• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR BERDASARKAN KONTRAK PRODUCTION SHARING. Kontrak Production Sharing merupakan model yang dikembangkan dari konsep

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR BERDASARKAN KONTRAK PRODUCTION SHARING. Kontrak Production Sharing merupakan model yang dikembangkan dari konsep"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR BERDASARKAN KONTRAK

PRODUCTION SHARING

A. Kontrak Production Sharing

Kontrak Production Sharing merupakan model yang dikembangkan dari konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam hukum adat Indonesia. Konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam hukum adat tersebut telah dikodifikaskan dalam Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian bagi hasil. Menurut undang-undang tersebut pengertian perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemiliki pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam hal ini disebut “penggarap” berdasarkan perjanjian mana diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan

usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasil antara kedua belah pihak30.

Secara umum kontrak Production Sharing digambarkan oleh Howard R. William dan Charles J.Meyers sebagai berikut:

“A contract for development of mineral resources under which the contracto r’s costs are recoverable each year out of the production but there is a maximum amount of production which can be applied to this cost recovery in any year. In many such contractors, the maximum is 40%. This share of oil produced is referred to as “cost oil”. The balance of the oil (initially 60%) is regarded as “profit oil” and is divided in the net profit royalty ratio-for instance, 55% to the government. After the contactor has recovered its investment, the amount of the “cost oil” ill drop to cover operating expenses only and profit oil increases by a corresponding amount31.

1. Latar Belakang Timbulnya Kontrak Production Sharing a. Indische Mijn Wet (IMW)

      

30Rudi M.Simamora, Hukum Minyak Dan Gas Bumi.( Jakarta: Djambatan, 2000), hlm 59. 31Ibid hlm 60.

(2)

Kontrak dibidang minyak dan gas bumi telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda sampai dengan saat ini. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang minyak dan gas bumi pada zaman Belanda adalah Indische Mijn Wet (IMW). Undang-undang ini diundangkan

pada tahun 198932. Sejak diundangkannya Indische Mijn Wet (IMW), Pemerintah Hindia Belanda

menyatakan penguasaan mereka atas mineral dan logam di Indonesia. Perbaikan kebijakan di bidang pertambangan dilakukan antara lain pada tahun 1910 dan 1918. Pada tahun 1906 telah ditetapkannya Mijnordonnantie (Ordonansi Pertambangan). Pada tahun 1910 Pemerintah Hindia

Belanda menambahkan Pasal 5A pada Indische Mijn Wet (IMW) yang berbunyi sebagai berikut33

:

1. Pemerintah berwenang untuk melakukan sendiri penyelidikan dan eksploitasi selama hal itu tidak bertentangan dengan hak-hak yang telah diberikan kepada penyelidik atau pemegang konsesi.

2. Untuk hal tersebut, Pemerintah dapat melakukan sendiri penyelidikan dan eksploitasi atau mengadakan perjanjian dengan perorangan atau perusahaan yang memenuhi persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 undang-undang ini dan sesuai perjanjian itu mereka wajib melakukan eksploitasi, ataupun penyelidikan dan ekspolitasi yang dimaksud. 3. Perjanjian yang dimaksud itu tidak akan dilaksanakan, kecuali telah disahkan dengan

undang-undang.

Inti ketentuan Pasal 5A ini adalah34 :

1. Pemerintah Hindia Belanda mempunyai kewenangan untuk melakukan peneyelidikan dan eksploitasi.

      

32 Salim HS, Op.cit. hlm 17. 33 Abrar Saleng, Op.cit.hlm 65 34 Salim HS, Op.cit., hlm 263.

(3)

2. penyelidikan dan eksploitasi itu dapat dilakukan sendiri dan mengadakan kontrak dengan perusahaan minyak dalam bentuk kontrak 5A atau lazim disebut dengan sistem konsesi. Ketentuan ini dialihkan oleh Pemerintah pada era pasca kemerdekaan dengan menerbitkan

UU No.14 tahun 1960, tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi b. Undang-Undang Nomor 44 prp tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

Ketentuan utama Undang-undang ini ialah:

“Segala bahan galian migas yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. Pertambangan migas hanya diusahakan oleh negara dan pengusahaannya hanya dilaksanakan oleh Perusahaan Negara. Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor Perusahaan Negara apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan. kuasa pertambangan tidak meliputi hak tanah atas permukaan bumi. demikian pula pekerjaan kuasa

pertambangan tidak boleh dilakukan di wilayah yang ditutup untuk kepentingan umum35”

UU Nomor 44 Tahun 1960 ini merupakan penjabaran prinsip dasar UUD 1945, yang tercermin dalam Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yaitu: ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” serta dalam ayat 3: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Undang-undang ini menjadi penegasan penghapusan sistem konsesi lama serta penegasan prinsip kedaulatan nasional atas sumber daya minyak dan gas. Menyadari bahwa pengembangan sumber daya minyak dan gas memerlukan investasi modal yang besar, pengalaman menggunakan teknologi canggih serta ketrampilan, maka undang-undang ini memungkinkan partisipasi perusahaan minyak asing.       

(4)

Namun demikian, perusahaan minyak asing tidak sebagai pemegang konsesi, melainkan hanya sebagai kontraktor bagi pemegang hak penambangan (mining right), yaitu: negara atau

Perusahaan Negara36. Perjanjian final ditandatangani pada kontrak yang pada akhirnya rincian

dari perjanjian dimasukkan dalam kontrak yang kemudian dikenal sebagai :”Perjanjian Karya atau Kontrak Karya”.

Butir-butir kontrak karya antara lain memuat37 :

1. Caltex, Stanvac dan Shell melepaskan hak konsesi “kontrak 5A” dan beroperasi selaku kontraktor terhadap Perusahaan Negara.

2. resiko usaha serta manajemen kegiatan di tangan kontraktor.

3. dana dan tenaga ahli untuk melaksanakan operasi disediakan oleh Kontraktor. 4. jangka waktu berlakunya perjanjian karya adalah 20 tahun

5. fasilitas pemasaran dan distribusi akan diserahkan dalam waktu 10-15 tahun.

6. pembagian adalah berdasarkan pembagian keuntungan antara Pemerintah dan Kontraktor sebesar 60%/40%. pemerintah akan menerima paling sedikit 20% dari minyak yang dihasilkan pertahun.

7. kontraktor menyerahkan 25% dari bagiannya kepada Pemerintah sebagai Domestic Market Obligation (DMO) dan memperoleh 0,2$/barel sebagai fee.

Perjalanan Perjanjian Karya ini didapati bahwa perusahaan asing tidak lagi menikmati status sebagai pemegang konsesi, namun pada praktiknya tidak ada perubahan yang signifikan, perusahaan minyak asing seperti biasa melakukan operasionalnya sementara pemerintah terbatas

dalam hal pengawasan38.

c. Penghapusan Perjanjian Karya       

36 Ibid hlm 41. 37 Ibid hlm 42 38 Ibid hlm 42

(5)

Perjanjian Karya ini ternyata ditentang sehingga mendorong lahirnya Konsep kontrak Production Sharing. Kontrak Production Sharing ini pertama kali dimunculkan pada tahun 1960 di Venezuela oleh Ibnu Sutowo. Ibnu Sutowo adalah seseorang yang menentang sistem kontrak karya karena tidak yakin bahwa sistem ini akan membawa perubahan dibanding sistem Konsesi sebelumnya. Ketidakpuasan terhadap sistem kontrak karya mendorong lahirnya sistem bagi hasil dimana dua pihak yang terlibat (pemerintah sebagai tuan rumah dan perusahaan minyak asing) berbagi hasil produksi minyak dan gas yang dihasilkan, bukan berbagi hasil penjualan minyak dan gas bumi sebagaimana dilakukan pada sistem kontrak karya. Pemerintah selaku tuan rumah

juga mempunyai kewenangan manajemen39.

