Kalbu
Kalbu
Last Updated onLast Updated on Wednesday, 20 October 2010 13:53 Wednesday, 20 October 2010 13:49Wednesday, 20 October 2010 13:53 Wednesday, 20 October 2010 13:49 Written by Hamid Fahmy Zarkasyi
Written by Hamid Fahmy Zarkasyi 13Share
13Share
Akhir-akhir ini pendidikan disoroti sebagai terlalu intelektualistis. Terkadang juga dianggap Akhir-akhir ini pendidikan disoroti sebagai terlalu intelektualistis. Terkadang juga dianggap terlalu job-oriented (berorientasi kerja). Sementara pendidikan agama dituduh sebagai terlampau terlalu job-oriented (berorientasi kerja). Sementara pendidikan agama dituduh sebagai terlampau spiritualistis sehingga nampak tidak rasional.
spiritualistis sehingga nampak tidak rasional.
Sebenarnya pendidikan dalam Islam tidak demikian. Ia
Sebenarnya pendidikan dalam Islam tidak demikian. Ia meliputi seluruh aspek dalam dirimeliputi seluruh aspek dalam diri manusia. Tidak melulu spiritualistis dan tidak pula terlalu intelektualistis atau pragmatis dan manusia. Tidak melulu spiritualistis dan tidak pula terlalu intelektualistis atau pragmatis dan praktis. Pendidikan dalam Islam berkaitan dengan soal ilmu dan ilmu dalam Islam berdimensi praktis. Pendidikan dalam Islam berkaitan dengan soal ilmu dan ilmu dalam Islam berdimensi iman dan amal. Oleh sebab itu pendidikan Islam mengharuskan pemahaman tentang dua hal: iman dan amal. Oleh sebab itu pendidikan Islam mengharuskan pemahaman tentang dua hal: pertama letak iman, ilmu dan amal
pertama letak iman, ilmu dan amal tersebut dalam jiwa manusia. Kedua, bagaimanatersebut dalam jiwa manusia. Kedua, bagaimana
menanamkan itu semua kedalam diri manusia. Sistim apa yang cocok untuk pengembangan anak menanamkan itu semua kedalam diri manusia. Sistim apa yang cocok untuk pengembangan anak dalam berbagai aspek kejiwaannya dalam sebuah sistim pendidikan yang terpadu, perlu
dalam berbagai aspek kejiwaannya dalam sebuah sistim pendidikan yang terpadu, perlu dipikirkan terus menerus dan seksama.
dipikirkan terus menerus dan seksama.
Namun, sebelum berfikir tentang metode atau
Namun, sebelum berfikir tentang metode atau sistim perlu dijelaskan terlebih dulu konsep jiwasistim perlu dijelaskan terlebih dulu konsep jiwa manusia yang akan menjadi obyek
manusia yang akan menjadi obyek pendidikan itu. Sebab jiwa manusia memiliki bagian-bagianpendidikan itu. Sebab jiwa manusia memiliki bagian-bagian penting yang saling berkaitan.
penting yang saling berkaitan.
Hakim Tirmidhi seorang ulama abad ke
Hakim Tirmidhi seorang ulama abad ke 9 menulis buku berjudul Bayan 9 menulis buku berjudul Bayan al-Farq, Bayn al-Farq, Bayn al-Sadr,wa
Sadr,wa al-Qalb,wa al-Fuad wa al-Lub. (Pal-Qalb,wa al-Fuad wa al-Lub. (Penjelasan Tentang Perbedaan antara Sadr (sadar)enjelasan Tentang Perbedaan antara Sadr (sadar),, Qalb (kalbu/hati), Fuad (nurani) dan Lubb
Qalb (kalbu/hati), Fuad (nurani) dan Lubb (akal pikiran). Istilah-istilah sadr yang dalam bahasa(akal pikiran). Istilah-istilah sadr yang dalam bahasa Indonesia menjadi sadar-kesadaran ternyar
Indonesia menjadi sadar-kesadaran ternyara berbeda artinya dari istia berbeda artinya dari istilah qalb, hati atau lah qalb, hati atau kalbu.kalbu. Fuad yang di Indonesiakan menjadi nurani berbeda lagi dari lubb yang arti sebenarnya adalah Fuad yang di Indonesiakan menjadi nurani berbeda lagi dari lubb yang arti sebenarnya adalah akal pikiran yang berimana. Ulul Albab
akal pikiran yang berimana. Ulul Albab adalah orang yang berakal adalah orang yang berakal fikiran tauhidi.fikiran tauhidi.
Namun itu semua merujuk kepada sesuatu yang bersifat batiniyah. Jika seseorang di bedah Namun itu semua merujuk kepada sesuatu yang bersifat batiniyah. Jika seseorang di bedah
dadanya tentu sadr, qalb, fuad dan lub itu tidak akan ditemukan secara fisik. Maka dalam buku dadanya tentu sadr, qalb, fuad dan lub itu tidak akan ditemukan secara fisik. Maka dalam buku ini Hakim Tirmidhi menjelaskan bahwa hati atau
ini Hakim Tirmidhi menjelaskan bahwa hati atau qalb itu adalah nama yang qalb itu adalah nama yang komprehensif yangkomprehensif yang kesemuanya bersifat batiniyah alias tidak zahir alias tidak empiris.
kesemuanya bersifat batiniyah alias tidak zahir alias tidak empiris.
Sadr ada di dalam qalb seperti kedudukan putihnya mata di dalam mata. Sadr adalah pintu masuk Sadr ada di dalam qalb seperti kedudukan putihnya mata di dalam mata. Sadr adalah pintu masuk segala sesuatu ke dalam diri manusia. Perasaan waswas, lalai, kebencian, kejahatan, kelapangan segala sesuatu ke dalam diri manusia. Perasaan waswas, lalai, kebencian, kejahatan, kelapangan dan kesempitan masuk melalui sadr. Nafsu amarah,
dan kesempitan masuk melalui sadr. Nafsu amarah, cita-cita, keinginan, nafsu birahi, itu puncita-cita, keinginan, nafsu birahi, itu pun masuk kedalam sadr dan bukan kedalam qalb. Akan tetapi sadr itu juga tempat masuknya ilmu masuk kedalam sadr dan bukan kedalam qalb. Akan tetapi sadr itu juga tempat masuknya ilmu yang datang melalui pendengaran atau khabar. Maka dari itu pengajaran, hafalan, dan
yang datang melalui pendengaran atau khabar. Maka dari itu pengajaran, hafalan, dan pendengaran itu berhubungan dengan sadr.
pendengaran itu berhubungan dengan sadr. Dinamakan sadr karena merujDinamakan sadr karena merujuk kepada kata sadarauk kepada kata sadara (muncul), atau sadr (pusat). Jadi kesadaran adalah
(muncul), atau sadr (pusat). Jadi kesadaran adalah inti atau pusat dari hati (qalb).inti atau pusat dari hati (qalb).
Jika sadr ada di dalam qalb maka qalb itu ada dalam genggaman nafs atau jiwa. Namun, qalb itu Jika sadr ada di dalam qalb maka qalb itu ada dalam genggaman nafs atau jiwa. Namun, qalb itu adalah raja dan jiwa itu adalah kerajaannya. “Jika rajanya baik” seperti sabda Nabi, “maka
baiklah bala tentaranya dan jika rusak
baiklah bala tentaranya dan jika rusak maka rusaklah bala tentaranya”. maka rusaklah bala tentaranya”. Demikian pula baik-Demikian pula baik- buruknya jasad itu tergantung pada h
buruknya jasad itu tergantung pada hati (qalb). Hati (qalb) itu bagaikan lampu ati (qalb). Hati (qalb) itu bagaikan lampu dan baiknya suatudan baiknya suatu lampu itu terlihat dari cahanya. Dan baiknya hati terlihat dari cahaya ketaqwaan dan keyakinan. lampu itu terlihat dari cahanya. Dan baiknya hati terlihat dari cahaya ketaqwaan dan keyakinan. Sebagai raja qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya Iman, cahaya kekhusyu’an, ketaqwaan, Sebagai raja qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya Iman, cahaya kekhusyu’an, ketaqwaan, kecintaan, keridhaan, keyakinan, ketakutan, harapan, kesabaran, kepuasan. Karena iman dalam kecintaan, keridhaan, keyakinan, ketakutan, harapan, kesabaran, kepuasan. Karena iman dalam Islam berasaskan pada ilmu, maka qalb
Islam berasaskan pada ilmu, maka qalb juga merupakan sumber ilmu. Karena sadr juga merupakan sumber ilmu. Karena sadr itu tempatitu tempat masuknya ilmu, sedangkan qalb itu tempat keimanan, maka di dalam qalb itu pun terdapat ilmu. masuknya ilmu, sedangkan qalb itu tempat keimanan, maka di dalam qalb itu pun terdapat ilmu. Jika qalb (hati) itu adalah mata maka fuad itu adalah hitamnya pupil mata. Fuad ini adalah
Jika qalb (hati) itu adalah mata maka fuad itu adalah hitamnya pupil mata. Fuad ini adalah tempat bersemayamnya ma’rifah, ide, pemikiran, konsep, pandang
tempat bersemayamnya ma’rifah, ide, pemikiran, konsep, pandang an. Ketika seseorang berfikir an. Ketika seseorang berfikir maka fuadnya lebih dulu yang bekerja baru kemudian hatinya. Fuad itu ada ditengah-tengah hati, maka fuadnya lebih dulu yang bekerja baru kemudian hatinya. Fuad itu ada ditengah-tengah hati, sedangkan hati ditengah-tengah sadar.
sedangkan hati ditengah-tengah sadar.
