• Tidak ada hasil yang ditemukan

Takhyir: Kebebasan Memilih atas Hal yang Situasional-Kondisional Oleh: Iffatin Nur *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Takhyir: Kebebasan Memilih atas Hal yang Situasional-Kondisional Oleh: Iffatin Nur *"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Iffatin Nur *

Abstrak

Jumhur ulama ushul fiqh mengklasifikasikan ragam bahasa hukum menjadi lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim. Namun, pada prinsipnya suatu perbuatan yang tidak ada dalil baik berupa perintah atau larangan masuk wilayah bebas, mubah hukumnya (ibahah asliyah), tetapi dalam perkembangannya, wilayah bebas itu diperinci lagi, bahwa kebebasan memilih (takhyir) untuk berbuat atau tidak terhadap suatu itu bersifat situasional dan kondisional berdasar hal berikut: (1) isyarat al-Qur'an yang menegaskan bahwa "Tiada dosa bagi orang yang mengerjakan perbuatan yang semula diharamkan, dengan adanya tanda-tanda (qorinah) atas diperbolehkannya perbuatan tersebut dari Allah" (QS.al-Baqarah:173). (2)Tidak ada nash yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. (3)Adanya nash yang menunjukkan halalnya perbuatan tersebut. Dengan demikian, kebebasan suatu perbuatan itu bersifat temporer berlandaskan situasi dan kondisi yang telah ditetapkan ketentuan hukumnya; melalui: (1)Nash sarih yang menunjukkan kebolehan melakukan atau kebolehan memilih. (2)Nash yang menunjukkan tidak dikenakan dosa jika perbuatan itu dilaksanakan, misalnya al-Baqarah ayat 229 tentang kebolehan khulu’. (3)Lafal yang mengandung perintah untuk melaksanakan sesuatu tetapi ada indikasi yang menunjukkan bahwa perintah itu hanya bersifat kebolehan saja, (QS. Jumat:10; QS. al-A’raf: 31), kedua ayat ini menggunakan lafal amar tetapi satu diantaranya menunjukkan indikasi bahwa amr itu tidak bersifat wujub sehingga hukumnya menjadi mubah. (4)Nash yang menunjukkan halalnya sesuatu, seperti kehalalan mengkonsumsi sesuatu yang baik (QS. al-Maidah: 5). Hak ini diberikan oleh Allah kepada orang Islam dewasa (mukallaf). Takhyir pada perkembangan selanjutnya difokuskan pembahasannya pada konsepsi kebebasan (ibahah) yang ada ketentuannya.

Kata kunci: hak memilih, takhyir

A.Pendahuluan

Al-Qur’an dari aspek transendental tak terjangkau maknanya kecuali oleh yang membuatnya (Allah s.w.t.) sendiri. Namun dari aspek immanensial al-Qur’an selalu melekat dengan jiwa sehat manusia, ia selalu mengunjungi pemahaman manusia, beraudiensi dan berdialog dengan pemikiran umatnya melalui medium bahasa, sedangkan bahasa sendiri

(2)

memiliki struktur dan ciri khas tersendiri sesuai dengan situasi kondisi.1

Bahasa al-Qur’an memiliki struktur kusus berupa keberagaman bahasa;

yang selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan hukum taklifi,2

Jumhur ulama ushul fiqh, mengklasifikasikan ragam bahasa hukum itu

menjadi lima macam, yaitu: ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.3

Pada ijab dan tahrim terdapat keharusan bagi seorang mukallaf untuk melakukan perintah atau meningggalkan larangan secara otoritatif-konskwensif. Dalam nadb dan karohah terkandung anjuran mengerjakan atau meningggalkan, sedangkan mubah menjadi wilyah takhyir bagi mukallaf, yang terakhir inilah yang akan dikaji dalam pembahasan ini.

