak, ataupun tanpa kaki tidak dapat berdiri, begitu pula tanpa kebenaran baik bakat maupun latihan tidak dapat menjadikan seseorang sebagai samurai. Seorang ksatria yang cukup dikenal menjelaskan, ”Kebenaran adalah kekuatan untuk memutuskan sesuatu atas tingkah laku sesuai dengan alasan, tanpa ada keraguan. Berkorban ketika harus untuk berkorban, dan menyerang ketika harus menyerang” (Nitobe, 1998:23).

Selama hal di mana seorang ksatria harus memahami benar dan salah itu dilakukan dan diterima, maka Bushido akan hidup (Cleary, 1999:18).

2. Keberanian (勇 – Yuu)

Nitobe (1998:28) mengemukakan bahwa Bushido akan dengan mudah terbawa ke arah perasaan takut jika tidak memiliki kepekaan yang tepat terhadap keberanian, sebuah semangat untuk mengambil resiko apapun dan menahan rasa sakit.

Seorang pangeran dari Mito mengatakan, “Menerobos ke dalam pertempuran dan terbunuh adalah sesuatu yang mudah, dan kekasaran belaka menjadi pantas bagi tugasnya. Tapi merupakan suatu keberanian sejati untuk hidup ketika pantas untuk hidup dan mati ketika pantas untuk mati” (Nitobe, 1998:30).

Pada umumnya, keberanian bukan sesuatu yang hanya muncul ketika mengenakan pakaian perang, mengangkat senjata, dan bertarung dalam pertempuran. Hal-hal yang mencerminkan keberanian dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari, seperti dengan berani

(5)

melatih kesetiaan dan berbakti kepada atasan dan orang tua; mempelajari kesusastraan dan berlatih seni bela diri ketika memiliki waktu senggang; menghindari kemewahan pribadi; menuruti kebijakan larangan dari atasan dan menghindari hal-hal yang tidak disukai oleh orang tua; dan menjaga kesehatan tubuhnya agar dapat melaksanakan tugas sehingga tidak mengecewakan atasan dan orang tua (Cleary, 1999:22-23).

3. Kebajikan (仁 – Jin)

Cinta, kemurahan hati, kasih kepada sesama, simpati dan rasa mengasihi, selalu diakui sebagai kebajikan tertinggi, yang tertinggi dari seluruh bagian jiwa manusia (Nitobe, 1998:36). Kebajikan merupakan kebaikan yang lembut dan bersifat keibuan. Jika kebenaran yang tulus dan keadilan yang kuat merupakan kejantanan, maka belas kasihan memiliki kelembutan dan keyakinan dari sifat kewanitaan (Nitobe, 1998:41). Namun menurut Nitobe pula, kebajikan tidak boleh berlebihan karena akan membuat seseorang menjadi lemah seperti yang dikatakan Masamune, “Kebajikan diluar batas kendali akan menenggelamkan seseorang ke dalam kelemahan”.

4. Kesopanan (礼 – Rei)

Sikap sopan terhadap orang yang di atas kita atau orang lain harus dilakukan dengan dasar rasa hormat dan tidak boleh berlebihan. Rei yang berlebihan hanyalah kepalsuan belaka. Rei berasal dari Kenjou(謙譲- merendahkan diri) dan Jin’ai(仁愛- hati yang mencintai). Rei menuntut rasa hormat terhadap orang lain dalam bentuk yang dapat dilihat oleh mata. Di kalangan samurai, Rei mengatur agar para samurai menghormati

(6)

itu samurai tidak boleh sombong ataupun membanggakan dirinya. Dalam hakikat tertinggi, Rei hampir mendekati cinta. Rei itu tahan terhadap penderitaan yang panjang, tidak merasa iri hati, tidak membanggakan diri, tidak sombong, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak mempengaruhi orang lain, tidak merencanakan hal yang jahat (Nitobe, 1998:50).

Dalam Bushido, tidak peduli seberapapun besarnya kesetiaan dan bakti terhadap keluarga ditanamkan di dalam hati, tanpa tata krama sopan santun untuk mengungkapkan penghormatan kepada atasan dan kehormatan kepada orang tua tidak bisa dikatakan sesuai dengan cara Bushido (Cleary, 1999:25).

5. Kejujuran (誠 – Makoto)

Tanpa Makoto (kejujuran dan ketulusan), Rei hanyalah aksi belaka. demikian pula halnya dengan Rei yang berlebihan merupakan kebohongan belaka. Berbohong atau berdalih dianggap sama dengan seorang pengecut (Nitobe, 1998:62). Kaum samurai memahami bahwa kelasnya yang menempati posisi tertinggi dalam masyarakat menuntut kejujuran yang tinggi melebihi kaum pedagang atau kaum petani. Bushi no ichigon, ucapan seorang samurai, dapat menjadi jaminan terhadap apa yang dikatakan dan apa yang akan dia lakukan sehingga tidak memerlukan bukti tertulis apapun. Karena ketika seorang samurai membuat janji, mereka menganggap janji itu sendiri sebagai sesuatu yang dapat mencoreng kehormatan mereka. Berbohong tidak dianggap sebagai dosa, tetapi hanya dikatakan sebagai kelemahan, dan hal itu merupakan sesuatu yang sangat tidak terhormat (Nitobe, 1998:62-71).

