• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOOK Ebenhaizer I Nuban Timo Gereja Lintas Agama Judul

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BOOK Ebenhaizer I Nuban Timo Gereja Lintas Agama Judul"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

GEREJA LINTAS AGAMA

Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan

Kekristenan di Asia

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

(2)

Katalog Dalam Terbitan

261

Tim Timo, Ebenhaizer I Nuban

g Gereja Lintas Agama :Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan Kekristenan di Asia / Ebenhaizer I Nuban Timo.-- .-- Salatiga : Satya Wacana University Press, 2013.

342p. ; 21 cm.

ISBN 978-979-8154-59-1

1. Christian sociology 2. Theology 3. Christianity and other religions 4. Church and social problems I. Title

Cetakan pertama: 2013 ISBN 978-979-8154-59-1

Setting/Layout : Adhisti Raras Putri © Ebenhaizer I Nuban Timo

All rights reserved. Save Exception stated by the law, no part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system of any nature, or transmitted in any form or by any means electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise, included a complete or partial transcription, without the prior written permission of the author, application for which should be addressed to author.

Diterbitkan oleh:

Satya Wacana University Press Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga

(3)

Gereja Lintas Agama i

GEREJA LINTAS AGAMA:

Sebuah Pengantar

Andreas A. Yewangoe

Inilah judul buku yang ditulis oleh Eben Nuban Timo. Tentu saja judul ini sangat “provokatif”. Gereja Lintas-Agama? Apa itu? Tentang gereja kita tahu. Atau merasa diri tahu. Berbagai defenisi telah dirumuskan guna mengartikulasikan secara persis apa yang dimaksud dengan gereja. Demikian juga dengan agama. Tetapi menyatukan gereja dan agama dalam pengertian “lintas” tentu saja sangat spesifik. Ini akan menyentuh pemahaman ekklesiologis kita selama ini. Apa persis yang mau dikatakan penulis?

Sebelum kita masuk ke sana, ada baiknya kita menegaskan (sekali lagi) bahwa defenisi tentang gereja sudah terlalu banyak dibuat. Baru-baru ini, Prof Dr. A. van den Beek mantan Guru Besar Teologi Sistimatika di Vrije Universiteit Amsterdam, menulis sebuah buku tebal berjudul, Licham en Geest van Christus, de Theologie van de Kerk en de Heilige Geest.1[Tubuh

dan Roh Kristus, Teologi Tentang Gereja dan Roh Kudus]. Dalam buku yang baru ini penulis berusaha mengaitkan Gereja dan Roh Kudus. Dengan tegas ia mengatakan, bahwa sesungguhnya gereja adalah

homoousios [sehakekat] dengan Roh Kudus, sama

(4)

seperti Kristus adalah homoousios [sehakekat] dengan Sang Bapa. Hal itu, menurut dia terungkap di dalam Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel. Kita tidak akan membahas pemahaman tersebut pada kesempatan ini. Yang saya mau katakan adalah, bahwa sudah dalam fasal-fasal pertama penulis merumuskan hakekat gereja tersebut. Ia merumuskannya sebagai berikut: “Gereja adalah persekutuan manusia yang tidak lagi tergolong pada dirinya sendiri, melainkan pada Kristus. Identitasnya ditemukan di dalam Dia. Gereja tidak lagi tergolong pada kenyataan dunia ini, tetapi kepada kenyataan eskatologis Kristus. Maka karena itu mereka terasing dari dunia. Keberadaan hakikatnya adalah pada kehidupan kekal. Hal itu dirayakannya dalam Perjamuan Kudus sebagai jalan dari kebakaan (ketidakmatian). Melalui baptisan, orang-orang percaya diangkat kedalam persekutuan ini dan dengan demikian juga mematikan kehidupan lama.2

2 Aslinya dalam bahasa Belanda: “De kerk is de gemeenschap

(5)

