• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOOK Ebenhaizer I Nuban Timo Gereja Lintas Agama BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BOOK Ebenhaizer I Nuban Timo Gereja Lintas Agama BAB II"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

Menguak Isolasi Menjalin Relasi

Emanuel Gerrit Singgih

Pengantar

Upaya kita untuk menjawab pertanyaan: “Apakah menjadi murid berarti seseorang mesti menjadi anggota gereja institusional? Tidak dapatkah seseorang itu adalah murid, tetapi tetap berada dalam agamanya sendiri?” mengantar kita pada perjumpaan dengan Emanuel Gerrit Singgih, pendeta Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). Judul yang kami pakai untuk bab ini (Menguak Isolasi, Menjalin Relasi) kami angkat dari salah satu judul buku yang berisi kumpulan karangan Pak Gerrit.1

Kami memilih Prof. Emanuel Gerrit Singgih atau yang akrab dikenal di kalangan para pemikir Indonesia dengan sapaan Pak Gerrit (kami akan menyebut Pak Gerrit di sepanjang tulisan ini) karena pertimbangan berikut. Pak Gerrit adalah seorang ahli Perjanjian Lama. Ia memperoleh gelar doctor of Philosophy dari Universitas of Glasgow, Skotlandia untuk bidang studi Perjanjian Lama dengan disertasi tentang Konsep Penciptaan dalam Tradisi Kenabian

(2)

dari Amos sampai Deutro-Yesaya.2 Sebagaimana diakui sendiri, Pak Gerrit menaruh minat yang besar terhadap hermeneutik dan kontekstualisasi. Ini yang membuat kami memilih Pak Gerrit, karena jawabannya terhadap pertanyaan yang kita gumuli pastilah bersumber dari upaya hermeneutik terhadap kitab suci sekaligus pemahaman yang mendalam terhadap pergumulan konteks Indonesia, atau yang dia lebih suka menyebutnya sebagai gambaran dunia sosial-budaya Indonesia.3

Dalam menelusuri pemikiran Pak Gerrit untuk tujuan penulisan ini, kami akan mengorganisir bab ini menurut sistematika berikut. Segera setelah pengantar singkat, kami akan memperkenalkan siapa Pak Gerrit dan karya-karya yang pernah dipublikasikannya (sejauh yang dapat kami pantau, sekaligus yang kami pakai untuk penulisan ini). Selanjutnya, kami akan memperkenalkan kepada pembaca apa yang Pak Gerrit maksudkan dengan kontekstulisasi yang tentu saja didahului dengan menyajikan gambaran dunia sosial-budaya Indonesia sebagaimana yang dipetakan Pak Gerrit.

(3)

Berturut-turut setelah itu kami akan membahas hal-hal berikut: Apa yang Pak Gerrit pikirkan tentang Misi dan Penginjilan. Mengikuti alur berpikirnya, pembahasan kita tentang pokok tadi akan membawa kita pada upaya re-interpretasi Matius 28:18-20 untuk konteks Indonesia yang dibuat Pak Gerrit, lalu paham Pak Gerrit tentang penginjilan sebagai kegiatan belajar-mengajar, dan paham dia tentang agama sebagai kewajiban ataukah kebebasan. Uraian kita akan diakhiri dengan mencoba melakukan rekonstruksi pemikiran Pak Gerrit tentang model bergereja yang cocok dengan permasalahan yang kita bahas.

Biodata dan Karya

(4)

itu. Sebelumnya (1983-1985) bekerja sebagai pendeta jemaat GPIB di Ujung Pandang-Makasar.

Guru besar kelahiran di Jakarta, 7 Agustus 1949 terbilang penulis produktif dengan ide-ide brilliant dan segar. Buku-buku yang sudah diterbitkan telah melebihi hitungan jari-jari baik tangan maupun kaki, belum lagi artikel-artikelnya yang dimuat di berbagai jurnal dalam dan luar negeri, yang berbahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, mungkin juga ada yang dalam bahasa Belanda, karena ternyata dia juga fasih berbahasa negeri kincir angin itu.

Julianus Mojau mencirikan Pak Gerrit sebagai ahli tafsir kontekstual, yakni membuat tafsiran Kitab Suci dengan mempertimbangkan perspektif dan kesadaran religius-kultural lokal.4 Maksud dari upayanya itu, sebagaimana diakui sendiri oleh Pak Gerrit, adalah membantu pembaca dalam hal ini warga gereja di Indonesia untuk menentukan pijakan dan keputusan yang tepat dan benar di tengah persoalan berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia seturut iman Kristen.

Pak Gerrit sebagaimana yang kami pahami dari karya-karyanya, menyadari betapa pentingnya gereja dan para pengikut Kristus di Indonesia memahami diri secara baru untuk dapat menghadirkan diri secara baru dan bermakna di Indonesia. Ia karena itu membekali

(5)

kita dengan wawasan teologi yang segar agar kita tidak terperangkap dalam wawasan teologis yang sempit untuk menjawab pertanyaan: “Apakah menjadi murid berarti seseorang mesti menjadi anggota gereja institusional? Tidak dapatkah seseorang itu adalah murid, tetapi tetap berada dalam agamanya sendiri?”

Memang Pak Gerrit tidak secara eksplisit mengajukan pertanyaan tadi. Ia justru mengajukan pertanyaan lain, tetapi yang serupa dengan itu. Pertanyaan itu adalah: “Apa yang mewujudkan identitas kristen kita? Apakah baptisan ataukah tindakan?”5 Jawaban yang diberikan Pak Gerrit untuk pertanyaan ini, tentu berkaitan erat dengan pandangannya tentang apa dan bagaimana gereja.

Hal menarik yang kami temukan dalam upaya menelusuri jawaban untuk pertanyaan tadi adalah bahwa Pak Gerrit tak henti-henti mengajak gereja dan para pengikut Kristus di Indonesia untuk mencari eklesiologi yang relevan bagi konteks Indonesia.6 Ajakan untuk memikirkan pelayanan yang relevan untuk konteks Indonesia tidak hanya sebatas pada pelayanan gereja dalam bidang liturgi dan marturia. Pak Gerrit melakukan kajian kontekstualisasi itu sampai pada lembaga-lembaga para gereja, yakni yang

5 Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. hlm. 189.

(6)

berafiliasi dengan gereja seperti lembaga pendidikan teologi, yayasan-yayasan Kristen dst.

