• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang terbentuk melalui proses yang lama dan kompleks. Proses ini diawali dengan penempelan berbagai biota penghasil kapur pada substrat keras, seperti karang batu (hard coral) dan alga berkapur yang masing-masing berfungsi sebagai kerangka pembentuk terumbu dan sebagai penyemen atau penyatu kerangka (Suharsono 2008b). Proses pelekatan, pembentukan kerangka, sementasi, gradasi, erosi, dan akresi yang terjadi berulang-ulang dalam kurun waktu jutaan tahun akhirnya membentuk terumbu karang. Berdasarkan lokasi dan tahap pembentukannya, ada beberapa tipe terumbu karang. Charles Darwin pada tahun 1842 membedakan tiga kategori utama terumbu berdasarkan geomorfologinya, yaitu: fringing reefs (terumbu tepi), barrier reefs (terumbu penghalang) dan atolls (terumbu cincin) (Barnes & Hughes 1999), sedangkan terumbu karang yang berkembang di paparan benua atau pulau namun belum mencapai permukaan laut disebut patch

reef atau terumbu karang gosong (Suharsono 2008b).

Terumbu didefinisikan sebagai endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat (CaCO3) yang terutama dihasilkan oleh hewan karang (filum

Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Scleractinia), dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat (Nybakken 1982). Terumbu karang adalah suatu ekosistem laut tropis yang dibentuk terutama oleh hewan karang (corals) penghasil kapur, khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota lain yang hidup di laut seperti moluska, krustacea, ekhinodermata, polikhaeta, porifera dan tunikata, serta biota lain yang hidup bebas di perairan sekitar termasuk jenis-jenis plankton dan ikan (Sukarno 1994).

Seperti halnya ekosistem yang memiliki gradien lingkungan, organisme pada terumbu karang beradaptasi terhadap posisi yang berbeda sepanjang gradien, sehingga mengikuti pola zonasi, walaupun secara ekstensif overlapping. Pada terumbu karang, zonasi ini sangat nyata pada terumbu di daerah windward yang sangat terbuka dan kurang nyata pada terumbu di daerah leeward yang terlindung. Struktur pada puncak terumbu dan lereng terumbu yang mengarah ke laut sangat berbeda antara terumbu di daerah windward dan leeward (Barnes & Hughes 1999). Pada kondisi energi gelombang moderat, puncak terumbu

(2)

windward cenderung didominasi oleh 1 atau 2 spesies karang, khususnya karang

bercabang yang kokoh seperti Acropora palmata di Atlantik, A. Cuneata di Pasifik Barat, Pocillopora spp. di Pasifik Timur, atau oleh Millepora spp. di berbagai tempat di bumi (Barnes & Hughes 1999).

2.1.1 Biologi Karang

Karang (corals) adalah hewan sederhana berbentuk tabung dengan mulut berada di atas yang juga berfungsi sebagai anus (Suharsono 1996; Castro & Huber 2005). Disekitar mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi sebagai penangkap makanan. Mulut terhubung dengan rongga perut (gastrovaskuler) melalui tenggorokan yang pendek. Didalam rongga perut berisi semacam usus yang disebut messentri filament yang berfungsi sebagai alat pencerna (Castro & Huber 2005; Suharsono 2008b).

Individu hewan karang (polip) dapat hidup berkoloni maupun soliter (Nybakken 1982). Polip-polip karang yang berkoloni biasanya mempunyai diameter 1-3 mm, sedangkan diameter polip yang soliter/menyendiri dapat berkembang jauh lebih besar (Barnes 1987, in http://coris.noaa.gov/ 9 Desember 2009). Polip karang memiliki tingkat perkembangan organ yang terbatas. Setiap polip terdiri dari tiga lapis jaringan dasar yang disebut epidermis luar (ektoderma), endoderma (lapisan dalam), dan mesoglea yang berada di antaranya (Suharsono 2008b). Ektoderma terdiri dari berbagai jenis sel, antara lain sel mucus dan nematocyst. Mesoglea berupa lapisan seperti jelly yang di bagian luarnya terdapat sel semacam sel otot, sedangkan endoderma sebagian selnya berisi sel algae (dinoflagellata) yang menjadi simbion karang (Suharsono 2008b).

Sel mucus memproduksi mucus untuk membantu menangkap makanan

dan membersihkan diri dari sedimen, adapun nematocyst adalah sel penyengat untuk menangkap makanan khususnya zooplankton dan mempertahankan diri (Castro & Huber 2005; Suharsono 2008b). Karang memiliki sistem syaraf, jaringan otot dan reproduksi yang sederhana namun telah berkembang dan berdungsi dengan baik (Suharsono 2008b). Organ reproduksi karang berkembang diantara messentri filament. Jenis-jenis karang yang hidup di daerah tropis, organ reproduksinya dapat ditemukan sepanjang tahun mengikuti siklus reproduksinya (Suharsono 2008b). Dalam satu polip bisa terdapat organ betina saja atau jantan saja atau keduanya, namun karang hermaprodit jarang yang mempunyai tingkat kematangan gonad bersamaan (Suharsono 2008b).

(3)

2.1.2 Faktor Pembatas

Terumbu karang merupakan ekosistem khas laut tropis yang terbuka dan kompleks di mana struktur, fungsi, keragaman hayati, dan resiliensinya rentan terhadap perubahan kualitas air dan biogeokimia serta aliran hidrologi (Hughes

et al. 1992; Done et al. 1996). Kerentanan terumbu karang terhadap perubahan

lingkungan perairan terutama adalah pada suhu, salinitas, sedimentasi dan eutrofikasi. Terumbu karang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan perairan, di mana pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan kualitas perairan yang alami (pristine) dan lingkungan yang miskin nutrien (oligotrofik) (Veron 1995; Wallace 1998).

Terumbu karang umumnya hanya ditemukan di perairan tropis dan sub tropis yang hangat, dangkal, jernih, dan rendah nutrien, dengan suhu optimum berkisar 25-29 ºC (Buddemeier & Wilkinson 1994, in Grimsditch & Salm 2006;). Karang pembentuk terumbu terbatas pada perairan hangat, dan dapat tumbuh serta bereproduksi jika rerata suhu perairan di atas 20 oC (68 oF) (Barnes & Hughes 1999; Castro & Huber 2005). Batas atas suhu bagi karang bervariasi, tetapi biasanya berkisar 30-35 oC (Castro & Huber 2005). Kondisi suhu air permukaan pada Musim Barat (Desember-Februari) berkisar 28,5–30 oC, pada Musim peralihan Barat-Timur (Maret-Mei) berkisar 29,5-30,7 oC, pada Musim Timur (Juni-Agustus) berkisar 28,5-31 oC, sedangkan pada Musim peralihan Timur-Barat (September-November) berkisar 28,5-31 oC (Suyarso 1995).

Karang hermatipik merupakan organisme laut sejati yang tidak bisa bertahan pada salinitas air laut yang menyimpang dari salinitas normal (32-350/00), namun di beberapa wilayah seperti Teluk Persia, terumbu karang dapat

berkembang pada salinitas 42o/oo (Nybakken 1982). Kondisi salinitas di perairan

sekitar Teluk Jakarta selama pergantian musim juga mengalami fluktuasi. Pada Musim Barat (Desember-Februari) salinitas berkisar 25-32,5o/oo, pada Musim

peralihan Barat-Timur (Maret-Mei) kisarannya 28-32,5o/oo, pada Musim Timur

(Juni-Agustus) berkisar 29–32o/oo, dan pada Musim peralihan Timur-Barat

kisaran salinitasnya 28-32o/oo (Suyarso 1995).

