• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang Taksonomi dan Morfologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang Taksonomi dan Morfologi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi

Menurut Lekagul & McNeely (1977), secara taksonomi monyet ekor panjang diklasifikasilan ke dalam phylum Chordata, subphylum Vertebrata, class Mamalia, ordo Primata, subordo Anthropoidae, family Cercopithecidae, subfamily Cercopithecinae, genus Macaca dan spesies Macaca fascicularis (Raffles 1821). Nama ilmiah lainnya dari monyet ekor panjang adalah Simia fascicularis Raffles (1812), Macaca irus Cuvier (1818), serta Simia cynomolgus Schreber (1775). Monyet ekor panjang juga dikenal dengan nama monyet-kera, kunyuk atau kethek (Jawa/Sunda), monyet dan cigak (Indonesia) serta crab-eating macaque dan long-tailed macaque (Inggris).

Menurut Sody (1949) Macaca fascicularis yang terdapat di Indonesia terdiri atas 11 sub-species, yakni:

a) Macaca f. impudens Elliot, 1910: spesimen berasal dari Kepulauan Riau b) Macaca f. fascicularis Raffles, 1821: spesimen berasal dari Sumatera c) Macaca f. mandibularis Elliot, 1910: spesimen berasal dari Kalimantan

d) Macaca f. carimatae Elliot, 1910: spesimen berasal dari Kepulauan Karimata, Pulau Serutu dan Pulau Pelapis

e) Macaca f. mordax Thomas & Wroughton, 1909: spesimen berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah

f) Macaca f. baweanus Elliot, 1910: spesimen berasal dari Pulau Bawean

g) Macaca f. karimunjawae Sody, 1949: spesimen berasal dari Pulau Karimunjawa

h) Macaca f. submordax Sody, 1949: spesimen berasal dari Pulau Bali i) Macaca f. limitis Schwarz, 1913: spesimen berasal dari Pulau Timor

j) Macaca f. sublimitus Sody, 1932: spesimen berasal dari Pulau Sumba, Sumbawa, Flores, dan Pulau Lombok

k) Macaca f. lapsus Elliot, 1910: spesimen berasal dari Pulau Bangka

Monyet ekor panjang adalah monyet kecil berwarna coklat dengan perut agak putih terutama pada mukanya. Bayi monyet yang baru lahir berwarna hitam,

(2)

muka dan telinganya berwarna merah muda. Setelah satu minggu kulit mukanya menjadi merah muda keabu-abuan dan enam minggu kemudian berubah menjadi coklat (Aldrich-Blake 1976). Warna rambut yang menutupi tubuh monyet kera ekor panjang bervariasi tergantung pada umur, musim dan lokasi. Monyet yang tinggal di kawasan hutan umumnya berwarna lebih gelap dan lebih mengkilap dari pada yang menghuni kawasan pantai. Hal ini mungkin disebabkan pengaruh pemutihan oleh udara yang bergaram dan sinar matahari langsung (Lekagul & McNeely 1977).

Monyet ekor panjang mempunyai bentuk ekor silindris, muskular dan ditutupi rambut-rambut pendek. Pada umumnya panjang ekor antara 80-110% dari panjang kepala dan badan. Rambut pada mahkota kepala tersapu ke belakang dari arah dahi. Monyet muda seringkali mempunyai jambul yang tinggi, sedangkan monyet yang lebih tua mempunyai cambang yang lebat. Ciri anatomi penting monyet ekor panjang adalah kantong pipi (cheek pouch) yang berguna untuk menyimpan makanan sementara. Adanya kantong pipi ini maka monyet ekor panjang dapat memasukkan makanan ke mulut dengan cepat dan mengunyahnya di tempat lain (Lekagul & McNeely (1977).

2.1.2 Habitat

Habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan perlindungan. Kuantitas dan kualitas habitat ini sangat menentukan prospek kelestarian satwaliar, menentukan komposisi, penyebaran dan produktivitas satwaliar. Menurut Alikodra (1990) mendefinisikan habitat sebagai kawasan yang terdiri atas berbagai komponen, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan berfungsi sebagai tempat hidup, menyediakan makanan, air, pelindung serta berkembang biak satwaliar.