Eklesiologi yang relevan itu dia rumuskan dalam frasa yang kurang lebihnya adalah “konteks kita di Indonesia melahirkan eklesiologi” dan bukan eklesiologi yang diterapkan dalam konteks kita di Indonesia.7 Di salah satu back-cover dari buku Pak Gerrit tertera komentar berikut: “Kedua puluh tulisan dalam buku ini berangkat dari dampak perubahan paradigm ilmu…. termasuk juga dampak terhadap pendidikan teologi terhadap pemahaman masyarakat Kristen mengenai misi, terutama dalam mengakui kenyataan bahwa Indonesia adalah kepelbagaian (pluralitas) agama-agama…. Buku yang berfaedah untuk memperluas dan mengembangkan wacana, cara pandang, dan paradigma berteologi (khususnya di Indonesia) demi identitas Kristen yang jelas, namun tidak terisolasi di dalamnya, tetapi keluar menjalin relasi dengan yang lain.”8

Pak Gerrit memperkenalkan perubahan paradigma ilmu teologi. Tentu ada yang bertanya: “Apa perubahan paradigma itu?” Jawabannya tidak lain adalah kontekstualisasi, yakni konteks yang melahirkan eklesiologi. Selama ini, menurut

(7)

kecenderungan tradisional, eklesiologi (konsep) yang menentukan konteks. Pak Gerrit mengajak kita melihat dari sudut pandang sebaliknya: konteks yang melahirkan konsep dan dari itu melahirkan etos.

Tawaran sudut pandang baru itu Pak Gerrit dasarkan atas pemikiran seorang filsuf Amerika Thomas Kuhn yang menegaskan bahwa pengetahuan berkembang bukan karena penambahan informasi oleh sebab pengumpulan data, melainkan karena perubahan cara pandang terhadap data yang tersedia.9 Tentu saja perubahan cara pandang itu, sebagaimana yang kami pahami dari karya Pak Gerrit, dikondisikan juga oleh pergumulan-pergumulan dan pengalaman-pengalaman manusia dalam konteks.

Saatnya sekarang kita mendiagnosa atau membedah konstruksi teologi yang dilakukan Pak Gerrit dari perubahan cara pandang terhadap keberagaman agama dan persoalan sosial Indonesia. Penelusuran ini kita arahkan untuk menjawab pertanyaan: “Apa yang mewujudkan identitas kristen kita? Apakah baptisan ataukah tindakan?”

Lima Persoalan Pokok Indonesia

Kontekstualisasi teologi adalah salah satu hal yang menjadi ciri pemikiran Pak Gerrit sebagaimana

(8)

yang terdeteksi dalam tulisan-tulisannya.10 Teologi yang ideal, begitu kata Pak Gerrit, bersifat kontekstual.11 Karya-karya teologi dari Eropa atau Amerika yang selama ini kita pelajari sebenarnya adalah karya yang kontekstual. Ia menjadi masalah karena karya yang kontekstual ini diklaim atau dipaksakan sebagai yang berlaku untuk semua konteks atau yang memiliki relevansi yang bersifat global. Ini sebuah kekeliruan.

Tetapi juga merupakan kekeliruan jika kita mempertentangkan perspektif global dengan perspektif lokal, seakan-akan globalisasi berarti tidak perlu lagi berangkat dari konteks atau kontekstualisasi berarti mengabaikan dan meniadakan nilai dan prinsip-prinsip global. Menurut Pak Gerrit kita tidak perlu mempertentangkan globalisasi dan kontekstualisasi, perspektif universal dan lokal dalam berteologi, karena globalisasi justru mengarahkan perhatian pada konteks dan begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu globalisasi hendaknya dilihat dalam hubungan yang dialektis dengan kontekstualisasi (Menguak Isolasi: xii).

Teologi kontekstual sebagaimana yang dipahami oleh Pak Gerrit dapat kita rumuskan dalam kalimat berikut: “Upaya menghubungkan pengalaman konkret mengenai pergumulan masyarakat setempat

(9)

dengan tradisi Alkitab sambil memperhatikan tuntutan tafsiran kristis-historis dan naratif” (Menguak Isolasi: 126). Maksudnya teologi memberi perhatian yang seimbang antara iman Alkitab dan iman atau kepercayaan yang ada di sekitar kita. Iman atau kepercayaan yang non-Alkitab itu tidak sekedar dilihat bersama dengan iman Alkitab untuk diperbandingkan. Tidak seperti itu. Jika itu yang dilakukan, maka dia bukan kontekstual melainkan konfrontatif.

Pak Gerrit sadar bahwa dalam kontekstualisasi memang ada unsur konfrontasi, yakni pengenalan akan kekayaan religius dan spiritual yang terkandung dalam pranata budaya dan agama yang dihayati masyarakat setempat, tetapi kontektualisasi tidak identik dengannya. Yang berlaku dalam kontekstualisasi adalah identifikasi di antara konfrontasi.12 Artinya, kekayaan religius dan iman mereka bukan hanya dipelajari untuk dicari perbedaannya dengan iman kita. Tidak hanya itu. Kekayaan iman dan religius mereka harus dihubungkan secara kreatif dengan iman kita untuk bersama-sama membangun kehidupan bersama yang damai dan berkeadilan.

Dalam tulisannya tentang Gereja yang Kontekstual Pak Gerrit menjelaskan definisi ini secara lebih operatif. Menurut dia gereja yang kontekstual

(10)

adalah gereja yang sadar bahwa ada masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya dan karena itu berupaya untuk menghubungkan masalah-masalah itu dengan kesaksian Alkitab.13

Jika Gereja yang kontekstual sama artinya dengan kita harus hidup bergereja dengan menyadari ada masalah-masalah di dalam masyarakat di mana gereja ada maka gereja haruslah menjadi persekutuan yang terbuka untuk bergaul, mengenal dan belajar dari orang-orang atau institusi-institusi yang ada di sekitarnya. Pak Gerrit sendiri tidak menolak hal itu. Dia berbicara tentang perlunya gereja dan orang Kristen mengambil sikap rendah hati untuk melihat realitas dari sudut pandang orang-orang yang menyekitarinya. Hanya dengan itu gereja bisa menawarkan jalan keluar bagi masalah-masalah yang ada.

Pak Gerrit memetakan konteks Indonesia yang menjadi lokus dari refleksinya tentang Injil dalam lima ciri menonjol: kepelbagaian budaya dan agama, kemiskinan yang parah, penderitaan dan bencana, ketidakadilan termasuk ketidakadilan gender dan kerusakan ekologi (Menguak Isolasi: 231). Lima persoalan konteks Indonesia ini kembali ditegaskan Pak Gerrit dalam tulisannya yang lain.14

(11)

Eklesiologi yang Kontekstual di Indonesia

Secara singkat dapat kita katakan bahwa teologi yang kontekstual di Indonesia sebagai mana dipahami Pak Gerrit adalah upaya-upaya merefleksikan injil dengan menyadari lima pokok permasalahan di atas. Artinya gereja tidak boleh sekedar menerjemahkan konsep-konsep teologis yang

ready made dari Eropa kemudian diterapkan dalam konteks Indonesia. Ini tidak boleh terjadi karena sama sekali tidak menyentuh persoalan-persoalan otentik yang berasal dari gambaran dunia sosial budaya Indonesia. Yang perlu gereja buat adalah menghubungkan gambaran dunia sosial-budaya Indonesia untuk melahirkan teologi. Jadi gereja di Indonesia tidak boleh sekedar menjadi church for

Indonesia, melainkan harus menjadi church of

Indonesia.

Waktu konsep ini diterapkan dalam hubungan dengan kemiskinan dan penderitaan Pak Gerrit menyerukan kepada gereja di Indonesia untuk memperhatikan prinsip preferential option for the poor. Dan untuk itu tidak cukup gereja di Indonesia sekedar menjadi church for the poor. Ia harus bergerak menjadi church of the poor.

