• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontaminasi senyawa poliklorobifenil (PCB) pada kerang hijau, Perna viridis dari Teluk Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kontaminasi senyawa poliklorobifenil (PCB) pada kerang hijau, Perna viridis dari Teluk Jakarta"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

24

Kontaminasi senyawa poliklorobifenil (PCB) pada kerang hijau,

Perna viridis

dari Teluk Jakarta

Contamination of polychlorinated biphenyl compound on green mussels, Perna

viridis harvested from Jakarta Bay

Edward

Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(P2O-LIPI). Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta 14430, Telp/Fax: 021.64715038, 021.647118148. Email korespondensi: ekewe07@gmail.com

Abstract. The objective of this research was to examine the contamination level of polychlorinated biphenyl compound in green mussels. Green mussels samples were collected in Jakarta Bay in March 2013. Polychlorinated biphenyl level were quantified by gas chromatography HP 5880 series II completely with Electron Capture Detector (ECD). The levels of polychlorinatedbiphenyl in small size mussels was 0.846 ppb, in medium size mussels was 0.854 ppb, and in biger size mussels was 2.018 ppb. These levels were lowercompared to the safe threshold value for seafood which in 2,000 ppb. Therefore the green mussels from Jakarta Bay is safe to consumpt.

Keywords: Jakarta Bay; contamination; PCB; green Mussels

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat kontaminasi senyawa polikloro bifenil dalam

kerang hijau. Contoh kerang hijau dikumpulkan di Teluk Jakarta pada bulan Maret 2013. Kadar polikloro bifenil diukur dengan alat kromatografi gas HP 5880 series II, yang dilengkapi dengan detektor penangkap elektron (ECD). Kadar polikloro bifenil dalam kerang hijau ukuran kecil adalah 0,846 ppb, kerang ukuran sedang adalah 0,854 ppb dan kerang ukuran besar adalah 2,018 ppb. Kadar ini masih rendah bila dibandingkan dengan nilai ambang batas aman untuk makanan hasil laut yakni 2000 ppb. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat apakah kerang hijau di Teluk Jakarta ini masih aman untuk dikonsumsi.

Kata kunci: Teluk Jakarta; kontaminasi; PCB; kerang hijau

Pendahuluan

Teluk Jakarta merupakan perairan estuariayang banyak menerima masukan limbah hasil kegiatan manusia di darat baik dari industry maupun limbah rumah tangga. Limbah tersebut masuk ke Teluk Jakarta melalui aliran-aliran sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta. Limbah mengandung berbagai macam bahan kimia yang bersifat toksik. Salah satunya adalah Polychlorinated biphenyls (PCB) yang merupakan satu senyawa organik persisten Persistence Organic Pollutant (POPs).PCB adalah sebuah kelompok xenobiotik dari hidrokarbon aromatik terhalogenasi, merupakan kontaminan lingkungan yang sangat berbahaya dan terdapat dimana-mana, penyebarannya luas dan bersifat persisten (Persky et al., 2012) (Grimm et al., 2013; Murk et al., 2013).

Lingkungan laut dianggapsebagai reseptor utama POP dan telahterdeteksi bahkan sampai di daerah terpencil, seperti daerah kutub (Stegeman et al., 2001). Senyawa PCB yang telah ditemukan saat ini sebanyak 209 jenis, untuk pengenalan jenisnya diberikan sistem penomoran yang dilakukan oleh Ballschmitter et al. (1980) yang dibagi menjadi 10 kelompok yaitu dari Monoklorobifenil (PCB 1) sampai dengan Dekaklorobifenil (PCB 209). PCB diproduksi dan digunakan dalam bahan industri dibanyak negara karena sifatnya yang tahan panas (Zoeller et al., 2002). Jenis PCB yang diperdagangkan dan terkenal dari salah satu perusahaan Jepang (Gustafon, 1970) terdiri dari 8 macam formula yang dikenal dengan nama aroclor 1221, 1232, 1242, 1248, 1254, 1260, 1262 dan 1268. Dua angka dibelakang merupakan persentasi klor yang digunakan, dari semua produksi tersebut yang banyak digunakan adalah Aroclor 1248 dan 1254. Dalam campuran plastik banyak digunakan Aroclor 1260. Sifat racunya tergantung pada jumlah dan posisi substitusi klor (Leijs et al., 2012). PCB diproduksi dalam bentuk campuran kompleks dengan nama dagang Aroclor (Karcher et al., 2004). Menurut US Environmental Protection Agency (USEPA) mengakui PCB bersifat racun terhadap organisme hidup (Ahmed, 2013), dan banyak dijumpai dalam produk susu, daging dan ikan (Persky et al., 2012; Grimm et al., 2013).

