• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Biologi karang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Biologi karang"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Terumbu Karang 2.1.1 Biologi karang

Terumbu karang merupakan endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh hewan karang dengan tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang dapat mensekresi kalsium karbonat (Nybakken, 1988). Sedangkan menurut Odum (1971), terumbu karang adalah sebagai bagian ekosistem yang dibangun oleh sejumlah biota, baik hewan maupun tumbuhan yang secara terus-menerus mengikat ion kalsium dan karbonat dari air laut yang menghasilkan kapur, kemudian secara keseluruhan tergabung membentuk suatu terumbu atau bangunan dasar kapur.

Menurut Veron (1986), karang dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu karang hermatipik (karang yang dapat membentuk terumbu) dan karang ahermatipik (karang yang tidak dapat membentuk terumbu). Karang hermatipik dalam prosesnya bersimbiosis dengan alga zooxanthellae dan membutuhkan cahaya matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian dikenal sebagai reef building corals, sedangkan karang ahermatipik tidak dapat membentuk bangunan kapur sehingga dikenal sebagai non-reef building corals, yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada cahaya matahari.

Karang batu atau karang keras merupakan anggota Filum Cnidaria, Kelas Anthozoa dengan ciri utama adalah siklus hidupnya hanya mempunyai stadium polip berbentuk seperti bunga. Kelas Anthozoa terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia dan Octocorallia, keduanya dibedakan oleh sistem morfologi dan fisiologi. Konstruksi terumbu karang pada umumnya dibentuk oleh hewan karang pembangun terumbu atau disebut juga dengan karang hermatipik yang mampu membentuk membentuk kerangka kapur (aragonite) yang masif. Kelompok karang hermatipik pada umumnya adalah anggota Ordo Skleraktinia dari Subkelas Hexacorallia yang merupakan karang batu yang sebenarnya. Dua spesies dari karang hermatipik adalah anggota Ordo Octocorallia (Tubipora musica dan Heliopora coerulea) serta beberapa spesies dari kelas Hydrozoa. Kelompok

(2)

karang hermatipik mempunyai alga simbion berupa zooxanthellae yang berperan mempercepat proses terjadinya kalsifikasi yang kemudian memungkinkan bagi karang untuk membentuk koloni-koloni karang yang masif (Sorokin, 1993).

Sorikin (1993) membagi terumbu karang ke dalam empat kelompok, pengelompokan dilakukan berdasarkan fungsinya dalam membangun terumbu atau tidak (hermatype-ahermatype) serta ada atau tidaknya alga simbion di dalam jaringannya (symbiotic-asymbiotic). Keempat kelompok karang tersebut adalah sebagai berikut:

1) Hermatypes-symbionts. Kelompok ini merupakan hewan karang pembangun terumbu karang dan mempunyai alga simbion, terdiri dari karang-karang yang sebagian besar anggota Skleraktinia, Octocorallia dan Hydrocorallia.

2) Hermatypes-asymbionts. Kelompok ini merupakan karang dengan pertumbuhan lambat yang dapat membentuk kerangka kapur masif tanpa bantuan zooxanthella, mampu bertahan hidup di perairan yang tidak ada cahaya. Kelompok ini terdiri dari Tubastrea dan Dendrophylliaserta Hydrocorallia spesies Stylaster rosacea.

3) Ahermatypes-symbionts. Kelompok ini terdiri dari genus Heteropsammiadan Diaseris (Skleraktinia: Fungidae) dan Leptoseries (Agaricidae) yang hidup dalam bentuk polip tunggal kecil atau koloni kecil sehingga tidak termasuk dalam pembangun terumbu. Kelompok ini juga terdiri dari Ordo Alcyonacea (soft coral) dan Gorgonacea yang mempunyai alga simbion namun bukan pembangun koloni kerangka kapur masif.

4) Ahermatypes-asymbionts. Salah satu anggota kelompok ini adalah anggota Ordo Anthipatharia dan Corallimorpha (Subkelas Hexacorallia) dan Subkelas Octocorallia asimbiotik.