(12)

pluralism. Maksudnya, kira-kira apa model bergereja yang pas bagi konteks Indonesia yang salah satu cirinya adalah kepelbagaian agama, karena ternyata Pak Gerrit juga mencatat pluralitas sebagai salah satu pilar pokok dari gambaran dunia sosial-budaya Indonesia.

Dalam membicarakan eklesiologi yang kontekstual di Indonesia Pak Gerrit hanya memberi perhatian pada kemiskinan dan penderitaan. Perhatian itulah yang membuat dia menyerukan agar gereja menjadi church of the poor. Sementara kepelbagaian budaya dan agama yang juga adalah salah satu ciri par excellence dari konteks Indonesia belum dibahas dalam tulisan yang berjudul: Mencari Eklesiologi yang Relevan bagi Konteks Indonesia. 15

Sikap berdiam diri Pak Gerrit terhadap model eklesiologi kontekstual Indonesia berhadapan dengan masalah kepelbagaian budaya dan agama di Indonesia sama sekali tidak berarti bahwa Pak Gerrit tidak berbicara apa-apa tentang gereja dan orang Kristen Indonesia dalam konteks pluralitas agama. Tulisan-tulisannya justru banyak membahas pokok ini dan di beberapa bagian pokok ini dibahas secara mendalam sekaligus dengan menawarkan solusi yang dibangun berdasarkan sebuah upaya hermenutik.

(13)

Indonesia yang dicirikan oleh pluralitas budaya dan agama. Rekonstruksi itu berkaitan dengan pertanyaan yang Pak Gerrit sendiri ajukan: “Apa yang mewujudkan identitas kristen kita? Apakah baptisan ataukah tindakan?” Seperti apakah kira-kira jawaban Pak Gerrit terhadap pertanyaan ini dan apa model bergereja yang bersangkut paut dengan jawabannya atas pertanyaan tadi.

Pekabaran Injil

Dalam pemahaman Pak Gerrit penyiaran atau pemberitaan – sebutan yang dia pakai untuk tidak kedengaran eksklusif Kristen - adalah jiwa dari agama.16 Inilah sebabnya, menurut Pak Gerrit pada tahun 1970-an, manakala Mentri Agama Republik Indonesia (K.H. Ahmad Dahlan) menghimbau agar umat Kristen tidak lagi melakukan kegiatan pekabaran Injil, Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI, sekarang PGI) maupun Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) memberi reaksi menolak himbauan itu. Apalagi, menurut informasi himbauan itu hendak dituangkan dalam dokumen negara yakni Surat Keputusan Bersama dua mentri.

Keberatan atau penolakan DGI maupun MAWI itu adalah tepat, demikian pendapat Pak Gerrit selain karena alasan doktrinal dan iman, terkesan

(14)

bahwa pemerintah berlaku tidak adil dengan himbauan itu. “Kalau dalam agama Islam ada yang disebut dakwah – yang dapat disejajarkan dengan pekabaran Injil dalam agama Kristen – kurang adil kalau yang satu dilarang, sedangkan yang lain tidak (Menguak Isolasi: 241).

Pekabaran Injil, apapun juga alasannya, tidak bisa ditiadakan. Menurut pengamatan Pak Gerrit, Gereja dan mayoritas orang Kristen di Indonesia memahami pekabaran Injil sebagai dasar bagi semua kegiatan Kristen. Bahkan kata Pak Gerrit ada yang berpendapat bahwa teologi Kristen di Indonesia adalah teologi pekabaran Injil.17 Tidak memberitakan Injil akan mendatangkan celaka. Siapa memberitakan Injil tidak akan celaka.

(15)

menunjukkan bahwa di tempat itu sudah hadir Kerajaan Allah (Menguak Isolasi: 248).

Untuk itu menurut Pak Gerrit, gereja dan para pengikut Kristus di Indonesia patut melakukan reinterpretasi terhadap Matius 28:18-20 yang disebut-sebut sebagai Amanat Agung atau ayat emas dalam memahami kehadiran gereja di dalam dunia sekaligus yang memberi identitas Kristen kepada kehidupan kemuridan (Menguak Isolasi: 241). Ini catatan kedua

yang diberikan Pak Gerrit kepada gereja dan para pengikut Kristus di Indonesia.

Re-interpretasi itu perlu memperhatikan hal-hal ini. 1). Pekabaran Injil harus dipahami dalam kerangka yang lebih luas, yakni sebagai bagian dari misiologi sehingga pelayanan sosial tidak menjadi alat pekabaran Injil, tetapi pelayanan sosial itu sendiri sudah menjadi kesaksian yang sah dari Injil Tuhan.18 2). Akibat dari penempatan pekabaran Injil sebagai bagian dari misiologi maka pekabaran Injil yang disebut-sebut sebagai Amanat Agung tidak boleh dipahami sebagai yang bersifat non-holistik, atau rohani berupa pertobatan dan kristenisasi serta verbal semata-mata, melainkan juga bersifat holistic

(Menguak Isolasi: 242). Untuk jelasnya, kita akan segera melakukan anjangsana untuk memahami apa isi dari re-interpretasi terhadap Amanat Agung sebagaimana yang dilakukan oleh Pak Gerrit.

(16)

Re-interpretasi Matius 28:18-20 Untuk Konteks Indonesia

Mayoritas orang Kristen di Indonesia menganggap Matius 28:18-20 sebagai Amanat Agung. Artinya ia dianggap sebagai teks yang menentukan identitas Kristen. Tidak melaksanakan Amanat Agung ini akan membuat gereja kehilangan jatidiri. Betapapun Pak Gerrit rada-rada sungkang (ragu-ragu, tidak setuju) dengan pemahaman ini, ia toh menerimanya juga, tentu saja dengan beberapa catatan seperti yang sudah kami tunjukkan secara singkat di atas. Sinyal keraguan Pak Gerrit itu kita temukan dalam pernyataannya berikut ini: “Amanat Agung bukanlah teks yang selamanya menjadi ayat emas

dalam kehidupan orang beriman.”19

(17)

dan pengajaran bahwa ia telah berada dan ambil bagian dalam lingkungan keselamatan ilahi di dalam Yesus?20

Menurut penglihatan Pak Gerrit ada tiga hal penting yang patut diberi perhatian dalam melakukan re-interpretasi terhadap Matius 28:18-20, yakni: “pergilah… memuridkan dan baptis… mengajar melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu.” Berikut ini diagnosa Pak Gerrit terhadap isi teks yang perlu dire-interpretasi.

