• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Objek ke Lukisan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dari Objek ke Lukisan"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Hantu dalam Lukisan

Ada beberapa pertanyaan yang nyaris selalu muncul ketika kita dihadapkan sebuah karya seni. Antara lain, misalnya: “Bagaimana karya tersebut diciptakan?”; “Apa yang ingin disampaikan oleh seniman melalui karyanya?”; atau secara luas dan lebih filosofis lagi, “Apa makna dan dampak dari karya tersebut pada kehidupan sosial?”. Praktik melihat dan mempertanyakan objek seni sudah sejak lama menjadi bagian yang diwariskan, dipelihara dan diniscayakan sebagai suatu ‘kebutuhan kultural’ yang dilembagakan oleh pranata seni modern. Karya seni, dalam hal ini, harus difahami lebih jauh dari sekedar objek yang dipajang demi keindahan, karena ia diniscayakan mengandung suatu pemikiran, atau mungkin juga: filsafat.

Agak bertolak belakang dengan pemikiran di atas, karya-karya Handiwirman Saputra sesungguhnya justru berada di luar haluan besar seni stereotipe yang ‘indah’ dan ‘filosofis’. Keberadaannya, bersama lima seniman lain yang tergabung dalam Kelompok Seni Rupa Jendela, menarik perhatian banyak pengamat pertama kali melalui pameran “Kelompok Jendela Membuka Kemungkinan” di Taman Ismail Marzuki, pertengahan tahun 2000. Ketika itu, karya-karya Kelompok Jendela dianggap ‘malas’, ‘tidak senonoh’ dan ‘mengutang pada seni bangsa lain’—pendek kata, dianggap dekaden karena membuktikan pudarnya nilai keindahan seni, dan pada saat yang sama menyimpang dari representasi sosial-politik yang ketika itu sedang menjadi arus kecenderungan yang dominan dalam praktek seni rupa di Indonesia.1)

Memang, alih-alih mengikuti pola representasi yang menyasar pada kontekstualisasi ‘makna’ atau ‘arti’ pada kehidupan sosial, Handiwirman justru berangkat dari pertanyaan tentang bagaimana suatu makna dapat ‘dinihilkan’. Pada masa awal kekaryaannya, Handiwirman banyak menciptakan objek tiga dimensional yang justru bersifat ‘non-objek’. Non-objek, karena gubahan material dalam karyanya justru berujung pada kemusykilan objek itu sendiri: ia tidak mengandung simbolisme maupun

(2)

fungsi. Ia yakin pada potensi objek tersebut untuk sekadar memprovokasi dampak indrawi dan perasaan, bukan aksi maupun pemikiran secara pragmatis maupun filosofis.

Didorong keyakinan tersebut, Handiwirman kemudian banyak memanfaatkan banyak material yang wujud, bentuk dan sifat alamiahnya ia transformasikan menjadi sesuatu yang lain. Dari pengalaman dan ketekunan yang menahun, ia mampu mengolah dan menggunakan beragam material dengan cara yang luar biasa. Material dalam pengertian apapun juga: dari mulai plastik pembungkus yang dipungut dari tempat sampah, benang jahit, kayu, resin, kaca, kertas, kain, kapas, metal, rambut manusia, cat, tanah liat, dedaunan, sampai barang-barang industri jadi seperti sendok makan, boneka, balon plastik dan lampu neon. Ia nyaris selalu mengolah material tersebut secara khusus menjadi sesuatu bentuk yang lain sehingga memunculkan persepsi visual tertentu. Sangat jarang ia memajang sesuatu benda sebagaimana adanya. Material ia perlakukan seperti udara yang harus dihirup, diambil sarinya dan dihembuskan dengan bebas sebagai ‘bahasa’.2)

