• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil Penelitian"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

42

HASIL DAN PEMBAHASAN

Siklus riset aksi (Kemmis and McTaggart, 1988a) akan dijadikan rujukan untuk menguraikan hasil yang telah diperoleh, sekaligus akan dibahas. Hasil dan pembahasan akan diuraikan dalam beberapa siklus, dimana satu siklus mencakup (a) refleksi (b) penyusunan rencana, (c) tindakan, serta (d) monitoring dan kembali lagi ke refleksi untuk memulai siklus berikutnya, dan seterusnya.

Ada 2 siklus riset aksi yang telah dilalui dalam penelitian ini, sesuai dengan Kemmis and McTaggart (1998a). Kedua siklus riset aksi tersebut adalah:

• Siklusi I : Konflik yang terjadi ketika status Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai diubah menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai, mulai dari proses terjadinya konflik sampai penyelesaian konflik

• Siklus II : Pengembangan kolaborasi yang dilakukan setelah proses penyelesaian konflik selesai

Hasil Penelitian

Siklus I: Konflika dan Penyelesaiannya

Siklus pertama yang akan digambarkan dimulai dari masalah yang terjadi ketika status Gunung Ciremai diubah menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Setelah itu dilakukan proses refleksi. Salah satu hal yang direfleksikan adalah dampak dari perubahan status kawasan hutan terhadap masyarakat yang tinggal di desa-desa di lereng Gunung Ciremai. Tahap selanjutnya adalah menyusun rencana, melakukan aksi dan diakhiri dengan monitoring. Setelah itu, dimulai siklus 2 dengan proses refleksi.

(2)

43

Gambar 8. Siklus 1. Konflik dan Penyelesaiannya

Perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai yang semula dikelola oleh Perum Perhutani menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) No. SK.424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 (Lampiran 2), memunculkan konflik. Sebagian kawasan hutan Gunung Ciremai yang berada di wilayah Kabupaten Kuningan, terdapat 26 desa yang telah melaksanakan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) (Lampiran 3 dan Lampiran 4). Sebagian di antaranya telah melaksanakan negosiasi dan penandatanganan Nota Kesepatan Bersama (NKB) dan Nota Perjanjian Kerjasama (NPK) dengan Perum Perhutani, serta melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di lapangan. Dengan perubahan fungsi kawasan menjadi Taman Nasional, berarti pengelola kawasan hutan akan berganti (tidak lagi Perhutani) dan kesepakatan kerja sama yang telah dibuat menjadi tidak berlaku lagi. Inilah yang memicu konflik. Masalah: MASALAH: Hilangnya akses masyarakat ke kawasan hutan Negara, akibat perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional REFLEKSI: Lebih kurang 30.000 keluarga yang tinggal di 26 desa tidak bisa mengakses 8.645 ha kawasan hutan yang sudah disepakati

dengan Perhutani RENCANA:

Memahami konflik Analisis stakeholder Menyusun strategi penyelesaian konflik AKSI: 1. Memperjelas informasi perubahan status kawasan 2. Analisis stakeholder 3. Negosiasi dengan Departemen Kehutanan MONITORING:

Perubahan dalam organisasi LPI PHBM:

• Mencegah konflik menjadi anarkis • Perbedaan pendapat yang tajam

sehingga menimbulkan perpecahan

Perubahan dalam wadah Para Penggiat PHBM

• Perubahan sikap dari konfrontatif menjadi kolaboratif

• Meningkatnya pemahaman

terhadap gambar besar dari konflik yang terjadi

• Meningkatnya kesadaran untuk membangun aliansi

(3)

44

Refleksi yang dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2011 membahas kebutuhan untuk klarifikasi dari pihak-pihak yang mengusulkan perubahan status kawasan Ciremai menjadi Taman Nasional, sikap stakeholder Kuningan terhadap perubahan status tersebut, serta meminta LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia)

Refleksi:

Refleksi dilakukan oleh para pihak yang tergabung dalam LPI PHBM (Lembaga Pelayanan Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) Kuningan. Refleksi dilakukan oleh sebagian anggota LPI PHBM pada tanggal 25 Oktober 2004 dalam bentuk diskusi (Lampiran 5). Peserta diskusi adalah Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, Perhutani dan LSM AKAR. Setelah itu proses refleksi juga dilakukan pada tanggal 30 Oktober 2011 dalam bentuk diskusi informal di rumah Ketua LPI PHBM, dan dihadiri oleh LSM Kanopi, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, serta 4 orang wakil petani yang juga pengurus Paguyuban Masyarakat Tani Hutan (PMTH).

1

Dalam proses refleksi itu, peneliti belum terlibat dalam diskusi tetapi peneliti selalu diberi informasi tentang perkembangan yang terjadi di Kuningan, termasuk hasil dari kedua diskusi yang disebut di atas. Oleh karena itu, peneliti menanggapi perkembangan yang terjadi di Kuningan, dengan memberi informasi yang relevan dengan perubahan status kawasan hutan lindung menjadi taman nasional. Informasi yang diberikan adalah perbandingan pola pengelolaan taman nasional dan hutan lindung (Lampiran 7) dan proses usulan kawasan konservasi (Lampiran 6), sesuai dengan Undang-undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001

untuk menjadi mediator. Dalam proses refleksi tersebut juga muncul kebutuhan untuk memperjelas hal-hal apa yang boleh dilakukan di Taman Nasional, serta kejelasan proses pengusulan Taman Nasional sesuai peraturan yang ada.

1 LATIN adalah LSM yang berkantor di Bogor dan sudah bekerja di Kabupaten Kuningan

sejak tahun 2001 untuk mengembangkan kolaborasi multi-pihak dalam pengelolaan hutan. Peneliti adalah staf LATIN yang ditugaskan sebagai fasilitator pengembangan kolaborasi dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Kuningan sejak tahun 2001.

(4)

45

jo No. SK.48/Kpts-II/2004. Informasi pola pengelolaan taman nasional dan hutan lindung yang disampaikan adalah definisi, kriteria, tujuan pengelolaan, lembaga pengelola, peraturan yang terkait, hal-hal yang dilarang, serta hal-hal yang diperbolehkan.

Proses refleksi selanjutnya pada tanggal 30 Oktober 2004, menegaskan sikap untuk menolak Taman Nasional dan konsolidasi sikap para petani untuk menolak Taman Nasional. Proses penolakan ini muncul setelah mendiskusikan dampak dari perubahan status kawasan hutan terhadap masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar Gunung Ciremai, pola pengelolaan taman nasional dan proses pengusulan kawasan konservasi. Oleh karena itu, LPI PHBM dan masyarakat yang melakukan proses refleksi mempunyai 3 peran, (dari 7 peran yang diidentifikasi oleh Dick (1997)), yaitu (a) peran sebagai informan untuk menyediakan data, (b) peran sebagai interpreter untuk menginterpretasikan data, (c) peran sebagai perencana dan pengambil keputusan, dan (d) peran sebagai pelaksana.

Setelah mendiskusikan informasi taman nasional dan hutan lindung, maka masyarakat menolak perubahan status dari hutan lindung menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Alasan yang dikemukakan oleh masyarakat adalah:

• pertama , proses penetapan TNGC tidak partisipatif, karena tidak melibatkan masyarakat di desa-desa hutan di Gunung Ciremai; Hal ini tidak sesuai dengan proses usulan kawasan konservasi, yang salah satu tahapnya komunikasi dan sosialisasi untuk membangun persepsi, pengertian, kesepakatan dan dukungan terhadap usulan kawasan konservasi.

• kedua, perjanjian kerjasama PHBM dengan Perhutani yang dicapai melalui proses yang panjang dan melelahkan dan sudah mulai dilaksanakan akan batal karena Perhutani akan keluar dari TN Gunung Ciremai diganti oleh pengelola TN Gunung Ciremai yang baru. Ada 26 desa di lereng Gunung Ciremai yang termasuk Kabupaten Kuningan. Seluruh 26 desa tersebut telah membuat kesepakatan dengan Perhutani wilayah Kuningan. Ada dua kesepakatan yang dibuat. Pertama NKB (Nota Kesepakatan Bersama) yang menyatakan wilayah kerjasama yang

(5)

46

merupakan hutan negara tetapi ada di wilayah administrasi desa. Luas total area kerjasama yang ada di 26 desa mencapai 8.645 ha. Perjanjian kedua adalah NPK (Nota Perjanjian Kerjasama) yang menyatakan kegiatan apa saja yang akan dilakukan sampai kepada pembagian tanggung jawab dan manfaat. Sampai bulan Desember 2004, ada 8 desa yang sudah membuat kesepakatan NPK dengan Perhutani. Bentuk-bentuk kegiatan berupa pengelolaan lahan menjadi kebun campuran (agro-forestri). Informasi tentang kesepakatan masyarakat dengan Perhutani berupa NKB dan NPK yang dikemukakan oleh LPI PHBM dan masyarakat menunjukkan peran keduanya sebagai informan.

• ketiga, tidak ada jaminan kepastian bahwa kesepakatan PHBM yang telah dibuat dengan Perhutani akan bisa dilanjutkan, mengingat dalam pengelolaan TN aktifitas yang boleh dilakukan masyarakat lebih terbatas. Hal ini muncul setelah pembahasan kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan di Taman Nasional dan Hutan Lindung. Kegiatan yang terkait dengan PHBM yang boleh dilakukan adalah penunjang budidaya, sementara kegiatan budidaya di hutan lindung masih dapat dilakukan dengan tetap memelihara fungsi lindung kawasan yang bersangkutan. • keempat, masyarakat sudah menanam investasi yang cukup besar dalam

program PHBM di Gunung Ciremai, baik dalam bentuk tenaga kerja, waktu, pikiran, dana, maupun bibit tanaman, dll.

Dari berbagai pertimbangan tersebut, tampaknya yang paling mengkhawatirkan masyarakat adalah kelanjutan peran serta mereka dalam pengelolaan hutan sebagaimana sudah dimulai melalui kerjasama PHBM dengan Perhutani. Masyarakat kuatir kalau mereka akan dikeluarkan dari kawasan hutan Gunung Ciremai, karena mereka melihat bahwa Perhutani yang merupakan BUMN bisa dikeluarkan.