(2)

25

PCB juga mengalami bioakumulasi dan biomagnifikasi dalam rantai makanan mulai dari tingkat rendah rendah sampai tinggi, yang akhirnya berkaitan dengan efek terhadap kesehatan manusia dan hewan (Miller et al., 2012). Efek ini berpotensi menguat dan meningkat selama perkembangan organisme hidup (Koibuchi dan Iwasaki 2006). Selanjutnya pada manusia, PCB terutama disimpan dalam jaringan adiposa, dengan eliminasi waktu paruh 6-10 tahun (Norstrom et al., 2010). Potensibioakumulasi pada jaringan lemakdan biomagnifikasi melalui rantai makanan (Otchere, 2005; Tomza et al., 2006). Semua POPs (Persistence Organic Pollutants) termasuk PCB bersifat merusak kesehatan, seperti gangguan endokrin,gangguan reproduksi, penyakit kardiovaskular, carcinogenicity dan neurotoksisitas (El Nemr et al., 2011; Amodio et al., 2012). Di Jepang PCB menimbulkan penyakit yang dikenal dengan nama Yusho Syndrom, penyakit ini munculakibat mengkonsumsi beras yang mengandung PCB sebesar 0,5 ppm (Munawir, 2011). Oleh sebab itu, masalah lingkungan yang berkaitan dengan kontaminan beracun telah menjadi perhatian yang amat besar bagi banyak kalangan termasuk di Indonesia.

Biota berpotensi mengakumulasi PCB dari atmosfir, air dan makanan. Karena sifatnya yang larut dalam lemak, perubahan konsentrasi PCB juga terkait dengan perubahan kadar lemak (Nakata et al., 2002). Kadar PCB dijaringan bivalvia diantaranya Perna viridis dapat mencerminkan kadar PCB dalam lingkungannya. Bivalvia banyak digunakan sebagai bioindikator pencemaran organikdi daerah pesisir (Cardoso et al., 2012; Cardoso et al., 2013). Hal ini disebabkan karena penyebarannya yang luas, mempunyai sifat hidup menetap, mempunyai toleransi terhadap perubahan salinitas, tahan terhadap tekanan dan tingginya akumulasi berbagai bahan kimia (Golberg et al., 1978). Bila dibandingkan dengan ikan dan krustasea, bivalvia memiliki tingkat kemampuan sistem aktivitas sistem enzimatik yang sangat rendah untuk memetabolisme persisten polutan organik (POPs). Kadar kontaminan dalam jaringan bivalvia, lebih akurat mencerminkan besarnya kontaminasi lingkungan (Phillips, 1989). Oleh karena itu bivalva, seperti halnya kerang banyak digunakan sebagai bioindikator untuk memonitor senyawa-senyawa beracun di lingkungan perairan laut. Di Asia Pasifik, kerang hijau (Perna viridis) tersebar di sepanjang pantai, dan dikenal sebagai produk seafood yang penting (Vakily, 1989), termasuk di Indonesia. Kontaminan residu PCB telah banyak diamati dalam air dan udara (Iwata et al., 1993) dan makanan (Kannan et al., 1997).

Penelitian mengenai kontaminasi PCB di perairan Indonesia masih jarang dilakukan khususnya pada biota perairan dan sedimen, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan PCB terhadap perairan Indonesia belum banyak yang diketahui, namun dilaporkan beberapa perairan di Indonesia telah terkontaminasi oleh PCB (Munawir, 2011). Namun demikian penelitian PCB pada kerang hijau yang berasal dari Indonesia pernah dilakukan pada tahun 1998 (Sudaryanto et al., 2005). Penelitian ini adalah untuk menentukan dan menilai tingkat kontaminasi PCB dalam keranghijau (Perna viridis) di Teluk Jakarta dalam kaitannya dengan kesehatan pangan.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilakukan pada Tanggal 5 Maret sampai 20 Maret 2013 di Teluk Jakarta (Gambar 1).Contoh kerang diukur panjangnya, dan dipisahkan berdasarkan ukuran menjadi 3 kelompok (kecil, sedang dan besar), masing-masing kelompok sebanyak 3 ekor.Kelompok I: kerang ukuran kecil (1. Panjang 60 mm, lebar 28,05 mm, 2. Panjang 55,05 mm, lebar 24,08 mm, 3. Panjang 58,08 mm, lebar 28,05 mm). Kelompok II: kerang ukuran sedang (1. Panjang 64,5mm, lebar 32,04 mm, 2. Panjang 67 mm, lebar 33,05 mm, 3. Panjang 61,05 mm, lebar 30 mm). Kelompok III: kerang ukuran besar (1. Panjang 81,08 mm, lebar 37,08 mm, 2. Panjang 77,05 mm, lebar 34,02 mm, 3. Panjang 87,07 mm, lebar 39,01 mm). Masing-masing kelompok diambil dagingnya, ditimbang, dihomogenisasi dan disimpan dalam lemari pendingin. Sebanyak 10 gram sampel ditimbang setiap kelompoknya. Kadar lipid ditentukan secara gravimetri dengan metode soxhlet (AOAC, 2005).