B.Hukum Syara’

Hukum syara’ menurut definisi ahli ushul adalah khitab atau titah Allah yang menyangkut tindak-tanduk mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat atau tidak, atau dalam bentuk ketentuan-ketentuan lain. Khitab Allah adalah kalam yamg melekat pada diri-Nya yang bersifat azaly (genus). Kata yang menyangkut tindak-tanduk mukallaf disebut differentium pertama, sedangkan tuntutan dan pilihan disebut dengan differentium kedua. Yang dimaksud dengan tuntutan (differentium kedua) di atas adalah kehendak Allah yang berupa tuntutan pada mukallaf untuk melakukan perintah-Nya maupun meningggalkan larangan-Nya. Takhyir (pilihan) adalah kebebasan yang diberikan oleh Allah kepada para mukallaf untuk berbuat atau tidak. Istilah demikian ini kurang tepat jika dimasukkan ke dalam kehendak Allah dari perspektif teologis, karena menurut tinjauan teologi tertentu Allah tidak butuh apapun dari mukallaf baik untuk berbuat atau menjauhi.

Selanjutnya pembahasan takhyir akan difokuskan pada hukum syara’ yang bersifat ibahah. Karena pada ibahah inilah medan ikhtiyar mukallaf di mana ia dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menutut adanya keputusan. Mukallaf dituntut untuk bijaksana dalam mengambil keputusan, mengingat dalam berbagai hal yang urgen dan eksistensial, setiap keputusan akan membawa konsekuensi. Dalam wilayah keagamaan terdapat keyakinan yang kuat bahwa keputusan yang bersifat teologis mempunyai dampak

1 “The lord of our father is fabric of sentences’, demikian adagium yang populer dalam

filosof bahasa.

2 Hukum yang menjelaskan tentang perintah larangan dan pilihan untuk

mengerjakan atau meningggalkan, atau ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf baik berupa perintah larangan maupun pilihan, Lihat Muhammad Abu Zahroh, Ushul al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Fiqr al-Arabiy, 1958), p. 21.

3 Ulama Hanafiah mengklasifikannya menjadi: iftiradh, ijab, nadb, ibahah,

(3)

eskatologis yang mampu menghantarkan pada keselamatan dunia dan akherat.

Dari segi etimologis, mubah berasal dari fi'il madhi abaha, artinya menjelaskan atau memberitahukan. Mubah juga berarti dibolehkan atau diizinkan (ma’dzun). Apabila dikatakan hal ini mubah bagimu, itu mengandung arti diizinkan bagimu untuk mengambil atau tidak

mengambilnya.4

Dalam terminologi hukum Islam ada beberapa definisi tentang mubah di antaranya: Mubah adalah sesuatu yang diberi kemungkianan oleh pembuat hukum untuk memilih antara berbuat atau meninggalkan. Ia

boleh melakukan atau tidak melakukan.5 Rumusan ini menunjukkan

bahwa perbuatan mubah itu tidak dituntut oleh Syari’ melaksanakannya atau meninggalkannnya. Di sinilah perbedaan antara mubah dan wajib mukhayyar dan wajib al-muwassa’, karena pada kedua jenis hukum yang disebut terakhir ini terdapat tuntutan Syari’. Dalam wajib al-mukhayyar pilihan dilakukan terhadap dua hal yang dituntut untuk dilaksanakan, sedangkan dalam wajib al-muwassa’ berkaitan dengan waktu pelaksananaan. Mubah adalah sesuatu yang apabila dikerjakan atau ditinggalkan tidak mendapatkan pujian. Dalam hal ini seseorang tidak terkena bahaya (dosa) jika melaksanakan perbuatan tersebut atau meninggalkannya. Perbuatan mubah ini dimaksudkan untuk perbutan yang tidak mengandung risiko.

Dalam istilah lain, mubah disebut juga dengan halal dan ja`iz.6 Mubah juga

diartikan sebagai suatu yang ada izin dari Allah bagi mukallaf untuk melakukan atau meninggalkan, dan pelakuknya tidak mendapatkan pujian atau celaan dan bagitu pula sebaliknya bagi yang meninggalkannya tidak

mendapatkan pujian atau celaan.7 Dari definisi-definisi di atas, tampak

bahwa definisi ibahah menurut imam al-Syaukani lebih singkat dan lugas.