Situasi di masyarakat pada waktu itu sebenarnya sudah cukup panas, bahkan beberapa tokoh masyarakat desa di lereng Gunung Ciremai yang menolak penetapan TN Gunung Ciremai sempat hendak melaksanakan demonstrasi ke kabupaten, namun berhasil dicegah oleh LPI PHBM dan LSM Kanopi yang merupakan pendamping masyarakat.

(6)

47

Berdasarkan proses refleksi yang dilakukan, LPI PHBM dan masyarakat menyusun rencana penyelesaian masalah atas konflik yang terjadi. Rencana yang disusun adalah mencari kejelasan tentang perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai kepada para pihak yang berkepentingan terhadap Kepmenhut tsb., serta sikap mereka terhadap perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional.

Rencana:

Untuk mencari kejelasan informasi tentang perubahan status kawasan hutan, LPI PHBM telah menyusun bahan dialog berupa pertanyaan-pertanyaan untuk stakeholder yang dianggap berkepentingan (Lampiran 8). Informasi yang terkumpul, diharapkan dapat menggambarkan situasi konflik yang terjadi, paling tidak kronologis terjadinya konflik akibat perubahan status kawasan hutan lindung Gunung Ciremai.

Rencana di atas juga akan didukung dengan rencana untuk melakukan analisis stakeholder. Setelah memahami konflik dan sikap para pihak, perlu dikaji lebih jauh pihak mana yang mempunyai otoritas dan kewenangan yang paling besar untuk diajak bernegosiasi menyelesaikan konflik. Apabila sudah diidentifikasi, maka negosiasi adalah langkah berikutnya yang harus dilakukan.

Pada saat penyusunan rencana, maka peran LPI PHBM dan masyarakat adalah peran sebagai perencana dan pengambil keputusan. Sementara itu, peran peneliti adalah sebagai fasilitator. Namun ketika menyusun rencana untuk analisis stakeholder dan negosiasi, maka peneliti menawarkan kerangka analisis stakeholder yang dapat digunakan, serta menjelaskan tahapan negosiasi. Dengan demikian peneliti juga berperan dalam meningkatkan kapasitas LPI PHBM dan masyarakat.

Analisis stakeholder menggunakan kerangka teori DFID (2005) yang bertujuan untuk memetakan stakeholder berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya. Sedangkan tahapan negosiasi menggunakan kerangka teori Fisher (1995).

(7)

48 Aksi 1: Memperjelas informasi perubahan status Gunung Ciremai

Aksi

Aksi untuk melaksanakan rencana yang telah disusun dimulai dari memperjelas informasi perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional. Kegiatan ini dilakukan oleh LPI PHBM dan peneliti. Dengan demikian peran LPI PHBM maupun peneliti adalah pelaksana.

LPI PHBM mendapat tugas untuk melakukan dialog dengan para pihak di Kabupaten Kuningan yang dianggap bertanggung jawab dalam proses perubahan status kawasan hutan lindung Ciremai menjadi Taman Nasional. Kegiatan ini dilakukan oleh LPI PHBM pada rentang waktu akhir Oktober sampai November 2004.

Sedangkan peneliti mencari informasi di Departemen Kehutanan, baik di pusat (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam/Ditjen PHKA) maupun Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen PHKA, yaitu Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat II (BKSDA Jabar II) yang pada saat itu masih diberi kewenangan oleh Departemen Kehutanan untuk mengelola TN Gunung Ciremai, sampai dibentuk Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah mengadakan pertemuan dengan Kepala Sub Direktorat Pengembangan Kawasan Konservasi, Ditjen PHKA Dephut) pada tanggal 22 Oktober 2004 (Lampiran 9). Setelah itu peneliti juga berdiskusi dengan Kepala BKSDA Jabar II pada tanggal 14 Desember 2004 (Lampiran 10). Peneliti bersama sebagian anggota LPI PHBM berdiskusi dengan KaSubdit Pengembangan Kawasan Konservasi pada tanggal 15 Desember 2004 (Lampiran 11).

Hasil dari Aksi untuk memperjelas informasi tentang perubahan status kawasan hutan adalah tersusunnya kronologis perubahan status kawasan (Lampiran 12). Apabila dibandingkan dengan teori Doucet (2006) tentang tahapan terbentuknya konflik, maka kronologis perubahan status kawasan Gunung Ciremai bisa diringkas sesuai dengan tahapan terjadinya konflik, dimulai dari tahap formasi, diikuti dengan tahapan eskalasi atau memuncaknya

(8)

49

konflik, dan dilanjutkan dengan tahapan bertahan, yaitu situasi dimana konflik terus terjadi dan belum ada tanda-tanda konflik akan selesai atau bisa mencapai solusi yang diinginkan.

Tabel 6. Tahapan Terjadinya Konflik dalam Penetapan Taman

Nasional Gunung Ciremai

Tahapan Waktu Peristiwa Ciri-ciri Tahapan Konflik

Formasi 5 Juli 2003 – 19 Oktober 2004

Seminar tentang Kawasan Gunung Ciremai oleh STIKKU di Gedung DPRD Kuningan

Kajian Pengelolaan Kawasan Lindung Gunung Ciremai Usulan Bupati Kuningan kepada Menteri Kehutanan untuk mengkaji kemungkinan Gunung Ciremai menjadi Kawasan Pelestarian Alam Rekomendasi DPRD Kuningan tentang usulan Gunung Ciremai menjadi Kawasan Pelestarian Alam

Konflik masih tersembunyi ketika Seminar dan Kajian Pengelolaan Gunung Ciremai dilakukan. Para pihak mulai menyadari bahwa usulan Bupati dan DPRD Kuningan yang berbeda dapat memicu konflik.

LPI PHBM mengusulkan dialog publik kepada Bupati untuk membahas kedua surat tersebut tapi tidak ditanggapi. Hal ini

menimbulkan kecurigaan.

Eskalasi 19 Oktober 2004

8 Oktober 2004, pertemuan stakeholder Kuningan dengan Departemen Kehutanan di Departemen Kehutanan membahas tim terpadu mengkaji kemungkinan perubahan status kawasan Gunung Ciremai (Lampiran 13).

19 Oktober keluar Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/ Menhut-II/2004 2004 Tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai.

Konflik mulai mencuat dan meningkat. Kecurigaan dari LPI PHBM semakin menguat ketika mereka diajak ikut pertemuan tanggal 8 Oktober. Ternyata pertemuan tersebut diklaim oleh Departemen Kehutanan sebagai konsultasi publik multi stakeholder. Hal ini menimbulkan kemarahan. Kemarahan semakin memuncak ketika Kepmenhut No. 424 terbit. Masyarakat semakin marah dan mereka berencana untuk demo ke Bupati.

Anggota LPI PHBM ada yang membangun opini publikdi media massa tentang penolakan Kepmenhut No. 424

Endurance

(Bertahan)

November 2004

Perdebatan antara pihak-pihak yang pro dan kontra terhadap perubahan fungsi Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional.

Bupati Kuningan mengundang kepala-kepala desa dan menginstruksikan untuk mengamankan Kepmenhut No. 424.

Petani yang tinggal di desa-desa sekitar TN Gunung Ciremai berkonsolidasi untuk menolak TNGC, antara lain dengan demo

Opini di media massa memicu polarisasi yang semakin tajam di antara pihak-pihak yang setuju dan tidak terhadap Kepmenhut No. 424. Opini publik di media massa mendorong Pemkab Kuningan membuka dialog. Dialog dilakukan beberapa kali tetapi tidak mencapai kesepakatan. Masing-masing pihak mempertahankan posisi.

Perbedaan pendapat yang tajam di dalam LPI PHBM membuat sebagian anggota yang tidak setuju dengan Kemenhut bersepakat membentuk wadah sendiri yang disebut dengan Para Penggiat PHBM

(9)

50

Tahap formasi atau terbentuknya konflik dimulai sejak ada Seminar yang membahas masa depan pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai. Seminar tersebut ditindak lanjuti oleh UNIKU (Universitas Kuningan, yang sebelumnya masih berupa STIKKU/Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Kuningan). Dalam laporan kajian tsb. dipaparkan tentang potensi, ancaman dan kemungkinan perubahan status kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Hutan Raya (Tahura), Taman Wisata alam dan Taman Nasional. Laporan kajian diserahkan kepada Bupati Kuningan, dan selanjutnya Bupati Kuningan bersikap untuk menindaklanjuti laporan tersebut dengan membuat usulan kepada Menteri Kehutanan agar mengkaji kemungkinan perubahan status kawasan Gunung Ciremai, sesuai dengan rekomendasi hasil kajian dari UNIKU. Surat tersebut juga ditembuskan kepada Gubernur Jawa Barat. Sampai pada tahap ini, konflik masih belum terlihat.