Menurut Suharsono (1996), pertumbuhan, penutupan dan kecepatan tumbuh karang berkurang secara eksponensial dengan kedalaman. Pada laut yang jernih, karang hermatipik bisa sampai kedalaman 70 m (Barnes & Hughes 1999), namun jarang yang dapat berkembang pada kedalaman lebih dari 50 m (165 ft) (Castro & Huber 2005). Pada umumnya terumbu karang lebih

(4)

berkembang pada daerah-daerah yang mengalami gelombang besar. Gelombang tersebut mengalirkan sumber air yang segar, memberikan oksigen dalam air laut dan menghalangi pengendapan pada koloni. Gelombang juga memberi plankton yang baru untuk makanan koloni karang (Nybakken 1982). Arus bermanfaat untuk pemindahan nutrien, larva dan sedimen, juga untuk menghalau dan membersihkan kotoran/sampah. Kecepatan air dan turbulensi juga memiliki pengaruh kuat terhadap morfologi umum dan komposisi taksonomi dari ekosistem terumbu karang (Tomascik et al. 1997). Karakteristik pasang surut di perairan Kepulauan Seribu termasuk jenis campuran (mix tide) cenderung diurnal dengan kisaran pasang surut sampai 80 cm, sedangkan arah arus secara umum dominan dari Timur Laut sampai Tenggara (Retraubun & Atmini 2004).

Terumbu karang hanya dapat berkembang dengan baik di daerah tropik. Hal ini disebabkan oleh adanya dua kelompok karang yaitu karang hermatipik (penghasil terumbu) dan ahermatipik (bukan penghasil terumbu). Karang hermatipik hanya ditemukan di wilayah tropik atau terbatas di daerah hangat dengan penyinaran cukup, sedangkan ahermatipik ditemukan di seluruh dunia, di tempat yang tak terbatas (Nybakken, 1982; Suharsono, 1996). Karang hermatipik memproduksi rangka kalsium karbonat dengan bantuan alga fotosintetik (dinoflagellata) bersel tunggal, Symbiodinium spp., yang juga dikenal sebagai zooxanthellae yang hidup bersimbiosis dalam jaringan karang (Castro & Huber 2005; Burkepile & Hay 2008). Polip dapat menerima sampai 95% karbon hasil fotosintesis zooxanthellae untuk digunakan sebagai makanan. Makanan ini adalah sumber energi bagi karang, yang digunakan untuk tumbuh, bereproduksi, berkompetisi dengan karang dan hewan lain serta untuk mendepositkan kalsium karbonat membentuk rangka (Musso & Hutchison 1996).

Dalam kondisi perairan tertentu, zooxanthellae dapat keluar dari karang misalnya sebagai akibat dari tekanan lingkungan atau adanya penyakit yang menimpa karang tersebut dan menyebabkan karang menjadi putih yang disebut

coral bleaching (Veron 1986; Barnes & Hughes 1999). Penyebab stress pada

terumbu karang dapat berupa nutrien, sedimen, suhu, salinitas, dan polutan lainnya (hidrokarbon, logam, pestisida, herbisida dan klorin) yang semuanya bersumber dari polutan (Hawker & Connel, 1992). Kondisi ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu telah mengalami peningkatan dalam penambahan materi organik dan anorganik terutama dari daratan (Dupra 2002, in Paonganan 2008). Hasil penelitian Damar (2003), diacu dalam Paonganan (2008)

(5)

menunjukkan estimasi Dissolve Inorganic Nitogen (DIN) yang masuk ke perairan Teluk Jakarta dari 3 sungai besar mencapai 21 260 ton per tahun. Total fosfat yang masuk ke Teluk Jakarta mencapai 6 741 ton per tahun, adapun silikat mencapai 52 417 ton per tahun. Sebaran nitrat di perairan Teluk Jakarta yang diukur selama setahun memiliki kisaran tertinggi di daerah pantai dengan konsentrasi berkisar 0,58–35,17 µgA-NO3 l-1 dan terendah di daerah offshore

berkisar 0,02-3,62 µgA-NO3 l-1 (Damar 2003, in Paonganan 2008).

2.1.3 Pertumbuhan Karang

Kebutuhan utama untuk aktifnya pertumbuhan karang adalah cahaya untuk kepentingan zooxanthellae dalam berfotosintesis (Nybakken 1982). Tingkat pertumbuhan mungkin juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti panjang hari, suhu perairan, suplai makanan, sedimentasi, pemangsaan dan kompetisi (Wood 1983). Koloni-koloni karang mungkin lebih cepat dan lebih mudah bertambah dalam ukuran karena terdiri atas polip-polip karang. Setiap polip karang mempunyai kemampuan untuk menumbuhkan polip lain. Budding adalah pertumbuhan luar yang sederhana di dalam jaringan polip yang membentuk polip baru (Musso & Hutchison 1996).

Laju pertumbuhan pada koloni-koloni karang dapat berbeda satu sama lain, karena perbedaan spesies, umur koloni, dan daerah suatu terumbu. Koloni yang muda dan kecil cenderung untuk tumbuh lebih cepat daripada koloni-koloni yang lebih tua, sedangkan koloni bercabang-cabang atau yang seperti daun cenderung untuk tumbuh lebih cepat daripada karang masif (Nybakken 1982). Karang dengan kerangka berongga (porous) memiliki pertambahan ukuran lebih cepat daripada yang padat (solid) (Wood 1983). Pertumbuhan karang di perairan dangkal terutama ke atas, sedangkan karang di perairan dalam pertumbuhannya cenderung ke samping. Pertumbuhan yang picak di kedalaman yang lebih jauh dapat menyediakan lebih banyak daerah permukaan untuk menampung cahaya dan lebih sedikit memerlukan bahan kerangka daripada bentuk yang bundar di air dangkal (Mc. Connaughey & Zottoli 1983).

2.1.4 Proses Pengendapan CaCO3 pada Karang (Kalsifikasi)

Laju pertumbuhan karang dipengaruhi oleh proses kalsifikasi, yaitu proses mineralisasi kalikoblast epidermis yang menggunakan hasil sekresi metabolisme karang sebagai bahan utamanya. Pembentukan kapur (CaCO3) bergantung pada

(6)

1984). Berdasarkan pengamatan laboratorium, terbentuknya endapan kalsium karbonat (CaCO3) adalah sebagai berikut:

Ca2+ + 2HCO3- Ca(HCO3)2 CaCO3 + H2CO3

CaCO3 (aroganit kristal) inilah yang mengendap dan membentuk terumbu

(Sya’rani 1982).

Bertambahnya konsentrasi CO2 di atmosfer merupakan ancaman bagi

terumbu karang karena menyebabkan perubahan kimia air laut, mengurangi konsentrasi ion-ion karbonat, dan mendorong menurunnya laju kalsifikasi karang, laju pertumbuhan dan kekuatan struktur rangka kapur. Struktur rangka yang lemah membuat karang mudah rusak akibat gelombang, turis yang ceroboh, bioerosi, dan penangkapan ikan yang merusak (Buddemeier et al. 2004, in Grimsditch & Salm 2006).

Air laut menyerap CO2 untuk memproduksi asam karbonat (H2CO3),

bikarbonat (HCO3-) and ion karbonat (CO32-) (Buddemeier et al. 2004, in

Grimsditch & Salm 2006). Asam karbonat (H2CO3) berubah menjadi ion Hidrogen

(H+) dan Karbonat (HCO3-) yang cenderung berubah menjadi H2O dan CO2. Di

dalam tubuh karang, reaksi pembentukan H2O dan CO2 ini dipercepat oleh enzym anhydrase (Mapstone 1990). Zooxanthellae memanfaatkan hasil

metabolisme dan respirasi karang (CO2) untuk proses fotosintesa. Bentuk ion

karbonat 2HCO3- dalam air tidak stabil, sehingga mengikat ion Kalsium (Ca2+)

dari perairan dan membentuk Ca(HCO3)2 yang stabil (Suharsono 1984). Jika

proses ini berjalan cepat, maka keseimbangan akan bergeser ke arah kanan dan terurai menjadi CaCO3 dan H2CO3. Proses ini terjadi setiap hari di mana puncak

pendepositan kalsium karbonat terjadi pada siang hari saat proses asimilasi mencapai level tertinggi (Mapstone 1990).

Dalam kondisi perairan tertentu, algae simbion karang (zooxanthellae) dapat keluar dari karang sebagai akibat dari tekanan lingkungan atau adanya penyakit yang menimpa karang tersebut dan menyebabkan karang menjadi putih (Veron 1986). Pemutihaan karang (bleaching) didefinisikan sebagai respon terhadap stres, yang sering diikuti dengan kematian yang luas, berkurangnya laju pertumbuhan, dan menurunnya kesuburan (fecundity) (Baird & Marshall 2002; Douglas 2003, in Hughes et al. 2003). Sumber stres yang dapat menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) terutama adalah perubahan cahaya dan suhu, selain penyakit, banjir, polusi, dan sedimentasi (Hughes et al. 2003).