Hasil homogenisasi sebanyak 10 gram ditambah Na2SO4 secukupnya sampai sampel tidak lengket, dan diesktraksi dengan DCM (Dicholoromethane) sebanyak 120 ml selama 8 jam. Hasil ekstraksi dipekatkan dengan rotarivapor sampai volume 1 ml. Kolom kromatografi disiapkan dengan cara memasukan glasswool, bubuk alumina SIGMA WB 5 Basic yang telah diekstraksi sebelumnya dengan DCM selama 8 jam. Kolom alumina dibersihkan dahulu dengan DCM dan n-heksan sebanyak 10 ml. Hasil pemekatan sebanyak 1 ml di ‘clean up’ dengan cara dimasukkan ke dalam kolom alumina dengan mengalirkan 4% dietil eter dalam n-heksan sebanyak 14 ml dan dipekatkan kembali sampai volume 1 ml. Sebanyak 1 ml hasil clean up difraksinasi dengan kolom silika MERCK 7754. Bubuk silica yang digunakan adalah bubuk silica tipe Reinst, 70-230 Mesh ASTM, MERK (Holden dan Marsden, 1969; Greve dan Grevenstuk, 1975; Duinker dan Hillebrand, 1978a; Duinker dan Hillebrand, 1978b). Fraksi 1 (F1) didapat dengan mengalirkan n-heksana sebanyak 15 ml, ditampung hasilnya

(3)

26

sebanyak 9,5 ml. Selanjutnya dialirkan lagi 15 ml larutan 4% dietil eter dalam n-heksana, dan ditampung lagi hasilnya (F2). Lakukan pemekatan masing-masing fraksi dengan alat rotarivapor/microSnyder sampai volume 0,5-1,0 ml. Masukkan masing-masing ke dalam vial.

Kadar PCB diukur dengan Gas Kromatografi HP 5890 Series II dengan detektor ECD. Sebagai make up dan carrier gas digunakan gas Helium. Program temperatur yang digunakan adalah 1). Temperatur awal oven 60oC, kemudian dinaikkan dengan kecepatan aliran sebesar 25oC dan didiamkan selama 5 menit, 2) Selanjutnya temperatur dinaikkan menjadi 220oC dengan kecepatan aliran sebesar 4oC per menit dan didiamkan selama 5 menit, 3) Terakhir temperatur dinaikkan menjadi 270oC dengan kecepatan aliran sebesar 4oC per menit, dan didiamkan selama 16 menit. Kadar PCB dihitung dberdasarkan kadarsenyawa standar PCB (29 senyawa standar) dan dinyatakan dalam satuan ppb (ng/g). Prosedur di atas mengacu kepada prosedur kerja analisis senyawa PCB laboratorium kimia organik P2O-LIPI (SOP, 2013; Munawir, 2010).

Gambar 1. Stasiun pengambilan sampel di Teluk Jakarta, Maret 2013.

Hasil dan Pembahasan

Hasil pengukuran kadar dan indvidu-individusenyawa PCB dalam kerang hijau disajikan pada Tabel 1. Dari tabel tersebut dapat dilihat kadar rerata PCB tertinggi dijumpai dalam kerang dengan ukuran besar, selanjutnya diikuti oleh kerang dengan ukuran sedang, dan kecil. Demikian juga halnya dengan kadar lemak. Kadar PCB tertinggi dijumpai dalam kerang ukuran besar yakni 6,054 ppb, selanjutnya diikuti oleh kerang ukuran sedang dan kecil yang kadar PCB nya masing-masing adalah 2,563 ppb dan 2,540 ppb. Kadar ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai ambang batas aman yang diperkenankan oleh Departemen Pelayanan Kesehatan Masyarakat Amerika (US Department of Health and Human Service) (2011), EPA (1972) dan FAO/WHO (1986) untuk kerang yang dikonsumsi yakni 2000 ppb, 1500 ppb, dan 200 ppb, dengan demikian bila mengacu kepada ketentuan tersebut di atas maka kerang hijau ini masih aman untuk dikonsumsi. Gambar 2 memperlihatkan kadar PCB dalam kerang hijau cenderung meningkat dengan bertambahnya ukuran kerang dan kadar lemak. Hal ini disebabkan PCB merupakan senyawa organik yang larut dalam lemak, dengan demikian kadar PCB akan cenderung meningkat dengan meningkatnya kadar lemak. Data ini juga menunjukkan kadar lemak meningkat dengan bertambahnya ukuran kerang.

PCB banyak digunakan dalam industri dan rumah tangga sebagai fluida penghantar panas, pelarut, fluida dielektrik, pendingin dan pelumas pada transformer dan peralatan elektrik lainnya, sebagai fluida

(4)

27

hidraulik, plastisizer dan dye carriers. PCB juga dihasilkan dan diemisikan ke lingkungan sebagai hasil samping dari pembuatan bahan kimia dan insinerasi. Umumnya, lokasi dengan populasi relatif jarang dan sedikit kegiatan industri, kadar cenderung rendah, dan pada gilirannya masukan ke perairan juga rendah. Kadar PCB hasil penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan beberapa lokasi di Indonesia (Tabel 2). Pada Tabel 2 dapat dilihat tingginya kontaminasi PCB pada daerah yang populasi dan industrinya padat seperti Jakarta. Hal yang sama juga terjadi di beberapa negara lain, seperti Thailand (Kan-Atireklap et al., 1997) dan Philipina (Prudente et al., 1989).