Jika qalb adalah mata, sadr adalah putih mata, fuad adalah hitamnya pupil mata, maka lubb Jika qalb adalah mata, sadr adalah putih mata, fuad adalah hitamnya pupil mata, maka lubb adalah cahaya mata.
adalah cahaya mata. Jika qalb adalah tJika qalb adalah tempat bersamayamnya cahaya empat bersamayamnya cahaya keimanan dan sadr keimanan dan sadr tempatempa cahaya keislaman, dan fuad adalah tempat cahaya ma’rifah maka lubb berkaitan dengan cahaya cahaya keislaman, dan fuad adalah tempat cahaya ma’rifah maka lubb berkaitan dengan cahaya ketauhidan.
ketauhidan.
Gambaran diatas mungkin nampak terlalu spiritual atau dalam bahasa Kant transcendent. Tapi Gambaran diatas mungkin nampak terlalu spiritual atau dalam bahasa Kant transcendent. Tapi memang proses berfikir demikian adanya. Hanya saja yang ditekankan disini bukan bagaimana memang proses berfikir demikian adanya. Hanya saja yang ditekankan disini bukan bagaimana ilmu didapat akan tetapi bagaimana ia berproses menuju dari ilmu menjadi iman. Apabila
ilmu didapat akan tetapi bagaimana ia berproses menuju dari ilmu menjadi iman. Apabila pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia seperti digambarkan Hakim pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia seperti digambarkan Hakim
Tirmidhi diatas maka yang akan lahir adalah
Tirmidhi diatas maka yang akan lahir adalah manusia-manusia tinggi ilmu dan imannyamanusia-manusia tinggi ilmu dan imannya sekaligus banyak amalnya. Yaitu manusia-manusia yang hati (qalb),
sekaligus banyak amalnya. Yaitu manusia-manusia yang hati (qalb), kesadaran (sadr), nuranikesadaran (sadr), nurani (fuad) dan fikirannya (lubb) berjalan seimbang. Wallau a’lam
(fuad) dan fikirannya (lubb) berjalan seimbang. Wallau a’lam
Pendidikan Spiritual?
Pendidikan Spiritual?
Wednesday, 20 October 2010 12:37Wednesday, 20 October 2010 12:37 Written by Dinar Dewi Kania
Written by Dinar Dewi Kania 13Share
13Share
Peradaban Islam adalah peradaban ilmu yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama Peradaban Islam adalah peradaban ilmu yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama dari pembangunan masyarakatnya. Islam menjadikan aktivitas mencari ilmu sebagai suatu dari pembangunan masyarakatnya. Islam menjadikan aktivitas mencari ilmu sebagai suatu ibadah dan merupakan kewajiban bagi tiap individu. Ibn Khaldun mengatakan pendidikan ibadah dan merupakan kewajiban bagi tiap individu. Ibn Khaldun mengatakan pendidikan haruslah diletakkan sebagai bagian integral dari peradaban karena peradaban sendiri adalah isi haruslah diletakkan sebagai bagian integral dari peradaban karena peradaban sendiri adalah isi pendidikan. Namun, nilai ideal pendidikan Islam yang bersifat transenden dan integral, tidak pendidikan. Namun, nilai ideal pendidikan Islam yang bersifat transenden dan integral, tidak
memisahkan antara alam fisik dan alam
memisahkan antara alam fisik dan alam metafisik, harus tersingkir akibat beberapa faktor metafisik, harus tersingkir akibat beberapa faktor eksternal maupun internal yang dialami oleh umat Islam.
baiklah bala tentaranya dan jika rusak
baiklah bala tentaranya dan jika rusak maka rusaklah bala tentaranya”. maka rusaklah bala tentaranya”. Demikian pula baik-Demikian pula baik- buruknya jasad itu tergantung pada h
buruknya jasad itu tergantung pada hati (qalb). Hati (qalb) itu bagaikan lampu ati (qalb). Hati (qalb) itu bagaikan lampu dan baiknya suatudan baiknya suatu lampu itu terlihat dari cahanya. Dan baiknya hati terlihat dari cahaya ketaqwaan dan keyakinan. lampu itu terlihat dari cahanya. Dan baiknya hati terlihat dari cahaya ketaqwaan dan keyakinan. Sebagai raja qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya Iman, cahaya kekhusyu’an, ketaqwaan, Sebagai raja qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya Iman, cahaya kekhusyu’an, ketaqwaan, kecintaan, keridhaan, keyakinan, ketakutan, harapan, kesabaran, kepuasan. Karena iman dalam kecintaan, keridhaan, keyakinan, ketakutan, harapan, kesabaran, kepuasan. Karena iman dalam Islam berasaskan pada ilmu, maka qalb
Islam berasaskan pada ilmu, maka qalb juga merupakan sumber ilmu. Karena sadr juga merupakan sumber ilmu. Karena sadr itu tempatitu tempat masuknya ilmu, sedangkan qalb itu tempat keimanan, maka di dalam qalb itu pun terdapat ilmu. masuknya ilmu, sedangkan qalb itu tempat keimanan, maka di dalam qalb itu pun terdapat ilmu. Jika qalb (hati) itu adalah mata maka fuad itu adalah hitamnya pupil mata. Fuad ini adalah
Jika qalb (hati) itu adalah mata maka fuad itu adalah hitamnya pupil mata. Fuad ini adalah tempat bersemayamnya ma’rifah, ide, pemikiran, konsep, pandang
tempat bersemayamnya ma’rifah, ide, pemikiran, konsep, pandang an. Ketika seseorang berfikir an. Ketika seseorang berfikir maka fuadnya lebih dulu yang bekerja baru kemudian hatinya. Fuad itu ada ditengah-tengah hati, maka fuadnya lebih dulu yang bekerja baru kemudian hatinya. Fuad itu ada ditengah-tengah hati, sedangkan hati ditengah-tengah sadar.
sedangkan hati ditengah-tengah sadar.
Jika qalb adalah mata, sadr adalah putih mata, fuad adalah hitamnya pupil mata, maka lubb Jika qalb adalah mata, sadr adalah putih mata, fuad adalah hitamnya pupil mata, maka lubb adalah cahaya mata.
adalah cahaya mata. Jika qalb adalah tJika qalb adalah tempat bersamayamnya cahaya empat bersamayamnya cahaya keimanan dan sadr keimanan dan sadr tempatempa cahaya keislaman, dan fuad adalah tempat cahaya ma’rifah maka lubb berkaitan dengan cahaya cahaya keislaman, dan fuad adalah tempat cahaya ma’rifah maka lubb berkaitan dengan cahaya ketauhidan.
ketauhidan.
Gambaran diatas mungkin nampak terlalu spiritual atau dalam bahasa Kant transcendent. Tapi Gambaran diatas mungkin nampak terlalu spiritual atau dalam bahasa Kant transcendent. Tapi memang proses berfikir demikian adanya. Hanya saja yang ditekankan disini bukan bagaimana memang proses berfikir demikian adanya. Hanya saja yang ditekankan disini bukan bagaimana ilmu didapat akan tetapi bagaimana ia berproses menuju dari ilmu menjadi iman. Apabila
ilmu didapat akan tetapi bagaimana ia berproses menuju dari ilmu menjadi iman. Apabila pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia seperti digambarkan Hakim pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia seperti digambarkan Hakim
Tirmidhi diatas maka yang akan lahir adalah
Tirmidhi diatas maka yang akan lahir adalah manusia-manusia tinggi ilmu dan imannyamanusia-manusia tinggi ilmu dan imannya sekaligus banyak amalnya. Yaitu manusia-manusia yang hati (qalb),
sekaligus banyak amalnya. Yaitu manusia-manusia yang hati (qalb), kesadaran (sadr), nuranikesadaran (sadr), nurani (fuad) dan fikirannya (lubb) berjalan seimbang. Wallau a’lam
(fuad) dan fikirannya (lubb) berjalan seimbang. Wallau a’lam
Pendidikan Spiritual?
Pendidikan Spiritual?
Wednesday, 20 October 2010 12:37Wednesday, 20 October 2010 12:37 Written by Dinar Dewi Kania
Written by Dinar Dewi Kania 13Share
13Share
Peradaban Islam adalah peradaban ilmu yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama Peradaban Islam adalah peradaban ilmu yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama dari pembangunan masyarakatnya. Islam menjadikan aktivitas mencari ilmu sebagai suatu dari pembangunan masyarakatnya. Islam menjadikan aktivitas mencari ilmu sebagai suatu ibadah dan merupakan kewajiban bagi tiap individu. Ibn Khaldun mengatakan pendidikan ibadah dan merupakan kewajiban bagi tiap individu. Ibn Khaldun mengatakan pendidikan haruslah diletakkan sebagai bagian integral dari peradaban karena peradaban sendiri adalah isi haruslah diletakkan sebagai bagian integral dari peradaban karena peradaban sendiri adalah isi pendidikan. Namun, nilai ideal pendidikan Islam yang bersifat transenden dan integral, tidak pendidikan. Namun, nilai ideal pendidikan Islam yang bersifat transenden dan integral, tidak
memisahkan antara alam fisik dan alam
memisahkan antara alam fisik dan alam metafisik, harus tersingkir akibat beberapa faktor metafisik, harus tersingkir akibat beberapa faktor eksternal maupun internal yang dialami oleh umat Islam.
Peradaban Barat yang sekular-liberal kemudian berhasil menyebarkan worldviewnya melalui Peradaban Barat yang sekular-liberal kemudian berhasil menyebarkan worldviewnya melalui ilmu pengetahuan, baik sains maupun humaniora, ke hampir seluruh wilayah dunia dan ilmu pengetahuan, baik sains maupun humaniora, ke hampir seluruh wilayah dunia dan terjadilah
terjadilah seperti apa seperti apa yang dibayangan fyang dibayangan filsuf asal ilsuf asal Perancis, Auguste Perancis, Auguste Comte, pada abad Comte, pada abad ke 19,ke 19, bahwa kebangkitan sains Barat akan menggantikan agama dari peradaban.
bahwa kebangkitan sains Barat akan menggantikan agama dari peradaban.