Gereja Lintas Agama iii

Dari rumusan ini saja sudah sangat jelas bahwa bagi A. van den Beek, gereja adalah suatu persekutuan khusus yang tidak mungkin disamakan dengan persekutuan-persekutuan lain. Artinya juga tidak ada analogi persekutuan gereja dengan persekutuan-persekutuan lain. Sebagai demikian, tidak mungkin di satukan. Apakah gereja termasuk pada kategori agama? Ini juga bukan persoalan mudah, kendati secara sosiologis sebuah persekutuan gerejawi mempunyai ciri-ciri sosiologis. Bahwa mereka yang bersekutu dalam persekutuan ini hidup dalam sebuah masyarakat (yang dalam banyak hal juga majemuk), tidak bisa mengabaikan watak sosiologis ini yang dalam banyak hal mengungkapkan diri dalam agama. Namun demikian, secara teologis, inilah salah satu pertanyaan yang tidak habis-habisnya dibahas. Karl Barth3misalnya segan memasukkan kekristenan (atau

mungkin lebih tepat: Injil) ke dalam kategori agama. Ia konsisten dengan pandangannya, bahwa sesungguhnya agama adalah ketidakpercayaan (Religion ist Unglaube). Memang sering ada salah faham terhadap pandangan ini, seakan-akan Barth hendak bersikap bermusuhan terhadap agama-agama. Tidak demikian.

opkom uit die skeping nie, maar uit die nuwe skeping.”[dari bahasa Afrikaans: Gereja adalah satu-satunya persekutuan, yang sebagai persekutuan tidak berasal dari ciptaan, melainkan dari ciptaan baru] A.van den Beek, p.13.

3 Tentang pandangan Karl Barth sudah terlalu banyak

(6)

Barth sesungguhnya skeptis terhadap berbagai usaha yang dilakukan manusia untuk menggapai Allah dengan usahanya sendiri. Pada hal Allah itu tidak terjangkau. “Gott ist im Himmel und du bist auf die Erde”.[Allah ada di surga, dan anda ada di bumi]. Tidak terjembatani. Manusia juga tidak mungkin membuat jembatan itu, kendati agama-agama mencobanya. Hanya ada satu jalan menggapai Allah, apabila Allah sendiri meraih manusia. Itulah yang disebut anugerah. Maka ketidakpercayaan yang dimaksud adalah ketidapercayaan terhadap anugerah itu.4

Lalu apa fasal? Tentu saja lalu menjadi tidak mudah membaca judul yang dikemukakan Eben ini. Eben mencoba menyoroti persoalan ini dengan bertolak dari konteks Asia. Kalau agama adalah ketidakpercayaan, bagaimana mungkin kita bisa berbicara mengenai gereja lintas-agama? Di sinilah, menurut saya kita harus membaca secara teliti alasan-alasan Eben memakai judul ini. Pertanyaan mendasar adalah, dalam perkembangan masyarakat yang begitu cepat dewasa ini, masihkah tepat untuk mempertahankan pemahaman klasik tentang gereja? Tidak dapatkah pemahaman tentang gereja bergeser dari yang klasik yang sulit difahami, ke arah yang bukan saja lebih difahami, tetapi juga lebih

4 Uraian yang sangat bagus mengenai pandangan Barth ini

(7)

Gereja Lintas Agama v

“manusiawi”? Yang dimaksud dengan ini adalah kemampuan gereja menyapa manusia dalam “bahasa-bahasa” yang difahami manusia. Bukankah slogan gereja-gereja reformasi sendiri bahwa, ecclesia reformata semper reformanda est? Lebih-lebih lagi gereja-gereja di Asia yang hanya menduduki 2% dari seluruh penduduk Asia, dan yang sangat “ditentukan” oleh keberagamaan yang multi-wajah (multifaceted religiosity), dan kemiskinan yang meliputi semuanya (overwhelming poverty), pantaskah gereja tetap berada di dalam ghettonya, dengan mengunyah-ngunyah pemahaman ekklesiologi klasiknya, namun tidak dirasakan kehadirannya? Pertanyaan-pertanyaan inilah, dan tentu saja masih banyak yang lain, yang mendorong Eben menulis buku ini. Tentu saja sebagai obyek iman,pengakuan tentang gereja sebagai Tubuh Kristus tidak pernah berubah. Tetapi Tubuh Kristus ini dihidupi setiap kali dalam konteks yang selalu berubah. Maka sama seperti Allah sendiri berinkarnasi, demikian juga hendaknya Tubuh itu selalu berinkarnasi.

