• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI TENTANG ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA SERTA KAITANNYA DENGAN MASALAH GIZI KURANG DI KABUPATEN MANGGARAI, NUSA TENGGARA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI TENTANG ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA SERTA KAITANNYA DENGAN MASALAH GIZI KURANG DI KABUPATEN MANGGARAI, NUSA TENGGARA TIMUR"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI TENTANG ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA

SERTA KAITANNYA DENGAN MASALAH GIZI KURANG DI

KABUPATEN MANGGARAI, NUSA TENGGARA TIMUR

URSULA DIANITA MARUT

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

URSULA DIANITA MARUT. Studi tentang Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya serta Kaitannya dengan Masalah Gizi Kurang di Kabupaten Manggarai Propinsi Nusa Tenggara Timur. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kaitan antara aspek sosial ekonomi dan budaya dengan masalah gizi kurang yang terjadi di Kabupaten Manggarai. Adapun tujuan khususnya adalah (1) mengetahui tingkat kemiskinan dan prevalensi gizi kurang di Kabupaten Manggarai (2) mengetahui karateristik sosial ekonomi keluarga contoh (tingkat pendidikan orangtua dan tingkat pendapatan), status gizi contoh, kesehatan lingkungan keluarga contoh, serta pengetahuan gizi dan konsumsi pangan (3) Mengetahui budaya masyarakat Kabupaten Manggarai yang berkaitan dengan pola konsumsi pangan dan kemiskinan (4) menganalisis hubungan antara karateristik sosial ekonomi keluarga contoh, pola konsumsi pangan dengan masalah gizi kurang yang terjadi.

Penelitian ini menggunakan disain cross sectional study, yang dilakukan di Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai. Lokasi penelitian dipilih secara purposive pada bulan Juni sampai Juli 2007 dengan pertimbangan kemudahan akses transportasi dan berada di Kecamatan dengan jumlah balita gizi kurang terbanyak. Populasi penelitian ini adalah balita di Desa Meler. Kemudian ditetapkan dua kelompok contoh yaitu balita gizi kurang dan balita gizi baik sebagai pembanding. Selanjutnya, secara acak ditetapkan 80 balita di Desa Meler sebagai contoh, dengan perincian 48 balita contoh gizi kurang dan 32 balita contoh gizi baik.

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data sosial ekonomi keluarga, status gizi anak, kesehatan lingkungan, budaya serta pola konsumsi pangan. Data primer dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner serta observasi langsung. Data sekunder meliputi data keadaan geografis dan administratif wilayah, rumah tangga miskin, produksi pangan serta status gizi balita diperoleh dari Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kesehatan, BPS, BPMD, BAPPEDA, dan posyandu. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara deskriptif dan inferensia menggunakan microsof excel dan SPSS versi 13.0 for windows.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang di Kabupaten Manggarai pada tahun 2005 adalah 22,75% dan menurun pada tahun 2006 menjadi19,24 %. Kemiskinan merupakan salah satu penyebab terjadinya masalah gizi kurang di Kabupaten Manggarai. Rata-rata keluarga contoh berada pada kisaran keluarga sedang yaitu 45,8 %, separuh keluarga contoh gizi baik berada pada kisaran keluarga kecil yaitu 50 %. Sebagian besar ayah dan ibu contoh berpendidikan SD. Rata-rata pendapatan keluarga contoh per bulan adalah Rp 440.050. Sebanyak 80% ibu contoh berpengetahuan gizi yang tinggi.

Berdasarkan hasil pengukuran indikator BB/U sebanyak 7,5% contoh memiliki status gizi buruk dan lebih dari separuh contoh (52,5 %) memiliki status gizi kurang, dan menurut indikator TB/U, sebagian besar contoh (97,5%) berada pada status gizi normal dan hanya 2,5% contoh yang berstatus pendek atau stunting, dan menurut indikator BB/TB sebanyak 21,2 % contoh berstatus sangat

(3)

kurus atau underweight, 25% anak berstatus kurus atau wasted, dan lebih dari separuh contoh status gizi normal sebanyak (57,3 %).

Rata-rata contoh memiliki tipe rumah tunggal yaitu 93,75 %. Lebih dari separuh contoh gizi kurang memiliki tipe lantai rumah tanah seluruhnya, sedangkan untuk contoh gizi baik adalah tipe lantai semen. Sebagian besar contoh memiliki dinding rumah yang terbuat dari papan atau bilik (63,7 %). Jenis atap yang paling banyak digunakan oleh keluarga contoh adalah seng. Sebagian besar rumah contoh telah memiliki jendela dan ventilasi yang terbuka sehingga terjadi pertukaran udara di dalam rumah. Semua keluarga contoh menggunakan air yang berasal dari mata air. Sebanyak 31,25 % contoh tidak memiliki fasilitas MCK dan lebih dari separuh contoh tidak memiliki fasilitas septic tank di rumah. Lebih dari separuh contoh memiliki kandang hewan di dekat rumah.

Rata-rata konsumsi energi contoh gizi kurang dan baik sama yaitu sebesar 995 kkal. Tingkat konsumsi energi contoh gizi kurang lebih kecil daripada contoh gizi baik. Rata-rata konsumsi protein dan tingkat konsumsi protein contoh gizi baik lebih besar daripada contoh gizi kurang. Pangan pokok yang paling sering dikonsumsi adalah nasi (100%), ubi atau singkong juga sering dikonsumsi. Pangan hewani yang paling sering dikonsumsi adalah ikan, sedangkan yang paling jarang dikonsumsi adalah telur. Pangan protein nabati yang paling sering dikonsumsi adalah jenis pangan kacang-kacangan. Jenis sayur yang sering dikonsumsi adalah sayur singkong dan labu. Buah yang sering dikonsumsi adalah pisang.

Rata-rata contoh memiliki frekuensi makan sebanyak tiga kali dalam satu hari. Uji korelasi spearman menunjukkan bahwa frekuensi makan dalam satu hari berhubungan positif dengan tingkat konsumsi gizi energi (TKGE) (p<0.05).Lebih dari separuh contoh memiliki kebiasaan makan bersama, kebiasaan makan bersama dalam keluarga memiliki hubungan negatif dengan tingkat konsumsi protein (p<0.05). Anak balita merupakan pihak yang diutamakan dalam pembagian makan (67,2 %), selain itu keluarga juga mengutamakan ayah dalam pembagian makanan sebanyak 27,6 %. Terdapat hubungan negatif antara pengutamaan pembagian makan dengan tingkat konsumsi energi (p<0.05). Makanan pantangan terbanyak terdapat pada kelompok umur bayi. Beberapa faktor yang berhubungan dengan masalah gizi adalah pendapatan perkapita keluarga, pengetahuan gizi ibu, dan tingkat konsumsi energi serta protein.

(4)

ABSTRACT

URSULA DIANITA MARUT. A Study on Social Economic and Cultural Aspects and it’s Relationship with Undernutrition Problem In Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Supervised by Prof. Dr. Ir. ALI KOMSAN, MS

The objective of this study is to know the relationship between socio-economic and and cultural aspects and undernutrition problem in Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. The specific objects are to know the prevalence of undernutition of children under five in Kabupaten Manggarai, to identify socio-economic charaterictic of the sample’s family, sample’s nutrition status, environment sanitation, mother’s nutritional knowledge and food consumption, to identify the cultural of Manggarai that have a relationship with undernutrition problem and poverty in Manggarai, to analyze the relationship between identify socio-economic charaterictic of the sample’s family, food consumption and undernutrition problem in Manggarai. This research was designed with cross sectional study with purposive method. This research was conducted at Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai from June to July 2007. Primery and secondary data were collected in this research. Primery data including socio economic charaterictic of sample family, sample’s nutritional status, environment sanitation, and food consumption using interview with questionare. Secondary data including food production, prevalence of nutritional status of children under five, poverty data etc, and was collected from Manggarai’ s Government Institution. Population on this research is children under five in Desa Meler. Samples consisted of 80 children, and was classified into two groups, which is 48 classified as undernutrition group and the rest of them belong to normal group.

Result shows that the prevalence of undernutrition of children under five in Manggarai year 2005 is 22,75 % and decrease in year 2006 become 19,24%. Poverty is one causal factor of this prevalence in Manggarai. Based on the result the average of energy consumption of two samples is same 995 kkal, and protein consumption of normal nutrition sample’s is bigger than undernutriton sample’s. Some factors that have a relationship with undernutrition problem in Kabupaten Manggarai are family’s income, mother’s nutritional knowledge, and also consumption of energy and protein.

Keywords: cultural, undernutrition, Kabupaten Manggarai .

(5)

STUDI TENTANG ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA

SERTA KAITANNYA DENGAN MASALAH GIZI KURANG DI

KABUPATEN MANGGARAI, NUSA TENGGARA TIMUR

SKRIPSI

Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

URSULA DIANITA MARUT A54103003

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(6)

Judul : Studi tentang Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya serta Kaitannya dengan Masalah Gizi Kurang di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur

Nama Mahasiswa : Ursula Dianita Marut Nomor Pokok : A54103003

Menyetujui Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS NIP 131 404 218

Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie M.Agr NIP 131 124 019

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yesus dan Bunda Maria atas segala berkat, rahmat serta karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi tentang Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya serta Kaitannya dengan Masalah Gizi Kurang di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur”.

