• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KASUS SKABIES KERBAU DI DESA SUKAMAJU KECAMATAN CIAMPEA KABUPATEN BOGOR ANGGA PUJI NUGRAHA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KASUS SKABIES KERBAU DI DESA SUKAMAJU KECAMATAN CIAMPEA KABUPATEN BOGOR ANGGA PUJI NUGRAHA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KASUS SKABIES KERBAU DI DESA SUKAMAJU

KECAMATAN CIAMPEA KABUPATEN BOGOR

ANGGA PUJI NUGRAHA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Studi Kasus Skabies Kerbau di Desa Sukamaju Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari hasil karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Angga Puji Nugraha

(3)

ABSTRAK

ANGGA PUJI NUGRAHA.

Studi Kasus Skabies Kerbau di Desa Sukamaju

Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI.

Penyakit parasitik merupakan satu diantara faktor yang dapat menurunkan produktivitas ternak. Kajian ini dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kasus skabies pada kerbau meliputi jenis tungau yang menyerang, gejala klinis yang menyertai, serta menghitung prevalensinya. Kerbau yang berjumlah 12 ekor diamati melalui pemeriksaan klinis, dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium dan pembuatan slide preparat tungau sebelum dilakukan identifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan pemeriksaan klinis terdapat 2 dari 12 ekor kerbau yang menunjukkan gejala klinis skabies. Jenis tungau yang menyerang adalah jenis Sarcoptes scabiei. Gejala klinis skabies pada anak kerbau adalah alopesia, hiperemi, kaheksia, anoreksia, pruritus, dan penebalan. Sementara itu, pada kerbau dewasa gejalanya adalah alopesia, hiperemi, keropeng, pruritus dan penebalan kulit. Prevalensi kasus skabies pada kerbau di Desa Sukamaju, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor adalah 16,6%.

Kata kunci: kerbau, parasit, skabies

ABSTRACT

ANGGA PUJI NUGRAHA

. A Case of Study Buffalo Scabies in Sukamaju Village, Ciampea, Bogor. Supervised by

UPIK KESUMAWATI HADI.

The parasitic disease is one of the factors that can reduce the productivity of livestock. This study was conducted to identify the scabies cases in buffaloes including species of mites, the clinical symptoms, and the prevalence. The 12 of buffaloes were observed by clinical examinations, followed by laboratory tests. The mites collected were processed before identification was made. The result showed that based on clinical examination, there were 2 of 12 buffaloes showing clinical symptoms of scabies. The species of mites that attack was Sarcoptes scabiei. The young buffaloes with clinical symptoms of scabies were alopecia, hyperemia, cahexsia, anorexia, pruritus, and thickening of the skin. Meanwhile, the adult buffaloe showed alopesia, hyperemia, scabs, pruritus, thickening of the skin. The prevalence of scabies cases in buffaloes at Sukamaju village, Ciampea, Bogor was 16.6%.

(4)

STUDI KASUS SKABIES KERBAU DI DESA SUKAMAJU

KECAMATAN CIAMPEA KABUPATEN BOGOR

ANGGA PUJI NUGRAHA B04120117

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(5)
(6)

PRAKARTA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi dengan judul “Studi Kasus Skabies Kerbau di Desa Sukamaju Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor” merupakan salah satu syarat kelulusan studi program sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Drh Upik Kesumawati Hadi, MS PhD selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Disamping itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh staf Laboratorium Entomologi Divisi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH IPB yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Ayahanda Pendi dan Ibunda Ai Kaneti, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis menghargai untuk saran yang diberikan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca.

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Kerbau 2 Skabies 3 Definisi 3 Klasifikasi 3 Siklus Hidup 3 Gejala Klinis 4 Pengobatan 4 METODE 4

Waktu dan Tempat Penelitian 4

Metode Penelitian 5

Pemeriksaan Klinis 5

Pemeriksaan Laboratorium 5 Pembuatan Slide Preparat 5

Analisis Data 5

HASIL 6

Kondisi Peternakan 6

Hasil Pemeriksaan Klinis 7

Hasil Pemeriksaan Laboratorium 8 PEMBAHASAN 9

SIMPULAN DAN SARAN 11

Simpulan 11

Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 11

(8)

DAFTAR TABEL

1 Gambaran gejala klinis pada anak kerbau dan dewasa yang menunjukkan

gejala skabies 7

2 Jumlah rata-rata tungau Sarcoptes scabiei yang didapat dari sediaan kerokan kulit pada anak kerbau dan kerbau dewasa 8

DAFTAR GAMBAR

1 Siklus hidup tungau Sarcoptes scabiei 3

2 Kondisi kandang kerbau 6

3 Gejala klinis skabies pada anak kerbau dan kerbau dewasa 7

(9)

