• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III Gambaran Umum Wilayah Studi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab III Gambaran Umum Wilayah Studi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Bab III Gambaran Umum Wilayah Studi

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Bandung dengan pembagian lokasi

berdasarkan peruntukkan lahan dengan tujuan mengetahui karakteristik

polutan-polutan yang ada pada masing-masing lokasi. Lokasi-lokasi tersebut meliputi

kawasan Tegalega yang mewakili kawasan keramaian transportasi dan

perdagangan, Aria graha yang mewakili kawasan pemukiman, Dago Pakar

(Kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda) mewakili kawasan bersih, dan

Cisaranten Wetan mewakili kawasan industri. Pemilihan lokasi disesuaikan

dengan stasiun pemantau kualitas udara yang dimiliki BPLHD Jawa Barat yang

terletak di kawasan-kawasan tersebut. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan

dengan data-data partikulat udara hasil monitoring stasiun tersebut. Peta lokasi

daerah sampling diperlihatkan pada Gambar III.1.

Pinus Regency (Cisaranten Wetan) Dago Pakar

Ariagraha Tegalega

(2)

III.1. Umum

Kota Bandung terletak di antara 107

0

32’ 38,91” bujur timur dan 6

0

55’ 19,94”

lintang selatan. Lokasi kota Bandung cukup strategis, dilihat dari segi

komunikasi, perekonomian maupun keamanan (Bandung dalam angka, 2003).

Hal tersebut disebabkan oleh :

1). Kota Bandung terletak pada pertemuan poros jalan raya :

a. Barat - timur yang memudahkan hubungan dengan Ibukota Negara

b. Utara - selatan yang memudahkan lalu lintas ke daerah perkebunan (Subang

dan Pangalengan).

2). Letak yang tidak terisolasi dan dengan komunikasi yang baik akan

memudahkan aparat keamanan untuk bergerak kesetiap penjuru.

Secara topografi, Kota Bandung terletak pada ketinggian 791 m di atas

permukaan laut (dpl). Titik tertinggi berada di daerah utara dengan ketinggian

1050 m dan terendah di sebelah Selatan 675 m di atas permukaan laut. Wilayah

kota Bandung bagian selatan permukaan tanah relatif datar, sedangkan di wilayah

kota bagian utara berbukit-bukit dengan panorama yang indah.

Keadaan geologis dan tanah yang ada di Kota Bandung dan sekitarnya terbentuk

pada jaman kwarter dan mempunyai lapisan tanah aluvial hasil letusan Gunung

Tangkuban Perahu. Jenis material di bagian utara umumnya merupakan jenis

andosol, di bagian selatan serta di bagian timur terdiri atas sebaran jenis aluvial

kelabu dengan bahan endapan liat, di bagian tengah dan barat tersebar jenis tanah

andosol (BPS, 2003)

III.2 Kondisi Meteorologi Kota Bandung

Iklim Kota Bandung dipengaruhi oleh iklim pegunungan yang lembab dan sejuk.

Temperatur rata-rata 23,6

0

C, curah hujan rata-rata 156,4 mm per tahun, dan

jumlah hari hujan rata-rata 15 hari per bulannya (keadaan tahun 2003) (Bandung

dalam angka, 2003). Kota Bandung dipengaruhi oleh muson dengan rata-rata arah

(3)

angin bertiup pada bulan November-Januari dari arah barat, sedangkan pada

bulan Juni - September dari arah timur (Huboyo, 2003).

III.3 Tata Guna Lahan Kota Bandung

Kawasan terbangun di Kota Bandung mencapai 67,46 %, dari total wilayah,

dengan 86,9 % terdiri atas pemukiman, jasa (2,64 %), industri (5,2 %) serta lahan

konservasi (5,2%). Kegiatan jasa/ komersial berada di pusat kota, pemukiman

penduduk tersebar terutama di bagian barat Kota Bandung. Aktivitas industri

terpusat di bagian timur, barat, serta selatan Kota Bandung (Huboyo, 2003).

III.4 Sumber Pencemar di Kota Bandung

Sumber pencemar udara ambien alamiah di Kota Bandung yang diperkirakan

cukup berpengaruh adalah : tanah, debu jalan, dan gunung berapi Huboyo (2003).