(8)

dirasakan sebagai kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi tetapi juga orang Yunani (Rm. 1:16). Hal itu dilihatnya sebagai sesuatu yang mendesak, kendati mestilah merupakan sebuah ekklesia yang bijaksana. Termasuk dalam tuntutan bijaksana ini adalah, ketika kita tidak harus menolak seluruh kepribadian, budaya, sejarah dan lapisan keagamaan kita. Karena Allah adalah Allah yang berwarna, maka faham tentang gereja juga haruslah berwarna.

(9)

Gereja Lintas Agama vii

jangan pernah berhenti bergumul. Di sinilah menurut saya pentingnya buku ini. Selamat membaca.

(10)

Nenekku bercerita…

Permusuhan antara penduduk kampung Baki dan Boki makin hari makin tajam. Orang-orang dari dua kampung itu bukan hanya saling menjelekkan dan menghina. Kekerasan fisik pun sudah sering terjadi. Tempat-tempat pertemuan umum, seperti pasar, pesta atau ruang publik lainnya sering menjadi pentas saling mencela. Orang-orang dari kampung kedua belah pihak sudah tidak merasa nyaman lagi jika mereka berada di luar daerahnya sendiri.

Asal muasal dari ketegangan ini berpangkal dari seorang pemuda dari kampung Boki jatuh cinta pada seorang anak gadis dari desa tetangga. Perasaan cinta terhadap si gadis juga tumbuh dalam hati pemuda lain dari kampung Baki dalam sebuah pesta. Masing-masing pihak hendak menikahinya. Persaingan di antara keduanya meroket menjadi permusuhan. Dalam sebuah adu fisik antara keduanya, yang dipicu hanya karena masalah belanjaan di pasar, laki-laki dari kampung Baki ditebas dengan golok sampai mati oleh lawannya dari kampung Baki.

(11)

Gereja Lintas Agama ix

Peristiwa ini sendiri sudah berlangsung lama. Tetapi karena terus-terusan diceritakan dari generasi ke generasi maka telah menjadi semacam ingatan kolektif. Tindakan menyerang penduduk kampung musuh dianggap simbol heroik, aksi kepahlawanan dalam rangka menegakkan martabat kampung, apalagi jika yang berhasil dibunuh adalah kepala kampungnya. Adegan balas dendam inilah yang sekarang diperagakan lagi secara baru. Sore itu, sebagaimana biasa tua adat dari kampung Boki menemukan dirinya berada dalam perjalanan menuju sungai kecil diperbatasan kampung. Ia pergi untuk mandi. Sementara itu, tua adat dari kampung Baki sudah lama bersembunyi di balik semak. Ia sedang menunggu tua adat dari kampung Boki. Sesuai rencana ia akan menghabisi hidup tua adat dari kampung Boki. Ini pembalasan dendam terkini yang ada dilaksanakan demi memperlihatkan superioritas atau keunggulan kampungnya. Sudah lebih dari empat bulan dia menyebar mata-mata untuk mengamati kebiasaan tua adat orang Boki. Tiap akhir pekan, tua adat kampung Boki turun ke sungai untuk mandi.

(12)

Tua adat kampung Boki tiba di tempat permandiannya. Dia melepaskan pakaian dari tubuhnya. Dari antara semak-semak, tua adat kampung Baki mulai menyiapkan busur dan anak panah. Baru saja kaki tua adat kampung Boki hendak merapat ke air, dia terjatuh karena sebuah serangan. Sebuah anak panah menancap di tulang rusuk sebelah kiri.

Darah segar mengalir deras ke tanah dari luka yang dibuat anak panah. Air di sungai itu mulai bercampur darah. Tua adat kampung Boki menjerit kesakitan. Tua adat kampung Baki melangkah keluar dari persembunyiannya. Ia bertolak pinggang tepat di depan musuh yang sudah terkulai.

(13)

Gereja Lintas Agama xi

Tua adat kampung Baki memenggal kepalanya untuk dibawa pulang ke kampung mereka agar diadakan pesta sebagaimana layaknya kebiasaan perang yang mereka kenal. Anak buah tua adat yang ikut dalam penyerangan itu mengambil juga pakaian tua adat Boki ke kampung mereka.