1

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kebutuhan akan daging belakangan ini terus meningkat hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya meningkatnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein terutama protein hewani, meningkatnya daya beli masyarakat serta pertambahan jumlah penduduk (FAO 2010). Populasi ruminansia terutama sapi akhir-akhir ini mengalami kekurangan dalam memenuhi kebutuhan daging skala nasional, penurunan produktivitas menjadi penyebab jumlah populasi sapi tidak dapat memenuhi kebutuhan skala nasional. Kerbau merupakan satu diantara ruminansia besar penghasil daging dan susu yang dapat dijadikan alternatif dalam memenuhi kebutuhan daging skala nasional selain sapi.

Satu di antara upaya untuk memenuhi kebetuhan daging nasional adalah meningkatkan produktivitas ternak. Terdapat beberapa faktor yang dapat menurunkan produktivitas ternak termasuk kerbau, diantaranya yaitu penyakit parasitik. Parasit menurunkan produktivitas ternak dengan bertahan hidup dalam tubuh hospes dengan memakan jaringan tubuh, mengambil nutrisi yang dibutuhkan dan menghisap darah hospes (Colville 1991). Hal ini menyebabkan terjadinya pertumbuhan yang lambat, penurunan bobot badan, terganggunya daya tahan tubuh dan kematian hospes. Ternak yang terinfeksi parasit biasanya mengalami kekurusan dan pertumbuhan yang lambat sehingga akan merugikan peternak.

Skabies merupakan satu di antara penyakit kulit yang sering dijumpai pada ternak di Indonesia dan cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei yang ditandai dengan gejala khas yaitu gatal pada kulit dan akhirnya mengalami kerusakan pada kulit yang terserang. Parasit

Sarcoptes scabiei adalah ektoparasit yang menyerang hewan terutama pada bagian kulit yang dapat menurunkan produksi daging, kualitas kulit dan mengganggu kesehatan masyarakat. Penyakit ini di golongkan penyakit hewan yang menular pada manusia atau zoonosis (Iskandar 2000).

Penyakit parasitik yang menyerang ternak membutuhkan perhatian khusus baik dalam hal pencegahan dan pengendalian. Program perlu dilakukan untuk menurunkan, menekan serta mengendalikan perkembangbiakan parasit. Informasi mengenai ektoparasit yang sering menyerang kerbau jumlahnya sangat sedikit. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai kasus ektoparasit yang sering menyerang kerbau.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab kasus skabies pada kerbau yang meliputi jenis tungau yang menyerang, gejala klinis yang menyertai, serta menghitung prevalensi skabies pada kerbau.

(10)

2

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai kasus skabies yang menyerang kerbau di Desa Sukamaju, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Selain itu dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun program pengendalian dan pencegahan skabies pada kerbau.

TINJAUAN PUSTAKA

Kerbau

Kerbau adalah hewan ruminansia yang tergolong kedalam sub famili Bovinae yang berkembang di berbagai dunia dan diduga berasal dari India. Terdapat dua spesies kerbau yaitu kerbau liar Afrika atau African Buffalo

(Syncerus) dan Asian Buffalo (Bubalus). Kerbau Asia terdiri dari dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau domestik (Bubalus bubalis) terdiri dari dua tipe yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai. Kerbau sungai ( river buffalo) merupakan kerbau tipe perah dan kerbau rawa (swamp buffalo) tipe kerbau pedaging. Kerbau sungai menyenangi air yang mengalir dan bersih, sedangkan kerbau rawa suka berkubang dalam lumpur, rawa-rawa dan air yang menggenang (Fahimudin 1975).

Kerbau lokal yang tersebar di Indonesia terdiri dari dua bangsa, yaitu kerbau rawa yang berjumlah sekitar 95% dan sisanya dalam jumlah kecil sekitar 2% adalah kerbau sungai yang terdapat di Sumatera Utara. Kerbau rawa atau lumpur digunakan sebagai penghasil daging, meskipun ada juga yang diperah. Umumnya produksi susu kerbau rawa lebih rendah dibandingkan dengan kerbau sungai. Kerbau sungai merupakan kerbau yang dimanfaatkan sebagi penghasil susu, sehingga kerbau sungai di kenal sebagai kerbau perah (Bahri dan Thalib 2007).