Polip karang memiliki tiga lapisan tubuh yaitu ektodermis, mesoglea dan endodermis. Ektodermis merupakan bagian terluar dari polip karang, dibagian ini terdapat mulut yang sama peranannya sebagai anus. Tentakel yang berada disekitar mulut memiliki sel mukus dan nematokis yang berperan dalam

(3)

menangkap mangsa. Makanan yang masuk akan dicerna dengan menggunakan filament mesentery, kemudian sisa metabolisme akan dikeluarkan melalui mulut yang juga berfungsi sebagai anus. Mesoglea merupakan jaringan penghubung antara bagian luar (ektodermis) dan dalam (endodermis/gastrodermis) pada polip karang. Jaringan ini terdiri atas sel-sel, serta kolagen dan mukopolisakarida. Pada sebagian besar karang, epidermis akan menghasilkan material guna membentuk rangka luar karang (kalsium karbonat). Pada bagian dalam polip karang, endodermis atau yang lebih dikenal dengan gastrodermis merupakan tempat tinggalnya alga zooxanthellae.

Polip karang disokong oleh kerangka kapur yang berperan sebagai pendukung tegaknya seluruh jaringan. Kerangka kapur ini berupa lempengan-lempengan yang tersusun radial dan berdiri tegak pada lempengan-lempengan dasar, lempengan yang berdiri disebut septa yang tersusun dari bahan organik dan kapur hasil sekresi polip karang. Struktur polip karang disajikan pada Gambar 1. Pada umumnya hewan karang hidup menetap, kecuali pada masa larva merupakan plankton.

(4)

2.1.2 Reproduksi karang

Suharsono (1994) menyatakan bahwa karang merupakan kelompok organisme yang sudah mempunyai sistem saraf, jaringan otot dan reproduksi sederhana, akan tetapi telah berkembang dan berfungsi secara baik. Organ-organ reproduksi karang berkembang diantara mesenteri filamen dan pada saat-saat tertentu organ tersebut terlihat nyata, terutama untuk jenis-jenis karang di wilayah tropis. Hewan karang dapat bereproduksi secara seksual maupun aseksual, siklus reproduksi karang disajikan pada Gambar 2.

Reproduksi aseksual dapat berlangsung dengan cara fragmentasi, pelepasan polip dari skeleton dan reproduksi aseksual larva. Kecuali reproduksi aseksual, larva produk dari yang lainnya menghasilkan pembatasan secara geografis terhadap asal-usul terumbu karang dan sepanjang pembentukan dan pertumbuhan koloni dapat melangsungkan reproduksi seksual (Rudi, 2006). Pada reproduksi secara seksual, gemetogenesis akan berlangsung di dalam gonad yang tertanam dalam mesenterium. Peristiwa tersebut dapat berlangsung secara tahunan, namun dapat juga musiman, bulanan atau tidak menentu. Reproduksi seksual pada karang meliputi proses gametogenesis yang membutuhkan waktu beberapa minggu untuk pembentukan sperma dan beberapa bulan untuk membentuk sel telur (Rudi, 2006).

(5)

Cara dan pola reproduksi, perkembangan gonad (gametogenesis), serta waktu dan puncak reproduksi sangat ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan (Rani, 2002). Faktor lingkungan yang mengendalikan reproduksi karang adalah suhu perairan, pencahayaan, fase bulan dan pasang surut (Harrison dan Wallace, 1990). Menurut Bachtiar (2001) dua jenis karang Acropora melakukan pemijahan pada Bulan Februari setelah bulan purnama.

Fertilisasi secara genetik sangat unik, menghasilkan larva planula sebagai plankton dan kemudian akan melekat pada substrat dan memulai kehidupan sebagai organisme bentik dengan bermetamorfosis dan berkembang menjadi polip-polip utama. Sementara itu, reproduksi aseksual juga umum ditemukan pada karang Skleraktinia yang dapat terjadi melalui fragmentasi, pembelahan polip atau menghasilkan planula secara aseksual (Rudi, 2006). Menurut Richmond dan Hunter (1990) proses reproduksi aseksual melalui fragmentasi memiliki beberapa keuntungan, yaitu memiliki larva dengan ukuran besar dan memiliki genotipe yang telah teradaptasi dengan baik.