Pada hari yang sudah ditentukan berkumpullah semua warga kampung Baki untuk merayakan kemenangan itu. Salah satu acara yang harus dilalui adalah memperlihatkan barang-barang rampasan korban. Betapa terkejutnya tua adat kampung Baki melihat kalung perak berbentuk lingkaran yang ada di tumpukan pakaian musuhnya.

Mata tua adat kampung Baki terbelalak melihat benda itu. Pandangannya terpaku pada kalung perak yang ada di antara kumpulan pakaian musuh yang telah dia bunuh dengan tangannya sendiri.

“Diam! Hentikan semua keributan.” Katanya kepada semua warganya. “Bawa kemari kalung perak itu.” Begitu perintah tua adat Baki kepada orang-orangnya. Kalung perak kelihatannya aneh. Bentuknya hanya setengah lingkaran, tetapi seperti dibagi dua secara paksa, karena guratan bekas robekan itu bergerigi. Lekukan-lekukan pada kalung itu menarik perhatiannya.

(14)

Hal pertama yang segera muncul dalam benaknya adalah cerita masa kecilnya. Ia lalu memanggil orang-orangnya yang menghadiri perayaan kemenangan itu berkumpul di dekatnya.

“Dengarlah, seluruh rakyatku. Ada sesuatu yang aku ingin katakan kepada kamu tentang benda ini. Kalung perang itu mengingatkan aku kepada masa kecilku, kira-kira 60-an tahun lalu. Nenekku yang adalah kepala suku kita biasa membawa kami ke dalam buaian malam untuk tidur dengan mengisahkan cerita-cerita, entahkah dongeng atau pun cerita-cerita kepahlawanan.

Neneknya pernah bercerita tentang dua orang bersaudara Baki dan Boki. Mereka kembar. Mereka hidup rukun di rumah kedua orang tuanya. Suka dan duka mereka bagi bersama. Seiring berjalannya waktu Baki dan Boki bertumbuh besar dan menjadi dewasa. Keduanya kemudian sepakat untuk berpisah dan masing-masing membentuk koloni sendiri. Baki ke arah Timur sedangkan Boki ke arah Barat. Niat ini disampaikan kepada kedua orang tua mereka.

(15)

Gereja Lintas Agama xiii

jadi dua. Bentuknya sekarang bukan lagi bulat tetapi setengah lingkaran, tentu saja pecahan yang terjadi waktu dibelah dua itu berlekuk-lekuk.

Sehari sebelum saat keberangkatan tiba, Baki dan Boki dikumpulkan oleh kedua orang tuanya. Mereka dinasehati untuk menjaga nama baik keluarga di negeri perantauan dan tentu saja untuk tetap menjaga persaudaraan di antara mereka. Si ibu kemudian mengambil kalung keluarga yang sudah dibelah dua. Baki mendapat potongan yang satu, Boki potongan lainnya.

Sebelum kalung itu digantungkan di leher kedua anaknya si ibu memesankan hal ini. Masing-masing kamu harus menjaga kalung ini dengan baik. Ini tanda persaudaraan kamu. Kalau nanti kamu bertemu kembali dan karena berbagai hal yang kamu alami selama berpisah sehingga kamu tidak lagi saling kenal, kalung ini bisa kamu pakai sebagai pembukti persaudaraan kamu. Baki harus mencocokan kalungnya dengan yang dipakai Boki. Jika lekukan kedua potongan itu cocok dan keduanya membentuk lingkaran penuh, itulah pembuktian paling otentik dari persaudaraan kamu berdua.

(16)

dan juga potongan kalung tadi juga mereka teruskan kepada anak-anak dan cucu masing-masing.”

Tua adat dari kampung Baki tersentak dari lamunan panjang, waktu istrinya merebut kalung itu dari tangannya sambil berkata: “Panggil si Afra, tukang perak kita. Biarkan dia menempa kalung ini bersama-sama dengan kalung lain yang ada padaku menjadi anting-anting untukku.”

“Betul! Kau benar, istriku. Kau membuatku ingat hal kedua yang bersangkut paut dengan kalung ini. Ayo. Aku juga menyimpan sebuah kalung perak yang sama. Cepat ambil kalung milik kita.” Si istri bergegas menjemput kalung itu di kamar.