4 Saifuddin al-‘Amidi, al-Ihkam fi Ushul Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,

1983), p. 114 dan Lihat Muhammad Abu Zahroh, Ushul, p. 174.

5 Definisi mubah demikian adalah pandangan menurut Salam Madkur, lihat

Muhammad Salam Madzkur Madzkur, Mabahits al-Hukm ‘inda al-Ushuliyyin. (Mesir: Dar Nahdhah ‘Arabiyah,1972), p. 32. dan lihat juga Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh,( Kuwait: Dar al-Qalam, 1983), p. 130.

6 Definisi mubah demikian ini adalah pandangan menurut Imam al-Syaukani,

dalam Muhammad Abu Zahroh, Ushul al-Fiqh, p. 36.

7 Definisi mubah menurut Ghazali, lihat dalam Abu Hamid Ghazali,

(4)

C.Dasar Penetapan Hukum

Hukum mubah ditetapkan karena adanya salah satu dari tiga hali

berikut: (1) Tiada dosa bagi orang yang mengerjakan perbuatan yang semula diharamkan, dengan adanya qorinah (tanda-tanda) atas diperbolehkannya perbuatan tersebut,QS. al-Baqarah ayat 173. (2) Tiada nash atau dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. (3) Adanya nash atau dalil yang menunjukkkan halalnya perbuatan tersebut. Dengan demikian, perbuatan mubah itu hanyalah bersifat temporer, di mana seseorang diberikan kebebasan untuk memilih macam dan waktunya. Seperti makan dan minum dihukumi mubah hanyalah dalam macam dam waktu tertentu tidak secara kontinyu dan keseluruhan. Oleh

karena itu, mubahnya suatu perbuatan bersifat situasional dan kondisional.8

Adapun cara untuk mengetahui hukum mubah dapat dilihat dari

lafadz atau redaksi yang digunakan Syari’,9 di antaranya adalah: (1) Nash

sarih yang menunjukkan kebolehan melakukan atau kebolehan memilih. (2) Nash yang menunjukkan tidak dikenakan dosa jika perbuatan itu dilaksanakan, misalnya al-Baqarah ayat 229 tentang kebolehan khulu’. (3) Lafal yang mengandung perintah untuk melaksanakan sesuatu tetapi ada indikasi yang menunjukkan bahwa perintah itu hanya bersifat kebolehan saja QS. Jumat:10; QS.al-A’raf: 31. Kedua ayat ini mernggunakan lafal amar tetapi satu diantaranya menunjukkan indikasi bahwa amr itu tidak bersifat wujub sehingga hukumnnya menjadi mubah. (4) Nash yang menunjukkan halalnya sesuatu, seperti kehalalan mengkonsumsi sesuatu yang baik, QS. al-Maidah:5. Ibahah-asliyah adalah sesutau yang tidak ada

dalil baik berupa perintah atau larangan.10

D.Pembagian Hukum Mubah

Pada dasarnya, dalam hukum mubah ada kebolehan untuk memilih tanpa konsekuensi dosa dan pahala. Namun, dalam beberapa hal, mubah menyerupai wajib kifayah dalam arti untuk suatu pribadi tertentu hukummnya wajib, namun untuk satu waktu tertentu hukumnya mubah. Contohnya makan, secara umum dinyatakan bahwa orang yang tidak makan tidak diancam dengan dosa, tetapi kalau tidak makan secara terus menerus dan membawa pada kematian maka jadilah ia dosa. Demikian pula dengan sebuah pernikahan, menurut sebagian ulama hukumnya adalah mubah dan tidak berdosa bagi yang meningggalkan. Tetapi bila

8 Muhammad Abu Zahra, Ushul, p. 30. 9 Ibid., pp. 37-38.

10 Imam Abu Ishaq Syatibi, Muwafaqah fi Ushul Syari’ah, (Beirut; Dar

(5)

semua orang sepakat untuk tidak melangsungkan pernikahan sehinggga punahlah kelanjutan jenis manusia, maka hukumnya menjadi haram.

