• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOOK Ebenhaizer I Nuban Timo Gereja Lintas Agama BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BOOK Ebenhaizer I Nuban Timo Gereja Lintas Agama BAB IV"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

Gereja dari Salib dan Bulan Sabit

Nabeel T. Jabbour

Biodata dan Konteks Berteologi

Nabeel T. Jabbour adalah seorang teolog Kristen asal Siria dan dibesarkan di Lebanon. Lebih dari 15 tahun ia tinggal di Kairo untuk menyelesaikan studi doktor di bidang Islam. Sejak 1997 ia dan keluarganya tingga di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas kota Colorado Springs Amerika Serikat. Ia memberi kuliah tentang Islam and Current Events di tiga seminari Amerika Serikat dan satu di Kanada. Dia menulis tiga buku dalam bahasa Arab dan empat dalam bahasa Inggris: Unshackled and Growing, Muslims and Christians on The Journey to Freedom,

The Rumbling Volcano on Islamic Fundamentalism

and The Unseen Reality on Spiritual Warfare.

Bukunya yang terakhir dan yang akan kita dalami adalah The Crescent Through the Eyes of The Cross on the Muslims' worldview. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Pionir Jakarta (2010).

(2)

eklesiolgi yang ditawarkan Nabeel Jabbour sebagai kontribusinya bagi pembaharuan kehidupan mengereja dalam konteks masyarakat multi agama.

Ada tiga alasan pilihan jatuh kepada Nabeel Jabbour dalam menjajaki jawaban terhadap pertanyaan utama dalam buku ini. Pertama, sebagai yang lahir dalam keluarga Kristen dan menjalani hampir separuh usia hidupnya di lingkungan Islam (Syiria, Libanon dan Mesir) lewat mana ia bersekolah, bermain dan berolah raga bersama dengan banyak sahabat muslim semasa kecil sampai menyelesaikan program doktornya, Nabeel Jabbour, seperti pengakuannya sendiri, dia memahami Islam dari dalam, yakni melihat Islam dari mata orang Islam.1 Jelasnya, teologi

yang dikerjakan Jabbour berakar pada otobiografinya.

1 Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit Melalui Mata Salib.

(3)

Orang-orang Islam, kata Nabeel Jabbour, sangat loyal dan bangga akan agama, keluarga dan peradaban mereka. Keluarga dan agama bagi mereka adalah lingkungan yang memberi mereka akar, identitas dan otensitas. Kalau mereka tertarik pada pengajaran Yesus dan nilai-nilai dalam Injil itu adalah untuk memperluas sekaligus memperkuat akar keberadaan, identitas dan otensitas mereka untuk memiliki karakter global. Karena itu kepada teman-teman Kristen mereka berkali-kali mengingatkan agar dalam persahabatan tidak boleh ada upaya saling mentobatkan, dalam arti pemaksaan pindah agama. Jika ada niat ke arah itu biasanya orang muslim akan segera mengakhiri persahabatan.2

Mengenal orang Islam dari dalam kami anggap penting dalam upaya menjajaki jawaban atas pertanyaan yang kita geluti, sebab pengenalan itu menolong kita untuk memberitakan Yesus Kristus dan memperlihatkan Injil dalam cara yang dapat diterima oleh saudara kita dari agama yang lain, sekaligus menjadikan Yesus Kristus dan Injil sebagai penggenapan atau jawaban dari pertanyaan-pertanyaan atau kebutuhan-kebutuhan esensial dalam penghayatan religius mereka.

tadi, kami membatasi hanya dua footnote dari buku yang sama pada satu halaman. Rujukan lainnya kami taruh dalam tanda kurung di isi tulisan bertuliskan Sabit-Salib dan nomer halaman buku.

(4)

Perkenankan kami menjelaskan hal ini dengan contoh berikut. Supaya dokter bisa memberikan obat yang tepat dan berkhasiat menyembukan penyakit pasiennya, dokter harus lebih dulu menggali informasi dari pasien tentang penyakitnya dan memeriksa keadaan pasien dengan peralatan-peralatan medis yang dibutuhkan. Tanpa melakukan itu, bisa saja dokter memberikan balsam penyembuh eksim untuk pasien yang mengeluh sakit gigi.

Buah pikiran Nabeel Jabbour sebagaimana yang dituangkan dalam tulisan-tulisannya menunjukkan dengan jelas bahwa selama ini gereja memberitakan Kristus dan memperlihatkan Injil kepada saudara-saudara Muslim dan menuntut mereka untuk beralih dari agamanya, tetapi tidak menurut cara yang patut dilakukan dokter terhadap pasiennya. Akibatnya, banyak orang muslim mengaku bingung dan sama sekali tidak memahami pesan Kristen itu. Kita akan melihat hal itu dalam uraian di bagian-bagian selanjutnya.

(5)

yang selama ini dijadikan standar bagi kehidupan orang Kristen.

Jelasnya model hermeneutik yang dipakai Nabeel Jabbour adalah hermenutik dari perspektif pendengar dan bukan dari perspektif pemberita. Hermenutik ini dinamakan oleh Bert Altena model empiris –induktif sebagai lawan dari model

normatif-deduktif.3 Hermeneutik model empiris-induktif

mengandaikan pekerjaan refeksi terhadap iman sebagai sebuah ziarah ke dalam tiga dunia: dunia realita yang penuh dengan pertanyaan dan masalah-masalah, selanjutnya masuk ke dalam dunia kitab suci atau teks untuk belajar dari pengalaman orang-orang percaya pada masa lalu dalam nenggumuli masalah hidupnya dalam iman kepada Tuhan, dan akhirnya kembali lagi ke dunia realita dengan membawa pencerahan dari hasil belajar itu untuk menyikapi masalah atau pertanyaan secara baru.4

Dengan cara ini Alkitab dijadikan sebagai kitab yang terbuka di tengah-tengah kehidupan orang percaya yang sarat dengan berbagai masalah dan pertanyaan (konteks) sehingga terjadi dialog yang dialektis antara kedua belah pihak: teks dan konteks.

3 Bert Altena. Wolken gaan voorbij. Een homiletisch

onderzoek naar mogelijkheden voor de preek in een postmodern klimaat. Zoetemeer: Boekencentrum. 2003. hlm. 59-62.

4 Ebenhaizer Nuban Timo. Apa dan Bagaimana Berteologi.

(6)

Model hermeneutik ini berbeda dengan model normatif-deduktif di mana Alkitab dianggap sebagai kitab yang tertutup, berisi kebenaran-kebenaran yang final dan absolut dan tinggal diterapkan begitu saja dalam konteks. Terjadi semacam pemaksaan teks kepada konteks. Ini hermeneutik satu arah, hermeneutik garis lurus dari dunia kudus ke dunia

berdosa. Nabeel Jabbour memperlihatkan

kepiawaiannya mengeksplorasi makna teks-teks Alkitab secara baru dan penuh daya eksplosif yang mengejutkan karena hermeneutik.

Urgensi ketiga Nabeel Jabbour berhubungan dengan masalah relasi dunia Barat dan dunia Timur yang diasosiasikan dengan Kristen versus Islam. Peristiwa 11 September 2001, yakni penyerangan terhadap menara kembar di Amerika oleh sekelompok orang berlatar belakang muslim telah merobek dunia dalam dua kelompok: kita yang beradab dengan nota bene orang Kristen dan mereka yang Muslim adalah orang-orang asing, kelompok yang melahirkan para teroris, jadi sasaran kebencian dan permusuhan.5 Kita

ingat misalnya pidato presiden Amerika Serikat Bush Junior mengajak dunia untuk berdiri dipihaknya untuk melawan terorisme. Dalam pidato itu ia menggunakan ungkapan crusade (perang salib) sebagai perang melawan terror.6

5 Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit... hlm. 27.

(7)

Robeknya dunia dalam dua belahan ini makin memperburuk hubungan dua umat beragama: Islam dan Kristen yang memang sudah sarat dengan beban masa lalu yang masih belum selesai dicerna. Orang Kristen mudah sekali mencap dedikasi orang muslim sebagai ekstrimis, penyerahan hidup orang muslim kepada Allah sebagai terorisme, pandangan hidup mereka sebagai fanatisme dan banyak lagi stereo type negatif. Orang muslim bukan hanya dicap negatif, tetapi juga ditakuti.

Nabeel Jabbour menganggap cap-cap negatif ini dan rasa takut itu terburu-buru. Kalau itu tidak dihentikan akan mempersulit relasi kedua agama ini. Nabeel Jabbour percaya, seperti juga yang ditegaskan Rahner bahwa dunia yang damai akan sulit dibangun selama masih ada sikap saling curiga bahkan permusuhan antara para pemeluk agama.7 Nabeel

Jabbour berjuang untuk mempertemukan umat dari kedua agama ini. Ia bercita-cita membangun jembatan penghubungan bukan tembok pemisah antara kedua komunitas agama tadi. Mereka tidak boleh terus tinggal dalam sangkar agama masing-masing. Sikap terbuka untuk saling belajar dan memahami adalah penting.

