• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PUTUSAN MA NO.574.K/PID.SUS/2018. PADA KASUS BAIQ NURIL MAKNUN DITINJAU DARI SOSIOLOGI HUKUM (AMNESTI PRESIDEN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PUTUSAN MA NO.574.K/PID.SUS/2018. PADA KASUS BAIQ NURIL MAKNUN DITINJAU DARI SOSIOLOGI HUKUM (AMNESTI PRESIDEN)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN. 2355-8911 www.jurnalsagacious.net 73 ANALISIS PUTUSAN MA NO.574.K/PID.SUS/2018. PADA KASUS BAIQ NURIL MAKNUN

DITINJAU DARI SOSIOLOGI HUKUM (AMNESTI PRESIDEN) Rahmat Nopriadi

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Kuala Kapuas Kapuas, Kalimantan Tengah

ABSTRAK

Penelitian ini mengangkat tema tentang Putusan MA terkait kasus yang menimpa Baiq Nuril Maknun ditinjau dari sosiologi hukum terkait Amnesti Presiden. Baiq Nuril dianggap sudah melanggar UU ITE Pasal 27 Ayat (1) berdasarkan dari keputusan MA terkait dengan penyebaran percakapannya dengan Haji Muslim. Hakim menilai bahwa Baiq Nuril sebagai terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pidana yang disebutkan dalam Pasal 27 Ayat (1) UU ITE tersebut. Namun, terdapat pergolakan di dalam masyarakat yang terus mengawal kasus Baiq Nuril ini, yang menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Hakim dan juga para penegak hukum tidak menunjukkan keadilan. Hal ini menjadi perhatian menarik bagi penulis dan melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian terhadap kasus ini secara ilmiah. Adapun masalah yang diangkat adalah tentang apa saja yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam memutuskan Perkara Baiq Nuril Maknun (Putusan MA No.574 K/Pid.Sus/2018) dan apakah Putusan Mahkamah Agung No.574 K/Pid.Sus/2018 telah memenuhi rasa Keadilan. Tulisan ini memiliki tujuan untuk memberikan penjelasan secara ilmiah terkait dengan pertimbangan hakim dalam memberikan putusannya dan menambah wawasan pengetahuan hukum bagi penulis pribadi dan mahasiswa fakultas hukum serta memberikan kontribusi pemahaman kepada masyarakat luas yang memberikan perhatian terhadap kasus Baiq Nuril Maknun. Jenis penelitian dalam studi ini adalah normatif. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (the statute approach), pendekatan kasus (case approach), yaitu melakukan analisis terhadap kasus. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu memanfaatkan pandangan dan pemikiran para ahli. Melalui penelitian ini didapatkan hasil bahwa UU ITE menunjukkan kelemahan yang harus direvisi atau direformasi. Putusan Hakim MA juga kurang mencerminkan analisa dan pemahaman yang jeli sesuai substansi kasus, terkesan terlalu menyederhanakan ketentuan dari Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Hakim luput untuk memahami kasus dan perbuatan secara utuh yang dimulai dari motif, niat, hingga tujuan dari perbuatan yang dilakukan oleh Baiq Nuril serta kurang cermat dalam memahami siapa sebenarnya yang menjadi terdakwa dalam penyebarannya.

Kata Kunci: UU ITE, Putusan MA, Baiq Nuril, Amnesti PENDAHULUAN

Keputusan Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Baiq Nuril Maknun, guru honorer SMA yang menjadi korban pelecehan seksual, mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan. Amnesti adalah pemberian pengampunan (L. C. K., 1869) yang biasanya diberikan setelah periode kejahatan/kekerasan yang dinilai ekstrim, seperti Civil War atau Perang Saudara yang pernah terjadi di Amerika (Roht-Arriaza & Gibson, 1998). Jika ditarik lebih mundur ke belakang, sejarah amnesti berawal dari kisah orang Atena yang melawan Sparta dan salah satu jenderal Atena yaitu Thrasybulus berhasil mengalahkan oligarki di tanahnya dan menyatakan

memberikan amnesti terhadap segala yang sudah terjadi (Howay, 1973). Hukum amnesti yang dibuat oleh orang Atena ini bertujuan untuk mendapatkan kembali hak penuh mereka sebagai warga atau rakyat Atena (Smith, 1921). Dalam konteks sekarang, amnesti dapat dilihat sebagai tindakan yang dilakukan oleh negara untuk melepaskan kategori-kategori individu-individu atau pelanggaran-pelanggaran tertentu dari tanggung jawab pidana (Mallinder, 2018). Meskipun amnesti sering kali dikritik di ranah hukum, etik, dan politik, amnesti tetap menjadi mekanisme keadilan transisional yang terkenal atau sudah bersifat umum karena dianggap dapat menjamin perdamaian (Reiter, 2014) dan lebih