Kebangkitan sains di Barat juga telah menggantikan jiwa manusia dengan akal pikirannya. Kebangkitan sains di Barat juga telah menggantikan jiwa manusia dengan akal pikirannya. Tubuh manusia dianggap tak lebih dari sebuah mesin yang sempurna diatur, dan bekerja dengan Tubuh manusia dianggap tak lebih dari sebuah mesin yang sempurna diatur, dan bekerja dengan prinsip-prinsip
prinsip-prinsip hukum matematika. hukum matematika. Fritjof Fritjof Capra seorang Capra seorang ilmuwan Barat ilmuwan Barat dalam bukunya Thedalam bukunya The Turning Point mengungkapkan kegelisahannya. Menurutnya, saat ini para ahli dalam berbagai Turning Point mengungkapkan kegelisahannya. Menurutnya, saat ini para ahli dalam berbagai bidang tidak lagi mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang muncul dalam bidang bidang tidak lagi mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang muncul dalam bidang keahlian mereka. Para ekonom tidak mampu lagi memahami inflasi%pit yang tidak cukup untuk keahlian mereka. Para ekonom tidak mampu lagi memahami inflasi%pit yang tidak cukup untuk menyelesaikan masalah2C onkolog bingung tentang penyebab kanker, psikiater dikacaukan oleh menyelesaikan masalah2C onkolog bingung tentang penyebab kanker, psikiater dikacaukan oleh schizofrenia, polisi semakin tidak berdaya oleh semakin tingginya tingkat
schizofrenia, polisi semakin tidak berdaya oleh semakin tingginya tingkat kriminalitas. Iakriminalitas. Ia menambahkan bahwa sebagian besar akademisi menganut persepsi-persepsi realitas yang menambahkan bahwa sebagian besar akademisi menganut persepsi-persepsi realitas yang sem-masalah besar yang merupakan sem-masalah
masalah besar yang merupakan masalah sistemik, artinya, persoalan tersebut saling berhubungansistemik, artinya, persoalan tersebut saling berhubungan dan saling
dan saling bergantung bergantung (Capra, 2004 : (Capra, 2004 : 8-9).8-9). Problematika dunia Barat
Problematika dunia Barat bukan sekedar problem ibukan sekedar problem intelektual, melainkan lebih pada ntelektual, melainkan lebih pada krisiskrisis emosional atau lebih tepatnya krisis eksistensial. Ketika sains menjadi menjadi agama emosional atau lebih tepatnya krisis eksistensial. Ketika sains menjadi menjadi agama barubaru maka
maka timbulah timbulah spiritual spiritual phatology, krisis phatology, krisis makna, dan masalmakna, dan masalah kejiwaan laiah kejiwaan lainnya. Agama Krisnnya. Agama Kristenten telah lama diti
telah lama ditinggalkan oleh pengikutnya sehingga Barat nggalkan oleh pengikutnya sehingga Barat sangat bergantung kepada sangat bergantung kepada psikologipsikologi untuk memahami manusia dengan segala problematikanya. Psikologi klasik di Barat pada untuk memahami manusia dengan segala problematikanya. Psikologi klasik di Barat pada awalnya terkait erat dengan agama Kristen, yaitu ketika pada abad ke 13, Thomas Aquinas awalnya terkait erat dengan agama Kristen, yaitu ketika pada abad ke 13, Thomas Aquinas memadukan psikologi dengan teologi dan etika Kristiani.
memadukan psikologi dengan teologi dan etika Kristiani.
Namun akhirnya psikologi berangsur-angsur mengadopsi filsafat materialisme dengan Namun akhirnya psikologi berangsur-angsur mengadopsi filsafat materialisme dengan
munculnya pemikiran Decardes, dan positivisme dari tradisi sains Cartesian-Newtonian yang munculnya pemikiran Decardes, dan positivisme dari tradisi sains Cartesian-Newtonian yang mengubah secara radikal pokok
mengubah secara radikal pokok kajian dan metode psikolkajian dan metode psikologi. Kemudian lahirlah aliogi. Kemudian lahirlah aliran ran psikologipsikologi seperti behaviorisme dalam tradisi Watson dan Skinner, dan psikoanalisis yang berasal
seperti behaviorisme dalam tradisi Watson dan Skinner, dan psikoanalisis yang berasal daridari Freud. Sehingga Pada awal abad ke 20, buku-buku teks psikologi telah kehilangan semua Freud. Sehingga Pada awal abad ke 20, buku-buku teks psikologi telah kehilangan semua referensi tentang kesadaran emosi, dan kehendak .(Graham, 2005 : 34).
referensi tentang kesadaran emosi, dan kehendak .(Graham, 2005 : 34). Selanjutnya masyarakat Barat
Selanjutnya masyarakat Barat yang rasional dan memuja metode ilyang rasional dan memuja metode ilmiah, miah, tertawan oleh idetertawan oleh ide spiritualitas dan
spiritualitas dan mengadopsi budaya mistis Timmengadopsi budaya mistis Timur seperti Tao, Budhisme, Zen, Yoga danur seperti Tao, Budhisme, Zen, Yoga dan berbagai bentuk meditasi
berbagai bentuk meditasi lainnya. Persentuhan tlainnya. Persentuhan tersebut memunculkan aliran ersebut memunculkan aliran psikologi sepertipsikologi seperti psikologi humanistik serta
psikologi humanistik serta psikologi transpersonal atau tpsikologi transpersonal atau transhuman yang lebih berpusat padaranshuman yang lebih berpusat pada alam semesta (cosmos) dari pada kebutuhan
alam semesta (cosmos) dari pada kebutuhan atau kepentingan manusia. Sebuah intitusiatau kepentingan manusia. Sebuah intitusi pendidikan di Amerika, yaitu Institut Esalen di Big Sur, California, pada
pendidikan di Amerika, yaitu Institut Esalen di Big Sur, California, pada awal pendiriannya diawal pendiriannya di tahun 1966,
tahun 1966, mengundang eksponen dari berbagai dimengundang eksponen dari berbagai disiplin ilmu siplin ilmu yang berasal dari yang berasal dari KebudayaanKebudayaan Timur dan Barat, termasuk Yoga, meditasi, peng
Timur dan Barat, termasuk Yoga, meditasi, peng ubah kondisi kesadaran, seni bela ubah kondisi kesadaran, seni bela diri, tarian,diri, tarian, pemuka agama, filsuf,
pemuka agama, filsuf, artis, ilmartis, ilmuwan, uwan, dan psikolog untuk bertdan psikolog untuk bertukar pandangan dalam seminar ukar pandangan dalam seminar dan workshop
dan workshop serta program-program laiserta program-program lainnya dalam rangka mewujudkan tujuan Institusi nnya dalam rangka mewujudkan tujuan Institusi iniini sebagai
sebagai pusat pendidikan yang mencakup dipusat pendidikan yang mencakup dimensi spiritual mensi spiritual dan intelektual. Pertemdan intelektual. Pertemuan iniuan ini diklaim telah menghasil
diklaim telah menghasilkan berbagai pendekatan, dan juga teknik-tkan berbagai pendekatan, dan juga teknik-teknik eknik yang diturunkan dariyang diturunkan dari filsafat dan agama-agama Timur atau tradisi esoteris yang dicangkokkan
filsafat dan agama-agama Timur atau tradisi esoteris yang dicangkokkan pada psikologi Baratpada psikologi Barat (Graham, 2005: 73).
Topik mengenai spiritualitas kemudian bermunculan dan menjadi cover story majalah terkenal di Amerika seperti USA Today dan Newsweek. Majalah Time pada tahun 2003 melaporkan bahwa di Amerika, meditasi diajarkan di sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, firma-firma hukum,
institusi pemerintahan, kantor-kantor korporasi, dan penjara. Bahkan Hotel-hotel di wilyah Catskills, New York, berubah menjadi tempat-tempat meditasi dengan begitu cepat sehingga menurut Joel Stein, seorang penulis di Time, kawasan Borscht Belt beralih nama menjadi Buddhist Belt (Aburdene, 2006 : 7).
Fenomena di atas tidaklah mengherankan, karena Barat memang memiliki kerancuan dalam mengkonsepsikan spiritualitas dan agama disebabkan pemikiran mereka yang dualistik, yaitu memisahkan antara dunia material dan spiritual. Sebagian besar ahli psikologi Barat memandang spiritualitas bersifat personal dan berada pada ranah psikologis, sedangkan agama bersifat
institusional dan pada ranah sosiologis. Beberapa menyatakan bahwa agama diasosiasikan
dengan konservatif (conservatism) dan spiritualitas dikaitkan dengan keterbukaan untuk berubah (openes to change) (Hood, 2009 : 9-10). Konsekuensinya, spiritualitas bisa dicapai dengan atau tanpa melalui agama. Dalam konsep spiritual Barat, spiritualitas dapat dibangun melalui banyak cara, sebagai contoh, melalui agama, pemikiran, doa, meditasi atau ritual (Best, 2000 : 10).
Konsepsi Barat tentang spritualitas yang problematis telah melatarbelakangi munculnya model pendidikan dan pelatihan spiritual yang mengkombinasikan berbagai macam ajaran mistis, sains, psikologi, dalam rangka membangun kecerdasan spiritual (SQ) manusia. Konsep SQ sendiri
lahir dari rahim Barat sehingga upaya-upaya meningkatkan kecerdasan spiritual ala Barat pada umumnya tidak mengajarkan manusia menjadi makhluk yang mengakui kebesaran Tuhan dan tunduk pada syariat yang diturunkan-Nya. Menurut Zohar, SQ merupakan perangkat kejiwaan hasil evolusi selama jutaan tahun, yang memungkinkan manusia modern melepaskan kerinduan spiritual mereka tanpa melalui agama formal. SQ adalah kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia, yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta itu sendiri, begitu pendapat
Zohar dalam bukunya Spiritual Intelligence yang telah diterjemahkan di Indonesia .