7 Dikutip dari Rikard Kristian Sarang. “Dialog antar Agama

(8)

Ada dua keuntungan yang diperoleh jika mereka saling terbuka dan menerima. Pertama, orang Kristen dapat menyampaikan pesan-pesan injil secara efektif atau dapat dipahami orang Muslim. Kedua, orang Kristen memperoleh kesempatan memurnikan pemahaman tentang Injil dan membaharui cara hidup sesuai dengan Injil. Dengan kata lain orang Kristen harus bertobat dan membaharui diri supaya bisa hadir secara baru (Sabit-Salib: 106). Buku Nabeel Jabbour yang akan kitab bahas ini ditulis dengan maksud tadi.8

Orang Muslim dan Dunianya

Sama seperti manusia pada umumnya, orang muslim adalah makhluk yang menginginkan penerimaan, penghargaan dan persaudaraan. Mereka juga adalah orang-orang yang bangga terhadap agamanya dan warisan-warisan islami. Agama dan warisan itu merupakan sumber pembentukan jatidiri sekaligus teropong melalui mana mereka melihat dan memahami dunia dan agama lain. Orang Kristen harus belajar mengenal orang Muslim dan dunianya secara benar, yakni dari dalam, jika dia mau memberitakan Injil kepada mereka.

Pengalaman bertumbuh dan bergaul dalam dunia islam selama lebih dari 40 tahun sehingga mengenal Islam dari dalam, Nabeel Jabbour mencatat beberapa profil orang Muslim. Pertama, orang Muslim

(9)

adalah manusia, sesama kita. Mereka bukan orang-orang kasar, jahat, kafir dan tak bertuhan. Mereka hidup dalam hubungan-hubungan sosial yang kuat dan memperkembangkan simbol-simbol dan bahasa khusus untuk memaknai hidup dan dunianya. Mereka bangga akan keluarganya, negaranya dan agamanya (Sabit-salib: 37). Mereka bukan makhluk dari planet yang berbeda sehingga patut dicurigai, ditakuti dan kemudian dikucilkan.

Orang Muslim adalah orang-orang yang peka terhadap berbagai perlakuan dan siap juga memberi tanggapan terhadap perlakuan-perlakuan itu. Mereka sangat menghargai perlakuan-perlakuan manusiawi, akrab dan bersahabat dari orang yang berbeda keyakinannya, terutama Kristen dan siap untuk memberi respons yang sama. Mereka akan menerima orang lain yang menerima mereka berdasarkan kasih. Sebaliknya, orang-orang yang menolak mereka dan agamanya juga akan mereka tolak. Bahkan mereka tidak segan-segan melakukan perlawanan bahkan siap membela diri dan membalas serangan yang ditujukan kepada diri, agama dan iman mereka (Sabit-Salib: 222-230).

(10)

militan. Mereka aktif membela Islam melalui tindakan-tindakan heroik, konflik bersenjata dan upaya-upaya lain dengan tujuan menaklukan yang non-Muslim. Kalau jujur, orang Kristen pun dapat kita masukan dalam ketiga kategori ini.

Nabeel Jabbour menggambarkan komposisi tiga kategori orang Muslim tadi dalam bagan berikut (Sabit-Salib: 94):

Komposisi ini menunjukkan bahwa persentasi terbesar adalah Muslim kultural. Muslim Qur’anis dan

Muslim Militan tersaring ke bawah, ke Muslim

(11)

Muslim Kultural masih dalam prosentasi besar. Tetapi terancam akan makin tersaring ke bawah menjadi Muslim Qur’anis dan Muslim Militan. Dunia Barat (Amerika Serikat, Eropa) dan juga sikap orang Kristen berperan besar dalam perubahan bagan ini. Singkatnya, ketertarikan orang Muslim ke arah tindakan-tindakan militan disebabkan oleh sikap dunia dan orang Kristen terhadap mereka (Sabit-Salib: 93).

Mayoritas orang Muslim pada masa kini sedang ditarik menuju salah satu dari dua arah: Muslim Kultural atau Muslim Militan. Nabeel Jabbour mengemukakan dua contoh. Pertama, Sayyid Qutb, seorang Muslim Mesir. Dia datang ke Amerika sebagai orang Moderat. Tetapi kembali ke Mesir sebagai pemimpin kaum fundamentalis.9 Kedua, kakak Nabeel

9 Sayyid Qutb bukan satu-satunya orang moderat yang

(12)

Jabbour sendiri. Dia datang ke Amerika sebagai seorang Muslim untuk belajar. Tahun 1950 dia pulang ke Mesir sebagai seorang murid Kristus, bahkan karena kesaksian hidupnya dia membuat seluruh keluarganya menjadi pengikut Kristus (Sabit-Salib: 96-8).

Dengan contoh ini Nabeel Jabbour menegaskan bahwa kita sebagai orang Kristen dan juga dunia Barat memiliki peran dalam membantu mereka ke arah keterbukaan pikiran, yakni kepada Kristus atau ke arah ketertutupan, yakni militant (Sabit-Salib: 95).

Ketiga, orang Muslim bukanlah orang-orang yang tersandung oleh Kristus. Umumnya mereka seperti Mahatma Gandhi mereka adalah orang-orang yang sangat tertarik kepada Yesus. Banyak dari rekan-rekannya yang mengaku bahwa Kristus sama sekali tidak melukai mereka. Ketertarikan mereka kepada Yesus lebih banyak ditunjukkan dalam sikap dan kesalehan hidup, bukan dalam pengakuan verbal. Ia menunjukkan itu dengan mengutip doa seorang perempuan muslim Irak, Rabi’a al-Adawiyya berikut ini:10

(13)

Tuhan, mengapa aku mengasihi Engkau? Apakah aku mengasihi engkau karena aku takut masuk neraka? Kalau itu alasanku, maka masukanlah aku ke neraka. Atau, apakah aku mengasihi Engkau karena aku ingin masuk sorga? Kalau itu alasanku, usirlah aku dari sorga. Ya Allah, kumohon murnikanlah alasan-alasanku. Tolong agar aku mengasihi Engkau karena Engkau sendiri; karena Engkau layak menerima seluruh kasih dan penyembahanku.

Ini satu contoh bahwa semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, yang oleh Alkitab diwajibkan untuk dipikirkan oleh orang para pengikut Kristus (Fil. 4:8) juga dipikirkan oleh orang Muslim. Dalam arti ini orang Muslim adalah juga warga gereja. Yang menjadi batu sandungan bagi mereka atau hal yang melukai mereka adalah kekristenan atau yang oleh Nabeel Jabbour disebut bungkusan-bungkusan Kristus dan itu tidak lain adalah agama Kristen (Sabit-Salib: 104). Bungkusan-bungkusan itu kotor. Itu yang membuat orang Muslim tersandung bahkan memilih lebih baik tidak menyeberang ke dalam agama Kristen tetap tinggal dalam agamanya, Islam.

(14)

menunjukkan kepada kita hal-hal kotor dalam kekristenan yang melukai orang Muslim (Sabit-Salib: 102-105): mengubah nama dari Ali ke Steve. Dibaptis dan memberitahukan kepada orang-orang terutama keluarga bahwa ia sudah menjadi Kristen supaya tidak dicurigai sebagai pura-pura. Mulai menyerang Islam, Muhamad dan Qur’an. Kalau wanita harus memakai kalung salib, rok pendek, baju terbuka dan berhenti memakai jiblab. Mengkonsumsi miras dan semua makanan yang mengandung babi dan bebas melakukan apa saja karena dosa sudah diampuni. Berhenti mengucapkan istilah-istilah Muslim yang penuh makna dan diganti dengan istilah-istilah Kristen yang asing. Berdoa sambil duduk di kursi bahkan berpangku kaki sambil membesarkan nama Tuhan.11 Mempercayai bahwa Allah punya anak

sebagai hasil hubungan seks dengan Maria. 12

11 Di kampus saya ditugasi mengajar matakuliah Agama

(15)

Keempat, orang Muslim hidup dalam dunia yang dibingkai dalam paradigma berpikir yang sama sekali berbeda dengan paradigma berpikir orang Kristen. Nabeel Jabbour mencatat ada tiga paradigma:

aib/kehormatan, najis/bersih dan rasa takut/kuasa.

Sementara orang Kristen lebih banyak berpikir dalam paradigma salah/benar. Tiga paradigma pertama dianut juga oleh sebagian besar masyarakat di Timur. Mereka biasanya membingkai makna hidup dalam tiga paradigma lainnya.13 Sementara paradigma benar/salah

adalah umum di kalangan Kristen secara khusus di Barat.

Perenungan orang Muslim terhadap

keselamatan juga dibingkai dalam ketiga paradigma tadi. Mereka kata Nabeel Jabbour sangat terbeban dengan tiga paradigma itu. Untuk jelasnya, mari kita simak kasus yang diangkat Nabeel Jabbour berikut ini. Hampir semua wanita muslim yang tidak pernah mengalami sukacita kemenangan Idul Fitri di akhir bulan puasa Ramadhan, karena siklus menstruasi merusak ibadah puasa mereka. Selama menstruasi

santai di kursi, saya mulai memahami hal itu dan tidak lagi merasa terganggu.