Selama proses penelitian hingga selesainya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapa Frans, Mama Sis, Kak Jack, Momo, dan Ana Wong atas segala bantuan, dukungan, semangat serta doa yang tidak henti- hentinya untuk penulis.

2. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS, selaku dosen pembimbing skripsi atas segala waktu, kesabaran dan bimbingan yang diberikan selama penulisan skripsi ini.

3. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS, selaku dosen pemandu seminar dan ibu Katrin Roosita, SP. MSi, selaku penguji yang telah memberikan masukan, kritik dan saran kepada penulis.

4. Teman-teman GMSK 40, atas segala kebersamaan, kebahagiaan yang telah dibagi selam empat tahun penulis berada di GMSK. I’m gonna miss u guys.

5. Teman seperjuanganku Sanya, atas segala susah dan senang selama kita berada dalam satu pembimbing. Mba Nisa, atas segala bantuan, informasi dan ceritanya, serta Osin atas pinjaman komputernya.

6. Teman-teman KEMAKI 40, wisma Srikandi, Koor Mahasiswa, teman-teman GAMANUSRATIM, terimakasih atas kebersamaan dan bant uannya selama ini.

Tidak ada yang dapat penulis berikan selain ucapan dan terimakasih dan doa atas segala kebaikannya yang sudah diterima.

Bogor, Januari 2008 Penulis

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ruteng, Kabupaten Manggarai, pada tanggal 21 Oktober 1985. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Fransiskus Marut dan Fransiska Jeria. Pendidikan SD ditempuh pada tahun 1991 sampai tahun 1997 di SDI Tenda, Kabupaten Manggarai. Tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Ruteng sampai tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 1 Ruteng sampai tahun 2003.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah mengikuti berbagai kegiatan kepanitiaan dan organisasi yaitu GMSK English Club, Bina Desa, HIMAGITA, Koor Mahasiswa dan PMKRI.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Tujuan ………... 3 Kegunaan penelitian ... 4 TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan ……….... 5

Sistem pertanian dan produksi Pangan ……….... 7

Karateristik sosial ekonomi keluarga ……… 7

Kesehatan lingkungan ………... 10

Budaya ………... 10

Pola konsumsi pangan ………... 11

Masalah gizi kurang ………... 13

KERANGKA PEMIKIRAN ………. 16

METODELOGI Desain, tempat dan waktu ... 18

Penarikan contoh ... 18

Jenis dan cara pengumpulan data ... 18

Pengolahan dan analisis data ... 19

Definisi operasional ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Wilayah ……… 23

Kemiskinan di Kabupaten Manggarai ……… 24

Sistem Pertanian ………. 25

Produksi Pangan ………. 27

Prevalensi Gizi Kurang ……….. 31

Keadaan umum lokasi Desa Meler ...………. 34

(10)

Kesehatan Lingkungan ………... 41 Pola Konsumsi Pangan ……….. 43 Faktor yang berhubungan dengan status gizi ... 52 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 55 Saran ... 56 DAFTAR PUSTAKA ………... 56 LAMPIRAN

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 18

2 Sebaran Jumlah Rumah Tangga Miskin Kabupaten Manggarai Tahun 2006... 25

3 Luas Wilayah menurut Jenis Penggunaan Tanah (hektar) ... 26

4 Luas Panen, Rata-Rata Hasil dan Produksi Padi menurut Kecamatan ... 27

5 Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten Manggarai Tahun 2000-2005 ... 28

6 Jumlah Produksi Perikanan dan Budidaya Perikanan menurut Sub Kecamatan di Kabupaten Manggarai ... 29

7 Perkembangan Populasi Ternak di Kabupaten Manggarai ... 30

8 Jumlah Produksi Daging di RPH dan luar RPH ... 31

9 Gambaran Status Gizi Balita di Kabupaten Manggarai Tahun 2006 ... 32

10 Perkembangan BB Bayi, Balita Gizi Buruk & Gizi Kurang Kabupaten Manggarai Keadaan s/d Desember 2006... 33

11 Sebaran Besar Keluarga Contoh ... 35

12 Sebaran Umur Ayah dan Ibu Contoh ... 36

13 Sebaran Pendidikan Ayah dan Ibu Contoh ... 37

14 Sebaran Pekerjaan Ayah Contoh ... 38

15 Sebaran Pendapatan Keluarga ... 39

16 Sebaran Pendapatan Keluarga/Kapita/Bulan ... 39

17 Sebaran Pengetahuan Gizi Ibu Contoh ... 40

18 Sebaran Ibu yang Menjawab Pertanyaan Pengetahuan Gizi dengan Benar ... 41

19 Sebaran Jenis Kelamin dan Umur contoh ... 41

20 Sebaran Kesehatan dan Sanitasi Lingkungan ... 43

21 Rata-rata Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Contoh... 44

22 Tingkat Konsumsi Energi dan Protein ... 45

23 Sebaran Frekuensi Konsumsi Pangan ... 46

24 Sebaran Budaya Makan Contoh ... 49

(12)
(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Bagan Gizi Kurang UNICEF ... 15 2 Model Kerangka Pemikiran ... 17

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Kuesioner penelitian ... 60

(15)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pembangunan pada hakekatnya merupakan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan. Salah satu keberhasilan dalam pembangunan adalah peningkatan kualitas manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (Azwar, 2004). Kualitas sumberdaya manusia juga merupakan salah satu faktor penunjang keberhasilan pembangunan Indonesia. Jadi, kualitas sumberdaya manusia dan keberhasilan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan.

Kualitas sumberdaya manusia dapat ditingkatkan melalui berbagai cara seperti peningkatan pada bidang pendidikan, teknologi, perluasan lapangan pekerjaan, peningkatan kesehjateraan dan lain sebagainya. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas sumber daya manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Faktor utama penentu HDI adalah pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

Upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia di Indonesia mendapatkan tantangan yang sangat berat. Krisis ekonomi yang berkepanjangan telah mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan. Selain itu, faktor pembangunan yang tidak merata di seluruh wilayah Nusantara menyebabkan masih banyak penduduk Indonesia di daerah-daerah hidup dalam kemiskinan dan ketertinggalan.

Untuk menghasilkan manusia yang berkualitas salah satu faktor yang diperlukan adalah gizi yang baik. Keadaan gizi di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, masih memprihatinkan. Banyak penduduk Indonesia yang menderita gizi kurang. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2002, masalah gizi kurang pada balita sebesar 27,3% atau sekitar 5.01 juta balita dan 1.47 juta balita diantaranya menderita gizi buruk. Meskipun keadaan ini lebih membaik jika dibandingkan dari data pada tahun 1998 yaitu 6 juta balita (29,5%) menderita gizi kurang dan 2.2 juta balita (10,5%) gizi buruk. Masalah gizi buruk

(16)

ini merupakan masalah yang harus mendapatkan perhatian yang besar untuk segera ditanggulangi (Azwar, 2004).

Masalah gizi mempunyai dimensi yang luas, tidak hanya berkaitan dengan masalah pangan, kesehatan, dan pengasuhan tetapi juga berkaitan dengan masalah sosial ekonomi, budaya, pendidikan dan lingkungan. Faktor sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi masalah gizi pada seseorang adalah pendidikan, pekerjaan, teknologi, dan pendapatan. Pendidikan akan mempengaruhi jenis pekerjaan, yang juga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan. Pendapatan yang rendah dapat mengakibatkan kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya masalah gizi kurang di Indonesia. Kemiskinan yang dialami dapat membuat masyarakat kekurangan akses terhadap pendidikan, pelayanan kesehatan, pekerjaan, perlindungan terhadap keluarga, serta akses ke pelayanan publik. Selain itu, kemiskinan membuat masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan secara maksimal, sehingga menimbulkan masalah dalam bidang gizi dan kesehatan.

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap masalah gizi adalah budaya. Faktor budaya dapat mengakibatkan terjadinya masalah kemiskinan yang akan berdampak pada masalah gizi. Sebagai contoh, adanya sistem pewarisan tanah secara turun temurun, yang dapat mengakibatkan sempitnya lahan pertanian seseorang. Selain itu adapula taboo dan kebiasaan makan yang kadang bertentangan dengan ilmu gizi (Suhardjo, 1989).

Kabupaten Manggarai merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur, yang mempunyai luas wilayah sebesar 7.136,40 km persegi, yang terdiri dari daratan pulau Flores dan beberapa pulau kecil. Sebagian besar masyarakat Kabupaten Manggarai bekerja di sektor pertanian, kehutanan, perkebunan dan perikanan (BPS, 2005). Masalah gizi merupakan salah satu masalah yang banyak dihadapi oleh pemerintah, hal ini terlihat dari jumlah penderita gizi buruk di Propinsi NTT yaitu 13 %, yang sebagian besar berasal dari Manggarai. Hal ini ditunjukkan dari tingginya jumlah penderita KEP (Kurang Energi Protein) yaitu sebesar 12.920 balita, yang berasal dari dua belas kecamatan di Manggarai (BPS, 2005).