Perusahaan minyak besar tidak siap menerima konsep bagi hasil yang dicetuskan Ibnu Sutowo ini, mereka juga tidak bersedia untuk melepaskan kewenangan manajemen sebagai

ketentuan dan persyaratan PSC40. Dalam situasi seperti ini, masuklah perusahaan minyak kecil

independen yang cenderumg lebih fleksibel terhadap ketentuan dan persyaratan pemerintah dibanding perusahaan minyak besar. Perusahaan minyak yang pertama masuk tersebut ialah Independence Indonesian American Oil Company (IIAPCO). IIAPCO sebelumnya pernah menjaj4rfgaki investasi migas untuk kontrak di lepas pantai Jawa pada tahun 1964 namun tidak berhasil. mereka kembali awal tahun 1966, setelah dua bulan negosiasi, IIAPCO menandatangani Kontrak Bagi Hasil dengan PERMINA, sekaligus tercatat sebagai kesepakatan PSC pertama

dalam sejarah industri migas dunia41.

      

39 Ibid

40Tim Penulis Manajemen Pembangunan, Dinamika Kepemimpinan dalam Pertamina, ( Jakarta: Lembaga Administrasi RI, 1996), hlm 43

(6)

Pada tahun 1966, Ibnu Sutowo telah menawarkan substansi (isi) kontrak Production Sharing

kepada para kontraktor asing. Isinya adalah sebagai berikut42 :

1. Kendali manajemen di pegang oleh Perusahaan Negara. 2. Kontrak akan didasarkan oleh pembagian keuntungan

3. Kontraktor akan menanggung resiko praproduksi, dan bila minyak ditemukan, penggantian biaya dibatasi sampai maksimum 40% dari minyak yang dihasilkan.

4. Sisa 60% dari produksi (lebih dari biaya perlunasan adalah dibawah maksimum 40%) akan dibagi dengan komposisi 65% untuk Perusahaan Negara dan 35% untuk kontraktor.

5. Hak atas semua peralatan yang dibeli kontraktor akan dipindahkan kepada Perusahaan Negara begitu peralatan itu masuk ke Indonesia, dan biaya ditutup dengan formula 40%. Perdebatan mengenai legalitas juga muncul saat PSC diperkenalkan mengingat UU Nomor 44 tahun 1960 tidak mengenal PSC melainkan Perjanjian Karya. Tetapi karena belum adanya landasan hukum, banyak investor kemudian menanyakan keabsahan PSC. Sementara UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) mengatur investasi asing untuk sektor pertambangan, sedangkan untuk sektor migas tidak mengikuti peraturan dan prosedur UU PMA

tetapi mengacu kepada UU 44 tahun 196043.

d. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 dan Undang Nomor 22 Tahun 2001

Konsep kontrak Production Sharing yang ditawarkan oleh Ibnu Sutowo kemudian dituangkan dalam UU Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina, sebagai dasar hukum PSC yang dimuat dalam Pasal 12 ayat 1, yang berbunyi: ”Perusahaan dalam hal ini Pertamina, dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak Production Sharing”. Dan ayat 2 yang berbunyi: “ Syarat-syarat kerja sama sebagaimana terdapat dalam ayat 1 Pasal ini akan       

42 Salim HS, Op.cit., hlm 266-267 43 Benny Lubiantara, Op.cit.

(7)

diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)”. Ternyata dalam perjalanannya, perlu waktu yang panjang (23 tahun) untuk mengeluarkan PP yang dimaksud. PP No 35 tentang “Syarat-syarat dan

pedoman kerja sama Kontrak Bagi Hasil minyak dan gas bumi” baru diterbitkan tahun 199444.

Konsep kontrak Production Sharing ternyata mendapat sambutan yang hangat dari para kontraktor asing sehingga 59 perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia berdasarkan prinsip kontrak Production Sharing. Prinsip kontrak Production Sharing kini telah dikuatkan telah

dikuatkan oleh Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi45.

Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 menentukan bahwa para pihak yang terkait dalam kontrak Production Sharing adalah Badan Pelaksana dengan badan usaha usaha atau bentuk usaha tetap, bukan lagi Pertamina. Sementara itu, status Pertamina saat ini adalah sebagai

Perusahaan Perseroan (PERSERO)46.

2. Konsep Teoritis Kontrak Bagi Hasil/ Production Sharing Contract

Kontrak Bagi Hasil merupakan terjemahan dari istilah Production Sharing Contract (PSC). Dalam Russia’s law on Production Sharing Agreement tahun 1995 dan The Petroleum Tax Code tahun 1997, istilah yang digunakan adalah Production Sharing Agreement (PSA), sedangkan di Suriname, istilah yang lazim digunakan adalah Production Sharing Service Contract (PSSC)47. Di Indonesia istilah Production Sharing ditemukan dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina Jo Undang-Undang Nomor 10 tahun 1974 tentang Perubahan Undang-Undang No 8 tahun 1971 Pertamina. Sementara itu dalam       

44 Hoesein Wiriadinata, Praktik Perjanjian Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dalam Perspektif Hukum Indonesia,Jurnal hukum Bisnis, Vol.2 No.2,2007,h.16-21

45 Salim, Op.cit., hlm 267.

46 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk PERTAMINA menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)

(8)

Pasal 1 angka 19 Undang-Undang No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, istilah yang digunakan adalah dalam bentuk Kontrak Kerja Sama. Kontrak Kerja Sama ini dapat dilakukan dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kerja sama lainnya. Dalam PSA ini dimungkinkan kontrak itu dibuat antara Negara dengan Investor. Negara berkedududkan sebagai pemilik sumber daya alam, sementara investor merupakan lembaga atau badan hukum yang menanamkan investasinya di dalam bidang minyak dan gas bumi. PSA ini bertujuan untuk melindungi

investasi yang ditanamkan oleh Investor48.

Kontrak Production Sharing ditemukan dalam Pasal 1 angka 19 Undang-Undang No 22 tahun 2001. Dalam Pasal ini berbunyi bahwa Kontrak Kerja Sama ialah: “ Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.”

Pasal ini tidak khusus menjelaskan pengertian kontrak Production Sharing, tetapi difokuskan pada konsep teoritis kerja sama di bidang minyak dan gas bumi. Kerja sama dalam bidang minyak dan gas bumi dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kontrak Production Sharing dan kontrak-kontrak lainnya. pengertian kontrak Production Sharing dapat kita baca dalam Pasal 1 angka (1) PP Nomor 35 tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerja Sama Kontrak

Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi. Kontrak Production Sharing adalah49 :

“Kerja sama antara Pertamina dan Kontrakto untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkanpembagian hasil produksi”

Sebagai perjanjian bagi hasil, dalam kontrak Production Sharing para pihaknya adalah Pertamina dan Kontraktor. Tetapi setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 para

      

48 Ibid

(9)

pihaknya adalah Badan Pelaksana dan Badan Pelaksana dengan badan usaha tetap atau bentuk usaha tetap. Dengan demikian, defenisi ini perlu dilengkapi dan disempurnakan menjadi :

“Perjanjian atau kontrak yang dibuat antara badan usaha tetap atau bentuk usaha tetap untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan pembagian hasil produksi”50.

Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi. Fungsi Badan Pelaksana ini adalah melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik Negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi Negara

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat51.

Badan usaha adalah Perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus didirikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta

bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan RI52 .

Badan usaha tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara kesatuan RI yang melakukan kegiatan di wilayah Negara kesatuan RI dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di RI.

a. Landasan Hukum Kontrak Production Sharing

Dasar hukum kontrak Production Sharing ialah Pasal 6 ayat 1 Undang-undang Nomor 44 prp. Tahun 1960 jo Pasal 10 ayat 1 UU PP 1967. Meskipun kedua undang-undang yang disebut pertama diatas disebut sebagai dasar hukum kontrak Production Sharing, namun di dalamnya       

50 Ibid

51 Pasal 44 UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 10 PP Nomor 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan gas bumi

52 PP Nomor 42 tahun 2002 tentang Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap bidang Kegiatan Hulu Usaha Minyak dan gas bumi.

(10)

tidak disebutkan kontrak Production Sharing, melainkan istilah perjanjian karya, sedangkan istilah kontrak Production Sharing terdapat dalam ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor 8

tahun 197153.

Adapun Peraturan Perundang-undangan Kontrak Production Sharing, yaitu54:

1. UU 14 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

2. UU 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Perpu 2/1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri

3. UU 22 Tahun 2001, tentang Minyak dan gas Bumi

4. PP 41 Tahun 1982 tentang Kewajiban dan Tata Cara penyetoran Pendapatan Pemerintah dari Hasil Operasi Pertamina Sendiri, dan Kontrak Production Sharing.

