• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOOK Ebenhaizer I Nuban Timo Gereja Lintas Agama BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BOOK Ebenhaizer I Nuban Timo Gereja Lintas Agama BAB I"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

Gereja Jangan Meng-Ghetto

Andreas A. Yewangoe

Pendahuluan

Pembahasan kita mengenai pertanyaan: “Mungkinkah seorang yang percaya kepada Kristus dari latar belakang agama lain tetap tinggal dalam agamanya itu?” akan kita lanjutkan dengan meneliti pikiran seorang pemimpin gereja dan teolog terkemuka Indonesia: Andreas A. Yewangoe. Judul yang tertera di bab ini merupakan intisari dari pemikiran Yewangoe sendiri.

(2)

10 tahun (dua periode) dari tahun 2004-2014. Sebelum tahun-tahun itu dia sudah dipercaya menjadi anggota bahkan juga salah satu ketua (PGI). Pengalamannya ini Dalam masa-masa kepemimpinan di PGI dia bergumul dengan pertanyaan: “Bagaimana memberi pemahaman kepada gereja dan orang-orang percaya kepada Kristus untuk hadir dan melaksanakan tugas-tugas kesaksian di Indonesia tanpa merusak persaudaraan dan kerukunan dengan sesama anak bangsa yang beragama lain.” Serentak dengan itu ia juga terus bergumul dengan upaya memperkuat civil society, suatu masyarakat yang beradab dan saling menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.

Pergumulan itu dituangkan dalam berbagai ujaran dan ceramah yang kemudian diterbitkan dalam berbagai buku yang kami catat di footnote tulisan ini. Pikiran-pikiran itu, sebagaimana yang diakui sendiri olehnya maupun oleh editor buku-bukunya sedikit banyak mencerminkan sikap PGI.

(3)

Biodata dan Konteks Berteologi

Andreas A. Yewangoe adalah pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS). Ia lahir di Mamboru – Sumba – Nusa Tenggara Timur 31 Maret 1945 dari keluarga yang berayahkan juga seorang pendeta. Ia menjalani pendidikan teologi di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dan lulus tahun 1969. Usai kelulusannya, ia pulang ke Sumba menjalani masa vikariat dan ditahbis sebagai pendeta kemudian diutus untuk mengajar di Akademi Teologi Kupang yang pada tahun 1971 didirikan oleh GKS dan GMIT. Ia kemudian berkesempatan memperdalam ilmu teologi di negeri Belanda dan memperoleh gelar doctor theologiae di Vrije Universiteit – Amsterdan tahun 1987.

Untuk memahami pikiran-pikiran Yewangoe berhubungan dengan pokok bahasan dalam buku ini perlulah terlebih dahulu kita memperhatikan konteks sosial dan kemasyarakatan di mana ia hidup sekaligus keyakinan iman yang beliau anut. Untuk hal yang pertama, yakni konteks sosial adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dicirikan sebagai negara yang multi kultur, multi agama.

(4)

religius yang bersumber pada kecenderungan tafsir tertentu terhadap agama yang dianut sambil menafikan tafsir dari kelompok yang berbeda, baik yang satu agama maupun yang berbeda agama.

Pergolakan untuk menampilkan diri sebagai yang paling berhak tadi mengemuka dalam dua bentuk: yang santun melalui upaya-upaya mempengaruhi perubahan konstitusi atau melalui penyebaran paham religius tertentu yang bersifat diskriminatif, dan bentuk yang brutal atau anarki dalam wujud tindakan kekerasan terhadap kelompok yang berseberangan jalan atau berbeda paham penafsiran.

Negara yang seharusnya bertindak mengayomi semua kelompok yang berbeda dan menciptakan ruang bagi kehidupan bersama yang setara justru tidak menjalankan peran itu dengan baik. Negara bukan hanya melakukan pembiaran terhadap friksi-friksi itu. Dalam banyak kesempatan negara justru berdiri bersama kelompok yang ngotot memaksakan kehendak.

(5)

mengunjungi Jafar Umar Thalib, panglima laskar jihad).1 Semua ini membuat kemajemukan yang

menjadi ciri NKRI sekaligus sesuatu yang given berada dalam ancaman yang mengerikan.

Selain pertikaian tentang dasar negara dan kekerasan bernuansa agama yang menodai kemajemukan hidup berbangsa, Indonesia juga diperhadapkan dengan persoalan kemiskinan. Krisis moneter yang menimpa Indonesia di tahun 1997 mengakibatkan kemiskinan sebagai luka sosial yang masih terus menjadi kenyataan kekinian Indonesia.

Untuk hal kedua, yakni keyakinan iman Yewangoe, pokok ini akan kami uraikan agak detail dalam sub bagian berikut. Sekedar sebuah catatan awal, Yewangoe berkeyakinan bahwa Allah adalah Tuhan atas semua manusia dan bekerja dalam semua agama dalam rangka menghadirkan keselamatan dan kehidupan yang berpengharapan.

Pemikiran Andreas Yewangoe yang pada waktu buku ini ditulis sedang menjabat sebagai Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia untuk periode kedua tentang misi atau penginjilan dalam konteks agama-agama non-kristen muncul dalam tulisannya yang menyebar secara sporadik di banyak tempat. Judul buku dan artikel yang memuat

1 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. Jakarta:

(6)

pikirannya tentang pokok kita akan kami sebutkan baik dalam catatan kaki maupun dalam batang tubuh pembahasan ini. Apa yang kami buat di bagian ini adalah melakukan kompilasi dari pikiran-pikiran beliau yang tersebar itu dalam satu bentuk yang utuh.

Satu minggu sebelum perayaan natal tahun 2012, tepatnya tanggal 20 Desember sewaktu kami bersama istri dan kedua anak tercinta sedang melakukan perjalanan darat ke Surabaya untuk menuju Kupang dalam rangka liburan Natal, kami berkomunikasi dengan pendeta Andreas Yewangoe memberitahukan niat menulis buku ini. Melalui pesan singkat (SMS) penulis bertanya: “Apakah bapak pernah menulis khusus tentang keharusan berpindah ke agama Kristen bagi seorang non-Kristen yang menjadi percaya kepada Yesus.” Jawaban yang diberikan kepada penulis berbunyi: “Tidak eksplisit saya sebutkan dalam tulisan-tulisan saya, tetapi pokok tersebut menarik untuk dibahas.”

(7)

seseorang itu adalah murid, tetapi tetap berada dalam agamanya sendiri?”2

Pertanyaan ini dijawab secara retoris oleh Yewangoe dengan menunjuk kepada Mahatma Gandhi. Yewangoe menulis: “Siapa bisa menyangkal, misalnya, Mahatma Gandhi yang adalah murid Yesus tetapi tetap menganut agama Hindu? Bukankah ia sangat konsisten mengamalkan nilai-nilai khotbah di Bukit, kendati tidak pernah dibaptis menjadi Kristen?”3

Jawaban Yewangoe untuk pertanyaan ini adalah sebagai berikut: “Pertanyaan yang tidak mudah dijawab hanya sekedar ya atau tidak.” Meskipun begitu, penelusuran yang saksama terhadap tulisan-tulisan Yewangoe memberikan kepada kita indikasi kuat bahwa beliau seperti yang diakuinya kepada penulis implisit (tidak eksplisit) berpikir ke arah jawaban “YA.”

Baiklah kita melakukan penelusuran itu secara saksama. Dalam penelusuran itu kita akan lakukan dengan pertama-tama melihat pendasaran teologi yang dibuat Yewangoe untuk pertanyaan kita, yang ternyata juga diajukan oleh Yewangoe. Selanjutnya kita mendeskripsikan jawabannya terhadap

2 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap.. hlm.

44.

3 Andreas A. Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.

(8)

pertanyaan tadi, yang dia sendiri katakan sebagai tidak eksplisit.