(17)

Melihat paparan fakta di atas peneliti tertarik untuk mengetahui aspek-aspek sosial ekonomi dan budaya serta kaitannya dengan masalah gizi kurang yang banyak terjadi di Kabupaten Manggarai. Beberapa masalah yang dapat dirumuskan antara lain adalah (1) berapa besar prevalensi penderita gizi kurang di Kabupaten Manggarai saat ini (2) bagaimana karateristik wilayah, produksi pangan dan sistem pertanian di kabupaten Manggarai (3) bagaimana karateristik sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Manggarai; (4) apakah ada hubungan antara karateristik wilayah, produksi pangan dan sistem pertanian dengan kemiskinan (5)apakah ada hubungan antara karateristik sosial ekonomi dengan masalah gizi yang terjadi dan (6) apakah ada hubungan antara kemiskinan dengan masalah gizi yang terjadi.

Tujuan Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kaitan antara aspek-aspek sosial ekonomi dan budaya dengan masalah gizi kurang yang terjadi di Kabupaten Manggarai.

Tujuan khusus

1. Mengetahui prevalensi penderita gizi kurang di Kabupaten Manggarai 2. Mengetahui karateristik sosial ekonomi keluarga contoh (besar keluarga,

tingkat pendidikan orang tua, tingkat pendapatan, dan pengetahuan gizi ibu), status gizi anak, serta kesehatan lingkungan keluarga responden dan konsumsi pangan

3. Mengetahui budaya masyarakat Kabupaten Manggarai yang berkaitan dengan pola konsumsi pangan dan kemiskinan.

4. Menganalisis hubungan antara karateristik sosial ekonomi keluarga, pola konsumsi pangan dengan masalah gizi kurang di Kabupaten Manggarai.

(18)

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi pemerintah daerah Kabupaten Manggarai dan peneliti tentang keadaan gizi buruk dan kemiskinan di Kabupaten Manggarai. Selanjutnya penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah maupun pusat serta pihak-pihak yang terkait dalam penanggulangan masalah gizi kurang dan kemiskinan.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks dan mempunyai faktor penyebab ya ng relatif beragam. Penduduk miskin adalah mereka yang mempunyai standar hidup dibawah tingkat minimum yang sesuai atau diterima (Raharto & Romdiati, 2000). Menurut Badan Pusat Statistik (2005) penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang pendapatannya lebih kecil dari pendapatan yang dibutuhkan untuk hidup secara layak di wilayah tempat tinggalnya.

Kemiskinan dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia sehingga peluang produksi relatif kecil atau dilaksanakan pada tingkat efisiensi yang relatif rendah. Di bidang pertanian sumberdaya utama yang mempengaruhi fenomena kemiskinan adalah kualitas lahan dan iklim. Kemiskinan struktural atau yang disebut sebagai kemiskinan buatan (man made poverty) adalah kemiskinan yang secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh tatanan kelembagaan (Nasoetion, 1996)

Menurut Amang (1994) sifat kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu miskin kultural dan miskin struktural. Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang alamiah sifatnya. Yang tergolong ke dalam kategori ini adalah mereka yang sejak lahir sudah berada dalam lingkungan yang miskin. Sedangkan kemiskinan struktural adalah miskin yang disebabkan karena ketimpangan sistem.

Menurut Indraningsih dan Moekiman (1995), faktor- faktor penyebab kemiskinan di antaranya adalah keterpencilan lokasi, sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, ketersediaan atau kepemilikan barang-barang berharga yang dapat dijadikan aset, mutu pelayanan kesehatan yang rendah, tidak majunya kegiatan ekonomi dan dukungan mutu lahan pertanian. Sebagian besar penduduk miskin tinggal di pedesaan. Menurut Mintoro dan Hardno (1995) munculnya gejala kemiskinan di pedesaan disebabkan karena daya dukung lahan yang relatif kurang, prasarana sosial ekonomi yang belum merata, kelembagaan sosial

(20)

ekonomi yang belum menjangkau masyarakat di daerah yang bersangkutan serta mutu sumberdaya manusia yang relatif terbatas.

Golongan miskin yang tidak mempunyai aset atau peluang yang dimiliki sangat kecil, masih tetap mempunyai peluang untuk ikut berperan dalam mengatasi kemiskinannya dan dalam membangun pertanian atau pedesaan. Hal ini terutama dicapai melalui pembangunan kesempatan kerja baru di pedesaan yang terkait dengan sektor pertanian sehingga mampu memanfaatkan tenaga kerjanya dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan (Amang, 1994).

Ukuran kemiskinan pada tingkat makro dapat memberikan gambaran kemiskinan rumah tangga menurut wilayah regional, propinsi, desa dan kota. Beberapa indikator untuk mengidentifikasikan rumah tangga miskin dapat dikembangkan berdasarkan karateristik rumah tangga, termasuk ind ikator demografi, sosial, ekonomi dan indikator lainnya (Raharto & Romdiati, 2000). Ciri-ciri demografi yang dapat digunakan sebagai indikator untuk mengidentifikasi rumah tangga miskin adalah luas lantai dan rasio ketergantungan. Selain itu, salah satu indikator kemiskinan ditingkat mikro adalah jumlah anak balita yang kekurangan gizi.

Malnutrisi atau gizi kurang telah lama diketahui sebagai sebuah konsekuensi dari kemiskinan. Dapat diterima bahwa kejadian malnutrisi yang tinggi sering ditemukan di daerah dengan tingkat kemiskinan yang kronik (Seetbonsarng, 2005). Secara umum ada hubungan positif antara kemiskinan dengan besar rumah tangga, dan sebaliknya terdapat hubungan negatif antara kemiskinan dengan jumlah pencari nafkah dalam rumah tangga. Rumah tangga yang miskin cenderung memiliki anggota rumah tangga dan jumlah konsumer lebih besar dibandingkan anggota rumah tangga pencari nafkah. Rumah tangga yang dikepalai wanita juga umumnya lebih miskin (Pernia, 1991, Quibria, 1991 dalam Raharto & Romdiati, 2000).

Indikator sosial untuk melihat kemiskinan rumah tangga mencakup pendidikan kepala rumah tangga dan status migrasi. Rumah tangga yang dikepalai oleh seseorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih miskin dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai oleh mereka yang lebih berpendidikan (Firdaussy, 1994; Pernia, 1994 dalam Raharto & Romdiati, 2000).

(21)

Ukuran rumah tangga miskin lain yang dikenal luas di Indonesia dikembangkan oleh Sayogyo. Penentuan garis kemiskinan menurut konsep Sayogyo untuk kota adalah adalah berdasarkan rata-rata kebutuhan kalori dan protein. Menurut garis kemiskinan Sayogyo, rumah tangga miskin adalah rumah tangga dengan pengeluran setara beras kurang dari 320 kg per kapita pertahun (Sayogyo, 1989).

Sistem Pertanian dan Produksi Pangan

Secara umum keterbelakangan dan kemiskinan suatu daerah atau masyarakat dapat disebabkan oleh faktor alamnya yang kurang menguntungkan dan atau struktur dan kultur masyarakatnya yang menghambat. Permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan sumberdaya alam dalam produksi pertanian adalah masalah yang berhubungan dengan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang tersedia untuk produksi pertanian. Produksi pertanian yang rendah di suatu wilayah dapat menjadi pembatas bagi upaya-upaya memperbaiki keadaan gizi penduduk. Hal ini karena produksi pangan yang rendah dapat menyebabkan ketersediaan pangan untuk keluarga di wilayah tersebut menjadi sedikit atau berkurang (Riyadi, 2006).

Salah satu aspek yang dapat menyebabkan terjadinya kemiskinan dalam masyarakat adalah adanya sistem pewarisan tanah kepada ahli waris, yang menyebabkan munculnya petani gurem dan buruh tani. Hal ini serupa dengan pendapat Sudaryanto, Rusastra, dan Jamal 2000 dalam Pebrianti, 2003 yaitu proses fragmentasi lahan karena proses pewarisan dalam masyarakat cenderung menyebabkan pemilikan lahan oleh petani semakin sempit dan semakin timpang. Cuaca dan keadaan geografis suatu wilayah berkaitan erat dengan pertanian dan kandungan unsur mineral. Kondisi geografis yang berkapur di daerah pegunungan dan daerah lahar dapat menyebabkan kandungan yodium dalam tanah sangat rendah (Supariasa, Bakri & Fajar, 2001).

Karateristik Sosial Ekonomi Keluarga. Besar keluarga

Menurut BKKBN tahun 1998, besar keluarga adalah keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Berdasarkan jumlah anggota keluarga, besar

(22)

keluarga dikelompokkan menjadi 3, yaitu keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar. Keluarga kecil adalah keluarga dengan jumlah anggota keluarga kurang dari empat orang, keluarga sedang adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga antara lima sampai tujuh orang, sedangkan keluarga besar adalah keluarga dengan jumlah anggota keluarga lebih dari 7 orang.