Dalam pandangan Islam, spiritualitas tidak bisa dipisahkan dari Tuhan dan agama (religion). Spiritualitas hanya dapat diperoleh melalui jalan syariah Islam yang bersumber dalam al Quran dan Hadits serta telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad, sahabat dan generasi salafusalih. Jalan-jalan spiritualitas dengan mengabaikan syariah akan membuat pengikutnya jauh dari kebenaran Islam dan pelakunya tidak akan memperoleh kedamaian hakiki di dunia maupun akhirat.
Konsep kecerdasan spiritual dalam Islam juga sangat jauh berbeda dengan Barat karena SQ di Barat hanya berhenti pada kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari sesuatu yang besar yaitu alam semesta, sedangkan Islam menganggap alam semesta hanyalah makhluk Allah
sebagaimana manusia, yang tunduk kepada aturan dan perintah Allah. Oleh karena itu tujuan pendidikan spiritual dalam Islam harus mampu membentuk individu-individu muslim yang paham hakikat eksistensinya di dunia ini serta tidak melupakan hari akhir dimana dirinya akan
kembali. Sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali bahwa pendidikan harus diarahkan kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan taqarrub kepada Allah, dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. (***)
Yahoo! Facebook RSS
Pengakuan Aktivis Gender
Last Updated on Saturday, 16 October 2010 05:16 Saturday, 16 October 2010 05:05 Written by Adian Husaini
146Share
Pada hari Sabtu, 9 Oktober 2010, bertempat di arena Indonesia Book Fair, Senayan Jakarta, saya meluncurkan novel berjudul“Kemi: Cinta Kebebasan yang Tersesat”(Jakarta: GIP, 2010). Novel ini saya tulis dengan tujuan memudahkan kaum Muslim Indonesia untuk memahami pemikiran-pemikiran liberal dan bagaimana cara mengatasinya. Hingga kini, penyebaran ide-ide
liberal dilakukan melalui berbagai cara, diantaranya melalui penulisan novel, sinetron, dan film. “Novel Kemi” ini sarat dengan pergulatan pemikiran tingkat tinggi dan pergulatan jiwa dan pikiran para aktivis liberal. Novel ini berkisah tentang dua orang santri cerdas yang berpisah jalan. Kemi (Ahmad Sukaimi), santri pertama, terjebak dalam paham liberalisme. Ia
mengkhianati amanah Sang Kyai. Kemi salah pilih teman dan paham keagamaan. Ujungnya, ia terjerat sindikat kriminal pembobol dana-dana asing untuk proyek liberalisasi di Indonesia. Nasibnya berujung tragis. Ia harus dirawat di sebuah Rumah Sakit Jiwa di Cilendek, Bogor.
Rahmat, santri kedua, selain cerdas dan tampan, juga tangguh dalam “menjinakkan” pikiran- pikiran liberal. Rahmat disiapkan khusus oleh Kyai Aminudin Rois untuk membawa kembali
Kemi ke pesantren. Meskipun misi utamanya gagal, Rahmat berhasil “mengobrak-abrik” jaringan liberal yang membelit Kemi. Sejumlah aktivis dan tokoh liberal berhasil ditaklukkan
dalam diskusi.
Di dalam novel ini, ada cerita Prof. Malikan, rektor Institut Studi Lintas Agama, tempat Rahmat dan Kemi kuliah, ditaklukkan Rahmat di ruang kelas. Siti (Murtafiah), seorang aktivis
kesetaraan gender, putri kyai terkenal di Banten, terpesona oleh kesalehan, kecerdasan, dan ketampanan Rahmat. Siti, akhirnya sadar dan bertobat, kembali ke orangtua dan pesantrennya, setelah bertahun-tahun bergelimang dengan pikiran dan aktivitas liberal. Rahmat juga berhasil menyadarkan “Kyai Dulpikir”, seorang Kyai liberal terkenal di Jawa Barat. Sang Kyai sempat bertobat dan wafat di ruang seminar.
Dalam catatan ini, ada baiknya kita simak pengakuan Siti Murtafiah, setelah dia tersadar dari kekeliruan paham liberal dan kesetaraan gender yang selama ini dia peluk dan dia perjuangkan. Siti mengaku telah terjerat berbagai pemikiran salah, secara perlahan-lahan. Ia sadar setelah bertemu Rahmat. Ia kemudian menyesal dan berjanji akan bertobat. Siti terpesona oleh sikap
Berikut ini petikan pengakuan Siti kepada Rahmat, akan kekeliruan pemikiran-pemikiran liberal yang digandrunginya selama ini:
”Coba perhatikan, Rahmat. Saya juga baru menyadari belakangan ini. Saya sudah terseret makin jauh. Dulu saya tertarik, karena selalu dikatakan, bahwa kita mengembangkan sikap terbuka, kritis, rasional, tidak partisan. Tapi, ketika sudah masuk ke lingkungan ini, kita tidak punya pilihan, kita juga dididik sangat partisan. Jika dulu orang Muslim bangga mengutip Imam Syafii, Imam Ghazali, dan sebagainya, maka sekarang yang dibangga-banggakan adalah
ilmuwan-ilmuwan orientalis. Katanya, kritis. Bahkan, karya-karya para ulama itu diakal-akali agar sesuai dengan pikiran mereka.
Yang tanpa sadar, kita disuruh membenci sesama Muslim, pelan-pelan kami mau tidak mau harus mengambil jarak dari aktivitas keislaman dan komunitas Muslim. Coba kamu perhatikan, pernah nggak kamu lihat Kemi shalat berjamaah ke masjid, aktif dalam majlis-majlis taklim,
mengajar mengaji anak-anak, shalat tahajut, puasa sunnah, dan sebagainya. Lihat, siapa teman-teman dekatnya! Ingat nggak kata Ali bin Abi Thalib, siapa teman kepercayaan kamu, itulah kamu.
Perhatikan juga apa yang selalu diomongkan dia. Dia tidak lagi bicara tentang aqidah Islam, bahwa iman itu penting, kesalehan itu penting. Tidak bicara tentang bahaya kemusyrikan dan kemurtadan. Padahal, sejak kecil di pesantren, dia sudah diajarkan kitab-kitab Tauhid yang membahas masalah syirik. Bahkan, kata syirik, kafir, itu sudah dicoret dari kosakata dia. Syirik dan iman dianggap sama saja. Mukmin dan tidak mukmin dianggap sama. Islam dan bukan Islam disama-samakan. Padahal, al-Quran jelas-jelas membedakan derajat orang mukmin
dengan derajat orang kafir.
Saya kadang bertanya, mengapa saya menjadi begini. Bahkan, di kepala saya yang ada bukan lagi bagaimana memahami al-Quran dengan baik dan benar, tetapi bagaimana agar al-Quran bisa saya gunakan untuk mendukung pemahaman saya tentang Pluralisme, liberalisme,
toleransi, dan sebagainya. Teman saya sampai berusaha keras untuk meraih gelar doktor dengan membuat metodologi Tafsir yang sesuai dengan pemikiran Pluralisme.
Semua itu tidak terjadi seketika. Perlu waktu panjang. Sedikit demi sedikit, pikiran dibelokkan. Tanpa sadar. Perasaan dan pikiran dibelokkan. Saya suatu ketika bertanya kepada diri saya sendiri, mengapa saya tidak lagi mencintai saudara-saudara saya di Palestina? Bahkan, hati saya mulai condong pada kaum Yahudi. Saya suka melihat kemenangan Yahudi; yang saya
lakukan adalah mencari-cari kelemahan orang Palestina dan kelebihan orang Yahudi. Malah, saya sama sekali sudah tidak peduli dengan masalah umat Islam di Kasmir, Moro, Afghanistan, Irak, dan sebagainya. Saya menganggap semua itu adalah komoditas kaum fundamentalis untuk
mencari popularitas.
Yang lebih saya kedepankan adalah isu-isu yang dibawa oleh negara-negara Barat, seperti isu radikalisme Islam, pluralisme, fundamentalisme, dan sebagainya. Padahal, berapa ratus ribu bahkan jutaan penduduk sipil di negara-negara Muslim itu yang dibunuhi? Saya sudah
menganggap bahwa mereka itu semua berhak dibunuh, karena mereka bagian dari kaum fundamentalis. Tidak ada diantara kami yang habis-habisan mengutuk pembunuhan
manusia-manusia Muslim itu. Hanya sesekali keluar pernyataan, agar tidak terlalu dianggap antek Barat. Tapi, coba kalau ada satu saja orang bule yang tewas dibunuh oleh satu kelompok Islam,
atau ada bom meledak di suatu tempat yang menewaskan puluhan orang, maka kami akan habis-habisan mengutuk.
Yang lain, ini yang menyadarkan saya, tiba-tiba tertanam dalam diri saya, perasaan benci pada syariat Islam, dan bahkan benci dengan kemenangan satu partai Islam dalam Pemilu. Saya
benci sekali kalau ada orang ngomong syariat. Bahkan, saya pernah memberi masukan teman-teman Kristen agar mereka mengeluarkan pernyataan yang menolak syariat.Saya pernah bingung, kenapa saya bisa menjadi begini. Saya mengenakan kerudung, tetapi isi kepala saya sama sekali tidak suka dengan kerudung. Saya benci sekali kalau ada orang Islam atau
organisasi Islam yang mencoba membatasi pakaian.