Tabel 1. Kadar PCB dalam Kerang Hijau (Perna viridis) di Teluk Jakarta

Panjang-Lebar (mm) Kecil Sedang Besar

1. Panjang 60,00 64,05 81,08 Lebar 28,05 32,04 37,08 2. Panjang 55,05 67,06 77,05 Lebar 24,08 33,01 34,02 3. Panjang 58,08 61,05 87,07 Lebar 28,05 30,00 39,01 Kadar Total PCB, ppb 2,540 2,563 6,054 Kadar Rerata, ppb 0,846 0,854 2,018 Kadar lemak % 1,55 1,575 1,590

Nilai Ambang Batas (USDHHS, 2011) 2000 ppb

EPA (1972) 1500 ppb

FAO/WHO (1986) 200 ppb

Tabel 2 memperlihatkan kadar PCB dalam kerang hijau di Teluk Jakarta lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar PCB dalam kerang hijau di daerah lain seperti Belawan (Medan), Teluk Hurun, Teluk Lada, Bondet, dan Maros yang kadar PCBnya berturut-turut adalah 0,20 ppb, 0,20 ppb, 0,90 ppb, 0,60 ppb, dan <0,10 ppb, namun lebih rendah bila dibandingkan dengan Kamal, Ancol, Cilincing, dan Genjeran yang kadar PCBnya berturut-turut adalah 2,70, 1,9, 2,4, dan 2, 3 ppb. Kadar PCB hasil pengamatan ini juga lebih rendah bila dibandingkan dengan lokasi lain di Asia seperti Kambodja, Philipina, Thailand, India, Hong Kong, Jepang, Vietnam, Malaysia, dan Shanghai. Bila dibandingkan dengan nilai ambang batas PCB yang aman untuk dikonsumsi yang diperkenankan oleh Departemen Pelayanan Kesehatan Masyarakat Amerika (US Department of Health and Human Service) (2011), EPA (1972), dan FAO/WHO (1986), kadar PCB hasil penelitian ini relatif masih lebih rendah.

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat jenis-jenis individu PCB yang terdapat dalam daging kerang. The Food and Drug Administration (FDA) menyatakan kadar PCB dalam makanan (telur, produk susu, lemak unggas, ikan, kerang, dan makanan bayi ) tidak boleh lebih dari 0,2-3 ppm atau 200-3000 ppb (ASTDR, 1997). Berdasarkan FDA ini maka kerang hijau di Teluk Jakarta ini meskipun mengandung PCB namun masih aman untuk dikonsumsi. PTDI (Provisional Tolerable Daily Intake) PCB adalah 0,0001 mg per kg berat badan/hari (Public Health Fact Service, 2005). Kadar PCB tertinggi dalam kerang adalah 2,018 ppb atau 0,002018 mg/kg (0,002018 mg dalam 1 kg kerang hijau), nilai 0,0001 mg tersebut akan tercapai bila seseorang memakan kerang hijau sebanyak 0,0001/0,002x 1 kg kerang hijau=0,05 kg kerang hijau/hari per kg berat badan per hari. Jadi bila berat badan seseorang adalah 50 kg, maka ia hanya boleh mengkomsumsi kerang hijau maksimal sebanyak 50 x 0,05 kg = 2,5 kg per hari.

Gambar 2. Kadar PCB dan lemak dalam kerang hijau, Perna viridis berdasarkan ukuran Tabel 2. Perbandingan Kadar PCB dalam Kerang Hijau di Teluk Jakarta dengan Daerah Lain.

(5)

28

Teluk Jakarta 0,846-2,018 1,55-1,59 Penelitian ini

Belawan 0,20 1,4 1998 (Sudaryanto et al., 2005)

T. Hurun 0,20 1,1 Sda T. Lada 0,90 1,1 Sda Kamal 2,7 1,3 Sda Ancol 1,9 1,9 Sda Cilincing 2,4 1,7 Sda Bondet 0,60 2,0 Sda Genjeran 2,3 1,2 Sda Maros <0,10 1,8 Sda

Kambodja ttd-5,1 0,87-2,3 1998 (Sudaryanto et al., 2005) Thailand <0,1-20 1,2-2,9 1994-1995 (Sudaryanto et al., 2005) Philiphina 0,4-14,2 0,5-3,1 1994-1997(Sudaryanto et al., 2005) India 0,31-15 0,68-3,9 1994-1995 (Sudaryanto et al., 2005) Hongkong <9,6-300 0,7-1,9 1983 (Sudaryanto et al., 2005) Jepang 94-164 2,3-2,6 1998 (Sudaryanto et al., 2005)

Vietnam 0,2-3,4 - 1997 (Monirith et al., 2000)

Malaysia 0,1-5,1 - 1998 (Monirith et al., 2000)

East Coast Thailand 0,2-3,7 - 2002-2003 (Cheevaporn et al., 2005) Bangpakong

Estuary 0,9-2,7 - 2004 (Wattayakorn et al., 2010)

Shanghai 3,27-25,5 - Jin et al. (2008)

Kadar CB-95 paling tinggi dibandingkan dengan CB yang lain, baik dalam kerang ukuran kecil, sedang, dan besar. Pentachlorobiphenyl (PCB-95 ) adalah zat kimia industri yang beracun, paparannya memiliki pengaruh negatif terhadap perkembangan bayi Tingkat keparahan dan berbagai efek negatif yang dialami dapat sangat bervariasi tergantung pada kadarnya, tahap kehamilan di mana paparan terjadi dan durasi, tingkat dan sifat dari paparannya (misalnya inhalasi, paparan kulit, pencernaan). Perkembangan toksisitas dapat mencakup hal-hal seperti; berat lahir rendah, cacat lahir, kematian janin, masalah perilaku dan psikologis. Kadang-kadang efek mungkin tidak terlihat sampai bayi menjadi lebih dewasa (Developmental Toxicity PCB-95, 2015). Kontaminasi kerang oleh senyawa PCB ini mungkin memberikan kontribusi akumulasinya ke manusia melalui konsumsi, mengingat kerang juga merupakan salah satu sumber protein hewani utama selain ikan.