Menurut Sukarni (1994) suatu rumah tangga dapat terdiri dari dari anggota-anggota tambahan atau terdiri dari beberapa keluarga yang masih mempunyai hubungan keluarga dan disebut sebagai extended family. Besar keluarga akan mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga. Selain itu pula besar keluarga akan mempengaruhi konsumsi zat gizi dalam suatu keluarga. Demikian pula besar keluarga mempengaruhi luas perpenghuni di dalam suatu bangunan rumah yang akan mempengaruhi kesehatan ibu dan anak. Rumah yang padat penghuni menurut Notoatmojo (1997) akan menyebabkan kurangnya konsumsi O2 dan memudahkan penularan penyakit. Penyakit tersebut terutama penyakit saluran pernapasan seperti TBC, batuk rejan dan lain lain.

Pendidikan orang tua

Pendidikan orangtua merupakan salah faktor penting yang ikut menentukan keadaan gizi anak. Ada dua sisi kemungkinan hubungan tingkat pendidikan orangtua dengan keadaan gizi anak : (1) tingkat pendidikan kepala rumah tangga secara langsung ataupun tidak langsung menentukan keadaan ekonomi rumah tangga. Menurut Raharto dan Romdiati (2000), rumah tangga yang dikepalai oleh seseorang dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung lebih miskin dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai oleh mereka yang lebih berpendidikan. Hal ini selaras dengan pendapat Rector dan Jhonson (2002), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula tingkat pendapatan yang akan diterima dan demikian kemiskinan dapat dikurangi (2) pendidikan istri disamping sebagai modal utama dalam perekonomian rumah tangga, juga berperanan dalam menyusun pola makan untuk rumah tangga (Abdoerrachman, 1999).

Selain itu menurut McCarry dan Royer (2005), pendidikan dapat mempengaruhi kesuburan wanita dan pilihan investasi pada anak, meningkatkan pendapatan keluarga, meningkatkan pengetahuan ibu tentang teknologi

(23)

kontrasepsi, perawatan dan perilaku pada masa kehamilan dan kemampuan untuk mengabsorpsi dan memproses segala informasi yang masuk.

Pengetahuan Ibu

Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati, Damanhuri & Fachrurozi, 1992). Ibu yang berpengetahuan gizi baik akan mengupayakan kemampuan menerapkan pengetahuannya di dalam pemilihan dan pengolahan pangan sehingga konsumsi makanan mencukupi kebutuhan lebih terjamin (Nasution & Khomsan, 1995).

Hal ini sesuai dengan sebuah teori Grossman yang disampaikan oleh Michael Grossman, seorang ekonom, bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (sekolah) lebih efisien dalam mengusahakan kesehatan dan kesehatan merupakan bagian dari pelayanan kesehatan, lingkungan, dan gaya hidup. Sebagai contoh orang yang berpendidikan mempunyai pemahaman yang lebih terhadap teknologi dan pengetahuan akan pengobatan dan segala hal yang berhubungan dengan peningkatan kesehatan.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga merupakan hasil penjumlahan dari masing- masing pendapatan anggota keluarga yang bekerja. Faktor pendapatan keluarga mempunyai peranan besar dalam masalah gizi dan kebiasaan makan masyarakat. Ketersediaan pangan suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga tersebut. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam (Sajogyo, 1994).

Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi. Hal ini selaras dengan pernyataan Meyers (2005), yang mengatakan bahwa anak yang berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah mempunyai resiko yang untuk memiliki

(24)

status kesehatan yang rendah. Selain itu menurut Martianto (2006) dengan semakin meningkatnya pendapatan, ternyata akan diikuti dengan semakin membaiknya status gizi.

Kesehatan Lingkungan

Lingkungan yang baik merupakan pra kondisi untuk hidup sehat bagi masyarakat. Menurut Notoatmojo (1997), kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum. Ruang lingkup kesehatan lingkungan antara lain meliputi perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih dan pembuangan limbah.

Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara la in diare, cacingan dan infeksi saluran pencernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu yang menyebabkan terjadinya kekurangan zat gizi. Jenis bangunan, luas lantai per penghuni, ventilasi sangat mempengaruhi penularan penyakit terutama penyakit saluran pernapasan. Selain itu jenis lantai, atap, dinding dan jendela mempengaruhi pula perlindungan para penghuninya terhadap dingin, panas atau hujan (Sukarni, 1994). Jenis lantai juga akan mempengaruhi perlindungan penghuninya terhadap penyebaran penyakit. Jenis lantai dari tanah dapat mempengaruhi penyebaran penyakit parasit, apalagi jika dalam keadaan lembab.

Air bersih sangat penting bagi kehidupan, namun tidak semua manusia di dunia ini mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh air bersih. Akses terhadap air bersih adalah kebutuhan utama bagi masyarakat agar dapat hidup sehat dan kegiatan hidupnya. Kesulitan dalam mengakses air bersih akan meningkatkan dalam berbagai area penyakit dan kematian pada masyarakat yang terhalang dalam pengembangan kesehatannya (BPS, 2004). Menurut Gakidou et all (2007) peningkatan ketersediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan lingkungan rumah tangga akan menurunkan angka kematian balita.

Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat

(25)

(Tylor 1871 diacu dalam Soekanto 1982). Budaya memiliki fungsi yang sangat besar, karena mampu mengatur kehidupan manusia dan masyarakat.

Faktor budaya mempunyai peranan dalam proses terjadinya masalah gizi diberbagai negara dan masyarakat. Unsur- unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang bertentangan dengan prinsip gizi. Berbagai budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan atau makanan.

Pantangan atau tabu adalah suatu larangan untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu, karena terdapat ancaman bahaya, atau hukuman terhadap barangsiapa yang melanggarnya. Adanya sistem tabu atau pantang terhadap jenis makanan tertentu sehingga tidak dikonsumsi, padahal baik untuk tubuh (Suhardjo, 1989). Hasil penelitian Tan (1970) dalam Suhardjo (1989) dalam hal kepercayaan dan pantangan yang berlaku pada bayi, anak, anak gadis, wanita hamil dan wanita menyusui. Dengan adanya makanan pantangan, maka jumlah makanan yang dikonsumsi menjadi terbatas. Walaupun tidak berakibat fatal hanya bersifat merugikan saja.

Setiap masyarakat mengembangkan cara yang turun temurun untuk mencari, memilih, menyiapkan, menyajikan dan mengkonsumsi makanan yang dihidangkan. Adat dan tradisi merupakan dasar dari perilaku masyarakat, yang berbeda antar kelompok masyarakat. Budaya tertentu memprioritaskan anggota keluarga tertentu untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan bila masih dianut dengan kuat (Suhardjo, 1989).

Secara tradisional, ayah mempunyai prioritas utama atas jumlah dan jenis makanan tertentu dalam keluarga. Jika kebiasaan tersebut diterapkan, maka setelah kepala keluarga, anak pria dilayani, biasanya dimulai dari yang paling tua, wanita dan anak wanita.

Pola konsumsi pangan

Konsumsi pangan sangat erat kaitannya dengan aspek gizi dan kesehatan. Kebutuhan akan zat gizi akan terjamin pemenuhannya dengan cara mengkonsumsi makanan yang beragam. Pangan dan gizi sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, karena jumlah dan mutu serta keragaman dari makan yang dikonsumsi ikut mempengaruhi status gizi (Suhardjo,

(26)

1992). Konsumsi makanan yang selalu kurang dari kecukupan dalam jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan kurang gizi walaupun tidak menderita penyakit. Akan tetapi, konsumsi makanan yang cukup apabila terdapat penyakit, dapat pula berakibat kurang gizi (Riyadi, 2006).

Konsumsi pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor dan pemilihan jenis maupun banyaknya pangan yang dimakan, dapat berlainan dari masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga. Keadaan ekonomi keluarga berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan keluarga miskin. Hal ini disebabkan karena penduduk golongan miskin menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan makanan (Madanijah, 2004).

Perubahan pendapatan secara langsung, dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Selain itu faktor ekonomi yang mempengaruhi adalah harga pangan dan harga non pangan. Harga pangan yang tinggi menyebabkan berkurangnya daya beli dan mengakibatkan konsumsi pangan berkurang.

Faktor lainnya adalah faktor sosio budaya dan agama. Kebudayaan masyarakat disuatu wilayah tertentu dapat mempengaruhi pemilihan makanan untuk dikonsumsi. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan kebiasaan makan penduduk yang bertentangan dengan prinsip ilmu gizi. Berbagai budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda terhadap pangan dan gizi. Sedangkan untuk tingkat konsumsi menurut Sediaotama (1996) ditentukan oleh kuantitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi.

Masalah Gizi Kurang

Masalah gizi adalah gangguan pada beberapa segi kesehjateraan perorangan dan atau masyarakat yang disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang diperoleh dari makanan (Soekirman, 2000). Menurut Setboonsarng (2005), keadaan kurang gzi yang terjadi pada anak-anak dapat menjadi salah satu indikator kemiskinan yang secara konseptual reabilitas.dan efektif.

