• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. agama tertentu, tidak pada kelompok etnis tertentu, tidak pada kelompok kebiasaan dan. -Ir. Soekarno-

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. agama tertentu, tidak pada kelompok etnis tertentu, tidak pada kelompok kebiasaan dan. -Ir. Soekarno-"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

xvii BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

“Negara Republik Indonesia ini, tidak ditujukan pada kelompok tertentu, tidak pada agama tertentu, tidak pada kelompok etnis tertentu, tidak pada kelompok kebiasaan dan

tradisi tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Marauke.”

-Ir. Soekarno-

Sepenggal kalimat diatas yang dipekikkan oleh sang proklamator bangsa ini dengan begitu tegas dan lantangnya tentu sudah sangat jelas menunjukkan bahwasannya negeri ini dibangun 68 tahun yang lalu bukan oleh orang sembarangan apalagi dengan niat yang tidak baik. Melainkan penuh cita-cita dan harapan yang sedemikian itu untuk semata-mata mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dari berbagai golongan dan lapisan. Dimana cita-cita yang begitu mulia tersebut sayangnya dihadapkan kepada lika-liku perjalanan yang demikian panjangnya. Hingga pada hari ini kita dengan kesibukan kita masing-masing belum melihat pemerataan atas kesejahteraan rakyat Indonesia.

Selanjutnya adalah bagaimana mencapai kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Berbagai ide dan gagasan dari ekonom-ekonom pun bermunculan. Dimana salah satu gagasan itu adalah lahirnya suatu terobosan yang disebut “perbankan” atau segala sesuatu yang menyangkut tentang bank. Bahwa dijelaskan dimana Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya

(2)

xviii

dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.1 Sejarah Perbankan di Indonesia juga tidak bisa dikategorikan dalam bidang usaha yang baru lahir kemarin sore.

“Sejak masa kolonial atau tepatnya 10 Oktober 1827 De Javasche Bank N.V. didirikan oleh Belanda yang dalam perkembangannya menjadi cikal bakal Bank Sentral di Indonesia. Selanjutnya ada pula De Algemene Volkscredietbank tahun 1934 di Batavia yang dalam perkembangannya menjadi Bank Rakyat Indonesia. Satu lagi yaitu De Postpaarbank didirikan

tahun 1898 yang dikemudian hari menjadi Bank Tabungan Negara.”2

Dalam kurun waktu yang bisa kita lihat bersama yaitu lebih dari satu abad lamanya bangsa kita sudah mengenal dunia perbankan, tapi lagi-lagi kami katakan bahwa kita belum bisa melihat apa yang dicita-citakan dari lahirnya perbankan yaitu kesejahteraan yang merata. Beberapa pandangan mengatakan bahwa hal ini ditengarai oleh program-program yang dijalankan oleh para pelaku usaha perbankan belumlah mencapai semua lini masyarakat Indonesia. Maka tentulah kesejahteraan yang diharapkan belum dapat terealisasi.

Melalui data yang dilansir oleh World Bank didapatkan bahwa di Indonesia sat ini masih ada 68% dari 246,9 juta penduduk yang belum memiliki rekening di bank.3 Kemudian bila dibandingkan dengan pertumbuhan pengguna jasa telekomunikasi yang baru berlangsung 20 tahun jumlahnya sangat jauh berbeda. Yaitu 200 juta pelanggan bagi layanan telekomunikasi dan 70 juta rekening bank di saat yang sama4.

Hal mendasar mengapa pembahasan perbankan ini penting untuk kita bahas adalah jelas karena pemerintah sendiri dengan jelas telah merancang strategi nasional keuangan inklusif pada tahun 2011 di Sekretariat Wakli Presiden RI. Dimana Keuangan inklusif yang dimaksud didefinisikan sebagai hak setiap orang untuk memiliki akses penuh ke

1

Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tetang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

2

Drs Thomas Suyatne dkk., 1997, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 4 3

Novita Adi, Selilit Fraud di MPS, Infobank, November 2013

(3)

xix

layanan keuangan berkualitas secara tepat waktu, nyaman, informatif, dan terjangkau biayanya, dengan penghormatan penuh terhadap harkat martabatnya. Layanan keuangan tersedia bagi seluruh segmen masyarakat, dengan perhatian khusus kepada orang miskin, orang miskin produktif, pekerja migran, dan penduduk daerah terpencil. Maka kemudian dirancanglah visi nasional atas strategi keuangan inklusif yaitu mewujudkan sistem keuangan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat untuk endorong pertumbuhan ekonomi, penanggulangan kemiskinan, serta pemerataan di Indonesia.5 Oleh karena itu jelas sudah bahwa pemerataan atas akses terhadap layanan keuangan (bank) adalah salah satu proses untuk penanggulangan kemiskinan.