Estimasi asupan maksimum harian PCB dari konsumsi kerang di Indonesia (berdasarkan rata-rata konsumsi ikan harian sebesar 37 g/orang/hari (FAO, 1997). Kadar PCB rerata tertinggi dalam kerang adalah 2,018 ppb =2,018 µg/kg, dengan kata lain dalam 1 kg kerang terdapat 2,018 µg PCB. Bila orang mengkonsumsi kerang sebanyak 37 gr, maka asupan PCB per hari ke tubuhnya adalah 37/1000 x 2,018 µg = 0,075 µg. Hasil estimasi ini masih jauh dari nilai intake harian yang masih di perbolehkan (ADI = Acceptable Daily Intake) berdasarkan rekomendasi FAO/WHO (FAO/WHO, 1986) yakni sebesar 60.000 ng/orang/hari atau 60 µg/orang/hari. Kadar PCB dalam kerang hijau ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar PCB dalam air laut. Hasil pengukuran kadar PCB dalam air laut pada 12 stasiun penelitian di Teluk Jakarta pada bulan Maret 2013 berkisar 10,494-25,778 ppt (0,010-0,025 ppb). Kadar PCB dalam kerang hijau berkisar 0,846-2,018 ppb. Data ini menunjukkan adanya akumulasi PCB dalam kerang hijau. Faktor bioakumulasinya (BCF) adalah 1239 ppt (kadar rerata PCB dalam kerang hijau)/15,790 ppt (kadar rerata PCB dalam air laut) = 78,467.

Kehadiran PCB dalam air laut dapat berasal dari proses “leaching” yang berasal dari darat akibat kegiatan industri yang menggunakan senyawa PCB, dan ada juga yang berasal dari buangan akibat penggunaan alat kapasitor dan transformer dalam alat yang mengandung senyawa PCB (Law, 1983). Penyebab lain adalah adanya penggunaan yang terus menerus dari alat-alat elektronika model lama seperti kapasitor dan transformer ataupun “carbonless paper” dari hasil buangan limbah dari darat dimana dalam pembuatannya menggunakan bubuk PCB. Bubuk PCB banyak digunakan karena mempunyai titik leleh yang tinggi, tidak mudah menguap pada suhu kamar, jadi baik untuk penggunaan alat-alat elektronik yang membutuhkan temperatur yang tinggi. Tampaknya masih banyak penggunaan alat elektronika yang menggunakan senyawa PCB yang berasal dari kebanyakan aktivitas di darat yang akhirnya masuk ke perairan laut di sekitarnya. Keberadaan senyawa yang bersifat toksik di lingkungan laut variasinya sangat banyak, dan dalam skala global (Clark dalam Danis et al., 2006). Beberapa senyawa adalah asli secara alami, sedangkan yang lainnya adalah berasal dari limbah hasil

(6)

29

aktivitas darat. Kontaminan – kontaminan senyawa kimia ini dapat larut dalam air, berikatan dengan sedimen ataupun terjadi akumulasi di dalam tubuh organisme laut. Menurut Danis et al. (2006), PCB adalah salah satu dari tiga famili polichlorinate yang menjadi kontaminan global.

Tabel 3. Jenis dan kadar PCB (ppb) pada kerang hijau (Perna viridis) di Teluk Jakarta, Maret 2013

Senyawa PCB Kerang Kecil Kerang Sedang Kerang Besar

CB-18 0,280 0,856 0,287 CB-28+31 0,042 0,059 0,029 CB-52 0,011 0,011 0,011 CB-44 0,007 0,007 0,007 CB-95 1,707 4,588 1,341 CB-101 0,072 0,079 0,455 CB-99 0,025 0,027 0,028 CB-81 0,110 0,118 0,066 CB-110+77 0,024 0,024 0,051 CB-151 0,026 0,026 0,026 CB-149+118+123 0,032 0,036 0,032 CB-114 0,023 0,023 0,023 CB-146 ttd Ttd ttd CB-153 0,005 0,006 0,006 CB-105 ttd Ttd ttd CB-138 ttd 0,006 0,006 CB-126 ttd Ttd ttd CB-187 ttd Ttd ttd CB-183 0,022 0,022 0,022 CB-167+128 ttd Ttd ttd CB-177 0,045 0,045 0,045 CB-156 0,030 0,030 0,030 CB-157 0,015 0,029 0,025 CB-180 0,004 ttd ttd CB-169 ttd ttd 0,012 CB-170 ttd ttd ttd CB-189 0,060 0,060 0,060 Jmh Jenis 19 19 20 Total PCB 2,540 2,563 6,054 Kadar Rerata, ppb 0,846 0,854 2,018

Keterangan:ttd= tidak terdeteksi

Tabel 4. Kadar PCB dalam Air Laut di Teluk Jakarta, ng/l (ppt) (Sumber: Edward, 2013)