Tipe seksualitas karang dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu gonokhorik (hanya memproduksi satu jenis gamet, jantan atau betina) dan hermaprodit (mampu menghasilkan gamet jantan dan gamet betina). Menurut Harrison dan Wallace (1990); Richmond (1997) tipe hermaprodit dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu (1) hermaprodit simultan, satu individu menghasilkan sel telur dan sel sperma dalam waktu yang bersmaan; (2) hermaprodit sekuensial. Dibedakan menjadi dua jenis, yaitu protandri (pada awalnya berperan sebagai jantan, kemudian berubah menjadi betina) dan protogini (pada awalnya berperan sebagai betina, kemudian berubah menjadi jantan).

Cara reproduksi karang menurut Veron (1986), Harrison & Wallace (1990), Richmond & Hunter (1990), Richmond (1997), dan McGuine (1998) in Rani (2002), dapat dibedakan menjadi:

1. Broadcast spawning (memijah): spesies yang melepaskan gametnya (telur dan sperma) ke dalam kolom air, dan selanjutnya terjadi fertilisasi eksternal dan kemudian terjadi perkembangan embrio.

(6)

2. Brooding (mengerami): spesies dengan telur yang dibuahi secara internal, dengan perkembangan embrio sampai fase planula berlangsung dalam polip karang. Proses pelepasan planula yang telah berkembang secara penuh dari polip dikenal dengan istilah planulasi.

Planula yang dilepaskan dari karang brooding langsung memiliki kemampuan untuk dapat melekat dan bermetamorfosis. Larva hasil pengeraman secara umum berukuran lebih besar daripada larva yang dihasilkan melalui spawning, dan pada karang hermatipik larva dilengkapi dengan zooxanthellae yang berasal dari koloni induk. Hal ini menjelaskan bahwa zooxanthellae memberi kontribusi metabolisme terhadap larva, yaitu sebagai sumber energi tambahan untuk penyebaran jarak jauh (Richmond, 1987 in Rani, 2002).

2.1.3 Faktor-faktor pembatas terumbu karang

Pertumbuhan karang pembentuk terumbu sangat tergantung pada kondisi lingkungan yang ada disekitarnya. Cahaya matahari, suhu, salinitas, sirkulasi massa air dan arus serta sedimentasi merupakan faktor fisika-kimia perairan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan karang.

Nybakken (1988) menyatakan bahwa cahaya merupakan salah satu faktor pembatas yang penting dalam penyebaran terumbu karang. Cahaya yang cukup harus tersedia agar fotosintesis zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang dapat terlaksana. Proses fotosintesis tersebut menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida. Kondisi ini menyebabkan distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar yang masuk.

Menurut Nybakken (1988), perkembangan terumbu karang yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23-25 oC. Terumbu karang memiliki kisaran toleransi terhadap suhu antara 36-40oC. Suhu paling baik bagi pertumbuhan karang berkisar antara 25-30 oC (Sukarno et al, 1983). Perubahan suhu yang drastis dapat mengakibatkan bleaching karena kehilangan zooxanthellaedari jaringan karang yang dapat mematikan hewan karang tersebut.

(7)

Terumbu karang dapat bertahan sampai suhu minimum 15 oC dan maksimum 36 o

C. Suhu juga dapat mempengaruhi tingkah laku makan pada karang.

Karang hermatipik adalah organisme laut sejati dan tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas air laut, yaitu 32-35‰ (Nybakken, 1988). Menurut Birkeland (1997) terumbu karang berkembang dengan baik pada salinitas air laut mendekati 35‰, namun kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti pemasukan air tawar. Nybakken (1988) mengutarakan perairan yang menerima pasokan air tawar dari sungai secara terus menerus maka daerah tersebut tidak akan terdapat terumbu karang. Hal yang sama juga diutarakan oleh McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran air dari darat dapat membunuh terumbu karang melalui sedimentasi dan penurunan salinitas air laut.

Arus berperan penting dalam transportasi makanan, larva dan dapat membersihkan karang dari endapan sedimen. Arus memiliki pengaruh yang besar terhadap taksonomi dan morfologi dari ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu, pertumbuhan karang pada daerah berarus akan lebih baik dibanding perairan yang tenang. Arus diperlukan untuk ketersediaan aliran makanan dan oksigen serta membersihkan polip karang dari partikel-partikel yang menempel (Sukarno et al. 1983).

