• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Determinan yang Berhubungan dengan Kejadian Gizi Kurang pada Balita Usia 12-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-benua Kota Kendari Tahun 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Determinan yang Berhubungan dengan Kejadian Gizi Kurang pada Balita Usia 12-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-benua Kota Kendari Tahun 2017"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DETERMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN GIZI KURANG PADA

BALITA USIA 12-59 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BENU-BENUA KOTA KENDARI

TAHUN 2017

Rifka Ekariyani Darwis1Ruslan Majid2Ainurafiq3 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo123

rifkaekariyani@gmail.com1rus.majid@yahoo.com2izainurafiq@gmail.com3

ABSTRAK

Gizi kurang adalah masalah gizi utama yang akan berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Balita yang mengalami gizi kurang memiliki tingkat morbiditas lebih tinggi dari berbagai penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan riwayat BBLR, riwayat pemberian ASI eksklusif, riwayat penyakit infeksi, pendapatan ekonomi keluarga dan pola asuh makan terhadap kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari 2017. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian epidemiologi analitik observasional dengan desain case control dan prosedur non matching. Populasi dalam penelitian ini 2.427 balita dengan jumlah sampel sebanyak 40 kasus dan 40 kontrol, pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita dengan riwayat BBLR memiliki risiko 7 kali lebih besar menderita gizi kurang dibandingkan balita dengan riwayat BBLN (OR= 7,400; 95%CI= 1,939 – 28,245; P-value = 0,003). Tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat pemberian ASI eksklusif, riwayat penyakit infeksi, pendapatan ekonomi keluarga dan pola asuh makan dengan kejadian gizi kurang. Bagi ibu yang memiliki anak balita dengan berat badan lahir rendah, kedepannya pada saat hamil agar mengkonsumsi makanan yang bergizi sehingga ibu tidak berisiko kekurangan energi kronik (KEK) karena berisiko melahirkan anak BBLR dengan pertumbuhan yang terhambat.

Kata kunci:balita, gizi kurang, determinan

ABSTRACT

Underweight is a major nutritional problem which will have an impact on social and economic life of society. Under-five children who are underweight have a higher morbidity of various diseases. The study aimed to determine the correlation between history of low birth weight, history of exclusive breastfeeding, history of infectious diseases, family’s income and parenting in feeding towards underweight in under-five children aged 12-59 months in Working Area of Local Government Clinic of Benu-Benua, Municipality of Kendari in 2017. The study using observational analytic epidemiology by case control design and non-matching procedure. The population in this study was 2,427 under-five children with the samples as many as 40 cases and 40 controls, the sampling using purposive sampling technique. The results showed that under-five children with history of low birth weight had 7 times greater risk of underweight compared to under-five children with history of normal birth weight (OR= 7,400; 95%CI= 1,939 – 28,245; P-value = 0,003). There were no significant correlation between history of exclusive breastfeeding, history of infectious diseases, family’s income and parenting in feeding with underweight. For mothers who have under-five children with low birth weight, in the future during pregnancy in order to consume nutritional foods so the mothers are not at risk of chronic energy deficiency (CED) because at risk to having low birth weight children with uninterrupted growth.

(2)

PENDAHULUAN

Saat ini, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Gizi kurang umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya ketersediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan atau sanitasi, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan serta adanya daerah miskin gizi. Gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai kurangnya pengetahuan tentang menu seimbang dan kesehatan. Dalam hal ini, masalah gizi banyak terjadi pada anak balita.1

Pada usia balita terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat menuju kesempurnaan organ-organ tubuh. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada balita akan mempengaruhi ketahanan fisik dan kecerdasan sehingga dapat memberikan dampak terhadap kehidupan pada masa yang akan datang. Digambarkan pula, ada kekhawatiran jika permasalahan gizi pada balita tidak ditanggulangi akan menyebabkan generasi yang hilang (lost generation), yaitu suatu keadaan yang berbahaya bagi kelangsungan suatu bangsa.2

Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi utama pada balita di Indonesia. Prevalensi yang tinggi banyak terdapat pada anak-anak di bawah umur 5 tahun (balita). Anak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi. Kelompok ini yang merupakan kelompok umur yang paling sering terjadi status gizi kurang. Balita merupakan salah satu kelompok rawan gizi yang perlu mendapatkan perhatian khusus, kekurangan gizi akan menyebabkan hilangnya masa hidup sehat pada balita. Dampak yang lebih serius dari kekurangan zat gizi adalah terjadinya gizi buruk yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian.3

Pada tahun 2012, WHO memperkirakan bahwa anak-anak yang kekurangan gizi sejumlah 181,92 juta (32%) di negara yang sedang berkembang. Jumlah penderita kurang gizi di dunia mencapai 104 anak di bawah usia 5 tahun, dan keadaan kurang gizi menjadi penyebab sepertiga dari seluruh penyebab kematian anak di seluruh dunia. Pada tahun 2013, WHO melaporkan bahwa 99 juta anak di bawah usia 5 tahun menderita kurang gizi di dunia diantaranya 67% terdapat di Asia dan 29% di Afrika. Pada tahun 2013 terdapat 6,34 juta kematian anak usia dibawah 5 tahun atau hampir 17 ribu kematian setiap harinya. Penyebab kematian anak usia dibawah 5 tahun tersebut 83% diakibatkan oleh penyakit infeksi, pada masa neonatal atau status gizi.4

156 juta anak-anak di bawah usia 5 tahun yang pertumbuhannya terhambat karena mereka kronis kekurangan gizi, dan 50 juta anak-anak yang terkena dampak oleh mengancam jiwa malnutrisi akut. Hal ini dapat disebabkan oleh makan terlalu sedikit makanan, terlalu banyak makanan, kombinasi makanan yang salah atau makanan yang tidak atau sedikit nilai gizi, serta makanan yang terkontaminasi mikroba penyebab penyakit. Hasil makanan terlalu sedikit kekurangan gizi, yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak-anak dan bahkan membunuh mereka, sering diperparah dengan penyakit infeksi dan perawatan anak miskin.5

Menurut data RISKESDAS tahun 2007 prevalensi status gizi buruk balita di Indonesia sebesar 5,45% dan gizi kurang sebanyak 13,01%. Pada RISKESDAS tahun 2013 prevalensi status gizi buruk balita di Indonesia sebesar 5,76% dan gizi kurang sebanyak 13,97%. Hal ini menunjukan terjadi sedikit peningkatan jumlah prevalensi balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia tahun 2007-2013. Akan tetapi prevalensi gizi kurang di Indonesia masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan standar yang ditetapkan World Health Organization(WHO) sebesar 10%.6

Sebanyak 33 propinsi di Indonesia, propinsi Sulawesi Tenggara menempati urutan ke 13 dari 19 propinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk-kurang di atas angka prevalensi nasional yakni sebesar 24% setelah Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Aceh, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah.7

Data status gizi balita di Propinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2013, berdasarkan BB/U terdapat kasus gizi buruk sebanyak 6,58%, gizi kurang sebanyak 24%, gizi baik sebanyak 66,91%, dan gizi lebih sebanyak 10,29%. Berdasarkan TB/U terdapat 20,81% balita dengan status sangat pendek, 17,02% balita dengan status pendek dan 62,23% balita dengan status normal. Adapun status gizi berdasarkan BB/TB terdapat 6,24% balita dengan kategori sangat kurus, 9,65% balita dengan kategori kurus, 66,16% dengan kategori normal dan 18,17% balita masuk kategori gemuk.8

Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Kendari, menunjukkan bahwa permasalahan gizi buruk pada balita dalam kurun waktu 5 tahun terakhir mengalami perubahan dimana pada tahun 2011 persentase gizi buruk 1,28%, pada tahun 2012 turun menjadi 0,62%, pada tahun 2013 turun menjadi 0,18%, pada tahun 2014 turun menjadi 0,16% dan pada tahun 2015 naik menjadi 0,17%. Sementara itu untuk balita gizi