Tahap berikutnya, konflik mulai terlihat dan bergerak menuju eskalasi. Pada tahap eskalasi ini, tercatat ada beberapa peristiwa. Pertama, pihak DPRD Kabupaten Kuningan yang setuju dengan Bupati Kuningan untuk membuat usulan kepada Menteri Kehutanan, ternyata mengeluarkan rekomendasi yang dikirim kepada Menteri Kehutanan. Namun surat rekomendasi dari DPRD Kuningan menyatakan bahwa kawasan Gunung Ciremai perlu diubah statusnya menjadi Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Jadi surat DPRD Kuningan bukan untuk mengkaji kemungkinan untuk mengubah status tetapi langsung mengusulkan perubahan status. Peristiwa berikutnya adalah pertemuan stakeholder Kuningan dengan Departemen Kehutanan pada tanggal 8 Oktober 2004 di Jakarta. Ternyata pertemuan ini dianggap sebagai proses sosialisasi dan konsultasi publik untuk mendukung perubahan status kawasan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional. Berdasarkan surat dari Bupati dan DPRD Kuningan, serta pertemuan tanggal 8 Oktober 2004 itu, maka Departemen Kehutanan langsung meresponnya dengan mengubah status Gunung Ciremai pada tanggal 19 Oktober 2004, melalui Kepmenhut No. SK 424/Menhut-II/2004. Proses perubahan status tersebut membuat kaget banyak pihak di Kuningan, terutama para petani yang tinggal di desa-desa sekitar Gunung Ciremai. Pada tahap inilah konflik mencapai tahap eskalasi. Tahap eskalasi

(10)

51

merupakan proses berjalannya konflik mencapai puncak (Doucet, 2006). Puncak dari konflik adalah tahap endurance (bertahan), yang ditandai dengan semakin tajamnya perdebatan para pihak yang setuju dan tidak setuju terhadap perubahan status Gunung Ciremai. Perbedaan pendapat yang semakin tajam juga menyebabkan semakin terpolarisasinya kedua belah pihak. Selain itu muncul pula tanda-tanda kekerasan, seperti yang direncanakan oleh para petani. Para petani melakukan konsolidasi untuk menolak Kepmenhut tsb.antara lain melalui surat penolakan dan demonstrasi di jalan. Sementara para pihak yang mendukung Kepmenhut semakin kuat bertahan dengan segala argumentasinya.

Sikap di dalam LPI PHBM terbelah menjadi dua, ada yang mendukung dan ada pula yang menolak Kepmenhut. Masalah TN Gunung Ciremai menjadi pro-kontra, mengingat lembaga ini merupakan lembaga kerja sama multi pihak yang personilnya terdiri dari berbagai unsur, antara lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Lingkungan Hidup, Perum Perhutani, beberapa LSM, dan perorangan. Ketua LPI PHBM mengakui bahwa perbedaan dalam tubuh LPI-PHBM Kuningan mengenai masalah TN Gunung Ciremai sangat tajam.

Beberapa pokok perbedaan pandangan antara pihak yang pro dan kontra di LPI-PHBM Kuningan terhadap TNGC adalah:

• Pertama, mengenai prosedural atau tidak proseduralnya proses terbitnya SK Menhut No. 424/Kpts-II/2004 mengenai perubahan fungsi menjadi TNGC. Satu pihak mengatakan bahwa prosesnya sudah prosedural sedangkan pihak yang kontra menganggap itu tidak prosedural karena tidak didahului oleh proses yang lazim;

• Kedua, mengenai Surat Rekomendasi Gubernur Jawa Barat yang baru disampaikan tanggal 22 Oktober 2004 sedangkan SK menhut sudah diterbitkan tanggal 19 Oktober 2004. Satu pihak menganggap hal itu tidak masalah karena toh substansinya sama, sedangkan pihak lain menganggap hal itu merupakan masalah;

• Ketiga, mengenai kajian tim terpadu yang harus dilakukan sebelum penetapan TN. Satu pihak mengatakan kajian itu belum dilakukan,

(11)

52

sedangkan pihak lain mengatakan kajian yang dilakukan UNIKU dianggap sebagai hasil kajian dimaksud ;

• Keempat, kajian yang mendasari usulan Bupati, yakni kajian yang dilakukan oleh UNIKU. Satu pihak menilai kajian tersebut tidak lengkap sedangkan pihak lain mengatakan sudah lengkap.;

• Kelima, kepastian akses masyarakat yang sudah menandatangani nota perjanjian kerjasama (NPK). Satu pihak mamandang bahwa tidak ada jaminan kepastian bahwa TN akan mengakomodasi hal tersebut, sedangkan pihak yang lain menganggap bahwa pengelolaan model PHBM bisa dilaksanakan di TN;

• Keenam, surat usulan Bupati kepada Menhut No 522/1480/Dishutbun tanggal 26 Juli 2004 meminta agar dilaksanakan pengkajian oleh tim terpadu, tetapi ternyata hal itu belum dilakukan sudah terbit SK Menhut tersebut. Satu pihak mengusulkan agar Bupati mengirim surat lagi ke Menhut, sedangkan yang lain menganggap itu tidak perlu.

Masalah dan pro-kontra penetapan TN Gunung Ciremai merupakan ujian bagi LPI PHBM yang merupakan lembaga multi-pihak. Hal itu dapat dipahami karena perbedaan pandangan yang tajam mengenai masalah TN Gunung Ciremai tentu sedikit banyak berpengaruh pada suasana kerja sama secara keseluruhan. Akhirnya pada bulan November 2004, sebagian anggota LPI PHBM yang tidak setuju dengan Kepmenhut No. 424, memilih untuk mendirikan wadah baru yang disebut dengan Para Penggiat PHBM.

Para Penggiat PHBM terdiri atas beberapa orang atau individu, yaitu Avo Juhartono, Komarudin, Sanusi K. Wijaya, Frederik Amallo, Rachmat Firmansyah, dan Usep Sumirat. Sebenarnya beberapa orang di antara Para Penggiat PHBM berasal dari organisasi seperti Usep Sumirat dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, Komarudin dari Perhutani KPH Kuningan, Avo Juhartono dan Frederik Amallo dari LSM AKAR, dan Rachmat Firmansyah dari LSM KANOPI. Namun kecuali individu yang berasal dari LSM, maka Usep Sumirat dan Komarudin tidak mengatas namakan lembaga, tetapi atas nama individu.

(12)

53

Para Penggiat PHBM langsung bekerja dan berdiskusi dengan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan. Hasil diskusi dikirim kepada Departemen Kehutanan (Lampiran 14).

Aksi 2: Analisis stakeholder

Setelah kronologis perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional diketahui dan dipahami sebagai tahapan terbentuknya konflik, maka peneliti memfasilitasi analisis stakeholder. Tujuan analisis stakeholder terutama untuk mengetahui siapa pihak yang mempunyai pengaruh paling besar dan kepentingan paling tinggi dalam perubahan status kawasan Gunung Ciremai. Pihak ini adalah pihak yang paling penting dalam bernegosiasi.

Analisis stakeholder dilakukan oleh Para Penggiat PHBM dengan difasilitasi oleh peneliti. Peran Para Penggiat PHBM adalah penyedia informasi, yaitu siapa saja stakeholder yang terkait dengan perubahan status kawasan hutan Gunung Ciremai, serta peran menginterpretasi data stakeholder. Sedangkan peran peneliti adalah sebagai fasilitator.

Analisis stakeholder mengacu pada DFID (2005), yang dimulai dengan mengidentifikasi siapa saja stakeholders, dilanjutkan dengan pemetaan stakeholders berdasarkan matriks 2 x 2 berdasarkan kriteria pengaruh dan kepentingan.

Stakeholders yang berhasil diidentifikasi adalah Departemen Kehutanan, Perum Perhutani, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuninga, masyarakat lokal, BKSDA Jabar II, Bupati Kuningan, Bappeda Kuningan, Dinas Pertanian, Dinas Pendapatan Daerah, Dinas Pariwisata Daerah, PDAM, Perusahaan Air Minum Kemasan, Pecinta Alam, Badan Pemberdayaan Masyarakat, PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), LPI PHBM, LSM, Universitas Kuningan, TNI, DPRD, dan Donor Internasional (Lampiran 15).

Seluruh stakeholder yang telah diidentifikasi kemudian dipetakan berdasarkan pengaruh dan kepentingannya. Hasil pemetaan stakeholder dapat dilihat pada Gambar ....

(13)

54

Keterangan Gambar ...

A1: Dinas Pertanian B1: Departemen Kehutanan

A2: PDAM B2: Dinas Kehutanan dan Perkebunan A3: Pengusaha Air Minum Kemasan B3: Masyarakat Lokal

A4: Dinas LHK B4: BKSDA Jabar II A5: Pecinta Alam B5: Bupati

A6: Dinas Pariwisata Daerah B6: LPI B7: LSM D1: Bappeda

D2: Dispenda C1: Perguruan Tinggi (UNIKU) D3: Badan Pemberdayaan Masyarakat C2: DPRD

D4: PHRI C3: Perum Perhutani

D5: TNI

D6: Donor Internasional

Gambar 9. Klasifikasi Para Pihak Berdasarkan tingkat kepentingan pelibatan (importance) dan Pengaruh (influence)

Berdasarkan hasil analisis stakeholder, dapat dilihat bahwa stakeholder yang memiliki pengaruh besar dan kepentingan yang tinggi, yaitu kelompok stakeholder yang masuk dalam kotak B. Ada 7 stakeholder yang masuk dalam kotak B, dan di antara ketujuh stakeholder di dalam Kotak B, maka stakeholder yang memiliki pengaruh paling besar dan kepentingan paling tinggi adalah Departemen Kehutanan. Dengan demikian pada tahap selanjutnya, pihak yang Hasil ini penting karena akan digunakan untuk menentukan proses selanjutnya, yaitu negosiasi.

A A1 A3 A2 A4 A5 A6 B B1 B7 B5 B6 B4 B3 B2 D D3 D6 D5 D1 D2 D4 C C2 C1 C3 Kecil Pengaruh Besar Tin ggi Ke pe nt in ga n Re nd ah

(14)

55 Aksi 3: Negosiasi

Negosiasi dilakukan oleh Para Penggiat PHBM dan difasilitasi oleh peneliti. Peran para penggiat PHBM adalah sebagai perencana dan pengambil keputusan. Sedangkan peneliti berperan sebagai (a) menghubungi pihak Departemen Kehutanan yang akan diajak bernegosiasi, yaitu Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan, (b) fasilitator untuk memfasilitasi diskusi persiapan negosiasi, (c) mediator dalam proses negosiasi dengan Departemen Kehutanan, (d) memfasilitasi diskusi untuk merumuskan hasil negosiasi.

Peneliti menghubungi Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan jalur informal secara langsung yaitu sms dan telepon. Komunikasi ini dapat dilakukan karena antara peneliti dengan Sekjen Dephut sudah terjalin hubungan baik, sehingga Sekjen Dephut menanggapi permintaan audiensi dengan cepat. Hubungan baik merupakan salah satu alasan memilih Sekjen Dephut sebagai pihak yang diajak bernegosiasi. Selain itu, Sekjen Dephut juga merupakan orang yang memiliki kewenangan cukup tinggi dalam proses pengambilan keputusan, dan bisa menjadi perantara untuk menyampaikan aspirasi kepada Menteri Kehutanan.