Kerbau sungai banyak dijumpai di daerah Asia Selatan seperti Pakistan, India, Srilangka dengan jenis utamanya kerbau Murrah, Nili-Ravi, Surti Bhadawari, Mehsana Jaffarabi yang merupakan penghasil susu terbaik. Kerbau sungai secara umum memiliki warna kulit normal adalah hitam dengan bercak putih pada dahi, wajah, ekor, muka dan badan kerbau sungai berukuran relatif panjang dibandingkan kerbau rawa dengan bentuk kaki panjang dan ramping serta perkembangan ambingnya baik. Bobot badan kerbau sungai jantan sekitar 300-700 kg dan betina sekitar 250-650 kg, sedangkan tinggi pundak jantan sekitar 120-150 cm dan betina sekitar 115-135 cm ( Fahimudin 1975).

Kerbau rawa (swamp buffalo) atau dengan nama latin bubalus bubalis cara banesis pada umumnya banyak ditemukan di daerah Asia Tenggara. Menurut Fahimudin (1975) ciri-ciri kerbau rawa adalah berwarna keabu-abuan, leher terkulai dan memiliki tanduk besar yang mengarah ke belakang, badan pendek dan besar serta memiliki performa tubuh yang berat dan berisi. Selain itu, bagian wajah memiliki dahi datar, pendek, moncong lebar dan terdapat bercak putih di sekitar mata (Mason 1974).

(11)

3

Skabies

Definisi

Penyakit skabies dikenal juga sebagai itch, scab dan acariasis. Penyakit ini adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh sekelompok tungau skabies. Semua hewan piara dan manusia rentan terhadap penyakit ini tetapi berbeda dalam prevalensi dan patogenesisnya. Penyakit skabies tersebar di seluruh wilayah dan banyak menyerang hewan seperti; kambing, sapi, kerbau, domba, babi, anjing dan kelinci (Belding 2001).

Klasifikasi

Menurut Taylor et al. (2007) , klasifikasi dari Sarcoptes scabiei adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Arachnida Ordo : Acariformes Sub-ordo : Sarcoptiformes Famili : Sarcoptidae Genus : Sarcoptes Spesies : Sarcoptes scabiei

Siklus hidup

Siklus hidup Sarcoptes scabiei (Gambar 1) terdiri fase telur, larva, protonimfa, tritonimfa dan dewasa yang berlangsung pada tubuh inang. Tungau jantan dan betina akan kawin di permukaan kulit, lalu tungau betina akan membuat terowongan yang berisi tungau betina, telur-telur, dan fesesnya (Wall dan Shearer 2001). Telur-telur tersebut akan menetas 3-8 hari menjadi larva, setelah 2-3 hari larva akan menjadi protonimfa, kemudian menjadi tritonimfa dan beberapa hari menjadi dewasa. Stadium telur menjadi dewasa berlangsung 17-21 hari.

(12)

4

Gejala klinis

Menurut Soulsby (1982), Hewan yang terinfeksi skabies terlihat: lesu, tidak ada nafsu makan, kulit tampak menebal, berkerak, turgor kulit jelek, bulu rontok, gatal-gatal atau pruritus, hyperemi pada selaput lendir mulut, terdapat lepuh pada mukosa mulut dan terjadi konjugtivitis.

Pengobatan

Pencegahan skabies dapat dilakukan dengan sanitasi kandang dan lingkungan, dapat juga diobati dengan berbagai cara. Pengobatan yang biasa dilakukan yaitu dengan ivermectin, neguvon atau asuntol. Kerbau yang terserang skabies dapat diobati dengan salep asuntol 50 WP dengan konsentrasi 2% untuk membasmi telur dan larva yang tersisa dapat diulang 10 hari kemudian (Ginting 1982). Ivermectin dengan dosis 1 ml/ 50 kg berat badan secara subkutan dapat mengobati skabies pada sapi (Currie and McCarthy 2010). Pengobatan lain yang bisa dilakukan adalah dengan mencukur bulu di sekitar daerah yang terkena skabies, kemudian area luka dicuci dengan air hangat dan kemudian diolesi sulfur zalf pada daerah yang terkena skabies (Parker 1980). Selain itu, Subronto (2008) juga menyebutkan obat sejenis yakni selamectin dan amitraz dapat digunakan dalam pengobatan skabies pada kambing. Selamectin dapat diaplikasikan dalam bentuk obat tetes sebulan sekali, sementara itu Amitraz diaplikasikan langsung di kulit setiap minggu dengan cara dimandikan atau disikat.

