• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA A. BUDAYA ORGANISASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA A. BUDAYA ORGANISASI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BUDAYA ORGANISASI

Cameron dan Quinn (2006) menjelaskan bahwa budaya organisasi dicerminkan oleh apa yang dinilai, gaya kepemimpinan yang dominan, bahasa dan simbol, prosedur dan rutinitas, dan definisi kesuksesan yang menjadikan organisasi tersebut unik. Di dalam organisasi, subunit seperti departemen-departemen fungsional, kelompok produk, level hirarki, atau terkadang tim dapat juga mencerminkan budaya mereka yang unik. Kotter dan Heskatt (1997) mendefinisikan budaya perusahaan sebagai nilai dan praktik yang dimiliki bersama di seluruh kelompok dalam suatu perusahaan, sekurang-kurangnya dalam manajemen senior.

Budaya organisasi dan budaya perusahaan saling terkait karena kedua-duanya ada kesamaan, meskipun dalam budaya perusahaan terdapat hal-hal khusus seperti gaya manajemen dan sistem manajemen dan sebagainya, namun semuanya masih tetap dalam rangkaian budaya organisasi (Tika, 2006). Budaya perusahaan merupakan suatu karakteristik dalam suatu organisasi atau perusahaan, yang meliputi nilai, norma, peraturan dan iklim perusahaan, serta kepemimpinan (leadership). Budaya perusahaan dibentuk dari atas ke bawah dan sebaliknya, maka kualitas manajemen sangat perlu diperhatikan, mengingat karyawan akan bercermin pada sikap dan tingkah laku serta kemampuan atasannya (Moeljono, 2005).

Tika (2006) menyebutkan ada beberapa fungsi utama budaya organisasi, yaitu : (1) sebagai batas pembeda terhadap lingkungan, organisasi, maupun kelompok lain, (2) sebagai perekat bagi karyawan dalam suatu organisasi, (3) mempromosikan stabilitas sistem sosial, (4) sebagai mekanisme kontrol dalam memadu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan, (5) sebagai integrator, (6) membentuk perilaku bagi para karyawan, (7) sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah-masalah pokok organisasi, (8) sebagai acuan dalam menyusun perencanaan perusahaan, (9) sebagai alat komunikasi, dan (10) sebagai penghambat berinovasi.

(2)

B. ELEMEN BUDAYA ORGANISASI

Schein (1981) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat ditemukan dalam tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah artifak (artifacts) dimana budaya bersifat kasat mata tetapi seringkali tidak dapat diartikan. Tingkat kedua adalah nilai (values) yang memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artifak. Tingkat ketiga adalah asumsi dasar dimana budaya diterima begitu saja (taken for granted), tidak kasat mata, dan tidak disadari. Tingkatan budaya tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tingkatan budaya menurut Schein (1981)

Berbagai asumsi dasar, nilai, dan artifak berada pada berbagai tingkat kesadaran dalam diri individu. Setiap tingkat mempengaruhi dan sebaliknya dipengaruhi oleh tingkat sebelum dan sesudahnya.

1. Artifak

Pada tingkat artifak (artifacts) budaya bersifat kasat mata tetapi seringkali tidak dapat diartikan. Tingkat analisis artifak bersifat kasat mata yang dapat dilihat dari lingkungan fisik organisasi, arsitektur, teknologi, seni, tata letak kantor, cara berpakaian, pola perilaku yang dapat dilihat atau didengar, bahasa yang khas baik lisan maupun tulisan, serta dokumen-dokumen publik seperti anggaran dasar, materi orientasi karyawan, cerita dan upacara atau perayaan. Upacara dan perayaan dapat mengkomunikasikan nilai-nilai dan asumsi dasar organisasi (Westbrook,1993). Upacara atau perayaan adalah kegiatan berkala