12 Tentu saja ada beberapa hal yang dianggap kotor oleh

orang Muslim seperti tertera di atas yang perlu ditanggapi. Tetapi hal-hal di atas seperti berpakaian dan sikap berdoa yang memang berguna untuk kita sebagai orang Kristen membenahi diri.

(16)

mereka menjadi najis dan aib bagi sesama dan bagi Allah.

Menstruasi pada perempuan bukan masalah benar/salah. Menstruasi juga adalah faktor bawaan hidup seorang perempuan. Itu adalah masalah najis/bersih. Salah apakah seorang perempuan jika dia mengalami menstruasi sehingga harus dibenarkan oleh Allah? Bukankah ia dikodratkan sebagai perempuan?

Pengalaman yang sama juga berlaku bagi laki-laki. Kaum muslim dan Yahudi selalu melakukan upacara pembersihan atau pembasuhan sebelum mereka sembahyang. Mereka mencuci tangan, wajah, kaki dan bagian-bagian tubuh lainya. Setelah melakukan pembasuhan, seorang laki-laki tidak boleh berjabat tangan lagi dengan orang lain yang tidak bersih, karena jika demikian maka kemurnian yang telah diupayakan menjadi tidak berarti.

(17)

Tetapi seringkali orang Kristen mengecilkan makna injil keselamatan dalam satu paradigma saja, yakni benar/salah. Bahkan paradigma benar/salah ini dijadikan satu-satunya bingkai pemberi makna bagi keselamatan. Percaya kepada Allah di dalam Kristus artinya kita yang berdosa (bersalah) di hadapan Allah

karena dosa memperoleh pembenaran dan

pengudusan.

Mayoritas orang Muslim tidak menemukan keselamatan dalam pewartaan Injil yang dikemas dalam paradigma benar/salah. Tentu saja pemaknaan keselamatan dalam paradigma benar/salah syah dan valid. Tetapi jika keselamatan dalam Injil hanya dipahami dalam batasan salah/benar, tidak banyak menolong saudara-saudara yang bukan Kristen mengalami kuasa pembebasan. Benar/salah adalah pemaknaan yuridis terhadap injil. Saudara-saudara non-kristen umumnya membingkai makna kehidup yang mereka cari di dalam agama mereka dalam paradigma aib/kehormatan, najis/bersih dan rasa

takut/kuasa, yang merupakan pemaknaan kultus,

bukan yuridis.

(18)

Apakah Injil Juga Adalah Kabar Sukacita Kepada Orang Muslim?

Kita sudah melihat tanggapan orang Muslim. Mereka tidak terganggu dengan Yesus dan Injil. Mereka juga siap memberi respons kasih dan penerimaan jika mereka diperlakukan dengan kasih dan diterima. Injil, menurut Nabeel Jabbour mengajarkan kita hal itu. “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Nabeel Jabbour mengaku bahwa ini perintah yang sulit. Saya tidak pernah bisa mencintai orang lain seperti dia mencintai dirinya, kecuali kalau saya mencintai Allah. Jadi kalau orang Kristen benar-benar mencintai Allah, mereka harus bisa mencintai orang Muslim seperti dirinya sendiri.

(19)

Bahwa Injil adalah juga kabar baik bagi orang Muslim ditegaskan Nabeel Jabbour dalam uraian berikut. Alkitab sendiri bersaksi bahwa Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan baik orang Yahudi maupun Yunani (Rm. 1:16), demikian kata Nabeel Jabbour. Kalau begitu, kita harus berani keluar dari pendekatan tradisional. Injil tidak boleh terus dipahami hanya sebagai pesan yuridis yakni dalam paradigma berpikir salah/benar. Tiga paradigma lain juga harus diintegrasikan, atau injil dibingkai dalam pemaknaan kultus yang menjadi domain untuk paradigma aib/kehormatan, najis/bersih dan rasa takut/kuasa.

Injil keselamatan Allah di dalam Kristus adalah kekuatan penyelamatan yang mencakup ketiga paradigma pemaknaan tadi. Nabeel Jabbour memperlihatkan contoh-contoh yang secara melimpah ditunjukan dalam kitab Injil, yakni dalam Markus 5:1-20, 5:21-34.14 Dalam teks-teks kitab Injil ini

ditunjukkan dengan jelas tentang kehadiran Yesus dan karya penyelamatannya sebagai pemenuhan sekaligus pembebasan kepada manusia dari terbelenggu paradigma berpikir kultus yang digumuli orang-orang Muslim.

(20)

Misionaris Yang Perlu Bertobat

Anjangsana kita ke dunia Muslim dengan Nabeel Jabbour sebagai pemandu wisata menunjukkan kepada kita beberapa hal tentang orang Muslim. Pertama, orang Muslim adalah orang-orang yang sangat bangga dengan agamanya karena memberikan kepada mereka akar dan identitas. Adalah sebuah penghianatan yang terlalu berat jika mereka harus meninggalkan agama itu. Kedua, orang Muslim bukanlah orang-orang yang tersandung oleh Kristus. Umumnya mereka adalah orang-orang yang sangat tertarik kepada Yesus. Yang menjadi masalah bagi mereka ialah agama Kristen. Ketiga, ketertarikan orang Muslim kepada fundamentalisme bahkan militansi adalah karena sikap orang Barat yang nota bene adalah Kristen.

Pada sisi lain, juga di bawah pimpinan Nabeel jabbour sebagai pemandu wisata kita juga telah dibuat mengerti bahwa Injil adalah juga kabar baik kepada orang Muslim, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan baik orang Yahudi maupun yang non-Yahudi. Kekuatan Injil adalah pada daya keselamatan terhadap manusia yang meliputi empat paradigma benar/salah, aib/kehormatan, najis/bersih dan rasa takut/kuasa.

(21)

harus melakukan pekabaran Injil kepada orang Muslim. Untuk itu ada hal mendesak yang patut gereja lakukan, yakni gereja sebagai pelaku pekabaran Injil harus bertobat. Atau dengan kata-kata Nabeel Jabbour: “Misionaris yang perlu bertobat” (Sabit-Salib: 106).

Ada tiga pertobatan yang perlu dijalani gereja dalam rangka pekabaran Injil kepada orang Muslim. Pertama, pekabaran Injil kepada orang Muslim tidak boleh disertai dengan tuntutan untuk membawa orang Muslim menyeberang ke agama Kristen. Hanya orang Muslim yang bodoh sajalah yang akan menyeberang ke agama Kristen.

Orang Muslim memiliki Al-quran yang sama keilahiannya dan juga kualitasnya dengan Yesusnya orang Kristen. Mereka percaya bahwa Al-quran adalah firman Allah yang kekal, sama seperti orang Kristen percaya bahwa Yesus Kristus adalah Firman Allah yang kekal. Hanya orang Muslim bodoh sajalah yang menerima pendapat orang Kristen bahwa Muhammad setara dengan Yesus, Al quran dengan Alkitab. Pembandingan-pembandingan itu semuanya tidak tepat. Yang benar ialah Kristus harus dibandingkan dengan Al-quran, bukan dengan Muhammad.

(22)

(Yesus dan Al-quran) yang mereka teruskan (Sabit-Salib: 193). Selain itu Quran lebih baik dari Alkitab karena Quran didiktekan oleh Allah kata demi kata melalui malaikat. Ini sama seperti orang Kristen mempercayai Sepuluh Hukum. Quran tidak ditulis oleh manusia. Bagi orang muslim Alkitab itu sama dengan hadits.

Hadits berisi cerita tentang kehidupan dan pengajaran Muhammad. Itu ditulis oleh orang-orang muslim yang mengasihi Allah. Karena para penulisnya adalah manusia, maka tulisan-tulisan mereka bisa jadi ada salahnya. Jadi Hadits adalah sejajar dengan Alkitab (Sabit-Salib: 194). Karena itu bagaimana mungkin

orang muslim meninggalkan Quran dan

menggantikannya dengan Alkitab yang pesan yang lebih rendah, yakni yang ditulis oleh manusia (Sabit-Salib: 43). Mereka juga berpendapat sama seperti orang Yahudi dan Kristen bahwa pindah agama adalah sebuah penghianatan yang sangat besar terhadap keluarga dan terhadap Allah (Sabit-Salib: 234).

(23)

Ketiga, orang Kristen harus bertobat dari sikap-sikap yang mendorong orang Muslim beralih dari Muslim Kultur ke Muslim Qur’an apalagi ke Muslim Militan. Orang Muslim, sebagaimana diajarkan Qur’an bukanlah manusia yang suka menutup diri dan hidup dalam isolasi. Mereka rindu pengalaman lintas budaya dan agama, mencintai nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. Kalau kenyataan yang terjadi sekarang di mana orang muslim cenderung menutup diri, melakukan tindakan-tindakan kekerasan, itu disebabkan oleh orang Kristen juga. Dua hal disebutkan oleh Nabeel Jabbour.15

1. Orang muslim merasa sulit memahami pesan-pesan religius dari sesamanya yang Kristen karena diungkapkan dengan perbendaharaan kata dan simbol-simbol yang asing. Isi pesannya pun asing bagi mereka. Kita sudah tunjukkan itu dengan paradigma

benar/salah. 2. Sikap merendahkan, mencurigai,

mengkafirkan dan menjauhi yang diperlihatkan orang dari agama lain (Kristen) terhadap mereka. Kalau akhirnya orang muslim masuk dalam sangkar muslim dan menutup diri terhadap pergaulan dengan agama lain, bahkan memilih masuk menjadi anggota gerakan fundamentalis itu karena dua hal di atas.

