• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Whey Protein Concentrate (WPC) Terdenaturasi Menggunakan Beberapa Metode Preparasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Produksi Whey Protein Concentrate (WPC) Terdenaturasi Menggunakan Beberapa Metode Preparasi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

E-ISSN: 2615-7721 Vol 3, No. 1 (2019) F. 39 P-ISSN: 2620-8512

Seminar Nasional Dalam Rangka Dies Natalis UNS Ke 43 Tahun 2019

“Sumber Daya Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan dan Keamanan Pangan Indonesia pada Era Revolusi Industri 4.0”

Produksi Whey Protein Concentrate (WPC) Terdenaturasi Menggunakan Beberapa

Metode Preparasi

Rizky Fajar Hutama1 dan Robi Andoyo2 1

Mahasiswa Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran; Kabupaten Sumedang 45363

2

Dosen Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran; Kabupaten Sumedang 45363

Abstrak

Whey protein merupakan komponen protein yang terdapat di dalam whey susu. Whey susu merupakan bahan pangan yang dihasilkan dari limbah industri pengolahan keju. Namun, limbah whey hanya diolah kembali menjadi air bersih dan pakan ternak. Whey masih memiliki kandungan nutrisi yang baik bagi tubuh yaitu protein, laktosa, vitamin, dan mineral. Salah satu upaya untuk memanfaatkan limbah tersebut adalah dengan mengolah whey menjadi whey protein concentrate

(WPC). Whey protein memiliki beberapa sifat fungsional diantaranya sebagai pengontrol tekstur. Proses denaturasi dapat merubah konformasi dari protein whey sehingga tekstur produk pangan dapat diatur. Proses produksi WPC terdenaturasi yang ada dinilai belum efektif dan efisien. Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi proses khususnya proses pengeringan untuk memberikan efisiensi yang tinggi namun tetap menjaga karakteristik WPC yang dihasilkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dan membandingkan karakeristik WPC yang diproduksi menggunakan pengeringan vakum dan spray drying dengan beberapa metode preparasi. Pengamatan dilakukan terhadap sifat fisikokimia, yaitu solubilitas, kadar air, kadar protein, dan total rendemen; serta sifat fungsionalitasnya, yaitu whey drainage. Hasil penelitian menunjukkan bahwa WPC terdenaturasi yang dihasilkan menggunakan proses spray drying dengan metode preparasi dua memberikan sifat fisikokimia dan fungsionalitas terbaik, yaitu solubilitas 3,32%; kadar air sebesar 4,12%; kadar protein sebesar 58,55%; dan total rendemen 0,52%.

Kata kunci : whey protein concentrate, denaturasi, pengeringan, fisikokimia, fungsionalitas

Pendahuluan

Whey merupakan cairan kuning kehijauan yang berasal dari sisa pengolahan susu atau keju. Whey masih memiliki kandungan nutrisi yang baik untuk dikonsumsi tubuh. Menurut data yang telah dilansir oleh Badan Pusat Statistik (2018), produktivitas susu segar mencapai 909.638 ton/tahun. Namun, produksi whey sendiri hanya mencapai 198 ton dengan impor sebesar 53.900 ton (Kementrian Perindustrian, 2016). Rendahnya pemanfaatan whey menjadi produk diakibatkan sifat fungsionalnya yang sulit diaplikasikan pada produk pangan. Secara alamiah, whey protein memiliki sifat kelarutan yang tinggi, mampu menciptakan viskositas melalui pengikatan air, pembentuk gel,

(2)

E-ISSN: 2615-7721 Vol 3, No. 1 (2019) F. 40 P-ISSN: 2620-8512

sebagai emulsifier, pengikat lemak, membantu pengocokan, pembusaan, serta meningkatkan warna, rasa, dan tekstur. Salah satu sifat fungsional yang tidak diharapkan pada whey protein adalah kemampuan dalam meningkatkan tekstur bahan pangan. Oleh karena itu, untuk meminimalkan sifat tersebut perlu dilakukan proses denaturasi.