Kekurangan Energi protein (KEP) pada anak balita mempunyai sifat yang berbeda dengan KEP pada orang dewasa. KEP pada anak balita tidak mudah

(27)

untuk dikenali oleh pemerintah, masyarakat maupun keluarga sendiri, selain itu bencana kelaparan tidak selalu menjadi salah satu faktor penyebab dari masalah gizi kurang pada balita. Permasalahan gizi kurang merupakan masalah yang sangat kompleks sehingga dibutuhkan upaya penanggulangan dan pendekatan yang lebih kompleks pula (Soekirman, 2000).

Gizi buruk di masyarakat dikenal sebagai Hunger Oedema (HO) pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak dikenal dengan istilah kwashiorkor dan marasmus. Soekirman (2000), KEP pada anak dapat dikategorikan menjadi dua yaitu marasmus dan kwashiorkor.

• Marasmus merupakan bentuk umum dari kurang gizi, yang merupakan kondisi kelaparan pada bayi atau anak kecil. Kondisi ini dicirikan dengan badan kurus, tidak ada oedema (bengkak), kehilangan banyak atau hampir semua jaringan adiposa, pertumbuhan terhenti. Penyebab marasmus adalah kurang konsumsi energi dan tidak cukup makan.

Contohnya adalah proses pemberian makanan tambahan ASI yang salah, yang disebabkan karena kemiskinan atau ketidaktahuan, selain itu sanitasi makanan yang kurang yang dapat menyebabkan gastroentritis, diare, dan muntah- muntah.

• Kwashiorkor

Ciri dari anak yang menderita kwashiorkor adalah adanya oedema (bengkak) pada seluruh tubuh, cengeng, sering sakit yang disebakan oleh daya tahan tubuh yang lemah, tidak mau makan. Selain itu terjadi perubahan di kulit yang disebabkan adanya ketidakteraturan pigmentasi, kulit mengelupas, rambutnya jarang dan berwarna pirang merah atau abu-abu, diare, pembesaran hati. Kwasiorkor berkembang lebih cepat dari marasmus.

Status gizi balita dapat diukur dengan cara antropometri, biokimia dan klinis. Pengukuran secara antropomeri dilakukan dengan menggunakan tiga indeks, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks berat badan menurut umur (BB/U), dapat menggambarkan status gizi saat ini. Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (current nutritional status). Hal ini

(28)

disebabkan karena BB lebih memberikan gambaran tentang masa tubuh (otot dan lemak) yang sangat sensitif terhadap perubahan tentang masa tubuh. Misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi (Sup ariasa, Bakri & Fajar, 2001)

Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap kekurangan gizi dalam jangka waktu yang pendek. Indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lalu dan mempunyai kaitan yang erat dengan kondisi sosial ekonomi. Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi masa kini, dan biasanya digunakan bila data umur yang akurat sulit diperoleh.

Status gizi kurang yang diukur dengan indikator BB/U di dalam ilmu gizi dikelompokkan ke dalam kelompok Berat badan rendah (BBR). Menurut tingkat keparahannya BBR dikelompokkan lagi ke dalam kategori BBR tingkat ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). BBR tingkat berat atau sangat berat sering disebut sebagai status gizi buruk.

Menurut UNICEF, terdapat beberapa tahapan penyebab timbulnya gizi kurang pada balita, yaitu ditunjukkan pada Gambar 1. Penyebab langsung timbulnya gizi kurang adalah makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi. Penyebab langsung timbul karena tiga faktor yaitu ketidakcukupan pangan atau makanan dalam keluarga, pola penagsuhan anak yang tidak memadai dan keadaan sanitasi yang buruk dan tidak tersedianya air bersih, serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai.

Faktor-faktor tersebut di atas saling berkaitan dan bersumber pada pokok masalah yaitu kurangnya sumberdaya masyarakat, terutama perempuan, akibat kurangnya pendidikan, pengetahuan dan keterampilan keluarga. Hal tersebut bersumber pada akar masalah yang ada pada masyarakat yaitu kerawanan pangan dan kemiskinan yang diakibatkan oleh kemunduran ekonomi, krisis sosial dan politik (Soekirman, 2000).

(29)

Penyebab langsung

Penyebab tdk langsung

Pokok masalah

Gambar 1. Kerangka pemikiran penyebab terjadinya gizi kurang (UNICEF) (Mason, Hunt, Parker & Jonsson, 2001)

Kurang gizi & kematian

Asupan makan yang tidak seimbang

Penyakit infeksi

Persediaan pangan yang

kurang

Pelayanan ibu & anak yang kurang

Kurangnya pelayanan kesehatan & lingkungan

yg tidak sehat

Institusi formal dan non formal

Sumberdaya potensial

Kurangnya pendidikan

Stuktur Ekonomi

(30)

KERANGKA PEMIKIRAN

Krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami ne gara Indonesia mengakibatkan tingginya angka kemiskinan di masyarakat. Kemiskinan merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya masalah gizi kurang. Rendahnya daya beli keluarga dan daya produksi pangan sebagai akibat krisis ekonomi mengakibatkan turunnya kuantitas dan berubahnya pola konsumsi pangan rumah tangga yang selanjutnya berdampak buruk pada keadaan gizi masyarakat.

Kondisi sosial ekonomi keluarga sangat mempengaruhi keadaan gizi anggota keluarga. Sosial ekonomi keluarga meliputi besar keluarga, tingkat pendidikan orangtua, pekerjaan, tingkat pendapatan keluarga, serta pengetahuan ibu. Selain itu faktor lain yang memberikan pengaruh terhadap status gizi seseorang adalah faktor budaya. Lingkungan keluarga juga turut mempengaruhi status gizi. Lingkungan yang bersih akan menghindarkan anak dari penyakit infeksi, yang dapat menyebabkan gizi kurang. Kesehatan dan sanitasi lingkungan mencakup jenis rumah, tipe rumah atau tempat tinggal, jeni lantai, jenis dinding, jenis atap, ventilasi udara, sumber air minum, MCK dan sumber penerangan.

Faktor-faktor lain yang juga turut mendukung terjadinya masalah gizi kurang dan kemiskinan di suatu masyarakat tertentu adalah keadaan geografis dan sumberdaya alam yang tersedia, yang akan mepengaruhi sistem pertanian daerah tersebut. Sistem pertanian akan mempengaruhi produksi pangan daerah, yang juga akan berdampak pada pola konsumsi pangan masyarakat.

(31)

Gambar 2. Model kerangka pemikiran Variabel ya ng diteliti

Variabel yang tidak diteliti Hubungan yang tidak diteliti Konsumsi Status Gizi Sanitasi lingkungan Sistem pertanian Ketersediaan pangan Karateristik keluarga - Umur orangtua - Pendidikan orangtua - Pekerjaan orangtua - Pengetahuan gizi Tingkat kemiskinan - Pendapatan perkapita keluarga Morbiditas Budaya

(32)

METODE

Desain, Tempat dan waktu

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, yang dilakukan di Desa Meler Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan pertimbangan kemudahan akses transportasi dan merupakan salah satu desa di kecamatan yang memiliki jumlah balita gizi kurang terbanyak di Manggarai. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2007.

Penarikan contoh

Populasi penelitian ini adalah balita di Desa Meler. Kemudian ditetapkan dua kelompok contoh yaitu balita gizi kurang dan balita gizi baik sebagai pembanding. Selanjutnya, secara acak ditetapkan 80 balita di Desa Meler sebagai contoh, dengan perincian 48 balita contoh gizi kurang dan 32 balita contoh gizi baik.

Jenis dan cara pengumpulan data

Jenis data yang dikumpulkan adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh me lalui wawancara dengan kuisioner serta observasi, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi pemerintah

Tabel 1. Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data Cara pengumpulan

1. Karateristik keluarga contoh

- besar keluarga Wawancara dengan kuesioner - pendidikan ayah dan ibu Wawancara dengan kuesioner - pekerjaan ayah Wawancara dengan kuesioner - pendapatan keluarga Wawancara dengan kuesioner - pengetahuan gizi ibu contoh Wawancara dengan kuesioner 2. Karateristik contoh

- jenis kelamin Wawancara dengan kuesioner

- BB contoh Pengukuran mengguanakan

timbangan dacin maksimal 25 kg

(33)

Data Cara pengumpulan 3. Kesehatan lingkungan

- tipe rumah Wawancara dan observasi langsung

- tipe lantai rumah Wawancara dan observasi langsung - tipe dinding rumah Wawancara dan observasi langsung - jendela dan ventilasi Wawancara dan observasi langsung - sumber air minum Wawancara dan observasi langsung

- fasilitas MCK Wawancara dan observasi langsung

- fasilitas septic tank Wawancara dan observasi langsung

- kandang hewan Wawancara dan observasi langsung

4. Pola konsumsi pangan

- konsumsi pangan Recall 2 x 24 jam

- frekuensi pangan Wawancara dengan kuesioner

5. Budaya makan Wawancara dengan kuesioner

6. Monografi Kabupaten Manggarai Bapeda

7. Monografi kelurahan Desa Meler Kantor kelurahan 8. Luas wilayah menurut jenis

penggunaan tanah

Dinas pertanian 9. Data produksi tanaman pangan Dinas pertanian

10. Data produksi ikan laut dan darat Dinas perikanan dan kelautan 11. Data produksi/pemotongan ternak

menurut jenis ternak dan status pemotongan

Dinas peternakan

12. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Manggarai

BPMD 13. Data jumlah balita menurut status

gizi tahun 2005 & 2006

Dinas kesehatan 14. Data jumlah anak berusia 0-4 tahun

yang mengalami KKP

Dinas kesehatan 15. Data jumlah posyandu dan kader

aktif di kabupaten Manggarai tahun 2005

Dinas kesehatan

16. Data jumlah tenaga kesehatan per kecamatan

(34)

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan meliputi data kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data meliputi editing, koding, dan entri data yang dilakukan secara manual dengan menggunakan microsoft excel dan SPSS versi 13.0 for window. Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dan inferensia.