Bahkan saya pernah ikut merancang demonstrasi menentang RUU Pornoaksi dan Pornografi. Saya benar-benar termakan paham kebebasan. Saya benci MUI, yang menurut saya sok Islam sendiri. Saya mendukung Lia Eden, saya mendukung Ahmadiyah, saya benci semua orang Islam. Bahkan, pernah saya membenci ayah saya sendiri, karena saya melihat dia bersama para kyai
di daerah saya mendatangi DPR, meminta agar tayangan-tayangan porno dan tidak senonoh dihentikan penayangannya. Saya benci itu semua.
Kamu tahu Rahmat, karenauntuk membuktikan saya sudah benar-benar menyatu dengan paham kebebasan, saya mendukung hak wanita untuk menjadi pelacur. Saya menentang penutupan komplek-komplek WTS di berbagai kota. Melacur saya anggap sebagai hak asasi
wanita. Menjadi gigolo juga hak asasi. Yang penting tidak mengganggu hak orang lain. Hak-hak kaum homo dan lesbi juga saya perjuangkan. Sebab saya sudah dicekoki paham kebebasan, bahwa mereka adalah manusia.
Saya tidak tahu, mengapa saya menjadi seperti ini. Semua pergaulan, kuliah, diskusi, kegiatan, sepertinya sudah diatur sedemikian rupa, sampai saya tidak sadar, bahwa saya telah menjadi
korban dari sebuah skenario besar. Saya korban. Kemi juga korban. Entah dia sadar atau tidak. Bayangkan Rahmat, saya ini wanita, perempuan. Sampai karena sudah begitu merasuknya paham kesetaraan gender dalam diriku, saya tidak lagi mengakui laki-laki berhak memimpin
rumah tangga. Saya benci jika dikasihani. Pernah saya naik bus, ada seorang laki-laki
memberikan tempat duduknya karena kasihan saya berdiri, saya bentak dia. Saya mau suami saya yang nanti melayani saya, menyediakan minum buat saya, mengasuh anak saya, dan kalau perlu membawakan tas saya. Entah kenapa di kepala saya tertenam kebencian dan dendam
kepada laki-laki, karena mereka telah menindas kaum saya selama umur manusia.
Suatu ketika, saya merenungkan semua itu dengan serius. Mengapa saya menjadi begini? Mengapa jadi begini? Itulah pertanyaan saya beberapa bulan terakhir ini. Saya sadar, tetapi saya tidak tahu, bagaimana saya akan keluar dari jeratan ini. Sudah terlalu jauh... Saya sulit
keluar....Rahmat, entah bagaimana ujungnya perjalanan saya ini....”
”Saya sedih .... hati saya sangat perih... ingat ayah saya, Ibu saya, adik-adik saya...Saya dulu ingin membuktikan kepada mereka, bahwa saya bisa mandiri, saya bisa bebas, saya mau
merdeka, saya tidak mau diatur lagi dengan berbagai belenggu. Saya minggat dari rumah, kuliah di satu kampus Islam Jakarta, lalu terakhir terseret ke kampus ini, karena ada
beasiswa...Entahlah... sampai kapan saya akan terus seperti ini. Terkadang saya frustrasi...” ”Saya juga tidak tahu... ini sindikat atau tidak. Yang jelas, saya sudah tidak punya teman, tidak punya komunitas, malu untuk bergaul dengan sesama Muslimah. Pikiran saya yang sudah
terjerat. Untuk membuang jerat-jerat pikiran ini tidak mudah. Saya sadar ini salah, tetapi saya seperti tidak berdaya untuk melawannya. Belum lagi, instruksi dan program-program yang
rutin. Saya sering tak sadar menghujat-hujat Islam sendiri, memaki-maki umat Islam sendiri. Semua itu berjalan begitu saja tanpa bisa saya hindari. Saya sudah terjerat; terjerat oleh pikiran saya sendiri, terjerat oleh lidah saya sendiri! Saya sadar, saya geram, karena tidak
berdaya untuk melepaskan diri dari semua keterjeratan ini... Saya tidak mampu... Padahal, di depan laki-laki saya selalu mencoba tampil perkasa, saya tidak mau dipandang rendah. Tapi, kenyataannya, saya tidak berdaya melawan pikiran saya sendiri...”.
Demikianlah sebagian pengakuan dan pertobatan Siti, seorang aktivis gender, kepada Rahmat. Siti akhirnya diracun oleh sindikat yang menjeratnya, karena dianggap berkhianat. Beruntung, dia masih bisa diselamatkan. Di akhir cerita, Siti membuktikan kesung guhannya untuk bertobat. Ia bahkan mengorbankan rasa cintanya pada Rahmat dan memilih berjuang membesarkan
pesantren ayahnya. Ia lebih mengedepankan aktivitas dakwah dan pendidikan Islam.
Kisah Siti, Kemi, dan Rahmat bisa dibaca lebih jauh dalam Novel Kemi: Cinta Kebebasan yang Tersesat. Selamat membaca
Yahoo! Facebook RSS
Manusia Indonesia
Wednesday, 20 October 2010 13:27 Written by Adian Husaini
Share
Dalam sebuah puisinya yang bertajuk “Kisah Intan dan Batu Arang”, penyair terkenal Pakistan, Dr. Mohammad Iqbal, memperingatkan nasib manusia-manusia yang terhina karena kelemahan dirinya:
“Oleh sebab wujudmu belum masak, Kau menjadi hina-terlempar
Oleh sebab tubuhmu lunak, Kau pun dibakar orang,
Jauhilah ketakutan, duka dan musuh hati, Jadilah kuat seperti batu, jadilah intan.”
(Terj. Oleh Kol. Drs. Bahrum Rangkuti dalam buk u Asrari Khudi, Rahasia-Rasia Pribadi, 1953). Dalam bukunya yang berjudul, Pribadi (1982, cet.ke-10), Prof. Hamka juga memberikan
gambaran tentang banyaknya sosok manusia yang pandai tetapi memiliki pribadi yang lemah. Tulis Hamka: ”Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mampunyai cita-cita, lain dari pada kesenangan dirinya.
Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki
lapangan hidup.”
Gambaran buruk tentang karakter manusia Indonesia pernah disuarakan oleh budayawan dan wartawan senior Mochtar Lubis. Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 April 1977, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum manusia Indonesia sebagai berikut:
munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya. Lebih jauh, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri utama manusia Indonesia:
1. “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias
MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang
membawa bencana bagi dirinya.”
2. “Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan
saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.”
3. “Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.”
4. “Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya
takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan
khusus dengan ini semua…” “Kemudian, kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi,
kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri.”
5. Ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat.
Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah
keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.”
6. “Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpesta-pesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya
segala apa yang serba mahal.” “Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi.” (Mochtar Lubis, Manusia
Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).
Anda setuju dengan pendapat Mochtar Lubis? Maka, jika kaum Muslim Indonesia tidak mau menjadi manusia lemah dan bangsanya bernasib hina, Mohammad Iqbal memberikan resep sederhana:
“Biarlah cinta membakar
semua ragu dan syak wasangka, Hanyalah kepada Yang Esa kau tunduk,
agar kau menjadi singa.
Pendidikan Karakter: Apa Lagi?
Wednesday, 20 October 2010 12:25Written by Anita Syaharudin 17Share
Pendidikan karakter! Dua kata ini, sejak 2009 seolah menjadi primadona, khususnya dalam dunia pendidikan. Berbagai diskusi, seminar, ceramah, dan bedah buku dilakukan untuk membahas dua
kata tersebut.
Maklum, belakangan, marak berbagai peristiwa yang mempertanyakan moral atau karakter bangsa Indonesia. Media TV nyaris tiap hari diserbu tayangan- tayangan kekerasan.
Terbongkarnya manipulasi pajak seorang pegawai golongan rendah bernilai puluhan milyar rupiah membelalakkan mata banyak orang. Berita pelesiran sejumlah wakil rakyat “yang terhormat” dengan menghambur-hamburkan uang rakyat menambah perut rakyat semakin mules. Kasus video porno tiga orang artis terkenal dan maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja semakin membetot perhatian pelaku dan praktisi pendidikan.
Data tentang korupsi pejabat misalnya, dari hasil riset yang d ilakukan dalamTransparency
International Corruption Perceptions Index 2009, masih menempatkan Indonesia pada peringkat yang sangat memperihatinkan. Terkait dengan penyalahgunaan narkotika, Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2009 tercatat adanya 3,6 juta pengguna narkoba di Indonesia, dan
41% diantara mereka pertama kali mencoba narkoba di usia 16-18 tahun, yakni usia remaja SMP-SMU. (Republika online, 26/06/2009).
Padahal, di atas kertas, tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 (UU Sisdiknas), sangatlah ideal: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Karena tidak “nyambung” antara cita dan fakta itu lalu sejumlah tokoh pendidikan dan
pemerintah menggelorakan slogan besar: kita perlu Pendidikan Karakter! Dulu sudah pernah ada Pendidikan Moral Pancasila (PMP), ada Pendidikan Akhlak, Pendidikan Etika, Pendidikan
Kewarganegaraan, dan sebagainya.
Lalu, apalagi “makhluk” yang bernama Pendidikan Karakter ini? Pentingnya karakter
Sejak berabad silam para ahli dan pemikir telah menuangkan ide-ide mereka bagaimana mendidik manusia agar menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang baik. Barat mengembangkan nilai-nilai moral dan karakter yang berasal dari Yunani, sedangkan Islam mengajarkan manusia berakhlak mulia berdasarkan petunjuk wahyu, Al-Quran dan As-Sunnah. Akhlak atau karakter Islam terbentuk atas dasar prinsip “ketundukan, kepasrahan, dan
kedamaian” sesuai dengan makna dasar dari kata Islam.
Islam bukan hanya teori, tapi ada contoh. Nabi Muhammad SAW menjadi contoh (uswah hasanah). Kata ‘Aisyah r.a, akhlak Rasulullah saw adalah al-Quran.