Proses denaturasi protein disebabkan adanya pemanasan yang diikuti dengan pendekatan titik isoelektrik whey protein berkisar pada pH 4,6, di mana interaksi sesama komponen whey protein meningkat karena adanya gaya elektrostatik sehingga ikatan hidrofilik protein semakin berkurang. Proses pemanasan menyebabkan perubahan konformasi dari whey protein dan menyebabkan penurunan sifat-sifat alamiahnya. Adanya proses denaturasi menghasilkan whey protein concentrate yang mampu mengontrol tekstur pada produk pangan berprotein tinggi sehingga lebih mudah untuk diterima konsumen.

Penelitian yang dilakukan oleh Sitindaon (2016) menunjukkan bahwa WPC terdenaturasi membutuhkan waktu yang lama dalam skala kecil, khususnya pada proses pengeringan. Hal ini tentunya kurang cocok untuk diaplikasikan oleh industri pangan, mengingat biaya operasional yang cukup besar. Oleh karena itu, diperlukan adanya modifikasi proses produksi untuk menghasilkan WPC terdenaturasi dengan karakteristik yang sama atau lebih baik namun dengan proses produksi yang lebih singkat. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dikaji proses produksi WPC terdenaturasi melalui pendekatan karakteristik WPC yang dihasilkan.

Metodologi

Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimental menggunakan analisis deskriptif. Proses pembuatan whey protein concentrate terdenaturasi mengacu pada penelitian Sitindaon (2016) yang dapat diamati pada Gambar 1 dan selanjutnya dijadikan sebagai kontrol. Percobaan dilakukan dengan melakukan modifikasi proses pembuatan whey protein concentrate

terdenaturasi menggunakan spray drying sebagai alternatif proses pengeringannya. Percobaan terdiri dari tiga metode preparasi yang dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Adapun metode preparasi yang dilakukan adalah sebagai berikut :

A = tanpa menggunakan proses sentrifugasi B = menggunakan proses sentrifugasi

C = menggunakan proses pengendapan secara alami dan sentrifugasi

Pemilihan perlakuan tersebut didasarkan pada penelitian Sitindaon (2016) yang menunjukkan bahwa proses produksi whey protein concentrate terdenaturasi dengan metode pengeringan vakum memerlukan waktu yang lama sehingga tidak efisien. Oleh karena itu, diperlukan modifikasi pada proses pembuatan whey protein concentrate terdenaturasi agar memiliki

(3)

E-ISSN: 2615-7721 Vol 3, No. 1 (2019) F. 41 P-ISSN: 2620-8512

efisiensi yang tinggi namun tetap menjaga karakteristik yang dihasilkan. Proses pembuatan whey protein concentrate terdenaturasi yang telah dimodifikasi dapat diamati pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Alir Produksi WPC Terdenaturasi pada Beberapa Metode Preparasi (Sumber : Modifikasi Sitindaon, 2016)

(4)

E-ISSN: 2615-7721 Vol 3, No. 1 (2019) F. 42 P-ISSN: 2620-8512

Hasil dan Pembahasan Solubilitas

Solubilitas atau kelarutan adalah jumlah zat terlarut yang dapat larut dalam sejumlah pelarut pada suhu tertentu hingga membentuk larutan jenuh. Solubilitas protein yang diamati mengacu pada penelitian Collado dan Corke (1999). Berikut ini adalah rata-rata hasil pengamatan solubilitas protein pada whey protein concentrate terdenaturasi pada beberapa metode preparasi :

Tabel 1. Pengamatan Solubilitas WPC Terdenaturasi pada Beberapa Metode Preparasi

Perlakuan Nilai Solubilitas

Kontrol 3,08%

Perlakuan A 9,92%

Perlakuan B 3,36%

Perlakuan C 4,32%

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2018)

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1., diketahui bahwa solubilitas pada perlakuan A memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan ketiga sampel lainnya. Hal ini dapat disebabkan adanya kandungan laktosa yang tinggi pada sampel A. Kandungan laktosa yang tinggi disebabkan oleh belum terpisahnya ikatan antara protein dengan laktosa. Menurut Bylund (1995), adanya proses pemanasan menyebabkan terbentuknya ikatan antara laktosa dan protein yang membentuk substansi baru dan sulit dipisahkan secara mikroskopik. Proses sentrifugasi berperan penting dalam memisahkan ikatan hidrogen yang terbentuk dengan prinsip perbedaan berat jenis. Adanya proses sentrifugasi dapat mengendapkan protein dengan gaya sentrifugal sehingga memutuskan ikatan antara laktosa dengan protein.