5. PP 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi

6. Kepperes 42 Tahun 1989 tentang Kerja Sama Pertamina dengan Badan Usaha Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi

7. Keppres 169 Tahun 2000 tentang Pokok Pokok Organisasi Pertamina

8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.010/2005, tanggal 3 Maret 2005, tentang Pembebasan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor Tidak Dipungut Atas Impor Barang Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) Minyak dan Gas Bumi.

9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 79/PMK.02/2012, Tanggal 24 Mei 2012, tentang Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara Dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dan Perhitungan Pajak Penghasilan Untuk Keperluan       

53 Abrar Saleng, Op.cit. hlm 85 54 Salim HS, Op.cit, hlm 269.

(11)

Pembayaran Pajak Penghasilan Minya Bumi dan/atau Gas Bumi Berupa Volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi.

10. Peraturan Dirjen Bea dan Cukai – PER – 04/BC/2005, tanggal 31 Maret 2005, tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 20/PMK.010/2005, tentang Pembebasan Bea Masuk dan Pajak dalam Rangka Impor Tidak Dipungut Atas Impor Barang Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing ContractI) Minyak dan Gas Bumi. Telah diubah dengan, Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No. 04/BC/2005, tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 20/PMK.010/2005, tentang Pembebasan Bea Masuk dan Pajak dalam Rangka Impor Tidak Dipungut Atas Impor Barang Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing ContractI) Minyak dan Gas Bumi.

11. Kepmenkeu No, 457/KMK.012/1984, tanggal 21 Mei 1984, tentang Petunjuk Jenis-Jenis Harta Dalam Masing Masing Golongan Harta Untuk Keperluan Penyusutan Bagi Kontraktor yang Melakukan Kontrak Production Sharing Dalam Explorasi dan Exploitasi Minyak dan Gas Bumi Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) yang Ditandatangani Setelah UU No. 7 Tahun 1985. Telah diubah dengan, Kepmenkeu No. 120/KMK/0.12/1986, tanggal 5 Maret 1986, tentang Perubahan Ketentuan Pasal 3 Kepmenkeu No. 457/KMK.012/1984 tanggal 21 Mei 1984. Kemudian telah dicabut dengan, Kepmenkeu No. 521/KMK.04/2000, tanggal 14 Desember 2000, tentang Jenis-jenisHarta yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Untuk Keperluan Penyusutan Bagi Kontraktor yang Melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi Dalam Rangka Kontrak Bagi Hasil Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA).

(12)

12. Permenkeu No. 39/PMK.011/2013, tanggal 27 Februati 2013, tentang Kewajiban Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan yang Terutang Kepada Pihak Lain Oleh Perusahaan yang Terikat Dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan.

13. Kepmenkeu No. 83/KMK.04/1999, tanggal 25 Februati 1999, tentang Penyusutan Atas Harta berwujud yang Dimiliki dan Digunakan Kontraktor yang Melakukan Kontrak Bagi Hasil di Bidang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerjasama Zona A Celah Timor.

b. Ciri-ciri utama kontrak Production Sharing

Jika diteliti dari berbagai variasi kontrak Production Sharing ada beberapa ciri-ciri utama yang terlihat yaitu55 :

1) Manajemen ada di tangan Negara (Perusahaan/Lembaga Negara).

Dalam bentuk Kontrak Production Sharing, Negara umumnya diwakili oleh Perusahaan Negara misalnya di Indonesia Pertamina dan Petronas di Malaysia dan diubah kembali dengan membentuk perwakilan negara dalam lembaga SKK Migas. Pembentukan Perusahaan Negara untuk mewakili Negara dalam bentuk kontrak Production Sharing adalah dilatarbelakangi oleh pertimbangan hukum bisnis, maksudnya dengan membentuk Perusahaan Negara keterlibatan Negara dalam manajemen operasional, yang tentunya beresiko bisnis yang relative unpredictable dan unlimited, dapat dialihkan kepada Perusahaan Negara. Selain itu Negara sebagai institusi kedaulatan memiliki keterbatasan alamiah untuk dapat terlibat langsung dalam operasional bisnis.

2) Manajemen di tangan Negara       

(13)

Artinya Negara ikut serta mengawasi jalannya operasi secara aktif dengan tetap memberikan kewenangan kepada kontraktor untuk bertindak sebagai operator dan menjalankan operasi di bawah pengawasannya. Negara terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan operasional yang biasanya dijalankan dengan mekanisme persetujuan (approval). Inti persoalan dalam masalah ini adalah batasan sejauh mana persetujuan Negara atau Perusahaan Negara diperlukan dalam proses pengambilan keputusan. Ketentuan ini lekat dengan nuansa

juridis-politis56. Dengan kuasa pertambangan minyak dan gas bumi tidak melepaskan kontrolnya atas

pelaksanaan hak pengusahaan pertambangan. Yang terjadi adalah pendelegasian dan derivasi kewenangan, sedangkan hak asal tidak berubah dan tidak dialihkan sama sekali. Khusus untuk Indonesia, ketentuan ini merupakan tuntutan konstituonal dari Pasal 33 UUD 1945.

3) Penggantian biaya operasi (operating cost recovery)

Konsep penggantian biaya ini juga pertama kali diterapkan oleh Indonesia. Sebagai contoh, dalam standard Kontrak Production Sharing PERTAMINA hal ini diatur dalam klausula yang berbunyi sebagai berikut: “ Contractor will recover all operating cost out of the sales proceeds or other disposition of the required quantity of crude oil equal in value to such operating costs which is produced and saved hereunder and not used in Petroleum Operations….”.

4) Adanya penggantian biaya operasi

Yaitu yang telah dikeluarkan oleh kontraktor dalam Kontrak Production Sharing mengandung makna bahwa kontraktor mempunyai kewajiban untuk menalangi terlebih dahulu biaya operasi yang diperlukan, yang kemudian diganti kembali dari hasil penjualan atau dengan       

56 Yakni peran negara sebagai pemegang kuasa pertambangan tetapi juga mengontrol pelaksanaan pertambangan, kepada pengusaha pertambangan ialah sebagai penyerahan kewenangan untuk melaksanakan pertambangan melalui peraturan perundang-undangan juga kontrak yang telah disepakati.

(14)

mengambil bagian dari minyak dan gas bumi yang dihasilkan. Jika dalam satu tahun kalender tertentu, kontraktor tidak mendapatkan penggantian biaya operasi secara penuh karena ternyata hasil produksi atau hasil penjualan dibawah biaya operasi, maka kekurangan akan diperhitungkan pada tahun berikutnya. Besaran penggantian biaya operasi ini tidak harus selalu penggantian penuh (full recovery), bisa saja hanya sebagian tergantung dari hasil negosiasi, sebagai contoh kontrak Production Sharing Myanmar hanya memberikan penggantian biaya maksimum 40% dari keseluruhan minyak dan gas bumi yang dihasilkan.

5) Pembagian Hasil Produksi (production split)

Pembagian hasil produksi setelah dikurangi biaya operasi dan kewajiban lainnya merupakan keuntungan yang diperoleh oleh kontraktor dan pemasukan dari sisi Negara. Besaran pembagian hasil produksi ini berbeda-beda antara Negara satu dengan Negara lainnya, dan juga berbeda dari satu kontrak Production Sharing satu dengan lainnya di dalam satu Negara tergantung dari berbagai faktor yang terkait misalnya faktor keterpencilan (remoteness), semakin terpencil tentu akan semakin tidak menarik bagi investor, sehingga harus diberikan berbagai insentif yang mungkin berupa pengurangan beban pajak, bonus produksi yang lebih kecil dan sebagainya.

6) Pajak (Tax).

Yang dimaksud dengan pajak ini adalah semua pajak oleh ketentuan hukum dikenakan atas kegiatan operasi kontraktor disuatu Negara tertentu terutama pajak penghasilan perusahaan. Pengenaan pajak penghasilan perusahaan ini dikaitkan erat dengan besarnya pembagian dimaksud hasil produksi antara Negara dengan kontraktor. Umumnya dalam Kontrak Production Sharing kontraktor tidak dikenakan pajak tanah (surface tax) sebagaimana biasanya dalam konsesi. Prinsipnya adalah semakin besar bagian Negara maka pajak penghasilan yang

(15)

dikenakan atas kontraktor akan semakin kecil sehingga pilihannya adalah apakah bagian Negara diperbesar dengan sebaran kewajiban fiscal lainnya diperkecil atau sebaliknya bagian Negara diperkecil dengan sebaran kewajiban fiskal lainnya diperbesar. Pendekatan yang terakhir cocok untuk kondisi dimana tingkat kepastian cadangan rendah sehingga penerimaan negara lebih dijamin oeh kewajiban fiskal daripada bertumpu pada pengambilan bagian yang menjadi hak Negara, dan logika sebaliknya berlaku untuk pendekatan yang pertama.