Santoso (2006) mengemukakan bahwa kontribusi faktor tanah dan debu jalan

terhadap PM2,5 di kota Bandung sebesar 20%. Hasil uji emisi tanah di Jakarta oleh

JICA tahun 1995 dalam Huboyo (2003) menunjukkan bahwa komposisi unsur

tanah terdiri atas unsur Al menempati komposisi sebesar 15%, Fe sebesar 7,7%,

Ti sebesar 0,95%, dan Mn sebesar 0,5%.

Cekungan Bandung dikelilingi oleh gunung-gunung yang ketinggiannya lebih

dari 2000 m yaitu gunung Tangkuban Perahu (2076 m dpl) di sebelah utara,

gunung Malabar (2321 m dpl), dan gunung Patuha (2434 m dpl) di sebelah barat

daya. Kota Bandung menempati lereng bagian selatan perbukitan Lembang dan

Tangkuban Perahu pada ketinggian 700 – 1100 m. Beberapa pegunungan di

kawasan cekungan Bandung ini masih aktif (BPLHD, 2005). Unsur yang

dikeluarkan dari emisi gunung berapi diantaranya adalah Si, Al, Na, Ca, Mg, Fe,

dan K (Speciate software US EPA).

Pencemar antropogenik yang mempengaruhi pencemar udara ambien di kawasan

Bandung meliputi kegiatan industri, aktivitas pembakaran sampah (

biomass

(4)

burning

), serta aktivitas transportasi (Huboyo, 2003). Supriatno (1989) dalam

Huboyo (2003) telah meneliti emisi dari proses pembakaran sampah di kota

Bandung. Emisi total partikulat dari proses tersebut adalah sebesar 594,3 kg/hari;

SO2

37,14 kg/hari; NOx 222,8 kg/hari; Hidrokarbon 1114,3 kg/hari; dan CO

3120,1 kg/hari. Santoso (2006) mengungkapkan bahwa kontribusi

biomass

burning

terhadap PM2,5 di kota Bandung adalah sebesar 20%. Kurniawan (2006)

mengukur tingkat emisi dari hasil aktivitas domestik dengan parameter NOx

memiliki tingkat emisi tertinggi yaitu sebesar 6567,05 ton/tahun, HC sebesar

1135,59 ton/tahun, SOx sebesar 1132,4 ton/tahun, SPM sebesar 865,00 ton/tahun,

dan CO sebesar 724,93 ton/tahun. Gas CO adalah parameter pencemar paling

tinggi yang diemisikan dari proses pembakaran sampah yaitu sebesar 3582,66

ton/tahun, HC (1279,52 ton/tahun), SPM (511,81 ton/tahun), NOx (255,90

ton/tahun), dan SOx (42,65 ton/tahun) (Kurniawan, 2006). Tingkat emisi dari

kedua aktivitas tersebut divisualisasikan pada Gambar III.2. Tabel tingkat emisi

dari aktivitas domestik dan pembakaran sampah disajikan pada Lampiran C.

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 T in gk a t e m is i ( ton/ ta h un) CO NOx HC SOx SPM Parameter pencemar aktivitas domestik pembakaran sampah

Gambar III.2 Tingkat emisi sektor domestik dan pembakaran sampah

di kota Bandung

(Kurniawan, 2006)

Sektor transportasi merupakan sektor yang sangat berpotensi mempengaruhi

pencemaran udara di Kota Bandung. Studi yang dilakukan BPLHD (2005)

menyatakan bahwa jumlah kendaraan di Kota Bandung jauh lebih besar jika

dibandingkan dengan Kabupaten Bandung-, Kota Cimahi, dan Kabupaten

Sumedang. Konsumsi bahan bakar di Kota Bandung juga menempati urutan

(5)

tertinggi baik untuk solar maupun bensin jika dibandingkan dengan kota-kota lain

di wilayah cekungan Bandung (BPLHD, 2005).