Habitat klasik monyet ekor panjang adalah hutan mangrove, hutan primer dan hutan sekunder sampai ketinggian 2000 mdpl (Lekagul & McNeely 1977). Satwa ini juga dapat ditemukan di berbagai tipe habitat seperti mangrove, hutan hujan, rawa, pesisir, hutan tropis, hutan gugur, evergreen, semak dan hutan sekunder. Selain itu satwa ini juga sering ditemukan di pinggiran hutan,

(3)

khususnya di hutan mangrove dan sungai atau di pinggiran habitat yang terganggu (Gummert 2011).

2.1.3 Populasi dan Penyebaran

Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu (Tarumingkeng 1994). Adapun sifat-sifat khas yang dimiliki suatu populasi adalah kerapatan (densitas), sebaran (distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran (disperse).

Menurut Gummert (2011) populasi monyet ekor panjang tidak diketahui secara pasti. Populasinya selalu menurun di habitat alaminya dan dimungkinkan bahwa populasinya selalu meningkat di habitat yang dekat dengan pemukiman manusia.

Daerah penyebaran monyet ekor panjang adalah Indocina, Thailand, Burma (Myanmar), Malaysia, Philipina, dan Indonesia. Di Indonesia, penyebaran

Macaca fascicularis terdapat di Sumatera, Kepulauan Lingga dan Riau, Bangka,

Belitung, Kepulauan Tambilan, Kepulauan Natuna, Nias, Jawa dan Bali, Matasari, Bawean, Maratua, Timor, Lombok, Sumba dan Sumbawa (Lekagul & McNeely 1977).

2.1.4 Pakan

Monyet ekor panjang lebih bersifat omnivore dari langurs. Monyet ekor panjang memakan buah-buahan, biji-bijian, pucuk, serangga, kepiting, katak, kadal dan moluska (Lekagul & Mc Neely 1977).

Jenis pakan monyet ekor panjang adalah buah karet (Hevea brasiliensis), pucuk padi (Oryza sativa) dan jagung (Zea mays). Pada daerah rawa mangrove monyet ekor panjang juga merupakan satwa yang bersifat frugivore–omnivore karena memakan buah Sonneratia spp. dan Nypa fruticans serta kepiting (Crockett & Wilson 1980). Ficus spp adalah makanan paling penting bagi kera

(4)

dan monyet karena jenis ini dapat berdaun muda sepanjang tahun atau berbuah 2-3 kali setahun.

Jenis tumbuhan yang sering dimakan oleh monyet ekor panjang di Pulau Tinjil adalah peuris (Antidesma montanum), songgom (Melanorhoea walichii), butun (Barringtonia asiatica), waru (Hibiscus tiliaceus), jambu klampok (Eugenia cymosa), ketapang (Terminalia catapa), kiampelas (Ficus ampelas), kopeng (Ficus variegata) dan kiara (Ficus glomerata). Dari jenis-jenis tersebut tumbuhan yang paling disukai adalah butun (Barringtonia asiatica), sedangkan berdasarkan tingkatannya vegetasi yang disukai adalah pada tingkat pancang (Santosa 1996).

2.1.5 Perilaku

Perilaku adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang datang dari lingkungannya. Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 2002).

Wheatley (1980) membagi aktivitas Macaca fascicularis sebagai berikut : a) Makan (feeding) berupa aktivitas makan meliputi memungut makanan dan

prosesnya, termasuk mulai dari mengumpulkan makanan dilakukan pada pohon yang sama. Satwa biasanya tinggal pada pohon yang sama untuk mengunyah makanannya tetapi kadang-kadang memungut makanan dari satu pohon dan mengunyah pada pohon yang lain. Aktivitas makan dibatasi ketika satwa berhenti makan atau meninggalkan pohon.

b) Penjelajahan (ranging) berupa aktivitas penjelajahan diantara sumber makanan biasa antar pohon.

c) Istirahat (resting) yaitu aktivitas selain aktivitas makan dan penjelajahan, dan kadang-kadang terdapat prilaku grooming.

d) Berkelahi (fighting), aktivitas ini diatandai dengan ancaman mimik muka atau gerakan badan, menyerang dan memburunya serta baku hantam diakhiri dengan kekalahan dari lawannya.