Keempat, orang Kristen harus bertobat dari pemberian label ekstrimisme, memprtaktekkan terorisme, menjalani kehidupan yang fanatisme dan lebih banyak kesombongan dan omong kosongnya

(24)

kepada orang Muslim. Sebab menurut pengenalan Nabeel Jabbour semua label itu bukan wajah Islam yang sebenarnya. Sikap ekstrim kaum muslim sebenarnya adalah sebuah produk peradaban. Artinya ada hal-hal yang memicu sikap ekstrim yang muncul di kalangan Islam terhadap dunia Barat dan kekristenan. Jelasnya, ekstrimitas orang Muslim sebenarnya adalah reaksi terhadap ekstrimitas orang Kristen.

Nabeel Jabbour mencatat tiga alasan:16 1).

Perang salib pada abad ke-11 dan 12. 2). Eksploitasi kekayaan alam negara-negara di wilayah muslim (Timur Tengah) oleh dunia Barat yang beragama Kristen disertai pemaksaan demokrasi gaya Amerika di Timur Tengah. 3). Dukungan terang-terangan Amerika dan sekutunya terhadap berdirinya negara Israel di Palestina sekaligus sikap membela tindakan penindasan Israel terhadap warga Palestina adalah penyebab reaksi-reaksi ekstrim dari orang Islam terhadap Barat dan kekristenan.

Tentang perang salib, betapapun terjadi enam abad yang lalu tetapi lukanya masih membekas dan menjadi ingatan kolektif orang Islam di Timur Tengah. Luka itu makin meradang mengingat alasan kedua dan ketiga yang baru saja kami tunjukan. Teman-teman Nabeel Jabbour mengungkapkan pendapat mereka

(25)

tentang Perang Salib dan dua alasan lain dalam kalimat berikut:17

Fanatisme orang Kristen yang haus darah …. yang menciptakan fanatisme Islam. Dalam kebijakan negara anda mengenai Timur Tengah, bukankah anda telah mengisi tangki dan memperkuat fanatisme dalam diri Islam? Dalam diri prajurit perang salib modern anda, bukankah anda melampiaskan amarah terhadap fanatisme Islam dan meningkatkan kekerasan? Dalam keinginan anda untuk memberlakukan demokrasi gaya Amerika pada Timur Tengah, bukankah anda telah membuka sekaleng cacing Islam fundamentalis? …. Sejak penciptaan Israel tahun 1948, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudahnya, Israel telah menjadi duri dalam daging bagi kami. Umma kami, solidaritas umat Allah dalam Islam, menyatukan kami dalam rasa sakit dan sukacita kami.

Kami ingin meminta perhatian khusus pembaca mengenai dukungan orang Kristen Eropa dan Amerika terhadap pendirian negara Israel di Palestina tahun 1948.18 Saudara-saudara muslim mencatat itu

17 Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit... hlm. 44-45. 18 Ada dua buku lain dalam bahasa Indonesia yang

(26)

sebagai pemicu terkini aksi-aksi terror dan radikalisme yang dipraktekan kelompok-kelompok tertentu dalam Islam.19 Seorang teman Nabeel Jabbour menulis begini

kepadanya:20

Tak seorang pun dalam keluarga besar saya adalah kaum fundamentalis, atau bahkan simpatisan kaum fundamentalis. Tetapi sejak saya datang ke negara anda (Amerika) dan melihat dengan mata kepala sendiri standar ganda anda… saya jadi tertarik kepada fundamentalisme. Seolah-olah anda sedang mendorong saya ke arah sana. Apabila seorang pria muda Yahudi meninggalkan negara ini, pergi ke Israel, secara sukarela bergabung dengan pasukan Israel, dan dengan senjata mesinnya menewaskan orang-orang Palestina ketika ia menduduki tanah mereka, anda tidak memandangnya sebagai seorang teroris. Karena anda memandang Israel sebagai demokrasi. Saya, di pihak lain, memandang Israel sebagai sebuah negara yang mempraktekkan rasisme karena ia memberlakukan rezim apartheid atas Palestina di tanah mereka. Sebaliknya, apabila seorang pria

Perdamaian. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2011 (terutama halaman 573-615). Gary M. Bruge. Palestina Milik Siapa. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2010.

19 Lihat umpamanya Olaf Schumann. Agama-Agama,

(27)

muda Amerika berkebangsaan Palestina meninggalkan negara ini, pergi ke Palestina, dan menggunakan senjata satu-satunya yang ada, yaitu tubuhnya, untuk membela wilayahnya yang diduduki oleh orang lain, anda memandang dia sebagai teroris. Ketika anda membaca dalam Alkitab anda bagaimana Simson mati, apakah anda memandangnya sebagai seorang teroris? Apakah anda menyalahkan Simson karena ia menggunakan satu-satunya senjata yang ada, yakni tubuhnya, untuk membunuh penduduk sipil yang tidak berdaya?

(28)

Jelasnya, pilihan yang dihadapi orang Muslim apakah menjadi orang-orang yang pikiran terbuka (meneladani Yesus) atau menjadi orang-orang yang berpikiran tertutup (menjadi Muslim Militan) ditentukan oleh sikap orang Kristen dan dunia Barat yang Kristen kepada orang Muslim. Karena itu orang Kristen harus mengembangkan pemahaman tentang Injil dalam paradigma pemaknaan yang baru. Ada dua hal yang ditawarkan: 1). Belajar mengenal Islam dari mata Allah atau mengenal Islam dari dalam. 2). Orang Kristen juga belajar meninggalkan sangkar Kristen yang nyaman atau keluar dari etnosentrisme. Poin pertama sudah kita jabarkan di atas. Sekarang kita akan beranjak kepada poin kedua.

Etnosentrisitas versus Tinggal di Antara Bangsa-Bangsa

(29)

Para pengikut Kristus harus menjadi orang-orang di barisan depan yang melakukan gerakan keluar dari kenyamanan sangkar agama mereka untuk bertemu dan ambil bagian dalam kehidupan orang beragama lain. Nabeel Jabbour membahas pokok ini dengan lebih dahulu mendiskusikan tiga pola hidup umat Allah baik dalam PL maupun PB sambil memperlihatkan kekuatan dan kelemahan dari ketiganya. Ketiga pola itu dia namakan etnosentrisitas,

kehidupan duniawi dan tinggal di antara

bangsa-bangsa. Baiklah kita perhatikan ketiga pola ini satu per satu.

(30)

Gambar di atas memperlihatkan gaya hidup etnosentrisme. Para pengikut Kristus (tiga orang yang kepalanya diberi warna hitam) berkumpul dalam kelompok khusus, menjadi eksklusif dan tertutup. Nabeel Jabbour menyebut mereka orang Kristen bermental benteng (Sabit-Salib: 152). Pola etnosentrisitas ini saya sejajarkan dengan gambaran Yesus tentang pelita yang ditaruh di bawah gantang (Mat. 5:15). Pola ini disebut juga kehidupan yang memisahkan diri dari dunia. Orang Kristen menjadi sebuah masyarakat yang hidup di pulau tersendiri dan menggembangkan kosa-kata bahasa yang hanya berlaku dan dikenal dalam lingkungan mereka sendiri.

Paul Borthwick mencatat beberapa ciri kehidupan etnosentrisme yang berbahaya bagi iman kepada Yesus.21 Pertama, kecenderungan untuk

menilai budaya lain dengan menggunakan standar budaya kita. Sebagai contoh orang Amerika berkata bahwa orang-orang di Inggris semuanya salah karena mereka mengendarai mobil di sisi jalan yang tidak benar. Kedua, menuntut orang dari budaya lain untuk menyesuaikan diri dengan budaya dan cara hidup kita, sementara kita merasa tidak perlu menyesuaikan diri

(31)

dengan budaya mereka. Ketiga, menciptakan ungkapan-ungkapan yang bersifat merendahkan atau menghina orang dari budaya lain atau juga menutup-nutupi kelemahan kita sendiri.

Nabeel mencontohkan pola etnosentrisme dengan sebuah komentar dari Ahmad seorang pemuda Arab yang tertarik pada kekristenan:22

Pesan Kristen anda merupakan suatu pesan yang asing bagi saya. Asing dalam perbendaharaan katanya dan asing juga dalam isinya. Perbendaharaan kata religious anda saya diberikan sebuah Alkitab dalam bahasa Arab. Sekalipun Alkitab itu berbahasa Arab, dan bahasa ibu saya adalah bahasa Arab, saya sangat kesulitan memahaminya. Anda orang-orang Kristen tampaknya memiliki bahasa religius anda sendiri. Bahkan figur sentral dalam agama anda, Yesus, memiliki dua nama dalam Alkitab Arab. Orang-orang Kristen Arab menyebut Yesus Yasou’, sementara kami orang-orang muslim menyebutnya Isa. Karena anda begitu berhasrat agar kami memahami agama anda, mengapa tidak memakai bahasa yang dapat kami mengerti?