Beberapa obat tradisional telah digunakan untuk pengobatan skabies seperti campuran belerang dan minyak kelapa. Belerang dipercaya oleh masyarakat dapat mematikan tungau Sarcoptes scabiei karena kandungan sulfurnya, sedangkan minyak kelapa dipercaya sebagai bahan pencampur obat-obatan karena kegunaannya sebagai pelarut untuk melarutkan belerang disamping berperan dalam proses reabsorbsi obat ke dalam tubuh melalui pori-pori kulit. Pengobatan tradisional lainnya dengan menggunakan oli bekas yang dipanaskan dan dioleskan pada bagian kulit yang berlesi atau ke seluruh tubuh (Randu 2002).

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2014. Pengambilan sampel dan pemeriksaan klinis dilaksanakan di Satu Peternakan Kerbau milik Yayasan Rumah Doa Desa Sukamaju, Kecamatan Cimpea, Kabupaten Bogor. Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Entomologi, Divisi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

(13)

5

Metode Penelitian

Pemeriksaan klinis

Pemeriksaan klinis meliputi pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada kulit 12 ekor kerbau yang ada di peternakan tersebut. Pengambilan kerokan kulit dilakukan pada kerbau yang diduga terinfeksi skabies yang sebelumnya telah diperiksa dengan melihat perubahan yang terjadi pada kulit.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk memperkuat dugaan adanya infestasi tungau pada kerbau. Pemeriksaan laboratorium diawali dengan pengambilan kerokan kulit pada kerbau yang menunjukkan gejala klinis pada kondisi permukaan kulit, kemudian melakukan observasi menggunakan mikroskop. Kerokan kulit direndam dalam KOH 10% selama 24 jam. Pemeriksaan dilakukan dengan meneteskan larutan hasil perendaman kerokan kulit pada objek gelas, lalu ditutup dengan cover gelas, dan dilihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan dan penghitungan tungau dilakukan dalam 20x ulangan. Pembuatan Slide Preparat Tungau

Sampel temuan tungau dibuat preparat kaca (slide) dengan memindahkan tungau menggunakan tusuk gigi yang telah diruncingkan ke dalam larutan nesbit. Sampel langsung dibuat preparat kaca dengan memindahkan tungau ke object glass dengan tusuk gigi, pemindahan tungau tersebut dilakukan dibawah mikroskop stereo. Medium Hoyer diteteskan pada object glass sebanyak 3 tetes kemudian ditutup dengan cover glass lalu diinkubasi selama 24 jam. Bagian luar dari gelas penutup selanjutnya diolesi dengen cat kuku (kuteks) untuk mencegah dehidrasi dari medium. Identifikasi tungau dilakukan dengan menggunakan kunci Hadi dan Soviana (2010).

Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis secara deskriptif. Perhitungan untuk mencari prevalensi skabies menggunakan rumus, seperti di bawah ini:

Prevalensi:F/N X 100% Keterangan: F : Jumlah sampel positif

(14)

6

HASIL

Kondisi Peternakan

Lokasi peternakan kerbau dikelola oleh Yayasasan Rumah Doa terletak di Desa Sukamaju Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Peternakan tersebut terletak di daerah yang cukup luas dengan kondisi yang cukup terjaga kebersihan kandangnya, karena memiliki karyawan yang cukup seimbang dengan jumlah populasi ternak di wilayah tersebut. Peternakan tersebut terdapat beberapa jenis hewan ternak yang dipelihara di antaranya kambing, sapi perah, sapi potong, kuda dan kerbau. Kandang antar hewan tersebut memiliki jarak yang tidak terlalu dekat antara satu flock satu dengan yang lainnya.

Peternakan tersebut memiliki jumlah populasi kerbau yang tidak terlalu banyak, yang sebagian besar adalah jenis kerbau rawa. Jumlah populasi kerbau di peternakan tersebut adalah 12 ekor kerbau yang terdiri dari 4 ekor jantan dan 8 ekor betina.

Kandang kerbau memiliki ukuran 13x7 m dengan populasi kerbau 12 ekor, penutup kandang tersebut terbuat dari kayu yang menyatu dengan ruangan tempat tinggal para karyawan. Sebagian dinding kandang tersebut terbuat dari semen tetapi tidak menutupi semua bagian kandang tersebut. Alas kandang tersebut terbuat dari semen dan memiliki penampungan sendiri untuk urin dan air. Penampungan feses tidak disediakan secara khusus tetapi langsung dibersihkan oleh karyawan kandang. Selain itu, disediakan juga kandang isolasi untuk hewan yang sakit dengan ukuran 3x4 meter.