(7)

Adanya konsentrasi nutrien yang tinggi, sedimen, dan polutan lainnya (hidrokarbon, logam, pestisida, herbisida dan klorin) yang berasal dari pencemaran dapat berbahaya bagi pertumbuhan karang karena dapat menyebabkan eutrofikasi dan mempengaruhi keseimbangan ekologis komunitas, karena terumbu karang umumnya tumbuh dalam perairan yang secara alami rendah nutrien (Hawker & Connel 1992; Castro & Huber 2005). Penyebab eutrofikasi yang paling penting adalah nitrogen dan fosfor yang umumnya berasal dari sumber-sumber pertanian dan kegiatan domestik disekitar perairan (Oksanen 2000, in Rudi 2006).

Eutrofikasi akan memacu pertumbuhan seaweeds atau alga lebih cepat dan menutupi karang yang tumbuh lambat (Castro & Huber 2005). Kompetisi antara karang batu (scleractinian corals) dan alga bentik adalah penting dalam struktur komunitas terumbu karang dan merupakan fase kritis dalam degradasi terumbu karang (McCook et al. 2001). Kemampuan karang untuk berkompetisi dengan alga juga berbeda secara signifikan diantara bentuk pertumbuhan karang (coral life forms). Jelasnya, jenis karang dan alga yang berbeda akan memiliki kemampuan berbeda atau, rentan terhadap mekanisme yang berbeda, bergantung pada faktor-faktor seperti ukuran, struktur, kondisi, bentuk pertumbuhan, pola pertumbuhan, ukuran polip dan tentakel, dan jenis kelamin dan mekanisme reproduksi vegetatif, demikian juga dengan faktor-faktor lingkungan seperti nutrien, herbivora (pemakan alga) dan level cahaya (McCook et al. 2001).

Mekanisme kompetisi antara karang dan alga dapat berupa pertumbuhan yang terlalu cepat (overgrowth), peneduhan (shading), kimiawi, penghalangan rekrutmen (recruitment barrier), pengelupasan ephithel, allelopathy, dan sekresi mucus (McCook et al. 2001). Penelitian yang dilkukan oleh Jompa dan McCook (2003) di Great Barrier Reef, Australia tentang kemampuan kompetisi alga merah

Anotrichium tenue terhadap koloni karang masif Porites spp. menunjukkan bahwa,

sebagian besar jaringan karang hidup yang ditumbuhi oleh Anotrichium tenue mati dengan cepat. Umumnya, pola yang cukup seragam adalah Anotrichium tenue mengolonisasi jaringan karang hidup di perbatasan antara rangka karang yang mati dan alga. Jaringan karang yang terkolonisasi kemudian memutih dan pada akhirnya mati.

2.1.5 Bentuk Pertumbuhan Karang

Rangka karang membentuk hampir keseluruhan koloni dan dapat terdiri atas berbagai bentuk. Jaringan hidup karang yang sebenarnya hanyalah lapisan

(8)

tipis di permukaan. Pertumbuhan karang dapat berbentuk seperti piring

(plate-like), foliaceous (seperti daun), encrusting, massive, branching, columnar, dan free living (soliter) (Castro & Huber 2005). English et al. (1997) membagi bentuk

pertumbuhan karang batu (stony corals) atas karang Acropora dan

non-Acropora. Karang non-Acropora terdiri atas:

ƒ Karang bercabang (coral branching), bentuknya seperti ranting pohon ƒ Karang masif (coral massive), bentuknya seperti batu besar yang padat ƒ Karang mengerak (coral encrusting), berbentuk merayap, hampir seluruh

bagian koloni menempel pada substrat.

ƒ Karang sub-masif (coral submassive), berbentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil.

ƒ Karang lembaran (coral foliaceous), berbentuk seperti lembaran daun. ƒ Karang jamur (coral mushroom), berbentuk menyerupai jamur.

ƒ Karang api (Millepora), semua jenisnya dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa seperti terbakar jika tersentuh. ƒ Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dari warna biru pada skeletonnya.

Khusus untuk Acropora, bentuk percabangan dan bentuk radial koralit dibedakan menjadi: arboresen (arborescent), kapitosa (caepitose), kapito korimbosa (caepito-corymbosa), arboresen meja (arborescent table), sikat botol (bottle brush), korimbosa (corymbose), digitata (digitate), dan meja (table) (Suharsono 2008b).

2.1.6 Reproduksi Karang

Karang mempunyai bentuk reproduksi secara seksual dan aseksual. Reproduksi aseksual dapat berlangsung dengan fragmentasi dan pertunasan/ pembelahan polip (Richmond & Hunter 1990, in Rudi 2006). Reproduksi seksual menghasilkan larva planula yang berenang bebas, dan bila larva itu menetap di dasar (substrat keras) maka akan berkembang menjadi koloni baru. Kebanyakan karang mencapai dewasa secara seksual pada usia 7-10 tahun (Nybakken 1982). Untuk memungkinkan pelekatan larva planula dan pembentukan koloni baru, diperlukan substrat yang kuat dan bersih dari lumpur yang memungkinkan larva karang batu melekatkan diri (Sukarno 1983). Karang yang hidup di daerah tropis dapat bereproduksi sepanjang tahun, berbeda dengan karang di daerah subtropis yang organ reproduksinya dapat menghilang pada saat-saat tertentu (Suharsono 2008b).

(9)

Organ reproduksi karang berkembang di antara mesentri filamen. Karang yang hidup di daerah tropis organ reproduksinya dapat ditemukan sepanjang tahun karena siklus reproduksinya terjadi sepanjang tahun dengan puncak reproduksi dua kali dalam setahun (Suharsono 1996). Karang dapat bersifat gonokhoris maupun hermaprodit (dioecious), di mana dalam satu polip dapat ditemukan organ betina saja atau jantan saja atau kedua-duanya, namun karang hermaprodit jarang mempunyai tingkat pematangan seksual yang bersamaan (Suharsono 1996). Pembuahan umumnya terjadi di dalam ruang gastrovaskuler induk betina dan sperma yang dilepaskan ke dalam air akan masuk ke dalam ruang gastrovaskuler ini. Telur-telur yang telah dibuahi biasanya ditahan sampai perkembangannya mencapai stadium larva planula. Planula kemudian dilepaskan dan berenang dalam perairan terbuka untuk menetap dan memulai suatu koloni baru (Nybakken 1982).

Menurut Veron (1995), sebagian besar spesies karang akan melepaskan telur dan spermanya atau memijah (spawning) dibandingkan dengan cara mengerami larva (brooding). Karang yang memijah memiliki fekunditas yang tinggi, sedangkan yang mengerami larva menghasilkan larva dengan jumlah lebih sedikit, namun berukuran lebih besar dan berkembang lebih baik. Hasil pengamatan terhadap 210 spesies karang yang sudah dipelajari sifat reproduksinya menunjukkan bahwa sebagian besar atau 131 spesies bersifat

hermaprodit broadcast spawners, 11 spesies hermaprodit brooders, 37 spesies gonochoris broadcaster, dan 7 spesies gonochoris brooders (Richmond & Hunter

1990, in Rudi 2006). Sifat dan cara reproduksi secara umum adalah konservatif dalam spesies, genus, dan famili.

Sebagian besar spesies karang melakukan reproduksi seksual melalui pemijahan massal. Dalam selang waktu 24 jam, seluruh karang dari satu spesies atau bahkan satu genus dapat melepaskan telur dan spermanya pada saat bersamaan. Hal ini umumnya terjadi pada spesies-spesies dari genus

Montastrea, Montipora, Platygyra, Favia, dan Favites (Harrison & Wallace 1990, in Rudi 2006).