Proses negosiasi dilakukan dalam 3 tahap yaitu persiapan negosiasi, pelaksanaan negosiasi dan pasca negosiasi.

Pada tahap persiapan negosiasi, peneliti sebagai fasilitator menggali pendapat Para Penggiat PHBM tentang tawaran solusi atas konflik yang terjadi dalam penetapan TN Gunung Ciremai. Tujuan dari diskusi adalah mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi dalam negosiasi, mulai dari kemungkinan terburuk yaitu dead-lock, sampai kemungkinan terbaik yaitu diterimanya tuntutan masyarakat sepenuhnya. Untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tersebut, maka Para Penggiat PHBM mendiskusikan dan menyusun beberapa tawaran yang akan dinegosiasikan.

Metode menggali pilihan solusi dilakukan dengan role-play atau bermain peran. Dalam bermain peran, maka sebagian Para Penggiat PHBM diminta untuk berperan sebagai Sekretaris Jenderal Dephut. Dengan berperan sebagai Sekjen Dephut, maka mereka akan berpikir tentang bagaimana

(15)

56

mempertahankan kebijakan Departemen Kehutanan, yaitu Kepmenhut No. 424. Sementara itu, sebagian Para Penggiat PHBM tetap mengajukan tuntutan kepada Departemen Kehutanan.

Dari proses diskusi dengan metode bermain peran ini muncul kesadaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses negosiasi. Faktor-faktor tersebut adalah (a) tidak mempertahankan posisi, (b) jangan hanya memiliki satu tawaran solusi saja. Dalam konteks perubahan status Gunung Ciremai, posisi Para Penggiat PHBM adalah menolak Kepmenhut No. 424. Apabila posisi ini dipertahankan maka akan terjadi dead-lock atau negosiasi mengalami jalan buntu. Sementara itu, tawaran solusi yang dihasilkan juga lebih dari satu.

Beberapa tawaran solusi antara lain (a) masyarakat menolak TN Gunung Ciremai, SK Menhut tentang penetapan TN Gunung Ciremai harus dicabut, (b) SK Menhut tentang penetapan TN Gunung Ciremai tidak perlu dicabut, tetapi proses penetapan TN Gunung Ciremai harus diulang dari awal karena tidak ada proses konsultasi publik yang transparan, (c) SK Menhut tentang penetapan TN Gunung Ciremai tidak perlu dicabut, proses tidak perlu diulang tetapi untuk menjamin PHBM bisa diakomodir dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai, maka LPI PHBM harus terlibat dalam penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai. Ketiga tawaran tsb. tidak dikeluarkan sekaligus tetapi satu per satu, tergantung situasi pada saat diskusi.

Setelah tahap persiapan selesai, maka selanjutnya adalah pelaksanaan negosiasi. Negosiasi dengan Sekjen Departemen Kehutanan dilakukan di Manggala Wanabhakti tanggal 27 Desember 2004. Dalam kesempatan tersebut Para Penggiat PHBM Kuningan menyampaikan tiga tawaran solusi yang telah didiskusikan sebelumnya, secara satu per satu.

Pihak Departemen Kehutanan tampaknya merespon aspirasi para pihak di Kuningan tersebut, yakni dengan diterbitkannya Surat Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam (PHKA) No S.56/IV-KK/2005 tanggal 26 Januari 2005 yang ditujukan kepada Bupati Kuningan dan Bupati Majalengka. Dalam surat Dirjen PHKA tersebut disebutkan beberapa hal penting dalam rangka tindak lanjut TNGC, yakni : (1) Perlu dilakukan kajian lebih lengkap dan

(16)

57

komprehensif; (2) Kajian melibatkan para pihak secara partisipatif; (3) Pelaksanaan kajian difasilitasi Pemda; (4) Perlunya pembahasan multi pihak mengenai bentuk pengelolaan TNGC secara kolaboratif sesuai Permenhut No P. 19/Menhut-II/2004 yang berbasis masyarakat, termasuk PHBM; (5) program PHBM yang sudah berjalan dapat dilanjutkan selama sesuai dengan fungsi taman nasional.

Hasil negosiasi cukup memuaskan bagi Para Penggiat PHBM. Oleh karena itu, setelah Para Penggiat PHBM kembali ke Kuningan, mereka melakukan konsolidasi melalui dialog multi-pihak. Dialog ini merupakan tahap pasca negosiasi.

Dialog dimaksudkan untuk membangun kesamaan pemahaman dan komitmen yang dikristalkan dalam Rencana Tindak Lanjut. Hasil keluaran dari pertemuan tersebut adalah Rencana Aksi, yang kemudian menjadi keputusan Bupati Kuningan: SK Nomor 522.81/KPTS.251-Dishutbun/2005 tanggal 11 Juli 2005 tentang Pembentukan Tim Pengkajian Taman Nasional Gunung Ciremai. Tim dibagi kedalam 3 (tiga) kelompok Kerja (Pokja). Pokja I bertugas mengkaji kebijakan, Pokja II bertugas membentuk format kelembagaan dan mekanismenya dan Pokja III bertugas menyiapkan konsep penataan zonasi.

Ada dua hal yang diamati dan dipantau. Pertama, LPI PHBM sebagai lembaga yang selama ini mendampingi masyarakat dalam pelaksanaan Program PHBM dan kedua sikap para pihak terhadap perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai.

Monitoring:

Pengaduan masyarakat tentang kasus Ciremai menunjukkan bahwa masyarakat menaruh kepercayaan kepada LPI PHBM. Kepercayaan ini diraih LPI PHBM karena peran lembaga ini dalam memfasilitasi masyarakat untuk bernegosiasi dengan Perhutani dalam membuat kesepakatan kerjasama, dianggap netral dan membantu masyarakat, terutama untuk mendiskusikan implikasi dari kesepakatan yang dibuat. Selama bekerja memfasilitasi

(17)

58

masyarakat LPI PHBM selalu mendorong terjadinya dialog dan menghindari kekerasan.

Ketika organisasi LPI PHBM terpecah, dan di antaranya membentuk Para Penggiat PHBM, maka monitoring dilakukan terhadap Para Penggiat PHBM.

Para Penggiat PHBM menjalankan peran mediasi. Para Penggiat PHBM secara sadar berusaha untuk mengembangkan pilihan-pilihan solusi dan setiap pilihan solusi telah dipertimbangkan manfaat dan resikonya.

Upaya Para Penggiat PHBM juga menunjukkan sikap berpikir terbuka, artinya mereka tidak terpaku hanya pada pola menang-kalah atau terpatok pada satu solusi saja. Sikap berpikir terbuka ini merupakan sikap yang penting untuk dimiliki oleh Para Penggiat PHBM. Upaya yang dilakukan oleh Para Penggiat PHBM, secara sadar atau tidak juga merupakan upaya untuk membangun kredibilitas dan kepercayaan dari pihak-pihak yang berkonflik, terutama masyarakat atau petani maupun Pemerintah Kabupaten Kuningan serta Departemen Kehutanan.

Proses negosiasi dengan Departemen Kehutanan telah meningkatkan kapasitas Para Penggiat PHBM dalam memandang suatu persoalan. Kapasitas yang dimaksud adalah meningkatnya pemahaman tentang ”gambar besar” dari persoalan yang dihadapi. Yang dimaksud dengan ”gambar besar” adalah keterkaitan peristiwa yang terjadi di tingkat Kabupaten Kuningan dengan peritiwa yang terjadi di tingkat nasional berupa dikeluarkannya Kepmenhut No. 424. Gambar besar ini berimplikasi pada semakin tingginya kerumitan penyelesaian masalah dan ketidak pastian. Hal ini jauh berbeda dengan pengalaman sebelumnya ketika LPI PHBM membangun kolaborasi dalam pengelolaan hutan dengan Perhutani KPH Kuningan. Pengalaman tersebut hanya terkait dengan peristiwa di Kabupaten Kuningan, sehingga proses penyelesaian masalah bisa dilakukan hanya di tingkat Kabupaten Kuningan.

Keluarnya Surat Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam (PHKA) No S.56/IV-KK/2005 tanggal 26 Januari 2005 cukup berhasil meredam konflik dan mengurangi ketegangan para pihak yang berbeda pendapat. Bahkan SK Bupati Kuningan untuk membentuk Tim Pengkajian

(18)

59

Taman Nasional Gunung Ciremai, adalah hasil dari dialog dari para pihak yang semula berbeda pendapat dan akhirnya menemukan kesamaan pandangan dalam konflik ini.

Siklus II : Strategi Kolaborasi

Gambar 10. Siklus 2: Strategi Kolaborasi

Strategi jangka pendek untuk meredam konflik cukup berhasil dilaksanakan. Keberhasilan ini merupakan momentum untuk merancang strategi berikutnya. Ada dua hal penting dari Surat Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam (PHKA) No S.56/IV-KK/2005. Salah satu butir penting dari Surat Dirjen tsb. adalah perlunya pembahasan multi pihak mengenai bentuk pengelolaan TNGC secara kolaboratif sesuai Permenhut No P. 19/Menhut-II/2004 yang berbasis masyarakat, termasuk PHBM. Butir ini adalah langkah maju harus dibangun setelah konflik bisa diselesaikan, yaitu membangun kolaborasi pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai.

(19)

60

Proses refleksi dilakukan melalui dialog multi-pihak yang bertujuan untuk membangun kesamaan pemahaman dan komitmen yang dikristalkan dalam strategi kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, ”Strategi kolaborasi seperti apa yang harus dikembangkan untuk mengelola Taman Nasional Gunung Ciremai?”

Rencana yang disusun untuk tahap ini adalah mengembangkan Strategi Kolaborasi. Strategi kolaborasi yang disusun meliputi lima tahap, yaitu (a) konseptualisasi kolaborasi pengelolaan TN Gunung Ciremai, (b) advokasi kebijakan pengelolaan TN Gunung Ciremai, (c) mendiskusikan payung hukum yang tepat untuk menjalankan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai, serta (d) membuat pedoman kolaborasi dan (e) melaksanakan kolaborasi. Setiap tahapan dalam pengembangan kolaborasi melibatkan peneliti dan Para Penggiat PHBM dengan peran yang berbeda-beda.