Gambar 2 Kondisi kandang kerbau. Bangunan luar kandang kerbau (A), Bagian dalam kandang (B), Bagian kandang isolasi(C) dan Tempat berkubang (D)

B

C

B A

(15)

7

Hasil Pemeriksaan Klinis

Berdasarkan pengamatan klinis terhadap 12 ekor kerbau, terdapat 2 ekor kerbau yang menunjukkan gejala klinis skabies yaitu 1 ekor anak kerbau (3 bln) dan 1 ekor kerbau dewasa (2 th) (Tabel 1, Gambar 3). Secara umum prevalensi skabies di peternakan kerbau Desa Sukamaju adalah 16,6%. Gejala klinis pada anak kerbau menunjukkan lesio-lesio seperti keropeng atau sisik pada permukaan kulit, penebalan kulit, hiperemi (kemerahan) dan kebotakan. Bagian-bagian tubuh yang menunjukkan skabies adalah daerah abdomen, paha hingga seluruh tubuh. Adapun pada kerbau dewasa kasus infeksi memperlihatkan lesi yang sama pada bagian abdomen dan pangkal ekor.

Kondisi umum pada anak kerbau di lapangan jelas terlihat adanya depresi pada kerbau tersebut. Hewan tersebut berusaha untuk menggaruk-garukan bagian tubuhnya, selain itu hewan tersebut terlihat sangat kurus dan kurang memiliki nafsu makan. Sementara itu, kondisi pada kerbau dewasa yang terinfeksi skabies masih tampak sehat, dengan kondisi fisik hewan secara umum masih memiliki

performance tubuh yang baik dan masih memiliki nafsu makan yang baik.

Gambar 3 Gejala klinis skabies pada anak kerbau (A) dan kerbau dewasa (B) Tabel 1 Gambaran gejala klinis pada anak kerbau dan dewasa yang menunjukkan gejala skabies

No Kasus Umur Gejala Klinis

1 Anak Kerbau 3 bulan - Alopesia pada permukaan kulit,

- Hiperemi pada permukaan kulit, - Kaheksia,

- Anoreksia, - Pruritus, - Penebalan kulit,

2 Kerbau dewasa 2 tahun - Alopesia pada permukan kulit,

- Hiperemi pada permukaan kulit, - Keropeng,

- Pruritus, - Penebalan kulit,

(16)

8

Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan dengan pengamatan dibawah mikroskop, menunjukkan adanya tungau Sarcoptes scabiei pada anak kerbau dan kerbau dewasa (Gambar 4).

Gambar 4 Sarcoptes scabiei pada anak kerbau (A) dan kerbau dewasa (B) Gambaran mikroskopik pada kerokan kulit kerbau ditemukan adanya tungau Sarcoptes scabiei yang tumbuh dan berkembang di permukaan kulit kerbau dewasa maupun anak kerbau. Adapun ciri-ciri yang ditemukan pada tungau tersebut adalah bentuk tubuh bulat, memiliki striae-striae di median tubuh, tungkai yang pendek, ruas kaki ketiga dan keempat tungau tersebut tidak melewati batas tubuh, ukuran berkisar 200-400 mikron lebar dan 250-600 mikron panjang. Jumlah rata-rata tungau yang ditemukan dari 20 kali pemeriksaan sediaan kerokan kulit disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah rata-rata tungau Sarcoptes scabiei yang didapat dari sediaan kerokan kulit pada anak kerbau dan kerbau dewasa

No Kasus skabies pada

Rata- rata jumlah tungau/pengamatan secara natif (tungau) 1 Anak Kerbau: - Abdomen 16,46 (15-33) - Paha 24,32 (17-40) 2 Kerbau Dewasa: - Abdomen 0,93 (0-2) - Pangkal ekor 2,46 (2-4) A B

(17)

9

PEMBAHASAN

Lokasi peternakan secara umum terletak di daerah yang cukup luas dengan berbagai hewan ternak yang dipelihara. Jumlah karyawan yang dimiliki cukup banyak sebanding dengan jumlah populasi hewan yang dipelihara di peternakan tersebut. Kondisi tersebut akan meminimalisir mudahnya penyebaran suatu penyakit seperti penyakit parasitik, terutama yang disebabkan oleh faktor mekanik seperti peralatan kandang. Menurut Hadi & Soviana (2010), pembersihan kandang merupakan salah satu bentuk kegiatan untuk menghasilkan suatu keadaan sementara yang tidak menguntungkan bagi beberapa ektoparasit.