Tua adat kampung Baki segera meraih kalung perak tadi. Betapa hatinya gula dan emosinya meledak. Kalung itu adalah separuh dari kalung yang dipakainya. Pesta kemenangan segera berubah jadi pertemuan perkabungan. Semua orang memukul diri dengan penyesalan yang dalam. Mereka sadar bahwa persaingan, percekcokan, permusuhan dan bahkan pertumpahan darah yang selama ini dilakukan oleh penduduk kedua kampung itu sangat memalukan. Dua kampung itu sebenarnya adalah bersaudara kembar.

(17)

Gereja Lintas Agama xv

(18)

KATA PENGANTAR

“Gereja adalah satu dari beberapa institusi sosial yang paling sulit melakukan perubahan baik perubahan diri maupun perubahan cara kehadirannya dalam masyarakat. Jadi pak harus siap diri sungguh-sungguh untuk dicerca. Paling minim dituduh sebagai penyebar ajaran sesat atau anti-kristus.” Ini komentar dari seorang sahabat waktu ide penulisan buku ini saya ceritakan kepadanya.

“Sikap anti-perubahan itu gereja tunjukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang paling efektif yang dilakukan gereja ialah memenjarakan Allah dengan menggunakan ayat-ayat Allah.

Barangsiapa mencoba untuk mengeluarkan Allah dari kurungan ayat-ayat yang sudah dirakit gereja akan diserang habis-habisan betapapun upayanya itu sejalan dengan kedirian Allah yang oleh Alkitab disaksikan sebagai pribadi yang bebas. Martin Luther mengalami hal itu. Ia dikucilkan dan kemudian dipecat dari kekedudukannya sebagai imam.”

(19)

Gereja Lintas Agama xvii

dengan berbagai cara, dikutuk dan ditolak. Berabad-abad setelah itu menjadi nyata bahwa banyak dari perubahan yang mereka tawarkan itu ternyata berguna untuk membuat kehadiran gereja tetap relevan bagi masyarakat.5

Kutipan ini tidak kami maksudkan untuk menempatkan diri sebagai salah satu dari innovator

gereja. Kami toh bukan innovator itu. Kami hanya memperkenalkan pikiran para tokoh (teolog) yang benar-benar baru. Para pemikir itulah yang adalah

innovator. Yang mau kami tunjukkan dengan kutipan ini ialah kami siap menerima berbagai cercaan dan cemooh karena meneriakkan gagasan-gagasan yang mengejutkan dari para innovator itu.

Para innovator yang pikirannya akan kami angkat untuk dikaji dalam buku ini adalah Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe, Pdt. Dr. Gerrit E Singgih, Choan-seng Song, Nabeel T. Jabbour dan Pastor Raimundo Panikkar. Tiga orang dari para pemikir tadi (AAY, GES dan NTJ) telah kami kabari. Mereka bahkan sudah membaca ulasan kami terhadap pikiran mereka dan menyatakan persetujuannya.6 Latar

5 Hans Kung. Theology for the Third Millennium. New

York – London: Anchor Book Doubleday. 1988, hlm 127.

6 Diskusi penulis dengan Nabeel T. Jabbour yang sekarang

(20)

belakang pemikiran yang mendasari pilihan kami terhadap tokoh-tokoh ini kami kemukaan dalam batang tubuh pembahasan kami.

Jelasnya buku ini kami siapkan dengan kesadaran akan ancaman di atas. Betapapun begitu kami memberanikan diri untuk melanjutkan rencana itu. Ini karena kami setuju dengan prinsip reformatoris: “ecclesiam reformata semper reformanda.” Hal serupa juga ditegaskan oleh Paus Yohanes XXIII (1958) yang menyerukan gereja untuk melakukan apa yang dia sebut aggiornare: meng-hari-ini-kan dirinya.7 Dalam upaya ke arah itu, Tom Jacobs

mengatakan pentignya gereja melakukan sebuah gerakan rangkap: memahami diri secara baru supaya bisa menghadirkan diri secara baru.8

Adalah penting bagi gereja untuk memahami diri secara baru supaya dapat menghadirkan diri secara baru. Atau gereja perlu meng-hari-ini-kan dirinya. Untuk konteks Asia dan secara khusus Indonesia peng-hari-ini-an diri gereja perlu mempertimbangkan dengan serius realita kemasyarakatan yang dicirikan

semua naskah ini. Usai membaca naskah ini Pdt. Yewangoe memberi komentar berikut: “pak Pdt. teruslah menulis. Kita masih kekurangan buku-buku yang berkualitas.”