Bagian selanjutnya kita menelusuri pikiran kritis Yewangoe terhadap praktek misi yang dimotivasi oleh tujuan yang dia sendiri sebut memenangkan jiwa dan church planting. Termasuk dalam pikiran kritis itu, solusi yang beliau tawarkan berhubungan dengan pertanyaan tadi. Penelusuran kita akan diakhiri dengan mendalami rancang-bangun eklesiologi yang ditawarkan oleh Yewangoe untuk menjadikan gereja competable terhadap gagasan-gagasannya.

Keyakinan Iman Yewangoe

Andreas Yewangoe adalah seorang Kristen, warga Gereja Kristen Sumba, berayahkan seorang pendeta. Dia juga adalah seorang pendeta. Salah satu dari kedua anaknya menikah dengan pendeta. Informasi ini kiranya cukup untuk memperlihatkan kepada kita isi iman yang diyakini Yewangoe. Sudah pasti Yewangoe percaya kepada Allah yang menyatakan diri di dalam Kristus dan melalui Roh Kudus menanamkan keselamatan di dalam manusia, sebagaimana yang diimani oleh warga Gereja Kristen Sumba. Kekristenan adalah bingkai agama di dalam mana Andreas Yewangoe mengaktualisasikan imannya kepada Allah.

(9)

kekristenan. Betapapun begitu Allah menurut Yewangoe tidak dapat dikurung dalam tas punggung (ransel) kekristenan dan diklaim sebagai milik orang Kristen saja. Dalam materi ceramah beliau yang disampaikan di Kupang, 4 September 2008 berjudul: Umat Kristen dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, di sub judul: Hubungan dengan Para Penganut Agama Lain, Yewangoe menegaskan hal ini.4

Allah adalah Allahnya bangsa-bangsa (MNz. 47:9-10). Ia tidak hanya mengasihi Israel, tetapi juga Edom, Mesir dan seterusnya. Yesus Kristus memerintahkan kita agar kita mengasihi sesama seperti diri kita sendiri (Mt. 22:39). Atas dasar itu, kita menjalin relasi dengan sesama tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan.

Allah adalah Tuhan segala bangsa dan semua agama. Bukan hanya itu, Allah yang sama kata Yewangoe bekerja dalam alam dan sejarah bangsa-bangsa. Allah juga mempunyai sejarah dengan setiap agama dan setiap orang. Dengan mengutip J. Verkuyl, Yewangoe menunjukkan bahwa Allah tentulah berbuat sesuatu ketika Veda diteruskan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Allah juga tentu

(10)

tidak tinggal diam ketika Muhammad bermeditasi di gua Hira.5

Hal ini kembali dipertegas Yewangoe dalam makalah tentang Kecenderungan-Kecenderungan dalam Teologi Asia Dewasa ini. Di situ dia menulis bahwa Allah yang bertindak dalam sejarah itu tidak saja membatasi konteksnya dalam sejarah Gereja, tetapi juga dalam sejarah konteks-konteks kita yang spesial. Lalu untuk mengkonkretkan penegasan ini Yewangoe bercontoh tentang satu insiden yang terjadi di Cina.

Pada tahun 1988 satu rombongan pemuda gereja Amerika Serikat mengunjungi Cina yang mulai membuka diri kepada dunia. Dalam salah satu pidatonya, pemimpin rombongan itu bersyukur kepada Allah karena sekarang Kristus datang lagi mengunjungi Cina. Pendeta setempat yang mendengar pidato itu langsung memberi reaksi keras. Dia katakan bahwa pidato itu tidak benar karena Kristus tidak pernah meninggalkan Cina selama ini.6

Watak omnipresensi dari keberadaan Allah itu berlaku juga untuk tiap pribadi dalam

5 A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan. Jakarta: BPK

Gunung Mulia 2006. hlm. 74.

6 A.A. Yewangoe. “Kecenderungan-Kecenderungan dalam

(11)

ketritunggalan. Tentang Yesus Kristus, Allah yang menyatakan diri dalam rupa manusia, Yewangoe menulis: “Allah yang tersalib itu jauh lebih besar dari agama-agama, dan dari semua aturan agama yang ada. Maka salib mendesak kita untuk lebih rendah hati agar tidak menciptakan salib-salib baru bagi orang lain, justru menurut (dugaan kita!) kita sedang menjalankan secara cermat ajaran-ajaran agama kita masing-masing.7

Pada lain kesempatan Yewangoe menulis: “Keunikan Kristus tidak identik dengan keunikan kekristenan” (Agama dan Kerukunan: 219). Kristus, kata Yewangoe, bekerja juga di tempat lain, bahkan juga dalam agama-agama lain.Tentang Roh Kudus, Yewangoe menulis bahwa Ia tidak hanya berkarya di dalam gereja, tetapi juga di luar gereja. Adalah naïf bila kita mengklaim seakan-akan Roh Kudus hanya boleh bekerja dalam koridor-koridor yang telah kita tetapkan.8 Pernyataan ini menjadi dasar paling dalam

dari dialog orang Kristen dengan mereka yang beriman lain (Agama dan Kerukunan: 52).

Di tempat yang terpisah, yakni dalam ceramah di Jakarta tanggal 17 Juni 2006 Yewangoe menegaskan bahwa Allah tidak dapat kita kurung dalam agama Kristen. Ruang lingkup kerja Allah melampaui batas-batas yang ditetapkan agama Kristen. Tuhan tidak dapat ditangkap dalam lembaga-lembaga, termasuk

(12)

dalam lembaga agama bahkan oleh agama Kristen sekalipun.9 Dalam ceramah di Palangka Raya, 2 April

2007, dengan mengutip Aloysius Pieris, Yewangoe menegaskan bahwa Allah bukan hanya bekerja dalam agama-agama non-Kristen, tetapi dalam agama-agama itu keselamatan (soteriology) yang dari Allah juga sudah ada. Tugas gereja adalah menemukan (kembali) pemberitaan tentang keselamatan yang selama ini teranyam di dalam agama-agama itu.10

Pokok pikiran serupa Yewangoe tegaskan kembali dalam salah satu tulisannya untuk menghormati ulang tahun ke-70 Bishop Emeritus Dr. I. Wayan Mastra yang dihimpun dalam buku yang diberi judul: Gereja Memasuki Millenium III. Di situ dia menegaskan bahwa kegiatan penyataan Allah tidak hanya dibatasi pada Israel dan gereja. Penyataan Allah melampaui dua agama itu. Allah juga menyatakan diri dan karya keselamatan di antara orang-orang non-Kristen. Konsekwensinya, agama-agama non-Kristen bukanlah realita yang harus dikutuk. Sebaliknya realita yang harus dipelajari dan dipahami, sebagaimana kita mempelajari bahasa asing sehingga kita dapat berkomunikasi dengan mereka dalam bahasa yang mereka sendiri pahami.11

9 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm. 52. 10 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.

42.

11 A.A. Yewangoe. “Keprihatinan Mastra Terhadap Relasi

(13)

Keyakinan iman Yewangoe ini mengingatkan kita pada keyakinan iman seorang teolog besar Asia lainnya, Kosuke Koyama, dari Jepang. Ia berbicara tentang Allah yang tidak memihak dalam hal pembenaran dan juga keselamatan. Allah tidak melulu menyibukkan diri dengan Israel. Ia juga sibuk dengan sejarah di luar Israel. Cyrus, maharaja Persia, Dia jadikan hambaNya dan bahkan MesiasNya.12 Ini suatu

demonstrasi yang mencengangkan dari ke-tidak-memihak-an Allah.

Allah yang tidak memihak ini adalah Tuhan yang baik kepada semua orang. KebaikanNya itu ditunjukkan bukan hanya dengan pengajaran agar kita juga mengasihi sesama seperti diri sendiri (Mt. 22:39), tetapi nyata juga dalam keputusanNya untuk menunjukkan kemurahan dan kasihNya yang menyelamatkan kepada semua orang.13

Ke-tidak-berpihakan-Allah Tritunggal ini juga ditegaskan Yewangoe. Ia berkata: “Teologi Kristen menolak pengidentikan Allah dengan agama, yang berarti pula menolak pemutlakan agama dan sekaligus berarti penisbian Allah. Allah selalu lebih besar dari

Millenium III. Malang: Yayasan Persekutuan pekabaran Injil Indonesia. 2001. hlm. 19.