Pertama: “Pergilah…” Matius 28 adalah teks pengutusan. Pak Gerrit menunjukkan kepada kita bahwa pengutusan murid-murid oleh Yesus bukan hanya terdapat dalam Matius 28. Di dalam Matius 10 Yesus juga mengutus murid-murid ke tengah-tengah umat Israel. Dua teks ini memperlihatkan beberapa perbedaan. Pertama, pengutusan dalam Matius 28 adalah ke luar umat Israel sementara dalam Matius 10 pengutusan ke dalam umat Israel. Kedua, pengutusan Matius 28 tidak menyebut adanya pemberian kuasa kepada para murid untuk mengusir setan dan melenyapkan segala penyakit. Ketiga, dalam Matius 28 ada janji penyertaan Yesus sedangkan dalam Matius sepuluh murid-murid diberi hak untuk mengebaskan debu jika mereka ditolak.21

20 Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi. hlm. 244.

(18)

Matius 28:18-20 demikian Pak Gerrit memang berasal dari Yesus, tetapi ia toh melihat ada indikasi bahwa teks itu bukanlah Amanat Agung setidak-tidaknya sebagaimana yang dipahami para murid Yesus yang sebelas orang itu. Indikasi itu nampak dari kenyataan berikut. Kesebelas murid Yesus yang kemudian menjadi rasul tidak melaksanakan amanat itu. Mereka semua berkumpul di Yerusalem sampai akhir hidup mereka. Kalau ada informasi bahwa Petrus mati di Roma, Yohanes melewati masa hidupnya setelah kenaikan Yesus ke sorga di Efesus, Thomas menjadi pekabar Injil di India dan Markus di Mesir, semua itu hanyalah tradisi yang tidak dapat dibuktikan secara historis. Sumber-sumber biblis tidak menyebutkan itu. Dari antara para Rasul, justru Paulus yang melakukan perintah tadi: “pergilah…”

Kedua: “Memuridkan dan membaptis…”

(19)

pengikut Kristus adalah menjadikan mereka yang dimuridkan dan dibaptis sebagai anggota dari sebuah institusi gereja. Dalam diagnosanya terhadap isi kitab Matius Pak Gerrit menunjukkan kepada kita kandungan makna yang lain. Dua kali kata ekklesia = gereja atau perhimpunan jemaat muncul dalam kitab Matius, yakni 16:18 dan 18:17. Yang dimaksud dengan

eklesia dalam kedua teks itu adalah sebuah kelompok khusus, kumpulan orang-orang pilihan.

Orang-orang pilihan itu adalah eklektos dalam Matius 22:14 dan 24:22, 24, 31. Eklektos ini belum tentu merupakan anggota-anggota dari satu lembaga yang terorganisasikan secara ketat dan teratur.22 Artinya orang-orang yang dipilih oleh Tuhan dari antara yang lain tidak harus diidentikan dengan keanggotaan dari satu agama tertentu, secara khusus dengan agama Kristen. Pak Gerrit menegaskan hal itu dalam pernyataan berikut:23

Kelompok khusus berupa orang pilihan ini belum tentu merupakan anggota-anggota dari satu lembaga yang terorganisir secara ketat dan terartur. Paling banyak kita hanya dapat mengatakan bahwa eklesia dan eklektos berhubungan dengan persekutuan tertentu. Kita

22 Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi. hlm. 244.

(20)

juga telah melihat bahwa bagi Paulus baptisan tidak merupakan sesuatu yang mutlak perlu. Kalau begitu, amanat membaptis belum tentu mengimplikasikan keanggotaan gereja dan belum tentu juga dapat dijadikan dasar atau diidentikan dengan kristenisasi. Masalahnya kita sudah salah kaprah mengidentikan baptisan dengan keanggotaan gereja institusional.

Memuridkan dan membaptiskan sebagaimana yang dipahami Pak Gerrit tidak identik dengan mewajibkan seseorang menjadi warga agama Kristen. Itu lebih dipahami sebagai tanda bahwa yang bersangkutan telah ambil bagian atau berada dalam lingkungan keselamatan ilahi di dalam Yesus Kristus. Menjadi jelas bahwa Pak Gerrit tidak menolak tugas memuridkan dan membaptis. Dia hanya mengingatkan bahwa praktik baptisan yang dilakukan gereja saat ini tidak lagi persis sama dengan apa maksud sejatinya seperti yang dimaktub dalam Alkitab.24

(21)

air itu adalah sebagai tanda ia sudah mati bagi dosa dan keluar lagi dari situ sebagai tanda bahwa ia bangkit bersama Kristus. Apa yang sekarang dipahami oleh mayoritas warga gereja adalah sebagai tanda bahwa seseorang menjadi anggota gereja yang terdaftar. Pak Gerrit menulis: “Mula-mula baptisan tidak punya sangkut paut dengan keanggotaan.”25

Investigasi kita terhadap pokok ini mengantar kita kepada kesimpulan bahwa bagi Pak Gerrit tugas memuridkan dan membaptis seperti yang diperintahkan Yesus dalam Matius 28:18-20 bukan pertama-tama menjadikan seseorang anggota dari gereja institusional. Itu lebih menunjuk kepada upaya untuk memberikan meterai kepada yang bersangkutan bahwa dirinya telah berada dalam lingkungan keselamatan ilahi yang dikerjakan Yesus Kristus.

Paham ini sepertinya tidak asing bagi gereja-gereja mainstream secara khusus yang bergabung dalam Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia dan orang Kristen di Indonesia. Ini dapat kita amati dari sikap saling menerima anggota yang berpindah antar denominasi tanpa melakukan baptisan ulang.26 Sikap ini tentu dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa baptisan bukanlah ritus yang menjadikan seseorang

25 Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. hlm. 79.

(22)

anggota dari satu gereja institusional. Baptisan bukan pertama-tama perbuatan gereja atau manusia kepada sesamanya, tetapi baptisan adalah perbuatan Allah kepada manusia. Jika baptisan adalah perbuatan gereja atau manusia maka tentulah itu berhubungan dengan penguatan satu institusinal gereja. Tetapi karena baptisan adalah perbuatan Allah kepada manusia maka ia bersifat lintas institusional gereja bahkan lintas agama. Seseorang yang sudah dibaptis dalam Kristus otomatis diterima dalam organisasi gereja mana pun, juga kalau dia pindah denominasi Kristen. Juga kalau seseorang pindah ke agama lain, statusnya sebagai orang yang berada dalam lingkup keselamatan Kristus tidak batal. Jika dia toh memutuskan kembali dari petualangannya ke agama lain itu, dia diterima kembali tanpa harus dibaptis lagi.

(23)

Apa-apa sajakah perintah Yesus yang harus diajarkan para rasul kepada bangsa-bangsa yang menerima Kristus untuk mereka yakini dan lakukan? Dalam diagnosa Pak Gerrit tidak disebutkan agar bangsa-bangsa dijadikan anggota satu gereja institusional atau beralih menjadi penganut agama Kristen. Tidak! Kalau begitu apa perintah Yesus yang harus diajarkan para rasul?

Segera setelah pertanyaan ini diajukan, Pak Gerrit mengajak kita memperhatikan narasi kitab Matius. Dia menyebut ada empat perintah Yesus yang dipaparkan dalam kitab Matius, yakni: Khotbah di Bukit (Mt. 7-9), Kaidah Kencana (7:12), Ringkasan Taurat (22:37-40) dan Pelayanan terhadap Orang Kecil (25:31-46). Inilah isi dari Amanat Agung Yesus. Tugas mengajar yang dimaksudkan gereja dalam teks-teks ini mengandung dimensi holistik, bukan hanya verbal atau bertujuan kristenisasi. Keempat teks ini memiliki jiwa yang sama, yakni sikap hidup terbuka kepada orang lain, sesama yang berbeda dengan kita dan kepada Allah.