(2)

74 www.jurnalsagacious.net ISSN. 2355-8911

dipilih dibandingkan akuntabilitas atau keadaan yang perlu untuk dipertanggungjawabkan (Mundy, 2014). Hal inilah yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo kepada Baiq Nuril Maknun. Fungsi amnesti tersebut menggugurkan putusan Mahkamah Agung (MA) atas penolakan permohonan gugatan Peninjauan Kembali (PK). Mahkamah Agung mempunyai otoritas yang besar di dalam pemerintahan dan hukum negara (Bartels, 2018). Mahkamah Agung bisa membuat putusan dengan banyak pilihan arah (Nackenoff, 2016). Putusan MA tersebut memperkuat putusan pengadilan sebelumnya, yakni putusan Mahkamah Agung yang menghukum Baiq Nuril dengan pidana 6 bulan penjara dan denda 500 juta subsidier 3 bulan kurungan karena dianggap melanggar UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kasus ini bermula saat Baiq Nuril dituduh menyebarkan

rekaman percakapan telepon dengan

atasannya, Kepala SMAN 7 Mataram, H Muslim. Muslim ditengarai melakukan pelecehan seksual secara verbal dalam percakapan itu. Pelecehan seksual dilihat sebagai masalah perempuan pekerja karena adanya hubungan kuasa yang tidak seimbang di tempat kerja dan sebagai masalah kekerasan terhadap perempuan (Coercion, 1983). Menurut Equal Employment Opportunity Commission (EEOC), pelecehan seksual adalah rayuan seksual yang tidak diinginkan, permintaan bantuan secara seksual, perilaku verbal dan fisik yang bersifat seksual yang mempengaruhi keputusan dalam pekerjaan dan kondisi tertentu yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang atau menciptakan lingkungan kerja yang mengintimidasi (Farris, Street, Jaycox, & Kilpatrick, 2014a). Berdasarkan US Doctors Report Sexual Harassment (1993), pelecehan seksual secara verbal tiga kali lebih biasa terjadi dibandingkan pelecehan seksual secara fisik. Tipe-tipe pelecehan seksual ini dapat berupa bahasa bersifat seksual, gerak-gerik, gambar, atau tingkah-laku yang mengganggu orang lain (Farris, Jaycox, Street, Kilpatrick, & Tanielian, 2014b). Pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan di tempat kerja adalah salah satu manifestasi dari isu-isu yang lebih luas dari opresi terhadap perempuan (Bularzik, 1983). Hal ini dapat terjadi karena pelecehan seksual sudah mengakar di dalam praktik-praktik budaya dan diperburuk dengan hubungan kuasa di tempat kerja (Tejani, 2004). Sayangnya, para perempuan juga percaya bahwa pelecehan seksual tidak akan pernah bisa dilaporkan dan bahkan pelakunya

tidak akan dimintai pertanggungjawaban (Williams & Ghosh-Dastidar, 2015). Sementara, kata verbal sendiri dapat didefinisikan sebagai bentuk komunikasi yang mengacu pada produksi bahasa lisan untuk mengirim pesan yang disengaja kepada pendengar (McDuffie, 2013). Maka, dapat dilihat bahwa dalam kasus Baiq Nuril terdapat pelecehan seksual secara verbal tetapi karena posisinya di bawah kuasa Muslim, Baiq tidak bisa banyak membela diri sebagai bagian dari opresi terhadap dirinya. Oleh karena itu, menjadi mungkin bagi Muslim untuk tak terima atas tersebarnya rekaman percakapan itu, Muslim mempolisikan Baiq hingga berujung ke pengadilan. Keadaan ini menunjukkan opresi dari Muslim yang merasa lebih tinggi jabatan dan kuasanya sehingga ia merasa mampu bahkan untuk memenjarakan Baiq Nuril.