12 E.G. Singgih. Dari Israel ke Asia. Jakarta: BPK Gunung

Mulia. 1982. hlm. 28.

13 Andreas Yewangoe. “Tuhan Itu Baik Kepada Semua

(14)

apa yang dapat ditangkap dan dipahami agama apapun. Implikasinya adalah bahwa kita tidak boleh menutup pintu bagi sesama kita yang beragama lain.”14

Di atas dasar keyakinan iman akan Allah yang serba hadir untuk menawarkan keselamatan dan pembenaran kepada manusia tanpa peduli latar belakang agama, keyakinan, budaya dan kebangsaan, Yewangoe menyatukan suaranya dengan para teolog besar Asia seperti Kosuke Koyama dan Choan-seng Song memberitakan Injil yang adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani (Rm. 1:16).

Rasanya ada yang kurang kalau kita hanya memeriksa keyakinan iman Yewangoe tentang Allah dan mendiamkan pokok yang lain, yakni bagaimana pandangan Yewangoe tentang agama-agama. Karena itu kita sekarang akan menelusuri isi keyakinan Yewangoe tentang agama-agama.15

Dalam bukunya berjudul Agama dan Kerukunan, dalam kalimat pertama di bagian pengantar Yewangoe menegaskan bahwa agama-agama idealnya dianugerahkan kepada manusia untuk menyampaikan cinta kasih dari Tuhan (Agama dan

14 A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan.... hlm. 50. 15 Yang Yewangoe dan kami maksudkan dengan

(15)

Kerukunan: xiii). Jelas bahwa bagi Yewangoe agama-agama adalah pemberian Allah kepada manusia. Kalau di atas kita tegaskan bahwa menurut Yewangoe Allah mempunyai sejarah dengan setiap agama dan setiap orang, itu karena agama-agama adalah pemberian Allah kepada manusia.

Sebagai pemberian Allah adalah wajar jika Yewangoe kemudian menegaskan bahwa ada unsur kebenaran dalam agama-agama. Tentu saja ini bukan sekedar pandangan pribadi Yewangoe. Ia menyatukan suaranya dengan konsili Vatikan II dalam pandangannya tentang agama-agama. Karena dalam agama-agama ada unsur kebenaran, Yewangoe menyerukan kepada gereja untuk menggiatkan upaya-upaya untuk mendalami agama-agama secara teologis.16

Ajakan untuk mendalami agama-agama secara teologis memimpin Yewangoe pada seruan agar orang Kristen tidak memandang orang dari agama lain sebagai strangers (orang asing) melainkan neighbors (tetangga). Teologi kita terhadap saudara-saudara dari agama lain bukan lagi theology of hostility (teologi permusuhan) melainkan theology of hospitality (teologi keramahan).17 Dia menulis: “Umat Kristen di

Indonesia harus menumbuhkan dalam benaknya bahwa Islam bukan musuh. Sebaliknya, Islam adalah

16 A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan…. hlm. 76. 17 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.

(16)

mitra dalam perjalanan bersama sejarah umat manusia, khususnya perjalanan sejarah bangsa Indonesia (Agama dan Kerukunan: 84).

Dengan mengutip D.C. Mulder, Yewangoe menulis: “Kalau seorang Kristen bertemu dengan seorang yang beragama lain, maka ia bukan bertemu dengan seorang musuh, tetapi seorang saudara yang dikasihi Tuhan Allah. Maka orang lain itu layak didekati dengan sikap terbuka, hormat dan penghargaan, bahkan dengan kasih persaudaraan.”18

Dua pandangan ini, yakni keyakinan iman Yewangoe akan Allah dan pandangan teologisnya tentang agama-agama kami anggap sebagai fondasi di atas mana dia membangun pemahamannya tentang kehidupan gereja dan orang Kristen di dalam masyarakat multi agama. Kita segera akan mendalami pemahaman Yewangoe tentang hal itu.

Hakikat Penginjilan atau Misi Kristen

Kalau Allah adalah Tuhan yang mengerjakan keselamatan dan menawarkan pembenaran kepada semua orang tanpa kecuali dan ada unsur-unsur kebenaran dalam agama-agama, hal ini berdampak langsung mengenai hakekat dan makna misi atau penginjilan. Penginjilan atau misi, demikian

(17)

Yewangoe dalam ulasannya tentang Mastra, bukanlah sekedar membuktikan kekristenan sebagai agama yang paling mungkin benar.19

Di Palangka Raya Yewangoe berkata: “Pemuridan harus diartikan secara lebih luas. Salah satu maknanya adalah bahwa tidak secara eksplisit dipahami sebagai perpindahan seseorang ke dalam agama baru, misalnya agama Kristen.”20 Misi harus

lebih dipahami sebagai perkara kesaksian kepada Kristus yang bangkit dan perbuatanNya yang ajaib di dalam sejarah keselamatan.Dengan kata lain, di dalam misi kita hanya menampilkan Kristus kepada manusia dan berharap bahwa mereka akan melihat dan mengalami perbuatan penyelamatanNya dan dengan demikian percaya kepadaNya.21

Paham misi seperti ini, kata Yewangoe diibaratkan sebagai diaspora, suatu model kehadiran yang dilakukan dengan maksud: 1, menjadi terang, garam dan ragi umat dengan latarbelakang agama mereka. 2. Memenangkan buah-buah pertama dari bangsa-bangsa bagi Kristus. Selanjutnya, ia juga menegaskan bahwa cara yang santun untuk mendekati agama-agama non Kristen untuk memperkenalkan Kristus adalah dengan memperhatikan prinsip cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Artinya, untuk

19 A.A. Yewangoe. “Keprihatinan Mastra … hlm. 44.

20 Andreas A. Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.

44.

(18)

menampilkan imannya sebagai seorang Kristen kepada yang non-Kristen itu harus dilakukan dalam bahasa dan cara yang bermakna bagi kedua pihak. Orang-orang non-kristen perlu dihormati. Bahasa, pemikiran dan ungkapan-ungkapan yang sudah ada dalam agama mereka perlu dipahami dan dimanfaatkan. Orang Kristen tidak boleh menyerang dan mengutuk agama-agama non-kristen. Tetapi hal ini tidak boleh membuat kita meninggalkan keunikan Kristus.22

Pertanyaan yang muncul, jika demikian bagaimana wujud konkret dari praktek misi atau pekabaran injil dalam masyarakat yang multi agama? Pertanyaan ini akan kami jawab dalam sub judul berikut. Meskipun begitu patut kita catat satu butir pemikiran Yewangoe yang kami anggap relevan, sekaligus membuka wawasan. Dia berkata: “Misi bukanlah sekedar perkara membuktikan kekristenan sebagai agama yang paling mungkin benar. Misi adalah perkara kesaksian kepada Kristus yang bangkit dan perbuatanNya yang ajaib di dalam sejarah keselamatan.”23

Praktek Misi

Mengawali penelusuran kita mengenai pemikiran Yewangoe sehubungan dengan paham dan praktek misi atau pekabaran injil, baiklah kita

(19)

memperhatikan dua catatan berikut yang berguna sebagai kompas atau peta yang digariskan oleh Yewangoe agar penelusuran kita berada pada track yang benar.

Pertama, perumusan pikiran dan gagasan-gagasan Yewangoe tentang misi atau pekabaran injil dikaitkan erat dengan keberadaan gereja dan orang Kristen di antara umat beragama lain, dengan catatan bahwa gereja dan orang Kristen hadir sebagai kaum minoritas dari segi jumlah.24 Betapapun secara prinsip,

dengan menunjuk kepada ketentuan konstitusional serta kontribusi Kristen bagi kehidupan bersama di Indonesia Yewangoe keberatan menyebut gereja dan orang Kristen di Indonesia sebagai kaum minoritas, tetapi toh stigma itu tidak bisa ditiadakan begitu saja.