Maret 2013

Wilayah Sekitar Muara Wilayah Bukan Muara

St Barat St Tengah St Timur St Tengah St Utara

1 6,617 5 14,370 9 8,974 13 1,995 16 9,446

2 63,030 6 11,942 10 14,388 14 17,445 17 11,491

3 11,879 7 6,326 11 10,036 15 19,328 - -

4 20,689 8 9,339 12 6,493 - - - -

Min 6,617 Min 6,326 Min 6,493 Min 1,995 Min 9,446

Mak 20,689 Mak 14,370 Mak 14,388 Mak 18,328 Mak 11,491

Total 103,112 Total 41,977 Total 39,891 Total 48,768 Total 20,937 Rerata 25,778 Rerata 10,494 Rerata 15,956 Rerata 16,256 Rerata 10,468

Kesimpulan

Kerang hijau yang diambil dari perairan Teluk Jakarta telah terkontaminasi oleh senyawa Polikloro bifenil (PCB), namun kadarnya masih rendah, sehingga masih aman untuk dikonsumsi. Estimasi asupan harian PCB melalui konsumsi kerang kepada orang Indonesia pada saat pengamatan masih jauh lebih rendah dari nilai asupan harian yang diperbolehkan yakni 60.000 ng/orang/hari untuk PCB berdasarkan rekomendasi FAO/WHO (1986). Perhatian khusus perlu dilakukan pada daerah yang padat industri dan populasi, seperti Jakarta dan Surabaya, ada kemungkinan peningkatan masukan PCB ke lingkungan yang berasal dari PCB yang ada dalam peralatan elektronik tua dan pembuangan limbah. Karena itu, monitoring yang berkelanjutan perlu dilakukan untuk mengantisispasi dampak negatif yang mungkin timbul. Disamping itu, rencana aksi yang nyata perlu dirumuskan dalam upaya mengeliminasi polutan senyawa-senyawa organik persisten ke lingkungan laut.

(7)

30

Daftar Pustaka

Amodio, E., R. Turci., M. F. Massenti., F. Di Gaudio, C. Minoia., F. Vitale. 2012. Serum concentrations of persistent organic pollutants (POPs) in the inhabitants of a Sicilian city. Chemosphere, 89(8): 970-974. Ahmed, G. R. 2013. Early weaning PCB 95 exposure alters the neonatal endocrine system: thyroid adipokine

dysfunction. J Endocrinol,219(3):205-15

ATSDR. 1997. Polychlorinated Biphenyls (PCBs), CAS#1336-36-3, September 1997. URL:http://atsdr1.atsdr.cdc.gov:8080/tfacts17.html

Association of Official Analytical Chemist (AOAC). 2005. Official method of analysis of the association of official analytical of chemist. Arlington, Virginia, USA: Association of Official Analytical Chemist, Inc. 970 p.

Ballschmiter, K., M. Zell, H. J. Neu. 1980. Persisten of PCB`s in the ecosphere: will some PCB components “ never “ degrade?. Chemosphere, 2(7): 173-176.

Cheevaporn, V., K. Duangkaew, N. Tangkrock-Olan. 2005. Environmental occurrence of organochlorines in the East coast of Thailand. Journal of Health Science, 51: 80–88.

Cardoso, P. G., E. Pereira., T. F. Grilo, A. C. Duarte, M. A. Pardal. 2012. Kinetics of mercury bioaccumulation in the polychaete Hediste diversicolor and in the bivalve Scrobicularia plana, through a dietary exposure pathway. Water Air Soil Pollution, 223: 421–428.

Cardoso, P. G., T. F. Grilo, E. Pereira, A. C. Duarte, M. A. Pardal. 2013. Mercury bioaccumulation and econtamination kinetics in the edible cockle Cerastoderma edule. Chemosphere, 90: 1854–1859. Danis, B., V. Debacker, C. T. Miranda, Ph. Dubois. 2006. Level and effects of PCDD/Fs and co-PCBs in

sediment, mussels,and sea stars of the intertidal zone in the southern North Sea and the English Channel. Ecotoxicology and Environment safety, 65: 188-200.

Developmental toxicity-2,3',3,5,6–Pentachlorobiphenyl (PCB–95). 2015. In: ttp://www.Rightdiagnosis.com/d/developmental_toxicity_2_3_3_5_6_pentachlorobiphenyl_pcb_95/i ntro.htm. Copyright © 2014 Health Grades Inc. All rights reserved. Last Update: 13 August, 2015 (4:53). Diakses tanggal 15 Oktober 2015.

Duinker, J. C., M. TH. J. Hillebrand. 1978a. Minimizing blank values in chlorinated hydrocarbon analysis. Journal of Chromatography, 150: 195-199.

Duinker, J. C., M. TH. J. Hillebrand. 1978b. Determination of selected organochlorine seawater. In : Methods of seawater analysis (K. Grasshof, M. Erhardt and K. Kremling, eds). 290-304. Verlag Cheme. Weinheim.

Edward. 2013. Kajian kriteria kualtas air laut melalui monitoring tingkat pencemaran dan bioassay senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) di Teluk Jakarta. Laporan Akhir Penelitian. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Jakarta: 167 hal.

El Nemr, A. 2011. Impact, monitoring and management of environmental pollution. Nova Science Publishers, Inc., Hauppauge, New York: 638 p.