Masyarakat Pemantau Peradilan

Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai permasalahan yang menimpa Nuril ini mengungkap berbagai kelemahan hukum. Hukum sendiri dilihat sebagai sebuah istilah umum yang merujuk sebagai sebuah perintah otoriter yang dibuat oleh sebuah otoritas yang berdaulat yang tidak mempunyai superioritas politik, diberlakukan oleh otoritas dari sebuah sistem pengadilan, dan diadministrasikan oleh sebuah otoritas eksekutif (Goldie & Stockton, 1971). Selain itu, hukum juga dipandang sebagai aturan yang mengikat yang diberlakukan oleh orotitas yudisial dan aparat penegak hukum (Lerner, 2013), tidak identik dengan moralitas (Simonton, 1902), dan dideskripsikan sebagai kekuasaan dari negara dalam menentukan perilaku yang mana kekuasaan dapat dilakukan dengan membuat aturan, dengan atau tanpa sanksi, atau dengan memberikan ganti rugi berdasarkan faktor-faktor eksternal yang beroperasi di dalam komunitas secara independen dari segala tindakan oleh badan legislatif (Foulke, 1919). Pada dasarnya hukum bersifat baik-baik saja dan mempunyai bentuk atau pola yang sebelumnya sudah ada, tetapi hukum masih membutuhkan untuk diperhatikan dan dirapikan dari waktu ke waktu (Davies, 2017). Hal ini perlu diperlakukan karena banyak hal sudah berubah seiring berjalannya waktu. Sebuah hukum perlu diubah atau direformasi membutuhkan penyelidikan melampaui batasan disiplinernya (Bronitt, 2017). Mengubah hukum memang berada di bawah bayang-bayang batasan dari konstitusi (Appleby & Olijnyk, 2017) sehingga menjadikannya tidak

(3)

ISSN. 2355-8911 www.jurnalsagacious.net 75

bisa begitu saja terjadi. Meskipun begitu, kadang reformasi hukum dapat lebih berkontribusi dalam masyarakat yaitu lebih adil, modern, dan efisien (Miller, 2017). Oleh karena itu, masyarakat dipandang bisa memimpin dalam proses pengubahan atau reformasi hukum (Stephenson, 2017).

Penjelasan tersebut di atas sesuai dengan kasus yang dihadapi oleh Baiq Nuril yang mana masyarakat luas terus mengawal dalam prosesnya. Sehingga, didapatkan tiga catatan yang perlu menjadi perbaikan agar persoalan Nuril ini tidak terulang. Perbaikan tersebut dilakukan mulai dari revisi UU ITE, pembaruan hukum acara pidana, hingga evaluasi berkala aparat penegak hukum untuk menjamin terlindunginya korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana. Jika tidak, maka, para perempuan yang mengalami pelecehan akan merasa bahwa hukum melemahkan mereka dalam mengklaim otonomi dan dari mencari pelayanan dan informasi yang mereka paling butuhkan (Desrosiers, 2012). Kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, tidak bisa dicegah tanpa adanya kebijakan yang dapat mempengaruhi banyak aspek dari masyarakat (Walby, et al., 2015). Oleh karena itu, sistem pengadilan seharusnya memberikan keadilan bagi korban (Walby, et al., 2015b) dengan memercayai dan memihak narasi yang diberikan oleh korban. Hal ini dapat mencegah kriminalitas dan mengurangi impunitas. Dalam masalah ini tentu saja tidak membedakan gender karena, baik perempuan maupun pria, keduanya bisa saja menjadi korban dari kekerasan seksual sebagai kekerasan gender (Baxi, 2014).

Dalam siaran pers yang

diterima hukumonline, Ketua Harian MaPPI FHUI, Dio Ashar W menjelaskan UU ITE merupakan akar seluruh masalah sehingga perlu segera direvisi. Seperti yang diketahui, bahwa Baiq Nuril didakwa dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Pasal tersebut memuat rumusan tidak jelas terkait batasan unsur “melanggar kesusilaan”. Selain itu, unsur “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” kendati telah dirumuskan harus dalam sistem elektronik, dalam implementasinya, putusan pengadilan di tingkat

Mahkamah Agung sekalipun masih

menginterpreasikan unsur tersebut secara luas dan multitafsir, yang berdampak pada terjadinya kriminalisasi. Dia menekankan Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga memuat ketentuan pidana tentang

penghinaan dalam sistem elektronik, yang dalam penjelasan dimuat bahwa pasal ini merujuk pada ketentuan KUHP. Namun, dia menganggap UU ITE gagal menjelaskan rujukan pasal KUHP tersebut. Hal ini disebabkan KUHP mengatur tingkatan tindak pidana mulai dari “penghinaan ringan”, “menyerang kehormatan orang” sampai dengan “fitnah”. Dalam Pasal 316 KUHP juga mengatur jelas bahwa penghinaan dapat diproses hanya berdasarkan aduan, dan hanya dapat dilakukan terhadap orang, bukan badan hukum. Dari permasalahan tersebut di atas penulis tertarik membuat penelitian dengan judul “Analisis Putusan MA No.574.K/PID.SUS/2018. Pada Kasus Baiq Nuril Maknun di Tinjau Dari Sosiologi Hukum (Amnesti Presiden)”.