Latar belakang pendidikan kriya menjadikan karya-karya Handiwirman terlihat sebagai gabungan yang kaya antara kreativitas, ketekunan dan keterampilan tangan (craftsmanship).3) Namun, Handiwirman tidak menganut faham mono-materialism

sebagaimana pekriya pada umumnya.4) Ia melegitimasi segala macam jenis benda dan

material sebagai sesuatu yang sah dan vokabuler—tanpa hirarki historis maupun institusional. Sikap kritis dan keinginan abadinya untuk ‘bertanya’ tercermin dalam ungkapannya yang khas, seringkali secara sengaja konyol dan sinis. Kata-kata kunci yang ia sisipkan sebagai judul karyanya tidak selalu membantu kita untuk mengetahui apa maksud sang seniman, malah sering merujuk pada kenyataan yang bertolak belakang. Seringkali ia memanfaatkan potensi ‘keterputusan’ (unconnected-ness) antara ungkapan bahasa dan makna. Melihat karya-karya objek Handiwirman, selalu ada sesuatu yang tidak teruraikan dengan kata-kata. Di dalamnya tidak ada verbalisasi bentuk dan fungsi, karena ketika melihatnya cuma persepsi mental kita yang berbicara.

(3)

Dari Objek ke Lukisan

Selama satu tahun terakhir Handiwirman mulai mengalihkan perhatiannya pada hal lain di luar masalah material dan provokasi objek tiga dimensional. Periode baru kekaryaannya dimulai ketika ia menggeluti beberapa pertanyaan laten, seperti misalnya: a) “Bagaimana suatu benda dapat menempati suatu konteks maknawi di tengah benda-benda lain?”, b) “Bagaimana sebuah lukisan dapat dikatakan memiliki ‘kedalaman’ sebagaimana objek tiga dimensional?”; dan, c) “Apakah sebuah lukisan dapat menciptakan persepsi mental yang sama dengan apa yang dihasilkan objek tiga dimensional?”.

Dua pertanyaan yang terakhir disebut sesungguhnya bukan hal baru bagi Handiwirman. Ia sudah sejak lama melukis. Perilakunya dalam mengolah cat dan kanvas juga tidak jauh berbeda dengan caranya menggarap objek tiga dimensional: ia menumpuk, menempel dan menggoreskan kuas dengan tingkat ketekunan dan kecanggihan berbahasa yang luar biasa. Lukisan-lukisannya sama sekali tidak bisa digolongkan ‘representasional’, tapi juga bukan ‘abstrak’. Tingkat pemahamannya pada warna, garis dan bentuk dihubungkan dengan persepsi yang dihasilkan oleh bahasa rupa. Jarang sekali ia melukis dengan intensi mimetik, atau untuk meniru sesuatu yang ada dalam alam nyata. Pun ia tidak berangkat dari suatu ‘konsep’ yang ketat, melainkan dari ‘persepsi mental dan visual’ di dalam pikiran, karena hal itulah yang menurutnya lebih berperan dalam proses pembentukan dan pencerapan ‘makna’.5)

Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, mulailah Handiwirman melakukan serangkaian eksperimentasi yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan secara intens. Kini, dengan melukis ia ingin menghadirkan kembali objek-objek tiga dimensionalnya di atas kanvas dengan metode ‘meniru’. Sebelumnya ia begitu yakin dengan kekuatan volume, karakter indrawi dan keterjamahan (tangibility) suatu objek dalam membentuk persepsi mental. Sekarang ia diuji oleh tuntutan untuk menggunakan keterampilan tangannya sebagai alat untuk mentransfer gagasan tentang persepsi mental yang didapat dari suatu ‘benda’ ke dalam ‘benda yang lain’, yakni lukisan.

(4)

Ada Apa di Balik ‘Alam Benda’?