Besar keluarga diklasifikasikan menjadi tiga yaitu keluarga kecil = 4 orang, keluarga sedang 5-6 orang dan keluarga besar = 7 orang. Data pendidikan yang perna h ditempuh orang tua meliputi pendidikan formal yaitu SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Pengetahuan gizi diperoleh dengan memberikan pertanyaan kepada responden dengan menggunakan kuisioner yang telah disediakan. Kriteria penilaian pengetahuan gizi adalah:

• Baik (= 80%) • Sedang (60-79%)

• Kurang (= 60%) (Khomsan, 2000)

Data konsumsi pangan diperoleh dengan menggunakan metode recall 2x24 jam, yang meliputi jumlah dan jenis pangan. Kemudian akan dikonversikan kedalam kandungan zat gizi, yaitu energi dan protein dengan menggunakan microsoft excel. Rumus umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi konsumsi makanan yang berasal dari pangan yang beragam adalah:

Data konsumsi pangan yang telah diperoleh, kemudian diolah menggunakan program Nutrisurvey for Windows yang berasal dari World Health Organization (WHO) ( 2005) untuk mengetahui kandungan energi, protein serta zat gizi lain. Untuk mengetahui angka kecukupan gizi individu atau anak digunakan rumus sebagai berikut:

AKG Individu = BB Individu x AKG standar BB standar

(35)

Menurut Supariasa et al, (2001), secara umum tingkat konsumsi dapat dirumuskan sebagai berikut:

TKGi = (Ki/AKGi)x 100%

TKGi = tingkat konsumsi energi atau protein individu Ki = konsumsi energi atau protein

AKGi = angka kecukupan energi atau protein individu,

Lalu konsumsi dikategorikan menjadi tiga berdasarkan kriteria Direktorat Bina Gizi Departemen Kesehatan, yaitu kurang (<90%), normal (90-119 %) dan lebih (= 120 %).

Pengukuran status gizi anak dilakukan dengan cara penghitungan z-score menggunakan rumus sebagai berikut:

Z-score = nilai individual subjek – nilai median baku rujukan Nilai simpang baku rujukan

Selanjutnya hasil penghitungan z-score diklasifikasikan berdasarkan istilah status gizi. Kalsifikasi status gizi terbagi kedalam tiga indikator yaitu BB/U, TB/U dan BB/TB. Klasifikasi dari ketiga indikator tersebut adalah:

1. Indikator BB/U

Gizi lebih: >2.0 SD, gizi baik -2.0 SD s/d +2 SD, gizi kurang <-2.0 SD s/d -3 SD dan gizi buruk <-3.0 SD

2. Indikator TB/U, terdiri dari

Normal ≥-2.0 SD, pendek atau stunted <-2.0 SD

3. Indikator BB/TB, terdiri dari gemuk >2.0 SD, normal -2.0 SD s/d +2.0 SD dan kurus atau wasted <-2.0 SD serta sangat kurus <-3.0 SD

Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel digunakan uji korelsi spearman. Selain itu digunakan analisis deskriptif dengan tabulasi silang.

(36)

Definisi Operasional

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga, yaitu ibu, ayah, dan anak-anaknya serta orang lain yang tingal bersama dan biaya hidupnya menjadi tanggungan dari kepala keluarga, yang dinyatakan dalam jiwa.

Keluarga miskin adalah keluarga yang memiliki pendapatan per kapita perbulan dibawah rata-rata pendapatan per kapita per bulan masyarakat Manggarai Pendapatan Per kapita keluarga adalah jumlah penghasilan yang diperoleh

dari kegiatan atau pekerjaan anggota keluarga dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang ada, dalam periode waktu bulan yang dinyatakan dalam rupiah.

Gizi kurang adalah keadaan status gizi anak yang berada dalam kondisi yang kurang atau berada pada kisaran z-skor <-2.0 SD s/d -3.0 SD.

Gizi Baik adalah keadaan status gizi anak yang berada dalam kondisi yang normal atau berada pada kisaran nilai z-skor >+2 SD.

Pekerjaan orang tua adalah pekerjaan utama orangtua yang memberikan penghasilan terbesar dan tetap bagi keluarga.

Pengetahuan gizi ibu adalah kemampuan ibu menjawab pertanyaan tentang gizi menggunakan kuesioner, kemudian di skor dan diberi kriteria baik (= 80%), sedang (60-79 %), dan kurang (= 60%)

Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang diikuti oleh orang tua, dan dibagi kedalam kategori tidak sekolah, SD, SLTP, SLTA dan PT Pola konsumsi adalah jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi atau dimakan

oleh responden agar dapat memenuhi kebutuhan gizinya yang didapat dari metode recall 2x24 jam.

Status gizi adalah keadaan tubuh anak responden akibat konsumsi, absorpsii dan penggunaan zat gizi, yang diukur dengan menggunakan indikator BB/U, TB/U, dan BB/TB.

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Wilayah

Kondisi geografis dan administratif

Kabupaten Manggarai merupakan satu dari 16 kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Manggarai terletak di bagian barat Pulau Flores dengan batas-batas wilayah: sebelah barat dengan Kabupaten Manggarai Barat, sebelah utara dengan Laut Flores, sebelah timur dengan Kabupaten Ngada, sebelah selatan dengan Laut Sawu. Secara geografis Kabupaten Manggarai terletak di antara 8°LU – 8°30’LS dan 119.30°-12°30’BT.

Luas wilayah Kabupaten Manggarai adalah 4.188,97 km2. Secara administratif pemerintahan Kabupaten Manggarai terbagi ke dalam 12 kecamatan, 227 desa dan 27 kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten Manggarai terletak di Kota Ruteng, Kecamatan Langke Rembong. Kabupaten Manggarai memiliki jumlah penduduk sebanyak 505.546 jiwa dan jumlah rumah tangga sebanyak 104.972 KK serta kepadatan penduduk sebesar 120,69 jiwa/km2, sedangkan kepadatan penduduk Indonesia secara umum adalah 123,23 jiwa/km2 Rata-rata pertumbuhan penduduk selama tahun 2000-2004 sebesar 1,92 % pertahun.

Sarana Pelayanan Kesehatan

Fasilitas kesehatan di Kabupaten Manggarai masih sangat kurang. Terdapat 1 buah rumah sakit pemerintah, 2 buah rumah sakit swasta serta 23 unit puskesmas. Selain itu terdapat 73 puskesmas pembantu, posyandu sebanyak 842 buah, dengan jumlah kader sebanyak 3.680 orang. Pada kondisi ideal, ratio puskesmas dengan penduduk adalah 1:20.000; sedangkan yang terjadi di Manggarai adalah 1: 21.684. Ratio puskesmas pembantu dengan desa atau kelurahan adalah 1:3,63, sedangkan kondisi idealnya adalah 1:1.

Secara demografis untuk menciptakan pelayanan kesehatan yang merata dan menjangkau semua lapisan masyarakat di Manggarai dibutuhkan 24 puskesmas dan 254 pustu. Pada sisi lain, topogr afi wilayah Kabupaten Manggarai yang sulit dan letak satu kampung yang relatif satu sama lain dan memiliki letak lokasi yang jauh dari fasilitas kesehatan merupakan salah satu kondisi predisposisi, yang menyebabkan masyarakat Manggarai belum mampu untuk menciptakan kondisi yang kesehatan yang lebih baik.

(38)

Jumlah tenaga medis yang terdapat di Kabupaten Manggarai belum memenuhi standar nasional, karena jumlah tenaga medis masih sangat kurang. Terdapat 32 orang dokter (3 dokter ahli, 18 dokter umum PNS, 14 orang dokter umum non-PNS, dan 9 orang dokter gigi), 556 orang paramedis (258 perawat, 178 orang bidan, dan 120 orang tatausaha non medis). Secara nasional, ratio tenaga medis (dokter umum) terhadap penduduk yakni 1:167 dan paramedis perawat 1:851. Di Manggarai ratio tenaga medis dengan penduduk adalah 1:29.937 jiwa; sedangkan ratio paramedis dengan paramedis yakni 1:923,69 jiwa. Berdasarkan hal ini diketahui bahwa jumlah tenaga medis dibandingkan dengan jumlah penduduk masih sangat kurang.

Kemiskinan di Kabupaten Manggarai

Kabupaten Manggarai merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Jumlah keluarga miskin sebanyak 69.605 kepala keluarga (64,02 %). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Manggarai masih hidup dalam kemiskinan.