2.2 Kalsifikasi Karang

Kalsifikasi adalah proses yang menghasilkan kapur dan pembentukan rangka kapur. Syarat terjadinya reaksi pembentukan kapur adalah tersedianya ion kalsium dan ion karbonat. Ion kalsium yang tersedia di perairan berasal dari daratan melalui proses pengikisan batuan, sedangkan ion karbonat berasal dari pemecahan asam karbonat (Timotius, 2003 in Zamani, 2007).

Menurut Suharsono (1984), bahan utama yang digunakan untuk kalsifikasi adalah hasil metabolisme yang disekresikan oleh zooxanthellae, yang memungkinkan karang untuk mengikat kalsium (Ca2+) dari air laut. Pembentukan kalsium karbonat tergantung kepada kecepatan pemindahan asam karbonat pada proses kalsifikasi. Pemindahan asam karbonat dilakukan melalui proses fiksasi

(8)

karbon dioksida oleh zooxanthellae pada saat proses fotosintesis. Asam karbonat (H2CO3) berubah menjadi ion hidrogen (H+) dan karbonat (HCO3-) yang dapat berubah menjadi H2O dan CO2. Molekul 2HCO3- dalam kolom perairan tidak stabil, sehingga akan melakukan reaksi dengan mengikat kalsium dan membentuk Ca(HCO3)2 yang berada dalam keadaan stabil. Apabila reaksi ini berlangsung cepat, maka keseimbangan reaksi akan bergeser ke kanan dan menghasilkan CaCO3 + H2CO3. Berikut ini adalah reaksi kimia proses kalsifikasi atau pembentukan kalsium karbonat.

Kalsium karbonat atau CaCO3 yang terbentuk akan membentuk endapan menjadi rangka bagi hewan karang, CO2 akan digunakan zooxanthellae untuk proses fotosintesis. Peranan zooxanthellae sangat besar dalam proses kalsifikasi, sehingga kecepatan kalsifikasi bervariasi berdasarkan tingkat kedalaman.

2.3 Artificial Reef

Artificial reef atau terumbu buatan merupakan suatu kerangka atau bangunan fisik yang sengaja ditenggelamkan ke dalam perairan dan diharapkan dapat berfungsi layaknya ekosistem terumbu karang. Artificial reef berperan untuk meningkatkan kelimpahan sumberdaya perikanan seperti ikan karang dan biota-biota ekonomis lainnya. Secara fisik, terumbu buatan dapat berperan sebagai pelindung pantai, media penempelan karang, tempat berlindung bagi ikan dan biota-biota laut. D’Itri (1985) mendefenisikan bahwa artificial reef merupakan suatu ekosistem yang tersusun dari struktur benda-benda keras yang ditenggelamkan pada dasar perairan yang kurang produktif. Mineral accretion dapat dikategorikan sebagai artificial reef.

Salah satu jenis terumbu buatan yang paling banyak ditenggelamkan di Kepulauan Seribu adalah fish shelter yang terbuat dari campuran semen, pasir dan

(9)

batu. Bentuk fish shelter tersebut bermacam-macam seperti bentuk piramida, kubus dan parabola. Fish shelter menyediakan lorong-lorong berupa ruang sebagai tempat ikan untuk berlindung.

Cornelia et al. (2005) menyatakan terumbu buatan memiliki berbagai macam manfaat dan fungsi, antara lain:

1) Gudang keanekaragaman hayati biota laut.

2) Tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan (feeding ground), berpijah (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat berlindung bagi hewan laut.

3) Tempat berlangsungnya siklus biologi, kimiawi dan fisik dan mempunyai tingkat produktivitas yang sangat tinggi.

4) Tempat sumber bahan makanan dan obat-obatan. 5) Pelindung pantai dari hempasan ombak.

6) Sumber bangunan dan bahan-bahan konstruksi. 7) Sebagai tempat kegiatan budidaya perikanan. 8) Daerah rekreasi terutama rekreasi bawah laut. 9) Sarana penelitian dan pendidikan.

Lokasi penempatan terumbu buatan sangat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan. Apabila lokasi penempatan terumbu buatan tidak cocok, maka hasilnya akan kurang maksimal. Kajian studi kelayakan wilayah perlu dilakukan sebelum menenggelamkan terumbu buatan.