Jumlah populasi kerbau di peternakan tersebut yaitu berjumlah 12 ekor yang terdiri dari masing-masing 4 ekor jantan dan 8 ekor betina. Hasil pemeriksaan klinis kondisi pada beberapa ekor hewan yaitu terdiri dari 1 ekor anak kerbau (3 bln) dan 1 ekor kerbau dewasa (2 th), memiliki gejala klinis yang menunjukkan kedua hewan tersebut menderita penyakit yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei. Gejala klinis tersebut terlihatnya terbentuknya lesio seperti alopesia, keropeng, hiperemi, bersisik dan penebalan pada permukaan kulit. Gejala klinis ini hampir sama dengan laporan Jensen and Swift (2006) yang menyebutkan bahwa ciri khas kasus infeksi skabies adalah lesu, tidak ada nafsu makan, kulit menebal, berkerak, turgor kulit jelek, bulu rontok, gatal-gatal atau pruritus dan hiperemi pada selaput kulit.

Anak kerbau dan kerbau dewasa yang diduga terinfeksi oleh agen parasitik dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, untuk mengidentifikasi agen parasitik yang menginfeksi kedua hewan tersebut. Pemeriksaan kerokan kulit secara laboratorium merupakan pemeriksaan lanjutan atau peneguhan diagnosa penyakit skabies, serta untuk mengetahui kebenaran hasil pemeriksaan klinis yang telah dilakukan sebelumnya (Mullen et al. 2009).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa agen parasitik yang menyerang kedua hewan tersebut adalah tungau jenis Sarcoptes scabiei. Tungau yang ditemukan memiliki ciri-ciri yaitu bentuk tubuh bulat, ruas kaki ke3 dan ke 4 tungau tersebut tidak melebihi batas tubuh, memiliki striae-striae dimedian tubuhnya. Tungau jantan memiliki ukuran 200-240 mikron panjang dan lebarnya 150-200, sedangkan pada tungau betina memiliki ukuran 330-600 mikron panjang dan lebar 250-400 mikron, ciri-ciri tersebut selaras dengan deskripsi morfologi yang disebutkan dalam Hadi & Soviana (2010).

Jumlah rata-rata tungau Sarcoptes scabiei yang ditemukan dari pemeriksaan 20 kali sampel kerokan kulit berbeda pada anak kerbau dan kerbau dewasa. Jumlah rata-rata tungau yang ditemukan pada anak kerbau adalah 16,46 dari daerah abdomen dan 24,32 dari daerah paha. Sementara itu, pada kerbau dewasa, jumlah rata-rata tungau yang ditemukan adalah 0,93 di daerah abdomen dan 2,46 di daerah pangkal ekor. Hal tersebut menunjukkan infestasi tungau

Sarcoptes scabiei sangat tinggi pada anak kerbau, dan rendah pada kerbau dewasa.

(18)

10

Predileksi infestasi skabies pada kerbau dewasa yaitu didaerah abdomen dan pangkal ekor. Sementara itu, pada anak kerbau tersebar di daerah abdomen, paha hingga seluruh permukaan tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa kasus skabies pada anak kerbau telah berlangsung lama (kronis) dibandingkan dengan kerbau dewasa. Kettle (2004) menyatakan bahwa predileksi skabies pada kerbau terutama di daerah abdomen, paha dan leher. Sementara itu, Palmer and Amelsfoort (1983) melaporkan, bahwa kasus skabies yang telah berlangsung parah dan kronis akan menyebabkan lesio pada abdomen, ambing hingga seluruh tubuh.

Kondisi kerbau dewasa yang terinfeksi oleh Sarcoptes scabiei tersebut tampak sehat, dengan performance tubuh yang masih bagus. Selain itu, tidak terlihatnya reaksi kegatalan yang berlebih dan hewan tersebut masih memiliki nafsu makan yang cukup baik. Kondisi berlawanan terjadi pada anak kerbau yang terinfeksi skabies hewan tersebut tampak kurus, lesu dan tidak memiliki nafsu makan yang baik. Selang 2 minggu setelah pengamatan terbukti bahwa anak kerbau yang terinfeksi Sarcoptes scabiei tersebut mati.

Menurut Taylor (2007) kerbau dewasa lebih tahan terhadap kasus infeksi oleh Sarcoptes scabiei, sedangkan menurut Reid et al. (1990) hewan muda yang menderita skabies akan mudah terinfeksi oleh infeksi sekunder yang akan menyebabkan kematian pada hewan tersebut.

Kasus infeksi skabies pada peternakan kerbau tersebut hanya terjadi pada 2 ekor yaitu pada anak kerbau dan kerbau dewasa, sehingga prevalensi kasus skabies di peternakan tersebut kecil. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penularan kasus skabies dari satu hewan ke hewan lainnya cukup rendah. Faktor yang menyebabkan rendahnya prevalensi di antaranya terdapat kandang isolasi khusus untuk mengisolasi hewan yang sakit, lokasi kandang yang terpapar matahari yang cukup dan jumlah karyawan yang sesuai yang berimplikasi terjaganya higiene dan sanitasi peternakan tersebut.