EPA. 1972. Water quality criteria. a report of the committee on water quality criteria environmental studies board, Washington, DC. USA. 594 p.

FAO. 1997. Food balance sheet, year 1997. http://apps.fao.org/lim500/nph-wrap .pi?FoodBalanceSheet&Domain=Food Balance Sheet.

FAO/WHO. 1986. Joint FAO/WHO food standard programme. Codex alimentarius commision, codex maximum limits for pestisides residues. Codex Alimentarius, Xm, 2nd ed. Rome, Italy.

Greve, P. V., W. B. F. Grevenstuk. 1975. A convenient small-scale clean-up method for extracts of fatty samples with basic alumina before GLC analysis on organochlorine pesticide residues. Meded Faculty Landbouwwed. Gent, 40: 1115-1124.

Grimm, F. A., H. J. Lehmler, X. He, L. W. Robertson, M. W. Duffel. 2013. Sulfated metabolites of polychlorinated biphenyls are high-affinity ligands for the thyroid hormone transport protein transthyretin. Environmental Health Perspectives, 121: 657–662.

Goldberg, E. D., V. T. Bowen, J. W. Farrington, G. R. Harvey, J. H. Martin, P. L. Parker, R. W. Risebrough, W. E. Robertson, E. Scheneider, E. Gamble. 1978. The mussel watch. Environmental Conservation, 5: 101-125.

(8)

31

Holden , A. V., K. Marsden. 1969. Single stage clean-up of animal tissue extracts for organochlorine residue analysis. Journal of Chromatography, 44: 481-492.

Jin, Y., S. H. Hong, D. Li, W. J. Shim, S. S. Lee. 2008. Distribution of persistent organic pollutants in bivalves from the northeast coast of China. Marine Pollution Bulletin, 57: 775-781.

Iwata, H., S. Tanabe, N. Sakai, R. Tatsukawa. 1993. Distribution of persistent organochlorines in the oceanic air and surface seawater and the role of ocean on their global transport and fate. Environmental Science and Technology, 27: 1080-1098.

Kannan, K., S. Tanabe, J. P. Giesy. 1997. Organochlorine pesticides and polychlorinated biphenyls in foodstuff from Asian and Oceanic Countries. Reviews Environmental Contamination Toxicology, 152: 1-55. Koibuchi, N., T. Iwasaki. 2006. Regulation of brain development by thyroid hormone and its modulation by

environmental chemicals. Endocrine Journal, 53: 295–303.

Karcher, S. C., M. J. Small, J. M. van Briesen. 2004. Statistical method to evaluate the occurrence of PCB transformations in river sediments with application to Hudson River data. Environmental Science and Technology, 38: 6760–6766.

Kan-Atireklap, S., S. Tanabe, J. Sanguasin, M. Tabucanon, M. Hungspreugs. 1997. Contamination by butyltin compounds and organochlorines residues in green mussel (Perna viridis. L.) from Thailand coastal waters. Environmental Pollution, 97: 79-89.

Law, A. T. 1983. Monitoring of sewage pollution in the estuarine and coastal water of Post Klang, Malaysia. In Proceeding of the International Conference on Development and Mangement of Tropical living Aquatic Recources, 2-5 August 1983, Selangor, Malaysia: p 333 – 345.

Leijs, M. M., G. W. ten Tusscher, K. Olie, T. van Teunenbroek, W. M. van Aalderen, P. de Voogt, T. Vulsma, A. Bartonova, M. K. von Krauss, C. Mosoiu. 2012. Thyroid hormone metabolism and environmental chemical exposure. Environmental Health, 11 (Suppl 1): S10–S16.

Murk, A. J., E. Rijntjes, B. J. Blaauboer, R. Clewell, K. M. Crofton, M. M. Dingemans, J. D. Furlow, R. Kavlock, J. Köhrle, R. Opitz. 2013. Mechanism-based testing strategy using in vitro approaches for identification of thyroid hormone disrupting chemicals. Toxicology in Vitro, 27: 1320–1346.

Miller, V. M., S. Sanchenz-Morrissey, K. O. Brosch, R. F. Seegal. 2012. Developmental coexposure to polychlorinated biphenyls and polybrominated diphenyl ethers has additive effects on circulating thyroxine levels in rats. Toxicological Sciences, 127: 76–83.

Monirith, I., H. Nakata, M. Watanabe, S. Takahashi, S. Tanabe, T. S. Tana. 2000. Organochlorine contamination in fish and mussels from Cambodian and other Asian Countries. In : Mussel WatchMarine Pollution Monitoring in Asian Waters (S. Tanabe, ed.). Center for Marine Environmental Studies. Ehime University, Japan: 156 pp.

Norstrom, K., G. Czub, M. S. McLachlan, D. Hu, P. S. Thorne, K. C. Hornbuckle. 2010. External exposure and bioaccumulation of PCBs in humans living in a contaminated urban environment. Environment International, 36: 855–861.

Munawir, K. 2010. Kadar poliklorobifenil (PCB) dalam air laut di perairan Kalimantan Timur. Jurnal Lingkungan Tropis, 4(1): 50-57.

Munawir, K. 2011. Residu poliklorobifenil (PCB) dalam air laut dan sedimen di perairan Estuari Cisadane. Lingkungan Tropis, 5(1): 33-43.