(5)

e) Berkutu-kutuan (grooming) yaitu aktivitas mencari kotoran atau ekto-parasit dari tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya.

f) Kawin (sexsual behavior) yaitu hubungan seksual yang dimulai dari pengejaran betina dan diakhiri dengan turunnya jantan dari betina setelah kopulasi.

g) Bermain (playing) berupa aktivitas baku hantam terhadap individu lain terutama dilakukan pada anak (juvenil).

Pada populasi monyet ekor panjang terdapat struktur sosial tersendiri. Satwa yang memiliki hirarki paling atas biasanya seekor jantan dewasa yang disebut sebagai alpha male. Sudah menjadi aturan bahwa kekuasaan satwa dalam kelompok ditentukan oleh peringkatnya. Peringkat tertinggi disebut juga sebagai satwa menangan atau dominant animal dan peringkat paling bawah disebut satwa kalahan atau subordinate animal (Chalmers 1980).

2.2. Parameter Demografi Monyet Ekor Panjang 2.2.1 Ukuran Populasi dan Kepadatan

Sebuah populasi diartikan sebagai sebuah kelompok individu/organisme yang menempati tempat tertentu dan pada waktu tertentu (Krebs 1978). Populasi adalah organisme yang terdiri dari satu spesies, saling berinteraksi dan dapoat melakukan perkembangbiakan pada waktu dan tempat yang sama, dan mengahasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Sebuah populasi yang memiliki lebih dari satu kelompok memiliki ukuran kelompok, seperti monyet ekor panjang di HPGW. Ukuran kelompok adalah jumlah individu yang terdapat dalam suatu kelompok monyet ekor panjang (Priyono 1998). Monyet ekor panjang di Cagar Alam Pangandaran terdiri dari empat kelompok dengan ukuran kelompok 16 – 44 ekor (Hendratmoko 2009).

Kepadatan populasi juga sering disebut dengan kerapatan populasi. Menurut Tarumingkeng (1994) ukuran populasi dinyatakan dalam kerapatan sering disebut kerapatan populasi. Kerapatan populasi menyatakan sekian banyak individu per satuan ekologi (daerah, luasan dsb). Sedangkan kepadatan adalah jumlah individu per unit wilayah atau unit volume (Krebs 1978, Seber 1982). Angka rata-rata

(6)

kepadatan populasi adalah total ukuran populasi per luas wilayah yang digunakan (Seber 1982).

Sepanjang kehidupan suatu populasi, kerapatannya berubah-ubah (Tarumingkeng 1994). Perubahan atau proses turun naiknya kerapatan populasi berlangsung terus menerus sepanjang waktu. Perubahan kerapatan populasi disebabkan oleh peningkatan karena kelahiran (natalitas), peningkatan karena masuknya beberapa individu sejenis dari populasi lain (imigrasi), penurunan karena kematian (mortalitas) dan penurunan karena keluarnya beberapa individu dari populasi ke populasi lain (emigrasi) (Krebs 1978, Tarumingkeng 1994).

2.2.2 Angka Kelahiran

Angka kelahiran disebut juga sebagai potensi perkembangbiakan adalah jumlah individu baru yang lahir dalam suatu populasi. Angka kelahiran atau natalitas dapat dinyatakan dalam produksi individu baru dalam suatu populasi, laju kelahiran per satuan waktu atau laju kelahiran per satuan waktu individu (Krebs 1978). Menurut Santosa (1996) tingkat kelahiran adalah suatu perbandingan antara jumlah total kelahiran dan jumlah total induk (potensial induk bereproduksi) yang terlihat pada akhir periode kelahiran, sedangkan menurut Alikodra (1990) natalitas atau angka kelahiran adalah jumlah individu baru per unit per waktu per unit populasi.

Angka kelahiran terdiri dari angka kelahiran kasar, yaitu angka perbandingan jumlah individu yang dilahirkan dengan seluruh anggota populasi dalam suatu periode waktu; dan angka kelahiran spesifik yaitu angka perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu dengan jumlah induk yang melahirkan yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama periode waktu. Natalitas atau angka kelahiran ditentukan oleh faktor-faktor : (1) perbandingan komposisi kelamin, (2) umur tertua dimana individu mulai mampu untuk berkembangbiak (minimum breeding age), (4) jumlah anak yang dapat diturunkan oleh setiap individu betina dalam setiap kelahiran (fecundity), (5) jumlah melahirkan anak per tahun (fertility), dan (6) kepadatan populasi (Alikodra 2002).