Rencana:

Tabel 7. Peran Peneliti dan Para Penggiat PHBM dalam Pengembangan Kolaborasi

Tahapan Peran Peneliti Peran Para Penggiat PHBM

Konseptualisasi Memfasilitasi aliansi Para Penggiat PHBM dengan akademisi yang tergabung dalam INFRONT

Peran Peneliti: Melakukan kajian kebijakan, kelembagaan, dan zonasi untuk masukan draft RP TNGC

Advokasi Menyediakan kerangka proses penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya alam desa, untuk bahan negosiasi tingkat desa

Peran Fasilitator

• Mendorong konsultasi publik dalam penyusunan RP TNGC

:

• Memfasilitasi perjanjian tingkat desa

Diskusi payung hukum

Menerima informasi Peran Pelaksana

• Menyusun draft MoU : • Menghubungi Ditjen PHKA • Diskusi dengan Ka BTNGC Peran Fasilitator: Memfasilitasi kesepakatan Bupati dengan Ka BTNGC Membuat pedoman

kolaborasi

Menerima informasi Peran Perencana • Menyusun PKKBM

: Melakukan

kolaborasi

(20)

61

Aksi dilakukan sesuai dengan tahapan pengembangan kolaborasi yang telah direncanakan sebelumnya. Secara ringkas, tahapan pengembangan kolaborasi dan kegiatan yang dilakukan dalam setiap tahapan bisa dilihat pada Gambar 11.

Aksi:

Gambar 11. Strategi Kolaborasi Pengelolaan TN Gunung Ciremai

Tim Kajian Kolaboratif Aliansi dengan INFRONT

Draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai Buku berjudul “Model Pemanfaatan lahan di TN Gunung Ciremai”

Advokasi Kebijakan Pengelolaan TN Gunung Ciremai

Mendorong proses konsultasi publik untuk memberi masukan untuk revisi Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai yang disusun oleh konsultan TN GUnung Ciremai

Uji coba kolaborasi di tingkat desa

Desa Pajambon berhasil membuat kesepakatan dengan

TN G Ci i

Desa Seda dan Trijaya berhasil menyusun rencana pengelolaan sumberda alam desa tetapi tidak berhasil membuat

kesepakatan dengan pengelola TN Gunung • Masyarakat desa diposisikan sebagai mitra

• Pelibatan para pihak dalam penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai

• Penentuan zonasi harus mempertimbangkan aspek sosial

Mendiskusikan Payung Hukung Kolaborasi Pengelolaan TN Gunung Ciremai dan menghasilkan MoU yang ditandatangani oleh Bupati Kuningan dan Kepala Balai TN Gunung

Ciremai

Penyusunan Pokok-pokok Pengelolaan Kawasan Konservasi Bersama Masyarakat (PKKBM) sebagai pedoman untuk melaksanakan kolaborasi yang dimandatkan dalam MoU

Melaksanakan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai : Pembentukan Desa-desa Konservasi

Pembentukan Forum Kemitraan Kawasan Lindung Gunung Ciremai (FKKLGC), pada 25 Maret 2010.

Penegakan hokum dan rehabilitasi kawasan hutan

(21)

62 Tahap pertama: Konseptualisasi

Dua kegiatan yang dilakukan dalam tahap Konseptualisasi adalah pembentukan Tim Kajian Kolaboratif dan membangun aliansi dengan INFRONT (Institute for Forest and Environment), yaitu wadah atau forum bagi dosen muda dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada.

Tim Kajian Kolaboratif dibentuk berdasar Surat Keputusan Nomor 522.81/KPTS.251-Dishutbun/2005 tanggal 11 Juli 2005 tentang Pembentukan Tim Pengkajian Taman Nasional Gunung Ciremai. Berdasarkan SK tersebut Tim yang telah terbentuk dibagai kedalam 3 (tiga) kelompok Kerja (Pokja). Pokja I bertugas mengkaji kebijakan, Pokja II bertugas membentuk format kelembagaan dan mekanismenya dan Pokja III bertugas menyiapkan konsep penataan zonasi. Hasil yang telah dicapai kelompok kerja tersebut ditulis dalam Hasil Rumusan Tim Formatur Dewan Kemitraan Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai, yang berisi (a) Konsep Nota Kesepahaman antara Direktur Jenderal PHKA dengan Bupati Kuningan tentang Pengelolaan TN Gunung Ciremai Kolaboratif; (b) Konsep Pembentukan Organisasi dan Mekanisme Kerja Lembaga Kolaborasi TN Gunung Ciremai dan (c) Konsep Penataan Zonasi TN Gunung Ciremai. Secara keseluruhan hasil dari Tim Kajian Kolaboratif adalah draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai versi stakeholders Kuningan.

Aliansi yang dibangun dengan INFRONT menghasilkan laporan kajian pemanfaatan lahan di TN Gunung Ciremai, yang diterbitkan oleh Pustaka Latin pada tahun 2005.

Tahap kedua: Advokasi Kebijakan Pengelolaan TN Gunung Ciremai

Tahap advokasi kebijakan bertujuan untuk meyakinkan pengelola TN Gunung Ciremai terhadap PHBM. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan uji coba kolaborasi di tingkat desa, yaitu Desa Pajambon, Trijaya dan Seda, serta mendorong konsultasi publik dalam menyusun Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai.

Pada tahap uji coba ini, kesepakatan kolaborasi berhasil dicapai di Desa Pajambon berupa kesepakatan dalam bentuk Nota Kesepakatan Bersama

(22)

63

(NKB) dan Nota Perjanjian Kerjasama (Lampiran 16 dan 17) sedangkan desa Seda dan Trijaya tidak berhasil mencapai kesepakatan. Desa Pajambon bisa diterima karena:

• Obyek perjanjian adalah pengembangan ekowisata berupa air terjun.

• Adanya rencana pengelolaan ekowisata yang disusun masyarakat yang terdiri atas hasil inventarisasi potensi ekowisata antara lain air terjun, tumbuhan obat dan tanaman penunjang ekowisata berupa buah-buahan, rencana pengembangan kapasitas pengelola ekowisa, rencana rehabilitasi lahan, rencana pembibitan, rencana pembangunan fasiltias, rencana pembagian hasil usaha, kelembagaan yang jelas (struktur organisasi, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga).

• Masyarakat mau melakukan pembibitan tanaman endemik yang bibitnya berasal dari dalam TN Gunung Ciremai, dan hasil pembibitan akan digunakan untuk mengganti tanaman semusim yang ditanam masyarakat melalui pola agroforestri

• Pengelola TN Gunung Ciremai mau mengakomodir tanaman buah-buahan masyarakat dan menyebutnya sebagai tanaman pendukung ekowisata

Praktek penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya alam Desa Seda telah meningkatkan kesadaran masyarakat Desa Seda tentang potensi sumberdaya alam yang ada di desanya, baik yang termasuk di dalam kawasan hutan Negara maupun yang berada di luar. Selain itu, mereka juga mempunyai pemahaman yang lebih luas tentang stakeholders yang bisa diundang untuk mendukung atau membantu masyarakat Desa Seda untuk menjalankan program yang telah disusun. Artinya, mereka juga mempunyai pilihan sumberdaya alam yang lebih banyak untuk dikelola. Ketika rencana pengelolaan Desa Seda mulai disusun, ada asumsi bahwa rencana yang dihasilkan akan dapat digunakan untuk membangun kesepakatan dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Namun setelah rencana pengelolaan Desa Seda selesai disusun, maka kesepakatan dengan pengelola TN Gunung Ciremai menjadi tidak mutlak. Yang lebih penting bagi masyarakat Desa Seda adalah mengelola semua potensi sumberdaya alam dengan optimal untuk kesejahteraan masyarakat secara lestari.

(23)

64

Pola pemanfaatan lahan (pengelolaan berbasis lahan) yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan TN Gunung Ciremai merupakan salah satu hal yang membuat pihak Balai TN Gunung Ciremai belum merespon keinginan masyarakat untuk mengkaji ulang NKB dan NPK yang baru. Sikap kaku dan pemahaman yang masih konvensional dari pihak Balai TN Gunung Ciremai terhadap aturan yang ada bahwa taman nasional harus steril dari akses manusia merupakan salah satu alasannya. Sementara masyarakat sudah eksis di dalam kawasan jauh sebelum Gunung Ciremai menjadi taman nasional dan secara legal diakui keberadaannya sejak adanya PHBM.

Kegiatan pengelolaan kawasan oleh masyarakat melalui penerapan PHBM sebetulnya sudah banyak yang sesuai dengan fungsi kawasan. Salah satu contoh adalah pengembangan agroforestry tanaman kayu hutan dengan jenis MPTS (multi purpose trees species) buah-buahan dan tanaman bawah tegakan seperti lada, nilam, dan lain-lain. Contoh lain adalah pemanfaatan potensi alam sebagai obyek wisata alam. Memang masih ada masyarakat di beberapa desa yang pola pemanfaatan lahannya belum sesuai dengan fungsi kawasannya, yakni dengan kegiatan pertanian sayuran. Namun secara bertahap mereka telah mulai beralih komoditi dengan menanam jenis MPTS buah-buahan sebagai pengganti sayuran, walaupun masih dengan skala-skala kecil karena keterbatasan kemampuan secara swadaya.

Masyarakat sebetulnya sudah menyatakan siap dan berkomitmen bila NKB dan NPK segera dikaji ulang dan ditandatangani, maka mereka akan segera beralih komoditi dari sayuran menjadi jenis MPTS buah-buahan, termasuk menanam jenis tanaman tumbuhan endemik asal kawasan hutan Ciremai. Apalagi bila ada fasilitasi pendanaan atau dukungan program dari pihak Balai TN Gunung Ciremai maupun pemerintah daerah. Hanya masyarakat mengusulkan agar mereka diberi waktu atau masa tenggang (transisi) sekitar 5 tahun untuk peralihan tersebut. Masyarkat juga meminta agar komposisi jenis tanaman adalah 40% : 60%, dimana 40% adalah tumbuhan endemik Ciremai dan 60% adalah tanaman buah-buahan.