7 B.S. Mardiatmadja, SJ. “Gagasan-Gagasan Dogmatic.”

Dalam: Persetia. 1989. Himpunan Bahan Study Institute Tentang Dogmatika Tanggal 9-22 Juli 1989., hlm. 65.

8 Tom Jacobs. Gereja Menurut Vatikan II. Yogyakarta:

(21)

Gereja Lintas Agama xix

oleh kepelbagaian agama dengan nota bene orang Kristen adalah kaum minoritas dan kemiskinan.9

Tentu akan ada pro-kontra terhadap buku ini. Juga ada banyak kekurangan dan kelemahan. Kami tidak menafikan hal itu. Sambil mempersembahkan buku ini kepada pembaca yang lebih luas, kami berharap ada masukan yang berguna demi perbaikan dan penyempurnaannya.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada istri dan kedua anak kami. Mereka adalah seumpama malaikat-malaikat yang menyiapkan pertolongan dalam jumlah yang tak bernilai harganya. Komentar-komentar mereka setelah membaca naskah awal buku ini, juga kesediaan mereka untuk ikut memperjelas perumusan kalimat dan perbaikan pengetikan memberi cita rasa yang sejuk bagi lahirnya buku ini. Ucapan terima kasih juga kepada ayah dan ketujuh saudara bersama dengan partner masing-masing dan para keponakan kami, laki-laki dan perempuan. Perhatian, kasih dan doa mereka untuk kami di rantau menjadi motivasi bagi kami untuk terus membaca dan menulis. Ibarat seorang pelari di arena, sayalah atlik yang berlari sambil membawa obor, tetapi merekalah yang menyalakan obor itu.

Diskusi-diskusi yang menggairahkan di kelas kuliah Magister Sosiologi Agama UKSW 2012-2013 dalam matakuliah Tema-Tema Teologi Asia dan

9 A.A. Yewangoe. Theologia Crusis di Asia. Jakarta: BPK

(22)

Teologi-Teologi Pembebasan yang saya ampu adalah seumpama lahan yang menyuburkan bertumbuhnya buku ini. Peserta kuliah itu ibarat dua murid di jalan ke Emaus. Saya hanyalah orang asing yang tiba-tiba masuk dalam ruang diskusi mereka. Pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan merekalah yang mendorong saya melakukan diagnosa terhadap isi kitab suci sambil membolak-balik buku-buku berisi pemikiran para innovator tadi.

Kesediaan Pdt. Dr. A.A. Yewangoe dan Pdt. Dr. Gerrit E. Singgih, masing-masing dengan kepakaran yang dibingkai juga dengan kerendahan hati dan kejujuran intelektual, untuk memeriksa naskah buku ini, bukan hanya yang berhubungan dengan pikiran mereka, tetapi juga keseluruhan isi buku ini sangat membesarkan hati saya.

(23)

Gereja Lintas Agama xxi

DAFTAR ISI

i Kata Pengantar Pdt. Dr. A.A. Yewangoe vii Nenekku Bercerita…

xvi Kata Pengantar xxi Daftar Isi

1 Pendahuluan

4 Pandangan Klasik Tentang Gereja

13 Suara-Suara Kritis dari Saudara di Agama Seberang

15 Suara-Suara Kritis dari Saudara-Saudara Sendiri 18 Rekonstruksi Eklesiologi

19 Hipotesa Kerja Eklesiologi Baru 28 Sistematika Pembahasan

Bab I

Gereja Jangan Meng-Ghetto (Andreas A. Yewangoe) 31 Pendahuluan

33 Biodata dan Konteks Berteologi 38 Keyakinan Iman Yewangoe

46 Hakikat Penginjilan atau Misi Kristen 48 Praktek Misi

(24)