(7)

Angka kelahiran kasar merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan terhadap jumlah induk dewasa. Angka kelahiran spesifik merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu selama satu periode waktu dengan jumlah induk pada kelas umur tertentu (Alikodra 1990). Menurut Priyono (1998), laju natalitas spesifik monyet ekor panjang di alam tidak dapat dihitung secara tepat karena : 1) Umur setiap individu monyet ekor panjang di alam tidak dapat ditentukan secara pasti, 2) Pengelompokan umur setiap individu didasarkan atas ciri-ciri kualitatif dan 3) Selang waktu antar kelas umur tidak sama.

Menurut Santosa (1996) laju reproduksi adalah jumlah anak yang dihasilkan dari tiap betina yang sudah matang seksual. Jumlah anak yang dapat dilahirkan monyet ekor panjang adalah satu ekor dan jarang sekali dua. Induk betina dapat melahirkan tiap tahun bila induk diberi perlakuan berupa penyapihan anak pada umur 2-3 bulan dan induk dikondisikan untuk siap bereproduksi kembali (Djabbar 1994). Induk betina dapat melahirkan tiap dua tahun bila masa sapih anak dibiarkan alami yaitu sampai anak berumur 1,5 tahun (Napier & Napier 1973). Pengelolaan seperti ini mengikuti laju reproduksi monyet ekor panjang di alam.

2.2.3 Angka Kematian

Kelahiran dan kematian adalah kejadian alami yang terjadi pada populasi satwa liar. Kematian akan membentuk keseimbangan di dalam suatu populasi satwa liar di alam. Mortalitas atau angka kematian merupakan jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas dinyatakan dalam laju kematian kasar, yaitu perbandingan antara jumlah kematian dengan jumlah total populasi selama satu periode waktu; dan laju kematian spesifik yang merupakan perbandingan antara jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama periode waktu (Alikodra 2002). Menurut Santosa (1996) angka kematian adalah suatu perbandingan antara jumlah total individu yang mati dengan jumlah total individu.

Kematian satwaliar dapat disebabkan karena berbagai faktor yaitu : 1) Kematian yang disebabkan oleh keadaan alam, seperti penyakit, pemangsaan, kebakaran dan kelaparan, 2) Kematian yang disebabkan karena kecelakaan,

(8)

seperti tenggelam, tertimbun tanah longsor atau tertimpa batu, dan kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian, 3) Kematian yang disebabkan karena adanya perkelahian dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan, dan air serta persaingan untuk menguasai kawasan, dan 4) Kematian yang disebabkan karena aktifitas manusia, seperti perusakan habitat, pemburuan, mati karena kecelakaan, terperangkap dan sebagainya (Alikodra 1990).

2.2.4 Struktur umur

Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi. Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangan satwa liar, sehingga dapat dipergunakan pula untuk menilai prospek kelestarian satwa liar. Melakukan identifikasi umur satwa liar di lapangan akan mengalami banyak kesulitan, terutama karena sulitnya menangkap sejumlah contoh satwaliar untuk diperiksa dalam menentukan umurnya, sehingga perlu dicarikan pendekatan-pendekatan tertentu yang lebih sederhana (Alikodra 1990).

Panjang usia monyet ekor panjang sekitar 25 – 30 tahun (Napier & Napier 1967). Menurut Napier & Napier (1967) struktur umur monyet ekor panjang dapat adalah sebagai berikut:

a) Kelas umur bayi : berumur antara 0-15 bulan, yakni sejak lahir hingga selesainya masa laktasi

b) Kelas umur anak : berumur antara 15 bulan–4 tahun, yakni sejak selesainya masa laktasi hingga memasuki masa kematangan seksual

c) Kelas umur muda/remaja : berumur 4–9 tahun, yaitu semenjak memasuki kematangan seksual (minimum breeding age) hingga mencapai masa reproduksi yang optimum.

d) Kelas umur dewasa : merupakan anggota populasi yang diperkirakan berumur 9 tahun hingga 21 tahun ( maximum breeding age).