Artifak

Asumsi Dasar Nilai-Nilai

“Taken for Granted” Tidak kelihatan, bawah sadar Kelihatan, tetapi sering tidak dapat

diintepretasikan

(3)

yang dilakukan ketika budaya suatu organisasi dipertunjukkan (Deal, 1985). Mereka merayakan keberhasilan atau prestasi yang dicapai seseorang dan keberhasilan organisasi dalam mengalahkan ancaman yang dihadapinya (Ott, 1989). Analisis pada tingkat ini cukup rumit karena data mudah didapat tetapi sulit ditafsirkan. Dengan analisis ini dapat diuraikan bagaimana suatu kelompok menyusun lingkungannya dan apa pola perilaku yang dapat dilihat dari kalangan anggotanya, tetapi seringkali analisis ini tidak dapat memahami logika yang mendasarinya, mengapa suatu kelompok berperilaku seperti yang mereka lakukan. 2. Nilai-nilai

Tika (2006) menjelaskan bahwa nilai-nilai adalah solusi yang muncul dari seorang pemimpin dalam organisasi dengan maksud memecahkan masalah rutin dalam organisasi tersebut. Apabila telah menunjukkan keberhasilan, cara pemecahan masalah tersebut akan diyakini orang lain dalam kelompok. Melalui proses itulah cara pemecahan tersebut menjadi nilai, yaitu manakala kelompok memiliki suatu persepsi yang sama tentang keberhasilan. Nilai dapat mencerminkan falsafah dan misi organisasi, tujuan, standar, dan larangan-larangan.

Schein (1992) menjelaskan, untuk menganalisis mengapa anggota berperilaku seperti yang mereka perlihatkan, perlu diketahui nilai-nilai yang mengarahkan perilaku. Nilai sulit diamati secara langsung, diperlukan wawancara dengan anggota-anggota kunci organisasi atau menganalisis kandungan artifak seperti dokumen dan anggaran dasar, dalam mengidentifikasi nilai-nilai tersebut biasanya mereka menggambarkan secara akurat nilai-nilai yang didukung dalam budaya tersebut. Artinya, mereka difokuskan pada apa yang dikatakan orang sebagai alasan perilaku mereka. Apa yang secara ideal mereka harapkan merupakan alasan perilaku tersebut, dan yang seringkali merupakan pembenaran bagi perilaku mereka, namun alasan mendasar bagi perilaku mereka tetap saja tersembunyi atau tidak disadari.

(4)

3. Asumsi Dasar

Tika (2006) menyebutkan bahwa asumsi dasar merupakan bagian budaya organisasi yang paling utama. Schein (1981) menjelaskan bahwa ketika nilai menyebabkan perilaku dan ketika perilaku tersebut mulai memecahkan masalah, maka nilai itu ditransformasi menjadi asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu sesungguhnya. Bila asumsi telah diterima begitu saja, maka kesadaran menjadi tersisih. Dengan kata lain perbedaan antara asumsi dengan nilai terletak pada apakah nilai-nilai tersebut masih diperdebatkan atau tidak. Bila nilai tersebut diterima apa adanya (taken for granted) maka ia disebut sebagai asumsi, namun bila ia masih bersifat terbuka dan dapat diperdebatkan maka istilah nilai lebih sesuai.

C. METODE ANALISIS BUDAYA ORGANISASI

Teori dan penelitian tentang metode pengukuran dan tipe budaya organisasi sudah berkembang cukup banyak. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat perkembangan teori tentang metode pengukuran budaya dan tipe budaya organisasi, serta metode yang dipakai dalam penelitian ini.

1. Metode Pengukuran Budaya

Budaya organisasi tidak dapat dikelola jika tidak dapat diukur (Reyneirse dan Harker, 1986). Tanpa pengukuran yang reliable terhadap aspek-aspek penting budaya organisasi, pernyataan akan pentingnya hal tersebut hanya akan menjadi sebuah pemikiran dan program perubahan yang ada akan kurang terfokus dan sulit untuk dievaluasi (Reynolds, 1986). Beberapa peneliti sebelumnya telah mengembangkan instrumen untuk mengukur budaya organisasi. Instrumen tersebut berbeda-beda karena para peneliti memiliki definisi yang berbeda tentang budaya organisasi.