TINJAUAN PUSTAKA

Dasar Pertimbangan Hakim dalam memutuskan Perkara Baiq Nuril Maknun (Putusan MA No.574 K/Pid.Sus/2018) di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kehakiman menyebutkan bahwa Peradilan dilakukan demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi hakim sebelum memberikan putusannya haruslah menggunakan pertimbangan-pertimbangan hakim agar nantinya putusan tersebut memenuhi rasa keadilan dan dapat dipertanggung jawabkan, tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kaitan dengan putusan Mahkamah Agung pada kasus Baiq Nuril jika kita membaca petikan putusannya, dasar pertimbangan hakim adalah pada isi Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa Baiq Nuril dianggap terbukti bermasalah dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Putusan Mahkamah Agung No.574 K/Pid.Sus/2018 kasus Baiq Nuril ditinjau dari konsep keadilan setiap orang yang merasa kepentingannya atau harkat martabatnya telah diusik oleh orang lain maka dia akan mencari keadilan pada lembaga yang dinamakan pengadilan. Hakim diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk memberikan keadilan bagi orang-orang pencari keadilan di pengadilan. Oleh sebab itu, hakim di dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum sebagaimana amanat Pasal 5 ayat (1)

(4)

Undang-76 www.jurnalsagacious.net ISSN. 2355-8911

Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

METODOLOGI

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (the statute approach), pendekatan kasus (case approach), serta analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif didasarkan pada data literatur dan juga dalam menganalisa dengan cara mendeskripsikan fenomena yang ditemukan dalam penelitian.

Hasil penelitian ditemukan bahwa dasar pertimbangan Hakim dalam kasus Baiq Nuril adalah pada tingkat pertama dan kasasi. Pada tingkat Kasasi kasus ini dinyatakan telah dipenuhinya unsur-unsur dari Pasal 27 ayat (1) Undang- Undang ITE, namun aspek sosiologis yang berbeda menjadi penyebab terjadinya kasus tersebut sebagaimana yang djelaskan pada fakta persidangan luput dari pertimbangan Hakim Agung sehingga putusan Mahkamah Agung dirasa tidak memiliki rasa keadilan karena hakim tidak mencermati dan mendalami apa yang menjadi fakta persidangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Kasus Baiq Nuril Makmun menjadi kasus yang sangat fenomenal dikarenakan begitu banyak perhatian datang dari masyarakat, praktisi, akademisi bahkan Presiden. Kasus ini juga ramai diperbincangkan di media massa baik media cetak maupun media elektronik. Kasus tersebut berawal dari percakapan via telpon Baiq Nuril Maknun yang saat itu bekerja sebagai tenaga kerja honorer di SMAN 7 Mataram dengan atasannya Haji Muslim, yang saat itu Kepala Sekolah di SMAN 7 Mataram. Haji Muslim menceritakan perselingkuhannya dengan seseorang yang juga bekerja di sekolah tersebut dengan Baiq Nuril, kemudian oleh Baiq Nuril percakapan tersebut direkam dengan tujuan untuk menepis isu yang beredar selama ini di lingkungan sekolah tempatnya bekerja bahwa Baiq Nuril memiliki hubungan dengan Haji Muslim atasannya. Ibu Nuril mengaku bahwa hampir setiap hari Haji Muslim menelponnya. Awalnya memang membicarakan pekerjaan tapi ujung-ujungnya membicarakan hal-hal yang mengarah ke pelanggaran kesusilaan. Haji Muslim juga diketahui beberapa kali merayu dan mengajak Ibu Nuril untuk menginap di hotel, tetapi ajakan ini selalu ditolak oleh Ibu Nuril. Hal ini menjadi masalah hukum ketika rekaman percakapan tersebut menyebar di lingkungan sekolah yang

disebarkan/didistribusikan oleh seorang rekan kerja Baiq Nuril yaitu Imam Mudawin. Sebelumnya rekaman ini masih tersimpan di handphone Baiq Nuril selama 1 (satu) tahun, yang kemudian karena alasan Imam Mudawin yang memintanya untuk menjadikannya bahan laporan ke DPRD Mataram, akhirnya Baiq Nuril menyerahkan isi rekaman tersebut dengan mentransfer/memindahkan/mengirim ke laptop milik saksi Haji Imam Mudawin sebagaimana termuat dalam uraian fakta hukum persidangan

dalam Putusan Mahkamah Agung No.