Serangkaian karya yang tampil dalam pameran “Apa-apanya Dong?” kali ini merupakan hasil kerja Handiwirman yang dilakukannya selama kurang lebih delapan bulan. Judul pameran yang diambil dari salah satu lagu hits musik pop Indonesia 80-an ini barangkali akan terdengar pandir dan dangkal, namun sesungguhnya mencerminkan buah pemikiran yang didapat dari proses yang rumit, panjang dan tekun. Dari pengerjaan karya-karya ini, Handiwirman kemudian menemukan beberapa cara berpikir yang substansial dalam proses penciptaannya, terutama menyangkut intensi mimetik dalam lukisan realistik. Menurutnya tradisi melukis realis sangat dilatarbelakangi oleh kepentingan estetik yang sama sekali tidak objektif. Ketika seorang seniman dituntut untuk memindahkan ‘alam benda’ (still life) ke atas kanvas, sesungguhnya, secara sadar maupun tidak ia telah mengikuti logika penggambaran dua dimensional yang serba dibatasi oleh skala dan sifat-sifat medium seni lukis. Oleh karena itu, keindahan yang terpancar dari sebuah lukisan pemandangan sesungguhnya tidak pernah mencerminkan keindahan pemandangan alam itu sendiri.

Tradisi melukis ‘alam-benda’ memang bukan proses transfer yang alamiah. Lukisan alam benda bukanlah kenyataan yang sesungguhnya karena di situ pelukis dituntut untuk menggambarkan benda-benda yang dikenali oleh penglihatan umum (teko, keranjang buah, kursi, taplak meja, gelas dan lain-lain). Tantangan yang dihadapi Handiwirman dalam pengerjaan karya-karyanya kali ini ada pada tuntutan pribadinya untuk menghadirkan benda-benda buatannya sendiri yang notabene ‘asing’ dalam pemahaman orang banyak. Objek-objek dalam lukisan Handiwirman memang pada akhirnya menjelma menjadi imaji yang datar, tanpa kedalaman, namun tetap memperlihatkan pendekatan visual yang memancing persepsi mental tertentu. Perspektif yang digunakan dalam lukisan-lukisan ini tergolong cerdas, unik, frontal, cenderung radikal, sehingga objek-objeknya tampil dengan nuansa enigmatik.

Pada rangkaian lukisan “Pose” misalnya, Handiwirman dengan sengaja menggambarkan objek-objek tiga dimensionalnya bersanding dengan benda lain yang

(5)

umum, yakni sofa, untuk menunjukkan hubungan yang terbangun antara dua objek dengan persepsi mental yang ‘serupa’. Meskipun kanvas itu datar, kepekaan Handiwirman terhadap imaji yang muncul dari material objek yang dirujuknya masih terlihat sangat dominan. Terkadang ia juga mengimbuhkan nuansa lain lewat warna. Di situ, ia hendak menguji pula bagaimana relasi yang terbangun antara objek yang ditempatkan secara khusus berdampingan dengan benda lain yang berhubungan dengan persepsi mental tertentu. Di sini Handiwirman seperti melakukan praktek memotret benda-benda yang pose dan wujudnya sangat tidak natural.

Rangkaian lukisan Handiwirman yang lain dalam pameran ini bertajuk “Mental Series”. Dalam proses pengerjaan rangkaian ini ia cenderung dengan lebih bebas mondar-mandir di antara dunia tiga dimensional dan dua dimensional, karena ia juga menghadirkan objek-objek baru yang secara sengaja dibuat untuk dilukis. Dalam rangkaian karya ini objek-objek terlihat lebih absurd, asing, tapi juga angkuh dan elegan, seolah menolak untuk dikenali. Pemirsa seolah diajak untuk melihat objek-objek tersebut sebagai sesuatu yang melebur begitu saja dalam bidang datar, tanpa kewajiban untuk mengenalinya sebagai objek tiga dimensional. Referensi dalam lukisan-lukisan ini dibiarkan mati, menguap dan gentayangan seperti hantu. Karya-karya Handiwirman membiarkan pemirsanya larut dalam bidang datar, tanpa harus peduli pada hal-hal yang maknawi. Mungkinkah hal ini juga yang seharusnya dikehendaki oleh para pelukis pada umumnya?

Pameran ini menandai periode terbaru perjalanan artistik Handiwirman yang penting dalam kurun sepuluh tahun terakhir. Di tengah penjelajahannya yang tak kunjung lelah terhadap bahasa ungkap, ragam medium dan material, masih tetap ada satu karakter khas yang bisa dikenali dari karyanya. Ia selalu mengerjakan segala sesuatu dengan cara yang sangat subtil, dan dalam beberapa hal: kontemplatif.