Terdapat beberapa penelitian tentang budaya organisasi yang mengkombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam meneliti fenomena budaya. Siehl dan Martin (1988), meneliti sosialisasi pada karyawan baru dengan menggunakan a hybrid measure of culture. Metode mereka terdiri dari dua fase, fase pertama merupakan interview mendalam, observasi etnografi, dan

(5)

pengumpilan data untuk memperoleh pengertian akan muatan budaya yang ada. Pada fase kedua data kualitatif tersebut digunakan untuk membuat kuesioner dimana responnya disandikan secara kuantitatif.

Cooke dan Lafferty (1989) mengembangkan Organizational Culture Inventory (OCI) yang mengukur perilaku dalam organisasi dengan lima skala Likert. Instrumen ini terdiri dari dua belas sub skala yaitu : sifat berperikemanusiaan atau suka menolong, kesatuan, prestasi, aktualisasi diri, persetujuan, kebiasaan, ketergantungan, penghindaran, pertentangan, kekuatan, persaingan, dan paham kesempurnaan. Sub skala ini menggambarkan sebuah model berdasarkan pada dua dimensi yaitu task-people dan security-satisfaction.

Sashkin (1984) mengembangkan Organizational Beliefs Questionnaire

(OBS) yang mengukur nilai-nilai dalam organisasi dengan lima poin skala Likert. Instrumen ini terdiri dari sepuluh sub skala, yaitu : bekerja harus gembira, menjadi yang terbaik, inovasi, perhatian terhadap detail, setiap orang berharga dan bernilai, kualitas, komunikasi untuk meyelesaikan pekerjaan, pertumbuhan/ keuntungan/ indikator sukses lainnya, manajemen yang terkelola, dan pentingnya berbagi filosofi.

Reynolds (1986) mengembangkan sebuah kuesioner untuk mengukur budaya organisasi. Kuesioner tersebut mengukur budaya ke dalam tiga belas dimensi, yaitu penekanan pada eksternal versus penekanan pada internal, fokus pada tugas versus fokus sosial, keamanan versus resiko, penghargaan individu versus penghargaan kelompok, pengambilan keputusan secara individu versus pengambilan keputusan secara kolektif, pengambilan keputusan yang terpusat versus pengambilan keputusan yang tersebar, adhockery versus planning, stabilitas versus inovasi, kerja sama versus persaingan, organisasi sederhana versus organisasi kompleks, organisasi informal versus organisasi kompleks, tingkat kesetiaan tinggi versus tingkat kesetiaan rendah, dan ketidaktahuan versus penguasaan akan harapan organisasi. Dimensi-dimensi tersebut sama halnya dengan mengukur tiga elemen budaya, yaitu bahasa, nilai-nilai dan asumsi dasar.

Cleary dan Packard (1992) mengembangkan sebuah daftar prinsip yang menggunakan metafora atau perumpamaan untuk menilai budaya organisasi dan meningkatkan efektifitas organisasi. Metode penilaian mereka menggunakan

(6)

metafora dengan mengamati simbol, objek, fasilitas, dan bahasa yang mengandung metafora, kemudian dampak positif dan negatif dari metafora tersebut dinilai. Pada akhirnya perencanaan dilakukan untuk mengembangkan strategi dan langkah-langkah untuk meningkatkan budaya organisasi. Instrumen pengukuran budaya ini mengukur elemen bahasa dari sebuah budaya.

Schriber dan Gutek (1987) mengembangkan kuesioner Time-at-Work

untuk mengukur dimensi waktu kerja yang mereka anggap sebagai aspek penting dari budaya organisasi. Kuesioner tersebut terdiri dari beberapa skala yang mengukur dimensi waktu kerja, yaitu : daftar rencana dan batas waktu, ketetapan waktu, orientasi ke depan, batasan waktu antara bekerja dan tidak bekerja, kualitas versus kecepatan, kekompakan dan kordinasi kerja dengan sesama dalam melewati waktu, kesadaran dalam menggunakan waktu, tempat kerja, alokasi waktu, urutan tugas dalam suatu waktu, batasan waktu di dalam organisasi, kebebasan dalam menggunakan waktu dan variasi versus rutinitas. Bagian daftar rencana dan batas waktu, dan ketetapan waktu dari instrumen pengukuran budaya ini mengukur pola perilaku. Weatherly (1995) mengembangkan sebuah survey,

the Organizational Culture Survey, yang mengukur nilai-nilai dalam sebuah organisasi. Fokus instrumen pengukuran budaya organisasi ini pada berbagai macam jenis nilai-nilai organisasi berhubungan dengan elemen budaya yaitu nilai yang didukung.