Dalam hal ini terlihat bahwa sifat ibahah hanya dalam hal memilih macam ragam perbuatan wajar dalam waktu yang wajar pula; bukan memilih untuk berbuat terus melampaui batas atau tidak memperbuatnya terus menerus. Sehubungan dengan apa yang dijelaskan di atas asy-Syatibi membagi mubah menjadi 4 macam:

1. Mubah yang mengikuti suruhan untuk berbuat. Mubah dalam hal ini

disebut mubah dalam bentuk bagian, tetapi dituntut berbuat secara keseluruhan. Mubah dalam hal ini tidak boleh ditinggalkan secara menyeluruh.

2. Mubah yang mengikuti tuntutan untuk meningggalkan. Mubah bentuk

ini disebut mubah secara juz’i tetapi dilarang secara kulli.

3. Mubah yang tidak mengikuti sesuatu. Mubah bentuk ini dituntut juga

untuk meninggalkan karena membuang-buang waktu tanpa manfaat agama.

4. Mubah yang tunduk pada mubah itu sendiri.

Pernyataaan Syatibi pada poin tiga dan empat ini masih mengundang banyak interpretasi, karena tidak ada kejelasan lebih lanjut dan contoh kongkrit. Dari rincian mubah yang dikemukan oleh Syatibi menunjukkan bahwa mubah itu tidak berlaku mutlak. Ketentunan di atas sebenarnya tidak bertentangan dengan ketentuan mubah sacara umum. Ketentuan yang sama antara dua pihak itu semata-mata memandang kepada segi mubah itu sendiri; sedangkan mubah yang mengandung kemungkinan suruhan dan larangan ialah bila memandang pada pengaruh luar . Bila hanya memandang pada mubah itu sendiri dinamai mubah juz’i, sedangkan bila memandang dari pengaruh luar disebut mubah kulli. Menurut Syatibi, di antara hukum mubah ada yang kemubahannnya bersifat relatif, dalam arti sebenarnya hukummnya terlarang; tetapi dalam keadaan tertentu dapat dilakukan oleh mukallaf tanpa risiko dosa. Ia mengklasifikasikannya menjadi beberapa macam:

1. Hukum mubah yang pada dasarnya haram; tetapi dalam keadaaan

tertentu hukum haram itu ditiadakan.

2. Hukum mubah yang pada dasarnya haram; namun dalam keadaan

tertentu mukallaf dimaaafkan dan tiada dosa mengerjakannnya. Maaf ini dapat terjadi dalam beberapa bentuk di antaranya adalah apa yang dilakukan pada masa jahiliyah, apa yang dilakukan oleh mukallaf yang tidak tahu hukum tersebut, atau perbuatan tersebut dilakukan dalam keadaaan darurat.

(6)

Dari segi status yang bersifat juz’i dan kulli, Syatibi membagi mubah menjadi empat hal, yaitu:

1. Mubah bil juz’i al-matlub bi al- kulli ala jihad al-wujub. Artinya hukum

mubah yang secara parsial bisa berubah menjadi wajib bila dilihat dari kepentingan umat.

2. Mubah bil juz’I al-matlub bi al- kulli ala jihad al-mandub. Artinya hukum

mubah secara juz’i berubah menjadi mandub bila dilihat dari segi kulli

3. Mubah bil juz’i al-muharram bi al- kulli. Pada dasarnya, hukum perbuatan

ini adalah mubah tetapi bisa berubah menjadi haram bila mendatangkan kemadharatan

4. Mubah bil juz’i al-makruh bi al- kulli. Hukum mubah bisa menjadi makruh

bila dilihat dari akibat negatif perbuatan itu secara kulli.