574K/Pid.Sus/2018 yang petikannya berbunyi : “... Bahwa isi rekaman percakapan antara saksi korban Haji Muslim tersebut tetap tersimpan dalam handphone milik Terdakwa selama 1 (satu) tahun lebih; Bahwa kemudian saksi Haji Imam Mudawin mendatangi Terdakwa beberapa kali meminta isi rekaman percakapan antara saksi korban Haji Muslim dengan Terdakwa tersebut dengan alasan sebagai bahan laporan ke DPRD Mataram, dan akhirnya Terdakwa menyerahkan handphone miliknya yang berisi rekaman pembicaraan saksi korban Haji Muslim dengan Terdakwa tersebut, lalu dengan cara menyambungkan kabel data ke handphone milik Terdakwa kemudian kabel data tersebut disambungkan ke laptop milik saksi Haji Imam

Mudawin kemudian memindahkan,

mengirimkan, mentransfer isi rekaman suara tersebut ke laptop milik saksi Haji Imam Mudawin.”

Inilah awal mula Haji Muslim melaporkan Baiq Nuril ke polisi dengan dasar pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) khususnya Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) yaitu: Pasal 27 ayat (1) “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Di Pengadilan Negeri Baiq Nuril dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari tuntutan hukum dengan Putusan

Pengadilan Negeri Mataram Nomor

265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr tanggal 26 Juli 2017. Dan pada tanggal 1 Agustus 2017 Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Mataram mengajukan kasasi dengan Akta Permohonan Kasasi Nomor 18/Akta-Kas/Pid.Sus/2017/PN. Mtr. Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung (MA) dikabulkan dan Baiq Nuril dinyatakan bersalah dan dijatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan denda Rp. 500.000.000,- (lima

(5)

ISSN. 2355-8911 www.jurnalsagacious.net 77

ratus juta rupiah) subsidiair 3 (tiga) bulan kurungan. Putusan Mahkamah Agung ini menuai kritik hampir seluruh masyarakat karena dianggap tidak memenuhi rasa keadilan. Berbagai aksi protes datang dari berbagai elemen masyarakat dan juga muncul kritik dari para praktisi dan akademisi hukum. Hingga Presiden juga memberikan perhatian pada kasus ini.

Berdasarkan kasus ini, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) dan juga Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa permasalahan yang dialami oleh Baiq Nuril ini mengungkapkan dan menunjukkan adanya berbagai kelemahan hukum. Mengacu pada makna hukum yang secara umum merujuk sebagai sebuah perintah otoriter yang dibuat oleh sebuah otoritas yang berdaulat yang tidak mempunyai superioritas politik, serta diberlakukan oleh otoritas dari sebuah sistem pengadilan dan diadministrasikan oleh sebuah otoritas eksekutif (Goldie & Stockton, 1971) maka Baiq Nuril juga berhak mendapatkan perlakuan hukum yang adil. Sehingga, campur tangan negara pun menjadi hal yang tidak mustahil (Foulke, 1919) termasuk di dalamnya presiden juga turut memberikan perhatian pada kasus ini. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya hukum bersifat baik-baik saja, tetapi seiring berjalannya waktu membutuhkan perhatian untuk dirapikan dari waktu ke waktu (Davies, 2017) sejalan dengan perubahan dinamika masyarakat agar hukum masih bisa terus relevan. Hal ini sesuai dengan kasus Baiq Nuril yang membutuhkan penyelidikan melampaui batasan disipliner (Bronitt, 2017). Konstitusi hukum yang berlaku di Indonesia. Meskipun, memang tidak mudah untuk mengubah bayang-bayang batasan konstitusi (Appleby & Olijnyk, 2017), melakukan reformasi hukum mungkin terjadi demi kontribusi yang lebih dalam masyarakat agar lebih adil, modern, dan efisien (Miller, 2017). Oleh sebab itu, tidak mengherankan dalam kasus Baiq Nuril, masyarakat atau orang-orang mulai tertarik untuk ikut campur secara tidak langsung dalam mengamati berjalannya proses peradilannya. Ini menunjukkan bahwa masyarakat dapat menilai sendiri bahwa ada kejanggalan dalam hukum di Indonesia dalam penanganan kasus Baiq Nuril. Dalam konsep dan fakta ini, masyarakat dipandang bida memimpin dalam proses pengubahan dan/atau reformasi hukum (Stephenson, 2017). Dari kasus Baiq Nuril ini, terdapat tiga catatan yang perlu diperbaiki yaitu,

dimulai dari revisi UU ITE, pembaruan hukum acara pidana, hingga kebutuhan untuk evaluasi berkala aparat penegak hukum untuk menjamin terlindunginya korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana. Untuk mendukung pencegahan dan peradilan dalam kasus kekerasan seksual, hanya bisa dilakukan oleh kebijakan yang mempengaruhi banyak aspek dari masyarakat (Walby, et al., Strategy, planning and coordination, 2015a) dengan mempercayai korban, baik pria maupun wanita (Baxi, 2014).