Perhitungan total tingkat emisi dari sektor transportasi di cekungan Bandung

menunjukkan bahwa Kota Bandung memiliki tingkat emisi tertinggi

dibandingkan dengan Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten

Sumedang untuk seluruh parameter., yaitu CO (185.476,4 ton/tahun), NOx

(12.226,4 ton/tahun), SOx

(993,2 ton/tahun), HC (26.283,3 ton/tahun), PM10

(1.112,9 ton/tahun), dan PM2,5 (1.030,4 ton/tahun) (BPLHD,2005). Hal ini terkait

dengan kepadatan jumlah kendaraan di kawasan Kota Bandung yang lebih tinggi

dibandingkan dengan Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kota Sumedang.

Tabel jumlah kendaraan di kawasan cekungan Bandung ditampilkan pada

Lampiran H. Gambar III.3 menunjukkan grafik tingkat emisi dari sektor

kendaraan bermotor di kota Bandung.

0 30000 60000 90000 120000 150000 180000 210000 T ing k a t e m is i ( to n/ ta hu n) CO NOx HC SOx pm10 pm2,5 Parameter pencemar

Gambar III.3 Tingkat emisi dari sumber kendaraan bermotor

di Kota Bandung

(BPLHD, 2005)

Sumber kendaraan bermotor di Kota Bandung cenderung mengemisikan polutan

relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan sumber domestik dan pembakaran

sampah. Menurut Kurniawan (2006), pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di

kota Bandung mengalami kenaikan sebesar 53,55% setiap tahun, dengan

prosentase kenaikan didominasi oleh kendaraan sepeda motor. Hal tersebut dapat

(6)

berpengaruh terhadap penambahan jumlah polutan di Kota Bandung (Kurniawan,

2006).

Data dari Badan Pusat Statistik yang mengacu pada Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Kotamadya Bandung dalam Mauliadi (2000) menunjukkan bahwa

terdapat 587 kegiatan industri di Kota Bandung dari 6596 total industri di Jawa

Barat pada tahun 2000. Kota Bandung mempunyai kontribusi sebesar 8,9% dari

keseluruhan aktivitas industri di Jawa Barat, dengan laju pertumbuhan 10,2%

(pada periode 1994 - 2000) (Mauliadi, 2004). Tingkat emisi dari sektor industri di

kota Bandung didominasi oleh gas CO yaitu sebesar 2868,93 ton/tahun, HC

(1715,45 ton/tahun), NOx (1102,64 ton/tahun), SOx (1089 ton/tahun), dan SPM

1

(997,34 ton/tahun) (Kurniawan, 2006). Grafik tingkat emisi dari sektor industri

ditampilkan pada Gambar III.4

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 T in g ka t em is i (to n /tah u n ) CO NOx HC SOx SPM Parameter pencemar

Gambar III.4 Tingkat emisi dari sumber kegiatan industri

di Kota Bandung

(Kurniawan, 2006)

Berdasarkan data-data tingkat emisi di atas maka dapat diperkirakan parameter

pencemar udara yang memiliki tingkat emisi paling tinggi di Kota Bandung.

Kurniawan (2006) menghitung persentase tingkat emisi parameter-parameter

pencemar dari masing-masing sumber. Persentase tersebut ditampilkan pada

Tabel III.1.

(7)

Tabel III.1 Persentase parameter pencemar udara di Kota Bandung

Persentase Pencemar dari Sektor (%)

Parameter

Pencemar Tingkat Emisi

(ton/tahun) Transportasi Industri Domestik Pembakaran

Sampah CO 192.652,9 96,2 1,4 0,3 1,8 NOx 20.151,9 60,6 5,4 32,5 1,2 HC 30.413,8 86,4 5,6 3,7 4,2 SOx 3.247,5 30,5 33,5 34,8 1,3 SPM 3.487,0 31,9 28,6 24,8 14,6 (Sumber: Kurniawan, 2006)

Berdasarkan Tabel III.1 maka dapat diketahui bahwa pencemar udara tertinggi di

Kota Bandung dikontribusikan dari sektor transportasi untuk seluruh parameter.

Hal ini seiring dengan perhitungan tingkat emisi dari sektor transportasi yang

dilaporkan oleh BPLHD.

III.5 Kondisi Polutan Partikulat di Kota Bandung

Gambaran mengenai PM10 di Kota Bandung didasarkan pada pengukuran di

stasiun pemantau kualitas udara BPLHD Jawa Barat. Stasiun pemantau yang akan

digunakan sebagai gambaran data historis untuk PM10 adalah BAF1 Dago Pakar,

BAF2 Aria Graha, BAF3 Tirtalega (Tegalega), dan BAF5 Cisaranten Wetan.