22 Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit Melalui Mata Salib.

(32)

Pengalaman saya mengajar di UKSW juga tidak jauh berbeda. Di kelas Magister Sosiologi Agama yang saya asuh ada beberapa mahasiswa berlatar belakang Islam. Saya menjelaskan tentang pembenaran oleh anugerah di dalam iman. Selesai menjelaskan, seorang mahasiwi berkerudung langsung berkomentar: “Pak, saya benar-benar merasa asing dengan cara kalian berpikir tentang iman dan Allah. Ungkapan pembenaran oleh anugerah dalam iman membuat saya berkesan bahwa kamu boleh sesuka hati berbuat dosa dan kejahatan, karena toh nanti Allah siap untuk mengampuni. Bagi kami di dalam Islam, pembenaran seperti itu terlalu murah. Kami harus bekerja keras untuk mendapat perkenanan dari Allah.23

Kedua, lawan dari etnosentrisitas adalah

kehidupan yang menyatu dengan dunia atau menjadi duniawi. Dalam pola ini, umat Allah membaur dengan kehidupan masyarakat di mana mereka berada. Pembauran itu terjadi begitu rupa sampai mereka terhanyutkan atau kehilangan identitas sebagai utusan-utusan Kristus. Meminjam gambaran Yesus, mereka ini ibarat garam yang telah menjadi tawar (Mat. 5:13).

(33)

Dalam gambar ini para pengikut Kristus (tiga orang dengan kepala berwarna hitam) menyebar atau membaur ke dalam lingkungan orang-orang bukan Kristen. Tetapi karena tidak adanya kontak intensif atau rutin di antara mereka maka kemuridan mereka akan Kristus luntur. Mereka menjadi serupa dengan dunia.

Pola ketiga adalah kehidupan Kristen yang tinggal di antara bangsa-bangsa. Orang-orang yang

percaya kepada Yesus membiarkan Injil

mempengaruhi seluruh hidup mereka. Mereka yang sudah diubah oleh Injil tidak membentuk kelompok yang eksklusif (model pertama). Mereka ini tinggal di tengah-tengah masyarakat, menggunakan bahasa yang dipakai masyarakat sekeliling, pergi ke pasar, sekolah, rumah sakit dan restoran yang juga dikunjungi orang-orang non-Kristen. Mereka berada di arus utama kehidupan bukan sebagai orang yang kehilangan identitas sebagai utusan Kristus seperti yang terjadi dengan model kedua.

(34)

kebenaran (Sabit-Salib, 138). Meminjam pernyataan Pdt. L.Z. Raprap, kehadiran mereka berdampak bagi lingkungan di mana mereka berada, yakni mengubah keadaan sekitarnya menjadi lebih baik.24

Para pengikut Kristus dalam model ketiga, seperti ditunjukkan Nabeel Jabbour dalam tiga orang berwarna hitam dalam gambar di atas, menjaga keseimbangan antara hidup yang terpisah dari dunia dan yang duniawi. Mereka berjalan di atas palang

keseimbangan antara dua sisi tadi. Para pengikut

Kristus tadi berada dalam dunia tetapi tidak menjadi serupa dengan dunia. Mereka mengarami dan menerangi kehidupan di sekitarnya karena secara rutin mereka yang berserak itu bersekutu dalam ibadah dan bersama memahami kehendak Tuhan melalui pendalaman terhadap pesan-pesan Injil.

24 Pdt. L.Z. Raprap. Ada Waktu Mengelus Ada Waktu

(35)

Plus-Minus Tiga Pola Hidup Umat Allah

Sikap hidup etnosentrisme tentu saja baik, terutama bagi satu komunitas yang berstatus sebagai kaum minoritas sebab dengan menutup diri terhadap masyarakat sekitar dan dunia luas mereka memperkuat identitas dan jatidiri dan menjadi solid. Nilai-nilai hidup yang dimiliki oleh masyarakat dalam komunitas itu tidak mudah hilang, bahkan akan dipelihara turun temurun. Dalam pola hidup etnosentrisme solidaritas sosial antar sesama anggota komunitas menjadi sangat kuat dan tak tergoyahkan.

Meskipun begitu ada juga bahaya jika umat Allah hanya menjadi kaum yang hidup terisolasi atau memisahkan diri dari dunia, atau mengembangkan pola hidup etnosentrisitas. Kalau diringkas dari pendapat Paul Borthwick bahayanya adalah bukan lagi interese Allah (Alkitab) yang menjadi patokan bagi sikap kita terhadap orang dari luar kelompok kita, melainkan interese kita sendiri, lalu ayat-ayat kitab suci dipakai untuk membenarkan interese kita itu.25

Bahaya itu ditunjukkan Nabbel Jabbour dengan menganalisa keberadaan Israel di Mesir sebelum peristiwa keluaran (eksodus). Kejadian 47 menyaksikan bahwa Yusuf menunjuk tanah di Ramses sebagai tempat tinggal saudara-saudaranya. Ia menjamin kehidupan saudara-saudaranya dengan kemewahan dan keamaman. Mereka tidak perlu bekerja. Kemewahan itu diterima secara cuma-cuma.

(36)

Perlakuan Yusuf terhadap orang Mesir justru sebaliknya. Ia menerapkan sebuah sistim yang membuat kekayaan Firaun terus menumpuk dan seluruh penduduk Mesir akhirnya menjadi budak Firaun. Mereka yang adalah penduduk asli dan mayoritas dipaksa bekerja keras demi memperoleh makanan dari Firaun. Yusuf memperkenalkan sebuah sistim feodal yang membuat Firaun menjadi sangat berkuasa di seluruh Mesir (Sabit-Salib, 143).

Yusuf membuat keluarga Yakub, umat Israel menjadi satu komunitas yang tertutup, atau yang oleh Andreas Yewangoe disebut menghetto. Kehidupan Israel di Mesir yang menghetto ini terpisah dari masyarakat berlangsung sekitar selama 400 tahun. Kebijakan ini membuat orang Israel menjadi masyarakat yang tertutup selama menetap di Mesir. Mereka mengembangkan bahasa, kebiasaan serta nilai-nilai sendiri bahkan juga cenderung kawin-mawin di antara kalangan mereka sendiri.

(37)

Nabeel Jabbour tidak eksplisit tetapi dari uraiannya timbul kesan bahwa perlakuan istimewa Yusuf terhadap saudara-saudaranya bertentangan dengan tujuan Allah memilih Israel, yakni menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Yusuf justru membuat Israel menjadi ancaman bagi Mesir. Perlakuan Yusuf terhadap saudara-saudaranya selama di Mesir lebih didasarkan pada interese pribadi dan bukan interese Allah (Sabit–Salib, 149).

Penindasan dan penderitaan yang dialami Israel di bawah pemerintahan Firaun yang memerintah pasca Yusuf adalah reaksi atas eksklusivitas (etnosentrisme) Israel. Kalau rakyat Mesir berdiam diri terhadap kebijakan rejim Firaun yang baru, itu bukan pertama-tama karena mereka menyetujui penindasan dan perbudakan. Tetapi karena minimnya pengenalan personal dan longgarnya rasa persaudaraan di antara kedua kelompok itu: orang Mesir dan orang Israel dan tentu saja sikap curiga, jangan-jangan satu kali kelak Israel akan menjadi ancaman bagi mereka.

(38)

Menjalani hidup dengan pola duniawi atau menyatu dengan masyarakat sehingga kehilangan identitas dan otensitas diri tentu saja memperlihatkan kemampuan adaptasi yang tinggi dari komunitas yang bersangkutan. Tetapi bahayanya ialah pembaruan itu berakibat hilangnya nilai-nilai dasar yang menjadi pijakan dan pembentuk karakter dari komunitas dimaksud. Hilangnya nilai yang menjadi pijakan akibat terlalu bersifat akomodatif membuat komunitas itu bukan lagi sekedar bisa beradaptasi, malah menjadi kompromistis dan oportunistis.

Pemberitaan Nabi-Nabi Adab ke-8 SM

Belajar dari akibat negatif kehidupan Israel selama diperbudak di Mesir dan mempertimbangkan kembali tujuan pemilihan Allah atas Israel, para nabi abad ke-8 tak henti-hentinya melakukan perlawanan terhadap pola hidup etnosentrisitas. Isi pemberitaan mereka kepada orang Israel yang hidup sebagai orang tawanan dan pendatang di Babel diformat ulang. Mereka menentang dengan keras eksklusivisme, baik secara langsung maupun tidak langsung.

(39)

menghendaki Yerusalem menyerah.26 Kepada

saudara-saudari sebangsa yang diangkut ke pembuangan di Babel Yeremia menyarankan mereka untuk hidup berbaur. Ia mendorong mereka untuk menjalani kehidupan di Babel bukan dengan mental pengungsi. Mereka harus berperilaku sebagai penduduk yang menetap di Babel (lamanya masa pembuangan 70 tahun, itu sama dengan lamanya masa hidup seorang manusia). Seruan Yeremia ini kita temukan dalam Kitab Yeremia 29:4-7.

Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel, kepada semua orang buangan yang diangkut ke dalam pembuangan dari Yerusalem ke Babel: Dirikanlah rumah untuk kamu diami; buatlah kebun untuk kamu nikmati hasilnya; ambillah isteri untuk memperanakkan anak laki-laki dan perempuan; ambilkanlah isteri bagi anakmu laki-laki dan carikanlah suami bagi anakmu perempuan, supaya mereka melahirkan anak laki-laki dan perempuan, agar di sana kamu bertambah banyak dan jangan berkurang! Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.

26 Eka Darmaputera. Tuhan Dari Poci dan Panci. Jakarta:

(40)

Yeremia menyerukan kepada bangsa itu untuk hidup berbaur dengan masyarakat selama berada di pembuangan. Mereka harus menjauhkan diri dari pola hidup isolasi sebagaimana yang dikembangkan Yusuf di Mesir terhadap nenek moyang mereka dahulu. Mereka perlu memiliki pandangan jauh ke depan. Karena pemberitaan itu Yeremia dibenci. Ia dianggap tidak patriotik tetapi inilah pilihan hidup yang berada pada koridor panggilan mereka, yakni menjadi berkat bagi sesama (Sabit-Salib, 145).

Dengan sikap membaur, beberapa orang pilihan, seperti Daniel, Sadrakh, Mesakh dan Obednego mendapat kedudukan yang penting dalam istana dan memberi pengaruh pada kerajaan, persis seperti pengalaman Yusuf sewaktu di Mesir. Dia membaur, tinggal di rumah Potifar, menjadi sahabat juru minum dan juru makan Fairau di penjara. Semua ini menjadi kekayaan yang kemudian membuat dia diingat waktu ada masalah di Istana karena mimpi Firaun itu.

Paul Borthwick menyebut pola hidup membaur ini dengan istilah integrasi sebagai lawan dari pola hidup evangelism.27 Integrasi artinya ambil

bagian aktif dalam perjuangan dan pergumulan nyata yang dialami sesama bertolak dari pemahaman iman yang mendalam akan kasih Allah di dalam Kristus, sebagaimana dicontohkan oleh Bunda Teresa. Sedangkan evangelisme menunjuk pada sikap hidup

(41)

yang didorong oleh semangat untuk mentobatkan sesama ke dalam agama kita.

Patut dicatat bahwa mengembangkan hidup yang berkarakter integrasi tidak berarti kehilangan identitas dan jatidiri sebagai pengikut Kristus. Integrasi tidak harus membuat terhanyutkan. Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Obednego menyadari hal itu. Mereka mengintegrasikan hidupnya dalam keseluruhan dinamika bangsa Babel, tetapi mereka tetap menjaga identitas kemuridan mereka. Hal yang sama juga dilakukan oleh Yusuf selama dia menetap di Mesir. Inilah juga inti dari seruan Yeremia kepada saudara-sudarinya yang di pembuangan.

(42)

Pola hidup tinggal di antara bangsa-bangsa sama sekali tidak meniadakan penginjilan. Tugas penginjilan tetap harus dilaksanakan karena itu adalah perintah sang Juruselamat. Yang berbeda ialah metode atau model penginjilan. Nabeel T. Jabbour lalu berbicara tentang penginjilan relasional yang berbeda dengan penginjilan evangelisme. Seperti apakah dua model penginjilan itu? Untuk jelasnya Nabeel Jabbour mengisahkan dua kasus berikut.

Pertama, tentang dua orang Kristen Koptik (orang Kristen Mesir): Samuel dan Maged (Sabit-Salib, 153-159). Samuel adalah anggota kelompok pemahaman Alkitab. Ia bekerja sebagai guru di sebuah sekolah milik pemerintah yang berjarak hanya lima menit dari apartemennya. Dalam sehari ia bekerja delapan jam. Gaji yang diperolehnya sangat kecil. Meskipun begitu, ia menyukai pekerjaan itu, karena sisa waktunya dia pakai untuk urusan di gereja, yakni mengikuti rapat-rapat dan berbagai aktivitas internal jemaat.

(43)

Pendirian awal Samuel adalah menolak tawaran bekerja di pabrik. Alasannya, ia akan kehilangan banyak waktu yang selama ini dipakai untuk melayani dalam gereja. Nabeel, menyarankan Samuel menerima pekerjaan itu. Memang waktunya untuk pelayanan di gereja akan banyak tersita, tetapi justru waktunya untuk memperkenalkan Yesus kepada rekan-rekan sekerja yang Muslim akan sangat besar kalau ia hadir di sana dan membangun relasi personal dengan mereka. Setelah berembuk agak lama dan mendengarkan pertimbangan Nabeel, Samuel memutuskan untuk menerima tawaran sebagai pekerja di pabrik itu.

Satu minggu kemudian, yakni hari pertama Samuel mulai bekerja di pabrik, dia dijemput oleh bus pegawai. Ternyata ada juga seorang Kristen lain yang diterima bekerja di pabrik. Namanya Maged. Dia adalah anggota satu gereja dengan Samuel. Maged adalah seorang Kristen yang bergaya etnosentrisme, orang Kristen yang suka mengisolasikan diri. Mereka menunggu bus di halte yang sama.

(44)

Samuel menyusul. Dia memberi senyum dan menyampaikan selamat kepada mereka yang sudah dalam bus dengan ucapan salam muslim Arab: “Assalamu’alaikum.” Seperti di komando, semua yang ada di dalam bus menjawab Samuel: “Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatu.” Lalu tiap orang menggeser duduk sebagai isyarat mengajak Samuel duduk di samping mereka. Samuel duduk di sisi seorang teman muslim.

Beberapa bulan berikutnya umat Islam

memasuki bulan puasa. Pemimpin pabrik

menyediakan tempat khusus bagi pegawai yang Kristen untuk makan dan minum dalam tiga kali kesempatan istrahat. Setiap pegawai yang muslim tahu apa yang dilakukan pegawai Kristen di kamar itu. Mereka membenci orang Kristen karena hal itu.

(45)

Pegawai-pegawai yang muslim sangat menghormati Samuel. Mereka tidak segan-segan meminta nasehat dan bimbingan dari Samuel. Bahkan seringkali mereka memohon Samuel mendoakan mereka, bahkan mereka tidak keberatan Samuel mendoakan mereka dalam nama Yesus Kristus. Setahun setelah bekerja di pabrik itu, Samuel bertemu Nabeel. Dia bercerita bahwa sejak bekerja di sana, ia mendapat banyak kesempatan untuk menceritakan Kristus kepada saudara-saudara muslim. Kalau saja ia tetap memilih sebagai guru, kesempatan itu tidak pernah akan terbuka baginya.

Samuel adalah salah satu model bagaimana menjadi orang Kristen yang tinggal di antara

bangsa-bangsa. Samuel mempraktekan penginjilan relasional,

(46)

Kedua, Mustafa adalah contoh lain dari penginjilan relasional. Dia tertarik kepada Yesus dan minta diajari Injil dalam pertemuan rutin setiap minggu. Nabeel Jabbour menyanggupi permintaan itu dengan syarat apabila Mustafa mendapat ijin dari kedua orang tuanya. Mustafa terkejut dan menjelaskan kepada Nabeel bahwa kalau ia harus minta ijin lebih dahulu dari ayahnya, pastilah ijin itu tidak akan diperoleh. Nabeel menunjukkan kepadanya perintah kelima Dasa Titah Musa dan menjelaskan kepadanya bahwa kesepuluh perintah itu adalah ringkasan dari syari’at bagi pengikut Kristus. Keterkejutan Mustafa tidak hilang, tetapi karena Nabeel menegaskan harus ada ijin terlebih dahulu maka Mustafa berjanji melakukannya.

Pertemuan yang disepakai minggu berikutnya ternyata tidak terjadi, karena Mustafa tidak muncul. Nabeel kehilangan kontak dengan Mustafa. Kira-kira setahun setelah itu, secara kebetulan Nabeel bertemu Mustafa di pusat perbelanjaan Kairo. Mustafa bercerita kepada Nabeel bahwa ia mentaati perintah agar menghormati orang tuanya sebagai wujud hormat kepada Allah. Ia tidak datang menjumpai Nabeel karena orang tuanya tidak memberi ijin. Nabeel menghormati keputusan Mustafa dan orang tuanya.

(47)

bertanya kepada Mustafa apakah baik kalau dia datang ke rumah Musfata untuk ikut memberi ucapan belasungkawa. Mustafa setuju dan memberikan alamat rumahnya kepada Nabeel.

Malam itu Nabeel pergi ke rumah Mustafa. Dia tiba saat Syeik sedang melantunkan ayat-ayat Al-quran. Nabeel duduk dengan tenang menikmati lantunan ayat-ayat Al-quran itu. Mustafa yang melihat Nabeel berbisik kepada ayahnya dan memberitahu bahwa itulah orang yang mendorong dia untuk meminta ijin terlebih dahulu dari ayah sebelum bertemu dia untuk membacakan Injil baginya. Ayah Mastafa memperhatikan Nabeel yang duduk menikmati pembacaan Al-quran tanpa memegang hidup sebagai tanda jijik atau bahasa tubuh yang meremehkan Islam seperti yang biasa dilakukan orang Kristen kalau merasa tidak nyaman dengan ibadah agama lain.