Dari beragam contoh metodologi pengukuran budaya yang telah dipaparkan di atas, terdapat dua referensi yang dijadikan dasar dalam penelitian ini untuk melakukan pengukuran budaya organisasi. Referensi pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Kim. S. Cameron dan Robert E. Quin (2006) dalam bukunya yang berjudul Diagnosing & Changing Organizational Culture-Based on the Competting Values Framework, dengan menggunakan instrumen

Organizational Culture Assessment Instrument (OCAI). Referensi kedua yaitu penelitian oleh Reigle (2003), dalam thesisnya berjudul Organizational Culture Assessment: Development of a Descriptive Test Instrument. Reigle (2003) menghasilkan instrumen untuk melakukan penilaian budaya organisasi yaitu

Organizational Culture Assesment (OCA). Kelebihan instrumen OCA yaitu di dalamnya terdapat 5 elemen untuk mengukur budaya (bahasa, artifak dan simbol,

(7)

pola perilaku, nilai-nilai, dan asumsi dasar), dimana pada penelitian sebelumnya tidak ditemukan instrumen yang di dalamnya terdapat kelima elemen budaya tersebut secara lengkap, akan tetapi hanya satu atau dua elemen lainnya saja. Kelebihan Instrumen OCAI yaitu dimensinya sudah mencakup aspek penting yang mendeskripsikan budaya organisasi, pemakaiannya praktis, dan hasilnya akurat. Penjelasan kedua instrumen tersebut yaitu :

a. Organizational Culture Assessment Instrument (OCAI)

Cameron dan Quinn (2006) menjelaskan bahwa hasil analisis dari OCAI dapat menentukan kondisi budaya perusahaan aktual dan harapan serta arahan strategi menuju budaya perusahaan yang seharusnya. Suatu organisasi dapat melakukan penilaian untuk mengetahui tipe budayanya yang dominan diantara keempat tipe budaya, yaitu : clan, adhocracy, market, dan hierarchy. Instrumen ini terdiri dari enam dimensi pokok, yaitu karakteristik dominan, gaya kepemimpinan, manajemen karyawan, perekat organisasi, penekanan strategi dan ukuran kesuksesan. Bentuk instrumen OCAI ini dapat dilihat pada Lampiran 1 pertanyaan bagian ke II.

Metode penilaian dengan menggunakan OCAI telah digunakan untuk mendeteksi tipe budaya perusahaan di berbagai bidang industri, antara lain : pertanian, kehutanan, perikanan, keuangan, asuransi, perumahan, manufaktur, pertambangan, konstruksi, administrasi publik, industri jasa, perdagangan, transportasi, komunikasi, listrik, gas dan sanitasi (Gambar 2).

Industri pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan, manufaktur,

retail dan konstruksi pada umumnya menunjukkan budaya dominan market. Industri keuangan, asuransi, dan perumahan cenderung menunjukkan budaya dominan market dan clan. Industri di bidang administrasi publik dan jasa menunjukkan budaya dominan hierarchy. Industri transportasi, komunikasi, listrik, gas dan sanitasi menunjukkan budaya dominan hierarchy dan market.