Para pemikir muslim sejak awal telah mengemukakan pentingnya pendidikan karakter. Ibn Miskawaih ((320-421H/932-1030 M), adalah ulama klasik yang mendalami filsafat etika sehingga dikenal sebagai Bapak Etika Islam. Dalam bukunya yang berjudulTahdzib al-Akhlaq Ibn Miskawaih mengemukakan pentingnya dalam diri manusia menanamkan kualitas-kualitas akhlak dan melaksanakannya dalam tindakan-tindakan utama secara spontan. Menurutnya, akhlak adalah "keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu”. Ia menyebutkan adanya dua sifat yang menonjol dalam jiwa manusia, yaitu sifat buruk dari jiwa yang pengecut, sombong, dan penipu, dan sifat jiwa yang cerdas yaitu adil, pemberani, pemurah, sabar, benar, tawakal, dan kerja keras. (Ibn Miskawaih,Tahdzib al-Akhlak , Beirut: Dar
el Kutb al-Taymiyyah, 1405H/1985M)
Al-Ghazali (1058-1111M) yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak yang mirip dengan Ibn Miskawaih, yaitu bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran yang mendalam atau penelitian terlebih dahulu. Akhlak bukan merupakan
"perbuatan", bukan "kekuatan", bukan "ma'rifah" (mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu adalah "hal" keadaan atau kondisi jiwa yang bersifat bathiniah".(Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid 2, Qairo, Mesir: Daar al-Taqwa, 2000, hlm.599)
Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir. Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi
yang keras. Dari sanalah kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku (an individual’s pattern of behavior … his moral contitution) (Karen E. Bohlin, Deborah Farmer, Kevin Ryan,Building Character in School Resource Guide, San Fransisco: Jossey Bass, 2001, hlm.1)
Socrates (469-399 SM) menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling mendasar membentuk individu menjadi baik dan cerdas ( good and smart ). “Goodness is knowledge … to be good at something os a matter of knowledge" . (G.M.A. Grube, Plato’s Thought , USA: Hackett
Publishing Company, 1980, hlm. 216-217). Plato (428-348 SM), murid Socrates merefleksikan pemikiran gurunya untuk hal yang lebih makro dari sekedar kebajikan individu menjadi
negarawan yang baik . Dalam bukunya yang terkenal, Republic, ia mengungkapkan idenya
tentang pendidikan, bahwa agar anak dapat meraih kebenaran dan kebajikan diperlukan pedoman yang jelas moral agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
Aristoteles (384-322 SM), murid Plato juga mengarahkan pendidikan ke pada kebajikan atau nilai (virtue) individu. Kebajikan atau nilai (virtue) itu mengandung dua aspek yaitu intelektual dan moral. “ Intelectual virtue in the main owes both its birth and its growth to teaching, while moral virtue comes about as a result of habit .” (Charless Hummel, Aristotle, p.2).
Emile Durkheim (1858 –1917) seorang sosiolog dari Prancis mengatakan, bahwa masyarakat harus memiliki nilai-nilai yang baik sebagai kontribusi warisan moral. Lebih jauh ia
mengatakan,“Society must have some good to achieve, an original contribution to bring to the moral patrimony of mankind. Idleness is a bad counselor for collectivities as well was
individual. When individual activity does not know where to take hold, it turns against itself. When the moral forces of a society remain unemployed, when they are not engaged in some work to accomplish, they deviate from their moral sense and are used up in a morbid and harmful manner.”(Emile Durkheim, Moral Education, London: Free Press of Glencoe, 1973, p. 13) Karakter atau kehancuran
Thomas Lickona seorang pendidik karakter dariCortland University, dikenal sebagai Bapak Pendidikan Karakter Amerika. Ide-idenya diterapkan pada level pendidikan dasar dan
mengengah. Lickona mengungkapkan, bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, jika memiliki sepuluh tanda-tanda zaman, yaitu, meningkatnya kekerasan di kalangan remaja,
membudayanya ketidak jujuran, sikap fanatik terhadap kelompok/ peer group, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, semakin kaburnya moral baik dan buruk, penggunaan bahasa yang memburuk, meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara,
menurunnya etos kerja, dan adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian di antara
sesama.(Thomas Lickona,Educating For Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York:Bantam Books,1992 ,hlm 12-22).
Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebag ai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral—yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian
ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya
tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal itu dirumuskan dengan indah:knowing, loving, and acting the good . Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman
karakter yang baik, mencintainya, dan pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu.(Ibid, hlm.23).
Sebenarnya, secara materi, pendidikan karakter di sekolah-sekolah di Indonesia, sudah tercakup dalam pelajaran Pendidikan Agama dan sebagian pendidikan lainnya. Namun seperti halnya banyak mata pelajaran lainnya, mata ajaran itu masih lebih berorientasi pada pendekatan
kognitif melalui hafalan dan ditujukan untuk perburuan nilai semata. Artinya pembelajaran masih berorientasi pada aspek perolehan pengetahuan semata secara akademik. Pendidikan dan pembelajaran terhadap proses perubahan tingkah laku anak didik masih terabaikan. Jika ini
dibiarkan terus-menerus maka kesenjangan antara mengetahuan dan perilaku semakin melebar. Oleh karenanya diperlukan usaha yang serius untuk meninjau kembali antara teori pendidikan moral dan karakter yang diajarkan di sekolah, dan bagaimana praktek yang terjadi dalam
keseharian siswa di sekolah. Teori, yaitu mencakup dimensi dan kurikulum pendidikan karakter apa saja yang diajarkan di sekolah, bagaimana kualifikasi atau kriteria pendidik yang semestinya, bagaimana hal tersebut diajarkan, bagaimana sistem penilaian keberhasilan pendidikan karakter
tersebut. Lalu, lebih penting lagi, bagaimana praktek nyata dari teori-teori itu dalam bentuk perilaku guru dan siswa di sekolah.
Juga, yang terpenting, adalah keteladanan pemimpin dan guru. Guru harus bisa menjadi contoh. Jika guru gagal menjadi teladan, jangan heran, jika pepatah klasik berubah ekstrim: guru kencing berlari, murid bisa mengencingi gurunya.
Jika tiada kesungguhan keteladanan, maka Pendidikan Karakter hanya akan menjadi slogan dan menambah daftar panjang daftar kefrustrasian program pendidikan. Na’udzubillahi min dzalika. (***)
ersedia paket ISLAMIA yang berisi 11 edisi (termasuk edisi terbaru) . H arga Rp. 200.000,- sudah termasuk ongkos kirim via Pos Kilat/TIKI. Luar pulau jawa Rp. 220.000,- via paket pos biasa . Peminat bisa menghubungi 0217940381 SMS 087878147997.
Yahoo! Facebook RSS
Prof. Dr. MLIK Badri: Psikologi Modern
Tidak Netral
24Share
Lebih dari setengah abad menggeluti psikologi modern, pakar bernama lengkap Malik Babikir Badri ini dikenal luas lewat bukunya The Dilemma of Muslim Psychologists. Ketidakselektifan
psikolog muslim, menurutnya, telah menyebabkan mereka mengikuti pola pikir dan pendekatan kaum Yahudi dan Kristen, meskipun cara itu berkualitas rendah dan tidak islami. Persis seperti dinyatakan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadis: “… bahkan jika mereka masuk ke dalam lubang biawak pun, orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya.” Yakni mengambil bulat-bulat psikologi Barat modern dan menerapkannya di dunia Islam.
Prof. Malik Badri lulus dari American University of Beirut tahun 1956, meraih do ktor dari Universitas Leicester, Inggris 1961, dan mengantongi gelar p rofesor sejak 1971. Namanya tercatat sebagai Fellow dan Chartered Psychologist, British Psychological Society, anggota dewan pakar UNESCO, dan pendiri sekaligus presiden International Association of Muslim Psychologists. Kini ia tercatat sebagai pengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia. Di tengah beragam kesibukannya, pria asal Sudan kelahiran 16 Februari 1932 dan ayah tujuh anak ini, Senin (7/9) petang lalu menerima wartawan Islamia, Dr. Syamsuddin Arif, di
kantornya, di kampus Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM) Gombak, Kuala Lumpur.
Apa yang melatari Anda menjadi ahli psikologi?
Awalnya saya ingin kuliah bidang farmasi. Namun, setelah mengambil mata kuliah psikologi, minat saya berubah. Apalagi waktu itu – tahun 1950-an -- psikologi sebagai disiplin tersendiri sama sekali belum dikenal. Di negara-negara Arab ketika itu psikologi hanya diajarkan sebagai cabang dari ilmu pendidikan. Kemudian secara pribadi sebagai Muslim saya juga tertarik untuk memahami ajaran agama saya terutama yang berkaitan dengan sains modern. Saya pikir, orang Islam harus belajar psikologi agar bisa menanggulangi be rbagai krisis sosial yang diimpor dari Barat. Dua hal itulah yang mendorong saya untuk menekuni psikologi.
Banyak yang bilang gagasan ‘psikologi Islam’ itu omong kosong. Pendapat Anda?
Hemat saya, orang yang berpendapat seperti itu sesungguhnya tidak paham psikologi dan tidak tahu Islam. Ia tidak mengerti kedua-duanya. Kalau di Barat sendiri sekarang ini hampir tidak ada ahli psikologi yang mengingkari adanya ‘psikologi Islam’. Anehnya yang mengatakan tidak ada ‘psikologi Islam’ itu justru orang Islam yang masih yakin bahwa sebagai sebua h sains, psikologi itu netral. Padahal, para psikolog Barat saat ini mulai menyadari bahwa ilmu psikologi yang berkembang di Barat selama ini sesungguhnya terkait erat dengan nilai-nilai budaya mereka
(culture-bound).