7) Kepemilikan asset ada pada Negara (Perusahaan Negara).

Umumnya semua peralatan yang diperlukan untuk pelaksanaan operasi menjadi milik Perusahaan Negara segera setelah dibeli atau setelah depresiasi. Defenisi setelah dibeli berbeda dari satu Negara ke Negara lainnya demikian juga dengan metode penghitungan depresiasi yang digunakan berbeda dari satu Negara ke Negara lainnya. Dalam kontrak Production Sharing Pertamina klausula yang mengatur hal ini berbunyi sebagai berikut :” Equipment purchased by Contractor pursuant to the work program becomes the property of Pertamina (in case of import, whwn landed at the Indonesian ports of import) and will be used in Petroleum operations hereunder”. Ketentuan ini mengecualikan peralatan yang disewa karena kepemilikannya memang tidak pernah beralih kepada kontraktor.

a. Klasifikasi Kontrak Production Sharing

Salah satu pakar fiskal perminyakan, Daniel Johnston membuat klasifikasi kontrak di industri hulu migas yang ditunjukkan pada gambar 1.1. pada prinsipnya, pengaturan sistem kontrak migas antara Negara tuan rumah dan investor dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem konsesi dan sistem kontrak. Sistem kontrak dapat digolongkan menjadi Production Sharing

(16)

Contract (PSC) dan Service Contract. Selanjutnya Service Contract dapat dibagi lagi menjadi

dua yaitu Pure Service Contract dan Risk Service Contract57.

Gambar 1: Klasifikasi Kontrak di Industri Hulu Migas 58

b. Karakter Kontrak Production Sharing

Substansi Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas bumi yaitu 59 :

a. Jangka waktu

Jangka waktu kontrak adalah 30 tahun dengan masa eksplorasi 6 tahun dan perpanjangan masa eksplorasi selama 4 tahun. Adapun kontrak yang telah habis jangka waktunya dapat diperpanjang kembali 20 tahun.

b. Penyisihan Wilayah Kerja

Ditujukan untuk mempercepat kegiatan eksplorasi, dengan persentase 25% pada tiga tahun pertama, 25% pada 6 tahun pertama dan 30% pada saat atau sebelum akhir tahun kesepuluh. Kontaktor hanya diperbolehkan mempertahankan wilayah kerja yang diusahakan dengan

      

57 Benny Lubiantara, Op.cit., hlm 6 58 Ibid

59 Adrian Sutedi,

Petroleum Fiscal Arrangement

Consessionary System Contractual system

Production Sharing Contract Service Contract

Risk Service Contract

(17)

pesentase 20% (termasuk wilayah yang dikembangkan), penyisihan secara keseluruhan pada saat pengakhiran kontrak.

c. Program kerja dan anggaran

Disiapkan dan diajukan untuk mendapatkan persetujuan Badan Pelaksana terdiri dari komitmen pasti selama 3 tahun (tercantum dalam dokumen penawaran lelang) dan komitmen 6 tahun dengan penekanan pada program kerja berdasarkan ketentuan kontrak.

d. Manajemen kontrak

Manajemen operasi (termasuk persetujuan program kerja dan anggaran) menjadi tanggung jawab Badan Pelaksana, sedangkan pelaksanaan program kerja dan anggaran menjadi tanggung jawab kontraktor.

e. Pengalihan

Pengalihan interest ekonomi kepada perusahaan afiliasi cukup dengan sepengetahuan Badan Pelaksana, sedangkan pengalihan terhadap perusahaan non afiliasi harus dengan persetujuan Badan Pelaksana dan Pemerintah batasan terhadap pengalihan ini terdapat pada 3 tahun pertama, terhadap kontraktor berlaku kebijakan Ring Fence dimana kontraktor hanya boleh menangani 1 wilayah kerja.

f. Kredit investasi dan biaya operasi

Kredit investasi (dapat diterapkan pada lapangan baru dan pengembangan yang langsung berhubungan dengan fasilitas produksi minyak mentah) dan biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor akan diperoleh kembali melalui hasil penjualan atau pembagian minyak mentah setiap tahun kelender.

(18)

Kontraktor berkewajiban menyediakan semua dana untuk membeli dan menyewa peralatan, peralatan yang dibeli tersebut status hukumnya menjadi milik pemerintah ketika peralatan tersebut memasuki wilayah Indonesia tetapi penguasaannya diserahkan pada kontraktor.

h. FTP-I dan FTP-II

First Tranche Petroleum-I adalah hak para pihak untuk mengambil dan menerima sebagian minyaknya (20 atau 15%) terlebih dahulu sebelum dikurangi dengan biaya operasi dan produksi setiap tahunnya, FTP tersebut akan dibagi antara Badan Pelaksana dan kontraktor sesuai dengan bagian masing-masing dalam Kontrak Kerja Sama. First Tranche Petroleum-II adalah hak Badan Pelaksana untuk mengambil dan menerima sebgaian minyaknya (10%) terlebih dahulu sebelum dikurangi dengan biaya operasi dan produksi setiap tahunnya, FTP ini tidak akan dibagi antara Badan Pelaksana dan kontraktor.

i. Kompensasi, Bantuan dan Bonus

Terdiri dari kompensasi informasi, bonus peralatan, dan bonus produksi wajib diserahkan kontraktor kepada pemerintah tanpa membebankan pada biaya operasi.

j. Tenaga kerja

Kontraktor harus menyediakan semua teknologi yang diperlukan dan tenaga kerja asing (ekspatriat). Kontraktor setuju untuk memperkerjakan tenga kerja Indonesia yang bermutu dan memperhatikan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Indonesia, selain itu kontraktor berkewajiban membantu pelatihan tenaga kerja Badan Pelaksana.

(19)

Perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara damai akan diserahkan pada Putusan Badan Arbitrase dengan sebelumnya melalui usaha Alternative Dispute Resolution, arbitrase akan menggunakan aturan ICC (International Chamber of Commerce.)

l. Pembukuan, Akuntansi, dan pemeriksaan

Badan Pelaksana berkewajiban untuk memebuat pembukuan dan akuntansi yang lengkap, pada masa eksplorasi kewajiban membuat pembukuan dan akuntansi tersebut berada pada kontraktor. Badan Pelaksana dan Pemerintah berwenang untuk memeriksa pembukuan yang dibuat oleh kontraktor.

m. Partisipasi

Badan Pelaksana mempunyai hak untuk meminta kepada kontaktor sebesar 10% interest penuh dari keseluruhan hak dan kewajiban dalam kontrak untuk ditawarkan kepada “Partisipan Indonesia” (Pemda, BUMD atau perusahaan berbadan hukum Indonesia dan sahamnya dimiliki Indonesia)

n. Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri

Kontraktor berkewajiban menyediakan hasil produksinya untuk kebutuhan dalam negeri (minyak mentah dan gas dengan perhitungan: 25% x produksi x persentase bagian kontraktor. Kontrak Migas di beberapa Negara mewajibkan kontraktor mengalokasikan bagian produksinya untuk keperluan pasokan domestic sejumlah volume tertentu. Untuk lima tahun pertama (lebih tepatnya 60 bulan pertama) pada saat produksi dimulai, volume untuk DMO ini dihargai dengan

“harga pasar”60 minyak mentah tersebut, yang dikenal dengan DMO Holiday. Setelah periode

DMO Holiday, harga minyak akan di diskon sesuai dengan yang tertera pada kontrak, 10%, 15% atau 25% dari harga pasar minyak mentah tersebut.