(24)

Di tempat terpisah, Pak Gerrit menegaskan bahwa hal ini mencegah kita mengambil sikap superior terhadap orang lain atau agama lain, sambil pada saat yang sama membuka jalan untuk dialog menjadi terbuka untuk belajar dari orang lain dan agama lain.28 Berusaha menjadi individu yang baik saja tidak bisa menjadi ukuran sebagai bahwa yang bersangkutan mengenal Allah karena menjadi baik juga adalah hal yang dikejar oleh orang yang tidak mengenal Allah. Kebaikan individual itu harus juga ditunjukan dalam kesediaan untuk berjuang mengakhiri dosa struktural.

(25)

Penginjilan Sebagai Kegiatan Belajar-Mengajar

Upaya re-interpretasi yang dibuat Pak Gerrit bukan hanya terhadap Amanat Agung tetapi juga terhadap paham tentang misi atau pekabaran ini membawa dia pada sebuah paham baru tentang misi. Paham baru itu dia kutip dari Verkuyl. Jika pandangan umum di kalangan gereja dan orang Kristen tentang seorang misionaris sebagai guru yang mengajar dunia dan orang dari agama lain, Pak Gerrit justru berpandangan lain. Seorang misionaris adalah murid seumur hidupnya karena gurunya hanya satu. Pak Gerrit menulis begini (Menguak Isolasi: 140):

Di dalam sebuah buku teks misiologi karangan Verkuyl saya menemukan sebuah motif yang disebutnya sebagai motif pribadi. Akan tetapi, uraian Verkuyl mengenai motif ini ialah seorang misionaris bukan guru. Ia murid seumur hidupnya karena gurunya hanya satu. Itu berarti pekerjaan misi selamanya adalah suatu kegiatan belajar-mengajar, bukan hanya mengajar saja. Kalau perikop ini mencerminkan pergumulan gereja purba juga, kita akan melihat bahwa interaksi yang autentik di antara gereja dan dunia juga bisa menyebabkan gereja disadarkan oleh dunia, di samping gereja menyadarkan dunia.

(26)

mereka, melainkan juga untuk belajar dari mereka.29 Belajar dari orang berbeda agama bukan sebuah noda. Yesus yang adalah sang guru agung juga melakukan itu. Dalam pertemuannya dengan perempuan Siro-Fenesia, perempuan itu bukan hanya memotivasi Yesus untuk mengundang dia masuk ke dalam Kerajaan Allah. Perempuan itu menyebabkan Yesus mengubah prasangkaNya terhadap dia dan terhadap orang kafir. Pak Gerrit sampai pada kesimpulan ini setelah membedah pemikiran Kwok Pui Lan seorang teolog perempuan Cina. Yesus belajar dari seorang kafir, kata Pak Gerrit. “Kalau seorang perempuan kafir dapat menyebabkan Yesus mengubah prasangka-Nya terhadap perempuan dan terhadap orang kafir, betapa sayangnya kalau murid Yesus masa kini tidak mengikuti jejak gurunya itu” (Menguak Isolasi: 140).

Misi atau pekabaran injil bukan sekedar mengajar dunia dan orang dari agama lain, tetapi juga belajar dari mereka. Pak Gerrit juga memberi contoh pdt. Martin Luther King Jr. dari USA, pejuang persamaan hal-hak sipil orang hitam di Amerika yang mengaku belajar tentang sikap anti kekerasan dari Mahatma Gandhi, pahlawan kemerdekaan India yang beragama Hindu. King belajar mengembangkan karakter Kristen dari seorang bukan Kristen (Gandhi)

(27)

yang telah mempraktekan Khotbah di Bukti dalam konteksnya.30

Kosuke Koyama menyebut model misi atau pekabaran injil ini two-way-traffic sebagai lawan dari

one-way-traffic31 yang cenderung menyombongkan dan menegaskan diri sendiri. Misi yang sejati mengandung di dalamnya kesediaan belajar dari citra hidup religius orang beragama lain. Itu hanya bisa terjadi jika gereja dipahami sebagai komunitas iman yang terbuka dan dialogis dan para murid kristus hidup dalam semangat kerendahan hati.

Sikap kerendahan hati, menurut Pak Gerrit perlu ditunjukkan dalam menghadapi empat hal:32

Pertama, siap untuk mengoreksi pandangan lama bahwa kebenaran bukan hanya dimiliki dan diketahui oleh orang Eropa tetapi juga oleh orang yang tidak dapat berbahasa Eropa. Kedua, kesediaan untuk menerima bahwa Allah di dalam kasihNya yang besar mendahulukan mereka yang miskin dan tak berdaya daripada yang kaya dan kuat. Ketiga, kesediaan untuk belajar dari agama-agama yang berbeda dari agama kita. Keempat, untuk belajar dari pengalaman perempuan tentang keselamatan.

30 Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. hlm. 189.

31 Kosuke Koyama. Christianity suffers from “Teacher Complex.” hlm. 73.

(28)

Untuk konsumsi buku ini, pembahasan hanya akan kami fokuskan pada butir kerendahan hati ketiga, yakni kesediaan untuk belajar dari agama lain. Pembahasan kita untuk butir ketiga ini dibuat untuk menjawab pertanyaan: “Apakah menjadi murid berarti seseorang mesti menjadi anggota gereja? Tidak dapatkah seseorang itu adalah murid, tetapi tetap berada dalam agamanya sendiri?”

Agama Bukan Kewajiban tetapi Kebebasan Hati Nurani

Penegasan Pak Gerrit tentang perlunya kerendahan hati orang Kristen untuk belajar dari agama-agama lain berangkat dari keyakinannya tentang agama. Baiklah kita terlebih dahulu mencatat pokok-pokok pikiran Pak Gerrit tentang agama.

Pertama, Pak Gerrit tidak merasa enjoy dengan penilaian negatif terhadap agama, sebagaimana yang kita warisi dari pemikiran-pemikiran teologis Barat. Dalam hubungan ini Pak Gerrit mengkritisi Hendrik Kraemer yang menyebut tanah Sunda sebagai nova zambala spiritual, yang memposisikan Islam sebagai yang tidak memiliki dimensi spiritual.33

Belajar dari Aloysius Pieris, teolog Katolik dari Sri Langka, Pak Gerrit mengakui bahwa agama bersifat

(29)

ambigu. Pada satu pihak bisa positif dan pada pihak lain, bisa negatif. Sikap negatif terhadap agama tidak sepenuhnya benar.34 Apalagi kalau ditegaskan bahwa agama orang lain sajalah yang negatif dan agama kita selalu positif. Sikap seperti ini, seperti yang ditegaskan Pak Gerrit dalam ceramah di Gereja Kristen Pasundan, (GKP) hanya akan membuat GKP akan terus terisolasi dan tidak akan memiliki masa depan.35

Dalam kajiannya yang detail, Pak Gerrit membedakan agama dalam dua kategori: agama literal

dan agama emansipatorik atau agama skriptural dan

agama substansial. Perbedaan antara dua corak agama ini bukan antara agama A dan agama B. Perbedaan itu ada dalam tiap-tiap agama. Juga adalah keliru kalau kita berkata bahwa agama yang literal atau skriptural

bersifat fundametalis sedangkan agama yang

emansipatorik atau substansial bersifat kultural. Menurut Pak Gerrit sikap fundamentalisme maupun kultural dalam beragama dapat terjadi dalam dua kategori agama ini.