Sampel kontrol dan perlakuan lainnya memiliki solubilitas yang lebih rendah dibandingkan perlakuan A. Nilai solubilitas yang rendah disebabkan oleh adanya proses pH adjustment dan pemanasan yang menyebabkan kerusakan sifat fungsional protein. Menurut Wong et.al. (1996), protein biasanya memiliki sedikit kelarutan pada titik isoelektrik (pI). Kondisi tersebut menyebabkan interaksi antara sesama protein meningkat, sementara interaksi protein dengan air berkurang karena gaya elektrostatik dari protein menjadi minimal. Hal tersebut menunjukkan bahwa protein telah mengalami proses denaturasi. Berdasarkan uraian tersebut, maka WPC terdenaturasi dengan perlakuan B memiliki solubilitas yang paling mendekati kontrol.

Kadar Air

Kadar air merupakan salah satu parameter kritis pada produk pangan berbentuk bubuk atau granular. Menurut Winarno (2002), kandungan air dalam suatu bahan pangan ikut menentukan

acceptability, kesegaran, dan daya simpan bahan pangan tersebut. Pengujian kadar air menggunakan metode termogravimetri yang mengacu pada AOAC (2006). Berikut ini adalah

(5)

rata-E-ISSN: 2615-7721 Vol 3, No. 1 (2019) F. 43 P-ISSN: 2620-8512

rata hasil pengamatan kadar air whey protein concentrate terdenaturasi pada beberapa metode preparasi :

Tabel 2. Pengamatan Kadar Air WPC Terdenaturasi pada Beberapa Metode Preparasi

Perlakuan Kadar Air

Kontrol 4,89%

Perlakuan A 3,96%

Perlakuan B 4,12%

Perlakuan C 4,55%

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2018)

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 2., dapat diketahui bahwa sampel perlakuan A, B, dan C memiliki kandungan air yang lebih rendah dibandingkan dengan sampel kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa proses spray drying memberikan hasil yang lebih optimal pada whey protein concentrate terdenaturasi. Menurut SNI 4220:1996 tentang Tajin Susu (Whey) Bubuk, kadar air maksimal pada whey bubuk adalah 5%. Menurut standar internasional seperti CXC-289-1995 untuk

whey powders memiliki kadar air maksimal 5%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air WPC terdenaturasi pada semua perlakuan memenuhi standar yang berlaku.

Kadar Protein

Pengujian kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl mengacu pada AOAC (2006). Faktor konversi yang digunakan adalah 6,25. Berikut ini adalah rata-rata hasil pengamatan kadar protein WPC terdenaturasi pada beberapa metode preparasi :

Tabel 3. Pengamatan Kadar Protein WPC Terdenaturasi pada Beberapa Metode Preparasi

Perlakuan Kadar Protein

Kontrol 58,44%

Perlakuan A 19,26%

Perlakuan B 58,55%

Perlakuan C 55,77%

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2018)

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 3., dapat diamati bahwa kadar protein pada WPC terdenaturasi dengan perlakuan A memiliki nilai yang rendah, sementara sampel kontrol dan perlakuan lain memiliki kadar protein yang tinggi dan tidak berbeda secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa proses sentrifugasi menjadi indikator penting pada proses pembuatan WPC terdenaturasi. Menurut Bylund (1995), adanya proses pemanasan menyebabkan terbentuknya ikatan antara laktosa dan protein yang membentuk substansi baru dan sulit dipisahkan secara mikroskopik. Oleh karena itu, adanya proses sentrifugasi dapat memisahkan ikatan antara laktosa dan protein, dengan prinsip perbedaan berat jenis kedua komponen tersebut. Laktosa hanya memiliki massa molar sebesar 342,3 g/mol; sementara protein memiliki massa molar sebesar 5 hingga 300 kg/mol (Mulyadi, 2015). Menurut Johnson (2000), whey protein concentrate umumnya mengandung

(6)

E-ISSN: 2615-7721 Vol 3, No. 1 (2019) F. 44 P-ISSN: 2620-8512

protein sebanyak 34-80%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar protein pada perlakuan A tidak memenuhi literatur, sementara ketiga sampel lainnya memenuhi literatur yang digunakan.