(48)

parkir. Lalu ayah dan anak itu kembali ke tenda duka. Pada saat Nabeel menghidupkan mobil dan hendak menutup pintu untuk pergi, Mustafa berlari-lari mendekati Nabeel dengan kabar bahwa baru saja ayahnya memberikan dia ijin untuk bertemu Nabeel supaya mengajarkan Injil kepada Mustafa (Sabit-Salib: 226-230).

Penginjilan evangelism berbuat sebaliknya.

Nabeel Jabbour menunjukkan itu dengan kisah nyata lain yang dia sendiri alami, yakni tentang Ali. Di Kairo ada seorang pemuda Muslim bernama Ali. Ia menunjukkan ketertarikan kepada Yesus. Ia datang kepada Nabeel Jabbour dan meminta sebuah Alkitab sekaligus bimbingan agar bisa memahami isi kitab itu. Setelah enam bulan pertemuan rutin seminggu sekali secara sembunyi-sembunyi, Ali mengaku bahwa ia telah percaya kepada Kristus. Nabeel Jabbour dan istrinya mensyukuri hal itu bersama Ali dalam doa.

(49)

Penginjilan evangelism menuntut penerima Injil untuk melakukan pemutusan hubungan yang radikal dan total dengan semua yang menjadi bagian dari masa lalu, yakni, keluarganya, agamanya, caranya berpakai, bahasa dan ungkapan-ungkapan religius yang telah menjadi bagian dari kepribadian dan integritas dirinya. Seorang pengikut Kristus harus menyangkal segala sesuatu yang telah menjadi darah dagingnya dan memulai sesuatu yang baru, betapapun itu berat dan asing karena Kristus memang menghendaki begitu. Penginjilan evangelisme, menurut istilah Kosuke Koyama, mewajibkan penerima Injil untuk meludahi semua yang dimilikinya sebelum mengenal Kristus. 28

Penginjilan evangelisme menurut Nabeel Jabbour bertentangan dengan pesan Injil: Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Injil adalah kuasa yang mempersekutukan bukan mencabik-cabik dan menghancurkan persaudaraan. Mewajibkan seseorang memutuskan hubungan dengan semua miliknya sebelum mengenal Injil ditolak oleh Nabeel Jabbour sebagai sesuatu yang anti Injil.

Alkitab Tentang Penginjilan Reasional

Penginjilan relasional memberitakan Injil kepada seseorang tanpa mewajibkan dia untuk

28 Kosuke Koyama. Tidak Ada Gagang Pada Salib. Jakarta:

(50)

menyeberang ke agama Kristen. Kebebasan perlu diberikan kepada penerima Injil untuk memilih apakah tetap tinggal dalam agama semua atau

menyeberang ke agama Kristen (Sabit-Salib: 267).

Pertimbangannya, ada orang dari agama lain yang merasa terlalu berat untuk memutuskan hubungan dengan orang tua, keluarga dan teman-temannya. Mereka lebih suka tinggal dalam latar belakang mereka sendiri dan berupaya membersihkan saluran-saluran dalam relasi mereka. Sadar bahwa gagasannya ini bakal ditolak karena tidak memiliki pendasaran Biblis, Nabeel Jabbour menunjukkan dasar-dasar biblis untuk penginjilan relasional.

Nabeel Jabbour mulai dengan menunjuk pada kisah Naaman dalam Perjanjian Lama (II Raja. 5). Pejabat tinggi Aram ini sakit kusta. Ia disembuhkan oleh Allah lewat perantaraan nabi Elisa. Naaman mengaku percaya kepada Yahweh dan hanya menyembah Dia sebagai Allah yang hidup. Tetapi Naaman adalah orang kepercayaan raja Aram. Raja selalu meminta Naaman menemani untuk ke kuil, berdoa di depan patung Rimon dan berlutut di depan patung itu. Naaman tahu bahwa Rimon hanya berhala dan ia tidak boleh menyembah Rimon lagi setelah dia mengenal Yahweh.

(51)

Waktu masalah itu diceritakan kepada Elisa untuk minta nasehat, Elisa tidak keberatan. Dia mengijinkan Naaman untuk kembali ke Damsyik dan tetap menyertai raja masuk kuil dan ikut berlutut di depan Rimon bersama raja (Sabit-Salib: 255-257).

Kisah Naaman yang disejajarkan Nabeel Jabbour dengan cerita Kornelius dalam Kisah Rasul 10-11 dijadikan dasar untuk menegaskan bahwa orang yang percaya kepada Yahweh boleh tetap menjalankan kewajiban-kewajiban yang dituntut dalam agamanya sebab yang Yahweh lihat adalah hati manusia, bukan hanya bentuk-bentuk luar ibadah. Cerita hidup dua pejabat militer ini juga menunjukkan bahwa Yahweh hadir di luar batas-batas agama dan geografi Israel.

(52)

Kata kunci dalam I Korintus 7 yang dijadikan pijakan bagi Nabeel Jabbour untuk membangun pemahaman tadi adalah “baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan, seperti waktu ia dipanggil Allah. Apakah engkau hamba waktu engkau dipanggil? Itu tidak apa-apa. Tetapi jika engkau mendapat kesempatan untuk dibebaskan, pergunakanlah kesempatan itu.” Pernyataan ini penting karena diulang Paulus sampai tiga kali (ayat 17, 20, 24).

Menurut Nabeel Jabbour pernyataan ini tidak boleh dibatasi hanya dalam hubungan tuan-hamba, tetapi juga hubungan percaya-tidak percaya antara suami-istri seperti yang ditulis Paulus dalam ayat-ayat sebelumnya, tetapi juga dalam pengertian perbedaan agama: Yahudi-bukan. Paulus berkata bahwa tetap tinggal dalam latar belakangnya pada saat dipanggil adalah tugas atau panggilan dari dia (Sabit-Salib: 263). Mengomentari teks ini Nabeel Jabbour menulis sebagai berikut:29

Prinsip ini dapat juga diterapkan pada kontroversi Yahudi/bukan Yahudi dan masalah hamba-majikan. Kepada orang Yahudi yang telah percaya kepada Kristus, Paulus mengatakan agar jangan ia menjadi seorang Kristen bukan Yahudi. Sedangkan kepada orang Kristen bukan Yahudi, Paulus mengatakan agar jangan ia menjadi seorang Kristen Yahudi. Menjadi orang Yahudi

(53)

atau menjadi orang bukan Yahudi tidak soal. Yang penting adalah berserah kepada Kristus dan mempertahankan identitas pribadi serta menikmati asal-usulnya sendiri. Yang penting bukan apakah ia orang Kristen persegi atau lingkaran. Melainkan ia berada dalam lingkaran ekklesia.

Setelah komentar ini Nabeel Jabbour menegaskan bahwa gambaran tadi berlaku juga dalam

hal Kristen dan Muslim. Orang Muslim tidak harus

mengubah bentuk dan identitasnya agar bisa masuk dalam Kerajaan Allah. Ia dapat langsung masuk melalui pintu gerbang kerajaan yang lebar, dan tidak perlu masuk melalui pintu gerbang sempit berupa dua puluh abad identitas serta tradisi-tradisi Kristen. Naaman dan kornelius jadi rujukan bagi Nabeel Jabbour untuk ini (Sabit-Salib: 264).

Ekklesia Tersembunyi dan Gereja Kasat Mata

Bertolak dari pemahaman tentang penginjilan

relasional Nabeel Jabbour sampai pada percakapan

(54)

seorang Muslim percaya dengan sepenuh hati kepada Kristus namum tetap tinggal di antara kaumnya sendiri sebagai garam dan terang? (Sabit-Salib: 234).

Jawaban yang diberikan Nabeel Jabbour untuk pertanyaan ini adalah: “Kita harus memberikan dua pilihan bagi orang Muslim untuk menentukan, apakah bergabung dengan kekristenan atau tetap tinggal dalam latar belakang mereka untuk membersihkan saluran-saluran relasi mereka” (Sabit-Salib: 267). Kalau seorang Muslim lebih memilih opsi kedua, kita harus menghormati pilihan itu. Pilihan itu sendiri tidak bertentangan dengan Injil.

Ekklesia tersembunyi, gereja tidak kasat mata adalah ungkapan yang dipakai Nabeel Jabbour untuk menggambarkan posisi eklesiologinya. Yang dia maksudkan dengan ekklesia tersembunyi adalah orang yang menerima Injil atau percaya kepada Kristus dalam perserakan atau diaspora. Mereka tetap tinggal dalam dunia Islam, hidup sebagai orang Muslim tetapi percaya kepada Kristus dengan sepenuh hati.

(55)

kebarat-baratan. Selain itu, dengan tetap menjadi Muslim ada dua misi positif yang mau mereka lakukan.