Bab II

Menguak Isolasi Menjalin Relasi (Emanuel Gerrit Singgih) 77 Pengantar

79 Biodata dan Karya

83 Lima Persoalan Pokok Indonesia 87 Eklesiologi Kontekstual Indonesia 89 Pekabaran Injil

92 Re-interpretasi Matius 28:18-20 Untuk Konteks Indonesia

101 Penginjilan Sebagai Kegiatan Belajar-Mengajar 104 Agama Bukan Kewajiban tetapi Kebebesan Hati

Nurani

110 Gereja Tanpa Dinding 118 Kesimpulan dan Penutup

Bab III

Allah Juga Bergerak Berbelok-Belok (Choan-seng Song)

121 Pengantar

121 Biografi dan Karya-Karya Song 124 Misi atau Pekabaran Injil

131 Allah Sejarah Tuhan Bangsa-Bangsa

136 Gerakan Garis Lurus dan Gerakan Berbelok-Belok dari Allah

142 Kristus Melintasi Batas-Batas Agama 148 Transposisi Pemahaman Tentang Gereja 157 Transposisi Misi Kristen di Asia

(25)

Gereja Lintas Agama xxiii

Bab IV

Gereja di Antara Salib dan Bulan Sabit (Nabeel T. Jabbour)

175 Biodata dan Konteks Berteologi 182 Orang Muslim dan Dunianya

192 Apakah Injil Juga Adalah Kabar Sukacita Kepada Orang Muslim?

194 Misionaris Yang Perlu Bertobat

202 Etnosentrisitas versus Tinggal di Antara Bangsa-Bangsa

209 Plus-Minus Tiga Pola Hidup Umat Allah 212 Pemberitaan Nabi-Nabi Adab ke-8 SM

215 Penginjilan Evangelisme dan Penginjilan Relasional

223 Alkitab Tentang Penginjilan Relasional 227 Ekklesia Tersembunyi dan Gereja Kasat Mata 234 Kesimpulan dan Penutup

Bab V

Kristus yang Tak Dikenal dari Hinduisme (Raimundo Panikkar)

237 Pengantar

241 Biografi dan Konteks Berteologi Raimundo Panikkar

(26)

277 Perpindahan dari Hinduisme kepada Kekristenan

281 Kesimpulan dan Penutup

Bab VI

Pokok-Pokok Teologis Yang Mengemuka 285 Pengantar

285 Mengeluarkan Gereja dari Ghetto

293 Membaharui Paham tentang Jatidiri dan Kehadiran Gereja

304 Rekonsiderasi Arti Pertobatan 308 Hakikat Baptisan Sebagai Sakramen 317 Dialog Sebagai Misi

327 Penutup 336 Daftar Pustaka

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, dogmatika sebagaimana kami nyatakan melalui pemberian judul untuk tiap buku dari trilogi ini tidak lagi adalah karya dari umat yang berada dalam perjalanan

Berpartisipasi aktif dalam karya pendamaian Allah yang sudah diwujudkan di dalam Yesus Kristus artinya manusia ditarik masuk dalam Israel dan gereja yang

Dari pada menyuruh mereka menghapus memori tadi, suatu hal yang tidak mungkin dan tidak akan pernah berhasil, 76 gereja perlu membimbing mereka untuk menyatukan

Penolakan Abraham untuk menyuruh Lazarus yang sudah mati menjumpai lima saudaranya yang masih hidup sesuai permintaan orang kaya dengan alasan pada mereka ada

Tujuan dari karya-karya Allah dalam sejarah, seperti sudah berkali-kali kami tegaskan adalah menjadikan diriNya sekutu manusia dan memanggil manusia untuk hidup

Penulis artikcl ini bertolak dari komentar lcpas mengenai kaurn awam di dalam Gereja yang tidak mencntu. Untuk menjernihkan konsep awam sebagai warga Gereja, ia menggambarkan

Ruang publik politik dan civil society merupakan ruang dan wahana strategis bagi partisipasi politik gereja dalam keberpihakan kepada masyarakat di hadapan kekuasaan politik

Keterbatasan manusia dan keraguannya akan kebaikan Allah kerap kali membuat manusia jatuh dalam dosa. Dosa mengakibatkan hubungan manusia dengan Allah menjadi terputus, tetapi