Dalam kasus Baiq Nuril, hakim mempertimbangkan putusannya berdasarkan dari isi Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa Baiq Nuril dianggap terbukti bermasalah dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Putusan ini diambil berdasarkan pertimbangan Hakim MA yang membuat kesimpulan berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 bahwa: (1) unsur sengaja dan tanpa hak terpenuhi karena dengan mengirimkan atau mentransfer isi rekaman pembicaraan terdakwa telah dianggap menyadari dengan sepenuhnya bahwa isi rekaman tersebut dapat mengakibatkan kerugian kepada saksi Haji Muslim, (2) unsur

meneruskan, mengirimkan, dan/atau

mentransferkan terpenuhi karena isi rekaman tersebut selanjutnya dikirimkan, didistribusikan oleh saksi Muhaidjin kepada handphone Muhalim, lantas ke Wirebakti, dan tersebar ke semuanya yang lain, (3) unsur melanggar kesusilaan dianggap terpenuhi berdasarkan isi dari percakapan antara terdakwa dengan saksi Haji Muslim yang berisikan tentang cerita Haji Muslim bersetubuh dengan Landriati. Sementara, Baiq Nuril dianggap memenuhi unsur-unsur ini, UUE ITE sendiri itdak dengan jelas menggambarkan apa yang dimaksud dengan unsur dengan sengaja dan tanpa hak untuk mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya serta memiliki muatan asusila. Karena hal inilah, terdapat berbagai perbedaan pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan unsur-unsur yang disebutkan dalam undang-undang tersebut. Oleh karena itu, penafsiran dan analisa yang jeli dibutuhkan yang seharusnya dilakukan oleh Hakim agar dapat menjelaskan maksud dari unsur-unsur delik tersebut.

(6)

78 www.jurnalsagacious.net ISSN. 2355-8911

Hakim tidak melihat dengan jeli pada unsur kesengajaan. Dalam menafsirkan kondisi ini, Hakim seharusnya melihat apakah terdakwa

dengan sengaja memindahkan atau

mentransferkan rekaman tersebut. Bisa dibilang sengaja apabila ada kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Dalam hal ini, harus dapat dilihat bahwa jika terdakwa sengaja memindahkan rekaman dari handphone ke laptop milik saksi Haji Imam Mudawin maka seharusnya dihubungkan dengan unsur kedua yaitu bahwa Baiq Nuril memang berkeinginan untuk mendistribusikan dan memberikan akses rekaman itu dikonsumsi banyak orang. Di sinilah hakim tidak mencari lebih jauh atau mencoba memahami motif sebenarnya dari apa yang dilakukan oleh Baiq Nuril. Hakim hanya melihat dari kejadian faktualnya saja tanpa mencari tahu apa yang sebenarnya ingin dilakukan dan dimaksudkan oleh Baiq Nuril serta perlu juga dibuktikan apakah ada korelasi dari akibat yang dialami oleh saksi Imam dengan apa yang Baiq Nuril maksudkan. Baiq Nuril juga tidak menyebarkan rekaman. Ia hanya memindahkannya ke laptop Haji Imam Mudawin untuk bahan laporan ke DPRD Kota Mataram atas pelecehan yang ia terima dari Haji Muslim. Sedangkan, pendistribusian ke pihak-pihak lain sudah bukan lagi tanggungan dari Baiq Nuril. Ini sudah menjadi tanggungan dari Haji Imam Mudawin. Kedunya ini sudah menjadi kasus berbeda yang berdiri sendiri. Namun, Hakim nampaknya luput untuk memahami dan memikirkan hingga sejauh ini. Unsur-unsur yang disebutkan dalam undang-undang juga multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Unsur kesusilaan sendiri tidak jelas menyebutkan konsep kesusilaan seperti apa yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut. Hakim hanya mendasarkan putusannya dari sudut bahasa yang digunakan terdakwa yang seolah-olah bermuatan seksual yang dipersamakan dengan kesusilaan tanpa melihat substansi dari percakapan atau tujuan yang ingin dicapai dari komunikasi tersebut. Padahal, agar sesuatu dianggap memenuhi kesusilaan harus terpenuhi unsur openbaar, sedangkan percakapan itu terjadi di ranah privat melalui handphone Baiq Nuril dan Haji Muslim. Putusan Hakim yang menjadikan Baiq Nuril terdakwa dengan alasan sebagai sarana pembelajaran bagi terdakwa dan masyarakat sebenarnya tidak menyasar dari fungsi UU ITE yang ditujukan untuk memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna.