Pertama, mereka mau melakukan

pembersihan-pembersihan terhadap saluran-saluran dalam agama mereka bertolak dari Injil Kristus, dengan paradigma rangka empat kuasa pembebasan Injil yang sudah kami utarakan. Kedua, harta terindah yakni Injil yang sudah mereka miliki mau juga mereka bagikan kepada keluarga mereka dengan harapan satu saat kelak semua keluarga mereka juga menerima Injil (Sabit-Salib: 236).

Anggota dari ekklesia tersembunyi tetap menjalankan ketentuan-ketentuan ibadah dalam agama mereka, Muslim tetapi dengan cara pandang yang baru. Inilah juga yang terjadi dengan Petrus dan Yohanes setelah Pentakosta pertama di Yerusalem. Dua rasul ini tetap mengikuti ibadah di Bait Allah sesuai jam-jam doa agama Yahudi. Mereka sama sekali tidak mengutuk agama Yahudi dan menyeberang ke agama baru, Kristen karena memang waktu itu belum ada agama Kristen. Mereka adalah orang beragama Yahudi yang percaya kepaada Yesus (Sabit-Salib: 238). Dengan kata lain, ekklesia tersembunyi bukan gambaran yang asing dalam Perjanjian Baru.

(56)

diadukkan ke dalam terigu atau sebagai garam yang bekerja secara senyap untuk membuat makanan memiliki cita rasa yang menyenangkan. Nabeel Jabbour memang tidak menggunakan gambaran ragi atau garam, tetapi tugas yang dimainkan pengikut Kristus dalam agamanya sama persis dengan fungsi ragi atau garam. Fungsi itu Nabeel Jabbour gambarkan dalam ilustrasi berikut:

(57)

empat. Masing-masing mereka tidak kehilangan identitas sosiologis mereka, tetapi sekarang hidup bersama dalam damai di lingkaran ekklesia.

Gereja dalam perserakan adalah nama lain

yang Nabeel Jabbour berikan ekklesia tidak kasat mata. Inilah juga corak bergereja jemaat perdana sebelum adanya agama Kristen.30 Kita temukan ini dalam cerita

hidup para rasul yang berserak menyebar ke seluruh Yudea dan Samaria akibat dari penganiayaan dari agama Yahudi di Yerusalem. Dua tokoh yang dikisahkan secara detail kegiatan mereka membersihkan saluran-saluran dalam agama Yahudi dengan kuasa pembebasan Injil adalah Stefanus dan Paulus (Sabit-Salib: 238-9). Mereka membersihkan konsep sunat, institusi perbudakan dan pandangan terhadap perempuan dalam agama Yahudi dan budaya bangsa-bangsa dengan Injil Kristus.

Gereja dalam perserakan yang dikonstruksi Nabeel Jabbour tidak hanya berguna untuk memperlihatkan kepada kita keberagaman bentuk ekklesia dalam Perjanjian Baru, supaya kita tidak memutlakan satu bentuk pemahaman tentang gereja sebagaimana yang sering terjadi dalam gereja saat ini. Gereja dalam perserakan juga dikonstruksikan oleh Nabeel Jabbour sebagai kritik terhadap bentuk ekklesia

perhimpunan, gereja kasat mata yang ia anggap

30 Penegasan ini menunjukkan kepada kita bahwa gereja ada

(58)

menghalangi banyak orang yang berbeda agama untuk menerima Injil dan percaya kepada Yesus.

Gambar 1 adalah ekklesia kasat mata. Sedangkan gambar 2 adalah ekklesia tersembunyi atau

gereja tidak kasat mata. Lingkaran nomer 11 dalam

gambar dua adalah gereja, tetapi dia sama sekali tidak punya hubungan dengan lingkaran-lingkaran lain. Dia adalah warga gereja yang terputus hubungan dengan semua orang yang ada dalam agamanya. Menyedihkan sekali nasib warga gereja seperti ini. Inilah yang terjadi kalau kita mewajibkan seseorang yang percaya kepada Injil menyeberang ke dalam agama Kristen. Ia akan menjadi orang asing bagi saudara-saudara dalam agamanya semula, tetapi juga bagi agama yang dimasukinya.

(59)

seseorang. Kita meminta dia untuk melakukan penyeberangan agama dengan maksud untuk menjadikan dia gereja kasat mata, tetapi hasilnya yang bersangkutan menjadi manusia yang tercabut dari akar komunitasnya dan yang kehilangan relasi-relasi yang membuat dirinya bermakna.

Yang dimaksud Nabeel Jabbour dengan gereja kasat mata adalah pemahaman tentang gereja sebagai sebuah bangunan dengan arsitektur yang khas atau sekelompok umat yang selalu berkumpul setiap hari minggu pagi, menyanyikan lagu-lagu pujian, duduk di bangku panjang, mengumpulkan persembahan dan sebagainya seperti nyata dalam gambar 1. Ini juga paham yang syah tentang gereja, tetapi belum penuh. Gereja yang berhimpun harus dibarengi dengan gereja yang berserak.

Gereja dalam perserakan yang Nabeel Jabbour perkenalkan (gambar 2) tidak menyepelehkan perlu dan pentingnya pertemuan-pertemuan pendalaman dan pemahaman kitab suci. Orang-orang yang menerima Injil memang tidak perlu melakukan

penyeberangan agama, tetapi pemahaman mereka

(60)

universal dengan sesama anggota ekklesia (Sabit-Salib: 226).

Kewajiban ini membawa kita pada kesimpulan bahwa orang Muslim yang percaya kepada Injil perlu menerima baptisan, betapapun Nabeel Jabbour tidak secara eksplisit mengatakannya. Tetapi baptisan tidak dipahami sebagai tanda keanggotaan satu agama institusional, melainkan meterai penyatuannya dengan Kristus.

Kesimpulan dan Penutup

Nabeel Jabbour menghadirkan fakta yang mengejutkan kita sebagai orang Kristen. Secara terus terang ia menunjukkan bahwa kita, orang Kristen tidak bisa mempersalahkan begitu saja Islam untuk berbagai tindakan kekerasan atau terror. Orang Kristen dan dunia Kristen (Barat) bukan malaikat dan orang Muslim dan dunianya adalah sarang setan.

Tidak! Orang Kristen dan kekristenan ikut bertanggung jawab atas eskalasi kekerasan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh sebagian besar orang Muslim. Ibarat sebuah pertunjukan, kekristenan dan dunia Kristen adalah sutradara atau penulis scenario dari kekerasan itu sementara kaum Muslim militant adalah aktor-aktornya. Nabeel Jabbour menulis begini:31

(61)

“Sebagian besar orang Muslim sedang ditarik ke dua arah: mendekat kepada Kristus yakni ke arah keterbukaan pikiran atau merapat ke fanatisme atau sikap hidup yang tertutup dan bermusuhan. Kita sebagai orang Kristen dan negara-negara Barat yang diasosiasikan dengan negara Kristen dan yang kuat secara ekonomi dan kekuasaan memiliki peran dalam menolong orang Muslim untuk mengarahkan pilihan kepada keterbukaan pikiran, yakni untuk menjadi kaum Muslim moderat.

Gambaran keadaannya adalah seperti ini:

Jelasnya, ketertarikan orang Muslim ke arah tindakan-tindakan militan disebabkan oleh sikap dunia dan orang Kristen terhadap mereka (Sabit-Salib: 93).

(62)

Nabeel Jabbour melalui e-mail dan mendapat respons positif. Bahkan beliau mengirim timnya yang ada di Indonesia (Surabaya) untuk bertemu kami di Salatiga sekedar untuk bertemu. Hubungan kami dengan Nabeel Jabbour terjalin dengan baik betapapun hanya lewat e-mail.

Gambar

Gambar 1

Referensi

Dokumen terkait

Demikianlah Pengumuman Penetapan Calon Pemenang Pelelangan ini dibuat, sekiranya ada sanggahan dari masyarakat maupun rekanan penyedia barang/jasa lainnya dapat

-- ujung tulang dilapisi tulang rawan diperkuat di luarya dengan ujung tulang dilapisi tulang rawan diperkuat di luarya dengan kapsul sendi dan ligamentum.. kapsul sendi

Hal ini serupa dalam filsafat China yang lebih menegaskan aviliasi antara sikap individu dengan alam semesta yang diseimbangkan oleh pemikiran manusia secara

pengukuran diambil pada pertengahan antara trochanterion trochanterion dan dan tibiale laterale, tibiale laterale, tegak lurus terhadap aksis panjang paha (lebih mudah dilakukan

Menyatakan bahwa karya ilmiah (Skripsi) saya yang berjudul Pengaruh Citra Produk terhadap Ekuitas Merek (Studi Pada Customer Produk Simcard Cdma Prabayar “Smartfren”

Keterangan Hasil Evaluasi Aritmatik ini bukan merupakan pengumuman hasil pelelangan umum, namun merupakan salah satu proses evaluasi. Selanjutnya evaluasi penawaran masih

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul,

secara pribadi / tidak mewakilkan, apabila dikuasakan agar menerima kuasa penuh untuk dapat mengambil keputusan dan hadir tepat waktu. Demikian untuk menjadikan