Kedua, agama tidak boleh hanya dipelajari dalam kerangka misiologis saja, dalam arti belajar agama lain untuk mengetahui perbedaannya dengan agama kita dan kemudian menegaskan keunggulan agama kita serta meminta mereka dari agama lain untuk masuk ke dalam agama kita. Agama-agama

34 Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi. hlm. 167.

(30)

harus juga dipelajari sebagai bagian dari usaha mencari kebenaran yang menyeluruh. Arti menyusun satu pemahaman yang bisa menghubungkan kebenaran yang saya yakini dengan kebanaran pada agama-agama lain dalam penghayatan iman pribadi.36

Mempelajari agama dalam kerangka misiologis artinya satu agama dipelajari dengan tujuan pekabaran Injil yakni untuk mentobatkan para pemeluknya supaya mereka beralih kepada agama yang baru. Sikap ini dilatarbelakangi adanya pemutlakan kebenaran dalam satu agama sambil merelatifkan kebenaran dalam agama lain. Menurut Pak Gerrit, agama tidak absolut. Hanya Tuhan saja yang absolut. Karena itu masing-masing agama tidak dapat mengklaim kebenaran yang absolut. Karena agama tidak absolut, maka agama-agama harus terbuka satu sama lain dalam hal kemanusiaan (segi horizontal) dan juga dalam hal pemahaman tentang Tuhan (segi vertikal).37

Pak Gerrit karena itu berseberangan jalan dengan Hans Kung. Hendrik Karemer maupun Karl Barth yang mengawali percakapan dengan upaya untuk melakukan de-absolutisme agama, tetapi di ujung-ujung toh berbicara mengenai satu agama yang benar. Agama yang benar, menurut kedua teolog Eropa itu adalah agama Kristen. Agama Kristen

(31)

diabsolutkan. Ia lalu mengkiritk Karl Barth, Hendrik Kraemer dan Hans Kung yang menilai agama-agama besar non-kristiani secara negatif. Menurut dia, kalau apriori negatif terhadap agama-agama besar non-kristen dari ketiga teolog terkemuka ini dipahami dalam bingkai perubahan paradigma postmodern, tidaklah mungkin mereka dicalonkan sebagai perintis teologi di dunia purna modern.38

“Orang beragama lain bukanlah orang tidak beriman.” Begitu tegas Pak Gerrit.39 Ia mengatakan ini dalam hubungan analisa dan pemahamannya mengenai kisah perjumpaan Yesus dengan perempuan Siro-Fenesia seperti yang disaksikan Markus 7:24-30. Cerita ini memang sering dipakai gereja untuk menempatkan orang-orang dari agama lain sebagai

kafir. Terbukti Yesus menyamakan perempuan Siro-Fenesia ini dengan anjing yang tidak patut memperoleh roti yang disiapkan bagi anak-anak. Tetapi menarik bahwa meskipun Yesus menyebut perempuan itu anjing tetapi Yesus tidak menolak dia. Yesus malah menawarkan keselamatan yang nyata dalam pengusiran setan dari kehidupan putri dari perempuan itu.

Bertolak dari teks tadi Pak Gerrit menegaskan bahwa Yesus juga tidak melihat perempuan itu sebagai

38 Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. hlm. 15.

(32)

obyek dari pekabaran Injil. Juga tidak dikatakan bahwa sesudah perjumpaan dengan Yesus, perempuan itu bertobat dan menjadi pengikut Yesus. Keyakinan tentang agama seperti inilah yang mendorong Pak Gerrit menegaskan bahwa tidaklah benar kalau kita meminta seseorang pindah dari agamanya dan menjadi anggota agama kita supaya ia memiliki iman yang benar dan pertumbuh imannya berjalan baik. Penegasan ini tidak berarti bahwa Pak Gerrit menolak terjadinya perpindahan agama. Rasanya kesimpulan itu terlaku buru-buru. Berpindah agama adalah sah jika itu dilakukan atas dasar sukarela. Ini nyata dalam penegasan Pak Gerrit bahwa agama bukanlah masalah kewajiban melainkan kebebasan hati nurani (Menguak Isolasi: 129).

Sikap yang tepat untuk kepelbagaian agama adalah sikap dialogis, yakni berusaha mengerti apa yang bermakna bagi orang lain, tetapi juga himbuan agar orang lain mengerti apa yang bermakna bagi kita. Orang Kristen di Indonesia, demikian kata Pak Gerrit seperti di simpulkan Julianus Mojau, perlu memandang umat Islam sebagai tetangga untuk saling mendukung dalam memajukan kehidupan bersama dan sebagai sesama komunitas umat Allah yang melayani kemanusiaan.40 Agama tidak boleh hanya dipelajari dalam kerangka misiologis saja.

(33)

merelatifkan atau bahkan kehilangan Yesus Kristus. Justru dalam dialog, gereja dan para pengikut Kristus dapat memberi kesaksian tentang Yesus Kristus kepada umat beragama lain dan bersama-sama mereka terlibat dalam perjuangan bagi keadilan dan kemanusiaan untuk kebaikan bersama. Hal ini sejalan dengan apa yang akan kami tunjukan dalam pembahasan mengenai Nabeel Jabbour dalam kisahnya tentang seorang orang Kristen Mesir bernama Samuel dalam bab IV.41

Dalam hubungan dengan misi atau pekabaran Injil, Pak Gerrit menegaskan bahwa misi bukan sekedar mengajar orang dari agama lain tetapi juga belajar dari mereka. Baptisan bukanlah pertama-tama menjadikan orang sebagai anggota gereja institusional melainkan menegaskan keberadaan si penerima baptisan dan pengajaran bahwa ia telah berada dan ambil bagian dalam lingkungan keselamatan ilahi di dalam Yesus. Penegasan ini mengandaikan bahwa seseorang dapat tetap tinggal dalam agamanya. Keberadaannya sebagai murid Kristus tidak merupakan sebuah panggilan agar ia memutuskan hubungan dengan agama semula dan beralih ke dalam agama Kristen.