Lokasi-lokasi tersebut merupakan lokasi yang digunakan dalam penelitian ini.

Data rata-rata konsentrasi bulanan pada tahun 2001 dan 2002 untuk PM10

disajikan dalam Gambar III.5 dan III.6.

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00

jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec

bulan rat a -r at a ko n s en tr asi ( u g /m 3)

Dago pakar Aria graha Tegalega Cisaranten w etan

Gambar III.5 Konsentrasi rata-rata PM

10

tahun 2001

(Hasil olahan dari data

BPLHD Jabar, 2001)

(8)

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00

jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec

bulan rat a-rat a ko n sen trasi ( u g /m3)

dago pakar Aria graha Tegalega Cisaranten wetan

Gambar III.6 Konsentrasi rata-rata PM

10

tahun 2002

(Hasil olahan dari data

BPLHD Jabar, 2002)

Gambar III.5 dan III.6 menunjukkan bahwa secara umum konsentrasi rata-rata

PM10 di Dago Pakar lebih rendah dibandingkan dengan kawasan lain sepanjang

tahun 2001 dan 2002. Rata-rata konsentrasi untuk PM10 pada tahun 2001

menunjukkan rata-rata sebesar 73,33

μ

g/m

3

(Tegalega), 62,42

μ

g/m

3

(Aria Graha),

50,92

μ

g/m

3

(Dago Pakar tahun 2002), 42,95

μ

g/m

3

(Cisaranten Wetan tahun

2002). Nilai tersebut masih berada di bawah baku mutu harian untuk PM10 yaitu

sebesar 150

μ

g/m

3

.

III.6 Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Tegalega

Taman Tegalega terletak tidak jauh dari wilayah alun-alun Kota Bandung.

Kawasan Tegalega secara administrasi masuk ke dalam wilayah Kecamatan

Astanaanyar. Kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan perdagangan, jasa dan

pemukiman. Kawasan sebelah timur laut taman Tegalega merupakan tempat

penampungan sampah sementara. Kawasan ini juga merupakan kawasan

keramaian transportasi. Jalan yang selalu ramai dan padat yang meliputi kawasan

Tegalega adalah Jalan BKR di sebelah selatan yang merupakan jalan arteri

sekunder, jalan Otto Iskandar Dinata (Otista) di sebelah barat, jalan Moh. Toha di

(9)

sebelah timur, dan jalan Ciateul di sebelah utara. Ketiga jalan ini merupakan jalan

kolektor sekunder.

Aria Graha

Kawasan Aria Graha merupakan kawasan perumahan yang berada di daerah

Bandung Timur sekitar kurang lebih 5 km dari Bundaran/ terminal Cibiru.

Kawasan ini merupakan salah satu lokasi stasiun pemantau kualitas udara

BPLHD Provinsi Jawa Barat yang mewakili daerah pemukiman. Aria Graha

terletak tepat berhadapan dengan Jalan By Pass Soekarno-Hatta yang merupakan

jalur cepat penghubung Bandung Barat dengan Bandung Timur. Sebelah timur

dan selatan Aria Graha merupakan pemukiman, dan beberapa kegiatan industri

kecil dan bengkel. Sebelah utara adalah jalan

bypass

Soekarno Hatta, di sebelah

barat adalah pertokoan dan terdapat kegiatan konstruksi bangunan.

Dago Pakar

Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda Secara umum merupakan hutan alam

sekunder dan hutan tanaman dengan jenis Pinus (

Pinus mekusii

) yang terletak di

Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung, DAS Citarum yang membentang

mulai dari Curug Dago, Dago Pakar sampai Maribaya yang merupakan bagian

dari kelompok hutan Gunung Pulosari. Tahura terletak di sebelah utara kota

Bandung berjarak ± 7 km dari pusat kota, secara geografis berada 107° 30’ BT

dan 6° 52’ LS, dengan luas 526,98 ha. Tahura Ir. H. Djuanda memiliki tingkat

aksesibilitas tinggi yang dapat dicapai dari barat daya/ selatan melalui

Pakar-Dago dan dari timur laut/ utara melalui Maribaya/ Lembang.