Masalah kemiskinan di Kabupaten Manggarai disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah sumber daya manusia, topografi wilayah yang terdiri dari bentangan yang berlereng, degradasi lahan pertanian, terbatasnya luas lahan fungsional dan bencana alam serta iklim global dan pergeseran musim. Hal ini berarti bahwa kemiskinan di Manggarai tergolong dalam kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia sehingga peluang produksi relatif kecil atau dilaksanakan pada tingkat efisiensi yang relatif rendah.

Selain itu faktor budaya juga mempengaruhi terjadinya kemiskinan di Manggarai. Adanya sistem pembagian tanah dari orangtua kepada anak menyebabkan luas lahan menjadi berkurang. Riyadi (2006) mengatakan bahwa, salah satu aspek yang dapat menyebabkan terjadinya kemiskinan dalam masyarakat adalah adanya sistem pewarisan tanah kepada ahli waris, yang menyebakan munculnya petani gurem dan buruh tani. Hal ini serupa dengan pendapat Sudaryanto, Rusastra, dan Jamal (2000) dalam Pebrianti, (2003) yaitu proses fragmentasi lahan karena proses pewarisan dalam masyarakat cenderung menyebabkan pemilikan lahan oleh petani semakin sempit dan semakin timpang.

(39)

Tabel 2. Sebaran Jumlah Rumah Tangga Miskin Kabupaten Manggarai Tahun 2005

No Kecamatan Puskesmas Jumlah (%)

1 Ruteng Cancar 3,7

Ketang 2,6

Nanu 2,6

2 Langke Rembong Kota 4,9

3 Wae Rii Watu Alo 1,4

4 Cibal Pagal 4

Wae Codi 2,3

5 Reok Reo 3,1

Wae Kajong 1,7

6 Lamba Leda Benteng Jawa 3,2

Dampek 1,8

7 Poco Ranaka Mano 3,7

Lawir 3,8

8 Sambi Rampas Pota 1,3

Watu Nggong 2,5

9 Elar Elar 2,5

Mamba 2,4

10 Borong Borong 3,3

Sita 2,2

11 Kota komba Wae Lengga 2,8

Mukun 1,3

12 Satar Mese Iteng 3,0

Narang 3,6

Total 64,02

Sumber: Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa tahun 200 5

Rumah tangga miskin di Kabupaten Manggarai paling banyak terdapat di Kecamatan Ruteng sebanyak 8,9% dan Kecamatan Poco Ranaka sebanyak 7,5 %. Jumlah rumah tangga miskin menyebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Manggarai.

Sistem Pertanian

Sistem pertanian di Kabupaten Manggarai masih bersifat tradisional dengan pola tanam campur. Pola tanam campur adalah pola tanam dengan dua atau lebih tanaman dalam satu areal tanam. Sistem pertanian monokultur lebih banyak digunakan untuk tanaman padi sawah.

Berdasarkan tata guna lahan, lahan di Kabupaten Manggarai masih didominasi oleh hutan. Selain itu, penggunaan lahan terbesar kedua adalah lahan untuk kebun campur, kemudian lahan untuk ladang atau tegalan. Lahan untuk perkebunan milik pemerintah sebesar 0,51 %. Lahan yang digunakan untuk sawah hanya berkisar 2,86 % atau 11.963 ha. Sawah dua kali adalah sawah

(40)

dengan dua kali panen dan sawah satu kali adalah satu kali panen dalam dalam satu tahun.

Luas lahan akan mempengaruhi jumlah produksi tanaman yang diusahakan. Luas lahan sawah yang hanya 2,86 % atau 11.963 ha dari total luas wilayah akan mempengaruhi jumlah produksi padi. Luas lahan sawah yang kecil akan menghasilkan produksi padi yang sedikit pula. Produksi pertanian yang rendah dapat mengakibatkan terjadinya masalah gizi, karena konsumsi menjadi tidak tercukupi. Hal ini selaras dengan pernyataan Riyadi (2006) yaitu produksi pertanian yang rendah di suatu wilayah dapat menjadi pembatas bagi upaya-upaya memperbaiki keadaan gizi penduduk. Hal ini karena produksi pangan yang rendah dapat menyebabkan ketersediaan pangan untuk keluarga di wilayah tersebut menjadi sedikit atau berkurang.

Kecamatan yang memiliki lahan untuk sawah paling besar adalah Kecamatan Ruteng yaitu 1.538 ha, lahan untuk tegalan atau ladang adalah Kecamatan Ruteng yaitu 5.254 ha, untuk perkebunan estate adalah Kota Komba yaitu 1.178 ha, kebun campur adalah Kecamatan Satarmese dan lahan untuk hutan paling banyak terdapat di Kecamatan Elar yaitu 28.985 ha.

Tabel 3. Luas Wilayah menurut Jenis Penggunaan Tanah (hektar) Kecamatan Luas Wilayah Sawah Tegalan/ Ladang Perkebunan Estate Kebun campur Hutan 2X 1X Satarmese 57.204 776 375 1.732 186 6.693 11.917 Borong 49.029 198 508 4.993 33 5.836 20.290 Kota Komba 49.194 - 2.754 3.847 1.178 1.296 9.950 Elar 56.759 260 117 2.628 9 3.640 28.985 Sambi Rampas 40.009 72 482 5.144 55 3.581 28.007 Lamba Leda 36.043 - 292 3.255 - 2.467 11.899 Poco Ranaka 20.924 356 1.389 1.943 451 2.606 5.419 Langke Rembong 6.054 504 105 515 - 527 1.784 Ruteng 17.661 468 1.070 5.254 - 877 2.533 Wae Rii 7.655 781 166 2.153 - 546 759 Cibal 18.827 104 691 2.436 46 2.804 4.720 Reok 59.541 69 426 1.184 199 3.093 27.722 Total 418.897 3.588 8.375 50.984 2.157 33.966 153.540 Persen 0.86 2,00 12,17 0,51 8,11 3 6,65

(41)

Produksi Pangan Pertanian

Produksi pertanian yang rendah di suatu wilayah dapat menjadi pembatas bagi upaya-upaya memperbaiki keadaan gizi penduduk. Hal ini karena produksi pangan yang rendah dapat menyebabkan ketersediaan pangan untuk keluarga di wilayah tersebut menjadi sedikit atau berkurang (Riyadi, 2006). Salah satu tanaman pangan yang banyak diusahakan oleh masyarakat adalah padi. Tanaman padi selain diusahakan di sawah, juga dikembangkan di lahan kering yang disebut Padi Ladang atau Padi Gogo. Luas areal potensialnya sebesar 8.237 ha. Dari areal potensial ini yang dapat difungsikan seluas 5.600 ha,dengan rata-rata produksi 1,5 ton/ha,dengan produksi sebanyak 7.320 ton. Produksi beras pada tahun 2005 sebesar 87.424 ton.

Tabel 4. Luas Panen, Rata-Rata Hasil dan Produksi Padi menurut Kecamatan Kecamatan Luas panen

(ha) Rata-rata hasil (ton/ha) Produksi (ton) Beras (ton) Satarmese 8.882 4,00 35.551 23.108 Borong 4.814 3,60 17.358 11.283 Kota Komba 3.457 3,06 10.596 6.887 Elar 1.703 1,76 2.996 1.947 Sambi Rampas 1.419 3,40 4.824 3.136 Lamba Leda 2.299 2,74 6.291 4.089 Poco Ranaka 5.038 3,68 18.532 12.046 Langke Rembong 1.440 4,17 6.008 3.905 Ruteng 4.070 4,13 16.804 10.923 Wae Rii 1.510 4,17 6.296 4.092 Cibal 1.245 4,01 4.999 3.249 Reok 1.716 2,47 4.244 2.759 Manggarai 37.593 3,58 134.449 87.424

Sumber: Manggarai dalam Angka 2005

Jagung merupakan salah satu makanan pokok alternatif Masyarakat Manggarai yang dapat menggantikan beras apabila produksi beras kurang atau harga beras relatif mahal. Areal potensial tanaman jagung seluas 13.527 ha, dan baru dimanfaatkan seluas 8.100 ha. Produksinya masih sangat rendah yaitu 1,5 ton

(42)

pipil kering (PPK), sehingga perlu ditingkatkan produksinya, agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan sumber karbohidrat selain dari jenis padi-padian.

Berdasarkan Tabel 5, beberapa jenis tanaman pangan yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun adalah tanaman padi, sedangkan lainnya mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena luas panen dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Ini dapat menyebabkan sumber pangan karbohidrat menjadi tidak beragam dan hanya didominasi oleh jenis karbohidrat dari padi-padian. Penting dilakukan usaha peningkatan produksi tanaman pangan sehingga konsumsi menjadi lebih beragam.

Tanaman pangan yang juga memberikan sumbangan karbohidrat bagi konsumsi Masyarakat Manggarai adalah ubi jalar dan singkong. Hal ini didukung oleh produksi ubi pada tahun 2005 yang besar, yaitu 38.399 ton ubi kayu dan 7.695 ton ubi jalar.