Hewan yang terkena penyakit skabies harus segera diisolasi (diasingkan) dari hewan yang sehat untuk mencegah penyebaran penyakit secara kontak langsung (Levine 1994). Hal tersebut dilakukan juga oleh petugas peternakan pada kerbau yang positif yang terinfeksi. Dengan cara itu penularan kasus skabies dari satu hewan dengan yang lainnya dapat diminimalisir.

Pencegahan skabies dapat dilakukan dengan sanitasi kandang dan lingkungan, dapat juga diobati dengan berbagai cara. Pengobatan yang biasa dilakukan yaitu dengan ivermectin, neguvon atau asuntol. Kerbau yang terserang skabies dapat diobati dengan salep asuntol 50 WP dengan konsentrasi 2% untuk membasmi telur dan larva yang tersisa dapat diulang 10 hari kemudian (Ginting 1982). Ivermectin dengan dosis yang tepat, baik injeksi (suntikan) maupun per oral (minum) dapat membunuh tungau Sarcoptes scabiei pada ternak (Currie and McCarthy 2010). Pengobatan lain yang bisa dilakukan adalah dengan mencukur bulu di sekitar daerah yang terkena skabies, kemudian area luka dicuci dengan air hangat dan kemudian diolesi sulfur zalf pada daerah yang terkena skabies (Parker 1980). Selain itu, Subronto (2008) juga menyebutkan obat sejenis yakni selamectin dan amitraz dapat mengobati skabies pada kambing. Selamectin dapat diaplikasikan dalam bentuk obat tetes sebulan sekali, sementara itu amitraz

diaplikasikan langsung di kulit setiap minggu dengan cara dimandikan atau disikat.

(19)

11

Beberapa obat tradisional telah digunakan untuk pengobatan skabies seperti campuran belerang dan minyak kelapa. Belerang dipercaya oleh masyarakat dapat mematikan tungau Sarcoptes scabiei karena kandungan sulfurnya, sedangkan minyak kelapa dipercaya sebagai bahan pencampur obat-obatan karena kegunaannya sebagai pelarut untuk melarutkan belerang disamping berperan dalam proses reabsorbsi obat ke dalam tubuh melalui pori-pori kulit. Pengobatan tradisional lainnya dengan menggunakan oli bekas yang dipanaskan dan dioleskan pada bagian kulit yang berlesi atau ke seluruh tubuh (Randu 2002).

SIMPULAN

Jenis tungau yang menginfestasi kerbau di peternakan Desa Sukamaju Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor adalah Sarcoptes scabiei. Gejala klinis yang terlihat akibat infestasi tungau Sarcoptes scabiei pada anak kerbau adalah alopesia, hiperemi, kaheksia, anoreksia, pruritus, dan penebalan kulit. Sementara itu, gejala klinis pada kerbau dewasa adalah alopesia, hiperemi, keropeng, pruritus dan penebalan kulit. Prevalensi skabies pada kerbau di peternakan tersebut adalah 16,6%.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh aktivitas berkubang terhadap infestasi tungau Sarcoptes scabiei. Evaluasi dalam penanganan kasus skabies juga perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas penanganan kasus tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Thalib. 2007. Strategi pengembangan pembibitan ternak kerbau Prosiding dan seminar loka karya nasional usaha ternak kerbau 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan peternakan, Bogor (ID).

Belding, DL. 2001. Textbook of Clinical Parasitology. Appleton Century Croft. New York.

Currie BJ, McCarthy JS. 2010. Permethrin and Ivermectin for Scabies. The New England Journal of Medicine 362: 717 -725.

Colville, J . 1991. Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians. American Veterinary.

Fahimuddin M. 1975. Domestic Water Buffalo. New Delhi (IN) Oxford and IBH Publishing Co.

[FAO] Food Agricultural Organization. 2010. The State of Food and Agriculture. Rome (IT): Food Agricultural Organization.

Ginting HG. 1982. Pengobatan skabies (Sarcoptes scabiei) pada kerbau dengan salep asuntol 50 WP. Seminar Penelitian Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian. Bogor. Hal 424-427.

(20)

12

Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit Pengenalan, Diagnosa, dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr.

Hadi UK, Gunandini D J, Soviana S, Supriyono . 2013 . Atlas Entomologi Veteriner. Bogor (ID): IPB Pr.

Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan, Identifikasi, dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr.

Iskandar, T. 2000. Masalah skabies pada hewan dan manusia serta penanggulannya. Wartazoa 10(1) : 37-40.