(8)

Gambar 2. Penggunaan OCAI pada berbagai bidang industri b. Organizational Culture Assessment (OCA)

Reigle (2003) telah mengembangkan Organizational Culture Assessment

(OCA) sebagai instrumen untuk menggambarkan budaya yang sedang berkembang di dalam suatu organisasi. Bentuk instrumen OCA ini dapat dilihat

(9)

pada Lampiran 1 pertanyaan bagian I. Melalui instrumen OCA, suatu organisasi dapat melakukan penilaian untuk mengetahui tipe budayanya diantara dua tipe budaya yang ada, yaitu : budaya organik dan budaya mekanistik. Instrumen ini terdiri dari lima dimensi utama sebagai elemen budaya, yaitu bahasa, artifak dan simbol, pola perilaku, nilai-nilai, dan asumsi dasar. Instrumen OCA telah teruji reliabilitas dan validitasnya untuk mengukur budaya organisasi. Instrumen OCA berbentuk daftar pertanyaan dimana responden diminta untuk memberikan respon terhadap lima dimensi budaya organisasi di dalamnya.

2. Tipe Budaya Organisasi

Cameron dan Quinn (2006) adalah sedikit dari banyak ahli yang mencoba mendiferensiasikan berbagai budaya organisasi. Mereka memilih dua orientasi organisasi sebagai kriteria untuk menetapkan tipe budaya perusahaan, apakah organisasi lebih berorientasi pada fleksibilitas dan arahan (flexibility and direction) atau sebaliknya, lebih mengutamakan stabilitas organisasi sehingga menerapkan kontrol yang ketat (stability and control), dan apakah organisasi lebih fokus pada internal dan penyatuan organisasi (internal focus and integration) atau sebaliknya, lebih fokus pada eksternal dan mengedepankan diferensiasi (external focus and differentiation). Dari kedua kriteria tersebut di atas diperoleh empat macam tipe budaya organisasi, yaitu : clan, adhocracy, market, dan hierarchy

sebagaimana digambarkan ke dalam empat kuadran pada Gambar 3.

(10)

Pada gambar tersebut, kwadran di kiri atas (budaya clan) menunjukkan nilai-nilai yang menekankan pada fokus internal dan organis, sedangkan kwadran di kanan bawah (budaya market) menekankan pada fokus eksternal dan kontrol. Kwadran di kanan atas (budaya adhocracy) menunjukkan nilai-nilai yang menekankan pada fokus eksternal dan organis, sedangkan kwadran di kiri bawah (budaya hierarchy) menekankan pada nilai-nilai internal dan kontrol. Penjelasan keempat tipe budaya organisasi pada gambar di atas dijelaskan sebagai berikut : a. Budaya Clan

Organisasi dengan budaya clan adalah tempat kerja yang atmosfirnya sangat bersahabat seperti layaknya sebuah keluarga besar. Pimpinan-pimpinan dianggap seperti pembimbing, bahkan mungkin sudah seperti seperti figur bapak. Perekat dalam organisasi ini adalah adanya loyalitas bersama serta adanya tradisi yang bertahan. Organisasi memberi perhatian besar pada pengembangan orang-orangnya serta sangat mementingkan kohesivitas dan semangat kerja. Keberhasilan menurut mereka adalah apabila organisasi bisa menunjukkan kepekaan pada customer dan jika karyawan merasa senang menjadi anggota di sana. Di organisasi seperti ini kerjasama, partisipasi, dan usaha untuk mempertemukan pendapat adalah tema umum yang dianggap penting.

b. Budaya Adhocracy

Organisasi ini sangat dinamis, berjiwa entrepreneur, dan kreatif. Orang-orangnya berani mengambil risiko untuk mencoba sesuatu yang baru. Pimpinan adalah figur pengambil risiko dan inovator. Dalam organisasi dengan budaya

Adhocracy, yang menjadi perekat dalam organisasi adalah karena orang-orangnya sama-sama punya komitmen untuk bereskperimen dan berinovasi. Impian organisasi adalah menjadi yang terdepan dalam inovasi. Organisasi ingin terus tumbuh dan mampu mendapatkan sumberdaya sumberdaya baru. Sukses bagi mereka adalah apabila berhasil melempar produk baru dan unik yang membuat mereka direspek atas inovasinya. Di organisasi seperti ini, kebebasan dan inisiatif karyawan sangat dihargai.