Dilihat dari pembagian di atas, maka mubah menurut Syatibi tidak berlaku secara kulli tapi secara juz’i, sedang bila menyangkut permasalahan secara kulli maka hukummnya terkait dengan faktor kemaslahatan dan

kemafsadatan.11

Para ulama usul fiqh mengemukakan adanya tiga bentuk mubah dilihat dari segi keterkaitannya dengan madarat dan manfaat, yaitu:

1. Mubah yang apabila dilakukan atau tidak , tidak mendatangkan madarat

2. Mubah yang bila dilakukan tidak menimbulkan madarat, akan tetapi

pada dasarnya perbuatan tersebut diharamkan. Mubah seperti ini di antaranya dalah melakukan sesuatu dalam keadaan terpaksa.

3. Sesuatu yang pada dasarnya bersifat madarat dan tidak boleh dilakukan,

tetapi Syari’ memaafkan pelakunya.12

E.Status Hukum Mubah

Para ahli usul berbeda pendapat tentang status hukum mubah, apakah termasuk salah satu kategori hukum syar’i atau tidak? dan apakah termasuk ma’mur bihi? Dalam persoalan ini, terdapat perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Ka’bi (ulama Mu’tazilah) memandang bahwa mubah bukan merupakan kategori hukum syar‘i, karena sebelum dan sesudah datang syariat Islam, ternyata apa yang dinamakan mubah tidak mengalami perubahan, dan syara’ tidak menyinggungnya. Oleh sebab itu, adanya mubah bukan atas dasar ketentuan syara’. Namun demikian, menurutnya mubah termasuk yang makmur bihi. Hukum-hukum syara’ menurut al-Ka’bi ada kalanya dituntut untuk dilaksanakan atau ditingggalkan. Orang yang mengerjakan sesuatu yang mubah berarti ia terhindar dari yang haram. Artinya mengerjakan yang mubah berarti meningggalkan yang haram,

11 Ibid., p. 87. 12 Ibid., pp. 78-86.

(7)

meningggalkan yang haram adalah wajib, karenanya mubah itu juga wajib, karena ada suatu perkataaan yang tidak sempurna dalam melaksanakan kewajiban suatu perbuatan mubah maka sesuatu itupun menjadi wajib

sesuai dengan kaidah fiqih:13

Menurut jumhur usul fiqh, mubah termasuk salah satu kategori hukum syar’i karena ketetapan kebolehannya itu sebenarnya datang dari syara’, sedangkan sebelum itu tidak ada ketentuan dalam arti yang sesungguhnya, kebolehannya hanya menurut kebiasaan dan perkiraan kehendak manusia. Ada beberapa alasan yang mereka kemukakan dalam menetapkan kategori hukum mubah dalam hukum syar’i. Di antaranya QS.al-Maidah ayat 5, QS.al-Baqarah ayat 29 dan 173, QS.al-Nur ayat 61, QS.al-Jasiyah ayat 13 serta kaidah usul yang menjadi dasar istishab al-hukm yaitu al-ashlu fi al-asya’ al-ibahah.

Atas dasar ketentuan di atas, terlihat bahwa para ahli usul menyatakan status hukum mubah itu berdiri sendiri karena tidak masuk dakam kategori amr atau kategori nahyi. Argumentasi mereka, jika mubah termasuk dalam kategori perintah sudah pasti tekanan khitab lebih berat kepada mewujudkan suatu perbuatan dari pada meninggalkannya. Begitu pula sebaliknya, jika ia termasuk dalam kategori larangan tentu khitab akan lebih berat kepada meniadakan perbuatan tersebut.

Jumhur ulama usul di antaranya al-Syatibi dan Abi Zahra menolak pandangan al-Ka’bi. Menurut mereka, kalau makan dan minum dituntut sebagai suatu kewajiban berarti tidak ada pilihan bagi kita, melainkan keharusan untuk makan atau minum. Padahal dalam kenyataaannya, kita dizinkan oleh Syari’ untuk memilih makan atau tidak. Dalam memilih (ikhtiyar) sebenarnya sudah ada kebolehan atau ibahah. Dengan demikian, ibahah merupakan satu kategori hukum yang berdiri sendiri.