2.1.7 Rekrutmen dan Penempelan Karang

Rekrutmen juvenile karang (coral recruitment) dan kematian pasca penempelan (settlement) adalah proses yang penting dalam dinamika populasi karang dan ekologi komunitas terumbu (Smith 1992). Rekrutmen juga berperan

(10)

vital dalam distribusi dan kelimpahan spesies (Connel et al. 1997, in Soong et al. 2003). Proses menempelnya juvenil karang yang mengakhiri kehidupannya sebagai organisme planktonik pada substrat yang cocok untuk memulai fase hidup baru sebagai bagian dari komunitas di terumbu karang disebut dengan proses rekrutmen karang. Rekrutmen karang yang didefinisikan sebagai penempelan larva dan pertumbuhan ukuran yang dapat dilihat dengan mata telanjang, adalah proses penting dari dinamika populasi yang mendasari keberlanjutan eksistensi terumbu karang (Moulding 2005). Laju penempelan karang sering dipercepat oleh kehadiran alga berkapur mengerak (calcareous

encrusting algae), sedangkan pasir yang lembut, endapan dan lumpur cenderung

menghalangi penempelan karang batu (McManus 2001).

Kolonisasi merupakan salah satu proses penting dalam rekrutmen karang, yaitu proses juvenil karang mulai menempati suatu habitat untuk menjadi organisme bentik. Dua hal penting yang menentukan dalam proses ini adalah ketersediaan larva dan substrat tempat menempel yang sesuai. Proses identifikasi tempat yang sesuai untuk menempel oleh larva karang sangat dipengaruhi oleh kemampuan larva dalam pengenalan dan pencarian substrat (Richmond 1997, in Rudi 2006). Larva karang juga sensitif terhadap komposisi substrat, lingkungan sekitar, kondisi cahaya dan orientasi substrat (Soong 2003). Kepadatan dan komposisi dari karang rekrut juga berbeda antar musim dan antar tahun (Soong 2003). Pembentukan komunitas karang pada permukaan terumbu buatan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan yang optimal bagi kehidupan dan pertumbuhan hewan karang secara umum.

Efektivitas terumbu buatan sebagai media rekrutmen larva karang sangat dipengaruhi oleh material dasar penyusunnya, kondisi lingkungan perairan seperti arus, salinitas, sedimentasi, kecerahan, temperatur, DO, pH, BOD, COD dan adanya terumbu karang alami sebagai induk atau sumber larva karang (Reppie 2006). Pengamatan karang rekrut dengan diameter kurang dari 5 cm juga dilakukan oleh Moulding (2005) pada kedalaman 3-8 meter menggunakan transek kuadrat yang ditempatkan secara acak di upper keys, middle keys dan

lower keys of Florida. Karang rekrut dihitung, diukur dan diidentifikasi sampai

genus. Moulding (2005) menemukan 14 genera karang dari seluruh site dengan kelimpahan berkisar 5-13 genera per site. Kepadatan berkisar 6,29 ±1,92 sampai 39,08 ±4,53 rekrut per m2. Mayoritas karang rekrut adalah jenis karang batu

(11)

non-masif yang berkontribusi relatif kecil terhadap keseluruhan proses pembentukan terumbu, sedangkan jenis karang masif ditemukan lebih sedikit di upper keys dibandingkan dengan di middle dan lower keys (Moulding, 2005). Pola rekrutmen karang di upper keys berpotensi menghalangi kemampuan mereka untuk pulih dari tekanan dan gangguan (Moulding 2005).

Monitoring rekrutmen dan kelangsungan hidup juvenile karang oleh Smith (1992) di Bermuda dan sekitarnya menunjukkan bahwa Poritesastreoides, yang

bereproduksi dengan cara melepaskan brooded planulae, menjadi spesies rekrut dominan di semua lokasi. Hal ini karena planula tersebut dapat menetap (settle) pada substrat dengan cepat. Sementara, karang yang dominan di terumbu Bermuda, Diploria spp., hanya sedikit mendapat rekrut baru, diduga karena cara bereproduksi spesies ini mengeluarkan sperma/telur (broadcaster) (Smith 1992). Namun demikian, Diploria spp. memiliki laju kematian juvenile yang lebih rendah dibandingkan dengan P. astreoides (Smith 1992).

Karang yang memproduksi planula (brooding corals), terutama agaricidae menjadi karang rekrut yang dominan di terumbu Atlantik dibandingkan dengan laju rekrutmen yang tinggi dari acroporidae (spawner) di Pasifik. Kelompok yang disebut terakhir juga mengalami kematian pasca penemeplan yang tinggi dibandingkan dengan brooding corals baik di Atlantik maupun Pasifik (Smith 1992). Karang masif di kedua lautan umumnya memiliki laju rekrutmen yang rendah, terkait cara mereka bereproduksi dengan mengeluarkan telur, dan rendahnya laju kematian pasca settlement (Smith 1992).

Beberapa kriteria tempat yang cocok bagi penempelan larva karang adalah tipe substrat, pergerakan air, salinitas, ketersediaan cahaya, tingkat sedimentasi, dan tersedianya lapisan biologis atau spesies mikroalga tertentu. Langkah pemilihan substrat oleh larva planula yang siap menempel dimulai dengan kecenderungan untuk berenang menuju dasar untuk melakukan kontak dengan permukaan substrat keras yang sesuai atas dasar signal kimia yang mempengaruhi reseptor yang terletak di permukaan luar larva. Prosedur pencarian substrat yang cocok dapat dilakukan berulang-ulang sampai mendapatkan substrat yang benar-benar cocok, misalnya pada Pocillopora

damicornis (Harrison & Wallace 1990, in Rudi 2006). Jika substrat memiliki

tekstur yang baik/cocok dan dilingkupi oleh lapisan biologis, planula lalu akan membuat pelekatan dengan menggunakan aboralnya, kemudian mulai

(12)

melakukan kontak, melepaskan lapisan matriks organik dan diikuti dengan deposisi rangka karbonat (Richmond 1997, in Rudi 2006).

2.2 Terumbu Buatan (Artificial Reef)

Pencegahan dan mitigasi degradasi terumbu karang sesungguhnya lebih penting daripada membangun sebuah proyek restorasi terumbu karang, terlebih lagi proyek semacam ini membutuhkan biaya tinggi sehingga tidak dapat diaplikasikan pada area yang luas (Yeemin et al. 2006). Namun, mengingat proses pemulihan alami terumbu karang sangat lambat, maka diperlukan upaya-upaya rehabilitasi yang inovatif untuk mempercepat proses pemulihan (recovery) terumbu karang yang rusak. Berbagai hasil penelitian menyatakan bahwa terumbu buatan efektif sebagai tempat berlindung bagi ikan-ikan (artificial fish

shelter) sehingga banyak digunakan sebagai alat pengumpul ikan (fish aggregating device) oleh nelayan. Penggunaan substrat buatan untuk settlement

karang merupakan salah satu teknik dan metode untuk memanfaatkan larva planula alami dalam merestorasi terumbu karang (Yeemin 2006).

Menurut European Artificial Reef Research Network, terumbu buatan

adalah suatu struktur buatan manusia dari benda-benda keras yang sengaja ditempatkan di dasar perairan dengan meniru beberapa karakteristik terumbu karang alami (Pickering et al. 1998; Baine 2001), berfungsi sebagai habitat tempat berlindung, mencari makan dan berkembang biak bagi berbagai biota laut (Reppie 2006), dan perlindungan pantai (Hutomo 1991). Menurut Yeemin (2006), metode restorasi terumbu karang yang menggunakan substrat keras, seperti terumbu buatan, sebaiknya diaplikasikan pada area di mana ketersediaan larva baik tetapi habitat yang sesuai untuk settlement karang terbatas, dan terdapat hambatan untuk terjadinya rekrutmen alami. Kegiatan restorasi sebaiknya dilaksanakan pada daerah yang terlindung sehingga mudah dikontrol dan dikelola untuk kepentingan restorasi ekosistem, pendidikan, penelitian, dan ekowisata (Yeemin 2006).

Walaupun perkembangan awal komunitas bentik pada terumbu buatan telah secara intensif diteliti pada beberapa dekade terakhir, pengetahuan tentang tahap akhir perkembangan dari komunitas pada terumbu buatan masih kurang. Monitoring jangka panjang terhadap komunitas pada terumbu buatan sangat diperlukan untuk memahami proses-proses ekologisnya dan untuk mengevaluasi

(13)

kondisi mereka dan dampak yang mungkin terjadi pada lingkungan alami sekitarnya (Perkol-Finkel et al. 2006).