Artinya, psikologi Barat itu produk orang Barat dan untuk kebutuhan masyarakat Barat. Bahkan ahli-ahli psikologi di Inggris dan Perancis sekarang ini mulai mengeluhkan betapa kentalnya pengaruh kultur Amerika dalam psikologi kontemporer. Karena buku-buku rujukannya karangan psikolog-psikolog Amerika, maka mahasiswa Inggris dan Perancis sesudah lulus pun ikut-ikutan
corak dan gaya psikologi Amerika. Padahal psikologi Amerika itu dasarnya adalah eksperimen terhadap binatang seperti tikus, monyet, kelinci, burung merpati dan mahasiswa yang
kesimpulannya belum tentu berlaku untuk manusia atau konteks budaya di tempat lain. Itulah sebabnya sejak lama orang-orang Rusia menolak psikologi Amerika seraya membangun psikologi Rusia yang lebih sesuai dengan dan untuk orang Rusia. Mereka berupaya membuat
teori-teori baru dan eksperimen tersendiri, seperti yang dilakukan Ivan Pavlop pada tahun 1960-an. Kritik terhadap psikologi modern yang sekular juga banyak dilontarkan oleh kalangan
psikologi dari Barat.
Bisa Anda jelaskan apa yang salah dengan psikologi modern?
Psikologi modern dibangun diatas asumsi-asumsi yang keliru tentang manusia. Apa hakikat manusia? Jawaban kepada pertanyaan inilah yang mendasari pelbagai teori psikologi tentang kepribadian. Misalnya teori Sigmund Freud yang mengajarkan bahwa manusia hanyalah hewan yang bertindak atas dorongan-dorongan seksual-agresif dari bawah-sadarnya. Dari sini ia
membangun psikoterapinya. Cara mengobati orang sakit jiwa ialah dengan membawa si pasien keluar dari bawah-sadar ke alam sadarnya.
Ada juga Watson, yang menganggap manusia tak lebih dari hewan yang perilakunya ditentukan sepenuhnya oleh lingkungan. Mereka ini tidak percaya akan wujudnya jiwa. Maka fokusnya hanya lingkungan. Bagaimana mengubah perilaku manusia dengan mengubah lingkungannya. Apakah Anda kira konsep mereka tentang manusia itu diperoleh dari penelitian di laboratorium? Tidak. Semua itu sebenarnya hasil reka-reka semata. Nah, sebagai Muslim, Anda tentu tidak bisa menerima pandangan-pandangan semacam itu. Konsep Islam tentang manusia kan lain. Maka psikologi kita pun mestinya berbeda.
Yang Anda maksud dengan ‘dilemma psikolog Muslim’ itu apa?
Buku itu asalnya makalah yang saya tulis untuk pertemuan ikatan ahli ilmu sosial muslim Amerika tahun 1976. Judulnya “Muslim psychologists in the Lizard's hole” (psikolog muslim dalam lubang biawak) yang kemudian diterbitkan di Journal of Muslim Social Scientists,
sebelum saya kembangkan menjadi buku. Yang ingin saya tegaskan ialah psikologi itu wilayah yang sangat luas, dimana hanya beberapa keping saja layak disebut sains, seperti neuropsikologi, psikofarmasi, psikokimia dan sebagainya. Sementara sebagian besarnya lebih tepat disebut
sebagai ’pseudo-science’ – meminjam istilah psikolog kawakan Sigmund Koch. Ini penting diketahui oleh psikolog muslim, terutama ketika mengajar mahasiswa. Kita mesti selektif, pandai memilah dan memilih mana yang berguna dan mana yang bermasalah. Saya tidak
mengatakan bahwa semua teori psikologi modern harus dibuang. Misalnya, kita jelas menolak asumsi psikologi behavioristik bahwa manusia itu hewan b elaka. Tetapi terapi behavioristik yang menekankan pentingnya imbalan dan ganjaran boleh saja kita terapkan. Namun sebagai muslim alangkah baiknya kalau diikuti juga petunjuk dan tuntunan Islam dalam menangani penderita. Disinilah perlunya psikolog muslim juga memiliki wawasan keilmuan Islam yang memadai. Pandangan Anda mengenai Islamisasi psikologi?
Saya punya dua teori tentang Islamisasi. Pertama, yang saya namakan “Islamisasi A”, ialah bagaimana kita mengubah orang menjadi Muslim yang lebih baik. Adapun “Islamisasi B” ialah bagaimana menjadikan psikologi sebuah ilmu yang sesuai dan bermanfaat bagi umat Islam. To
use Islam to help Muslims.
Apa yang mesti dilakukan untuk membangun psikologi Islam?
Membangun psikologi Islam tidak semudah membalik telapak tangan. Ia memerlukan kerja kolektif yang serius dan makan waktu lama. Prosesnya terdiri dari tiga tahap. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengkaji secara intensif karya-karya ilmuwan Muslim tentang jiwa manusia. Saya sendiri baru saja menyelesaikan sebuah bu ku tentang psikologi kognitif menurut al-Balkhi. Dalam hal ini saya tidak sependapat dengan sikap kalangan tertentu yang mencemooh
kajian khazanah klasik. Sebab, kalau Anda perhatikan, orang-orang Barat sendiri selalu kembali kepada pemikir silam semisal Plato dan Aristotle dan membanggakan tokoh-tokoh dari kalangan mereka kepada mahasiswanya. Nah, semestinya kita juga mengenalkan para ilmuwan Muslim kita kepada mahasiswa dan masyarakat kita.
Tahap berikutnya, setelah kajian-kajian semacam itu dilakukan, mulailah sedikit demi sedikit membangun psikologi kita sendiri –psikologi yang berangkat dari kebutuhan dan worldview kita sebagai Muslim. Dan ini perlu dilakukan dengan sikap “seolah-olah psikologi Barat itu tidak ada sama sekali” (forgetting the Western psychology, as if there is no psychology at all!). Nah,
sesudah itu baru kita coba gagas teori-teori dan metode-metode baru untuk riset dan terapi. Jadi, psikologi Islam itu bukan sekadar justifikasi ilmu Barat dengan dalil-dalil al-Qur’an dan
Hadis. (***)
Dari Tradisi Ilmu ke Peradaban Islam
(Catatan untuk 7 Tahun INSISTS)
Written by Adian Husaini 23Share
“
INSISTS (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizatons)
I venture to maintain that the greatest challenge that has
surreptitiously arisen in our age is the challenge of knowledge, indeed, not as against ignorance; but knowledge as conceived and disseminated throughout the world by Western
civilization.”(Prof. Syed Muhammad Naqub al-Attas).
Tahun 2010 ini, Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), memasuki usianya yang ketujuh. Tidak ada peringatan apa-apa untuk tujuh tahun ini. INSISTS terus berjalan, sesuai visi dan misi perjuangannya. Dua tahun lalu, saat memasuki usianya kelimanya, INSISTS sempat menggelar acara khusus, sebuah acara tasyakkur atas lima tahun kiprahnya dalam dunia pemikiran Islam di Indonesia. INSISTS adalah sebuah lembaga yang selama beberapa tahun belakangan ini gencar mempromosikan gagasan dan gerakan “membangun tradisi ilmu menuju Peradaban Islam”, melalui berbagai aktivitas workshop dan penerbitannya.
Mengapa tradisi ilmu? Tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu. Tanpa kecuali, peradaban Islam. Rasulullah saw telah memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Di tengah masyarakat jahiliah gurun pasir, Rasulullah saw berhasil
mewujudkan sebuah masyarakat yang sangat tinggi tradisi ilmunya. Para sahabat Nabi saw dikenal sebagai orang-orang yang “gila ilmu”.
Bukan hanya itu, tradisi ilmu Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw telah melahirkan manusia-manusia unggulan dalam satu ” generasi sahaby” yang belum mampu dicapai oleh peradaban manapun, hingga kini. Rasulullah saw berhasil mengubah ”masyarakat ummiy” yang hidup dalam tradisi lisan menjadi masyarakat yang cinta ilmu dan tradisi tulis. Tradisi ilmu Islam saat itu pun mampu mengubah masyarakat yang gila minuman keras menjadi masyarakat yang bersih dari ”tradisi teler” hanya dalam tempo beberapa tahun saja.
Memang, peradaban yang dibangun oleh Islam adalah peradaban tauhid, yang menyatukan unsur dunia dan akhirat, aspek jiwa dan raga. Islam bukan agama yang menganjurkan manusia untuk lari dari dunia demi tujuan mendekat kepada Tuhan. Nabi memerintahkan umatnya bekerja keras untuk menaklukkan dunia dan meletakkan dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya. Nabi melarang keras sahabatnya yang berniat menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya,
agar bisa fokus kepada ibadah.
Berbeda dengan jalan pikiran banyak tokoh agama pada zaman itu, Nabi Muhammad saw justru mendeklarasikan: ”Nikah adalah sunnahku, dan siapa yang benci pada sunnahku, maka dia tidak termasuk golonganku.” Meskipun begitu, Rasulullah saw juga memperingatkan dengan keras: ”Jika umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan dicabut kehebatan Islam dari mereka.” Inilah peradaban Islam: bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Barat yang berusaha membuang agama dalam kehidupan mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuwan yang zalim dan jahat harus dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, (radhiyallahu ’anhum), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, dan sebagainya. Imam Abu Hanifah, misalnya, lebih memilih dicambuk setiap hari, ketimbang menerima jabatan Qadhi negara.
Tradisi ilmu dalam Islam ini berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Yunani, yang merupakan salah satu unsur penting peradaban Barat. Dalam bukunya, Budaya Ilmu (Satu Penjelasan) (2003), Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, guru besar pendidikan dan pemikiran Islam dari Universitas Islam Internasional Malaysia, mencatat kisah Demonsthenes, seorang filosof Yunani, yang mengungkap pandangan kaum cendekiawan yang pintar menjustifikasi amalan bejat: “Kami mempunyai institusi pelacuran kelas tinggi (courtesans) untuk keseronokan (keindahan. Pen.), gundik untuk kesihatan harian tubuh badan, dan istri untuk melahirkan zuriat halal dan untuk menjadi penjaga rumah yang dipercayai.”