Sebagian besar Tahura Djuanda (kawasan Pakar – Maribaya) secara administratif

masuk dalam wilayah Kabupaten Bandung yaitu Desa Ciburial dan Desa

Cimenyan, Kecamatan Cimenyan dan sebagian lagi termasuk wilayah Desa

Mekarwangi, Desa Langensari, Desa Wangunharja dan Desa Cibodas, Kecamatan

Lembang sedangkan sebagian kecil (Curug Dago) masuk dalam wilayah

Kelurahan Dago Kecamatan Coblong dan Kelurahan Cimbuleuit Kecamatan

Cidadap Kota Bandung.

(10)

Batas kawasan meliputi :

Barat: berbatasan dengan tanah milik (pertanian dan pemukiman) Desa

Mekarwangi.

Timur: Berbatasan dengan Hutan Lindung yang dikelola oleh Perum

Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten ( KPH Bandung Utara) dan

tanah milik (pertanian dan pemukiman) Desa Ciburial.

Utara: berbatasan dengan tanah milik penduduk berupa lahan pertanian

desa Cibodas, Desa Wangunharja Kecamatan Lembang dan Hutan

Lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan

Banten ( KPH Bandung Utara).

Selatan: berbatasan dengan tanah penduduk berupa lahan pertanian dan

pemukiman Desa Ciburial Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung dan

Kelurahan Dago Kecamatan Coblong, Kelurahan Cimbuleuit Kecamatan

Cidadap Kota Bandung.

Sebagian besar kawasan Taman Hutan Raya Ir. Djuanda merupakan ekosistem

pinggir sungai (

riparian ecosystem

) yang berlereng terjal dengan

tonjolan-tonjolan batu cadas, yang mempunyai ketinggian antara 770 sampai 1.330 m dpl.

Bentang lahannya berbentuk cekungan (

basin

), yang pada bagian dasarnya

mengalir Sungai Cikapundung yang diapit oleh lereng terjal.

Wilayah ini memiliki curah hujan yang semaikin tinggi dengan semakin naiknya

ketinggian dari permukaan laut (fenomena hujan Tipe Orografis), dari Pakar

menuju Maribaya. Curah hujan tahunan di wilayah Tahura bagian selatan berkisar

dari 2.500 – 3.000 mm, sedangkan di bagian utara berkisar dari 3000 - 4.500

mm. Kelembaban nisbi udara di dalam kawasan Taman Hutan Raya dan

sekitarnya selalu tinggi, kelembaban mutlak memperlihatkan kisaran yang cukup

rendah yaitu berkisar antara 70 % (siang hari) – 95 % (malam dan pagi hari).

Suhu di bagian lembah berkisar antara 22 – 24 ºC dan di bagian puncak antara 18

– 24 ºC.

(11)

Secara visual penggunaan lahan di sekitar kawasan Tahura Ir. H. Djuanda

sebagian besar saat ini masih merupakan lahan pertanian (48%), selebihnya terdiri

dari perkampungan (40%), hutan (2%) dan penggunaan lainnya (2%). Sekitar 48

% dari wilayah perkampungan yang ada kini didominasi oleh villa dan

rumah-rumah mewah. Keterangan mengenai kawasan Tahura Ir. H Djuanda ini diperoleh

dari arsip Balai Pengelola Tahura Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat (Dephut,

2007).

Cisaranten Wetan/Pinus Regency

Kawasan Cisaranten Wetan terletak di daerah Bandung Timur sekitar 2 km dari

kawasan Pasar Induk Gede Bage. Kawasan ini merupakan daerah industri di

wilayah Bandung Timur yang secara administratif masuk dalam wilayah

Kecamatan Ujungberung. Industri-industri yang terletak di daerah ini

diperlihatkan pada Tabel III.2.