(6)

Agung Hujatnikajennong Kurator Pameran

Catatan Kaki

1. Untuk rangkaian perbantahan tentang Kelompok Seni Rupa Jendela, baca Agus Dermawan T., “Seni Rupa yang Mengutang dan Bermuatan”, Kompas, 11 Juni 2000; Hendro Wiyanto “Arisan Nama-nama Misteri Apa dan Siapa”, Kompas, 18 Juni 2000; Agus Dermawan T., “Memudarnya Estetika Kritik Seni Rupa”, Kompas, 2 Juli 2000; dan Raihul Fadjri, “Anti-tesis Seni Rupa Kontemporer”, Tempo, 14 Mei 2000.

2. Baca Agung Hujatnikajennong, “Wacana Benci dan Rindu”, katalog pameran Kelompok Seni Rupa Jendela “Ecstaticus Mundi”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung dan Air Art House, Jakarta (Juni – Agustus 2002).

3. Dalam ranah budaya visual di Indonesia, aspek kekriyaan bisa dilihat sebagai platform dalam melihat karya-karya para seniman kontemporer Indonesia yang bersentuhan dengan cara berpikir masyarakat tradisional yang cenderung berkarakter motorik. Yang pertama kali mereka lakukan adalah penciptaan, bukan konseptualisasi gagasan. Aspek ini sangat penting untuk mendalami karya-karya Handiwirman.

4. Mono-materialism: Istilah yang digunakan Nurdian Ichsan untuk mengidentifikasi kepercayaan pada satu macam material saja (dengan berbagai sejarah, filosofi dan karakternya yang khas) sebagai basis dalam praktek ‘craft’. Lihat penjelasan Nurdian Ichsan tentang Handiwirman, dalam katalog CP Open Biennale 2003, “Interpellation”, hal. 116.

5. Pengertian ‘konsep’ di sini saya fahami sebagai “Sesuatu yang secara abstrak dan arbitrer digeneralisasikan dari gagasan yang dilembagakan”, dan saya bedakan dengan tegas dengan ‘persepsi’, yakni “Hasil dari penerjemahan atau penafsiran sensasi fisikal yang didapat dari pengalaman sesaat”. Jika ‘konsep’ difahami sebagai sesuatu yang objektif dan universal, maka ‘persepsi mental’ justru berlaku sebaliknya: ia bersifat subjektif dan seketika.

Referensi

Dokumen terkait

Keluarga sudah dapat menggunakan fasilitas kesehatan dengan baik, bila ada anggota keluarga yang sakit maka dibawa berobat ke dokter, Puskesmas atau rumah

(1) Mystery Shopping adalah salah satu teknik survei dalam menilai kualitas pelayanan publik dengan cara menugaskan seseorang atau sekelompok orang untuk berkunjung ke unit

Tujuan pembelajaran remedial adalah membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar agar mencapai prestasi belajar yang diharapkan melalui proses penyembuhan dalam

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi untuk mengetahui modifikasi pati buah sukun (  Artocorpus altilis ) dengan proses asetilasi dengan

Hasil analisis keandalan struktur pada 8 gedung perkuliahan di lingkungan UIN Sunan Ampel dikategorikan pada tingkat andal dengam nilai berkisar antara 98,50%

Hasil yang ditemukan dalam penelitian adalah sebagai berikut; bahwa di Kampung Empat dalam melaksanakan prosesi pernikahan secara adat masih menggunakan adat Gorontalo,

Terjadi pembauran kelompok etnik di Makassar dan siri’ sebagai nilai-nilai bersama yang diakui etnik Bugis maupun Makassar, namun relasi antar etnisitas di arena politik

Hipotesis ini berkaitan dengan hipotesis ketiga yakni hipotesis monitor menyatakan bahwa cara seseorang memonitor penggunaan bahasa yang dipelajari adalah bervariasi. Ada