Karena itu, tradisi ilmu yang dibangun Islam tidaklah sama dengan tradisi ilmu yang dibangun dalam peradaban sekular. Menurut Prof. Naquib al-Attas, pendiri ISTAC, justru konsep ilmu sekular Barat adalah sumber kerusakan terbesar bagi umat manusia saat ini. Karena itu, saat menjadi Keynote Speaker pada Konferensi Pendidikan Islam di Mekkah, 1977, Al-Attas menggulirkan makalah berjudul”The Dewesternization of Knowledge.” Dan langkah awal diajukannya untuk membangun peradaban Islam adalah “Islamisasi Ilmu.”
Untuk membangun peradaban Islam, menurut al-Attas, mau tidak mau harus dilakukan melalui proses pendidikan, yang disebutnya sebagai “ta’dib”. Tujuan utamanya, membentuk manusia yang beradab, manusia yang mempunyai adab. Adab adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Hasil tertinggi dari adab ialah mengenal Allah SWT dan ‘meletakkan’-Nya di tempat-Nya yang wajar dengan melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap ihsan. Jika konsep adab ini diterapkan dalam masyarakat, maka akan terbentuklah satu peradaban yang dalam bahasa Melayu disebut ‘tamadun’, yang berbasiskan pada ‘ad-din’.
Madinah adalah kota dimana ”ad-Din” diaplikasikan.
Seorang dapat menjadi manusia beradab jika memiliki ilmu (knowledge) yang benar. Karena itulah, suatu pendidikan Islam pasti akan gagal mewujudkan tujuannya jika dibangun diatas konsep ilmu yang salah: yakni ilmu yang tidak mengantarkan seseorang kepada ketaqwaan dan kebahagiaan. Untuk itulah INSISTS berusaha turut andil dalam sebuah proses pembangunan peradaban Islam, dengan memulai menghidupkan tradisi ilmu Islam dalam masyarakat Islam.
Peradaban Islam memang peradaban terbuka, siap menerima unsur-unsur asing yang tidak bertentangan dengan pandangan hidup Islam ( Islamic worldview). Tetapi, INSISTS yakin, peradaban Islam hanya bisa berdiri tegak di
atas konsep pemikiran Islam ( Islamic thought ), dan diwujudkan oleh kaum Muslim sendiri.
Kiprah 5 Tahun
Cerita INSISTS bermula lima tahun lalu, Muharram 1424 H (tahun 2003), di Desa Segambut, Kuala Lumpur. Berawal dari diskusi-diskusi kecil para mahasiswa ISTAC asal Indonesia dan sejumlah dosen di sana. Ada Hamid Fahmy Zarkasyi, kyai Gontor yang belum lama lulus doktornya dari ISTAC. Ada Adnin Armas, mahasiswa ISTAC yang ketika itu baru saja menamatkan diskusinya dengan para aktivis liberal. Ada Dr. Ugi Suharto, pakar Ekonomi Islam alumnus ISTAC yang juga mengajar mata kuliah sejarah dan metodologi hadits di ISTAC. Ketika itu, Dr. Ugi juga baru saja merampungkan diskusi via email soal ” Al-Quran Edisi Kritis” dengan aktivis liberal, Taufik Adnan Amal. Dr. Ugi kini dipercaya sebagai ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah Cabang Malaysia. Ada lagi Syamsuddin Arif, yang juga sudah lulus doktor dari ISTAC dan masih menulis disertasi keduanya di Jerman. Ada lagi Dr. Anis Malik Thoha, alumnus Universitas Islam Internasional Islamabad Pakistan yang pakar di bidang Pluralisme Agama. Kini, Dr. Anis menjabat sebagai Ketua Departemen Perbandingan Agama di Universitas Islam Internasional Malaysia, disamping sebagai Rois Syuriah NU Malaysia. Masih ada sejumlah aktivis INSISTS yang kini sedang menyelesaikan disertasi doktornya di Kuala Lumpur, seperti Nirwan Syafrin dan Arifin Ismail.
Sebelum berangkat ke Malaysia, Januari 2003, untuk menempuh program PhD di ISTAC, saya sendiri sudah menulis buku ”Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya” (2002). Ketika menulis buku ini, fokus saya masih sebatas pada kritik terhadap Jaringan Islam Liberal (JIL). Setelah banyak berdiskusi di Kuala Lumpur, saya melihat fenomena yang jauh lebih ”mengerikan”. Dalam peta liberalisasi, JIL ternyata hanyalah sebuah lembaga pengecer ide-ide liberal. Di inilah, saya menemukan banyak gagasan dan suasana baru dalam pengkajian Islam. Banyak gagasan menarik yang belum pernah saya dengar sebelumnya.
Maka, kemudian, teman-teman sepakat untuk mulai menyebarkan pemikiran-pemikiran hasil diskusi terbatas di Kuala Lumpur. Berpikir besar, berbuatlah dari yang kecil! Sebagai mahasiswa yang hidupnya serba pas-pasan mulailah meluncurkan buletin INSISTS. Buletin dicetak hanya sekitar 150 eksemplar, dengan tebal 10 halaman. Uangnya urunan. Edisi perdana (Maret 2003/Muharram 1424 H) menurunkan tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi berjudul”Cengkeraman Barat dalam Pemikiran Islam”. Buletin ini kemudian diedarkan ke Indonesia. Infaq: Rp 2000. Edisi kedua (April 2003/Shafar 1424 H) menurunkan tulisan Syamsuddin Arif berjudul ”Jejak Kristen dalam
Islamic Studies”. Sementara itu, diskusi dua mingguan untuk para mahasiswa di Kuala Lumpur, jalan terus. Yang presentasi makalah, gantian.
Suatu saat, datanglah Pak Edi Setiawan, pemimpin penerbitan Khairul Bayan ke Kuala Lumpur. Kami ajak dia berkeliling kampus ISTAC, khususnya melihat-melihat perpustakaannya. Ketika itu terucap dari Pak Edi kalimat, ”Pantas kampus ini dibekukan.” Katanya, jika ISTAC dibiarkan berkembang, bukan tidak mungkin akan menjadi tantangan serius bagi hegemoni peradaban
Barat dalam bidang keilmuan.
Memang, ISTAC dirancang oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas untuk mencetak sarjana-sarjana Muslim yang tidak silau dengan peradaban Barat dan mampu menjawab tantangan keilmuan yang ditimbulkan oleh peradaban Barat. Untuk itu, al-Attas membangun kampus yang megah, indah, dengan perpustakaan kelas dunia. Bagi al-Attas, tantangan terberat yang dihadapi umat Islam – bahkan umat manusia – saat ini adalah hegemoni peradaban Barat, khususnya dalam bidang keilmuan. Karena itulah, sejak puluhan tahun al-Attas menjelaskan bahaya peradaban sekular Barat dan bagaimana umat Islam harus menghadapinya secara
intelektual.
Setelah melihat-lihat ISTAC dan berdiskusi intensif dengan teman-teman INSISTS, Pak Edi mendesak agar teman-teman INSISTS segera melakukan langkah yang nyata. Begitu balik ke Indonesia, Pak Edi kirim SMS, agar segera dibuatkan langkah nyata untuk melanjutkan misi INSISTS di Indonesia. ”Jika nunggu kalian pulang ke Indonesia untuk berbuat, sudah jadi apa Indonesia?” kata Pak Edi ketika itu.
Setelah diskusi berulang kali, diputuskanlah untuk menerbitkan majalah ISLAMIA. Naskah dan keredaksian disuplai oleh INSISTS. Seluruh redaksi bekerja secara sukarela. Urusan penerbitan dan pemasaran diserahkan kepada ahlinya. ISLAMIA sebenarnya sebuah jurnal ilmiah dalam bidang pemikiran Islam, yang diterbitkan dalam format majalah, untuk memudahkan pemasaran.
Edisi pertama ISLAMIA langsung menggebrak dunia pemikiran Islam di Indonesia dengan mengangkat tema ”Tafsir versus Hermeneutika”. Melalui majalah ini, INSISTS mengeluarkan sikapnya yang jelas dan tegas: menolak penggunaan metode hermeneutika untuk penafsiran al-Quran.
Kajian tentang hermeneutika di ISTAC sudah dilakukan sangat intensif. Sejumlah profesor didatangkan dari berbagai negara untuk mengajar soal hermeneutika dan tafsir. Prof. Al-Attas adalah ilmuwan Muslim kontemporer yang secara tegas membedakan antara Tafsir dan hermeneutika. Prof. Wan Mohd Nor, wakil al-Attas di ISTAC, dalam salah satu bukunya, menulis bahwa hermeneutika adalah gelombang ganas yang memukul pantai pemikiran keagamaan Islam di seluruh dunia. Hermeneutika adalah cara baru dalam memahami Kitab Suci al-Quran yang diambil dari kaedah dan pemikiran Barat. Dalam masalah hermeneutika ini, Prof. Wan bahkan tidak segan-segan untuk memberikan kritik terhadap gurunya sendiri di Chicago University, yakni Fazlur Rahman, meskipun tanpa mengurangi rasa hormatnya terhadap sumbangan Fazlur Rahman dalam aspek-aspek lain di bidang pemikiran Islam. Prof. Wan menekankan, bahwa Islam sudah mempunyai Ilmu Tafsir yang berbeda dengan hermeneutika. Secara terperinci, dijelaskan, bagaimana perbedaan antara Ilmu Tafsir al-Quran dengan tradisi hermeneutika yang berkembang dalam masyarakat Yunani, India, Yahudi, Kristen dan Barat modern.