Dalam status sebagai minoritas ini, Yewangoe selalu mengingatkan gereja dan orang Kristen Indonesia untuk menjadi minoritas yang kreatif dengan menunjuk pada pemikiran Prof. Notohamidjoyo atau mengembangkan sikap hidup sebagai warga negara yang bertanggung-jawab yang pernah dicetuskan Oleh Dr. J. Leimena.25

Kedua, kalau mayoritas warga gereja di Indonesia cenderung membuat perbedaan antara tugas gereja dalam bidang marturia dan bidang diakonia, bahkan dalam banyak hal pelayanan diakonia

24 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto…. hlm. 133. 25 Andreas A. Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap..

(20)

dijadikan sub-ordinat dari tugas marturia, yakni diakonia dikaitkan dengan pemberitaan agar seseorang menjadi Kristen, Yewangoe menolak kedua kecenderungan tadi.

“Diakonia,” demikian ditegaskan oleh Yewangoe, “tidak boleh disub-ordinasikan ke bawah upaya-upaya kristenisasi” (Tidak Ada Penumpang Gelap: 106). Di tempat terpisah, yakni dalam kuliah umum di STT-HKBP Pematang Siantar, 25 Mei 2005 penegaskan tadi kembali disampaikan dalam kalimat yang lain: “Diakonia itu sendiri adalah marturia.26

Betapapun gereja dan orang Kristen di dalam masyarakat yang majemuk dalam hal agama hadir sebagai yang minoritas dari segi jumlah, hal itu tidak boleh membuat gereja menafikan tugas misi atau pekabaran injil. Tugas itu, demikian tanda Yewangoe, “tidak bisa ditawar-tawar.”27 Dengan mengutip

Pokok-Pokok Tugas Bersama PGI (PTPB) yang menegaskan panggilan Allah di dalam Kristus untuk memberitakan Injil kepada segala makhluk, di seluruh dunia, sampai ke ujung bumi, Yewangoe mengatakan hal berikut: “Kita dengan sengaja mengutip paragraf ini secara lengkap untuk memperlihat bahwa pemberitaan Injil adalah pemberitaan kabar baik kepada segala makhluk.

26 Andreas A. Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.

108.

27 Andreas A. Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.

(21)

Ini tugas yang tidak pernah berubah sampai akhir zaman” (Tidak Ada Penumpang Gelap: 86).

Agama-agama yang dengannya gereja hidup berdampingan bukanlah strangers (orang asing) melainkan neighbors (tetangga). Mereka itu tetangga bukan hanya dari sudut pandang sosial, historis dan kultural, tetapi juga dari perspektif soteriology (keselamatan). Yewangoe menegaskan persetujuannya dengan Aloysius Pieris bahwa dalam agama-agama itu keselamatan (soteriology) yang dari Allah juga sudah ada.

Realita keber-tetangga-an agama-agama dalam artian soteriology, menurut Yewangoe menjadi tantangan bagi gereja untuk memahami kembali apa yang dimaksud dengan pekabaran injil. Ini membutuhkan pergumulan teologis dan eklesiologis terus-menerus. Hal ini ditegaskan dalam orasi wisuda sarjana teologi XXII dan Magister Divinitas IX dan Magister Teologi IV di STT Cipanas 20 Mei 2006.28

Salah satu pokok pergumulan teologis dan eklesiologis, menurut Yewangoe adalah dalam hal memahami makna misi atau pekabaran injil. Dia menulis: “Great commission mesti diinterpretasi secara baru.” Gereja mesti memahami secara baru makna pekabaran Injil (Tidak Ada Penumpang Gelap: 105). Salah satu pemaknaan baru itu, tegas Yewangoe ialah gereja dan orang Kristen harus memahami kembali

28 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.

(22)

secara sungguh-sungguh apa arti injil yang harus disampaikan kepada segala makhluk.

Pemaknaan hakikat injil seperti yang disaksikan Alkitab melampaui apa yang kita namakan kristenisasi. Makna injil yang sesungguhnya adalah berita kesukaan yang utuh dan menyeluruh, untuk segala makhluk, manusia dan alam lingkungan hidupnya serta keutuhannnya. Tantangan bagi gereja berhadapan dengan arti injil ini ialah bagaimana membuktikan bahwa yang dilakukan itu bukanlah kristenisasi, tetapi pemberitaan Kabar Kesukaan yang membebaskan. Hal ini bersentuhan secara sangat erat dengan cara kita melakukan pekabaran injil.29

Perhatian pada cara melakukan pekabaran injil adalah penting, menurut Yewangoe, karena kita tidak boleh lupa bahwa yang memberitakan kabar baik itu bukan hanya gereja, tetapi juga agama-agama. Karena fakta ini Gereja dan para pengikut Kristus harus benar-benar memperlihatkan kelebihan kabar baik tentang Kristus yang dia beritakan itu dibanding kabar baik yang disampaikan agama-agama lain (Tidak Ada Ghetto: 37).

Dari penelusuran kami terhadap pemikiran Yewangoe kami mencatat setidak-tidaknya ada dua point yang Yewangoe tekankan mengenai keunikan kabar baik tentang Kristus. Pertama, injil yang sejati adalah kabar baik yang mempertautkan dan merekatkan, bukan merenggangkan dan memecah

(23)

antar saudara. Injil adalah sungguh kabar baik karena ia membawa manusia pada persaudaraan sejati.30 Kita

seolah-olah mendengarkan gema pernyataan Paulus yang masyur itu, seperti yang dia tulis dalam Efesus 2:13-19:

Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu "jauh", sudah menjadi "dekat" oleh darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu. Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang "jauh" dan damai sejahtera kepada mereka yang "dekat", karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa. Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah.

(24)

Injil yang sejati, seperti yang terlihat di dalam Kristus memiliki daya bervoltase tinggi untuk mempersatukan dan mempersekutukan orang-orang yang dahulu jauh satu sama lain atau yang hidup dalam suasana saling curiga dan bermusuhan. Injil membuat mereka menjadi satu, yakni sebagai anggota keluarga Allah.

Misi atau pekabaran injil yang dikerjakan gereja dan orang Kristen di Indonesia harus memperlihatkan voltase injil ini. Orang-orang dari agama lain tidak boleh lagi dianggap sebagai stranger (orang asing) tetapi neighbor (tetangga).31 Teologi kita

terhadap saudara-saudara dari agama lain bukan lagi theology of hostility (teologi permusuhan) melainkan theology of hospitality (teologi keramahan).32 Gereja

dan para pengikut Kristus harus memperlihatkan wajah simpatik, empati dan tanpa pamrih sebagaimana diperlihatkan Yesus Kristus, Tuhannya (Tidak Ada Ghetto: 52).

Lawan dari injil yang sejati yang mempertautkan dan merekatkan adalah injil yang palsu, atau injil yang sudah direkonstruksi untuk kepentingan kristenisasi oleh gerakan-gerakan fundamentalistis yang sedang berkembang di Amerika dan terus menyebar pengaruhnya di berbagai tempat

31 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.

86.

32 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.

(25)

termasuk di Indonesia. Tentang injil ini Yewangoe menulis begini:33

Salah satu ciri menonjol dari kekristenan macam ini adalah membagi dunia atas hitam dan putih. Setiap orang yang berada di pihak kita adalah putih, sedangkan sebaliknya adalah hitam. Karena di sana hitam, maka mereka harus diputihkan. Oleh karena itu, maraklah jenis-jenis pekabaran Injil yang ingin mentransformasi dunia ini dalam pengertian yang sangat khas.