Pak Gerrit sampai pada sikap ini karena bagi dia identitas Kristen tidak terletak pada berbagai macam isme atau pada keanggotaan seseorang dalam satu agama, seperti agama Kristen tetapi pada relasi

(34)

yang hidup dengan pribadi Kristus.42 Dalam bukunya yang lain, Pak Gerrit menegaskan bahwa batas antara gereja (baca: para pengikut Kristus) dan dunia (baca: agama-agama) bukan dalam hal moralitas, seolah-olah para pengikut Kristus memiliki moralitas lebih dari orang dalam agama lain. Tidak, perbedaan gereja dan dunia terletak pada humilitas, yakni persekutuan dari para murid-murid Tuhan, yakni iman kepada Kristus yang tersalib seperti yang disaksikan dalam Galatia 6:11-16.43

Gereja Tanpa Dinding

Verne H. Fletcher dalam bukunya Lihatlah Sang Manusia menegaskan bahwa belajar dari realita Kerajaan Allah yang sudah mewujud dalam masa kini, gereja dan para murid kristus harus mulai mendirikan tanda-tanda keselamatan itu pada masa kini. Salah satunya adalah dengan menjalani hidup tanpa membangun tembok-tembok pemisah.44 Ini

42 Emanuel Gerrit Singgih. Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2000, hlm. 3.

(35)

mengadaikan bahwa gereja haruslah menjadi persekutuan orang-orang percaya tanpa dinding.

Mencermati pemikiran Pak Gerrit yang dituangkan dalam buku-buku yang berkali-kali kita kutip, kami mendapat kesan bahwa pemikiran Pak Gerrit tentang gereja dalam kehidupan bersama di Indonesia yang salah satu cirinya adalah kepelbagaian agama dan adalah tabu untuk memandang agama-agama itu sebagai yang kafir adalah gereja yang tanpa dinding. Memang Pak Gerrit sendiri tidak memakai istilah itu. Istilah yang dipakai Pak Gerrit presensia,

kehadiran dan hidup yang dinamis di tengah-tengah mereka yang lain.45 Julianus Mojau menjelaskan frasa itu dalam kalimat berikut:46

Singgih menggariskan bahwa misi Kristen seperti itu hanya akan sungguh-sungguh efektif apabila umat Kristen Indonesia secara sungguh-sungguh menjadikan diri mereka sebagai sebuah komunitas iman yang terbuka dan dialogis, yang dapat menerobos kebuntuan hubungan dengan umat Islam.

Kami memilih ungkapan gereja tanpa dinding

untuk menggambarkan konstruksi eklesiologi yang ada

45 Emmanuel Gerrit Singgih. Dunia yang Bermakna. Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1999. hlm. 20.

(36)

dalam pikiran Pak Gerrit, betapapun Pak Gerrit sendiri tidak eksplisit menyebutkannya karena kami mengingat penegasannya yang sudah kita catat di depan, yakni “Kelompok khusus berupa orang pilihan ini belum tentu merupakan anggota-anggota dari satu lembaga yang terorganisir secara ketat dan terartur. Paling banyak kita hanya dapat mengatakan bahwa

eklesia dan eklektos berhubungan dengan persekutuan tertentu.”47

Gerejanya Pak Gerrit adalah komunitas iman yang terbuka dan dialogis, bukan sekedar sebuah organisasi. Tanda dari keberadaan seseorang sebagai pengikut Kristus, kata Pak Gerrit bukan pada soal ritual tetapi pada tindakan yang dimotivasi oleh ketulusan dan keteguhan hatinya untuk mendahulukan kerajaan Allah dan kebenaranNya.48

Jelasnya kemuridan yang sejati atau Pak Gerrit sendiri menyebutnya: kesempurnaan Kristen tidak terletak pada ritual atau moral, tetapi pada kesaksian hidup dengan jalan mempraktikkan Khotbah di Bukit (Mengantisipasi Masa Depan: 206). Tindakan dan perilaku hidup seperti itu tidak hanya ditemukan dalam diri orang-orang yang secara statistik dan administrasi beragama Kristen. Tidak sedikit orang di

(37)

luar kekristenan yang menjalani teladan hidup tadi. Jadi, pengikut Kristus tidak harus otomatis menjadi pemeluk agama Kristen.

Pendapat Pak Gerrit tadi dituangkan dalam pembahasannya tentang Khotbah di Bukit yang dikemas dalam judul Rumah di Atas Batu. Di awal uraiannya Pak Gerrit mengajukan pertanyaan: “Apa yng mewujudkan identitas iman Kristen kita? Apakah baptisan atau tidakan?” (Mengantisipasi Masa Depan: 189). Pak Gerrit kemudian meminta pembaca untuk menggumuli pertanyaan ini sambil merenungkan uraiannya yang menyusul.

Jadi, gereja dalam pemahaman Pak Gerrit adalah gereja tanpa dinding. Yang penting dari gereja bukan ritus-ritusnya, bukan juga organisasi dan aturan-aturan yang harus ditaati. Yang menjadi identitas gereja adalah keterhubungannya dengan Kristus. Keterhubungan itu bersifat terbuka, nampak dalam tindakan dan perilaku hidup, tidak bisa dibatasi hanya dalam satu agama atau gereja yang institusional.

Gereja yang terbuka adalah yang hadir dan berada di tengah-tengah dunia ini, bukan mengasingkan diri dari dunia ini. Dalam rangka keterbukaan itu Pak Gerrit mencatat dua hal. Pertama, gereja di Indonesia tidak bisa meneruskan sikap

(38)

anggotanya dibujuk menjadi anggota agama yang benar (Mengantisipasi Masa Depan: 59).

Kedua, sebagai ganti proselitisme gereja perlu membangun sikap presensia dan dialog.49 Para pengikut Kristus perlu hadir di tengah-tengah masyarakat, hidup bersama orang lain, bukan sekedar hidup berberdampingan dengan orang dari agama lain. Dalam pemahaman tradisional presensia gereja diwujudkan dalam apa yang Pak Gerrit sebut tridarma Gereja: marturia, koinonia dan diakonia. Mengingat konteks Indonesia yang dicirikan dengan lima masalah itu, Pak Gerrit lebih memilih diakonia sebagai wujud

presensia gereja yang paling kuat. Presensia gereja dalam wujud diakonia kata Pak Gerrit tidak boleh dilihat sebagai alat untuk melakukan pekabaran Injil kepada kaum miskin. Ini kesalahan banyak gereja di Indonesia (Mengantisipasi Masa Depan: 63).

Pilihan pada diakonia dibuat Pak Gerrit sebagai protes terhadap kecenderungan gereja-gereja di Indonesia mempersempit kehadirannya dari

tridarma menjadi eka darma, yakni kepada

(39)

Mengenai dialog, menurut Pak Gerrit, itu adalah usaha mencari kebenaran yang penuh dengan berdasarkan pengakuan bahwa apa yang kita yakini sebagai kebenaran, belum merupakan kebenaran yang penuh sambil berdoa agar Tuhan yang adalah kebenaran itu sendiri akan menganugerahkannya kepada kita bersama, bukan hanya kita sendiri. Dalam dialog itu, kita juga harus terbuka, kata Pak Gerrit, yakni terbuka kepada pertobatan. Maksudnya, dalam dialog itu orang lain bisa mengakui kebenaran kita dan beralih dari agamanya kepada agama Kristen. Namun kita pun bisa menerima kebenaran orang lain dalam arti orang Kristen beralih ke agama lain.50 Dialog terbuka kepada dua kemungkinan itu.