Lokasi penenggelaman terumbu buatan harus sesuai dengan parameter fisika-kimia perairan yang mencakup faktor-faktor pembatas pertumbuhan karang dan biota lainnya. Nybakken (1988) menjelaskan ada tujuh faktor pembatas bagi pertumbuhan terumbu karang, antara lain: suhu, kedalaman, cahaya, salinitas, sedimentasi, substart dan gelombang.

Kriteria kesesuaian lokasi penempatan terumbu buatan disajikan pada Tabel 1. Bahan terumbu buatan harus memiliki kriteria tahan lama, aman atau tidak beracun, efektif, fungsional dan ekonomis. Sebaiknya terumbu buatan

(10)

ditenggelamkan pada area yang telah mengalami degradasi habitat, sehingga secara perlahan-lahan habitat tersebut mengalami perbaikan.

Tabel 1. Kriteria kesesuaian lokasi terumbu buatan (Wiradisastra et al. 2004 inCorenelia et al. 2005)

No. Parameter Sangat Sesuai

[80] Cukup Sesuai [60] Sesuai Bersyarat [40] Tidak Sesuai [1] 1. Kedalaman perairan (m) [30] 7-10 5 - < 7 > 10-15 1 - < 5 > 15-25 < 1 > 25 2. Kemiringan dasar ( 0 ) [10] < 25 25-30 - > 30 3. Oksigen terlarut (mg/l) [5] > 6 5-6 4 - < 5 < 4 4. Salinitas (ppt) [5] 34-36 30 - < 34 > 36 - 38 26 - < 30 > 38 - 40 < 26 > 40 5. Suhu ( 0 C) [5] 25 – 29 23 - < 25 > 29 – 32 20 - < 23 > 32 – 34 < 20 > 34 6. Kecerahan (%) [40] > 85 65 – 85 45 – 65 < 45 7. pH [5] 7.5 – 8 6 - < 7.5 > 8 – 9 5 - < 6 < 5 > 9

Penerapan atau pengaplikasian terumbu buatan dengan menggunakan teknik mineral accretion harus disesuaikan dengan peruntukannya. Jika teknik mineral accretion digunakan sebagai media transplatasi karang, maka laju mineralisasi pada katoda dapat dipercepat.

Berbeda dengan penerapan teknik mineral accretion untuk keperluan recruitment karang secara alami, proses mineralisasi pada katoda hendaknya diperlambat. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi proses mineralisasi lebih cepat daripada pertumbuhan larva karang, sehingga larva karang tidak tertutupi oleh padatan yang dihasilkan teknik mineral accretion. Arus yang dialirkan pada katoda harus lebih rendah atau dapat pula dilakukan pemutusan aliran listrik sementara, guna memberikan kesempatan pada larva karang untuk menempel/tumbuh.

(11)

2.4 Mineral Accretion

2.4.1 Definisi mineral accretion

Mineral accretion dapat diartikan sebagai suatu proses pembentukan padatan mineral dan merupakan salah satu metode untuk pembentukan terumbu buatan dengan memakai prinsip kalsifikasi. Metode mineral accretion adalah suatu teknik untuk menghasilkan terumbu buatan dengan cara mengalirkan arus listrik kepada kerangka besi, sehingga terjadi proses elektrolisis. Proses elektrolisis ini akan menyebabkan mineral-mineral yang terlarut dalam air laut dapat didepositkan dalam bentuk padatan pada kerangka besi (Gambar 3). Arus listrik yang dialirkan melalui katoda dan anoda adalah arus lemah dan cukup untuk memicu terjadinya proses elektrolisis, sehingga proses reduksi dan oksidasi terjadi secara berulang-ulang disekitar katoda (Sabater dan Yap, 2004). Terumbu buatan yang dihasilkan melalui teknik mineral accretion memiliki komposisi yang sangat mirip dengan terumbu alami yang dihasilkan terumbu karang.

Gambar 3. Padatan mineral yang menempel pada kerangka besi

Foto: Hydrobiology-IPB

(12)

Metode mineral accretion menghasilkan bahan penyusun padatan mineral seperti CaCO3 dan Mg(OH)2 dengan cara menarik keluar mineral yang terlarut dalam air laut menjadi bentuk padatan. Proses ini dilakukan dengan cara meng-elektrolisis air laut. Padatan mineral ini bukanlah hasil langsung dari proses elektrolisis, melainkan hasil sampingan dari dampak perubahan pH di daerah katoda selama proses elektrolisis air laut berlangsung (Lee, 2002).