Pihak Balai TN Gunung Ciremai hanya memberikan masa transisi 3 tahun dan komposisi jenis tanaman 70% : 30% antara tanaman endemik dan

(24)

65

buah-buahan. Namun proses transisi tidak bisa berjalan karena (a) pernyataan ini diungkapkan hanya secara lisan (tidak dituangkan menjadi kebijakan tertulis Balai TN Gunung Ciremai), (b) lemahnya proses pengawalan pelaksanaan kebijakan di lapangan, serta (c) tidak segera dilakukannya kaji ulang NKB dan NPK.

Faktor lain yang menyebabkan tidak berjalannya proses transisi adalah tidak adanya aturan yang memayungi pemanfaatan kawasan Taman Nasional berbasis lahan serta penanaman dengan jenis MPTS buah-buahan.

Guna mengisi kekosongan aturan-aturan yang selalu dijadikan alasan yang akhirnya dirasakan menghambat kegiatan-kegiatan di lapangan, para pihak di Kabupaten Kuningan mendorong untuk dibuatnya kesepakatan bersama antara Balai TN Gunung Ciremai dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan.

Kegiatan lain yang dilakukan dalam advokasi kebijakan adalah mendorong konsultasi publik dalam penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai. Tujuan konsultasi publik adalah mensinergikan hasil Tim Kajian Kolaboratif yang dibentuk oleh Bupati Kuningan dengan hasil Rencana Pengelolaan yang disusun oleh konsultan TN Gunung Ciremai. Proses konsutasi publik dilakukan pada tanggal 16 dan 31 Mei 2006 pihak BKSDA Jabar II mengundang para pihak dari Kabupaten Kuningan dan Majalengka untuk membahas Draft Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai (RPTNGC). Secara keseluruhan materi draft tersebut masih mencerminkan sistem pengelolaan Taman Nasional konvensional. Hasil penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai jauh dari harapan para pihak khususnya di Kabupaten Kuningan yang sedang berproses mencari bentuk pengelolaan TN Gunung Ciremai secara kolaboratif.

Berdasarkan hal tersebut disepakati untuk membentuk Tim yang anggotanya terdiri atas unsur para pihak Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, BKSDA Jabar II dan konsultan, untuk memperbaiki draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai, agar dalam implementasinya dapat diterima dan didukung para pihak di kedua kabupaten tersebut.

(25)

66

Perubahan mendasar yang dihasilkan dalam perbaikan draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai antara lain yaitu :

1. Keberadaan masyarakat desa sekitar hutan beserta kearifan lokalnya, diposisikan sebagai potensi dalam perlindungan dan pengamanan hutan serta memberikan peluang kepada masyarakat sebagai mitra Balai TN Gunung Ciremai dengan menerapkan manajemen kolaborasi dan berbagi/sharing sesuai tanggung jawabnya.

2. Mengakomodasi pelibatan para pihak secara partisipatif sebagai perwujudan pengelolaan TN Gunung Ciremai secara kolaboratif, terutama dalam proses penyusunan Rencana Pengelolaan, penataan zonasi kawasan dan penataan kelembagaan.

3. Dalam analisa penentuan zonasi selain mendasarkan pada aspek potensi sumberdaya alam dan ekosistemnya serta karakteristik biofisik wilayah, juga memperhatikan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar TN Gunung Ciremai.

Perbaikan draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai tersebut dilakukan melalui serangkaian focus group discussion dan workshop yang dilakukan di Kabupaten Kuningan maupun Majalengka selama kurun waktu bulan Juni-September 2006. Rangkaian pertemuan para pihak tersebut pada intinya adalah untuk mengintegrasikan hasil kajian pokja-pokja dari Tim Pengkajian TN Gunung Ciremai, terutama integrasi sistem pengelolaan yang telah ada yakni PHBM ke dalam rumusan hasil tim konsultan.

Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai ternyata tidak mengakomodir hasil kajian Tim Pengakajian TN Gunung Ciremai yang dibentuk oleh Bupati. Ternyata hal ini terjadi karena proses penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai harus dilakukan oleh pihak ketiga (konsultan), dan tidak bisa dilakukan oleh Tim Pengkajian TN Gunung Ciremai. Hasil dari Tim Pengkajian hanya sebatas masukan dan rekomendasi yang belum tentu diterima oleh konsultan.

Di sisi lain, konsultan bekerja berdasarkan perintah dari pemberi pekerjaan atau TN Gunung Ciremai. Dengan demikian apa pun masukan yang diberikan oleh pihak lain, pihak konsultan pasti akan berkonsultasi terlebih

(26)

67

dahulu kepada pemberi pekerjaan, apakah setuju atau tidak. Dalam hal ini, setelah melihat hasil pekerjaan konsultan, maka ternyata banyak usulan atau masukan dari Tim Pengkajian TN Gunung Ciremai yang tidak diakomodir dalam Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai.

Kendala lain dalam memantau revisi draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai adalah keterbatasan akses dalam memperoleh informasi dari pengelola TN Gunung Ciremai, termasuk dari konsultan TN Gunung Ciremai. Hal ini bisa saja terjadi karena memang tidak ada kewajiban dari pengelola TN Gunung CIremai untuk memberi akses kepada pihak lain dalam memantau proses revisi.

Tahap ketiga: Diskusi Payung Hukum Kolaborasi

Tahap ketiga adalah mendiskusikan payung hukum, yang menghasilkan kesepakatan atau MoU (Memorandum of Understanding) antara Bupati Kuningan dengan Kepala Balai TN Gunung Ciremai. Mulai pertengahan tahun 2007, pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan, LSM Kanopi, dan personal-personal yang tergabung dalam LPI PHBM beserta Balai TN Gunung Ciremai kemudian merancang draft kesepakatan bersamanya. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya nota kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Kepala Balai TN Gunung Ciremai dan Bupati Kuningan pada tanggal 2 Februari 2008 tentang Optimalisasi Pengelolaan TN Gunung Ciremai.

Salah satu tujuan dari pembuat Kesepakatan bersama tersebut untuk memayungi kegiatan-kegiatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan Gunung Ciremai melalui PHBM, terutama yang telah sesuai dengan aspek-aspek konservasi. Kesepakatan ini dimaksudkan untuk mengharmoniskan harapan dan kepentingan para pihak di daerah dengan kepentingan pusat beserta aturan-aturan pengelolaannya.

Tahap keempat: Menyusun Pedoman Kolaborasi

Tahap keempat menyusun pedoman kolaborasi sesuai dengan MoU yang telah ditanda tangani. Pedoman kolaborasi yang dihasilkan adalah

(27)

68

PKKBM (Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Masyarakat). Konsep PKKBM diharapkan dapat menjadi payung untuk sistem pengelolaan yang akan diimplementasikan di kawasan TN Gunung Ciremai. Konsep ini disusun untuk mengintegrasikan sistem pengelolaan yang telah ada sebelumnya yakni PHBM ke dalam sistem pengelolaan taman nasional yang diatur berdasarkan aturan-aturan yang ada sebelumnya. Pengintegrasian PHBM ini tentu saja melalui penyesuaian-penyesuaian dengan fungsi kawasan konservasi saat ini, misalnya tidak lagi berorientasi pada hasil kayu melainkan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan, serta tidak mengokupasi lahan baru melainkan mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang telah ada secara lestari dengan tanaman MPTS buah-buahan maupun tanaman bawah tegakan.

Tahap kelima: Melaksanakan Kolaborasi

Tahap kelima adalah melaksanakan kolaborasi. Salah satu bentuk kolaborasi adalah pemanfaatan jasa lingkungan berupa air. Produk air merupakan sumberdaya yang potensial karena banyak mata air di Gunung Ciremai memasok air ke Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon.

Mata air di wilayah Gunung Ciremai berjumlah 156 buah dan sungai sebanyak 43 buah digunakan untuk irigasi dan kegiatan pariwisata, diantaranya Waduk Darma, Darmaloka, Balong Cigugur, Balong Dalem dan Telaga Remis. Potensi air dari wilayah Gunung Ciremai yang dimanfaatkan untuk industri dan perekonomian, yaitu :

1. Suplai air untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Cirebon sebesar 200 l / detik dengan imbalan Rp 12.000.000,- per tahun 2. Suplai air untuk PDAM Kota Cirebon sebesar 800 l / detik dengan

imbalan Rp 384.000.000,- per tahun

3. Suplai air untuk Pertamina Cirebon sebesar 50 l / detik dengan imbalan Rp 12.000.000,- per tahun

4. Suplai air untuk PT. Indocement Cirebon sebesar 36 l / detik dengan imbalan Rp 96.000.000,- per tahun

5. PDAM Kabupaten Kuningan tahun 2002 berkontribusi pada PAD sekitar Rp 51.000.000,-

(28)

69

6. Kegiatan pertanian, perkebunan tebu dan pabrik gula memerlukan suplai air sebesar 2.500 l / detik

Berawal dari kebutuhan untuk adanya mekanisme kerjasama pengelolaan jasa lingkungan air dan wisata alam antara hulu-hilir, saat ini telah disepakati oleh para pihak di CIAYUMAJAKUNING (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan) untuk membentuk kelembagaan kolaborasi multipihak. Kesepakatan ini dibangun secara bersama oleh Balai TNGC, pemerintah kabupaten/ kota, LSM, perguruan tinggi, masyarakat desa maupun pihak swasta di Ciayumajakuning melalui dua kali workshop dan rangkaian FGD lanjutannya yang telah difasilitasi Balai TNGC dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Mengingat pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata alam hanyalah bagian kecil saja dari sistem pengelolaan TN Gunung Ciremai, para pihak tersebut sepakat bahwa kelembagaan kolaborasi ini nantinya tidak hanya mengurusi persoalan kerjasama hulu-hilir kedua potensi itu saja. Kelembagaan tersebut diharapkan dapat mengawal juga kolaborasi pengelolaan TN Gunung Ciremai secara keseluruhan, misalnya kerjasama pemanfaatan jasa lingkungan lainnya (karbon dan keanekaragaman hayati), harmonisasi pemanfaatan lahan secara lestari, penanganan dan penanggulangan bencana seperti kebakaran hutan dan illegal logging, maupun sinergitas kebijakan dan program pembangunan pemerintah pusat dan daerah).