(3)

kurang pada tahun 2011 mencapai 1,69%, pada tahun 2012 sebanyak 2,12%, pada tahun 2013 sebanyak 0,84%, pada tahun 2014 0,93% dan pada tahun 2015 sebanyak 1,26%. Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Kendari Tahun 2015 menunjukkan bahwa diantara 15 puskesmas yang bernaung di bawah wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Kendari, kasus gizi kurang tertinggi terdapat pada balita di wilayah kerja Puskesmas Benu-Benua.9

Prevalensi balita gizi kurang dan gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Benu-Benua pada tahun 2012 dari 2.674 balita, 70 kasus (2,67%) diantaranya mengalami gizi kurang dan 16 kasus (0,59%) balita mengalami gizi buruk dan mengalami peningkatan pada tahun 2013 yakni dari 2.465 balita, 82 kasus (3,34%) diantaranya mengalami gizi kurang dan 22 kasus (0,89%) diantaranya mengalami gizi buruk. Pada tahun 2014 dari 2.256 balita insidensi kasus gizi kurang terdapat 83 kasus (3,67%) dan insidensi kasus gizi buruk terdapat 9 kasus (0,39%). Pada tahun 2015 dari 2.636 balita insidensi kasus gizi kurang terdapat 67 kasus (2,54%) dan insidensi kasus gizi buruk terdapat 7 kasus (0,26%) dari 2.427 balita insidensi kasus gizi kurang terdapat 56 kasus (2,30%) dan insidensi kasus gizi buruk terdapat 5 kasus (0,20%).10

Berdasarkan uraian tersebut dimana jumlah kasus gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Benu-Benua masih tinggi, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Determinan yang Berhubungan dengan Kejadian Gizi Kurang pada Balita Usia 12-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017”. METODE

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitianepidemiologi analitik observasionaldengan desain case control study dengan prosedur non-matching yaitu membandingkan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya di masa lalu.11 Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Desember 2016 sampai Januari 2017 yang bertempat di wilayah kerja Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari. Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita usia 12-59 bulan yang tercatat pada buku registrasi di Puskesmas Benu-Benua selama bulan Januari hingga Oktober pada tahun 2016 sebanyak 2.427 balita

.

Teknik

pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Sampel untuk setiap kasus dan kontrol sebanyak 40 orang, sampel ini diperoleh dari perhitungan berdasarkan rumus Lameshow. Variabel terikat yaitu kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Benu-Benua tahun 2017 sedangkan Variabel bebas yaitu BBLR,

riwayat pemberian ASI ekslusif, riwayat menderita penyakit infeksi, pendapatan ekonomi keluarga dan pola asuh makan. Analisis data dilakukan menggunakan komputer dengan program Microsoft Excel dan SPSS. Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan distribusi frekuensi masing-masing variabel penelitian. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan variabel penelitian dengan kejadian gizi kurang.

HASIL

Tabel 1. Umur Responden

No. Umur (bulan) Jumlah (n) Persentase (%) 1 12-23 31 38,8 2 24-35 23 28,8 3 36-47 14 17,5 4 48-59 12 15 Total 80 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 1, menunjukkan bahwa dari 80 balita, usia yang paling banyak yaitu balita berusia 12-23 bulan berjumlah 31 balita (38,7%), sedangkan yang paling sedikit adalah balita yang berusia 48-59 bulan berjumlah 12 orang (15%). Tabel 2. Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%) 1 Laki-laki 32 40 2 Perempuan 48 60 Total 82 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 2, menunjukkan bahwa dari 80 balita, berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak yaitu berjenis kelamin perempuan sebanyak 48 orang (60%), dan laki-laki sebanyak 32 orang (40%).

Tabel 3. Status Responden No. Status Responden Jumlah (n) Persentase (%) 1 Kasus 40 50 2 Kontrol 40 50 Total 80 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 3, menunjukkan bahwa dari 80 balita yang mengalami gizi kurang (kasus) adalah sebanyak 40 orang (50%) dan balita yang gizi baik (kontrol) adalah sebanyak 40 orang (50%). Tabel 4. Berat Badan Lahir Rendah

No. Status Berat Badan Lahir Balita Jumlah (n) Persentase (%) 1 BBLR 18 22,5 2 BBLN 62 77,5 Total 82 100

(4)

Berdasarkan tabel 4, menunjukkan bahwa dari 80 balita, jumlah balita dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) gram sebanyak 18 balita (22,5%). Sedangkan balita yang memiliki Berat Badan Lahir Normal (BBLN) sebanyak 62 balita (77.5%).

Tabel 5. Riwayat Pemberian ASI Ekslusif No. Riwayat Pemberian ASI Jumlah (n) Persentase (%) 1 Tidak ASI eksklusif 46 57,5

2 ASI ekslklusif 34 42,5

Total 80 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 5, menunjukkan bahwa dari 80 balita, jumlah balita yang tidak mendapatkan ASI ekslusif sebanyak 46 balita (57,5%). Sedangkan balita yang mendapatkan ASI ekslusif sebanyak 34 balita (42,5%).

Tabel 6. Riwayat Menderita Penyakit Infeksi No. Riwayat Menderita

Penyakit Infeksi Jumlah (n) Persentas e (%) 1 Menderita penyakit infeksi 60 75 2 Tidak menderita penyakit infeksi 20 25 Total 80 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 6, menunjukkan bahwa dari 80 balita, yang menderita penyakit infeksi dalam 1 bulan terakhir sebanyak 60 balita (75%). Sedangkan yang tidak menderita penyakit infeksi dalam 1 bulan terakhir sebanyak 20 balita (25%).

Tabel 7. Pendapatan Ekonomi Keluarga No. Pendapatan Ekonomi

Keluarga Balita Jumla h (n) Persentas e (%) 1 < 2.080.000 (Rendah) 51 63,8 2 ≥ 2.080.000 (Tinggi) 29 36,2 Total 80 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 7, menunjukkan bahwa dari 80 balita yang memiliki pendapatan ekonomi keluarga tinggi sejumlah 29 balita (36,2%). Sedangkan, pendapatan ekonomi keluarga rendah sejumlah 51 balita (63,8%).

Tabel 8. Pola Asuh Makan No. Status Pola Asuh

Makan Balita Jumlah (n) Persentase (%) 1 Kurang 30 37,5 2 Cukup 50 62,5 Total 80 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 8, menunjukkan bahwa dari 80 balita, yang status pola asuh makan cukup sejumlah 50 balita (62,5%) dan status pola asuh makan kurang sejumlah 30 balita (37,5%).

Tabel 9. Risiko Berat Badan Lahir Rendah Terhadap Kejadian Gizi Kurang pada Balita Usia 12-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017

BBLR Kasus Kontrol Jumlah

n % n % n %

BBLR 15 37,5 3 7,5 18 22,5

BBLN 25 62,5 37 92,5 62 77,5

Jumlah 40 100 40 100 80 100

OR=7,400; 95%CI=1,939 – 28,245; P-value=0,003 Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 9, menunjukkan bahwa dari 40 balita pada kelompok kasus, terdapat 15 balita (37,5%) yang memiliki riwayat BBLR dan 25 balita (62,5%) yang memiliki riwayat BBLN. Sedangkan dari 40 balita pada kelompok kontrol terdapat 3 balita (7,5%) yang memiliki riwayat BBLR dan 37 balita (92,5%) yang memiliki riwayat BBLN.

Hasil analisis hubungan antara riwayat berat badan lahir rendah dengan kejadian gizi kurang menggunakan uji chi square menunjukkan nilai p (0,003) < α (0,05) sehingga disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara riwayat berat badan lahir rendah dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Benu-Benua tahun 2017.