Rendemen

Rendemen merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui banyaknya bubuk whey yang dihasilkan setelah melalui serangkaian proses produksi. Berikut ini adalah rata-rata hasil pengamatan total rendemen whey yang dihasilkan pada beberapa metode preparasi :

Tabel 4. Pengamatan Kadar Protein WPC Terdenaturasi pada Beberapa Metode Preparasi

Perlakuan Rendemen

Kontrol 0,66%

Perlakuan A 2,16%

Perlakuan B 0,52%

Perlakuan C 0,45%

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2018)

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 4., dapat diamati bahwa rendemen bubuk whey pada setiap perlakuan memiliki perbedaan. Sampel perlakuan A memiliki nilai rendemen yang melebihi rata-rata, yaitu 2,16%. Menurut penelitian Sitindaon (2016), total rendemen yang dihasilkan berkisar 0,5-0,66%. Sementara pada penelitian Walstra dan Jenness (1984), kandungan rata-rata whey protein pada susu sapi adalah 0,65%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan A melebihi rata-rata kandungan rendemen whey yang dilakukan oleh beberapa penelitian dan tidak sesuai dengan literatur. Hal ini disebabkan tidak terpisahnya ikatan hidrogen yang terbentuk antara laktosa dengan protein, sehingga laktosa juga ikut dikeringkan bersama protein selama proses pengeringan. Sementara sampel kontrol dan perlakuan lainnya memenuhi literatur yang ada. Berdasarkan hal tersebut maka WPC terdenaturasi dengan perlakuan B memiliki total rendemen yang mendekati kontrol dan sesuai dengan literatur.

Whey Drainage

Pengamatan whey drainage pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah whey protein concenrate terdenaturasi yang diproduksi melalui metode preparasi yang berbeda memiliki fungsionalitas dalam membentuk matriks gel dan diamati dari jumlah air yang keluar dari jaringan. Prosedur pengujian whey drainage mengacu pada penelitian Andoyo (2014). Pengujian dilakukan pada satu titik pH yaitu 4,18. Berikut ini adalah data hasil pengamatan whey drainage WPC terdenaturasi pada beberapa metode preparasi :

Tabel 5. Pengamatan Whey Drainage WPC Terdenaturasi pada Beberapa Metode Preparasi

Perlakuan Whey Drainage

Kontrol 21,6018%

Perlakuan A 16,5953%

Perlakuan B 20,8332%

(7)

E-ISSN: 2615-7721 Vol 3, No. 1 (2019) F. 45 P-ISSN: 2620-8512

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 5., dapat diketahui bahwa gel WPC terdenaturasi kontrol memiliki nilai whey drainage yang lebih besar dibandingkan ketiga sampel lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa gel kontrol memiliki jaringan dengan water holding capacity yang lebih kecil dibandingkan ketiga sampel lainnya. Hal ini berkaitan dengan kandungan laktosa di dalam sampel. Komponen laktosa akan berinteraksi dengan protein ketika dipanaskan, kemudian membentuk ikatan hidrogen sehingga membentuk agregasi selain dari agregasi whey protein (Martie et.al., 2004). Agregat yang terbentuk memiliki gugus hidrofilik sehingga mampu mengikat dan mempertahankan air agar tidak keluar dari jaringan. Berdasarkan hal tersebut, maka semakin tinggi kandungan laktosa di dalam bahan maka kemampuan gel dalam mengikat air semakin kuat. Jika diamati dari sifat fungsional, maka WPC terdenaturasi yang diberikan perlakuan spray drying

memiliki nilai yang lebih baik dari kontrol.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa whey protein concentrate

terdenaturasi hasil pengeringan spray drying dengan sentrifugasi memberikan sifat fisikokimia yang setara dengan kontrol. WPC terdenaturasi hasil pengeringan spray drying dengan sentrifugasi memiliki kadar air sebesar 4,12%; kadar protein sebesar 58,55%; solubilitas sebesar 3,36%; dan total rendemen sebesar 0,52%. Namun, sifat fungsionalitasnya lebih baik dibandingkan dengan kontrol, yaitu memiliki whey drainage sebesar 20,8332%.

Saran yang dapat penulis sampaikan adalah proses produksi dilakukan menggunakan alat dengan kapasitas yang lebih besar sehingga proses tidak dilakukan dalam beberapa batch yang kurang efisien.