Polarisasi hitam dan putih seperti ini patut ditinggalkan. Yang patut kita buat, menurut Yewangoe adalah gereja tidak boleh terus tinggal dalam ghetto putih itu sambil menghitamkan semua saudara yang berbeda dengannya. Ia harus berinteraksi dengan sesama yang berbeda agama (Tidak Ada Ghetto: 36). Yewangoe lalu menunjuk pada alasan teologis yang sudah kita catat di atas sebagai pijakan gereja untuk meninggalkan ghetto tadi.

Kedua, Injil yang sejati adalah presensia¸kehadiran di dalam dunia, memasuki peri kedagingan manusia. Injil adalah kehadiran yang melahirkan kabar atau cerita sukacita dan pembebasan. Inilah makna terdalam dari inkarnasi. Kita sebagai gereja, demikian kata Yewangoe, juga

33 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto…. hlm. 31. Cetak

(26)

diminta dan diutus untuk merefleksikan solidaritas Allah itu di dalam seluruh eksistensi dan relasi kita dengan dunia ini.34

Dengan mengutip PTPB 2004-2009 Yewangoe menegaskan bahwa tugas memberitakan injil adalah kehadiran yang memberlakukan keadilan dan kebenaran kepada orang-orang miskin dan tertindas, yang mengaruniakan kesejahteraan kepada segala bangsa, kepada segala makhluk… membangun persekutuan yang harmonis dengan sesama dan dengan Allah. Jadi pekabaran injil itu adalah satu tugas yang sangat luas. Ia tidak bisa direduksi hanya pada pemberitaan kata-kata, tetapi juga melalui perbuatan. Pekabaran injil berbicara juga tentang upaya menghapus kemiskinan. Injil adalah kabar baik bagi mereka yang berada dalam penindasan. Kalau hal-hal itu sudah dikerjakan gereja secara serius, demikian kata Yewangoe, maka Injil telah diberitakan.35

Pekabaran Injil sebagai presensia menunjuk kepada kehadiran gereja dan orang Kristen di tengah masyarakat sebagai pemberita tanda-tanda Kerajaan Allah. Gereja bertugas mendirikan the Kingship of God, bukan the Kingdom of God, artinya bukan mendirikan kerajaan Kristen secara territorial melainkan menerjemahkan pemerintahan Allah dalam seluruh aspek kehidupan (Agama dan Kerukunan: 49).

(27)

Dengan kata lain Pekabaran Injil tidak selalu dilakukan dengan maksud membawa seseorang keluar dari agama mula-mula dan masuk ke dalam kekristenan. Yang penting bukan menjadi pemeluk agama Kristen secara formal, sebab bukan aturan dan formalitas agama yang ditonjolkan, melainkan nilai atau spirit agama itu, bukan pergi ibadah yang dijadikan ukuran kebajikan melainkan kehidupan sebagai ibadah itulah yang utama.36

Kalau kedua point ini (injil sebagai kabar baik yang mempersekutukan dan sebagai presensia) sekarang kita jadikan pijakan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan sendiri oleh Yewangoe seperti yang sudah kita kutip di depan: “Apakah menjadi murid berarti seseorang mesti menjadi anggota gereja? Tidak dapatkah seseorang itu adalah murid, tetapi tetap berada dalam agamanya sendiri?”

Rasanya, jawaban untuk pertanyaan ini adalah: Tidak Perlu. Dalam arti kita harus memaksakan atau mewajibkan si murid itu untuk melakukan pemutusan hubungan yang total, definitif dan radikal dari masa lalunya, termasuk agama, keluarga dan orang tuanya. Kalau toh harus terjadi konversi agama biarlah itu berjalan secara alami. Yewangoe memang tidak secara eksplisit memberi jawaban itu, tetapi hal itu toh dikatakannya juga secara implisit, seperti yang nyata dalam pernyataan yang dia ambil dari mulut H. Halbfas berikut: “Tugas Kristen bukanlah untuk

(28)

mentobatkan agama-agama lain, tetapi agama Kristen diamanatkan untuk memurnikan dan merealisasikan maksud-maksud agama mereka… tugas Kristen adalah membuat orang Budha menjadi penganut Budha yang lebih baik” (Agama dan Kerukunan: 78).

Pemutusan hubungan yang total ini tidak terlalu perlu jika kita juga mengingat dua hal lain yang dikemukakan Yewangoe, yakni Allah bukan hanya bekerja dalam agama-agama non-Kristen, tetapi dalam agama-agama itu keselamatan (soteriology) yang dari Allah juga sudah ada. Tugas gereja ialah mendorong murid itu untuk menemukan (kembali) pemberitaan tentang keselamatan yang selama ini teranyam di dalam agama-agama itu.

Selanjutnya, Yewangoe juga menegaskan bahwa gereja berbeda dengan agama Kristen.37 Point

ini akan kami elaborasi lebih detail di bagian rancang-bangun eklesiologi baru. Yang kami mau katakan ialah kalau gereja berbeda dengan agama Kristen, maka seorang pengikut Kristus dapat menjadi warga gereja tetapi tetap tinggal di dalam agamanya.

Seperti sudah kita tegaskan, pekabaran injil menurut Yewangoe adalah tugas gereja yang given tidak bisa ditawar-tawar. Ia juga menegaskan bahwa penginjilan adalah tugas yang tidak berubah, namun harus senantiasa ditafsirkan secara baru.38 Dogma atau

(29)

doktrin pun harus diinterpretasi kembali agar agama itu tetap hidup.39

“Persoalannya,” demikian dikatakan Yewangoe, “adalah apakah isi pekabaran tersebut dan bagaimana cara menyampaikannya?” (Tidak Ada Penumpang Gelap: 95). Yewangoe lalu menyebut dua model pekabaran injil: church planting dan memenangkan jiwa. Dua model ini terus-menerus diperoalkan Yewangoe dalam tulisan-tulisannya.

Church planting dan memenangkan jiwa merupakan warisan pekabaran injil masa lalu yang patut tidak bisa kita sangkali. “Di era misionaris,” demikian kata Yewangoe, “kita pernah mengalami pekabaran injil yang diartikan sebagai church planting.40 Justru dengan church planting ini,

gereja-gereja berdiri di mana-mana di seluruh Nusantara ini. Sampai sekarang pun church planting masih relevan di tempat-tempat tertentu.

Mengenai pemenangan jiwa, Yewangoe mengakui bahwa meskipun tidak semua aliran gereja sepakat dengan itu, tetapi nilai-nilai yang terdapat di dalamnya dapat memperkaya pemahaman tentang pemberitaan kabar baik (Tidak Ada Penumpang Gelap: 44).

39 A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan…. hlm. 70. 40 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.

(30)

Betapapun Yewangoe memberi apresiasi terhadap dua model dan arti pekabaran injil, ia juga pada saat yang sama tidak putus-putusnya meminta gereja untuk mengkritisi dua konsep ini, terutama dalam konteks kehidupan bersama yang ditandai oleh kepelbagaian agama. Hal itu umpamanya ditegaskan dalam ceramahnya di Palangka Raya. Yewangoe berkata: “Khusus menyangkut agama, menjadi sesuatu yang sangat krusial apabila Injil diartikan secara sangat sempit itu tadi.”

Yang Yewangoe maksudkan dengan arti sempit pekabaran injil adalah pekabaran injil untuk tujuan pemenangan jiwa dan church planting atau kristenisasi (Tidak Ada Penumpang Gelap: 42). Sikap memenangkan jiwa yang berakhir pada church planting atau kristenisasi lahir dari pandangan yang membagi dunia atas hitam dan putih. Perlu juga dicatat, demikian tegas Yewangoe bahwa “pekabaran Injil bukan sekedar mengajak seseorang untuk masuk menjadi anggota gereja kita, atau sekedar upaya-upaya kristenisasi.”