Menurut Ilyas (2000) keberhasilan dalam Penerapan teknologi terumbu karang buatan ditentukan oleh jenis dan bentuk material Terumbu Karang Buatan, kesesuaian parameter lingkungan perairan, dan terutama peruntukan program terumbu buatan itu sendiri. Hasil monitoring 1,5 tahun penenggelaman terumbu buatan beton di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa terumbu buatan sebagai habitat buatan memungkinkan untuk dapat menstimulasi pertumbuhan karang dan menyediakan habitat untuk ikan dan orgnisme akuatik lainnya. Alga berkapur, sponge, juvenile ikan karang, dan organism lain telah ditemukan di dalam dan disekitar terumbu buatan (Ilyas et al. 2003).

2.2.1 Perkembangan Terumbu Buatan

Sejarah terumbu buatan berasal dari Jepang pada abad XVIII. Berawal dari tingginya hasil tangkapan ikan di sekitar kapal tenggelam (Whitmarsh et al. 2008), para nelayan kemudian menenggelamkan rangka kayu pada kedalaman 36 m dengan beban pasir dan ternyata mendapatkan hasil yang juga tinggi (Wasilun et al. 1995, in Risamasu, 2000). Selanjutnya, terumbu buatan terus berkembang dan dalam kurun waktu 11 tahun (1976-1987), Pemerintah Jepang telah mengeluarkan dana sekitar 4,2 milyar US dolar untuk mengembangkan terumbu buatan di area seluas sekitar 9,3% wilayah paparannya atau 1 257 km2.

Di Malaysia perkembangan terumbu buatan dimulai sejak tahun 1976 dan dalam kurun waktu 12 tahun, antara tahun 1976 dan 1988, telah mengeluarkan dana sekitar 8.88 juta ringgit (Wasilun et al. 1995, in Risamasu 2000). Thailand mengembangkan terumbu buatan sejak tahun 1978, dan sampai 1991 pemerintah menyediakan dana sebesar 200 juta Baht (Wasilun et al. 1995, in Risamasu 2000). Sebagian besar teknik rehabilitasi seperti transplantasi karang atau penenggelaman struktur buatan, adalah padat karya, mahal dan seringkali kurang berhasil (Raymundo et al. 2007). Beberapa metode biayanya dapat mencapai 13 000 US dolar sampai lebih dari 100 juta US dolar per hektar.

Di Indonesia, perkembangan program terumbu buatan telah dimulai saat Pemda DKI Jakarta menenggelamkan ribuan becak hasil operasi penertiban ke Teluk Jakarta sebagai rumpon ikan pada tahun 1989. Pada awalnya hal ini merupakan solusi untuk menyingkirkan ribuan becak hasil sitaan yang menumpuk. Hingga akhir tahun 1989, sudah sekitar 60 ribu becak yang dijadikan

(14)

rumpon. Bila setiap becak dihargai 100 ribu rupiah (kenyataannya banyak yang berharga 200 ribu rupiah), berarti pembuatan rumpon becak di Teluk Jakarta sudah mencapai 6 milyar rupiah pada 1990 (www.majalah.tempointeraktif.com). Sejak tahun 2001 sampai 2008, Direktorat Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah menenggelamkan terumbu buatan beton dengan jumlah lebih dari 1 700 unit di 29 lokasi (kabupaten/kota) dengan jumlah anggaran diperkirakan lebih dari 5,3 milyar rupiah (Data diolah Dit. PPK-DKP 2008).

2.2.2 FungsiTerumbu Buatan

Terumbu buatan digunakan dalam manajemen pesisir dengan tujuan umumnya untuk meningkatkan produksi dan hasil perikanan (Jepang), selam rekreasi (USA), mencegah penggunaan trawl (Eropa), pemulihan efek

over-fishing (Hong Kong), budidaya laut, wisata dan konservasi sumberdaya (Baine

2001; Whitmarsh et al. 2008). Terumbu buatan memiliki beberapa fungsi, yaitu: 1) menyediakan substrat sebagai tempat organisme menempel, 2) meningkatkan kompleksitas habitat dengan menyediakan ruang vertikal tertentu, 3) mengubah pola arus dan gelombang (Mottet 1981). Menurut White et al. (1990), ada empat fungsi terumbu buatan yaitu: 1) mengumpulkan organisme laut (atraktan) untuk meningkatkan efisiensi penangkapan, 2) melindungi dan menyediakan area asuhan, 3) meningkatkan produktivitas alami dengan menyediakan habitat baru yang permanen bagi biota penempel (sessile), dan 4) menjaga keseimbangan siklus rantai makanan, menyediakan habitat dan simulasi karang alami untuk spesies tertentu. Terumbu buatan juga dapat meningkatkan keanekaragaman lokal dan ketersediaan ruang dengan menambah habitat asli, meningkatkan produksi dan memperkaya keragaman jenis (Perkol-Finkel & Benayahu 2004).

2.2.3 Struktur, Desain dan Material

Struktur terumbu buatan dapat dibagi menjadi tiga kategori fungsional yaitu: 1) blok substrat (substrate blocks), 2) struktur kamar (chamber blocks), dan 3) blok pemecah ombak (breakwater blocks). Material Beton (reinforced

concrete) merupakan material yang paling utama digunakan untuk konstruksi

terumbu buatan dalam bentuk kubus, blok dan pipa (Baine 2001), hal ini karena beton mudah untuk dibentuk, dapat disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan dan relatif murah. Desain dan ukuran terumbu buatan, terutama material beton dalam bentuk block sangat beragam di berbagai tempat di dunia, baik ditumpuk

(15)

berbentuk piramid maupun disebarkan secara terpisah pada fishing ground (Reppie 2006).

Metode yang digunakan dalam program restorasi terumbu karang sebaiknya sederhana, menggunakan material yang murah serta tersedia di daerah lokal (Yeemin 2006). Sejauh ini, material terumbu buatan yang paling disenangi adalah beton, termasuk kubus, balok dan pipa, dan kombinasinya dengan kapal (bekas), batuan galian dan ban (Baine 2001). Berdasarkan sejumlah uji coba terumbu buatan menunjukkan bahwa concrete tahan lama di laut, mudah dibentuk dalam berbagai spesifikasi, serta mempunyai perkembangan komunitas yang serupa dengan terumbu karang alami (Delmendo 1991; Omar et al. 1994). Tujuan pengembangannya adalah untuk recruitment dan survival dari juvenile (Spanier et al. 1990). Terumbu buatan beton berfungsi dengan baik sebagai habitat target spesies; tidak mengeluarkan racun dan aman bagi lingkungan; mudah dalam penanganan, transportasi dan penebaran di laut; stabil dan tidak mudah terbalik atau terseret gelombang dan arus (Reppie 2006).

Gambar 2 Contoh terumbu buatan beton yang ditenggelamkan di perairan Pulau Pramuka tahun 2001 (foto: Aziz 2010).

Desain terumbu buatan juga dapat dikombinasikan dengan metode transplantasi karang untuk meningkatkan pemulihan terumbu karang. Walaupun efektivitas transplantasi masih diperdepatkan, mahal dan jangkauannya terbatas, cara ini baik untuk memperbaiki kerusakan lokal yang spesifik, misalnya area kapal yang kandas, daripada sebagai cara untuk mitigasi dampak kejadian skala besar, seperti pemutihan karang massal (Grimsditch & Salm 2006). Jika benar-benar diperlukan karena terbatasnya rekrutmen alami dan tingginya variasi tahunan, transplantasi sebaiknya menggunakan karang masif yang tumbuh lambat daripada karang bercabang yang tumbuh cepat untuk sukses jangka

(16)

panjang yang lebih besar (Edwards & Clark 1999). Keberhasilan transplantasi sangat bergantung pada banyak faktor, seperti lokasi, kondisi lingkungan perairan lokal, kedalaman transplan, spesies karang, dan sejarah strategi hidupnya (Grimsditch & Salm 2006).

Transplantasi karang di beberapa negara, didasarkan pada alasan sebagai berikut: 1) mempercepat pemulihan terumbu karang (Indonesia, Filipina), 2) mengganti karang yang mati oleh limbah panas dan polutan lainnya (Guam), 3) melindungi komunitas karang dari jenis-jenis langka yang terancam oleh pencemaran, reklamasi pantai atau pembangunan dermaga (Singapura, Florida), 4) introduksi kembali spesies kedalam area yang sebelumnya tercemar (Hawaii), 5) mempercepat pemulihan karang akibat kapal kandas (Florida-Cayman islands), 6) meningkatkan daya tarik wisata (Gulf of Aqaba), 7) merehabilitasi terumbu yang rusak akibat wisatawan dan membuat terumbu buatan untuk penyelam (Eilat), 8) merehabilitasi terumbu karang akibat pemanasan El-Nino, blooming dinoflagellata, dan Crown-of-thorns (Costa Rica, Great Barrier Reef) (Edwards & Clark 1999).