Melalui kasus Baiq Nuril ini malah dapat dilihat bahwa rasa aman dan keadilan bagi masyarakat tidak dapat terpenuhi oleh UU ITE sehingga menjadikan korban terjerat hukum dan menjadikannya terpidana.

SIMPULAN DAN SARAN

Kasus Baiq Nuril menunjukkan bahwa masih ada kelemahan hukum dalam perundang-undangan di Indonesia, khususnya UU ITE. Dalam menjatuhkan pidana terhadap Baiq Nuril, Hakim terkesan terlalu menyederhanakan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE dan tidak melihat substansi kasus dengan jeli. Hakim luput untuk memahami kasus dan perbuatan secara utuh yang dimulai dari motif, niat, hingga tujuan dari perbuatan yang dilakukan oleh Baiq Nuril. Pemahaman terhadap kasus juga diperlukan agar berdirinya sebuah kasus tidak saling bercampur tidak jelas dan agar dapat memperoleh peradilan yang semestinya dan sebenar-benarnya.

DAFTAR RUJUKAN

Appleby, G., & Olijnyk, A. (2017). Constitutional Dimensions of Law Reform. In L. R., O. M., R. S., R. P., & &. T. (Eds.), New Directions for Law in

Australia: Essays in Contemporary Law Reform (pp. 387-396). Australia: ANU

Press.

Bartels, B. (2018, July 24). Supreme Court and

Public Opinion. Retrieved from Oxford

Bibliographies: DOI:

10.1093/OBO/9780199756223-0247 Baxi, P. (2014). Sexual Violence and Its

Discontents. Annual Review of Anthropology, 43, 139-154.

Bronitt, S. (2017). Is Criminal Law Reform a Lost Cause? In L. R., O. M., R. S., R. P., & &. T. (Eds.), New Directions for Law

in Australia: Essays in Contemporary Law Reform (pp. 133-142). Australia:

ANU Press.

Bularzik, M. (1983). Sexual Harassment at the Workplace: Historical Notes. In B. P. (Ed.), Workers' Struggles, Past and

Present: A "Radical America" Reader

(pp. 117-136). Philadelphia: Temple University Press.

Coercion, A. (1983). Organizing Against Sexual Harassment. In Buhle P. (Author) &

(7)

ISSN. 2355-8911 www.jurnalsagacious.net 79

Green J. (Ed.), Workers' Struggles, Past

and Present: A "Radical America" Reader (pp. 234-248). Philadelphia:

Temple University Press.

Davies, M. (2017). Keynote: Reforming Law – The Role of Theory. In L. R., O. M., R. S., R. P., & &. T. (Eds.), New Directions

for Law in Australia: Essays in Contemporary Law Reform (pp. 11-24).

Australia: ANU Press.

Desrosiers, J. (2012). Raising the Age of Sexual Consent: Renewing Legal Moralism? In Sheehy E. (Ed.), Sexual Assault in

Canada: Law, Legal Practice and Women’s Activism (pp. 569-590). Ottawa: University of Ottawa Press. Farris, C., Jaycox, L., Street, A., Kilpatrick, D., &

Tanielian, T. (2014b). exual Harassment and Gender Discrimination Findings: Active Componen. In Schell T., Morral A., & Gore K. (Eds.), Sexual Assault and

Sexual Harassment in the U.S. Military: Volume 2. Estimates for Department of Defense Service Members from the 2014 RAND Military Workplace Study (pp.

31-54). RAND Corporation.

Farris, C., Street, A., Jaycox, L., & Kilpatrick, D. (2014a). Measurement of Sexual Harassment and Sexual Assault. In Morral A., Gore K., & Schell T. (Eds.),

Sexual Assault and Sexual Harassment in the U.S. Military: Volume 1. Design of the 2014 RAND Military Workplace Study (pp. 7-26). RAND Corporation.

Foulke, R. (1919). Definition and Nature of Law.

Columbia Law Review, 19(5), 351-378.

Goldie, L., & Stockton, C. (1971). International Law and the World Community the Meaning of Words, the Nature of Things, and the Face of the International Order.

Naval War College Review, 23(6), 8-20.

Howay, J. (1973). Amnesty: An Old Gift in New Wrappings. Naval War College Review, 25(4), 46-57.

L. C. K. (1869). The Power of the President to Grant a General Pardon or Amnesty for Offences against the United States. The

American Law Register (1852-1891), 17(9), 513-532.

Lerner, B. (2013). UAVs and Force: Current

Debates and Future Trends in Technology, Policy and the Law (pp. 23-74, Rep.). Center for Security Policy.