      

(20)

Kewajiban DMO juga diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2001 Pasal 22 ayat 1 tentang Minyak dan Gas Bumi yakni: “Badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi Minyak dan Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri”. Namun, Pasal ini tidak bertahan lama karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.002/PUU-1/2003, tanggal 21 Desember 2004 mengenai Minyak dan Gas Bumi membatalkan Pasal 22 ayat 1 di atas sehubungan dengan adanya kata “paling banyak” 25% dan seterusnya, karena ini dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dalam draft

RUU pengganti UU 22 tahun 2001 diusulkan kata “paling sedikit” 25% dan seterusnya61.

      

(21)

Gambar 2 : Skema Pembagian Hasil Produksi62

      

62 Directorate of Upstream business development Oil and Gas Investment Center, Indonesia Petroleum

First Round 2012, (Jakarta: Ministry of Energy and Mineral Resources Directorate General of Oil and Gas, 2012),

hlm 3. Gross Production Equity To Be Split  CONTRACTOR SHARE INDONESIA SHARE FTP 20 %   Cost Recovery  DMO FEE  DMO  25%  Tax 40% Indonesia Take  Contractor Take  Taxable Income 

(22)

e. Bentuk Dan Substansi/Hal Yang Diatur Dalam Kontrak Production Sharing

Kontrak Production Sharing berbentuk tertulis. Kontrak itu dalam bentuk akta di bawah tangan, yaitu dibuat antara Badan Pelaksana dengan badan usaha dan/atau badan usaha tetap. Sementara itu, substansi yang harus dimuat dalam kontrak Production Sharing memuat paling sedikit63 :

1. Penerimaan Negara

2. Wilayah kerja dan Pengembaliannya 3. Kewajiban pengeluaran dana

4. Perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas bumi 5. Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak

6. Penyelesaian perselisihan

7. Kewajiban pemasokan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri 8. Berakhirnya kontrak

9. Kewajiban pasca operasi pertambangan 10. Keselamatan dan kesehatan kerja 11. Pengelolaan lingkungan hidup 12. Pengalihan dan kewajiban 13. Pelaporan yang diperlukan 14. Rencana pengembangan lapangan

15. Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri

16. Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat. 17. Pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia

Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan ini, dituangkan ke dalam model kontrak Production sharing yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan kontraktor. Pemerintah Indonesia, melalui SKK Migas telah melakukan standardisasi terhadap isi Kontrak Production Sharing. Judul kontraknya adalah Production Sharing Contract Between Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas bumi and Kontraktor. Isi kontrak ini telah dibakukan oleh

SKK Migas64.

Kontrak ini terdiri atas 17 bagian atau seksi, yaitu:       

63 Pasal 11 ayat 3 UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 64 Salim HS, Op.cit.

(23)

1. Ruang lingkup dan defenisi 2. Pengertian

3. Di luar area

4. Program kerja dan pembiayaan 5. Hak dan kewajiban para pihak

6. Biaya penemuan, pengembangan, dan pemeliharaan produksi 7. Penilaian/penafsiran tentang minyak dan gas bumi

8. Kompensasi, bantuan dan bonus produksi 9. Pembayaran

10. Hak atas perlengkapan 11. Konsultasi dan arbitrase

12. Pekerjaan dan pelatihan dan personel dari Indonesia 13. Penghentian

14. Pembukuan dan perhitungan dari audit 15. Ketentuan lainnya

16. Pengambilan bagian 17. Mulai berlakunya

Adapun garis besar dari isi Kontrak Bagi Hasil seperti berikut ini65 :

1. Manajemen operasi perminyakan berada di tangan Pemerintah.

2. Kontraktor bertanggung jawab kepada Pertamina atas pelaksanaan operasi.

3. Kontraktor menyediakan kebutuhan keuangan dan bantuan teknis yang dibutuhkan untuk

operasi.

4. Resiko biaya operasi ditanggung kontraktor.

5. Biaya operasi dapat direcover sampai maksimal 40% dari total minyak yang dihasilkan

pada suatu tahun kalender.

6. Produksi minyak mentah dipotong biaya operasi dibagi atas dasar 65% Pertamina, 35%

kontraktor untuk produksi di bawah 75 ribu barel per hari :67,5% Pertamina, 32,5% kontraktor untuk produksi antara 75 ribu s/d 200 ribu barel per hari 70% Pertamina, 30% kontraktor untuk produksi di atas 200 ribu barel per hari.

      

(24)

7. Peralatan yang dibeli kontraktor untuk melaksanakan program kerja dimasukkan dalam biaya operasi. Setelah dimasukkan ke Indonesia peralatan tersebut akan menjadi milik Pertamina.

8. Kontraktor setuju mempekerjakan tenaga-tenaga Indonesia yang kualifikasinya dietujui

Pertamina maupun kontraktor. Setelah taraf produksi ekonomis dimulai kontraktor diwajibkan mendidik serta melatih tenaga-tenaga Indonesia.

3. Pembahasan Kontrak Production Sharing Menurut PP 35 Tahun 1994

PP ini ialah Peraturan yang diperintahkan oleh UU Nomor 8 tahun 1971. Dalam PP ini, Negara sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 menyerahkan kuasa pertambangan itu kepada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 4, yang berbunyi: Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan kepada PERTAMINA untuk melaksanakan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi minyak dan gas bumi; dan Pasal 2, yang berbunyi: PERTAMINA sebagai pemegang Kuasa pertambangan dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain sebagai Kontraktor dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Berdasarkan PP ini, Pengertian Kontrak Bagi Hasil adalah bentuk kerjasama antara PERTAMINA dan Kontraktor untuk melaksanakan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi. Dan adapun yang menjadi batasan yang menjadi Kontraktor Negara ialah Kontraktor adalah perusahaan asing, perusahaan nasional dan atau campuran antara perusahaan asing dan perusahaan nasional yang mempunyai hubungan kerja dengan PERTAMINA berdasarkan Kontrak Bagi Hasil;

(25)

Selain itu, Kontraktor juga diperintahkan untuk memperhatikan dan peduli terhadap masyarakat sekitar dengan melakukan pengembangan daerah serta menjaga kelestarian lingkungan. Kontraktor wajib mengerjakan tanggung jawab tersebut sebagaimana yang sudah

dituangkan dalam kewajiban para Pihak dalam Kontrak Production Sharing.66 Hal ini juga sama

dengan perintah Kepmen Nomor 128 tahun 2003 tentang kewajiban perusahaan pertambangan untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Sesuai dengan Kontrak Bagi Hasil pada umumnya, Kontrak Production Sharing juga

dilaksanakan atas dasar prinsip-prinsip sebagai berikut67 :

a. Manajemen ditangani PERTAMINA;

b. Kontraktor menyediakan semua dana, teknologi dan keahlian; c. Kontraktor menanggung semua risiko finansial;

d. Besarnya Bagi Hasil ditentukan atas dasar tingkat produksi minyak dan atau gas bumi.

Perusahaan Asing yang datang ke Indonesia pada dasarnya tentu datang dengan harapan mendapatkan keuntungan dalam investasi langsung berbentuk kegiatan pertambangan, namun tetap saja kegiatan pertambangan tersebut mematuhi kontrak yang telah disepakati bersama

berdasarkan hukum Indonesia68. Kehadiran Investor yang sangat dinantikan oleh Negara tentu

merupakan kebaikan tersendiri bagi negara sehingga apa yang diamanatkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagai gebarakan keterbukaan terhadap investor asing tidak sia-sia maka tentu saja Investor Asing harus diberikan perlindungan hukum supaya tercipta iklim usaha yang kondusif dan dapat mendukung pembangunan nasional di Indonesia.

      

66 Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 1994 tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi

67 Adrian sutedi, Op.cit., hlm 232

68 Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 1994 tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi

(26)

Usaha pertambangan yang dipegang oleh Kontraktor berdasarkan Kontrak Production Sharing juga diberikan kewajiban agar memberi kesempatan kepada Perusahaan Pertambangan Nasional untuk turut serta berpartisipasi dalam kegiatan Eksplorasi dan Kegiatan Eksploitasi Pertambangan. Tujuannya supaya Perusahaan Pertambangan Nasional dapat lebih berkembang dan pada akhirnya lebih menguasai pertambangan Indonesia terhadap cadangan minyak dan gas

bumi yang merupakan Sumber Daya Alam Indonesia69.