Tabel III.2 Industri di kawasan kecamatan Ujungberung

No Keterangan Jumlah

1 Industri susu dan makanan dari susu 1

2 Industri makanan lainnya 3

3 Industri pemintalan, pertenunan, dan

pengolahan hasil tekstil

7

4 Industri perajutan 5

5 Industri pakaian jadi dari tekstil,

kecuali barang jadi berbulu

2

6 Industri barang-barang kimia lainnya

2

7 Industri karet dan barang dari karet 1

8 Industri barang logam lainnya dan

kegiatan jasa pembuatan barang-barang dari logam

1

9 Industri peralatan kedokteran dan

peralatan untuk mengukur, memeriksa, menguji, dan bagianlainnya kecuali alat optik

1

10 Industri perlengkapan dan komponen kendaraan bermotor beroda empat atau lebih

1

11 Industri furniture 1

12 Industri pengolahan lainnya 1

Jumlah 26

(12)

Informasi dari Tabel III.2 diperoleh keterangan bahwa industri dengan jumlah

paling tinggi di Kecamatan Ujungberung adalah industri pemintalan, penenunan,

dan pengolahan hasil tekstil yaitu sebanyak tujuh industri, dan disusul oleh

industri perajutan sebanyak lima industri.

Secara umum kawasan Pinus

Regency

yang digunakan sebagai lokasi sampling di

Cisaranten Wetan merupakan daerah perumahan yang berbatasan langsung

dengan kawasan industri. Beberapa bagian dari perumahan ini masih dalam tahap

pembangunan yaitu pada

cluster

di bagian depan, samping barat, dan perluasan ke

arah belakang kompleks (utara). Bagian selatan kompleks berbatasan langsung

dengan jalan raya

bypass

Soekarno-Hatta.

III.7 Kondisi Kesehatan Masyarakat Kota Bandung

Efek paparan dari polusi udara pada umumnya akan mengakibatkan gangguan

pada saluran pernafasan. Dinas kesehatan Kota Bandung mencatat angka kejadian

penyakit saluran pernafasan atas dan bawah pada periode 2003-2006 dengan

kecenderungan terjadi peningkatan kejadian penyakit saluran pernafasan setiap

tahunnya. Kejadian penyakit saluran pernafasan ditampilkan pada Gambar III.7.

(13)

0

50000

100000

150000

200000

250000

Angk

a

ke

ja

di

a

n pe

ny

ak

it

NA SA FA TA LA LtA

Ispats Influ Bp

ts Pn Ispbats Isp al Br As StA Brts &Brlts Pjpts

Jenis penyakit

2003

2004

2005

2006

Keterangan:

NA : Nasofaring akut., SA: Sinusitis akut.,FA: Faringitis akut.,TA : Tonsilitas akut.,LA: Laringitis akut.,LTA: Laringitis dengan trakeitis akut., Ispats: Infeksi saluran pernafasan atas tidak spesifik.,Influ: Influenza.,Bpts: Broncopneumonia tidak spesifik.,Pn: Pneumonia.,Ispbats: Infeksi saluran pernafasan bawah akut tidak spesifik.,Ispal: Infeksi pernafasan atas akut lainnya.,Br: Bronkhitis.,As: Asma.,StA: Staus asmatikus.,Brts&Brlts: Bronkietasis dan bronkiolektasis.,Pjpts: Penyakit jantung dan paru tidak spesifik

Gambar III.7 Kejadian penyakit saluran pernafasan di Kota Bandung

(Data olahan dari arsip tahunan Dinkes Kota Bandung)

Gambar III.7 menunjukkan bahwa penyakit infeksi saluran pernafasan atas tidak

spesifik (ispats) merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi setiap

tahunnya. Penyakit nasofaring akut (NA) merupakan penyakit saluran pernafasan

yang cenderung memiliki peningkatan kejadian penyakit yang cukup signifikan

setiap tahunnya. Pada tahun 2005 penyakit infeksi saluran pernafasan atas akut

lainnya (ispal) mempunyai angka kejadian penyakit tertinggi dibandingkan

dengan tahun 2003, 2004, dan 2006.

Penelitian yang dilakukan Dirgawati (2007) menyebutkan bahwa pola prevalensi

penyakit ISPA di kawasan pemukiman (Kecamatan Rancasari, Margacinta) dan

(14)

padat lalu lintas (Kecamatan Astanaanyar, Regol) tidak berbeda secara signifikan.

namun kedua kawasan ini memiliki angka prevalensi rata-rata yang lebih tinggi

dibandingkan dengan kawasan industri (Kecamatan Ujungberung).