Posisi dari penduduk miskin di Indoensia mayoritas berada di daerah luar ibukota negara. Artinya peran layanan keuangan lah unuk menjemput bola ke daerah-daerah yang memang masih belum terjangkau oleh fasilitas perbankan di perkotaan. Apabila diukur jumlah kepemilikan rekenin bank antara penduduk di perkotaan dengan yang ada di pedesaan tentu terlihat kesenjangan jumlahnya. Hal ini ditengarai oleh berbagai alasan yang mendasari masyarakat pedesaan merasa enggan berurusan dengan perbankan. Penulis mencatat bebrapa alasan antara lain:

1. Masyarakat merasa uang yang dimiliki tidak terlalu banyak sehingga cukup aman apabila disimpan di dalam rumah, kamar, dll.

2. Masyarakat melihat jauhnya jarak yang harus ditempuh dari rumahnya menuju kantor cabang bank terdkat di daerahnya.

3. Masyarakat dihadapkan pada kondisi ekonomi dan sosial yang labil sehingga memerlukan pencairan dana sewaktu-waktu secara cepat, dekat, dan aman.

(4)

xx

Oleh karenanya, apabila semua stakehodlers terutama negara sebagai regulator dan bank sebagai pelaku usaha tidak melakukan suatu terobosan signifikan maka semakin jauhlah cita-cita Bung Karno di atas sebelumnya.

Melanjutkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif sebelumnya, kemudian lahirlah gagasan oleha sejumlah ekonom berupa model layanan perbankan yang baru. Dimana pada intinya model ini ingin mewujudkan financial inclusion yang prinsipnya adlaha melakukan aktivitas perbankan tapi tidak menggunakan kantor cabang atau yang dikenal dalam istilah branchless banking. Ide ini dirasa cukup efektif oleh banyak kalangan karena model penerapan nya dirasa cukup mudah dan tidak memerlukan biaya yang yang begitu besar. Walaupun resiko pasti tetap ada.

“Kegiatan branchless banking telah diuji cobakan oleh Bank Indonesia selama Mei 2013 hingga November 2013 kepada lima bank yaitu Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bank CIMB Niaga, Bank Tabungan Pensiunan Nasional, Bank Sinar Harapan Bali, dan ada dua perusahaan telekomunikasi yaitu Indosat dan XL Axiata. Selama sekian bulan dilakukan percobaan tentu ditemukan bebrapa kendala yang menjadi rujukan kepada Bank Indonesia dalam perumusan regulasinya. Salah satunya adalah penyebutan model branchless banking yang dirasa kurang tepat karena tidak hanya bank yang dilbatkan dalam proyek ini, tapi hadirnya perusahaan telekomunikasi di dalamnya. Maka Bank Indonesia mengubah istilahnya menjadi Mobile Payment System (MPS) atau Digital Financial Service.6”

Program Mobile Paymet System ini tercatat dilakukan melalui dua moda fasilitas untuk melayani nasabahnya.

“Yaitu pertama melalui agen yang dipekerjakan oleh bank dan kedua adalah melalu telepon genggam yang dilakukan baik oleh bank maupun telko. Dimana melalui dua moda tersebut nasabah dapat melakukan berbagai aktivitas layanan perbankan sebagaimana yang dilakukan pada

kantor cabang bank7. Seperti pembukaan rekening, setoran tunai, penarikan

tunai, transfer, pembayaran, dan lain-lain. Namun hal baru yang dilakukan adalah dalam pelaksanaan MPS oleh perusahaan telko yaitu adanya

6

Selilit Fraud di MPS, Novita Adi, Infobank, November 2013 7

M. Yunan Hilmi, Program Branchless Banking: Implementasi Dinilai Berjalan Baik, Bisnis Indonesia, 17 Des 2013

(5)

xxi

layanan rekening ponsel (rekpon) yang dimana setiap ponsel dengan kartu didalamnya dapat menjadi sarana kepemilikan suatu rekening”.