Hasil analisis risiko riwayat berat badan lahir rendah terhadap kejadian gizi kurang diperoleh nilai OR sebesar 7,400. Artinya balita dengan berat badan lahir rendah mempunyai risiko mengalami gizi kurang 7 kali lebih besar dibandingkan dengan balita dengan berat badan lahir normal. Karena rentang nilailower limit(batas bawah) OR = 1,939 danupper limit(batas atas) OR = 28,245 pada interval kepercayaan (CI) = 95% tidak mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna. Dengan demikian berat badan lahir rendah merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Benu-Benua Kota Kendari tahun 2017. Tabel 10. Risiko Riwayat Pemberian ASI Ekslusif Terhadap Kejadian Gizi Kurang pada Balita Usia 12-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017

ASI Ekslusif Kasus Kontrol Jumlah

n % n % n % Tidak ASI Ekslusif 26 65 20 50 46 57,5 ASI Ekslusif 14 35 20 50 34 42,5 Jumlah 40 100 40 100 80 100

OR=1,875; 95%CI = 0,757– 4,558; P-value = 0,258 Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 10, menunjukkan bahwa dari 40 balita pada kelompok kasus terdapat 26 balita (65%) yang tidak diberikan ASI ekslusif dan 14 balita

(5)

(35%) yang diberikan ASI Ekslusif. Sedangkan dari 40 balita pada kelompok kontrol, terdapat 20 balita (50%), yang tidak diberikan ASI ekslusif dan 20 balita (50%) yang diberikan ASI ekslusif.

Hasil analisis hubungan antara riwayat pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian gizi kurang menggunakan uji chi square menunjukkan p (0,258) > α (0,05) sehingga disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat pemberian ASI ekslusif dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Benu-Benua tahun 2017.

Hasil analisis risiko riwayat pemberian ASI Ekslusif terhadap kejadian gizi kurang diperoleh OR sebesar 1,841 dengan rentang nilailower limit(batas bawah) OR = 0,757 danupper limit(batas atas) OR = 4,558 pada interval kepercayaan (CI) = 95% mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut tidak bermakna. Jika OR < 1 atau OR > 1 dan rentang CI mencakup nilai 1 maka variabel penelitian bukan merupakan faktor risiko. Dengan demikian riwayat pemberian ASI ekslusif bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Benu-Benua Kota Kendari tahun 2017.

Tabel 11. Risiko Riwayat Penyakit Infeksi Terhadap Kejadian Gizi Kurang pada Balita Usia 12-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017

Penyakit Infeksi

Kasus Kontrol Jumlah

n % n % n % Menderita Penyakit Infeksi 29 72,5 31 77,5 60 75 Tidak Menderita Penyakit Infeksi 11 27,5 9 22,5 20 25 Jumlah 40 100 40 100 80 100

OR=0,765; 95%CI = 0,277– 2,114; P-value = 0,796 Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 11, menunjukkan bahwa dari 40 balita pada kelompok kasus, terdapat 29 balita (72,5%) yang menderita penyakit infeksi dan 11 balita (27,5%) yang tidak menderita penyakit infeksi. Sedangkan dari 40 balita pada kelompok kontrol terdapat 31 balita (77,5%) yang menderita penyakit infeksi dan 9 (22,5%) yang tidak menderita penyakit infeksi.

Hasil analisis hubungan antara riwayat menderita penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang menggunakan uji chi square menunjukkan p (0,796) > α (0,05) sehingga disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita usia

12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Benu-Benua tahun 2017.

Hasil analisis risiko riwayat penyakit infeksi terhadap kejadian gizi kurang diperoleh OR sebesar 0,765 dengan rentang nilailower limit(batas bawah) OR = 0,277 dan upper limit (batas atas) OR = 2,114 pada interval kepercayaan (CI) = 95% mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut tidak bermakna. Jika OR < 1 atau OR > 1 dan rentang CI mencakup nilai 1 maka variabel penelitian bukan merupakan faktor risiko. Dengan demikian riwayat menderita penyakit infeksi bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Benu-Benua Kota Kendari tahun 2017. Tabel 12. Risiko Pendapatan Ekonomi Keluarga Terhadap Kejadian Gizi Kurang pada Balita Usia 12-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017

Pendapata n Ekonomi

Kasus Kontrol Jumlah

n % N % n %

Rendah 30 75 21 52,5 51 63,8

Tinggi 10 25 19 47,5 29 36,2

Jumlah 40 100 40 100 80 100

OR=2,714; 95%CI = 1,053– 6,999; P-value = 0,063 Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 12, menunjukkan bahwa dari 40 balita pada kelompok kasus, terdapat 30 balita (75%) yang berpendapatan ekonomi rendah dan 10 balita (25%) yang berpendapat ekonomi tinggi. Sedangkan dari 40 balita pada kelompok kontrol, terdapat 21 balita (52,5%) yang berpendapatan ekonomi rendah dan 19 balita (47,5%) yang berpendapatan ekonomi tinggi.

Hasil analisis hubungan antara pendapatan ekonomi keluarga dengan kejadian gizi kurang menggunakan uji chi square menunjukkan p (0,063) > α 0,05 sehingga disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pendapatan ekonomi keluarga dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Benu-Benua tahun 2017.

Hasil analisis risiko pendapatan ekonomi keluarga terhadap kejadian gizi kurang diperoleh OR sebesar 2,714 dengan rentang nilailower limit(batas bawah) OR = 1,053 danupper limit(batas atas) OR = 6,999 pada interval kepercayaan (CI) = 95% mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut tidak bermakna. Jika OR < 1 atau OR > 1 dan rentang CI mencakup nilai 1 maka variabel penelitian bukan merupakan faktor risiko. Dengan demikian riwayat pendapatan ekonomi keluarga bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Benu-Benua Kota Kendari tahun 2017.

(6)

Tabel 13. Risiko Pola Asuh Makan Terhadap Kejadian Gizi Kurang pada Balita Usia 12-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017

Pola Asuh Makan

Kasus Kontrol Jumlah

n % N % n %

Kurang 18 75 12 52,5 30 37,5

Cukup 22 25 28 47,5 50 62,5

Jumlah 40 100 40 100 80 100

OR=1,909; 95%CI = 0,761– 4,788; P-value = 0,248 Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 13, menunjukkan bahwa dari 40 balita pada kelompok kasus terdapat 18 balita (75%) yang mendapatkan pola asuh makan yang kurang dan 22 balita (25%) yang mendapatkan polas asuh makan yang cukup. Sedangkan dari 40 balita pada kelompok kontrol terdapat 12 balita (52,5%) yang mendapatkan pola asuh makan yang kurang dan 28 balita (47.5%) yang mendapatkan pola asuh makan yang cukup.

Hasil analisis hubungan antara pola asuh makan dengan kejadian gizi kurang menggunakan uji chi square menunjukkan p (0,248) > α (0,05) sehingga disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh makan dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Benu-Benua tahun 2017.

Hasil analisis risiko pola asuh makan balita terhadap kejadian gizi kurang diperoleh OR sebesar 1,909 dengan rentang nilailower limit(batas bawah) OR = 0,761 dan upper limit (batas atas) OR = 4,788 pada interval kepercayaan (CI) = 95% mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut tidak bermakna. Jika OR < 1 atau OR > 1 dan rentang CI mencakup nilai 1 maka variabel penelitian bukan merupakan faktor risiko. Dengan demikian pola asuh makan balita bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Benu-Benua Kota Kendari tahun 2017

.

DISKUSI

Risiko Berat Badan Lahir Rendah Terhadap Kejadian Gizi Kurang pada Balita Usia 12-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017

Berat Badan Lahir Rendah didefenisikan oleh WHO sebagai berat lahir <2500 gr. Berat lahir ditentukan oleh dua proses yaitu lama kehamilan dan laju pertumbuahn janin. Bayi baru lahir dapat memiliki berat lahir <2500 gr karena lahir dini (kelahiran premature) atau lahir kecil untuk usia kehamilan. Berat lahir juga indikator potensial untuk pertumbuhan bayi, respon terhadap rangsangan, lingkungan, dan untuk bayi bertahan hidup.12

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 40 balita pada kelompok kasus, terdapat 37,5% yang memiliki riwayat BBLR dan 62,5% yang memiliki riwayat BBLN. Sedangkan dari 40 balita pada kelompok kontrol terdapat 7,5% yang memiliki riwayat BBLR dan 92,5% yang memiliki riwayat BBLN (lihat tabel 19). Dengan demikian secara deskriptif dapat dijelaskan bahwa pada kelompok kasus, proporsi balita yang memiliki riwayat BBLR relatif lebih banyak (yakni, mencapai 37,5% dari total kasus) dibandingkan pada kelompok kontrol (yang hanya 7,5% dari total kontrol). Sebaliknya, pada kelompok kontrol, proporsi balita yang memiliki riwayat BBLN relatif lebih banyak (yakni, mencapai 92,5% dari total kontrol) dibandingkan pada kelompok kasus (yang hanya 62,5% dari total kasus). Sehingga, balita pada kelompok kasus cenderung memiliki riwayat BBLR, sedangkan balita pada kelompok kontrol cenderung memiliki riwayat BBLN.