Selanjutnya, apakah hukum mubah itu baik atau tidak baik, dalam hal ini, Wahbah Zuhaili memandang bahwa pendapat yang kuat ialah yang melihat kepada pelaku atau subyek suatu tindakan. Kalau subyek berbuat atas dasar syara’ (atas niat baik secara syar’i), atau berbuat sesuai dengan tujuan-tujuan syariat maka perbuatannnya dinilai baik. Tetapi jika ia berbuat tanpa alasan di atas perbuatan tersebut tanpa nilai dan tanpa dosa. Dengan demikian, kebolehan sesuatu tidak bersifat umum dan universal tetapi bersifat relatif.14

Apakah hukum mubah termasuk pada darajatal ‘afwi, sebagian fuqaha menamakan keadaan tersebut dengan tingkat pengampunan, yaitu tingkatan antara mubah dengan haram. Karena tidak mungkin suatu

13 Salam Madkur, Mabahits al-Hukm, pp. 372-374. 14 Muhammad Abu Zahra, Ushul, p. 47.

(8)

perbuatan itu mempunyai nilai yang sama antara yang positif dan negatif. Pernyataan bahwa perbuatan tersebut berada pada posisi antara mubah dan haram, berkaitan dengan status hukum yang sebelumnya mubah dan selanjutnya diharamkan. Atau karena pelaku perbuatan tersebut sebelumnya tidak mengetahui keharaman perbuatan tersebut. Bila para fuqaha mempunyai persepsi bahwa mubah pada dasarnya adalah sama nilainya dari segi positif dan negatifnya serta tidak mengandung cercaan atau pujian, disinyalir bahwa persepsi ini sama dengan tingkat diampuni.

Grand teory lain menyatakan ada empat pasangan pilihan tentang fiqih yang membicarakan tentang mubah, di antaranya adalah:

1. Pilihan antara wahyu dan akal

Dalam konstalasi pemikiran hukum Islam, terdapat dua aliran besar di kalangan para pendiri madzhab dalam hal porsi penggunaan rasio dalam mencoba memahami dan menjabarkan ajaran Islam tentang hukum. Kelompok pertama yang dikenal dengan ahlul hadis; mereka mengutamakan penggunaan hadis dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Kelompok ini banyak berkembang di Madinah yang dipelopori oleh Malik Ibn Anas.

Kelompok kedua yang dikenal dengan ahlul ra’yi; mereka lebih mengutamakan penggunaan pendekatan akal dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, pelopornya adalah Imam abu Hanifah, mereka lebih banyak berkembang di Kufah dan Bagdad. Kedua aliran ini telah menghasilkan khazanah kitab-kitab fiqih yang berbeda-beda, dan di sinilah umat Islam bebas memilih kitab fiqih mana yang akan dijadikan sebagai rujukan.

2. Pilihan antara universal dan particular

Pilihan kedua adalah antara hukum Islam sebagai satu kesatuan (universal) atau hukum Islam sebagai keragaman (particular). Argumentasi dari pernyataan bahwa hukum Islam adalah sebagai kesatuan sebagai berikut; karena hukum Islam adalah hukum Tuhan “God law” maka semestinya hukum Islam itu hanya ada satu macam saja untuk seluruh umat Islam dari belahan dunia manapun dan kapanpun, sehingga cukup resisten terhadap berbagai bentuk perubahan.

Argumentasi bahwa hukum Islam itu particular adalah realitas munculnya madzhab-madzhab fiqih yang awalnya merupakan ekspresi lokal. Oleh karena itu, umat Islam bebas menentukan pilihan dalam meyakini universalitas atau partikularitas hukum Islam.