KPS Pertamina dan Kontraktor juga melaksanakan prinsip cost recovery atau pengembalian biaya operasi perminyakan. PP ini juga menegaskan hal tersebut dalam Pasal 13, yaitu:

(1) Kontraktor wajib menyediakan dana untuk investasi dan menanggung semua Biaya Operasi. (2) Kontraktor menerima kembali biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang diperhitungkan dari hasil produksi komersial.

Biaya operasi terdiri atas70:

a.

biaya eksplorasi

1) biaya pengeboran terdiri atas: 1. biaya pengeboran eksplorasi; dan 2. biaya pengeboran pengembangan;

2) biaya geologis dan geofisika terdiri atas: 1. biaya penelitian geologis;

2. biaya penelitian geologis 3. biaya penelitian geofisika;

4. biaya umum dan administrasi pada kegiatan eksplorasi;       

69 Rudi M. Simamora. Op.cit.

70 Pasal 11 Peraturan Pemerintah No 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang dapat dikembalikan dan Perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu Minyak dan gas bumi.

(27)

5. biaya penyusutan. b. biaya eksploitasi; dan

1) biaya langsung produksi untuk: 1. minyak bumi; dan

2. gas bumi.

2) biaya pemrosesan gas bumi; 3) biaya utility terdiri atas:

1. biaya perangkat produksi dan pemeliharaan peralatan; dan 2. biaya uap, air, dan listrik;

4) biaya umum dan administrasi pada kegiatan eksploitasi: a. biaya administrasi dan keuangan;

b. biaya pegawai; c. biaya jasa material; d. biaya transportasi; e. biaya umum kantor; dan

f. pajak tidak langsung, pajak daerah, dan retribusi daerah. 5) biaya penyusutan.

c. Biaya lain

1). biaya untuk memindahkan gas dari titik produksi ketitik penyerahan; 2). biaya kegiatan pasca operasi kegiatan usaha hulu.

Biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan harus memenuhi persyaratan:

(28)

a.

dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terkait langsung dengan kegiatan operasi perminyakan di wilayah kerja kontraktor yang bersangkutan di Indonesia;

b.

menggunakan harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan;

c.

pelaksanaan operasi perminyakan sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang

baik;

d.

kegiatan operasi perminyakan sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah

mendapatkan persetujuan Kepala Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6.

Biaya yang dikeluarkan yang terkait langsung dengan operasi perminyakan sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib memenuhi syarat:

a. untuk biaya penyusutan hanya atas barang dan peralatan yang digunakan untuk operasi perminyakan yang menjadi milik negara;

b. untuk biaya langsung kantor pusat yang dibebankan ke proyek di Indonesia yang berasal dari luar negeri hanya untuk kegiatan yang:

1. tidak dapat dikerjakan oleh institusi/lembaga di dalam negeri; 2. tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia;

3. tidak rutin;

c. untuk pemberian imbalan sehubungan dengan pekerjaan kepada karyawan pekerja dalam bentuk natural kenikmatan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;

(29)

d. untuk pemberian sumbangan bencana alam atas nama Pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;

e. untuk pengeluaran biaya pengembangan masyarakat dan lingkungan yang dikeluarkan hanya pada masa eksplorasi;

f. untuk pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat dengan syarat: 1. digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan di Indonesia;

2. kontraktor menyerahkan laporan keuangan konsolidasi kantor pusat yang telah diaudit dan dasar pengalokasiannya; dan

3. besarannya tidak melampaui batasan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan Menteri

Sementara itu, defenisi KPS juga tedapat dalam Pasal 1 Poin (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.010/2005, tanggal 3 Maret 2005, tentang Pembebasan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor Tidak Dipungut Atas Impor Barang Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) Minyak dan Gas Bumi. Memberikan definisi bahwa “Kontraktor Bagi Hasil (Production Sharing contractor) adalah Kontraktor yang menandatangani kontrak bagi hasil (Production Sharing contract) dengan PERTAMINA sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang telah dialihkan kepada Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS)”.

Pasal 1 poin (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 79/PMK.02/2012, Tanggal 24 Mei 2012, tentang Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara Dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dan Perhitungan Pajak Penghasilan Untuk Keperluan Pembayaran Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi Berupa Volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi. Mengatakan bahwa “Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau

(30)

bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

B. Perlindungan Investor Dalam Kontrak Production Sharing Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001, UU Nomor 25 Tahun 2007

Hukum bagi dunia usaha merupakan alas hak dan kewajibam dasar yang harus dipenuhi. Perusahaan adalah objek dari pengaturan pemerintah atau Undang-undang yang harus dipatuhi. Ketidakpatuhan atas aturan dapat berakibat fatal bagi perusahaan. oleh karena itu dunia usaha menginginkan adanya beberapa hal pokok agar dunia usaha dapat berkembang dengan baik, yaitu :

a. transparancy, artinya setiap kebijakan atau aturan yang akan diterapkan harus diketahui setiap orang dan berlaku umum, sejalan dengan prinsip level playing field. b. predictable, bahwa untuk menjalankan usaha pengusaha harus dapat memperkirakan

bahwa ada cost dan benefit dalam berusaha berdasarkan suatu aturan atau kebijakan yang berlaku. Mengubah kebijakan secara mendadak menimbulkan transaction cost yang besar sehingga tidak menunjang iklim investasi.

c. certainty, bahwa dunia usaha menghendaki adanya kepastian atas aturan dan kebijakan pemerintah sehingga perubahan tidak berlaku secara mendadak, kecuali

apabila keadaan menghendaki71.

Perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk lebih meningkatkan kepercayaan investor asing dalam menanamkan modalnya, salah satunya membuat perjanjian bilateral dengan berbagai negara asal investor. perjanjian investasi ini       

(31)

melahirkan beberapa prinsip yang umum berlaku dalam tata pergaulan internasional. Prinsip tersebut antara lain :

1. prinsip A national treatment clause, artinya setiap pihak akan memberikan perlakuan yang sama bagi warga negara para pihak seperti yang diberikan oleh para pihak kepada warga negara sendiri.

2. prinsip A most favoured nation clause, artinya warga negara dari para akan mendapatkan a fair and equitable treatment dalam hal penanaman modal asing. warga negara para pihak tidak akan mendapatkan perlakuan yang kurang dibandingkan dengan perlakuan

yang diberikan kepada warga negara pihak lain72.

Mencermati keberadaan investor asing dalam suatu negara khususnya di negara-negara, berkembang cukup penting sebagai penggerak roda perekonomian maka untuk menghilangkan keraguan-raguan investor asing dalam berinvestasi mengingat nonkomersial atau sering mungkin terjadi, Bank Dunia kembali melahirkan suatu konvensi. konvensi kali ini berkaitan dengan risiko nonkomersial atau sering juga disebut sebagai resiko politik (political risk). Konvensi ini diselenggarakan diselenggarakan di Seoul-Korea Selatan pada tahun 1985, sehingga Konvensi MIGA ini sering juga disebut Konvensi Seoul 1985. Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1986 Tentang Pengesahan The Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee (MIGA)73.

Adapun maksud dan tujuan MIGA, seperti yang tertuang dalam Pasal 2 Keppres No 31 tahun 1986, yaitu :

      

72Ibid hlm .167 73 Ibid

(32)

1. Memberikan jaminan kepada investor, yang meliputi kerja sama asuransi (coinsurance) maupun dengan mengasuransikan kembali (reinsurance), mencegah resiko nonkomersil yang berkenaan dengan penanaman modal di suatu negara anggota yang berasal dari negara-negara anggota lainnya.

2. Melakukan kegiatan atau aktifitas berupa promosi untuk meningkatkan arus penanaman modal ke dan di antara anggota negara-negara berkembang.

Hal tersebut memberikan pandangan positif kepada Indonesia oleh pihak penanam modal asing, karena dengan hal tersebut pihak Indonesia telah memberikan suatu jaminan perlindungan hukum bagi pihak penanam modal asing atas resiko penanaman modal asing di Indonesia. Selain itu dengan diterbitkannya Undang-undang No. 25 Tahun 2007 telah memberikan suatu jaminan atas perlindungan dan kepastian hukum bagi para penanam modal terhadap pengambilalihan atas perusahaan asing yang tertera dalam Pasal 7 Undang-undang No. 25 Tahun 2007.