Hasil analisis hubungan antara riwayat berat badan lahir rendah dengan kejadian gizi kurang menggunakan uji chi square menunjukkan nilai p (0,003) < α (0,05). Hasil analisis risiko riwayat berat badan lahir rendah terhadap kejadian gizi kurang diperoleh OR sebesar 7,400. Artinya balita dengan berat badan lahir rendah mempunyai risiko mengalami gizi kurang 7 kali lebih besar dibandingkan dengan balita dengan berat badan lahir normal, karena rentang nilai lower limit (batas bawah) OR = 1,939 danupper limit(batas atas) OR = 28,245 pada interval kepercayaan (CI) = 95% tidak mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna.

Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa pada kelompok kasus terdapat responden dengan berat badan lahir normal tetapi mengalami gizi kurang, Hal ini dikarenakan ada faktor lain yang secara langsung mempengaruhi status gizi seperti sosial ekonomi keluarga, penyakit infeksi dan tingkat konsumsi zat gizi.

Pada kelompok kontrol, lebih banyak responden memiliki berat badan lahir normal. Namun kenyataan, terdapat responden dengan berat badan lahir rendah tetapi tidak mengalami gizi kurang.Hal ini dapat disebabkan oleh pola asuh anak yang mendapatkan zat gizi yang baik. Sehingga balita akan tumbuh layaknya balita lain yang memiliki berat badan normal.

Bayi lahir dengan berat lahir rendah akan berisiko tinggi pada morbiditas, kematian, penyakit infeksi, kekurangan berat badan dan stunting diawal periode neonatal sampai masa kanak-kanak. Di negara berkembang, bayi dengan berat lahir rendah lebih cenderung mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri yang terjadi karena buruknya gizi ibu dan

(7)

meningkatnya angka infeksi dibandingkan dengan negara maju.13

Dampak dari bayi yang memiliki berat lahir rendah akan berlangsung antar generasi yang satu ke generasi selanjutnya. Anak yang BBLR kedepannya akan memiliki ukuran antropometri yang kurang di masa dewasa. Teori lain menyebutkan bahwa ibu dengan gizi kurang sejak awal sampai dengan akhir kehamilan akan melahirkan BBLR, yang kedepannya akan menjadi anak yang mengalami masalah gizi. Bayi yang berat lahir rendah yang diiringi dengan konsumsi makanan yang tidak adekuat, pelayanan kesehatan yang tidak layak, dan sering terjadi infeksi pada anak selama masa pertumbuhan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan menghasilkan anak yang kurang gizi.

Gizi kurang dapat terjadi apabila BBLR jangka panjang. Pada BBLR zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit terutama penyakit infeksi. Penyakit ini menyebabkan balita kurang nafsu makan sehingga asupan makanan yang masuk kedalam tubuh menjadi berkurang dan dapat menyebabkan gizi kurang.

Balita mengalami gizi kurang, disebabkan karena pada saat didalam kandungan anak sudah mengalami retardasi pertumbuhan atau pertumbuhan yang terhambat saat masih didalam kandungan (Intra Uterine Growth Retardation/IUGR). IUGR ini disebabkan oleh kemiskinan, penyakit dan defisiensi zat gizi. Artinya ibu dengan dengan gizi kurang sejak trimester awal sampai akhir kehamilan akan melahirkan BBLR, yang kedepannya anak akan beresiko besar menggalami gangguan gizi seperti gizi kurang dan stunting.14

Berat lahir sangat tergantung pada status gizi ibu selama kehamilan dan sebelum konsepsi. Berat lahir juga menjadi indikator tidak langsung untuk mengevaluasi gizi ibu dan sampai titik tertentu, untuk memprediksi perkembangan masa depan anak. Anak-anak dengan pertumbuhan terhambat berisiko menjadi gemuk, sehingga menempatkan mereka pada peningkatan risiko mengembangkan penyakit kronis di masa dewasa.15

Hal ini dapat disebabkan oleh peranan hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi. Leptin memegang peran utama sebagai pengendali berat badan. Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada

orexigenic centerdi hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan.16

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lainnya yang menyebutkan bahwa berat badan lahir rendah berhubungan secara signifikan dengan gizi kurang pada balita (p<0,05) dengan OR sebesar 21,000.17

Risiko Riwayat Pemberian ASI Ekslusif Terhadap Kejadian Gizi Kurang pada Balita Usia 12-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017

ASI eksklusif adalah bayi hanya menerima ASI dari ibu, atau pengasuh yang diminta memberikan ASI dari ibu, tanpa penambahan cairan atau makanan padat lain, kecuali sirup yang berisi vitamin, suplemen mineral atau obat. ASI diberikan secara eksklusif 6 bulan pertama, kemudian dianjurkan tetap diberikan setelah 6 bulan berdampingan dengan makanan tambahan hingga umur 2 tahun atau lebih.18

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 40 balita pada kelompok kasus, terdapat 65% yang tidak diberikan ASI ekslusif dan 17% yang diberikan ASI ekslusif. Sedangkan dari 40 balita pada kelompok kontrol terdapat 50% yang tidak diberikan ASI ekslusif dan 50% yang diberikan ASI ekslusif (lihat tabel 20). Dengan demikian secara deskriptif dapat dijelaskan bahwa pada kelompok kasus, proporsi balita yang tidak diberikan ASI ekslusif relatif lebih banyak (yakni, mencapai 65% dari total kasus) dibandingkan pada kelompok kontrol (yang mencapai 50% dari total kontrol). Sebaliknya, pada kelompok kontrol, proporsi balita yang diberikan ASI ekslusif relatif lebih banyak (yakni, mencapai 50% dari total kontrol) dibandingkan pada kelompok kasus (yang mencapai 35% dari total kasus). Sehingga, balita pada kelompok kasus cenderung tidak mendapatkan ASI ekslusif, sedangkan balita pada kelompok kontrol memiliki proporsi yang sama besar antara balita yang tidak diberikan ASI ekslusif dan yang diberikan ASI ekslusif.

Hasil analisis hubungan antara riwayat pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian gizi kurang menggunakan uji chi square mendapat p (0,258) > α (0,05). Hasil analisis risiko riwayat pemberian ASI Ekslusif terhadap kejadian gizi kurang diperoleh OR sebesar 1,841 dengan rentang nilailower limit(batas bawah) = 0,757 dan upper limit(batas atas) = 4,558 pada interval kepercayaan (CI) = 95% mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut tidak bermakna. Jika OR < 1 atau OR > 1 dan rentang CI mencakup nilai 1 maka variabel penelitian bukan merupakan faktor risiko.

Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu responden mengatakan bahwa bayi diberikan

(8)

makanan tambahan dan susu formula sebelum waktunya dikarenakan berbagai alasan seperti air susu ibu tidak keluar, ASI sedikit, bayi tidak mau menyusui, nyeri hebat saat menyusui dan ibu sibuk bekerja. Hal ini dikarenakan, pada masa kehamilan ibu kurang mengkonsumsi makanan bergizi yang dapat merangsang keluarnya ASI.

Pada kelompok kasus dan kontrol, jumlah balita yang tidak menerima ASI ekslusif selisihnya tidak jauh berbeda, hanya selisih 6 orang balita yang lebih banyak pada kelompok kasus, dan juga jumlah balita yang menerima ASI ekslusif pada kelompok kasus dan kontrol juga selisihnya tidak jauh berbeda, hanya selisih 6 orang balita yang lebih banyak pada kelompok kontrol, hal ini yang menyebabkan secara statistik dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara riwayat pemberian ASI ekslusif dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari than 2017. Hal ini dapat disebabkan oleh balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif tetapi mendapatkan gizi yang baik oleh ibunya. Sehingga tubuh balita tetap tumbuh normal.