Tidak berbeda dengan Mukhtar (1982) bahwa komposisi kelompok monyet ekor panjang terbagi menjadi empat kelas umur yaitu :

(9)

a) Dewasa (adult) terdiri dari jantan dan betina dewasa. Jantan dewasa (JD) mempunyai ukuran paling besar, scrotum terlihat jelas. Betina dewasa (BD) tubuhnya lebih kecil dari jantan dewasa dan puting susu terlihat jelas. Jantan dewasa terlihat kekar dan bergerak terlihat lebih mantap.

b) Muda (sub adult), monyet hampir dewasa dapat berdiri sendiri dalam kelompoknya. Ukuran tubuhnya hampir sama dengan monyet dewasa tetapi dapat dibedakan dari kelakuannya. Monyet hamper dewasa masih dalam tahap belajar dalam melakukan aktivitas kawin dan lebih banyak melakukan pergerakan.

c) Remaja (juvenile) yaitu monyet muda yang dapat berdiri sendiri pada waktu makan, tetapi kalau tidur dekat induknya dan masih suka bermain, ukuran tubuhnya lebih kecil dari sub adult.

d) Bayi (infant), yaitu monyet yang masih bergantung pada induknya baik siang maupun malam dan ukuran tubuhnya paling kecil.

2.3 Wilayah jelajah

Wilayah jelajah dan pergerakan adalah perwujudan dari prilaku satwa liar dalam memenuhi kebutuhan dasar biologi seperti makan, tempat tinggal dan pasangan (Collins et al, 2005). Wilayah jelajah adalah wilayah dimana satwa liar menghabiskan waktunya (Bullard, 1991). Wilayah jelajah monyet ekor panjang di Cagar Alam Pangandaran adalah 5,65 – 20,48 Ha, rata-rata wilayah jelajah 13,06 Ha (Hendratmoko 2009).

Menurut Santosa (1990), aspek pola pemanfaatan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya. dalam hal ini ”mobilitas” dan ”luas” serta ”komposisi daerah jelajah” merupakan tiga parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator dari strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar. Setiap jenis satwa menunjukan pola kegiatan harian yang tertentu, demikian juga dengan jenis primata. Kegiatan primata berupa makan, bergerak, istirahat, menelisik dan kegiatan sosial lainya sudah terpola dalam kegiatan sehari-hari yang dikenal dengan budget kegiatan. Lebih lanjut Santosa (1990) menyatakan bahwa pola penggunaan ruang merupakan suatu keseluruhan interaksi antara satwa dengan

(10)

habitatnya. Parameter pola penggunaan ruang yang paling banyak diteliti adalah : daerah jelajah (luas dan komposisi vegetasi) dan pergerakan.

Core area merupakan bagian dari wilayah jelajah yang sering dipergunakan

dengan keteraturan yang lebih besar dibanding bagian lainnya. Teritori adalah daerah yang dipertahankan terhadap serangan dari luar, sedangkan wilayah jelajah (home range) itu sendiri adalah daerah pergerakan normal satwa dalam melakukan aktivitas-aktivitas rutin (Chalmers 1980).

Referensi

Dokumen terkait

data primer sebagai data pendukung, dengan ini pengelolaan retribusi pasar di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Enrekang sebagai narasumber yang dianggap mampu

telah diuji oleh Dosen dan teman-teman dari D3 Teknik. Informatika Jaringan Komputer

Faktor-faktor yang mempunyai sifat intern yaitu berasal dari dalam perusahaan itu. Faktor ini sangat mempengaruhi volume penjualan suatu barang. Faktor-faktor tersebut

Dari hasil rekapitulasi data untuk variabel dalam penelitian ini yaitu motivasi kerja dan disiplin guru yang dilakukan dengan metode dokumentasi dan metode kuesioner

Merek kartu IM3 memiliki keunggulan pada bonus yang diberikan menarik, dan harga voucher isi ulang yang murah, kartu MENTARI cenderung unggul pada kemampuan tarif SMS yang

perubahan/amandemen UUD 1945, maka kemudian kita bertanya siapakah yang menjadi penanggung jawab untuk melakukan sosialisasi perubahan- perubahan tersebut

Peningkatan kandungan sitral diakibatkan oleh semakin banyak komponen lain yang terpisah pada proses distilasi akibat rendahnya titik didih komponen tersebut, sedangkan

Metode design for manufactur (DFM) merupakan suatu praktek perancangan produk yang menekankan pada hal- hal yang berhubungan dengan manufacturing, memperhitungkan cara pembuatan,