Adanya kegalauan dari calon investor dapat dimaklumi, karena investor dalam menanamkan modalnya selain mengharapkan ada hasil dan keuntungan dalam menjalankan bisnisnya, juga berharap modal yang ditanamkan tetap aman, dalam arti ada perlindungan hukum (legal protection). Untuk itu,tidaklah mengherankan jika calon investor sebelum memutuskan menanamkan modalnya, terlebih dahulu ia melakukan studi kelayakan (feasibility study) tentang

prospek bisnis yang akan ia jalankan74. Termasuk yang diteliti disini adalah ketentuan peraturan

perundang-undangan yang ada kaitannya dengan investasi yang akan ia jalankan.

Perlindungan terhadap Investor merupakan bagian dari pencapaian ke arah perkembangan ekonomi yang lebih baik. Sebagai Pelaku ekonomi yang akan menggunakan modalnya untuk       

74 di Vietnam misalnya, jika sesorang investor mau menanamkan modalnya di negeri ini, maka calon investor tersebut harus menandatangani letter of intent yang disertai dengan prefeasibility study.

(33)

mengerjakan usaha, berdasarkan analisis Komisi Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD) pada tahun 2002 untuk melihat daya tarik investasi, yaitu:

4. faktor kelembagaan yang meliputi aparatur dan pelayanan, Perda/kebijakan daerah, keuangan daerah dan kepastian hukum.

5. faktor sosial Politik dan Budaya yang meliputi keamanan, sosial politik dan budaya. 6. faktor ekonomi Daerah yang meliputi potensi ekonomi dan struktur ekonomi.

7. tenaga kerja dan Produktivitas yang meliputi ketersediaan tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja dan biaya tenaga kerja.

8. infrastruktur fisik yang meliputi ketersediaan infrastruktur fisik dan kualitas

infrastruktur fisik75

Sebenarnya apa yang dikeluhkan oleh para investor telah dipikirkan oleh Pemerintah seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) sebagai berikut :

“Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong investasi baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri antara lain melalui penyederhanaan prosedur investasi, desentralisasi beberapa kewenangan penanaman modal, serta peninjauan daftar negatif investasi secara berkala. meskipun demikian masih terdapat beberapa kelemahan yang masih perlu disempurnakan. dalam upaya untuk meningkatkan jumlah dan nilai investasi, maka sasaran yang ingin dicapai adalah adanya sistem pelayanan investasi yang efisien dan efektif dan terciptanya kepastian iklim investasi yang kondusif. dalam kaitan ini kegiatan pokok yang dilakukan adalah menyempurnakan perangkat hukum yang lebih kondusif terhadap peningkatan investasi antara lain deregulasi peraturan penanaman modal, termasuk penyempurnaan sistem insentif, desentralisasi kewenangan perizinan investasi dan penyempurnaan kewenangan penanaman modal”

Kepastian hukum adalah hal yang sangat diperlukan oleh Investor sebab itulah salah satu bentuk kenyamanan yang akan diperolehnya selama berinvestasi. Kepastian hukum yang dimaksudkan ialah bentuk komitmen pemerintah yang dituju untuk menaati hukumnya       

(34)

berdasarkan keadilan dan kebenaran serta bukan atas kepentingan sepihak saja. Hal ini merupakan hal yang sejalan mengingat bahwa dalam melakukan Investasi selain tunduk kepada ketentuan hukum investasi, juga ada ketentuan lain terkait yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Ketentuan tersebut antara lain berkaitan dengan perpajakan, ketenagakerjaan, perizinan, dan masalah pertanahan. sebagaimana dikemukakan oleh Charles Himawaan :

“Peraturan-peraturan itu kadang-kadang demikian banyaknya sehingga menimbulkan kekaburan akan hukum yang berlaku. untuk memanfaatkan modal multinasional secara maksimal diperlukan kejernihan hukum,” selanjutnya dikemukakan:” apabila hukum berwibawa berarti hukum yang ditaati orang, baik orang yang membuat hukum itu maupun orang terhadap siapa hukum itu ditujukan, akan terlihat disini kaitan antara manusia dan hukum. dirasakan pula perlunya hukum yang berwibawa untuk menunjang pembangunan. dalam konteks yang berlainan diamati perlunya kepastian hukum untuk menjamin arus

modal (capital flow) ke Indonesia.”76.

seperti juga dikatakan oleh Juwono Sudarsono :

”Ada tiga hal mendasar yang harus diperbaiki pejabat dan pengusaha Indonesia bila Indonesia benar-benar ini berdaya saing terhadap negara-negara sedang berkembang lainnya. ketiga hal itu adalah legal, labour, local. pertama, Indonesia harus membenahi sistem hukum dan menerapkan penegakan yang ramah bagi investasi dan perdagangan. kedua, Indonesia harus membenahi masalah perburuhan, termasuk berbagai pengaturan yang menyangkut hubungan kerja yang akrab bagi investor dan yang ketiga, Indonesia harus

membenahi masalah hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.”77

Faktor utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan stability, predictability, dan fairness. dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem ekonomi apa saja untuk berfungsi. termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum untuk menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. kebutuhan hukum untuk meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar pola       

76 Charles Himawan. Hukum sebagai Panglima. (Jakarta: Kompas, 2003) Hlm. 113. 77 Sentosa Sembirng, Op.cit hlm 14-15

(35)

tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi

yang berlebihan78.

Oleh karena itu, Investor membutuhkan adanya kepastian hukum, agar aktifitas investasinya dapat berjalan sesuai dengan persyaratan yang telah dipenuhinya. sebagaimana dikemukakan oleh Salim HS dan Budi Sutrisno, hubungan antara Investor dengan penerima modal sangat erat karena investor sebagai pemilik modal akan bersedia menanamkan investasinya di negara penerima modal, sepanjang negara penerima modal dapat memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum dan rasa aman bagi investor dalam berusaha. tanpa adanya rasa aman, perlindungan hukum dan kepastian hukum mustahil penanam modal mau menanamkan modalnya.79

1. Tujuan perlindungan investor

Perlindungan Investor secara khusus dapat dilihat melalui: tata kelola migas yang baik, penegakan hukum, koordinasi lintas sektor termasuk antar tingkatan institusi pemerintah (pusat-daerah) maupun pemerintah dengan kontraktor migas, dukungan untuk kegiatan eksplorasi migas, iklim investasi yang baik (jangan ada ketidakpastian regulasi), kondisi lingkungan, ketersediaan teknologi mutakhir, pelaksanaan proyek-proyek pengembangan, program pemeliharaan fasilitas, proses persetujuan pemerintah serta kesiapan industri penunjang operasi,

penghormatan atas kontrak dan kesepakatan, perizinan dan pembebasan lahan.80 Ini penting

untuk dipersiapkan mengingat bahwa hak-hak Investor harus dilindungi sebab akan berdampak negatif terhadap perkembangan dunia industri.

      

78 Ibid. 79 Ibid

80 Indonesian Petroleum magazine IndoPetro (Oil and Gas Business and Community) Januari 2012,

(36)

Pembiayaan perusahaan Investor di pasar keuangan sangat bergantung seberapa besar perlindungan hukum terhadap investasinya. Metode pembiayaan tersebut dapat berjalan dengan baik, jika dilindungi oleh hukum. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa perlindungan hukum investor sangat penting. Di banyak Negara, Pengadilan tidak mampu secara efektif dan efesien dalam penyelesaiaan kasus-kasus antara Investor dengan Perusahaan (khususnya di Negara yang menganut civil law). Negara-negara yang tidak dapat melindungi pemegang saham minoritas, industri pasar modalnya tidak berkembang. Perlindungan bagi hak-hak investor mendorong pertumbuhan dan pengembangan pasar keuangan. Pasar keuangan yang maju pesat membuat pertumbuhan ekonomi pasar menjadi lebih tinggi. Suatu pasar yang berorientasi pada sistem hukum mengurangi ketidakpastian investor dengan cara menyediakan hak kepemilikan yang jelas, hukum kontrak, aspek hukum komersial dan kepailitan, serta upaya menjalankan penegakan hukum secara pasti. Kondisi sistem hukum yang ada mencerminkan kuantitas dan pertanggungjawaban dari informasi yang tersedia bagi publik, khususnya pada tingkat perusahaan.

Perlindungan investor memiliki dampak bagi sektor keuangan karena dapat mempengaruhi bergeraknya sektor rill.