(31)

orang-orang lain.41 Pada kesempatan lain dia

menggunakan frasa: gereja bagi orang lain. Istilah-istilah itu menekankan model kehadiran Kristen yang memberi perspektif baru bagi kemaslahatan seluruh umat manusia terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan dan ketidakadilan (Tidak Ada Penumpang Gelap: 41).

Model alternatif ini diserukan Yewangoe tidak dengan maksud menafikan pertobatan. Pertobatan tetap perlu. Tetapi menurutnya, janganlah pertobatan diwajibkan atau juga dipersempit hanya sekedar kalau seseorang itu menjadi anggota gereja tertentu. Pertobatan harus dipahami lebih luas, yakni mencakup juga komitmen seseorang untuk menghubungkan lagi dirinya dengan Allah yang hidup dan berada dalam persekutuan yang kokoh dan harmonis dengan sesama manusia dan seluruh alam ini.42

Makna pertobatan seperti yang dipahami Yewangoe sejalan dengan kecenderungan beberapa teolog Asia, seperti M.M. Thomas, Choan-seng Song, dll. Para teolog ini menolak pandangan bahwa pertobatan berarti memutuskan sama sekali hubungan dengan warisan budaya dan keberagamaan serta beralih ke dalam kebudayaan yang baru dan agama

41 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.

86.

42 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.

(32)

yang dibungkus oleh budaya yang datang tadi.43

Paham seperti ini sangat bersifat kaku dan statis. Arti baru bagi pertobatan sebagaimana yang didefinisikan tadi tidak selamanya mengharuskan perpindahan atau konversi agama. Seseorang dapat tetap ada dalam agamanya tetapi ia melakukan pembaharuan budi dan perubahan batin, sebagaimana yang ditegaskan Paulus dalam Roma 12: 2 “Berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”

Jelasnya, Yewangoe memahami arti misi atau pekabaran injil lebih luas dari church planting dan pemenangan jiwa. Dia tidak menolak kedua arti itu. Tetapi mengajak kita untuk memikirkan arti misi yang lebih dari dua itu. Arti baru yang Yewangoe tambahkan kepada pengertian misi sudah kita sebutkan, yakni: presensia dan gereja bagi orang lain. Konsep alternatif ini diajukan dengan mempertimbangkan konteks kemajemukan masyarakat.44 Arti baru ini nyata seterang-terangnya,

menurut Yewangoe dalam karya perdamaian, diakonia dan persaudaraan.

Pertama, mengenai misi dalam arti presensia yang berwujud dalam karya perdamaian, itu ditegaskan Yewangoe dalam ceramah yang

43 A.A. Yewangoe. “Kecenderungan-Kecenderungan Dalam

Teologia Asia… hlm. 15.

(33)

disampaikan dalam “breakfast fellowship” Gereja Protestan Indonesia – Jakarta 17 Juni 2006. Di situ dia berkata: “Yang dibutuhkan masyarakat kita di Indonesia adalah keberagamaan yang terbuka kepada pihak lain… yang perlu kita kembangkan adalah theology of hospitality guna menggantikan theology of hostility. Mereka yang dulu dilihat sebagai strangers sekarang adalah neighbors.”45

Theology of hospitality akan melahirkan kerukunan antar umat beragama. Yang Yewangoe tentang kerukunan bukan sekedar agama-agama hidup bersama tanpa saling menggangu. Tidak sebatas itu. Dalam ceramah yang disampaikan di Kupang 14 September 2008 Yewangoe berkata begini: “Kerukunan adalah ketika kita mampu memasuki halaman orang lain, menyelami kekayaan-kekayaan spiritualnya, dan kembali dengan kekayaan luar biasa bagi kemaslahatan seluruh umat manusia” (Tidak Ada Penumpang Gelap: 21).

Konkretnya, seorang Islam memasuki kedalaman spiritual saudaranya yang Kristen akibat adanya persaudaraan di antara mereka, lalu ia kembali ke dalam agamanya dengan membawa kekayaan spiritual tadi yang membuat dia memiliki komitmen yang diperharui untuk menghayati nilai-nilai keagamaannya. Pengalaman Petrus setelah mengalami perjumpaan dengan Kornelius merupakan teladan

45 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.

(34)

yang memperlihatkan betapa hidup rukun antara sesama manusia dari agama yang berbeda bermanfaat dalam memperkaya spiritualitas manusia.

Kedua, arti presensia dari misi menurut Yewangoe, juga dapat diperlihatkan dalam karya diakonia. Diakonia yang sejati, begitu ditegaskannya adalah menunjukkan kasih tanpa pamrih kepada sesama. Gereja melayani manusia bukan untuk mengkristenkan manusia itu, melainkan memperlihatkan kasih Kristus kepadanya. Itu ditunjukan dengan perjuangan yang sungguh-sungguh bagi kemaslahatan umat manusia, tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan. Diakonia yang dikerjakan dalam arti ini tidak bisa ditaklukan di bawah tugas pemberitaan, tetapi adalah pemberitaan itu sendiri.46

Diakonia adalah penting. Ia tidak boleh dianggap sebagai tugas yang di-sub-ordinasi-kan pada marturia. Karya sosial, yakni menolong kaum miskin dan lemah jangan dikaitkan dengan syarat mereka harus menjadi umat Kristen. Diakonia sendiri adalah marturia. Misi atau pekabaran injil tidak boleh hanya dipahami sebatas kesaksian verbal. Misi juga berhubungan dengan kesaksian dalam aksi atau tindakan. Itu kita temukan dalam pengutusan Yesus sebagaimana yang disaksikan dalam Lukas 4:18-19. Berkali-kali Yewangoe mengutip bagian ini untuk

46 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.

(35)

menegaskan bahwa diakonia adalah marturia (Tidak Ada Penumpang Gelap: 134).

Pentingnya tugas diakonia ini bukan hanya karena itu merupakan perintah Tuhan, tetapi juga berhubungan dengan kenyataan kemiskinan yang merupakan realita kehidupan bersama di Indonesia. Yewangoe menulis: “Tugas pekabaran injil juga berbicara tentang berbagai upaya menghapus kemiskinan, misalnya. Di mana ada kemiskinan, gereja menjadi pelopor untuk menghapuskannya. Kalau gereja secara serius melakukan itu, Injil telah diberitakan” (Tidak Ada Ghetto: 131).

Ketiga, arti presensia dari misi dalam wujud persaudaraan. Yewangoe menunjukkan bahwa persaudaraan adalah satu nilai universal yang menjadikan manusia sebagai manusia.47 Semua bangsa

dan budaya serta agama mengenal nilai ini. Nilai ini juga adalah cerminan dari nilai kristiani yang selalu ditegaskan Kristus. Bahkan Injil dengan tegas menunjukan bahwa persaudaraan yang sejati tidak diskriminatif, sebaliknya menekankan kesederajatan di antara mereka yang berbeda. Persaudaran seperti ini dia sebut sebagai hal yang autentik.48 Pekabaran injil

yang sejati haruslah untuk memperkuat nilai ini (persaudaran dan kesederajatan), bukan malah merusak atau menghancurkannya. Misi tidak boleh

(36)

sedikit pun mengancam kerukunan dan persaudaraan.49

Yewangoe memang tidak secara eksplisit menyebutkan hal berikut ini, tetapi rasanya penegasan tadi bisa kita jadikan sebagai jari yang menunjuk ke arah jawaban atas pertanyaan: “Apakah dalam mengikut Yesus seseorang harus melakukan pemutusan yang radikal, total dan menyeluruh dengan keberadaannya sebagai manusia dengan seluruh kepribadian, budaya, sejarah dan lapisan keagamaannya?

Kalau Yewangoe menegaskan bahwa pekabaran injil yang sejati haruslah untuk memperkuat nilai persaudaraan dan kesederajatan tentulah jawabannya adalah TIDAK. Pemutusan yang radikal, total dan menyeluruh dengan keberadaan seseorang sebagai manusia dengan seluruh kepribadian, budaya, sejarah dan lapisan keagamaan tidak perlu karena itu bertentangan dengan nilai persaudaraan yang ditegaskan oleh Injil. Dalam jawaban tidak ini tersirat penegasan bahwa seorang murid tidak selalu harus menjadi anggota gereja. Ia dapat tetap berada dalam agamanya sendiri.