Dari hasil wawancara yang dilakukan pada ibu responden, 100% menyatakan pernah menyusui anaknya walaupun ada sebagian yang tidak mencapai indikator ASI ekslusif yaitu selama 6 bulan pertama kehidupan bayi, dan 100% responden memberikan pada bayinya ASI yang pertama kali keluar pada saat bayi baru lahir yang disebut dengan kolostrum.

Kolostrum mengandung zat kekebalan IgA untuk melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi terutama diare. Kolostrum mengandung karbohidrat dan lemak rendah yang daapt memenuhi kebutuhan bayi. Selain itu juga banyak mengandung sel darah putih, melindungi terhadap infeksi, mengandung pencahar yang berguna untuk membersihkan mekonium dan membantu mencegah bayi kuning/ikterus. Kolostrum juga kaya akan vitamin A sehingga dapat mengurai keparahan infeksi.

Pentingnya pemberian ASI ekslusif bagi bayi karena ASI memiliki zat-zat gizi yang paling lengkap, mudah dicerna dan diserap secara efektif oleh tubuh serta melindungi bayi terhadap infeksi. ASI adalah cairan hidup yang mengandung sel-sel darah putih, immunoglobulin, enzim dan hormone, serta protein spesifik yang pasti cocok untuk bayi. ASI mengandung AA dan DHA dengan proporsi yang sesuai kebutuhan bayi, asam lemak esensial (Omega 3 dan 6), protein, multivitamin dan mineral lengkap mudah diserap secara sempurna. Demikian sempurnanya, kandungan mineral di ASI sama sekali tindak mengganggu ginjal si bayi yang masih sangat lemah.

ASI mengandung Antibodi atau Imonoglobulin utama yaitu IgA IgE dan IgM yang digunakan untuk

mencegah dan menetralisir bakteri, virus, jamur dan parasit. Jumlah imonoglobulin terbanyak terdapat pada kolostrum (air susu yang pertama kali keluar), dimana persentase imonoglobulin ini akan menurun seiring dengan waktu. Ibu yang terus memberikan ASI pada anaknya akan meningkatkan produksi ASI, sehingga total imonoglobulin yang di terima bayi akan relatife sama dengan imonoglobulin yang terdapat pada kolostrum. Total imonoglobulin akan meningkat selama periode ASI eksklusif. Pemberian ASI memberikan kekebalan maksimal dan paling baik, tidak hanya pada awal kehidupan seseorang akan tetapi juga selama masa kanak-kanak dan masa dewasa.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian lainnya yang menyebutkan bahwa riwayat pemberian ASI ekslusif berhubungan secara signifikan dengan gizi kurang pada balita (p<0,05) dengan OR sebesar 9,471.17

Risiko Riwayat Penyakit Infeksi Terhadap Kejadian Gizi Kurang pada Balita Usia 12-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan mikroorgnisme (bakteri, virus dan jamur). Penyakit ini menular dari satu orang ke orang lain. Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi kurang diantaranya adalah faktor penyebab langsung yang meliputi asupan gizi dan penyakit infeksi. Balita yang sering mendapat infeksi dalam waktu yang lama tidak hanya berpengaruh terhadap berat badannya akan tetapi juga berdampak pada pertumbuhan linier.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 40 balita pada kelompok kasus, terdapat 72,5% yang menderita penyakit infeksi dan 27,5% yang tidak menderita penyakit infeksi. Sedangkan dari 40 balita pada kelompok kontrol terdapat 77,5% yang menderita penyakit infeksi dan 22,5% yang tidak menderita penyakit infeksi (lihat tabel 21). Dengan demikian secara deskriptif dapat dijelaskan bahwa pada kelompok kasus, proporsi balita yang menderita penyakit infeksi lebih sedikit (yakni, hanya 72,5% dari total kasus) dibandingkan pada kelompok kontrol (yang mencapai 77,5% dari total kontrol). Sebaliknya, pada kelompok kontrol, proporsi balita yang tidak menderita penyakit infeksi relatif lebih sedikit (yakni, hanya 22,5% dari total kontrol) dibandingkan pada kelompok kasus (yang mencapai 27,5% dari total kasus). Sehingga, balita pada kelompok kasus cenderung lebih banyak balita yang tidak menderita penyakit infeksi, sedangkan balita pada kelompok kontrol cenderung menderita penyakit infeksi.

Hasil analisis hubungan antara riwayat menderita penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang menggunakan uji chi square mendapat p

(9)

(0,796) > α (0,05). Hasil analisis risiko riwayat penyakit infeksi terhadap kejadian gizi kurang diperoleh OR sebesar 0,765 dengan rentang nilai

lower limit (batas bawah) = 0,277 dan upper limit

(batas atas) = 2,114 pada interval kepercayaan (CI) = 95% mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut tidak bermakna. Jika OR < 1 atau OR > 1 dan rentang CI mencakup nilai 1 maka variabel penelitian bukan merupakan faktor risiko.

Berdasarkan hasil analisis statistik pada kelompok kontrol jumlah balita yang menderita penyakit infeksi memiliki proporsi yang lebih tinggi dibanding kelompok kasus, sedangkan proporsi balita yang tidak menderita penyakit infeksi lebih banyak pada kelompok kontrol, hal ini menjelaskan bahwa penyakit infeksi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian gizi kurang pada balita dikarenakan, balita-balita yang gizinya baik ternyata lebih banyak yang pernah menderita penyakit infeksi daripada balita yang gizinya kurang.

Anak yang menderita sakit akan memperjelek keadaan gizi melalui gangguan asupan makanan dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi esensial.

Penyakit infeksi menyebabkan penyerapan zat gizi dari makanan juga terganggu, sehingga nafsu makan hilang dan mendorong terjadinya gizi kurang atau gizi buruk bahkan kematian. Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Penyakit infeksi pada tubuh balita akan mempengaruhi keadaan gizinya. Penyakit infeksi dapat menjadi penyebab menurunnya intake makanan, sedikitnya intake makanan atau berkurangnya nutrient akibat muntah, diare malabsorbsi dan demam berkepanjangan dapat menyebabkan defisiensi nutrien sehingga konsekuensinya adalah pertumbuhan dan sistem imunitas anak akan terganggu.

Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu responden apabila balita mengalami gejala sakit pada awalnya difokuskan melakukan pengobatan sendiri seperti membeli obat diwarung dan balita harus istirahat yang cukup, tetapi apabila pada balita tidak kunjung membaik maka balita akan langsung di bawa ke puskesmas untuk memeriksakan keadaan, rata-rata balita mengalami penyakit infeksi seperti diare dan influenza hanya berlangsung 3-7 hari sedangkan penyakit seperti ISPA, demam tipoid dan DBD biasanya lebih dari 1 minggu. Sikap orang tua balita yang cepat tanggap terhadap kondisi kesehatan anaknya mendukung agar penyakit tidak menggangu kondisi berat badan yang akan mengalami penurunan setelah terkena infeksi dan paling tidak dapat mengurangi durasi sakit pada anak.

Apabila balita sedang mengalami sakit otomatis berat badan balita akan mengalami

penurunan karena terganggunya keadaan tubuh membuat nafsu makan berkurang hal ini didukung dengan kebutuhan energi pada saat terkena infeksi bisa mencapai dua kali kebutuhan normal karena meningkatnya metabolisme basal, sehingga hal ini menyebabkan deplesi otot dan glikogen hati yang berpengaruh pada penurunan berat badan, tetapi jika sembuh dan balita memiliki nafsu makan yang baik lagi dan ditunjang dengan pemberian makanan yang gizi seimbang serta vitamin penambah nafsu makan bisa memperbaiki gizi balita sehingga balita yang tadinya sementara sakit dinyatakan dalam kategori gizi kurang tetapi setelah sembuh melakukan perbaikan gizi maka berat badan balita bisa kembali dikategorikan gizi baik. Berdasarkan data yang didapatkan balita-balita yang pernah menderita penyakit infeksi, mendapatkan pola asuh makan yang cukup baik, hal ini mendukung perbaikan gizi balita.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lainnya yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita dengan p>0,05 sebesar 0,061. Tetapi, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian lainnya yang menyebutkan ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita dengan p<0,05 sebesar 0,027.19