2.4.2 Komponen-komponen biorock

Komponen-komponen yang dibutuhkan untuk teknik mineral accretion adalah katoda, anoda dan catu daya (Gambar 4). Kerangka modul artificial mineral accretion memiliki konduktivitas yang tinggi, yang biasa digunakan adalah terbuat dari logam. Kerangka modul berfungsi sebagai katoda, yang selanjutnya dihubungkan ke terminal negatif dari catu daya. Terminal negatif tersebut berperan untuk mensuplai elektron kepada ion-ion yang berada dalam larutan untuk mendorong terjadinya reaksi kimia. Padatan mineral terbentuk dan menempel pada kerangka atau elektroda.

Gambar 4. Ilustrasi sistem kerja biorock dan beberapa komponen utama (Design gambar: Rizaldi)

(13)

Anoda merupakan elektroda yang dihubungkan dengan terminal pasitif pada catu daya dan merupakan terminal dimana elektron diambil dari ion-ion di dalam larutan untuk memfasilitasi reaksi kimia. Material anoda memiliki ketahanan yang kuat dari proses karatan atau korosi.

Catu daya merupakan komponen yang berperan dalam penyediaan aliran listrik. Pengaturan terhadap besar kecilnya voltase dan arus yang akan dialirkan diatur oleh catu daya.

2.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses mineral accretion

Menurut Lee (2002), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses mineral accretion, antara lain: (1) pH. Proses elektrolisis akan menyebabkan terjadinya perubahan nilai derajat keasaman laut, dan besarnya akan ditentukan oleh densitas arus yang dialirkan terhadap kedua elektroda; (2) kelarutan produk. Berhubungan dengan konsentrasi maksimal suatu larutan dalam perairan, dikenal dengan istilah tingkat kejenuhan. Apabila tingkat kejenuhan ion terlalu tinggi, maka akan terjadi reaksi dari fase cair menjadi padatan. Hal ini terjadi karena air laut tidak mampu untuk mempertahankannya tetap dalam bentuk terlarut; (3) elektrolisis. Proses ini berhubungan dengan pengembangan gas hidrogen dari katoda; (4) voltase. Semakin besar beda voltase antara kedua elektroda maka semakin besar kemungkinan terjadinya reaksi. Perbedaan voltase dan material elektroda berperan dalam penentuan reaksi kimia yang terjadi. Sebaiknya voltase yang digunakan adalah sekecil mungkin dan cukup untuk mendorong terjadinya proses mineral accretion. Besaran voltase yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 volt; (5) arus listrik. Bila ada voltase yang menyebabkan terjadinya reaksi elektrokimia, maka besaran arus yang melewati sirkuit akan menentukan bayaknya produksi reaksi akhir di dalam sel elektrolisis, seperti gas hidrogen. Besaran arus yang digunakan dalam penelitian ini adalah 6 ampere.

2.5 Recruitment Karang dan Kelulusan Hidup

Coral resistance adalah daya tahan karang dalam beradaptasi atau mempertahankan hidup terhadap gangguan atau tekanan lingkungan, baik secara

(14)

alami maupun akibat aktifitas manusia. Recruitment karang merupakan proses dan peristiwa kemunculan individu-inidividu karang muda yang dihasilkan melalui reproduksi, kemudian menempel pada substrat dan menjadi bagian dari populasi. Larva karang membutuhkan substrat yang keras dan kokoh sebagai tempat untuk menempel, kemudian bermetamorfosis, tumbuh dan berkembang. Sukarno et al. (1983) menyatakan bahwa substrat yang keras diperlukan karang untuk tempat melekatnya larva, sehingga memungkinkan untuk pembentukan koloni baru. Kerangka biorock dapat digunakan larva karang sebagai tempat penempelan.

Kelimpahan recruitment karang keras merupakan salah satu variabel pengukuran tingkat pemulihan suatu wilayah ekosistem terumbu karang. Richmond and Hunter (1990), proses recruitment karang merupakan indikator yang penting untuk regenerasi terumbu karang dan potensi pertumbuhannya. Proses recruitment itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain kelimpahan individu karang dewasa baik dari komunitas yang sudah stabil maupun dari komunitas yang jauh, sirkulasi air laut, tipe substrat, intensitas pemangsaan, kompetisi dengan makroalga dan sedimentasi.