Perhitungan resiko relatif (RR) yang dilakukan Dirgawati (2007) menunjukkan

bahwa resiko terjadinya penyakit ISPA atas pada masyarakat yang tinggal di

kawasan padat lalu lintas lebih besar 3,370 kali dibandingkan masyarakat di

kawasan bersih (Dago Pakar). Resiko terjadinya penyakit ISPA atas pada

masyarakat di kawasan pemukiman lebih besar 1,939 kali dibandingkan

masyarakat di kawasan bersih, dan resiko terjadinya penyakit ISPA atas pada

masyarakat di kawasan industri sebesar 0,593 kali dibandingkan dengan

masyarakat di kawasan bersih.

Dirgawati (2007) juga melakukan perhitungan kontribusi polutan terhadap jumlah

penyakit ISPA di kota Bandung. Hasil penelitian tersebut ditunjukkan pada Tabel

III.3.

Tabel III.3 Kontribusi parameter pencemaran udara terhadap prevalensi

penyakit ISPA di Kota Bandung

Kontribusi Polutan Terhadap Prevalensi ISPA (%)

Kawasan

HC CO NOx PM10

Padat lalu lintas 2,18 0,14 0,30 97,38

Pemukiman 2,02 6,55 3,49 87,95

Industri 38,41 34,92 25,14 1,53

(Sumber: Dirgawati, 2007)

PM10 mempunyai kontribusi paling tinggi terhadap prevalensi penyakit ISPA

pada kawasan padat lalu lintas dan pemukiman di Kota Bandung. Penggunaan

bahan bakar minyak, aktifitas domestik, serta pembakaran sampah dapat

berpengaruh terhadap emisi PM10 di kawasan pemukiman. Di kawasan padat lalu

lintas, HC dan partikulat diemisikan dari kegiatan transportasi yang terbentuk

selama energi diproduksi untuk menjalankan kendaraan bermotor yakni selama

pembakaran bahan bakar fosil bensin dan solar di dalam mesin (Dirgawati, 2007).

(15)

Polutan HC mempunyai kontribusi tertinggi terhadap prevalensi penyakit ISPA di

kawasan industri. HC, CO, dan NOx merupakan gas pencemar yang bisa

dihasilkan dari proses pembakaran senyawa organik (seperti bahan bakar fosil)

yang tidak sempurna dari proses industri (Dirgawati, 2007).

Gambar

Gambar III.1 Peta wilayah studi (Bappeda Kota Bandung, 2007)
Gambar III.2 Tingkat emisi sektor domestik dan pembakaran sampah                                 di kota Bandung (Kurniawan, 2006)
Tabel jumlah kendaraan di kawasan cekungan Bandung ditampilkan pada  Lampiran H. Gambar III.3 menunjukkan grafik tingkat emisi dari sektor  kendaraan bermotor di kota Bandung
Gambar III.4 Tingkat emisi dari sumber kegiatan industri              di Kota Bandung (Kurniawan, 2006)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dengan cara perhitungan yang sama untuk data selanjutnya dapat ditabulasi seperti yang ditunjukkan pada tabel

Dalam pengasuhan di Tempat Penitipan Anak, anak juga harus mendapatkan pengasuhan yang baik, seperti halnya istirahat, karena anak yang masih balita mereka harus

Hasil hipotesis menunjukkan bahwa t hitung lebih besar dari t tabel maka, dapat dinyatakan Ha diterima dan Ho ditolak, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya perbedaan

Berdasarkan pejelasan di atas penulis melihat bahwa dinas PTSP kota makassar dalam hal penertiban dan penataan tempat hiburan malam juga memenuhi indikator sebagai pelaksana

Untuk memperoleh pengetahuan dan keahlian tersebut diperlukan kesiapan guru dalam mendidik siswanya dan terutama adalah kesiapan belajar dari sipembelajar yaitu

Usaha untuk menyelesaikan pernyataan masalah adalah dengan mengangkat fokus utama yang dapat memberikan dampak terhadap munculnya identitas perusahaan pada interior kantor

Sifat fisika tanah pada sampel 9 diketahui tekstur lempung berliat dengan harkat 2 dan tingkat kerusakan sedang, struktur tanah granular dengan harkat 1 dan