Risiko Pendapatan Ekonomi Keluarga Terhadap Kejadian Gizi Kurang pada Balita Usia 12-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017

Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan riil dari seluruh anggota rumah tangga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga. Pendapatan keluarga merupakan balas karya atau jasa atau imbalan yang diperoleh karena sumbangan yang diberikan dalam kegiatan produksi. Pendapatan adalah tingkat kemampuan masyarakat dalam membelanjakan pendapatannya dinilai berdasarkan kebutuhannya serta merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 40 balita pada kelompok kasus, terdapat 75% yang memiliki pendapatan ekonomi rendah dan 25% yang memiliki pendapatan ekonomi tinggi. Sedangkan dari 40 balita pada kelompok kontrol terdapat 52,5% yang memiliki pendapatan ekonomi rendah dan 47,5% yang memiliki pendapatan ekonomi tinggi (lihat tabel 22). Dengan demikian secara deskriptif dapat dijelaskan bahwa pada kelompok kasus, proporsi balita yang berpendapatan ekonomi rendah relatif lebih banyak (yakni, mencapai 75% dari total kasus)

(10)

dibandingkan pada kelompok kontrol (yang mencapai 52,5% dari total kontrol). Sebaliknya, pada kelompok kontrol, proporsi balita yang memiliki pendapatan ekonomi tinggi relatif lebih banyak (yakni, mencapai 47,5% dari total kontrol) dibandingkan pada kelompok kasus (yang hanya 25% dari total kasus). Sehingga, balita pada kelompok kasus cenderung memiliki pendapatan ekonomi rendah, sedangkan balita pada kelompok kontrol cenderung memiliki pendapatan ekonomi tinggi.

Hasil analisis hubungan antara pendapatan ekonomi keluarga dengan kejadian gizi kurang menggunakan uji chi square mendapat p (0,063) > α 0,05. Hasil analisis risiko pendapatan ekonomi keluarga terhadap kejadian gizi kurang diperoleh OR sebesar 2,714 dengan rentang nilailower limit(batas bawah) = 1,053 danupper limit(batas atas) = 6,999 pada interval kepercayaan (CI) = 95% mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut tidak bermakna. Jika OR < 1 atau OR > 1 dan rentang CI mencakup nilai 1 maka variabel penelitian bukan merupakan faktor risiko.

Faktor pendapatan memiliki peranan yang sangat besar dalam persoalan gizi dan kebiasaan makan setempat. Ketersediaan pangan suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga tersebut pendapatan merupakan rintangan orang-orang yang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, namun keadaan yang meningkat tidak dengan sendirinya menjadikan kondisi yang menunjang bagi keadaan gizi yang memadai, lebih lanjut dikatakan bahwa tingkat pendapatan akan menentukan makanan apa yang dibeli dengan uang tersebut. Pada umumnya jika pendapatan naik jumlah dan jenis makanan cenderung juga membaik. Pendapatan keluarga sangat mempengaruhi terhadap konsumsi makanan sehari-hari. Apabila pendapatan rendah maka makanan yang dikonsumsi tidak mempertimbangkan nilai gizi, tetapi nilai materi lebih menjadi pertimbangan.

Tidak adanya hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita dapat disebabkan pendapatan tidak berpengaruh positif terhadap status gizi tidak secara langsung karena pendapatan hanya sebagai media dalam membelanjakan kebutuhan dalam mengkonsumsi kebutuhan pangan. Jika pendapatannya baik akan tetapi daya beli untuk membelanjakan pangan lebih besar dibandingkan dengan non pangan maka tidak akan terjadinya status gizi kurang, walaupun pengeluaran untuk kebutuhan pangan lebih tinggi tetapi jika dari hasil keanekaragaman dan komposisi makanananya kurang, maka bisa terjadinya status gizi kurang. Sebagian besar pendapatan akan dipakai atau

dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Semakin meningkat pendapatan biasanya semakin berkurang persentase belanjaan untuk makanan.

Meskipun secara teoritis pendapatan yang besar mampu memenuhi kebutuhan setiap anggota keluarga akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa keluarga yang berpenghasilan rendah dapat mengkonsumsi makanan yang mempunyai nilai gizi yang baik. Jika pemilihan makanan tidak sesuai dengan kebutuhan gizi seimbang maka akan berdampak pada kelebihan gizi yang berlebih cenderung berpotensi terkena penyakit-penyakit tidak menular. Ada sebuah istilah yang menyatakan bahwa untuk sehat tak perlu mahal, status sosial ekonomi yang kurang sebenarnya dapat diatasi jika keluarga tersebut mampu menggunakan sumber daya yang terbatas, seperti kemampuan untuk memilih bahan yang murah tetapi bergizi dan distribusi makanan yang merata dalam keluarga.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lainnya yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pendapatan ekonomi keluarga dengan kejadian gizi kurang pada balita dengan p>0,05 sebesar 0,347. Dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa tidak adanya hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita dapat disebabkan pendapatan tidak berpengaruh positif terhadap status gizi tidak secara langsung tetapi melalui varibel distribusi makanan, pengetahuan dan keterampilan orang tua (pola asuh), karena pendapatan hanya sebagai media dalam membelanjakan kebutuhan dalam mengkonsumsi kebutuhan pangan.20

Tetapi, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian lainnya yang menyebutkan ada hubungan yang signifikan antara pendapatan ekonomi keluarga dengan kejadian gizi kurang pada balita dengan p<0,05 sebesar 0,008. Dalam penelitian ini menyatakan bahwa sebab utama gizi kurang pada anak balita adalah rendahnya penghasilan keluarga. Pada umumnya jika pendapatan naik jumlah dan jenis makanan cenderung juga membaik. Pendapatan keluarga sangat mempengaruhi terhadap konsumsi makanan sehari-hari. Apabila pendapatan rendah makan makanan yang dikonsumsi tidak mempertimbangkan nilai gizi, tetapi nilai materi lebih menjadi pertimbangan.21

Risiko Pola Asuh Makan Terhadap Kejadian Gizi Kurang pada Balita Usia 12-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017

Pola asuh makan balita adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial yang

(11)

mana pola pengasuhan anak yaitu cara memberikan makan, kebersihan dan kasih sayang. Pola asuh anak merupakan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatan dengan anak, memberikan makan, perawatan serta menjaga kebersihan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 40 balita pada kelompok kasus, terdapat 45% yang memiliki pola asuh makan kurang dan 55% yang memiliki pola asuh makan cukup. Sedangkan dari 40 balita pada kelompok kontrol terdapat 30% yang memiliki pola asuh makan kurang dan 70% yang memiliki pola asuh makan cukup (lihat tabel 23). Dengan demikian secara deskriptif dapat dijelaskan bahwa pada kelompok kasus, proporsi balita yang memiliki pola asuh makan kurang relatif lebih banyak (yakni, mencapai 45% dari total kasus) dibandingkan pada kelompok kontrol (yang hanya 30% dari total kontrol). Sebaliknya, pada kelompok kontrol, proporsi balita yang memiliki pola asuh makan cukup relatif lebih banyak (yakni, mencapai 70% dari total kontrol) dibandingkan pada kelompok kasus (yang hanya 55% dari total kasus). Maka, balita pada kelompok kasus dan kontrol cenderung mendapatkan pola asuh makan yang cukup.

Hasil analisis hubungan antara pola asuh makan dengan kejadian gizi kurang menggunakan uji chi square mendapat p (0,248) > α (0,05). Hasil analisis risiko pola asuh makan balita terhadap kejadian gizi kurang diperoleh OR sebesar 1,909 dengan rentang nilai lower limit (batas bawah) = 0,761 dan upper limit (batas atas) = 4,788 pada interval kepercayaan (CI) = 95% mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut tidak bermakna. Jika OR < 1 atau OR > 1 dan rentang CI mencakup nilai 1 maka variabel penelitian bukan merupakan faktor risiko.