Kasih dan Persaudaraan yang diajarkan Yesus melampaui batas-batas agama, seperti nampak dalam perumpamaan orang Samaria (Lk. 10:25-37) Kita karena itu berkesan kuat berdasarkan pemikiran Yewangoe bahwa adalah tidak injili dan anti gerejawi

(37)

kalau misi yang gereja kerjakan justru merusakkan dan menghancurkan persaudaraan yang sudah terbangun dalam hidup seseorang yang menjadi akar dari keberadaannya dan memberi identitas bagi hidupnya, termasuk persaudaraan yang dia miliki dengan saudara-saudaranya dalam agama tertentu sebelum dia berjumpa dengan Kristus.

Rancang-Bangun Eklesiologi Baru

Gereja untuk orang lain. Inilah rancang-bangun eklesiologi yang ada dalam hati dan benak Yewangoe dalam mendeskripsikan kehadiran gereja dalam masyarakat yang bercorak multi-agama yang merupakan given reality dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Konsep ini ditegaskan Yewangoe berulang-ulang dalam ceramah-ceramahnya di berbagai kesempatan.50

Yang dia maksudkan dengan gereja untuk orang lain ialah bahwa gereja seyogianya lebih terbuka, tidak terdorong ke dalam eksklusivisme. Orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamat harus hidup bersama dengan orang lain di dalam polis bukan secara pasif tetapi aktif. Orang-orang Kristen harus hadir bersama saudara-saudaranya dari agama lain untuk berjuang dengan sungguh-sungguh dengan cara-cara yang benar untuk menyiapkan ruang bagi kemungkinan hidup

(38)

damai sejahtera bersama di dalam masyarakat (Tidak Ada Ghetto: 11).

Ungkapan kewarganegaraan yang bertanggung jawab yang pernah dipakai oleh Dr. J. Leimena dalam menggambarkan kehadiran Kristen di dalam negara berkali-kali dipakai oleh Yewangoe untuk menegaskan apa yang dia maksud dengan menjadi gereja untuk orang lain. Tidaklah pantas bagi gereja untuk masuk ke dalam ghetto, mengisolasikan dirinya dari dunia sekitarnya. Ia harus berada di tengah-tengah dunia, bergaul dan berinteraksi dengan manusia dari latar belakang agama yang berbeda apapun juga resikonya. Gereja tidak boleh menjadi persekutuan yang inward looking apalagi bermusuhan dengan dunia dan umat beragama lain (Tidak Ada Ghetto: viii. 4, 137).

Gereja atau orang Kristen yang inward looking, masuk ke dalam ghetto, memperkuat diri untuk kenikmatan sendiri sambil mengambil sikap musuhi dunia bisa merupakan indikasi ketidak-mampuannya menghadapi dunia nyata. Masuk ke dalam ghetto atau menciptakan ghetto sama dengan membunuh diri sendiri. Ia akan pengap dalam ghetto itu sebab tidak ada udara masuk. Sebaliknya, gereja yang keluar dari ghetto, betapapun sulit, akan memperoleh kepercayaan.51

Dalam interaksinya dengan sesama manusia yang berbeda agama untuk menciptakan ruang bagi

51 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto. hlm. 144-5. Semua

(39)

hidup damai sejahtera, gereja kata Yewangoe patutlah memperhatikan prinsip berikut: “Ia ada dalam dunia tetapi tidak sama dengan dunia” (Tidak Ada Ghetto: 3, 30). Artinya, sebagaimana yang dijelaskan Yewangoe gereja tidak boleh mengasingkan diri dari dunia sehingga menjadi tidak relevan. Tetapi pada sisi lain gereja juga tidak boleh terhisap dalam dunia begitu rupa sehingga kehilangan kemampuan untuk menyampaikan sikap kritis atau suara kenabian (Tidak Ada Ghetto: viii).

Gereja bagi orang lain yang hidup dalam ketegangan yang dialektis antara bahaya terlalu bersikap akomodatif dan bahaya menjadi tidak relevan harus menunjukan diri sebagai yang tidak ke mana-mana tetapi ada di mana-mana. Yewangoe menjelaskan frasa ini dalam kutipan berikut:52

Tidak ke mana-mana artinya, gereja tetap pada panggilannya. Memberitakan kabar baik, sebagaimana antara lain ditekankan dalam Lukas 4:18-19. Tugas ini tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang. Bahkan juga di masa depan. Dengan demikian gereja tidak ke mana-mana. Namun pada saat yang sama, tugas itu mesti merambah masuk ke mana-mana, ke seluruh bidang kehidupan. Gereja berkewajiban meneruskannya ke mana-mana. Guna menyampaikan itu, gereja harus ada di mana-mana.

(40)

Apakah ini berarti bahwa orang yang percaya kepada Yesus juga harus ada dalam dunia dan lingkungan Islam atau Hindu atau Budha dalam arti menjadi pemeluk agama-agama itu sambil hati dan hidupnya diserahkan kepada Yesus? Sayangnya Yewangoe tidak memberikan jawaban eksplisit untuk itu, seperti yang ditegaskannya kepada kami.

Meskipun begitu, seperti kami sebutkan bahwa terkesan bahwa Yewangoe secara implisit memberikan jawaban: YA. Itu kita temukan misalnya dalam pernyataan bahwa Gereja yang tersebar justru adalah berkat. Itu membuat gereja menjadi gereja.53

Pernyataan ini ia tegaskan saat membuat review mengenai keadaan gereja dan orang Kristen pada abad-abad pertama yang oleh karena dikejar-kejar dan berada dalam penganiayaan, orang percaya membaur, menyebar dalam kehidupan bermasyarakat. Kesatuannya sebagai organisasi yang kelihatan tidak nampak. Yang ada ialah kesatuannya dalam iman kepada Kristus dalam lingkup kerja masing-masing.

Berkat yang dimaksud Yewangoe adalah justru dalam perserakan orang-orang percaya itu mereka menyebarkan injil. Orang-orang percaya yang berserak itu makin tiba pada pengenalan diri dan gereja makin memperoleh bentuk (Tidak Ada Ghetto: 22).

Jelasnya menjadi gereja bagi orang lain artinya tidak sibuk di dalam dirinya saja, tetapi giat di dalam

(41)

menyelesaikan masalah bersama di dalam masyarakat.54 Ini adalah penjabaran dari teladan yang

ditunjukan kepala gereja, yakni Yesus yang adalah manusia bagi orang lain (Tidak Ada Ghetto: 4).

Gereja bagi orang lain yang diperkenalkan Yewangoe adalah konsep yang juga dikembangkan oleh PGI dan WCC. Berkali-kali Yewangoe menunjuk ke dua event besar gerejawi itu untuk menunjukan bahwa konsep gereja bagi orang lain adalah hasil pergumulan yang saksama, mendalam dan ekumenis dari gereja dan orang Kristen.

Tetapi Yewangoe tidak hanya sekedar membuat pendasaran ekumenis dan sosial bagi pentingnya gereja bagi orang lain. Yewangoe juga membuat pendasaran Kristologis. Dia menulis: “Tuhan itu baik kepada semua orang adalah akar guna memahami bahwa gereja ada bagi orang lain. yesus Kristus, demikian dikatakan dalam PTPB 2004 adalah manusia bagi orang lain.55

Hal penting lain yang patut kita catat mengenai rancang-bangun eklesiologi yang diperjuangkan Yewangoe untuk membuat semua yang dikatakan sebelumnya competable adalah pembedaan yang ia buat antara gereja dan agama Kristen atau kekristenan. Pembedaan ini tidak berarti keduanya terpisah. Tidak! Gereja dan kekristenan berbeda tetapi

54 Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto. hlm. 143.