Watak keterbukaan dari presensia Kristen seperti yang terkandung dalam pikiran-pikiran Pak Gerrit, kata Julianus Mojau, juga terlihat dalam solidaritasnya terhadap penderitaan manusia.51 Keterbukaan itu bersifat horizontal, terbuka terhadap agama lain dalam hal kemanusiaan, maupun vertikal, terbuka dalam soal pemahaman tentang Tuhan dalam rumusan-rumusan proporsional, gambaran-gambaran metaforis dan narasi-narasi.52

50 Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. hlm. 60.

(40)

Yesus gambarkan keterbukaan dalam pengertian solidaritas dengan metafora garam dunia. Menyebut ini saya teringat kepada sebuah contoh konkret yang dikemukakan oleh pendeta L.Z. Raprap. Dia menegaskan bahwa penginjilan yang perlu dipelajari gereja-gereja di Indonesia adalah model garam. Dia mengatakan begini: “Coba sekarang, ibu mau menginjil di pasar. Ibu lihat ada seorang ibu pakai kerudung, menenteng dua keranjang penuh ayam, ikan, daging. Kemudian, karena semangatnya ibu datang dan menginjil ibu berkerudung itu: “Bu, saya mau ngomong dulu, ya? Ibu sudah terima Yesus atau belum?” Saya rasa, dua keranjang yang dibawanya akan langsung ditimpuk ke arah ibu. Tetapi kalau ibu bilag begini: “Sini, bu, saya tolong bawa satu keranjang, ya? Bawa dulu keranjangnya ke mobil! Mungkin ia Tanya: “Kenapa ibu baik, kenapa ibu mau tolong saya? Waktu itu kalau ibu jawab: “Sebab saya punya Yesus” keranjang itu pasti tidak akan ditimpuk ke arah ibu.”53

Penginjilan model garam artinya orang Kristen atau gereja harus terbuka untuk memahami dan mengenal kehidupan sesamanya yang lain. Tetapi ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa gereja dan orang Kristen tidak boleh menyesuaikan diri (baca terbuka) terhadap dunia demi menjaga kemurnian injil tetapi dunialah yang harus menyesuaikan dengan

(41)

agama Kristen, atau dunialah yang harus dikristenkan

(Mengantisipasi Masa Depan: 327). Terhadap

kekuatiran ini, yakni gereja akan kehilangan Kristus dan kemurnian injil kalau ia terbuka terhadap orang dari dan belajar dari agama lain Pak Gerrit menulis begini:54

Menurut perasaan kami klaim bahwa seseorang mengetahui kebenaran tidak perlu merupakan halangan untuk belajar mengerti orang lain. Kita tidak perlu kuatir bahwa kemurnian iman kita akan luntur karena bercampur dengan mereka yang tidak seiman. Bahkan sebaliknya, iman kita akan semakin diperkaya oleh kesadaran bahwa Allah jauh lebih besar daripada apa yang dapat kita gambarkan dan oleh konsep-konsep teologis mana pun yang pernah kita ciptakan tentang Dia.

Sebagai persekutuan yang terbuka, tanpa dinding yang hidup dalam semangat dialog (mengajar dan belajar) dari agama lain dan menyatakan solidaritas Allah dalam situasi konkret manusia, para murid Kristus tidak boleh ke mana-mana. Mereka harus berpegang teguh kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamat, tetapi pada saat yang sama mereka harus ada di mana-mana, bukan hanya untuk memberitakan Yesus Kristus, tetapi juga untuk makin

(42)

menjadi kuat dan kaya dalam iman kepada Yesus Kristus.

Kesimpulan dan Penutup

Pak Gerrit bergumul dengan upaya kontekstualisasi pemikiran Kristen dengan memperhatikan sungguh-sungguh warisan iman Alkitab dan aspirasi masyarakat atau rakyat Indonesia yang dianggap mewakili gambaran dunia. Dalam upaya itu Pak Gerrit mendayagunakan kecakapan hermeneutik yang ada padanya. Dalam hubungan dengan pertanyaan yang menjadi keprihatinan studi kita, Pak Gerrit sampai pada kesimpulan bahwa kekristenan atau gereja di Indonesia haruslah memperlihatkan keberanian untuk keluar dari isolasi institusional (kenyamanan dalam kelompok sendiri) dan teologi ready made (kenyamanan dalam bangunan mental kepuasan terhadap teologi siap saji yang diterima dari Barat yang dianggap sebagai iman).

(43)

Jelasnya teologi di Indonesia tidak boleh sekedar menerjemahkan kebenaran-kebenaran teologis, rumusan-rumusan proposisional, gambaran-gambaran metaforis dan narasi-narasi ready made yang dia terima dari Barat untuk diterapkan di Indonesia, seperti yang amat biasa di kalangan misiologi di Indonesia (Mengantisipasi Masa Depan: 21). Cara ini akan menyebabkan dialog interaktif dengan realitas sosial-budaya Indonesia terabaikan. Sebagai hasil, teologi sama sekali tidak menyentuh persoalan-persoalan otentik yang berasal dari gambaran dunia sosial budaya Indonesia.

Teologi dan pola bergereja yang dikembangkan di Indonesia haruslah mengkonfrontasikan kebenaran-kebenaran ready made yang sudah ada dengan aspirasi masyarakat dan rakyat Indonesia untuk melahirkan teologi Indonesia. Jelasnya Pak Gerrit bergumul untuk menjadikan teologi dan kehidupan bergereja bukan sekedar sebagai teologi dan bergereja untuk orang Indonesia, tetapi teologi dan hidup bergereja dari

orang Indonesia.

(44)

Referensi

Dokumen terkait

Demikianlah Pengumuman Penetapan Calon Pemenang Pelelangan ini dibuat, sekiranya ada sanggahan dari masyarakat maupun rekanan penyedia barang/jasa lainnya dapat

-- ujung tulang dilapisi tulang rawan diperkuat di luarya dengan ujung tulang dilapisi tulang rawan diperkuat di luarya dengan kapsul sendi dan ligamentum.. kapsul sendi

Hal ini serupa dalam filsafat China yang lebih menegaskan aviliasi antara sikap individu dengan alam semesta yang diseimbangkan oleh pemikiran manusia secara

pengukuran diambil pada pertengahan antara trochanterion trochanterion dan dan tibiale laterale, tibiale laterale, tegak lurus terhadap aksis panjang paha (lebih mudah dilakukan

Menyatakan bahwa karya ilmiah (Skripsi) saya yang berjudul Pengaruh Citra Produk terhadap Ekuitas Merek (Studi Pada Customer Produk Simcard Cdma Prabayar “Smartfren”

Keterangan Hasil Evaluasi Aritmatik ini bukan merupakan pengumuman hasil pelelangan umum, namun merupakan salah satu proses evaluasi. Selanjutnya evaluasi penawaran masih

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul,

secara pribadi / tidak mewakilkan, apabila dikuasakan agar menerima kuasa penuh untuk dapat mengambil keputusan dan hadir tepat waktu. Demikian untuk menjadikan