Efektivitas terumbu buatan untuk meningkatkan produktivitas perairan sangat bergantung pada desain dan struktur terumbu, terutama apakah desain tersebut dapat memenuhi kebutuhan spesifik dari individu spesies target (Jensen & Collins 1996, in Reppie 2006). Desain terumbu yang sederhana di Jepang seperti bentuk kubus dan tube atau silinder disebut block (Grove et al. 1991, in Reppie 2006). Untuk tujuan mengumpulkan ikan, sebagai shelter ikan dan kerang serta mencegah illegal trawling, di laut Mediterranean, Italia, dan Perancis telah ditetapkan desain habitat buatan berukuran 1-2 m dari kubus beton berlubang sebagai pilihan bentuk, ukuran dan material terumbu buatan (Bombace 1989, in Reppie 2006). Desain terumbu bentuk blok sangat bervariasi, baik ditumpuk dalam bentuk piramida maupun disebarkan terpisah pada fishing

ground, atau menggunakan kombinasi keduanya.

2.2.4 Pembentukan Komunitas pada Terumbu Buatan

Suksesi merupakan kemampuan organisme laut (karang, ikan karang, non-ikan seperti moluska, krustasea, perifiton, makro algae, kerang dan biota air lainnya dalam membentuk komunitas baru (Kan et al. 1987, in Samidjan 2005). Pola suksesi dan struktur komunitas organisme laut seperti bakteri, larva karang, perifiton, makroalga dan biota penempel lainnya pada terumbu buatan, sangat ditentukan oleh suhu perairan, salinitas, oksigen terlarut, BOD, COD, nitrit, nitrat,

(17)

phospat, silikat dan unsur kimia lendir permukaan terumbu, serta pemangsaan (Samidjan 2005). Penempelan larva karang (planula) pada terumbu buatan diawali dengan proses suksesi pada permukaan terumbu buatan seperti penempelan bakteri, bahan organik dan zat terlarut dalam air (Samidjan 2005).

Bakteri sangat penting dalam mendegradasi bahan organik dan anorganik melalui proses diagenesis, yaitu proses perubahan kimia, biokimia dan fisika menjadi unsur kimia yang sederhana CO2 dan H2O dan unsur sederhana

lainnya (Gumbira et al. 1996, in Samidjan 2005). Kondisi ini merupakan awal terjadinya suksesi dalam kondisi yang stabil, diikuti munculnya coraline algae dan menempelnya larva planula karang yang diikuti oleh organisme air lainnya seperti perifiton dan makroalga. Alga berkapur (coraline algae) sangat penting bagi proses pertumbuhan karang karena akan bersimbiosis dengan karang (Austin 1988 in Samidjan 2005). Juvenil karang sangat membutuhkan unsur N, P, K, SiO2, C, Ca, terutama unsur SiO2 sangat dibutuhkan oleh larva planula

karang untuk menetap dalam bentuk juvenil karang (Samidjan 2005).

Gambar 3 Koloni karang rekrut pada terumbu buatan beton (foto: Aziz 2010). Ket.: kiri jenis Porites, kanan jenis Symphyllia.

2.3 Struktur Komunitas

Komunitas adalah kumpulan populasi atau spesies organisme yang hidup dan saling berinteraksi di dalam suatu habitat yang sama. Komunitas juga dapat berarti suatu kumpulan dari beberapa populasi yang berinteraksi dan membentuk suatu organisasi yang secara ekologis dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Kondisi komunitas karang yang terbentuk pada permukaan terumbu buatan beton dapat dilihat dari nilai-nilai indeks struktur komunitas yang meliputi Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman, dan Indeks Dominansi.

©AM. AZIZ, 2010 ©AM. AZIZ, 2010

(18)

Indeks Keanekaragaman menunjukkan ketidaktentuan yang terdapat pada spesies yang menggambarkan struktur komunitas. Semakin tinggi jumlah spesies, maka semakin tinggi ketidaktentuannya. Indeks Shanon (H’) adalah indeks keanekaragaman yang paling populer digunakan. Kriteria nilai dalam indeks ini dibagi menjadi 3, yaitu; H’<1, artinya keragaman jenis rendah, komunitas tidak stabil, tekanan lingkungan terhadap komunitas tinggi; 1<H’<3, artinya keragaman jenis sedang, komunitas cukup stabil, tekanan lingkungan terhadap komunitas sedang, dan daya dukung lingkungan terhadap komunitas cukup; dan jika H’>3, artinya keragaman jenis tinggi, komunitas stabil, kompetisi sangat rendah, daya dukung lingkungan terhadap komunitas sangat baik, dan terjadi keseimbangan ekosistem (Odum 1993). Secara umum, nilai indeks H’ dipengaruhi oleh jumlah spesies dan jumlah individu per spesies.

Indeks Keseragaman (Evenness) memiliki nilai yang berkisar 0-1, semakin mendekati angka 1 artinya suatu komunitas makin seragam. Nilai indeks keseragaman yang lebih besar dari 0,6 menunjukkan bahwa jumlah jenis dalam populasi besar (Krebs 1989, in Samidjan 2005). Kisaran yang digunakan untuk indeks keseragaman adalah: 0<E≤0,5 artinya komunitas tertekan; 0,5<E≤0,75 artinya komunitas labil; dan 0,75<E≤1,0 artinya komunitas stabil (Daget 1976). Tidak semua jenis organisme mempunyai peran yang sama pentingnya dalam komunitas. Indeks Dominansi menunjukkan adanya satu atau lebih spesies yang mempunyai peranan yang jauh lebih besar terhadap komunitas dan lingkungan. Nilai Indeks Dominansi Simpson (D) berkisar 0-1, semakin mendekati 1 artinya semakin besar peranan/dominasi suatu jenis dalam komunitas (Odum 1993).

2.4 Hasil-hasil Penelitian tentang Terumbu Buatan

Pemahaman tentang bagaimana material substrat terumbu buatan atau pemecah gelombang mempengaruhi perkembangan pembentukan organisme bentik masih terbatas (Burt et al. 2009). Dengan menggunakan keramik ukuran standar dari material yang biasa digunakan untuk konstruksi pemecah gelombang (breakwater) dan terumbu buatan, yaitu beton, gabbro, granit, dan batu pasir (sandstone), Burt et al. melakukan penelitian di dua breakwaters (DDD, PRT) dan dua terumbu alami (NR1, NR2) di Dubai, Uni Emirat Arab. Rekrutmen karang tertinggi terdapat di DDD (4,9±0,5 rekrut 100 cm-2), sedangkan di lokasi lainnya rendah dan tidak berbeda antar lokasi (PRT=

(19)

0,1±0,04; NR1=0,3±0,1; NR2=0,1±0,03 rekrut 100 cm-2) (Burt et al. 2009). Secara keseluruhan, struktur komunitas bentik lebih dicirikan oleh perbedaan antar lokasi daripada perbedaan material substrat. Hasil ini mengindikasikan bahwa perbedaan spesifik lokasi (site-specific) dalam pola rekrutmen lebih penting dalam menentukan tahap awal struktur komunitas bentik daripada perbedaan antar material substrat (Burt et al. 2009).

Kajian tentang komposisi dan laju rekrutmen karang serta variasi spasial dan temporalnya di Teluk Thailand oleh Yeemin (2000) menyimpulkan bahwa tingkat keragaman dan densitas spesies juvenil koloni karang rendah. Rekrut karang pada substrat penempelan kebanyakan dari spesies Pocillopora

damicornis. Beberapa karang yang kelimpahannya tinggi dengan tutupan karang

besar hanya sedikit jumlah koloni juvenilnya yang ditemukan. Faktor yang paling penting dalam mengontrol pola distribusi dan laju kematian koloni juvenil adalah posisi substrat yang tersedia, sedimen, aktivitas grazing bulu babi (Diadema

setosum) dan daerah teritorial ikan karang Pomacentridae (damselfish).