(11)

c. Budaya Market

Budaya ini berorientasi pada hasil, orang-orangnya sangat kompetitif dan

goal-oriented. Jajaran pimpinannya biasanya tipe pekerja keras, sangat prestatif. Perekat dalam organisasi seperti ini adalah semangat untuk menang. Mereka sangat peduli pada reputasi organisasi dan keberhasilan mengalahkan kompetitor. Fokus jangka panjangnya ada pada tindakan-tindakan kompetitif dan tercapainya target-target yang terukur. Sukses organisasi mereka ukur dari besarnya pangsa pasar dan keberhasilan melakukan penetrasi pasar.

d. Budaya Hierarchy

Birokratis pada budaya ini lebih dalam artian sangat formal dan serba tertata. Orang-orangnya bekerja mengikuti prosedur. Pemimpin yang dianggap baik adalah mereka yang mampu menjadi koordinator dan organisator handal dan mengutamakan efisiensi di segala bidang. Hal yang sangat penting bagi mereka adalah menjaga agar proses-proses organisasi bergulir dengan lancar. Oleh karena itu, yang menjadi perekat antara karyawan adalah peraturan dan prosedur. Peraturan dan prosedur menjadi alat untuk mencapai stabilitas, efisiensi, dan mulusnya operasi. Sukses adalah jika dapat menghasilkan keluaran yang handal, jadwal-jadwalnya tepat waktu, dan biayanya rendah. Dalam menangani karyawan, yang menjadi perhatian adalah adanya kepastian dan rasa aman dalam bekerja.

Dalam penelitiannya, Reigle (2003) menjelaskan tipe budaya organisasi yang menjadi dasar di dalam instrumen OCA (Organizational Culture Assesment), yaitu budaya mekanistik dan budaya organik. Penjelasan kedua tipe budaya tersebut yaitu :

a. Budaya Mekanistik

Pada sistem mekanistik, permasalahan dan tugas-tugas yang dihadapi oleh organisasi secara keseluruhan adalah pendefinisian tugas secara merinci. Orang yang bertanggung jawab atas hal tersebut adalah pimpinan organisasi. Metode teknis, tugas-tugas, dan kekuasaan diberikan kepada setiap peranan fungsional yang ada dengan tepat. Interaksi dengan manajemen cenderung vertikal, yaitu antara atasan dan bawahan. Operasi dan perilaku kerja diatur oleh instruksi dan

(12)

keputusan yang berasal dari pimpinan. Hirarki ini terus dipertahankan oleh asumsi yang terkandung bahwa semua pengetahuan mengenai organisasi dan apa saja tugas-tugasnya, atau bagaiman seharusnya, hanya ada pada orang-orang yang memiliki kedudukan utama di dalam perusahaan. Manajemen, sering dipandang sebagai suatu hirarki yang kompleks dalam susunan organisasi, menjalankan sistem kontrol yang sederhana, dengan informasi yang mengalir ke atas melalui rangkaian filter, dan keputusan dan instruksi mengalir ke bawah melalui rangkaian penegasan yang kuat.

Proses kepemimpinan tidak mencakup persepsi tentang keyakinan dan kepercayaan. Proses motivasi hanya menyadap motif fisik, rasa aman, dan ekonomis melalui perasaan takut dan sanksi. Proses komunikasi berlangsung sedemikian rupa sehingga informasi mengalir ke bawah, cenderung terganggu dan tidak akurat. Proses interaksi bersifat tertutup dan terbatas, hanya sedikit pengaruh bawahan atas tujuan dan metode departemental. Proses pengambilan keputusan hanya di tingkat atas. Proses penyusunan tujuan dilakukan di tingkat puncak orgnisasi, tanpa mendorong adanya partisipasi kelompok. Pembagian kerja dilakukan secara fungsional. Tugas-tugasnya terspesialisasi dan sangat jelas. Karyawan berkomitmen pada jabatan.