Jensen R, Swift BL. 2006. Disease of Sheep. 2 years Eds. Lea & Febiger. Philadelphia.

Kettle, DS. 2004. Medical and Veterinary Entomology. London-Sidney : Croom Helm.

Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari: Study Book of Veterinary Parasitology.

Mason IL. 1974. The Husbandry and Health of The Domestic Buffalo. Rome (IT): Food and Agriculture Organization of The United Nation.

Mullen G, Gary RM, Lance D. 2009. Medical and Veterinary Entomology. Second Edition. Inggris (GB): El servier.

Palmer CR, Amelfoort AV. 1983. Cattle mange: importance of South Africa and chemical control with the organophosphate phoxin. Journal of South African Veterinary Association 54 : 99-103.

Parker, WH. 1980. Health and Disease in Farm Animals. 3rd ed. Pergamon Press. Oxford. New York.

Praharani L. 2008. Tinjauan performa persilangan kerbau sungai x kerbau lumpur. Di dalam:Abdullah dan Bamualim, editor. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau; 2008 okt 24-26; Tanah Toraja, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.hlm 38-54.

Soulsby, EJL. 1 982. Helminths, Arthropods & Protozoa of Domesticated Animals. 7 th Eds. London (UK):Bailliere, Tindal and Casseli.

Subronto. 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (mamalia). Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 32: 61-62.

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology . 3th ed. Oxford (UK): Blackwell.

Randu. 2002. Aplikasi Pengobatan Scabies Pada Ternak Kambing Di Desa Camplong kabupaten kupang.

Reid HFM, Birju B, Holder Y, Hospedales J , Poon -King TT . 1990. Epidemic scabies in four Carribean Islands, 1981-1988. Transactions of The Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene 84 : 298-300

Wall R, Shearer D. 2001 . Veterinary Ectoparasites : Biology, Pathology, and Control. Oxford (UK): Blackwell.

(21)

13

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Garut pada tanggal 1 November 1993 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Pendi dan Ibu Ai Kaneti. Dalam masa pendidikannya, penulis beresekolah di SD Lembursitu 2 Kota Sukabumi, SMPN 2 Kota Sukabumi dan penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 3 Kota Sukabumi tahun 2012.

Pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, IPB dan mengikuti program Tingkat Persiapan Bersama selama 1 tahun.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif bergabung dengan beberapa organisasi seperti Himpunan Minat Profesi Ruminansia. Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Balai Inseminasi Buatan Lembang dan klinik hewan di Jakarta.

Gambar

Gambar 1 Siklus hidup tungau Sarcoptes scabiei (Hadi et al. 2013)
Gambar 2 Kondisi kandang kerbau. Bangunan luar kandang kerbau (A),  Bagian              dalam kandang (B), Bagian kandang isolasi(C) dan Tempat berkubang (D)
Gambar 3 Gejala klinis skabies pada anak kerbau (A) dan kerbau dewasa (B)  Tabel 1 Gambaran gejala klinis pada anak kerbau dan dewasa yang menunjukkan               gejala skabies
Tabel  2  Jumlah  rata-rata  tungau  Sarcoptes  scabiei  yang  didapat  dari  sediaan  kerokan kulit pada anak kerbau dan kerbau dewasa

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan Critical Path Method (CPM) diketahui bahwa proyek membutuhkan waktu 249 hari untuk menyelesaikan rangkaian aktivitas pekerjaan dari awal hingga akhir,

Posisi lawan bicara apakah sama /lebih tinggi dari si pembicara, ataupun sama-sama berada dalam satu kelompoknya/ diluar kelompoknya, bahkan tidak memahami orang yang berada di

1) Komitmen afektif (affective commitment) berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, keterlibatan anggota

Ketika arrival rate dari pengguna primer mendekati nol maka kemungkinan kanal tidak sedang digunakan oleh pengguna primer saat pengguna sekunder datang mendekati satu

Adapun partisipasi berolahraga yang dominan para anggota atau masyarakat dalam mengikuti kegiatan di sarana olahraga Bandung Giri Gahana Golf dan Resort –

5 T.. Selain itu badan amil zakat yang didirikan oleh pemerintah kurang optimal, karena banyak masyarakat yang menyerahkan zakatnya secara pribadi ataupun kepada kyai

PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Jawa Timur salah satu perusahaan yang menjalankan program Corporate Social Responsibilty dengan istilah PKBL selama 12 tahun..

 Jumlah tamu yang menginap di hotel bintang di Maluku selama periode Januari – November 2016 adalah sebanyak 88.531 orang atau menurun 1,93 persen dibanding periode yang sama