Dalam proses pelaksanaan uji coba kemarin Bank Indonesia mengakui ditemuinya beberapa kendala yaitu soal sinyal telekomunikasi yang terkadang lemah dan pembukaan rekening yang tidak tuntas dalam satu hingga empat hari. Selain itu, pemahaman dan kemampuan agen yang belum mumpuni, padahal peran agen sangat krusial.8 Kendala- kendala sebagaimana disebutkan di atas tentu pastiakan dihadapi dalam berbagi program baru yang memang belum pernah dilakukan. Namun sebelum program ini betul-betul diimplementasikan, tentunya pembentukan regulasi menjadi pekerjaan besar yang paling utama.

Bagaimanapun program ini menjadi tantangan utama bagi para pelaku usaha bank yang dituntut untuk terus melakukan inovasi dan meningkatkan daya kreatifitas mereka demi terciptanya cita-cita inklusi finansial untuk pemberantasan kemiskinan di Indonesia. Bila dipandang lebih jauh dari perspektif pelaku usaha bank, implementasi MPS menjanjikan pelua. Indonesia punya pasar sangat besar untuk digarap. Saat ini masih ada 68% dari 246,9 juta pnduduk yang belum memiliki rekening di bank. Dari jumlah penduduk dewasa, 80,4%-nya belum tersentuh layanan perbankan. Peluang lain berasal dari bisnis remitansi. Potensi remitansi mencapai 168 triliun rupiah yang dikontribusikan oleh pengiriman uang dari tenaga kerja indonesia yang jumlahnya mencapai 6,5 juta orang. Belum lagi bila menghitung remitansi dalam negeri antar daerah yang angkanya menyentuh 1,24 triliun rupiah. Belum lagi jika harus menghitung peluang dari perputaran uang pada usaha mikro, kecil, dan menengah. Terbayang berapa keuntungan yang dapat diraih oleh pelaku usaha bank apabila setengah saja dari kegiatan di atas beralih ke MPS.

8

(6)

xxii

Tentunya tidak mungkin apabila suatu peluang usaha tidak memiliki ancaman (threats) yang berjalan di sebelahnya. Ancaman yang dimaksud condong mengarah ke permasalahan hukum yang dihadapi dalam pelaksanaan MPS di kemudian hari. Pertama dalam moda telepon genggam yang menjadi tantangan utama adalah sinyal dari seluler itu sendiri. Dimana kita ketahui setiap perintah transaksi seperti yang sudah dimiliki oleh program mobile banking pada bank-bank umum yang sudah ada adalah mengirimkan pesan pertama kepada server yang dimiliki bank lalu kita diharuskan membalas lagi dengan memasukkan perintah dan password atau pin sebagai pengamannya. Hal di atas sangat rentan apabila dalam pengiriman antar perintah tersebut, telepon seluler yang digunakan malah kehilangan sinyal. Apalagi konsentrasi MPS ini adalah pada daerah pedesaan yang cenderung belum begitu baik keberadaan sinyal selulernya.

Kedua adalah dari perspektif moda agen. Secara teknis, rekrutmen agen memang menjadi tanggung jawab bank, kendati tetap merujuk ketentua BI. Penunjukan agen bisa secara perorangan atau badan hukum. Ada agane yang hanya bisa melakukan proses cash out atau penguangan. Agen yang berfungsi demikian itu disebuat Tempat Penguangan Tunai (TPT). Ada pula agen yang hanya melayani pembayaran. Level paling tinggi ialah agen yang bisa menjalankan layanan bank secara lengka (full banking service), termasuk menyalurkan kredit. Hal penting lain yang berlu dihindari adalah penipuan (fraud) soal batasan nominal transaksi yang bisa dilakukan seorang agen dalam satu hari bahkan satu bulan.9

Secara umum beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh realisasi pelaksanaan MPS nantinya adalah peluang perbuatan tindak pidana pencucian uang (money laundering). Dimana seperti yang diatur dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang (TPPU)

9

(7)

xxiii

yaitu setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

“dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”10

Artinya masyarakat yang mendapatkan uang dari hasil tindak pidana lalu mengalihkan uangnya dalam seperti disebut di atas maka dapat disebtu dalam TPPU. Selebihnya diluar perkara di atas, soal biaya transaksi juga perlu dibicarakan lebih lanjut. Karena program ini tentu tidak akan dapat diterima masyarakat pedesaan yang cenderung berada dibawah garis kemiskinan apabila biaya transaksi yang dibebankan kepada nasabah cukup tinggi. Hal paling penting apabila biaya MPS tidak terjangkau maka inklusi finansial pun tidak akan tercapai.