3. Pilihan antara idealisme dan realisme

Pilihan ketiga adalah antara idealisme (cita-cita) dan realisme (kenyataan), sebagaimana diketahui bahwa buku-buku fiqih itu ditulis oleh para teoritisi, yakni para fuqoha, jurist, ahli hukum dan bukan oleh para praktisi, yakni hakim pengadilan agama. Konsekuensi logisnya,

(9)

produk-produk fiqih merupakan ekspresi ide bukan realitas, sehingga selalu menekankan yang maksimal bukan yang minimal. Dengan demikian, jika umat Islam lebih memilih fiqih dalam tataran idealitas maka akan terus terjadi kesenjangan antara idealitas dan realitas fiqih.

4. Pilihan antara stabilitas dan perubahan

Pilihan keempat ini merupakan kelanjutan dari pilihan pertama sampai ketiga, jika hukum Islam (fiqih) hanya memiliki satu konsep yang tidak menerima variasi dari dimensi ruang dan waktu, maka akan terjadi kestatisan, kestabilan, dan resisten terhadap berbagai bentuk perubahan. Bagi yang menerima keragaman konsep fiqih akan segera mengintrodusir dan memperbaharui berbagai konsep, produk dan perundang-undangan fiqih.15

F.Penutup

Dari pembahasan di atas, dapat diambil pengertian bahwa takhyir adalah kebebasan memilih yang diberikan Syari’ (Allah) pada mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Wilayah takhyir adalah pada perbuatan yang dihukumi mubah. Redaksi yang digunakan oleh Syari’ untuk menetapkan perbuatan mubah dengan: nash sharih yang menunjukkan kebolehan, adanya lafaz la junaha atau sejenisnya, lafaz amr yang diikuti dengan indikasi bahwa lafaz tersebut hanya berupa kebolehan, nash yang menunjukkan kehalalan, ibahah ashliyah, dan tidak adanya dalil yang menunjukkan kehalalan. Status hukum mubah menurut al-Ka’biy bukan termasuk kategori hukum syar’I, sedangkan menurut ulama usul, mubah termasuk kategori hukum syar’iy yang berdiri sendiri.

(10)

Daftar Pustaka

Abu Zahroh, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fiqr al-Arabiy, 1958.

‘Amidi, Saifuddin, Ihkam fi Ushul Ahkam, Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, 1983.

al-Ghazali, Abu Hamid, al-Mustasyfa fi ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1983.

al-Syatibi, Imam Abu Ishaq, al-Muwafaqah fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973.

al-Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fiqr, 1986. Khalaf, Abdul Wahab,. Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1983. Mazkur, Muhammad Salam, Mabahits al-Hukm ‘inda al-Ushuliyyin, Mesir:

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Keberadaan pasien sendiri mempunyai pengaruh pada pencapaian tujuan akhir perusahaan, yaitu perolehan laba melalui penggunaan jasa, hal tersebut menuntut

Dengan data jumlah kalori yang dimiliki buruh angkut diatas, peneliti dapat menentukan kekurangan kalori buruh angkut yang seharusnya terpenuhi dari makanan

Adapun Perencana strategis lima tahun kedepan yang disiapkan BPBD supaya kesiapsiagaan itu meningkat baik itu aparatur pemerintahanan maupun masyarakatnya yang

Pengujian menggunakan persoalan 1.4 dilakukan untuk menguji performansi 3 algoritma (brute force, greedy, dan program dinamis) dalam menyelesaikan masalah yang

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menambah sampel populasi perusahaan perbankan dan tahun pengamatan yang lebih panjang, menambah proksi variabel dari

Sebelum pembelajaran dimulai, subyek diminta kesediaannya untuk tetap hadir selama penelitian berlangsung (12 pertemuan). Kepada siswa dijelaskan maksud dan kepentingan

Dalam rangka penataan kembali Struktur Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Raja Ampat yang dituangkan kedalam Peraturan Daerah Nomor 4

Sebuah pusat perbelanjaan bertema industri kreatif dengan konsep city walk dapat menjadi wadah yang pas selaras dengan perkembangan sektor komersil dan pariwasata