Setelah workshop tanggal 6 Juli 2009 yang difasilitasi Balai TNGC dan tanggal 22 Juli 2009 yang difasilitasi Dishut Provinsi Jawa Barat serta serangkaian FGD lanjutannya, disepakati nama (sementara) kelembagaan kolaborasi tersebut adalah Dewan Kemitraan Pengelolaan TN Gunung Ciremai. Keanggotaannya terdiri dari perwakilan unsur Balai TNGC, Pemprov Jawa Barat, Pemkab dan Pemkot, perguruan tinggi, LSM, masyarakat desa, serta swasta/perusahaan yang ada di Ciayumajakuning.

Direncanakan dewan kemitraan ini akan dilegalkan melalui SK Gubernur Jawa Barat, namun masih dalam proses pembahasan kelembagaannya. Beberapa kekhawatiran masih ada terutama dari institusi pemerintah, baik Balai TN Gunung Ciremai maupun dinas/instansi pemerintah daerah.

(29)

70

Kekuatiran mereka adalah dewan kemitraan ini akan menjadi super body yang akan mengambil alih dan menghilangkan kewenangan pemerintah. Kekhawatiran lain datang dari pihak swasta terutama dalam pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata alam. Pengusaha kuatir akan ada pungutan baru yang dibebankan kepada mereka selaku pengguna jasa-jasa tersebut. Sehingga sampai saat ini dewan kemitraan tersebut belum definitif karena masih terus dibahas dan disusun oleh tim kecil kedalaman kelembagaannya agar kekhawatiran para pihak tadi tidak terjadi atau paling tidak diminimalisir.

Beberapa capaian Para Penggiat PHBM adalah (a) berhasil mendorong adanya konsultasi publik dalam penyusunan Rencana Pengelolaaan TN Gunung Ciremai; (b) berhasil menunjukkan contoh Pajambon dan sekarang menjadi salah satu Model Desa Konservasi yang dipromosikan oleh pengelola TN Gunung Ciremai untuk dijadikan sebagai contoh bagi desa-desa lain; dan (c) MoU Bupati dan Kepala Balai TN Gunung Ciremai berhasil ditanda tangani.

Monitoring:

Sementara itu, sikap para pihak/nilai-nilai yang berhasil dibangun dalam proses dan praktek kolaborasi adalah (a) berusaha mencari win-win

solution; (b) mencari solusi konflik tanpa kekerasan dan selalu melalui dialog;

(c) membangun contoh lembaga atau pranata sosial sebagai tempat mengadu yang dapat dipercaya oleh masyarakat; (d) berpikir terbuka dan berusaha

mencari pilihan-pilihan solusi; Perubahan sikap tersebut

mengindikasikan berubahnya pendekatan konfrontatif yang terjadi ketika konflik mulai mencuat, menjadi pendekatan kolaboratif.

(30)

71

Pembahasan

Metode Riset Aksi yang digunakan memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan yang dirasakan selama melakukan penelitian adalah:

Metode Riset Aksi

• Riset Aksi bersifat responsif. Riset Aksi dilakukan dalam suatu situasi yang tidak pasti atau tidak menentu. Dalam kasus perubahan status Gunung Ciremai, tanggapan dari masyarakat yang menolak perubahan status dan tanggapan dari para pihak yang setuju dengan perubahan status bersifat dinamis dan tidak pasti. Penelitian konvensional mungkin dapat menangkap fenomena pada suatu waktu tertentu yang pendek, misalnya siapa saja pihak yang saling bertentangan pendapat dan apa motivasinya ketika perubahan status Gunung Ciremai baru terjadi. Namun dalam beberapa bulan berikutnya, situasi bisa berubah. Hal ini terjadi ketika Surat Dirjen PHKA yang mengakomodir PHBM dan mendorong partisipasi stakeholder dalam menyusun Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai dikeluarkan. Hal ini mendorong perubahan sikap para pihak, sehingga terjadi konsolidasi. Para pihak yang semula bertentangan bisa bersatu dan mendorong pengelola TN Gunung Ciremai untuk membuka ruang partisipasi bagi stakeholders. Situasi seperti ini yang dapat direspon dengan Riset Aksi.

• Riset Aksi meningkatkan kesadaran pengguna untuk belajar dari pengalaman. Baik peneliti, LPI PHBM dan Para Penggiat PHBM sebagai pihak yang menggunakan Riset Aksi mempunyai banyak kesempatan untuk belajar dari pengalaman dan mengambil pembelajaran (lessons

learned), yang kemudian digunakan untuk memperbaiki kesalahan atas

tindakan yang telah lalu. Pengalaman seperti ini telah dilakukan selama Riset Aksi berjalan lebih kurang empat tahun, sehingga memungkinkan terjadinya proses internalisasi di dalam individu pelaku Riset Aksi. Internalisasi akan mendorong pelaku Riset Aksi untuk melakukan proses

(31)

72

yang sama, ketika menghadapi masalah setelah Riset Aksi ini selesai dilakukan.

• Riset Aksi bersifat partisipatif. Berbagai bentuk partisipasi telah dilakukan, baik oleh peneliti, LPI PHBM maupun Para Penggiat PHBM. Hal ini dapat meningkatkan rasa kepemilikan terhadap proses penelitian, sehingga para pelaku Riset Aksi secara sukarela mengumpulkan informasi yang dibutuhkan. Contoh pada Siklus I, di dalam Aksi I untuk memperjelas informasi tentang perubahan status Gunung Ciremai, peran LPI PHBM adalah melakukan dialog dengan para pihak di Kabupaten Kuningan yang dianggap bertanggung jawab dalam proses perubahan status Gunung Ciremai. Sementara itu, peran peneliti adalah mencari informasi di Departemen Kehutanan. Pembagian peran untuk mengumpulkan informasi ini juga meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam mencari data. Pada Aksi 2 di Siklus 1 tentang analisis stakeholder, peran LPI PHBM adalah pelaku yang melakukan analisis stakeholder, sedangkan peneliti sebagai fasilitator. Peran LPI PHBM sebagai pelaku analisis stakeholder dapat menghasilkan analisis yang kaya karena mereka betul-betul paham siapa stakeholder.

• Berorientasi pada solusi. Riset Aksi mementingkan solusi atas masalah yang dihadapi. Jadi Riset Aksi tidak hanya memotret masalah, menyusun laporan dan memberi rekomendasi, seperti yang banyak dilakukan dalam penelitian konvensional.

Selain kelebihan dari metode Riset Aksi, selama penelitian dijumpai pula kekurangan dari Riset Aksi, yaitu:

• Riset Aksi membutuhkan trust atau kepercayaan dari mitra yang akan diajak menjadi pelaku Riset Aksi. Tanpa kepercayaan, sulit bagi peneliti untuk mengajak orang agar mau terlibat dalam Riset Aksi. Trust dapat diraih dengan cara menunjukkan kredibilitas dan komitmennya dalam membantu stakeholders untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi. Sebelum penelitian ini dilakukan, peneliti telah bekerja bersama dengan stakeholder di Kabupaten Kuningan sejak tahun 2001 untuk

(32)

73

mengembangkan kolaborasi dalam pengelolaan hutan, yang melibatkan masyarakat sekitar hutan, Perhutani dan Pemerintah Kabupaten Kuningan. • Riset Aksi tidak banyak diketahui dan tidak diajarkan di perguruan tinggi,

sehingga informasi tentang Riset Aksi harus dipelajari sendiri.

• Berbeda dengan riset konvensional, dimana studi pustaka dilakukan sebelum riset dilakukan untuk membangun argumentasi terhadap hipotesis, maka Riset Aksi baru mencari literatur setelah Riset Aksi dilakukan, karena literatur yang dicari haruts disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi

• Riset Aksi lebih lama pelaksanaannya dibanding riset konvensional. Hal ini wajar karena orientasi dari Riset Aksi adalah solusi, yang tidak mungkin diperoleh dalam waktu singkat. Proses Riset Aksi yang dilaksanakan oleh peneliti berjalan lebih kurang empat tahun.

Peneliti dalam Riset Aksi menjalankan peran yang bermacam-macam. Ada persamaan dan perbedaan peran antara peneliti Riset Aksi dengan peneliti konvensional. Peran yang sama dengan peran peneliti konvensional, yaitu peran sebagai pengumpul data, analisis data dan penyusun laporan penelitian. Sedangkan peran yang tidak dilakukan oleh peneliti konvensional adalah peran sebagai fasilitator dan mediator.

Peran Peneliti dalam Riset Aksi

Menurut Braakman dan Edward (2002), kata fasilitasi mempunyai arti “membuat sesuatu menjadi mudah”. Dari segi proses, fasilitasi didefinisikan sebagai suatu proses dimana seseorang membantu pihak lain untuk menyelesaikan pekerjaannya dan memperbaiki cara mereka bekerja bersama. Sedangkan sebagai keahlian, fasilitasi adalah keahlian mengelola suatu pertemuan (a meeting management skill). Oleh karena itu, fasilitasi juga dikatakan sebagai cara membantu kelompok bekerja bersama di dalam pertemuan.

Dalam konteks Riset Aksi yang telah dilakukan, peran peneliti sebagai fasilitator di antaranya dilakukan ketika memfasilitasi proses analisis

(33)

74

stakeholder dan persiapan negosiasi. Dalam proses analisis stakeholder, peneliti membantu LPI PHBM dengan menyediakan kerangka teori analisis stakeholder dan memfasilitasi proses analisis stakeholder.