b. Budaya Organik

Sistem organik beradaptasi dengan kondisi yang tidak stabil dalam hal teknologi organisasi, dimana permasalahan dan tindakan muncul dan tidak dapat diuraikan dan didistribusikan dengan hirarki yang jelas. Setiap individu harus melakukan tugas khusus mereka menggunakan pengetahuan mereka atas tugas-tugas perusahaan secara keseluruhan. Pekerjaan banyak kehilangan definisi formalnya dalam kaitannya dengan metode, tugas-tugas dan kekuasaan yang seharusnya didefinikan secara kontinu oleh interaksi dengan orang lain yang ikut serta dalam mengerjakan tugas. Interaksi berjalan secara lateral maupun vertikal. Komunikasi antar orang-orang dari pangkat yang berbeda cenderung seperti konsultasi lateral dibandingkan perintah secara vertikal.

Proses kepemimpinan mencakup persepsi tentang keyakinan dan kepercayaan antara atasan dan bawahan dalam segala persoalan. Proses motivasi

(13)

berusaha menimbulkan motivasi melalui metode partisipasi. Proses komunikasi berlangsung sedemikian rupa sehingga informasi mengalir secara bebas ke seluruh organisasi yaitu ke atas ke bawah dan ke samping. Proses interaksi bersifat terbuka, baik atasan atau bawahan dpt mempengaruhi tujuan dan metode departemental. Proses pengambilan keputusan dilaksanakan disemua tingkatan melalui proses kelompok. Proses penyusunan tujuan mendorong timbulnya partisipasi kelompok untuk menetapkan sasaran yang tinggi dan realistis. Proses kendali menyebar ke seluruh organisasi dan menekankan pemecahan masalah dan pengendalian diri. Terdapat sedikit penekanan pada perintah atau aturan. Pembagian kerja dilakukan secara divisional. Karyawan berkomitmen pada tugas dan tujuan organisasi.

D. PENELITIAN TERDAHULU

Dalam hasil penelitiannya, Ashfati (2008) menyimpulkan bahwa menurut responden manajemen tigkat atas (para pimpinan perusahaan) budaya korporat PT Asuransi Takaful Umum pada saat ini berada pada situasi budaya market, dimana perusahaan sangat terpusat pada pencapaian hasil dan berorientasi pada pasar. Pada budaya yang diinginkan tiga tahun mendatang para pimpinan juga mengharapkan perusahaan berada pada situasi budaya market, karena bagi mereka budaya market dirasa sudah tepat untuk kondisi budaya perusahaan saat ini maupun yang akan datang. Persepsi karyawan terhadap budaya korporat saat ini cenderung ke arah hierarchy. Budaya hierarchy adalah lazim pada perusahaan yang bergerak di bidang industri keuangan seperti asuransi. Hal ini disebabkan karena pada industri keuangan terdapat prosedur dan aturan yang harus dipatuhi. Sedangkan persepsi karyawan terhadap budaya korporat yang diharapkan tiga tahun mendatang di perusahaan adalah budaya clan. Peneliti memberikan rekomendasi bagi perusahaan untuk mengembangkan budaya korporat yang diharapkan oleh pimpinan dan karyawan dalam mencapai visinya di tahun 2010 berupa sebuah konsep yang dinamakan ”Rekayasa Ulang Budaya Korporat”.

Penelitian lainnya juga telah dilakukan oleh Qomaruzzaman (2008), hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa PT Pupuk Kalimantan Timur telah mengimplementasikan budaya perusahaan yang tercermin dalam empat elemen

(14)

budaya perusahaan, yaitu asumsi dasar tercermin dalam moto perusahaan, nilai tercermin dalam moto perusahaan dan artinya, artefak tercermin dalam implementasi logo perusahaan, merek dagang, pakaian dinas harian, seragam produk, dan lain-lain, dan simbol yang tercermin dalam implementasi berupa makna atau arti yang terkandung dalam logo perusahaan dan merek-merek dagang perusahaan. Hasil penilaian budaya dengan menggunakan OCAI menunjukkan adanya kesamaan persepsi antara karyawan dan pimpinan tentang budaya saat ini dan budaya yang diharapkan. Menurut mereka budaya perusahaan dominan saat ini adalah clan dan hierarchy, sedangkan budaya perusahaan yang dominan diharapkan adalah adhocracy dan market. Untuk melakukan perubahan budaya perusahaan perlu pengembangan kompetensi manajerial yang sesuai dengan tipe budaya adhocracy dan market. Peneliti memberikan saran kepada perusahaan untuk membentuk tim dalam melakukan tujuh langkah perubahan budaya perusahaan yang dirancang berdasarkan budaya adhocracy dan market.