Faktor yang cukup dominan yang menyebabkan meluasnya keadaan gizi kurang ialah perilaku yang kurang benar dikalangan masyarakat dalam memilih dan memberikan makanan kepada anggota keluarganya, terutama pada anak-anak. Memberikan makanan dan perawatan anak yang benar mencapai status gizi yang baik melalui pola asuh yang dilakukan ibu kepada anaknya akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Praktek pengasuhan ditingkat rumah tangga adalah memberikan perawatan kepada anak dengan pemberian makanan dan kesehatan melalui sumber-sumber yang ada untuk kelangsungan hidup anak, pertumbuhan dan perkembangan. Tidak adanya hubungan antara pola asuh makan dengan status gizi balita dikarenakan 50 balita mendapatkan pola pengasuhan makan yang cukup baik dan 30 lainnya mendapatkan pola pengasuhan makan yang kurang

baik, hal ini dinilai dari 14 indikator pola pengasuhan makan balita.

14 indikator penilaian pola asuh makan yang baik terdiri dari apabila ibu balita merawat balitanya sendiri; jika ibu memberikan makan pada balita lebih ≥ 3 kali dalam sehari; waktu pemberian makanan diberikan secara teratur di pagi hari, siang hari dan malam hari; balita diberikan jenis makanan yang berbeda setiap kali makan; balita diberikan makanan yang beranekaragam; makanan yang diberikan balita sesuai dengan indikator gizi seimbang yaitu makanan pokok, lauk-pauk, sayur-mayur dan buah-buahan; ibu menciptakan situasi yang menyenangkan bagi balita saat pemberian makanan; ibu membujuk balita ketika balita tidak mau makan; ibu selalu mendampingi balita setiap kali balita makan; kurangi pemberian makanan jajanan pada balita; mengutamakan pemberian makanan pada balita daripada anggota keluarga lainnya; ibu menyiapkan makanan sendiri untuk balitanya; kurangi pemberian makanan siap saji kepada balita; serta memberikan vitamin pada balita.

Apabila ibu merawat balita sendiri tanpa membutuhkan jasa pengasuhan dari oranglain, ibu dan balita lebih memiliki kedekatan psikososial, ibu lebih memahami dan mengerti apa yang menjadi kebutuhan balita bagi kesehatannya karena ibu memantau dan menemani balita secara langsung dalam masa pertumbuhannya. Pemberian makan pada balita ≥ 3 kali sehari dikatakan bisa mencukupi kebutuhan energi balita setiap hari, juga apabila pemberian makanan teratur setiap pagi,siang dan malam makan kebutuhan gizi balita diperhatikan dengan baik.

Penting bagi balita apabila diberikan jenis makanan yang berbeda setiap kali makan, dan juga makanan yang beranekaragam agar kebutuhan gizi balita di dapatkan dari berbagai jenis dan ragam makanan sehat, sehingga kebutuhan gizi seimbang balita terpenuhi dengan baik mulai dari konsumsi karbohidrat yang didapatkan dari makanan pokok (beras,jagung,umbi-umbian) protein nabati maupun hewani (ikan, ayam, telur), zat besi, vitamin dan mineral (air putih, sayur-mayur, buah-buahan). Serta ibu menciptakan situasi menyenangkan ketika waktu pemberian makan pada balita agar balita semangat untuk menghabiskan makanannya dan tidak cepat merasa bosan.

Ibu harus membujuk balita dengan berbagai cara jikalau balita susah makan, jangan balita dibiarkan sampai ingin makan dengan sendirinya, hal tersebut tidak bisa mendukung dalam hal perbaikan gizi balita, tekadang balita harus dibujuk dengan hal-hal menyenangkan agar mau makan dan mengikuti perintah dari ibunya. Ibu juga harus mendampingi

(12)

balita ketika pemberian makan balita, agar ibu bisa mengontrol frekuensi dan jenis makanan yang dikonsumsi balitanya.

Batasi pemberian jajanan pada balita dan juga pemberian makanan siap saji seperti mie instan juga junk food. Karena makanan siap saji dan jajanan otomatis memiliki bahan pengawet yang tidak baik untuk tubuh apabila terlalu sering dikonsumsi akan memberikan dampak merugikan bagi kesehatan balita dimasa depan. Jika balita susah makan lebih baik diberikan vitamin penambah nafsu makan dibandingkan dengan pemberian makanan jajanan, karena dalam vitamin ada zat tidak berbahaya bagi tubuh yang bisa memicu nafsu makan balita.

Sebaiknya dalam keluarga ibu menyiapkan makanan sendiri untuk balitanya karena ibu mengetahui sendiri kebutuhan balita serta makanan yang disediakan oleh ibu sendiri lebih hygiene dan aman dibandingkan dengan makanan yang dibeli jadi, dan juga pemberian makanan dalam satu keluarga untuk balita lebih diutamakan dibandingkan anggota keluarga yang lain, karena balita sedang berada periode pertumbuhan yang maksimal untuk otak serta tubuhnya.

Pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan anak berusia di bawah lima tahun. Masa anak usia 1-5 tahun (balita) adalah masa dimana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang memadai. Pada masa ini juga, anak-anak masih sangat tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya. Oleh karena itu pengasuhan kesehatan dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangat penting untuk perkembangan anak.

Berdasarkan hasil penelitian 92% balita tersebut diasuh oleh ibunya sendiri, anak yang mendapat pengasuhan yang konsisten dari ibunya akan mempunyai status gizi yang baik dan jarang menderita sakit. Kualitas pengasuhan yang suboptimal/kurang baik dapat mempengaruhi semua aspek perkembangan, termasuk ketrampilan memecahkan masalah, interaksi sosial dan perkembangan verbal. keberhasilan pelaksanaan tugas pengasuhan anak juga dipengaruhi oleh lingkungan, politik, budaya, ekonomi, dan nilai-nilai sosial yang memiliki kontribusi terhadap proses perkembangan anak, banyaknya wanita yang bekerja, perubahan pola tradisi keluarga, dan urbanisasi juga mempengaruhi cara pengasuhan anak.

Makanan yang diberikan kepada anak harus memadai dalam hal kuantitas maupun kualitas, sesuai dengan umur atau tahap perkembangan anak. Cara pengaturan dan pemberian makan dengan penyediaan menu harus bervariasi. Hal ini untuk

mencegah terjadinya kebosanan terhadap jenis makanan. Kekurangan dan kelebihan zat gizi yang diterima tubuh seseorang akan memberikan dampak yang negatif. Perbaikan konsumsi pangan dan peningkatan status gizi yang sesuai dan seimbang dengan yang diperlukan tubuh merupakan unsur penting yang berdampak positif bagi peningkatan kualitas hidup manusia.

Anak mengalami kekurangan gizi karena kurangnya makanan di tingkat rumah tangga, cara pemberian makananyang kurang baik, maupun karena anak tidak mau makan. Anak dapat menolak bila makanan yang disajikan tidak memenuhi selera mereka. Oleh karena itu, orang tua harus berlaku demokratis untuk menghidangkan makanan yang menjadi kegemaran si anak. 65% balita makan dengan frekuensi yang cukup dalam sehari, pemberian makanan secara teratur. Walaupun jenis makanan balita cenderung sama setiap kali makan tetapi tidak terlalu signifikan mempengaruhi turunnya berat badan, hanya saja mempengaruhi rasa bosan dan jenuh balita dalam memandang makanan. Tetapi ibu balita tetap selalu menyediakan makanan yang beranekaragam serta memenuhi standar gizi seimbang dan juga ibu balita menciptakan situasi makan bagi anak yaitu menyenangkan bagi mereka seperti menyuapi sambil bermain serta selalu mendampingi anak.