(7)

6. Kehormatan (名誉 – Meiyo)

Rasa akan kehormatan, yang secara tidak langsung menyatakan sebuah kesadaran hidup dari harga diri yang pribadi dan bernilai, selalu menjadi gambaran seorang ksatria yang terlahir dan terdidik untuk menghargai kewajiban dan hak-hak dari profesi mereka, sebuah tiang penopang keistimewaan dari seorang ksatria (Nitobe, 1998:72). Akan tetapi, Meskipun memiliki keistimewaan, seorang ksatria tidak boleh sembarangan mengatasnamakan Meiyo dan menyerang orang hanya karena masalah yang kecil, sebab hal itu bukanlah mempertahankan kehormatan melainkan hanyalah hati yang sempit (Nitobe, 1998:75).

Kehormatan sangat penting bagi Samurai sebagai suatu kebanggaan, dan mendapatkan suatu kematian yang terhormat berarti bahwa keturunan mereka akan diberi imbalan dan dirawat oleh atasan mereka (Ikeno, 2002:46).

Hal yang terpenting dari seorang ksatria, apapun pangkatnya, adalah bagaimana ia bersikap saat kematiannya. Tidak peduli apakah ia biasanya mengesankan ataupun pandai, jika kehilangan ketenangan saat berada di tepi kematian dan mati dengan cara yang tidak pantas, segala jasa-jasanya akan menjadi sia-sia dan akan dianggap buruk oleh orang lain. Hal ini merupakan sesuatu yang memalukan (Cleary, 1999:60).

7. Kesetiaan (忠義 – Chuugi)

Kesetiaan seseorang merupakan suatu pelekatan moral di antara seluruh jenis dan sifat manusia. Ketika seseorang memiliki perbedaan pendapat dengan atasannya, jalur kesetiaan baginya adalah menggunakan segala cara yang ada untuk meyakinkan dirinya

(8)

untuk menyelesaikannya. Pada hal seperti ini, cara ini merupakan hal yang biasa bagi Samurai untuk membuat suatu pertimbangan terhadap kepandaian dan nurani atasannya dengan menunjukkan ketulusannya dengan memberikan darahnya sendiri. Kehidupan diberikan sebagai maksud untuk melayani atasannya, dan teladannya disusun atas kehormatan, seluruh pendidikan dan pelatihan untuk seorang Samurai yang diberikan sebagaimana mestinya (Nitobe, 1998:82-95).

Semua Samurai harus hidup secara terpuji dan terhormat agar tidak memiliki penyesalan ketika mereka mati, karena kematian merupakan kejadian sehari-hari. Untuk berperilaku secara terpuji, terdapat kode etik moral yang tegas yang diikuti para Samurai, meliputi kebenaran, kesopanan, dan lain sebagainya (Ikeno, 2002:45).

2.2 Teori Penokohan Menurut Nurgiyantoro

Istilah ‘tokoh’ menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Seperti yang dikatakan Jones dalam Nurgiyantoro (2007:165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang digambarkan dalam cerita.

Stanton dalam Nurgiyantoro (2007:165) mengemukakan bahwa pengunaan istilah ‘karakter’ (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyarankan pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebgai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan emosi, dan prinsip moral yang dimiliki oleh tokoh-tokoh tersebut.

(9)

Dengan demikian, character dapat berarti ‘pelaku cerita’ dan dapat pula berarti ‘perwatakan’. Penyebutan nama tokoh tertentu, tak jarang, langsung mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang dimilikinya.

Tokoh cerita (character), menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2007:165), adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (non-verbal). Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik.

Dengan demikian, istilah ‘penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ‘tokoh’ dan ‘perwatakan’ sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

Nurgiyantoro (2007: 177) juga mengungkapkan bahwa tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Misalnya saja pembedaan antara tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam kaitannya dengan keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh tersebut tak sama. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Disebut sebagai tokoh utama cerita (central character, main character). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku

(10)

dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, tokoh utama sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik penting yang mempengaruhi perkembangan plot.

Tokoh-tokoh cerita sebagaimana dikemukakan diatas tidak serta merta hadir kepada pembaca. Mereka memerlukan ‘sarana’ yang memungkinkan kehadirannya.

Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik dilakukan secara tak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta perilaku tokoh (Nurgiyantoro, 2007:198).

Berbagai teknik dalam penggambaran teknik dramatik: 1. Teknik cakapan

Percakapan yang dilakukan oleh (baca:diterapkan pada) tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Percakapan yang baik, mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya (Nurgiyantoro, 2007: 201).

2. Teknik Tingkah Laku

Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyarankan pada tindakan yang bersifat non-verbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya (Nurgiyantoro, 2007:203).

3. Teknik Pikiran dan Perasaan

Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikirkan dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya juga (Nurgiyantoro, 2007:204).

Referensi

Dokumen terkait

Guna meningkatkan kelancaran pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Penerangan Jalan dan Pengelolaan Reklame Kota Semarang , maka disusunlah Rencana Kerja Satuan

BAGAN SUSUNAN ORGANISASI UPTD DI LINGKUNGAN DINAS KESEHATAN.. KEPALA DINAS

Peningkatan koefisien perpindahan kalor konveksi nanofluida seiring dengan laju aliran dan juga fraksi volume nano partikel sementara nilai koefisien perpindahan kalornya

Berdasarkan penjelasan di atas dan dengan melihat pentingnya pelanggan bagi kelangsungan usaha, maka yang menjadi msalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana

Akhirnya penulis berharap semoga penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam hal

Ruang lingkup dari penelitian ini hanya membatasi pembahasannya pada pengujian yang ingin menguji apakah dua belas atribut kualitas audit yang terdiri dari Pengalaman

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Kemtan 112 Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 0216-9959 Pertanian Kedokteran Hewan dan

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui keadaan Yogyakarta pada masa kolonial, (2) mengetahui proses integrasi kasultanan dan pakualaman ke Republik