Pola sirkulasi laut yang kompleks, baik dulu maupun sekarang membentuk batas-batas biogeografik yang menentukan batas wilayah biogeografik (Veron, 1995). Kualitas lingkungan (kondisi perairan) berperan besar dalam proses reproduksi karang, recruitment dan juga keberhasilan hidup recruitment. Larva karang yang telah menempel pada substrat tidak semuanya dapat bertahan hidup atau berhasil menjadi karang dewasa.

Mekanisme penempelan larva karang diawali dengan melakukan kontak terhadap substrat. Harrison dan Wallace (1990) melaporkan bahwa proses pencarian substrat dengan melakukan kontak langsung dapat dilakukan larva karang secara berulang-ulang sampai menemukan substrat yang benar-benar cocok. Ketika melakukan kontak dengan substrat, larva karang juga akan melakukan reaksi dengan biological films (lapisan organisme yang melapisi permukaan substrat). Samidjan (2005) in Rudi (2006) menyatakan bahwa spesies bakteri tertentu mampu untuk memicu penempelan larva karang. Hasil pengamatan suksesi komunitas bentik pada terumbu buatan disimpulkan bahwa

(15)

bakteri Micrococcus luteus memicu terjadinya penempelan karang jenis Pocillopora damicornis dan bakteri Marinomonas communis adalah pionir untuk mendorong terjadinya penempelan karang Acropora tenuis. Richmond (1997) menjelaskan adanya sinyal kimia antara kelompok crustose coralline algae tertentu dengan jenis karang tertentu dalam proses kolonisasi tersebut. Apabila substrat telah cocok dan memiliki biological films, maka planula karang akan melakukan pelekatan dengan menggunakan permukaan aboral, melepaskan lapisan matriks organik, kemudian melakukan deposisi rangka karbonat (Rudi, 2006).

2.6 Pola Suksesi pada Biorock

Modul biorock yang ditenggelamkan di dasar perairan akan membentuk suatu ekosistem tertentu pada waktu tertentu. Proses pembentukan dan perkembangan ekosistem ekosistem tersebut dikenal dengan suksesi ekologi. Menurut Irwan (1992) suksesi merupakan pergantian jenis pionir oleh jenis-jenis yang lebih mantap yang sangat sesuai dengan lingkungannya. Suksesi terjadi sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik dalam komunitasnya dan membutuhkan waktu, proses tersebut berakhir pada sebuah komunitas atau ekosistem yang klimaks, dimana komunitasnya sudah mengalami homeostasis.

Gambar

Gambar 1. Struktur polip dan kerangka karang (Veron, 1986)
Gambar 2. Siklus reproduksi karang (http://www.marineodyssey.co.uk)
Tabel 1. Kriteria kesesuaian lokasi terumbu buatan (Wiradisastra et al. 2004 in Corenelia et al
Gambar 3. Padatan mineral yang menempel pada kerangka besi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan antara kegiatan manusia baik di darat maupun di pesisir dan laut selama ini sangat erat kaitannya dengan kerusakan ekosistem Terumbu karang dan kerusakan terumbu

Hubungan antara kegiatan manusia baik di darat maupun di pesisir dan laut selama ini sangat erat kaitannya dengan kerusakan ekosistem terumbu karang dan kerusakan terumbu

Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut tropis yang komunitasnya didominasi oleh biota laut merupakan: a) tempat tumbuh biota laut (tempat memijah, mencari makan,

Valuasi ekosistem terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa ini dilakukan dengan pendekatan metode alternatif yaitu menghitung nilai riil dari layanan ekologis sebuah ekosistem

Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang bermacam-macam, yakni sebagai tempat hidup bagi berbagai biota laut tropis lainnya sehingga terumbu karang

Pada kondisi tertentu beberapa jenis hewan karang jaringan atau polip yang ada pada fragmen karang dapat terlepas dan berenang bebas atau terbawa arus sampai menemukan substrat

Terumbu karang dibangun oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis- jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya seperti moluska,

Terumbu Karang merupakan salah satu ekosistem laut yang paling produktif, menyediakan habitat bagi berbagai jenis ikan dan hewan laut lainnya.. Jika Terumbu Karang hilang, maka