Mallinder, L. (2018, October 25). Amnesty and

International Law. Retrieved from

Oxford Bibliographies: DOI:

10.1093/OBO/9780199796953-0172 McDuffie, A. (2013). Verbal Communication. In

Volkmar F.R. (eds), Encyclopedia of

Autism Spectrum Disorders. New York,

NY: Springer.

Miller, R. (2017). On the Road to Improved Social and Economic Welfare: The Contribution to Australian Competition and Consumer Law and Policy Law Reform. In L. R., O. M., R. S., R. P., & &. T. (Eds.), New Directions for Law in

Australia: Essays in Contemporary Law Reform (pp. 37-48). Australia: ANU

Press.

Mundy, J. (2014). Transitional Justice: Algeria and the Violence of National Reconciliation. In M. D. (Eds.), The

Post-Conflict Environment: Investigation and Critique (pp. 103-134).

Ann Arbor: University of Michigan Press.

Nackenoff, C. (2016, February 25). The Supreme

Court of the United States. Retrieved

from Oxford Bibliographies: DOI: 10.1093/OBO/9780199756223-0051 Reiter, A. G. (2014). Examining the Use of

Amnesties and Pardons as a Response to Internal Armed Conflict. Israel Law

Review, Vol. 47(1), 133-147.

Roht-Arriaza, N., & Gibson, L. (1998). The Developing Jurisprudence on Amnesty.

Human Rights Quarterly, 20(4),

843-885.

Simonton, J. (1902). On the Origin and Nature of Law. The Yale Law Journal, 11(4), 195-207.

Smith, G. (1921). The Prytaneum in the Athenian

Amnesty Law. Classical

(8)

80 www.jurnalsagacious.net ISSN. 2355-8911

Stephenson, S. (2017). Reforming Constitutional Reform. In L. R., O. M., R. S., R. P., & &. T. (Eds.), New Directions for Law in

Australia: Essays in Contemporary Law Reform (pp. 369-376). Australia: ANU

Press.

Tejani, S. (2004). Sexual Harassment at the Workplace: Emerging Problems and Debates. Economic and Political Weekly, 39(41), 4491-4494.

US Doctors Report Sexual Harassment. (1993).

BMJ: British Medical Journal, 306(6875), 415. BMJ.

Walby, S., Olive, P., Towers, J., Francis, B., Strid, S., Krizsán, A., & . . . Armstrong, J. (2015). Strategy, planning and coordination. In Stopping rape: Towards

a comprehensive policy (pp. 21-58).

Bristol: Bristol University Press.

Walby, S., Olive, P., Towers, J., Francis, B., Strid, S., Krizsán, A., & . . . Armstrong, J. (2015a). Strategy, planning and coordination. In Stopping rape: Towards

a comprehensive policy (pp. 21-58).

Bristol: Bristol University Press.

Walby, S., Olive, P., Towers, J., Francis, B., Strid, S., Krizsán, A., & . . . Armstrong, J. (2015b). Law and the criminal justice system. In Stopping rape: Towards a

comprehensive policy (pp. 111-172).

Bristol: Bristol University Press.

Williams, K., & Ghosh-Dastidar, B. (2015). Beliefs About Sexual Assault and Sexual Harassment Prevalence, Prevention, and Progress. In Gore K., Morral A., & Schell T. (Eds.), Sexual Assault and Sexual

Harassment in the U.S. Military: Volume 2. Estimates for Department of Defense Service Members from the 2014 RAND Military Workplace Study (pp. 55-60).

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan kelompok kkomoditas yang memberikan andil terhadap inflasi yaitu kelompok sandang 0,0629 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,0304

Dari hasil penelitian ini dapat tergambar hampir seluruh dari responden yaitu 31 siswi (83,8%) dengan olahraga tidak baik yang mengalami Dismenore, hal ini disebabkan karena

tronic commerce” mempunyai arti melakukan aktivitas belanja di dalam bagian internet yang disebut World Wide Web atau website. Bagaima- napun, istilah e-commerce

Pembayaran berdasarkan waktu cocok untuk perusahaan dalam hal teknologi yang digunakan tidak memungkinkan mengukur keluaran individual atau kelompok dan tingkat keluaran diluar

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) sebanyak 8,33% responden berada pada kategori sangat baik dalam penerapan KTSP; 41,67% responden berada pada kategori baik; 47,22%

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, penulis menyimpulkan bahwa Masyarakat Desa Muara Takus hanya selalu memandang proses pemekaran wilayah Dusun tersebut sebagai

36 CICI ANDRIANI NAINGGOLAN AB-S P CAD UMPN 1. 37

Kebutuhan yang berhubungan dengan pengalaman estetika, kesenangan dan pengalaman emosional. Menurut penulis dalam penelitian ini kebutuhan afektif berkaitan dengan