Anak balita yang mendapatkan kualitas pengasuhan makan yang lebih baik, besar kemungkinan akan memiliki angka kesakitan yang rendah dan status gizi yang relatif lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa pengasuhan merupakan faktor penting dalam status gizi dan kesehatan anak balita. Faktor yang cukup dominan yang menyebabkan meluasnya keadaan gizi kurang ialah perilaku yang kurang benar dikalangan masyarakat dalam memilih dan memberikan makanan kepada anggota keluarganya, terutama pada anak – anak. Memberikan makanan dan perawatan anak yang benar mencapai status gizi yang baik melalui pola asuh yang dilakukan ibu kepada anaknya akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Praktek pengasuhan ditingkat rumah tangga adalah memberikan perawatan kepada anak dengan pemberian makanan dan kesehatan melalui sumber-sumber yang ada untuk kelangsungan hidup anak, pertumbuhan dan perkembangan. Sebenarnya pola asuh makan berhubungan erat dengan pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh ibu, sehingga harus diupayakan peningkatan pengetahuan ibu melalui program penyuluhan yang dapat meningkatkan pengetahuan ibu tentang pengasuhan anak yang baik sehingga dapat berguna bagi

(13)

pertumbuhan dan perkembangannya. Pola makan balita tidak lepas dari peran orang tua sebagai penyelenggara makanan keluarga. Apabila ibu dapat mengatur makan keluarga terutama balita dengan baik sesuai dengan kebutuhan gizi maka pola makan balita akan terlaksana dengan baik.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian lainnya yang menyebutkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pola asuh makan dengan kejadian gizi kurang pada balita dengan p<0,05 sebesar 0,042. Dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa anak balita yang mendapatkan kualitas pengasuhan yang lebih baik besar kemungkinan akan memiliki angka kesakitan yang rendah dan status gizi yang relative lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa pengasuhan merupakan faktor penting dalam status gizi dan kesehatan balita karena situasi pemberian makan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita.20

SIMPULAN

1. Ada hubungan antara berat badan lahir rendah balita dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017, dengan nilai OR sebesar 7,400 dan p (0,003) < α (0,05). Dengan demikian, balita dengan berat badan lahir rendah mempunyai risiko mengalami gizi kurang 7 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang memiliki berat badan lahir normal. Berat badan lahir rendah merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Benu-Benua Kota Kendari tahun 2017.

2. Tidak ada hubungan antara riwayat pemberian ASI ekslusif dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017, karena nilai p (0,258) > α (0,05).

3. Tidak ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017, karena nilai p (0,796) > α (0,05).

4. Tidak ada hubungan antara pendapatan ekonomi keluarga dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017, karena nilai p (0,063) > α (0,05).

5. Tidak ada hubungan antara pola asuh makan dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Benu-Benua Kota Kendari Tahun 2017, karena nilai p (0,248) > α (0,05)yaitu sebesar 0,248.

SARAN

1. Bagi ibu yang memiliki anak balita dengan gizi normal disarankan untuk mempertahankan kondisi tubuh dengan cara selalu menerapkan pola hidup sehat. Sedangkan, bagi ibu yang memiliki anak balita dengan gizi kurang dianjurkan untuk mengonsumsi makanan yang bergizi dan seimbang, serta segera dirujuk sedini mungkin ke unit pelayanan kesehatan apabila terjadi masalah pada pertumbuhan dan perkembangan pada anak.

2. Bagi ibu yang memiliki anak balita dengan berat badan lahir rendah disarankan kedepannya pada saat hamil lebih banyak mengkonsumsi makanan yang bergizi sehingga ibu tidak berisiko Kurang Energi Kronik (KEK), dengan kondisi KEK tersebut ibu berisiko melahirkan anak yang BBLR dengan pertumbuhan yang terhambat. Cara mengatasi anak yang BBLR sehingga pertumbuhannya tidak terhambat adalah ibu memberikan ASI ekslusif dan MP-ASI tepat pada waktunya.

3. Bagi ibu yang tidak memberikan ASI ekslusif kepada balita, disarankan kedepannya untuk memberikan makanan yang baik kepada bayinya sesuai dengan umurunya yakni makanan yang baik bagi bayi adalah ASI ekslusif sehingga pertumbuhan dan perkembangan bayi tidak terhambat.

4. Bagi Dinas Kesehataan Pegelola Program Upaya Kesehatan Masyarakat dan Gizi, untuk dapat memberikan penyuluhan tentang pentingnya status gizi dan tingkat asupan zat gizi pada balita. 5. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat

menjadikan penelitian ini sebagai informasi tambahan tentang kejadian gizi kurang. Serta diharapkan untuk dapat mengembangkan penelitian tentang faktor risiko dalam penelitian inidan memperluas jumlah populasi dan sampel, menjaring kasus baru, serta mengembangkan instrumen penelitian yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

2. Adrianti, Novi. 2015.Survei status gizi dan tingkat konsumsi zat gizi makro pada balita usia 6-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari tahun 2014. Kendari: Universitas Halu Oleo.Skripsitidak dipublikasikan.

3. Depkes RI. 2010. Kemiskinan kelaparan dan kekurangan gizi adalah masalah kompleks. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

4. World Health Organization. 2014. World health statistic 2013. France: World Health Organization.

(14)

5. World Health Organization. 2016. World health statistic 2015. France: World Health Organization. 6. Riskesdas. 2007. Laporan hasil riset kesehatan

dasar Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

7. Riskesdas. 2013. Laporan hasil riset kesehatan dasar Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

8. Dinkes Provinsi Sulawesi Tenggara. 2014. Profil kesehatan Sulawesi Tenggara tahun 2013. Kendari: Dinas Kesehatan Sulawesi Tenggara 9. Dinkes Kota Kendari. 2015.Profil kesehatan Kota

Kendari tahun 2014. Kendari: Dinas Kesehatan Kota Kendari.

10. Puskesmas Benu-Benua. 2013-2016. Profil Puskesmas Benua-Benua. Kendari: Puskesmas Benu-Benua.

11. Dahlan, Sopiyudin. 2014. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Epidemiologi Indonesia.

12. Fitri. 2012. Berat lahir sebagai faktor dominan terjadinya stunting pada balita (12-59 bulan) di Sumatera (analisis data riskesdas tahun 2010)”.

Tesis. FKM UI. Depok.

13. Wiyogowati, C. (2012). Kejadian stunting pada anak berumur di bawah lima tahun (0-5 bulan) di Provinsi Papua Barat tahun 2010 (analisis data Riskesdas rahun 2010). Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Depok.Skripsi

dipublikasikan

14. Kushariupeni, 2004.Growth faltering pada bayi di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Universitas Indonesia. Jakarta.

15. Pan American Health Organization. (2007). An overview of regional health, health in the Americas 2007. Regional Office of World Health Organization.

16. Jihad, Janirah. 2016.Analisis determinan kejadian stunting pada balita usia 12 – 24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016. Kendari: Universitas Halu Oleo.Skripsitidak dipublikasikan.

17. Novitasari, Dewi. 2012. Faktor-faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita yang dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro.Skripsidipublikasikan. 18. World Health Organization. 2006. World health

statistic 2015. France: World Health Organization. 19. Turnip, Olivia S. 2014. Hubungan pendapatan, penyakit infeksi dan pengetahuan ibu dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah Puskesmas Glugur Darat tahun 2014. Jurnal. Medan: Universitas Sumatera Utara.

20. Ria Syukriawati. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi kurang pada anak usia 24-59 bulan di Kelurahan Pamulang Barat Kota Tanggerang Selatan tahun 2011. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.Skripsidipublikasikan.

21. Khayati, Sri. 2011. Faktor yang berhubungan dengan status gizi balita pada keluarga buruh tani di Desa Situwangi Kecamatan Rakit Kabupaten Banjarnegara Tahun 2010. Semarang: Universitas Negeri Semarang.Skripsidipublikasikan.

Referensi

Dokumen terkait

Hal itu sejalan dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan

Error Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

Kemudian dengan melihat nilai uji t hitung statistik yaitu sebesar 4,511 yang menunjukkan angka lebih besar dari t-tabel yaitu 1,96 sehingga menunjukkan bahwa hipotesis keempat

Apabila Tertanggung tidak meninggal dunia akan tetapi mengalami Cacat Tetap Seluruhnya atau Sebagian, maka Penanggung akan membayarkan manfaat asuransi sebesar persentase dari

Melihat dari kebutuhan mebel – meja kerja yang memiliki fungsi ganda pada kalangan masyarakat saat ini sangat tepat untuk dijadikan target pasar atau sasaran dari rancangan meja

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan Dukungan keluarga terhadap kunjungan lansia dalam mengikuti Posyandu lansia di Posyandu lansia Kelurahan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumarni (2014) menyatakan bahwa wanita memiliki kecenderungan mudah mengalami kelelahan, perubahan mood dan masalah