Nakata, H., M. Kawazoe, K. Arizono, S. Abe, T. Kitano, H. Shimada, W. Li, X. Ding. 2002. Organochlorine pesticides and polychlorinated biphenyl residues in foodstuffs and human tissues from China: status of contamination, historical trend, and human dietary exposure. Archives of Environmental Contamination and Toxicology, (43): 473-480.

Otchere, A. F. 2005. Organochlorines (PCBs and pesticides) in the bivalves Anadarasenilis, Crassostrea tulipa and Perna perna from the lagoons of Ghana. Science of the Total Environment, 348: 102–114.

Philips, D. J. H. 1989. Trace metal and organochlorines in the coastal waters of Hong Kong. Marine Pollution Bulletin, 20: 319-327.

Prudente, M.S., H. Ichihashi, S. Kan-Atireklap, I. Watanabe, S. Tanabe. 1989. Butyltis,organochlorines and metal levels in green mussel, Perna viridis L. from the coastal waters of the Philippines. Fisheries Science, 65: 441-447.

Persky, V., J. Piorkowski, M. Turyk, S. Freels, R Jr. Chatterton, J. Dimos, H. L. Bradlow, L. K. Chary, V. Burse, T. Unterman. 2012. Polychlorinated biphenyl exposure diabetes and endogenous hormones: a

(9)

cross-32

sectional study in men previously employed at a capacitor manufacturing plant. Environmental Health, 11: 57–67.

Public Health Fact Service. 2005. Polychlorinated Biphenyls (PCBs): Healtheffects. http://www.health.sa.gov.au/ pehs/PDF-files/ph-actsheet-PCBs-health.pdf. Diakses tanggal 15 Oktober 2015.

SOP (Standard Operation Procedure). 2013. Instruksi kerja analisis senyawa organoklorin (poliklorobifenil/ pcb dan pestisida) untuk biota dan sedimen (Dibuat oleh Khosanah Munawir dan diperiksa oleh Edward, berlaku tanggal 26 Maret 2013). Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Jakarta, 2 hal.

Stegeman, J. J., J. J. Schlezinger, K. E. Craddock, D. E. Tillitt. 2001. Cytochrome P4501A expression in midwater fishes; potential effects of chemical contaminants in remote oceanic zones. Environmental of Science and Technology, 35: 54–62.

Sudaryanto, A., M. Muswery, H. Razak, S. Tanabe. 2005. Kontaminasi ogganoklorin persisten dalam kerang hijau (Perna viridis) di perairan Indonesia. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 37: 1-14.

Tomza, A., A. Witczak, W. Ciereszko. 2006. Uptake of polychlorinated biphenyls in freshwater mussels Anodonta complanata from the lower Odra river. Polish Journal of Environmental Studies, 15: 603–608. United State Department of Health and Human Service. 2011. Fish and fishery products. Hazard and Control

Guidance, Fourth Edition. 468 p.

Vakily, J. M. 1989. The biology and culture of mussels of the genus Perna. ICLARM Studies and Review, 17: 63.

Wattayakorn, Gullaya, R. Sompop. 2010. Ambient concentrations of polychlorinated biphenyls and organochlorine pesticides in selected Thai estuarine sediments and mussels. Coastal Marine Science, 34(1): 181–185, 2010

Zoeller, R.T., A. L. S. Dowling, C. T. A. Herzig, E. A. Iannacone, K. J. Gauger, R. Bansal. 2002. Thyroid hormone brain development and the environment. Environmental Health Perspectives, 110 (Suppl 3) 355–361.

Gambar

Gambar 1. Stasiun pengambilan sampel di Teluk Jakarta, Maret 2013.
Tabel 1. Kadar PCB dalam Kerang Hijau (Perna viridis) di Teluk Jakarta
Tabel 4. Kadar PCB dalam Air Laut di Teluk Jakarta, ng/l (ppt) (Sumber: Edward, 2013) Maret 2013

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian : Sebuah benda angkasa yang mengelilingi matahari, mempunyai massa dan gravitasi yang cukup besar agar bentuknya hampir bulat, dan memiliki lintasan orbit

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi bahan ajar di kelas VII SMP dan mengetahui kelayakan bahan ajar pada pembelajaran ips sub-sub tema interaksi manusia dengan

[r]

Dan implementasi ar-Rifqu dalam pendidikan Islam di pondok pesantren Ibnu Abbas Sragen dalam proses pendidikan, pengajaran dan pembinaan peserta didik (santri) perlu

&amp; Dewi, 2014, Perbedaan Efektifitas Minyak Atsiri Bunga Kenanga (Cananga Odorata) Sebagai Repelan Terhadap Gigitan Nyamuk Aedes aegypti Dengan Konsentrasi 5%, 15%, Dan 25%,

Faktor pendorong dalam perilaku WPS dalam mencari pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS adalah kesadaran dan keinginan dari WPS sendiri, dukungan terhadap WPS,

Perjanjian kerja ini masuk kedalam ranah keperdataan dan ranah kepidanaan (publik) yang dalam hal ini adalah ketenagakerjaan yang didalamnya berisi tentang hak

1989 : 178). Hemat listrik adalah penggunaan energi secara efisien dengan mematikan energi yang tidak diperlukan. Penghematan dapat dilakukan dengan memanfaatkan