2. Perlindungan Investor Berdasarkan Perjanjian

Kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (covergence of the wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak. Pada abad XIX, para teoritikus hukum kontrak memiliki kecendrungan untuk memperlakukan atau menempatkan pilihan individual (individual choice) tidak hanya sebagai elemen kontrak, tetapi seperti yang dinyatakan ahli hukum perancis adalah kontrak itu sendiri. Kontrak secara internasional memiliki perlindungan hukum terhadap hubungan antarorang atau atau antarperusahaan yang bersifat lintas batas negara dapat dilakukan

(37)

secara publik maupun privat. Perlindunagn secara publik dilakukan dnegan cara memanfaatkan fasilitas perlindungan yang disediakan oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat publik, seperti peraturan perundang-undnagan domestik dan perjanjian-perjanjian internasional, bilateral, maupun universal, yang dimaksudkan demikian. Perlindunagan secara privat dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan fasilitas perlindungan hukum yang bersifat privat, yaitu dengan cara berkontrak yang cermat. Kepentingan para pihak tercantum dalam kontrak terutama untuk setiap hak dan kewajiban mereka, itulah yang akan menjadi undang-undang dan dengan demikian para pihak akan mendapatkan perlindungan berdasarkan kontrak tersebut.

B. Perlindungan Investor Production Sharing Berdasarkan UU No 25 Tahun 2007

Adapun beberapa perlindungan terhadap penanaman modal oleh Investor dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007;

Pasal 4 UU Nomor 25 tahun 2007 :

1) pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk :

a. mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional

Yaitu Pelaksanaan Penanaman Modal di Indonesia di sertai dengan peraturan-peraturan yang mendukung dan melindungi penanaman modal. iklim yang dimaksud ialah pertama, kelompok kebijakan pemerintah yang mempengaruhi biaya (cost), seperti pajak, beban regulasi dan pungli (red tape), korupsi, infrastruktur, ongkos operasi. kedua, kelompok yang mempengaruhi resiko yang terdiri dari stabilitas makro-ekonomi, stabilitas dan prediktabilitas kebijakan, kepastian kontrak. ketiga, hambatan untuk kompetisi seperti hambatan regulasi. beberapa keberhasilan

(38)

penciptaan iklim investasi yang favourable sangat tergantung pada tiga faktor determinan yaitu81:

1. faktor Institusional dan kebijakan. langkah pertama yang dilakukan oleh seorang jika ingin menanamkan modal di suatu negara khususnya negara berkembang, mempelajari secara rinci tentang negara tersebut antara lain stabilitas politiknya, kebijakan ekonomi terutama terhadap investor asing.

2. faktor infrastruktur. dalam hal ini yang dipehatikan adalah tersedianya fasilitas fisik. termasuk disini adalah jaringan transportasi, listrik, telekomunikasi, air bersih.

3. faktor hukum dan perundang-undangan. secara aspek nasional yaitu ketentuan hukum yang substansif dapat mempengaruhi minat investor asing dalam menanamkan modalnya. selain itu, aspek pelaksanaan dan penegakannya pun merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan para investor asing. maksudnya, pelaksanaan dan penegakan hukum yang konsisten dan tidak mudah berubah-ubah serta dapat diperkirakan sebelumnya oleh investor, merupakan penarik yang juga amat penting bagi para investor asing.

Menurut Sumantoro, salah satu penghambat iklim investasi adalah tidak tepatnya penyelenggaraan kebijakan dan peraturan di bidang penanaman modal sehingga banyak

menimbulkan kecemasan dan rasa tidak menentu bagi penanam modal82.

b. mempercepat peningkatan penanaman modal nasional.

Beberapa kegiatan ekonomi di negara Indonesia masih perlu untuk diolah dan dikembangkan. Sebagai bentuk dilakukannya pembangunan-pembangunan ekonomi Indonesia, maka negara menetapkan langkah-langkah konkret untuk mendatangkan investor asing agar       

81 Sentosa Sembiring, Op.cit. hlm 62 82 Ibid.

(39)

pembangunan ekonomi di Indonesia semakin berkembang. Kehadiran investor akan membawa dampak yang cukup signifikan tidak hanya bagi masyarakat suatu daerah tertentu tetapi juga secara nasional.

2) dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah : a. memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing

dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

Yaitu setiap investor diperlakukan sama dengan tidak membedakan negara asal (home country). Investor dari negara-negara yang terikat dengan perjanjian bilateral, regional dan multilateral umumnya diberi perlakuan khusus, tetapi perlakuan khusus tidak boleh menyebabkan persyaratan bagi investor dari negara lain lebih buruk dari kondisi sebelumnya.

Perlakuan yang sama berlaku pada tahap post establishment stage dan brown investment field83.

b. menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kepastian hukum adalah jaminan Pemerintah untuk menempatkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan utama dalam setiap tindakan dan kebijakan bagi penanam modal. Yang dimaksud dengan kepastian perlindungan adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan kegiatan

penanaman modal84.

c. membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi.

      

83 Mahmul Siregar, Bahan ajar Hukum Investasi Fakultas Hukum USU, 2013. 84 Penjelasan pasal 4 UU Nomor 25 tahun 2007

(40)

Pemerintah selain menarik investor juga memperhatikan kegiatan industri nasional terkhusus usaha kecil dan menengah. Adanya program-program untuk mendukung berkembangnya usaha kecil dan menengah merupakan upaya yang telah dilakukan.

Pasal 7 : ayat (1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal dan ayat (2) dalam hal pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pada masa kemerdekaan dahulu, Pemerintah dengan mudah menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing, hal ini membuat para investor asing mulai khawatir untuk berinvestasi di Indonesia yang berakibat sangat lemahnya investasi di Indonesia. Pemerintah akhirnya melalui UU Nomor 25 tahun 2007 memberikan perlindungan dengan tidak akan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing.

Pasal 14 : setiap penanam modal berhak mendapat :

a. kepastian hak, hukum dan perlindungan;

Yang dimaksud dengan "kepastian hak" adalah ketetapan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh hak sepanjang penanam modal telah melaksanakan kewajiban yang ditentukan.

b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya

Para investor membutuhkan perkembangan informasi di negara tempat invstor berinvestasi untuk itu perlu keterbukaan informasi khususnya untuk bidang investasinya.

c. hak pelayanan

hak investor selama melakukan penanaman modal di negara Indonesia sepeeti hak perizinan dan lain-lain.

d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan sesuai dengan Pasal 18 UU Nomor 25 tahun 2007.

Pada pasal 18 UU Nomor 25 tahun 2007, fasilitas invetsor semakin diperjelas, ada beberapa fasilitas yang dapat diperoloeh invetsor selama berinvestasi di Indonesia

Gambar

Gambar 1:  Klasifikasi Kontrak di Industri Hulu Migas  58
Gambar 2 : Skema Pembagian Hasil Produksi 62

Referensi

Dokumen terkait

Kompetensi Inti merupakan terjemahan atau operasionalisasi Standar Kompetensi Lulusan dalam bentuk kualitas yang harus dimiliki oleh peserta didik

Kajian tersebut bertujuan untuk memahami maksud penutur, karena secara umum bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi selalu memiliki maksud yang sesuai dengan

42 Tahun 1994, Audit Lingkungan adalah suatu alat manajemen yang meliputi evaluasi secara sistematik, terdokumentasi, periodik dan obyektif tentang bagaimana

Perbincangan hasil dapatan kajian menerusi kertas kerja ini dipandu oleh tujuan utama kajian yang diaplikasi untuk membincangkan agen-agen sosialisasi pengetahuan komuniti Bajau-Laut

Rupawan (2010) mendapatkan bahwa Staphylococcus albus dan Streptococcus peka terhadap levofloxacin, Staphylococcus aureus peka terhadap cyprofloxacin, Staphylococcus albus peka

ini mengung!c;pkan temuan peneiitian yang ber!caitan dengan keberadmn nilai-nilai ke-Minangkabau-an dalam pembentukan orientasi politik dan respons petani subsisten terhadap

Abstract A long-term (30 years) soybean – wheat experi- ment was conducted at Hawalbagh, Almora, India to study the effects of organic and inorganic sources of nutrients on grain

Tujuan pengemasan adalah untuk mempertahankan kualitas benih selama dalam penyimpanan dan atau pemasaran, sehingga benih tetap terjamin daya tumbuh dan daya