Ucapan Terimakasih

Terimakasih disampaikan kepada Bapak Robi Andoyo, S.TP, M.Sc., Ph.D atas bimbingan dan arahan serta bantuan dalam bentuk materi untuk mendukung penelitian hingga dapat terlaksana dan berjalan dengan lancar.

Daftar Pustaka

Andoyo, R., Guyomarc’h, F., Cauty, C., Famelart, M.-H., 2014. Model mixtures evidence the respective roles of whey protein particles and casein micelles during acid gelation. Food Hydrocoll. 37, 203–212. doi:10.1016/j.foodhyd.2013.10.019

Association of Official Analytical Chemist. 2006. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC.

(8)

E-ISSN: 2615-7721 Vol 3, No. 1 (2019) F. 46 P-ISSN: 2620-8512

Badan Pusat Statistik. 2018. Produksi Susu Segar di Indonesia Menurut Provinsi. Available at: http://www.bps.go.id (Diakses pada 11 Januari 2019)

Badan Standarisasi Nasional.1996. SNI 01-4220-1996 tentang Tajin Susu (Whey) Bubuk. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Bylund, Gösta. 1995. Dairy Processing Handbook. Tetra Pak Processing Systems AB.

Collado L.S., dan Corke H. 1999. Heat Moisture Treatment Effect on Sweet Potato Starches Differing in Amylosa Content. J Food Chem 65: 339-346

Johnson. 2000. Us Whey Products in Snacks and Seasoning. US Dairy Export Council, USA.

Kementrian Perindustrian Republik Indonesia. 2016. Pohon Industri Susu. Available at : www.kemenperin.go.id (Diakses pada tanggal 20 Januari 2019).

Martie, I., Fischer, P., Windhab,E.J. 2004. Effect of Lactose On Rheology Of Milk Protein Dispersions. 3rd International Symposium on Food Rheology and Structure. Institute of Fodd Science and Nutrition, Switzerland.

Sitindaon, A. 2016. Produksi dan Kajian Sifat Fisikokimia Whey Protein Concentrate Terdenaturasi pada Berbagai Waktu Pemanasan. Departemen Teknologi Industri Pangan Universitas Padjadjaran, Sumedang.

Walstra, Pieter dan Robert, Jennes. Dairy Chemistry and Physics. Wiley Publlishing, New York.

Gambar

Gambar 1. Diagram Alir Produksi WPC Terdenaturasi pada Beberapa Metode Preparasi  (Sumber : Modifikasi Sitindaon, 2016)
Tabel 2. Pengamatan Kadar Air WPC Terdenaturasi pada Beberapa Metode Preparasi
Tabel 4. Pengamatan Kadar Protein WPC Terdenaturasi pada Beberapa Metode Preparasi

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 4.5 Nilai rata-rata kadar lemak pekatan protein jenis kacang hijau pada masing-masing konsentrasi asam khlorida

Perlakuan priming dengan pasir dan matriconditioning dengan serbuk gergaji memiliki panjang akar yang tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 6), meskipun kadar air

Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa kadar air sosis ayam perlakuan terbaik memiliki nilai tertinggi dibandingkan sosis ayam kontrol hal ini karena sosis ayam

Hasil pengukuran kadar sampel yang dapat dilihat pada Tabel 8 menunjukkan bahwa sampel yang dianalisis memilki kadar yang sesuai dengan nilai sebenarnya yang tertera

Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa kadar air sosis ayam perlakuan terbaik memiliki nilai tertinggi dibandingkan sosis ayam kontrol hal ini karena sosis ayam

Sedangkan pada perlakuan penambahan ubi jalar sebanyak 30% dan 40% dihasilkan nilai kadar air yang lebih rendah dari perlakuan kontrol 0%, hal ini disebabkan karena semakin

Persentase karkas yang dihasilkan pada keempat perlakuan berbeda tidak nyata karena efisiensi pengunaan protein yang lebih baik dan kadar lemak daging yang lebih tinggi pada ayam

Dari hasil uji statistik terdapat pengaruh tempat penyimpanan terhadap kadar protein F hitung > F tabel denga nilai p < 0.05, dimana dari ketiga perlakuan tersebut penyimpanan di