Sementara itu, dalam proses negosiasi, peran fasilitator dilakukan ketika persiapan negosiasi. Peneliti memfasilitasi diskusi untuk merumuskan tawaran-tawaran solusi dengan teknik bermain peran. Teknik bermain peran adalah salah satu keterampilan teknik diskusi yang harus dikuasai oleh fasilitator.

Ada berbagai keterampilan yang harus dikuasai oleh seorang fasilitator. Menurut Braakman dan Edwards (2002), keterampilan fasilitasi terdiri atas 3 tingkat, yaitu (a) keterampilan fasilitasi dasar, misalnya mendengar, menyimak, bertanya, mengamati, merangkum, (b) keterampilan memfasilitasi suatu pertemuan, dan (c) keterampilan memfasilitasi suatu kesepakatan.

Semua keterampilan tersebut sebenarnya bisa dilatih melalui suatu pelatihan yang terstruktur, dan selanjutnya bisa diasah atau dipertajam selama Riset Aksi berlangsung.

Peran peneliti dalam Riset Aksi, selain sebagai fasilitator juga sebagai mediator. Menurut Moore (1996), mediator membantu para pihak yang secara sukarela bersedia mencapai suatu penyelesaian yang dapat saling diterima atas isu-su yang disengketakan.

Peran mediator dilakukan oleh peneliti ketika memediasi pertemuan antara Para Penggiat PHBM dengan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan pada bulan Desember 2004 di Jakarta. Sebagai mediator, peneliti melakukan dua hal, yaitu membuka komunikasi dengan pihak Departemen Kehutanan, dan memfasilitasi proses negosiasi. Dua hal ini adalah peran mediator dari 9 peran mediator yang diidentifikasi oleh Moore (1996).

Berdasarkan kelebihan dan kekurangan dari metode Riset Aksi serta peran peneliti dalam Riset Aksi, maka ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan apabila ingin menggunakan metode Riset Aksi, yaitu:

• Apabila peneliti ingin membantu mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh sekelompok orang, maka Riset Aksi bisa digunakan. Namun, apabila peneliti hanya ingin memotret atau menggambarkan

(34)

75

suatu fenomena tertentu dan setelah itu memberikan rekomendasi, maka Riset Aksi tidak perlu digunakan.

• Sebaiknya telah memperoleh trust dari orang-orang yang akan dilibatkan melakukan Riset Aksi

• Penelitian tidak dibatasi oleh waktu yang singkat • Peneliti memiliki keterampilan sebagai fasilitator

Peneliti sejak awal tidak bersikap netral. Peneliti berpihak terhadap masyarakat yang kehilangan akses terhadap kawasan Taman Nasional. Keberpihakan ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

Netralitas Peneliti

• Keberpihakan terhadap masyarakat yang kehilangan akses ke kawasan Taman Nasional merupakan keberpihakan terhadap masyarakat yang hak-haknya dilanggar. Keberpihakan ini bersifat universal.

• Peneliti yang juga menjadi staf LATIN telah bekerja mengembangkan program kolaborasi dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Kuningan sejak tahun 2001. Pengalaman ini telah menimbulkan hubungan emosional yang dekat antara peneliti dengan masyarakat.

• Program kolaborasi yang dibangun sejak tahun 2001 juga telah menimbulkan kepercayaan para pihak terhadap peneliti, karena salah satu mitra kerja LATIN sejak 2002 adalah LPI PHBM.

Menurut Moore (1996), ada 5 jenis konflik berdasarkan sumber penyebab, yaitu konflik nilai, konflik kepentingan, konflik data, konflik hubungan, dan konflik struktural. Kelima jenis konflik tersebut juga terjadi dalam perubahan status kawasan hutan Gunung Ciremai.

Jenis Konflik

1.

Konflik nilai tercermin dalam kasus perubahan status kawasan Gunung Ciremai. Konflik nilai terjadi antara dua paradigm konservasi, yaitu paradigm

(35)

76

preservatism dalam pengelolaan taman nasional, dengan paradima Human Welfare Ecology .

Nilai konservasi yang sudah berkembang di Indonesia sebenarnya dipengaruhi oleh konsep Romantic-trancendental Conservation Ethic, yang salah satu tokohnya adalah John Muir. Dia mempengaruhi pandangan konservasi sebagian orang-orang Eropa (Noss dan Cooperrider, 1994), termasuk bangsa Belanda yang pernah menjajah Indonesia.

Konsep Romantic-trancendental Conservation Ethic yang berkembang di Eropa itulah yang dianut Belanda dan diterapkan di Indonesia. Dalam konsep ini keberadaan manusia diabaikan, yang dipentingkan adalah kelestarian spesies tumbuhan dan satwa. Pandangan seperti ini mencerminkan paradigma konservasi yang disebut dengan preservationisme (Eckersley (1992). Paradigma ini ditandai dengan pembentukan kawasan Taman Nasional sebanyak-banyaknya (WCMC, 1992).

Dalam kasus perubahan status kawasan Gunung Ciremai, jelas sekali terlihat bahwa Departemen Kehutanan juga berupaya untuk memperbanyak kawasan Taman Nasional. Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 yang mengubah status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional bersama dengan 11 taman nasional lainnya, pada tahun 2004 adalah contoh nyata gambaran paradigm preservationism.

Paradigma preservationism sebenarnya tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi masyarakat di Indonesia, karena terbukti banyak kegiatan masyarakat di sekitar hutan yang sesuai dengan tujuan konservasi. Contoh kegiatan masyarakat yang sesuai dengan konservasi genetik dilaporkan oleh Dolvina Damus (1992) dalam

Fakta berupa contoh-contoh kegiatan masyarakat yang sesuai dengan tujuan konservasi, baik untuk pelestarian tingkat genetik, tingkat jenis, maupun

Nasution et.al., (1995). Untuk konservasi tingkat jenis, contoh diberikan oleh Purwantoro (1992) dan Darnaedi (1992)

.

Sedangkan contoh kegiatan masyarakat yang sesuai dengan konservasi tingkat ekosistem cukup banyak dijumpai, antara lain dilaporkan oleh de Foresta, Kusworo, Michon, Djatmiko (2000), Darusman (2000), Purwanto dan Walujo (1992), Hilwan (1995), dan Soedjito (1995).

(36)

77

tingkat ekosistem, sesungguhnya menuntut perubahan paradigm konservasi yang diterapkan di Indonesia. Paradigma konservasi yang mungkin sesuai dengan situasi di Indonesia adalah paradigm Human Welfare Ecology (Eckersley, 1992) yang mementingkan kualitas lingkungan dan isu-isu sosial yang selama ini diabaikan, seperti hak-hak masyarakat, keseimbangan akses ke sumberdaya alam, rekreasi dan religi, serta kebutuhan psikologis. Implementasi paradigm Human Welfare Ecology mendasari pengelolaan ekosistem yang menuntut keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan.

Menurut Pimbert (1994), keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan kawasan konservasi dapat dibedakan menjadi 7 tingkat. Tingkat partisipasi stakeholder tersebut adalah (1) passive participation, (2) participation in

information giving, (3) participation by consultation, (4) participation for material incentives, (5) functional participation, (6) interactive participation,

(7) self-participation.

Dalam kasus perubahan status kawasan Gunung Ciremai, keterlibatan publik, baik masyarakat maupun stakeholders di Kabupaten Kuningan masih rendah. Tidak ada proses konsultasi publik yang dilakukan oleh pemerintah sebelum keputusan dibuat, walaupun ada pertemuan tanggal 8 Oktober 2004 yang dianggap sebagai konsultasi publik. Namun sesungguhnya pertemuan itu bukanlah konsultasi publik, karena hanya melibatkan beberapa orang dan tidak bisa mewakili seluruh stakeholder di Kabupaten Kuningan. Berdasarkan kerangka teori partisipasi Pimbert (1994), tingkat partisipasi seperti itu masih berada pada tingkat yang paling rendah, yaitu Passive Participation.

Tingkat partisipasi yang agak maju terjadi ketika proses penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional. Stakeholder di Kabupaten Kuningan membuat draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai, sementara itu pihak pengelola TN Gunung Ciremai juga telah menyewa konsultan untuk menyusun Rencana Pengelolaan. Secara ideal, hasil dari kedua belah pihak dapat saling melengkapi. Oleh karena itulah diadakan konsultasi publik yang bertujuan untuk mensinergikan draft Rencana Pengelolaan yang dihasilkan baik oleh stakeholder Kuningan maupun konsultan TN Gunung Ciremai. Pada saat konsultasi publik, berbagai masukan yang substansial dikemukakan oleh

Gambar

Gambar 8.  Siklus 1.   Konflik dan Penyelesaiannya
Tabel 6.  Tahapan  Terjadinya Konflik dalam Penetapan Taman  Nasional Gunung Ciremai
Gambar  9. Klasifikasi Para Pihak Berdasarkan tingkat kepentingan pelibatan  (importance) dan Pengaruh (influence)
Gambar 10.  Siklus 2:  Strategi Kolaborasi
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Siswa mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu; (2) Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika

Dari hasil studi kasus terungkap bahwa UMKM yang dijadikan studi kasus pada dasarnya telah menerapkan sistem manajemen mutu dan dapat menerapkan klausul ISO

Alhamdulillah, segala puji syukur kita kehadirat Allah Swt yang telah memberi nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan, sehingga penulis

Tujuan penelitian ini adalah untuk membangun sistem informasi persediaan barang dagang yang mampu mempermudah dalam proses penginputan, menghitung transaksi dan

Yang bertanda tangan dibawah ini saya, Dika Yudha Perdana, menyatakan bahwa skripsi dengan judul: PENGARUH MOTIVASI KERJA, KEPEMIMPINAN DAN KESEMPATAN PENGEMBANGAN KARIR

The movement data are provided by the Metropolitan Police Automatic Personnel Location System (APLS), which records officers’ location stamps with the

a) Kejelasan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dimaksdukan supaya karyawan dalam pelaksanaan tugas mencapai sasaran yang terarah dan tujuan organisasi dapat tercapai.