Dalam penelitiannya di PT Unilever Indonesia Tbk, Martdianty (2005) menyimpulkan bahwa niali-nilai budaya organisasi sedikit banyak memang akan membawa pengaruh positif terhadap kinerja tugas dan kinerja kontekstual, namun tidak semua dimensi nilai budaya berpengaruh secara signifikan terhadap kedua kinerja tersebut. Dimensi yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja tugas dan kinerja kontekstual ada tiga yaitu dimensi customer, consumer and community focus, integrity dan exelence. Tiga dimensi lain yang berpengaruh secara signifikan yaitu teamwork, making things happen dan sharing of joy.

Tekanan pada situasi kerja akan memiliki pengaruh negatif terhadap kinerja tugas dan kinerja kontekstual yang ditampilkan oleh individu dengan variasi tersendiri. Dimensi tekanan pada situasi kerja yaitu : role ambiguity, role conflict dan role overload. Dimensi role ambiguity dan role conflict berpengaruh negatif terhadap kinerja tugas, sedangkan dimensi tekanan pada situasi kerja yang berpengaruh negatif terhadap kinerja kontekstual yaitu role conflict dan role overload.

Magee (2002) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa budaya organisasi berpengaruh kuat terhadap bagaimana seorang manajer menciptakan prestasi dalam aktifitas manajemen. Budaya suatu organisasi dapat menjadi pembatas bagi efektifitas prestasi manajemen dimana anggota organisasi sering

(15)

mengenalinya dan mereka harus mencari cara untuk mengatasinya. Terdapat beberapa implikasi dalam penelitiannya, hal yang terpenting yaitu bahwa organisasi dengan kepemimpinan manajemen sumber daya manusia dan praktisi pengembangan harus meluruskan atau menyatukan budaya organisasi dan praktek organisasi terhadap keseluruhan strategi bisnis. Tanpa adanya strategi yang memberikan arahan terhadap organisasi, maka budaya suatu organisasi akan terlihat statis, dan anggota organisasi akan menolak perubahan yang diperlukan. Kinerja manajemen dapat menjadi penggerak untuk perubahan, akan tetapi hanya dalam konteks budaya organisasi yang mendukung dan sejalan dengan tujuan bisnis dan nilai-nilai organisasi.

Gambar

Gambar 1. Tingkatan budaya menurut Schein (1981)
Gambar 2. Penggunaan OCAI pada berbagai bidang industri  b.  Organizational Culture Assessment (OCA)
Gambar 3. Tipe budaya organisasi menurut Cameron dan Quin (2006)

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH PROFITABILITAS TERHADAP PRICE EARNING RATIO PADA PERUSAHAAN SUBSEKTOR PERKEBUNAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI).. Azis Sutrisno, 2014 (xiv + 47

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Stefani Putri Ardini Hastari, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : Analisis Pengaruh Indeks Harga Saham Negara ASEAN+3 terhadap

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan bagi mahasiswa, pendidik, praktisi psikologi, dan pegiat lingkungan hidup dalam mengembangkan faktor-faktor psikologis

[r]

Pengembangan pada aspek pe­ nilaian agunan atau collateral valuation akan mengkaji metode penilaian agun­ an yang dapat mendukung optimalisasi agunan AK dengan tetap

IOM hadir untuk membantu permasalahan perdagangan manusia yang ada di Indonesia, IOM sendiri merupakan organisasi internasional yang bergerak dibidang imigran yang

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam dua (2) siklus. Setiap siklus terdiri atas perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja karyawan dengan kepuasan kerja sebagai variabel pemediasi pada karyawan bagian produksi PT