(8)

xxiv 1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikkan di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apa tujuan dari diterapkannya Digital Financial Service dalam industri perbankan di Indonesia?

2. Bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah yang menggunakan jasa bank dalam skema Digital Financial Service?

3. Bagaimana hubungan hukum antara bank dengan pihak-pihak yang terkait dalam skema Digital Financial Service?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:

a. Tujuan Objektif

1. Untuk mengetahui bagaimanakah formulasi terbaik dalam perumusan regulasi Digital Financial Service (DFS) dalam mewujudkan inklusi finansial.

2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk terbaik melindungi nasabah dalam praktek Digital Financial Service (DFS).

b. Tujuan Subjektif

Mencari dan memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan penulisan hukum sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

1.4 KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian dengan judul “Tinjauan Hukum Terhadap Digital Financial Service dalam Mewujudkan Financial Inclusion di Industri Perbankan Indonesia” yang akan dilakukan oleh penulis ini diangkat karena penulis ingin mengetahui lebih jauh lagi mengenai terobosan

(9)

xxv

baru dalam dunia perbankan yaitu kegiatan layanan keuangan yang tidak dilakukan di kantor bank. Sepanjang penulis ketahui berdasarkan riset yang telah dilakukan belum dijumpai penulisan hukum atau penelitian dengan judul dan permasalahan yang sama dengan penulis. Oleh karena itu, penulisan ini adalah hasil karya asli penulis. Dengan demikian keaslian penulisan ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

1.5 KEGUNAAN PENELITIAN

Ada beberapa manfaat yang akan bisa kita peroleh dalam penelitian ini, antara lain :

a. Bagi Peneliti

Peneliti akan memperoleh pengetahuan yang lebih luas dan mendalam mengenai terobosan baru dalam dunia perbankan yaitu kegiatan layanan keuangan yang tidak dilakukan di kantor bank. Terobosan yang kemudian disebut Digital Financial Service (DFS).

b. Bagi Perguruan Tinggi

Adanya penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa merupakan salah satu bentuk wujud pengabdian masyarakat.

c. Bagi Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan tentang model-model terbaik dalam mewujudkan inovasi dalam kegiatan usaha perbankan yang kemudian beriringan dengan jalannya strategi nasional keuangan inklusif.

d. Bagi Penyelenggara Negara

Penelitian ini akan membantu mewujudkan cita-cita Bung Karno dalam pemberantasan kemiskinan dari tanah pertiwi. Sebagai penunjang terciptanya keuangan inklusif kepada seluruh masyarakat Indonesia . Dimana poin-poin

(10)

xxvi

penting dalam penelitian ini dapat digunakan pula sebagai dasar riset pembentukan regulasi di masa yang akan datang.

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana pentingnya peran perpustakaan sekolah juga dapat disimak dari pernyataaan seorang mantan anggota komisi pendidikan di Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa apa

Dari beberapa masalah yang terjadi pada karyawan WFH di atas, mulai dari menurunnya tingkat work engagement sejak diberlakukannya WFH, sulitnya menerapkan work-life

Sistem pakar merupakan program aplikasi dimana program tersebut menirukan proses penalaran dari seorang ahli dalam memecahkan masalah, dengan kata lain sistem

Jika kaum Muslimin menyadari bahwa dari mereka berada dalam suasana shahwah Islamiyah dan kesadaran Islami, maka di antara prinsip-prinsip shahwah dan prioritasnya ialah:

Dalam sistem ekonomi syariah menurut Advika (2017) ekonomi syariah semakin hari perkembangannya semakin dikenal di masyarakat. Tak hanya untuk kalangan islam semata, tetapi juga

ƒ Diagenesis ketiga terjadi dalam lingkungan fresh water phreatic, yang ditandai oleh pelarutan butiran, matriks dan semen yang membentuk porositas vuggy dan moldic; pelarutan

Perpustakaan dengan koleksinya yang lengkap merupakan sumber utama dalam pelayanan informasi. Sebagai sumber informasi, koleksi perpustakaan tidak hanya dalam bentuk tercetak

Redesain bangunan Polres Purwa Balikpapan ini dengan sasaran yang di utamakan adalah penataan kembali ruang menjadi lebih baik, memberikan wajah baru dari