55 Andreas Yewangoe. Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang.

(42)

ada keterkaitan antara keduanya (Tidak Ada Ghetto: 10).

Gereja adalah obyek iman. Ia menunjuk kepada orang-orang yang bersekutu karena percaya kepada Kristus sebagai kepala. Persekutuan itu digambarkan dengan berbagai metafora. Salah satu metafora yang terkemuka adalah Tubuh Kristus. Ini adalah realitas gereja sebagai obyek iman. Yewangoe menyebut realitas ini sebagai sisi organisme gereja.56

Selain sisi organisme, gereja juga memiliki sisi organisasi (kelembagaan). Sebagai organisasi, gereja dapat diacu sebagai sesuatu yang konkret di dalam sejarah. Ia bisa menjadi subyek hukum. Ia bahkan bisa digugat di depan pengadilan.

Kekristenan atau agama Kristen berhubungan dengan gereja dalam dua pengertian tadi, tetapi agama Kristen berbeda dari gereja. Ia lebih mengacu pada aspek-aspek kultural dan sosiologis dari orang-orang beriman yang bersekutu dalam gereja (Tidak Ada Ghetto: 11). Jelasnya, sebutan agama Kristen lebih menunjuk kepada kegiatan atau juga aturan-aturan yang ditetapkan orang-orang yang bersekutuan dalam gereja demi mengoperasionalkan hal-hal yang mereka yakini dalam gereja. Jadi gereja adalah ciptaan Allah sedangkan agama Kristen berisi tindakan-tindakan

(43)

manusia yang dilakukan sebagai jawaban atas karya Allah tadi.57

Menjadi jelas bahwa Yewangoe tidak menyamakan begitu saja gereja dan agama Kristen. Itu berarti, meskipun secara eksplisit dia tidak mengatakannya, tetapi pembedaan antara gereja dan agama Kristen yang dia tegaskan secara eksplisit membawa kita begitu dekat kepada penegasan bahwa menjadi warga gereja tidak selalu jatuh sama dengan menjadi orang beragama Kristen. Warga gereja dan pemeluk agama Kristen merupakan dua hal yang berbeda meskipun tetap ada hubungan antara keduanya.

Kesimpulan dan Penutup

Sampai di sini penelurusan kita terhadap pemikiran Andreas Yewangoe terhadap topik bahasan di atas. Dari keseluruhan pemikirannya kita mencatat beberapa hal yang merupakan benang merah. Pertama, Yewangoe menyerukan kepada gereja dan orang Kristen untuk tidak hidup dalam ghetto, mengisolasikan diri dari dunia dan umat beragama lain tetapi harus menjadi gereja bagi orang lain. Menjadi gereja tidak berarti merasakan kenikmatan beragama.

57 Bandingkan Ketut Waspada. “Kebebasan Beragama dalam

(44)

Sebaliknya menjadi gereja atau pengikut Kristus artinya kita harus bersedia hidup bagi orang lain apapun juga resikonya, bekerja dan berjuang bagi kesejahteraan bersama anak bangsa lainnya, bukan sekedar bagi kenikmatan kalangan atau kelompok sendiri yang bernama agama kristen.

Gereja tidak boleh membangun ghetto. Itu berarti gereja bagi Yewangoe haruslah menjadi persekutuan yang terbuka, karena Allah yang adalah pemilik gereja adalah Allah yang terbuka bagi semua orang dan segala bangsa. Keterbukaan gereja bukan hanya kepada Allah, tetapi juga kepada sesama dan juga nilai-nilai, keyakinan religius dan paham-paham mereka tentang Allah dan keselamatan.

Menjadi gereja yang terbuka bagi orang lain, seperti yang dipahami Yewangoe sama sekali tidak menciderai keberadaan gereja yang salah satu sifatnya adalah am, atau katolik. Hal ini ditegaskan juga oleh Avery Dulles. “Karena bersifat katolik, gereja harus terbuka kepada semua kebenaran Allah tanpa mempedulikan siapa yang mengatakannya. Seperti kata santo Paulus, bahwa “semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan harus diterima” (Fil. 4:8).58

Kedua, gereja bagi orang lain berarti tidak pernah menjadi gereja yang mapan. Sekali ia berlaku

58 Avery Dulles. Model-Model Gereja. Ende: Penerbit Nusa

(45)

mapan, tugas-tugasnya dianggap selesai berhentilah ia menjadi gereja karena ia tidak lagi mau bergerak ke depan mengikuti Allahnya yang terus-menerus merupakan Allah masa depan (Tidak Ada Ghetto: 154). Gereja yang tidak mapan artinya gereja yang terus-menerus merelevansikan kehadiran dan karyanya dalam menanggapi pergumulan dan tantangan yang dihadapi manusia dalam konteksnya.

Dalam hubungan itu Yewangoe mengingatkan gereja untuk tidak boleh meniru begitu saja model pekabaran injil dari luar, betatapun mentereng dan keren karena model-model itu cenderung tidak memperhitungkan kemajemukan dan situasi khusus yang sedang terjadi dalam konteks kita, Indonesia.59

Kita justru perlu serius menemukan model-model pekabaran injil yang setia pada panggilan yang tidak berubah tetapi juga kena-mengena dengan kemajemukan masyarakat Indonesia.

Ketiga, dalam hubungan dengan keberadaan para pengikut Kristus sebagai pemeluk agama Kristen Yewangoe menyampaikan ajakan untuk tidak menjadikan agama Kristen sebagai ideologi tetapi lebih menjadikan agama sebagai the matrix of meaning. Agama sebagai ideologi artinya mati-matian mempertahankan agama itu karena menganggap agama sebagai yang mewakili Tuhan atau bahkan menggantikan Tuhan. Menjadikan agama sebagai the matrix of meaning artinya agama sebagai pemandu

(46)

dalam hal pembentukan nilai-nilai etika dan moral di dalam masyarakat.60

Seruan itu ditegaskan Yewangoe dengan mengutip beberapa tokoh, antara lain Gus Dur yang meminta agar umat beragama lebih menonjolkan aspek kultural dari agama dan bukan ketegaran legalistik dan ritualistik, atau pemikiran Romo Mangun agar manusia Indonesia tidak sekedar mempunyai agama, tetapi harus lebih dari itu, yakni memiliki religiositas atau roh agamanya. Kita harus hidup dalam agama bukan untuk mendapatkan abu melainkan apinya, sebagaimana ditegaskan Bung Karno.61

Referensi

Dokumen terkait

Demikianlah Pengumuman Penetapan Calon Pemenang Pelelangan ini dibuat, sekiranya ada sanggahan dari masyarakat maupun rekanan penyedia barang/jasa lainnya dapat

-- ujung tulang dilapisi tulang rawan diperkuat di luarya dengan ujung tulang dilapisi tulang rawan diperkuat di luarya dengan kapsul sendi dan ligamentum.. kapsul sendi

Hal ini serupa dalam filsafat China yang lebih menegaskan aviliasi antara sikap individu dengan alam semesta yang diseimbangkan oleh pemikiran manusia secara

pengukuran diambil pada pertengahan antara trochanterion trochanterion dan dan tibiale laterale, tibiale laterale, tegak lurus terhadap aksis panjang paha (lebih mudah dilakukan

Menyatakan bahwa karya ilmiah (Skripsi) saya yang berjudul Pengaruh Citra Produk terhadap Ekuitas Merek (Studi Pada Customer Produk Simcard Cdma Prabayar “Smartfren”

Keterangan Hasil Evaluasi Aritmatik ini bukan merupakan pengumuman hasil pelelangan umum, namun merupakan salah satu proses evaluasi. Selanjutnya evaluasi penawaran masih

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul,

secara pribadi / tidak mewakilkan, apabila dikuasakan agar menerima kuasa penuh untuk dapat mengambil keputusan dan hadir tepat waktu. Demikian untuk menjadikan