Hasil studi rekrutmen karang scleractinia pada substrat penempelan di Pulau Heron, Great Barrier Reef selama 4 tahun menunjukkan bahwa rekrutmen didominasi oleh karang Pocilloporidae yaitu sebanyak 8 627 rekrut (80,10%), sedangkan karang Acroporidae non-Isopora 16,40%. Karang Poritidae, Favidae, dan Acroporidae Isopora hanya 3,50%, walaupun cukup melimpah sebagai organisme dewasa di terumbu karang (Dunstant & Johnson 1998, in Rudi 2006). Penelitian pola rekrutmen karang scleractinia di Gneering Shoals di bagian Selatan GBR, Australia oleh Banks dan Harriot (1996), diacu dalam Rudi (2006) menemukan bahwa rekrutmen pada musim panas didominasi oleh Famili Acroporidae, sedangkan Famili Pocilloporidae didapatkan sepanjang tahun. Benfield et al. (2008) membandingkan ikan karang dari dua habitat yaitu

terumbu karang dan substrat berbatu dengan koloni karang di Kepulauan Las Perlas Panama. Mereka menggunakan survei AGRRA (Atlantic and Gulf Rapid

Reef Assessment) yang dimodifikasi dan transek kuadrat untuk menentukan

komposisi substrat dasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan dari substrat berbatu dengan koloni karang lebih beragam dan kaya akan spesies secara nyata daripada ikan dari terumbu karang (Benfield et al. 2008). Kedua habitat memiliki spesies dan ukuran komposisi yang berbeda secara nyata, tetapi memiliki kelompok famili dan trofik yang tumpang tindih (overlapped). Topografi, pencahayaan, dan persen tutupan karang masif dan bercabang berkorelasi

(20)

secara signifikan terhadap perbedaan dalam parameter ikan (Benfield et al. 2008). Kelimpahan ikan terumbu di daerah ini tampaknya lebih ditentukan oleh adanya struktur yang lebih besar yang membedakan kedua habitat, daripada struktur skala kecil yang beragam dalam habitat (Benfield et al. 2008).

Penelitian rekrutmen karang menggunakan substrat buatan dari bahan semen, keramik, dan besi selama 5 bulan pengamatan (Juni-November 1996) di Pulau Sikuwai, Teluk Bungus, Kota Padang mendapatkan 108 koloni rekrut karang yang terdiri atas 59 koloni pada semen, 29 koloni pada keramik, dan 20 koloni pada besi. Rekrutmen karang terbanyak terjadi pada bulan September dengan kelimpahan tertinggi 0,41 koloni/m2/bulan untuk genus Pocillopora (Abrar 1999, in Rudi 2006). Hal ini menunjukkan bahwa substrat semen paling cocok bagi penempelan larva karang. Hasil penelitian Bachtiar (2000), diacu dalam Rudi (2006) di Gili Indah, Lombok NTB menemukan bahwa rekrut karang terbanyak dari Famili Acroporidae, diikuti Pocilloporidae, dan Poritidae, sementara penelitian oleh Samidjan (2005) menunjukkan bahwa Famili Pocilloporidae adalah yang dominan ditemukan pada substrat terumbu buatan beton.

Terdapat perbedaan yang signifikan diantara karang-karang dari Famili Pocilloporidae dan Acroporidae dalam mengolonisasi suatu substrat yang baru. Hal ini terutama berhubungan dengan komposisi lapisan biologis pada substrat penempelan. Spesies Acropora palifera (Famili Acroporidae) hanya akan mampu bermetamorfosis jika pada substrat terdapat populasi crustose coralline algae (CCA), sedangkan spesies Stylophora pistillata (Famili Pocilloporidae) akan mampu menempel dan bermetamorfosis dengan ada atau tidak adanya populasi CCA tersebut pada substrat (Morse et al. 1996, in Rudi 2006; Baird & Morse 2004, in Rudi 2006).

Hasil monitoring rekrutmen karang pada terumbu buatan beton di Pulau Pramuka yang ditenggelamkan pada kedalaman 3-10 meter sejak tahun 2001 menunjukkan bahwa terumbu buatan beton telah ditempeli berbagai organisme seperti karang, alga, sponge, moluska, gorgonian, bulu babi, dan karang lunak (soft coral). Jumlah koloni karang rekrut pada 13 unit terumbu buatan yang diamati mencapai 534 koloni dari atas 34 spesies dari 8 famili. Kelimpahan famili karang yang menempel pada terumbu buatan yaitu: Poritidae 203 koloni (38%), Faviidae 128 koloni (24%), Pocilloporidae 113 koloni (21,20%), Acroporidae 80 koloni (15%), Fungidae 5 koloni (0,90%), Merulinidae dan Mussidae 2 koloni

(21)

(0,40%), dan Agaricidae 1 koloni (0,20%). Selama hampir 6 tahun (2001-2007) jumlah koloni karang rekrut pada terumbu buatan yang berukuran 1x1x1 meter di Pulau Pramuka berkisar 25-70 koloni dari berbagai ukuran berkisar 1-40 cm (Dit. PPK-DKP 2007). Tingginya kelimpahan karang famili Poritidae ini sejalan dengan pernyataan Suharsono (1998) bahwa terumbu karang Indonesia didominasi oleh karang dari marga Acropora, Montipora dan Porites dalam hal persentase tutupan karang hidup di perairan dan jumlah kekayaan jenisnya.

2.5 Stabilitas Substrat

Stabilitas substrat merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam rehabilitasi karang menggunakan terumbu buatan. Pengukuran komposisi diameter substrat dilakukan untuk mengetahui apakah di suatu lokasi memang diperlukan adanya penempatan substrat buatan (terumbu buatan beton) untuk mempercepat settlement karang (McCook L 1 April 2010, komunikasi pribadi).

Praktek penangkapan ikan dengan bahan peledak (blast fishing) adalah penyebab utama kerusakan terumbu karang di Indo-Pasifik dan sepanjang Asia Tenggara. Akibatnya, karang yang terpecah-pecah tidak dapat bertahan hidup sehingga menciptakan ladang rubble yang tidak stabil untuk rekrutmen. Pecahan karang tersebut akan menetap, kehilangan kompleksitas topografi, rekrutmen, dan habitat ikan, serta menurunkan fungsi terumbu secara drastis (Raymundo et

al. 2007). Di Filipina, banyak ladang rubble menunjukkan hampir tidak ada

tutupan karang keras 20-30 tahun pasca pemboman (Raymundo 2007). Pergerakan substrat dasar di terumbu karang dipengaruhi oleh gelombang pasang surut dan ukuran sedimen. Gelombang merupakan kekuatan penggerak (driving forces) dari hampir semua proses di pesisir (Pethick 1984). Interaksi antara gelombang dan butiran sedimen akan menentukan laju sedimentasi dan stabilitas substrat. Partikel dengan diameter < 0,2 mm, terlalu kecil untuk terbawa oleh pergerakan air sepanjang dasar perairan, tetapi akan tersapu kedalam aliran dan bertahan dalam bentuk suspensi (Pethick 1984). Butiran sedimen dengan diameter 2 mm memiliki kecepatan mengendap (settling

velocity) sebesar 240 cm/s di air pada suhu 25 oC, sementara substrat dengan diameter 0,2 mm kecepatan mengendapnya 2,4 cm/s (Pethick 1984). Hal ini berarti semakin besar diameter substrat, maka semakin stabil dasar perairan.

(22)

Pulau Pramuka merupakan salah satu dari 13 pulau kecil di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dengan luas 16 hektar yang sejak tahun 2003 menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Berbagai kajian saat ini mengindikasikan bahwa bermacam bentuk gangguan manusia telah mempengaruhi terumbu karang di Kepulauan Seribu (Rachello-Dolmen & Cleary 2007). Aktivitas ekonomi yang tinggi di kepulauan ini telah menyebabkan kerusakan terumbu karang secara luas. Kegiatan perikanan menggunakan bom (blast fishing), sianida, dan muroami menyebabkan karang hancur, mati, dan menjadi patahan karang (Sukarno et al. 1983; Madduppa 2006). Kegiatan wisata dan jangkar kapal menyebabkan karang patah dan rusak, kegiatan penambangan karang, kima dan pasir laut juga menyebabkan kerusakan dan kematian karang, bahkan hilangnya pulau-pulau (Sukarno et al. 1983; Sukarno 1996, in Madduppa 2006). Pencemaran akibat eksplorasi minyak, sedimentasi dan sampah juga menyebabkan kematian pada karang (Sukarno 1996, in Madduppa 2006; Supriharyono 2000). Kerusakan pada sistem lingkungan laut di Kepulauan Seribu, pada gilirannya akan mempengaruhi karakteristik jenis karang untuk membedakan komposisi spesies lokal (Rachello-Dolmen & Cleary 2007).

Sebagai suatu upaya untuk mencegah kerusakan yang lebih luas, serta melindungi ekosistem terumbu karang yang masih baik, di Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu telah dibentuk Area Perlindungan Laut (APL) yang salah satu wilayahnya meliputi Gosong Pramuka dan perairan di sekitarnya. Daerah Perlindungan Laut merupakan strategi pengelolaan yang paling berkembang secara luas digunakan untuk meningkatkan resiliensi ekosistem pesisir dan melindungi terumbu karang dari gangguan manusia (Grimsditch & Salm 2006). Menurut IUCN, Marine Protected Areas (Daerah Perlindungan Laut) didefinisikan sebagai suatu area di wilayah intertidal atau subtidal, bersama dengan perairan di atasnya dan flora dan fauna yang berasosiasi di dalamnya, serta bukti peninggalan sejarah dan budaya, yang telah dilindungi dengan hukum atau cara lain yang efektif untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan tersebut (IUCN 1999, in Grimsditch & Salm 2006). Daerah Perlindungan Laut (DPL) merupakan salah satu alat yang paling efektif untuk mengkonservasi terumbu karang dan sistem laut yang terkait (Salm et al. 2006).

Tujuan umum dari DPL baik untuk kepentingan ilmiah, ekonomi budaya/etis adalah: 1) memelihara keanekaragaman genetik/jenis; 2)

(23)

memajukan penelitian; 3) menciptakan area pendidikan dan pelatihan; 4) mengkonservasi habitat dan biota; 5) memungkinkan monitoring garis dasar; 6) melindungi spesies langka/penting (sasaran ilmiah); 7) memajukan pariwisata dan rekreasi; 8) mendorong pembangunan berkelanjutan; 9) rekolonisasi area pasca pemanfaatan; 10) melindungi garis pantai; 11) memungkinkan pembangunan ekonomi alternatif (sasaran ekonomi); 12) memelihara nilai-nilai estetis; 13) melindungi situs sejarah/budaya; 14) penggunaan pengaruh politik atau tuntutan hukum; dan 15) melindungi nilai hakiki dan/atau sesungguhnya dari suatu area (budaya dan etis) (Agardy 1997).

Daerah Perlindungan Laut merupakan salah satu bentuk awal kawasan konservasi laut yang proses pembentukannya dimulai dari tingkat lokal (Dermawan & Suraji 2006), misalnya pembentukan Area Perlindungan Laut (APL) di perairan Pulau Pramuka. Kawasan konservasi laut yang areanya berada di tingkat kabupaten disebut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Pendirian DPL adalah bagian penting dari pendekatan kemasyarakatan untuk mengkonservasi terumbu karang (Salm et al. 2006). Namun, seringkali pembentukan DPL berpusat pada sekedar melindungi sebagian target dari habitat-habitat kunci (Sale et al. 2005, in Botsford et al. 2009), daripada pengaruh DPL terhadap dinamika metapopulasi (Kritzer & Sale 2006). DPL seringkali juga kekurangan batasan-batasan fungsional sehingga kendali perkembangannya sulit diimplementasikan (Boersma & Parrish 1999, in Brown et

al. 2001). Upaya pengelolaan kawasan konservasi mencakup berbagai kegiatan

seperti: 1) pengembangan data dan Informasi, 2) pengelolaan batas dan zonasi, 3) pengelolaan sumberdaya hayati, 4) pengelolaan sarana dan prasarana, 5) pengelolaan pariwisata, pendidikan dan penelitian, 6) pengendalian, monitoring dan pengawasan, 7) penyadaran dan pemberdayaan masyarakat, 8) penguatan kapasitas dan sumberdaya manusia, dan 9) pengembangan jaringan kerjasama dan kemitraan (Dermawan & Suraji 2006).

Untuk melindungi spesies penting atau ekosistem, idealnya DPL juga berperan sebagai sumber propagule dan ditempatkan di mana mereka dapat menerima pemasukan larva supaya spesies penyangga dapat melawan kepunahan lokal dan memungkinkan percampuran genetik (Bell 2008). Pulau DPL (island MPAs) terbukti dapat melindungi keanekaragaman secara efektif dan dapat melokalisir keuntungan perikanan, namun kontribusi mereka terhadap ekspor larva dan keterkaitan dengan area daratan utama (mainland) masih

(24)

banyak yang belum diketahui (Bell 2008). Karakteristik pulau DPL memungkinkan pengelolaan yang lebih efektif dibandingkan dengan area terbuka di laut, karena batas-batasnya lebih mudah didefinisikan. Namun, hal ini dapat membuat populasi dalam DPL tersebut lebih rentan terhadap perubahan lingkungan (Hanski 2001, in Bell 2008), kepunahan, dan berpotensi perkawinan tertutup (inbreeding) jika ukuran efektif populasi kecil, hal ini karena pemasukan larva/dewasa menjadi rendah.

Untuk mencapai sasaran DPL, perlu ditetapkan tujuan yang spesifik dan terukur terkait dengan keluaran dan hasil apa yang dicari, pemantauan dan evaluasi dari dampak kegiatan pengelolaan, dan umpan balik untuk meninjau kembali tujuan, perencanaan, dan hasil. Dengan kata lain, DPL perlu dikelola secara adaptif (adaptively managed) (Pomeroy et al. 2004). Hasil manajemen adaptif dalam konteks daerah perlindungan adalah memperbaiki efektivitas dan meningkatkan kemajuan ke arah pencapaian tujuan dan sasaran (Pomeroy et al. 2004). Efektivitas manajemen adalah tingkat di mana tindakan manajemen mencapai sasaran dan tujuan dari daerah perlindungan. Hal ini memperbolehkan adanya perbaikan manajemen daerah perlindungan melalui pembelajaran, adaptasi, dan pengenalan isu-isu khusus yang mempengaruhi sasaran dan tujuan yang telah dicapai. Idealnya, DPL sebaiknya berisi koloni-koloni karang yang kuat bertahan dan besar yang memproduksi larva yang sehat dalam jumlah besar dan menunjukkan keragaman yang tinggi dengan hadirnya jenis-jenis yang lambat dan cepat tumbuh (Grimsditch & Salm 2006).

Gambar

Gambar 2  Contoh terumbu buatan beton yang ditenggelamkan di perairan Pulau  Pramuka tahun 2001 (foto: Aziz 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah grafik fungsi kuadrat berupa

Rumah adalah suatu bangunan yang dihuni oleh manusia dan di dalamnya mereka dapat melakukan aktifitas untuk memenuhi kebutuhan hidup. Rumah merupakan sebuah

Analisis data hasil pengukuran menunjukkan bahwa peserta didik di Madrasah Tsanawiyah kode S mempunyai sikap-sikap spiritual yang unggul pada aspek beriman kepada Allah

MAHASISWA DALAM PENGISIAN KRS HARUS MENGISI KELAS SUPAYA NAMANYA TERCANTUM DALAM DAFTAR ABSEN KULIAH MAUPUN DAFTAR ABSEN

Tata kerja kelompok ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aturan besar kelompok SHK Lestari Muara Tiga sebagai acuan atau landasan pelaksanaan kerja kelompok dalam

Pemberian perasan daun pepaya disetiap konsentrasi tidak berbeda nyata.Rata-rata peningkatan kadar hemoglobin tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol pembanding

Karies gigi di rongga mulut biasanya dikaitkan dengan dampak negatif terhadap kualitas hidup anak prasekolah karena mereka akan mengalami nyeri, terjadinya infeksi yang

SIMPUS sebagai sistem pengelolaan data berbasis tehnologi yang digunakan Puskesmas Sawangan telah membantu sistem kerja Puskesmas dalam pengolahan, akses dan trasfer