Tabel 5. Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten Manggarai Tahun 2000-2005 Komoditas Tahun 2000 Produksi (ton) 2001 Produksi (ton) 2002 Produksi (ton) 2003 Produksi (ton) 2004 Produksi (ton) 2005 Produksi (ton) Padi 115.344 127.044 126.599 137.200 131.877 134.499 Jagung 25.894 20.951 22.386 23.104 18.880 22.733 Kedele 40.569 47.715 52.132 38.887 47.593 890 Kacang hijau 9.444 6.715 6.737 6.308 7.370 2.680 Kacang tanah 535 6.748 513 934 315 599 Ubi jalar 1.095 630 155 108 385 7.695 Ubi kayu 2.832 246 3.321 2.494 2.136 38.399

Sumber: Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Manggarai

Perikanan dan Kelautan

Pembangunan subsektor kelautan merupakan bagian dari pembangunan ekonomi yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan petani ikan dan nelayan. Berdasarkan tabel di bawah terlihat bahwa produksi ikan segar dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, namun sejak tahun 2003-2005 mengalami penurunan drastis. Hal ini terjadi karena pada tahun 2003 terjadi pemekaran

(43)

Kabupaten Manggarai menjadi dua kabupaten, yaitu Manggarai Barat dan Manggarai, sementara potensi perikanan dan jumlah nelayan terbesar terdapat di sekitar perairan Labuan Bajo, Manggarai Barat.

Produksi perikanan tangkap terbesar adalah ikan segar, sedangkan cumi-cumi, teripang dan lobster atau udang memiliki tingkat produksi yang kecil. Pada tahun 2004 dan 2005, produksi cumi-cumi, teripang dan udang tidak ada. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2003 terjadi pemekaran wilayah Manggarai.

Perikanan budidaya laut menyumbang jumlah yang besar untuk produksi perikanan dan budidaya di Kabupaten Manggarai. Budidaya perikanan laut atau basah paling banyak terdapat di dua Kecamatan, yaitu Kecamatan Satarmese dan Kecamatan Lambaleda (di Kecamatan Lambaleda produksinya mencapai 468,8 ton dan Kecamatan Satarmese produksinya mencapai 373,6 ton). Hal ini disebabkan karena dua kecamatan terletak di daerah pesisir sehingga produksi perikanannya juga lebih besar dibandingkan dengan daerah lain.

Tabel 6. Jumlah Produksi Perikanan dan Budidaya Perikanan menurut Sub Kecamatan di Kabupaten Manggarai

No Kecamatan Total Produksi

Perikanan budidaya (Ton) Tambak Kolam Budidaya

laut (basah) Sawah 1. Langke Rembong 21,3 - 15,7 - 5,6 2. Ruteng 14,5 - 9,2 - 5,3 3. Cibal 2,6 - 2,2 - 0,4 4. Poco Ranaka 19,3 - 13,6 - 5,7 5. Wae Rii 11,8 - 8,1 - 3,7 6. Lamba Leda 474,2 0,8 4,0 468,8 0,5 7. Reok 94,2 10,4 1,3 82,4 - 8. Sambi Rampas 59,6 2,3 2,7 54,4 0,2 9. Elar 3,5 0,4 2,4 - 0,7 10 Kota komba 42,5 0,2 4,2 36,8 1,3 11. Borong 13,1 0,2 9,6 - 3,3 12. Satar Mese 379,9 1,4 3,1 373,6 1,8 Total 1136,4 15,7 76,2 1016 28,5

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupten Manggarai

Produksi dan budidaya perikanan yang paling sedikit terdapat di Kecamatan Cibal dan Kecamatan Elar. Produksi perikanan di daerah ini hanya disumbang oleh budidaya perikanan kolam dan sawah, serta jumlah produksinya juga sangat kecil. Hal ini dapat menyebabkan konsumsi hasil perikanan di daerah ini tidak terpenuhi secara maksimal, sedangkan ikan merupakan sumber protein

(44)

hewani yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tubuh, khususnya bagi anak-anak. Jika hal ini terus berlanjut maka status gizi anak akan menjadi rendah.

Peternakan

Secara umum perkembangan populasi ternak di Kabupaten Manggarai mengalami peningkatan dari tahun ke tahun untuk semua jenis ternak. Jenis ternak yang paling banyak dikembangkan adalah jenis ternak ayam buras, babi dan kerbau. Hal ini disebabkan karena cara pemeliharaan yang mudah dan kondisi alam yang mendukung sehingga ayam buras, babi dan kerbau banyak diternakan. Jenis ternak yang paling sedikit diternakan adalah jenis domba dan itik.

Tabel 7. Perkembangan Populasi Ternak di Kabupaten Manggarai Tahun 2000-2005 No Jenis ternak Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1. Sapi 7.510 7.698 7.780 8.224 8.379 8.853 2. Kerbau 13.778 13.860 13.947 14.034 14.246 14.461 3. Kuda 5.269 5.390 5.755 6.014 6.090 6.167 4. Kambing 26.920 27.636 29.366 30.986 31.966 32.975 5. Domba 43 45 49 52 53 54 6. Babi 49.578 52.552 84.122 109.696 115.049 160.662 7. Ayam buras 471.380 513.804 526.514 546.239 562.626 579.505 8. Itik - - 5.494 5.731 6.018 6.319

Sumber : Dinas Peternakan Kabupaten Manggarai 2005

Untuk produksi daging di dalam Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan di luar Rumah Pemotongan Hewan dapat dilihat pada Tabel 8. Jumlah daging yang paling banyak diproduksi baik di dalam maupun di luar RPH adalah daging babi. Daging yang paling sedikit di produksi adalah daging kambing. Untuk produksi di luar Rumah Pemotongan Hewan. daging babi merupakan jenis daging yang paling banyak diproduksi yaitu sebesar 579.719 ton. Hal ini disebabkan karena Masyarakat Manggarai banyak memelihara babi dan jenis daging babi merupakan jenis daging yang paling banyak dikonsumsi untuk berbagai macam acara, baik pesta pribadi maupun acara adat. Jumlah produksi daging babi. diharapkan dapat menyumbang bagi ketersediaan protein hewani bagi masyarakat Manggarai.

(45)

Berdasarkan tabel di bawah dapat dilihat bahwa jumlah produksi daging di luar Rumah Pemotongan Hewan lebih besar dibandingkan produksi daging di dalam Rumah Pemotongan Hewan. Jumlah yang lebih besar ini diduga disebabkan karena banyaknya masyarakat yang memelihara ternak dan digunakan untuk berbagai keperluan dan acara.

Tabel 8. Jumlah Produksi Daging di RPH dan luar RPH

No Jenis daging RPH Luar RPH

Jumlah (kg) Jumlah (kg) 1 Sapi 82.980 16.650 2 Kerbau 1.487 2.700 3 Kambing 1.330 3.990 4 Babi 149.429 579.719 Jumlah 235.227 600.059

Sumber : Dinas Peternakan 2005

Prevalensi Gizi Kurang

Menurut UNICEF, terdapat beberapa tahapan penyebab timbulnya gizi kurang pada balita. Penyebab langsung timbulnya gizi kurang adalah makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi. Penyebab langsung timbul karena tiga faktor yaitu ketidakcukupan pangan atau makanan dalam keluarga,. pola pengasuhan anak yang tidak memadai dan keadaan sanitasi yang buruk dan tidak tersedianya air bersih, serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai.

Menurut Setboonsarng (2005), keadaan kurang gizi yang terjadi pada anak-anak dapat menjadi salah satu indikator kemiskinan ya ng secara konseptual reabilitas dan efektif. Hal ini berarti berindikasi bahwa. daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi memiliki anak dengan gizi yang kurang bahkan buruk. Selain itu jumlah balita kurang gizi dalam rumah tangga. juga merupakan salah satu indikator kemiskinan tingkat mikro.

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran penyebab terjadinya gizi kurang (UNICEF)   (Mason, Hunt, Parker &amp; Jonsson, 2001)
Gambar 2. Model kerangka pemikiran     Variabel ya ng diteliti
Tabel 2. Sebaran Jumlah Rumah Tangga Miskin Kabupaten Manggarai   Tahun 2005
Tabel 3. Luas Wilayah menurut Jenis Penggunaan Tanah (hektar)  Kecamatan  Luas  Wilayah  Sawah  Tegalan/ Ladang  Perkebunan Estate  Kebun  campur  Hutan  2X  1X  Satarmese   57.204  776   375   1.732   186  6.693  11.917  Borong    49.029  198    508   4.9
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui hubungan antara status sosial ekonomi keluarga ditinjau dari pendidikan ibu, pekerjaan ibu dan pendapatan keluarga dengan status gizi anak usia sekolah

Adapun tujuan khususnya adalah (1) Mengetahui karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh yang berstatus gizi normal dan gemuk, (2) Mengetahui tingkat pengetahuan dan

Menurut Adriani dalam jurnal Repi (2013) salah satu penyebab tidak langsung dari gizi kurang adalah status sosial ekonomi keluarga yang dipengaruhi oleh

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara status sosial ekonomi keluarga dan kebiasaan makan dengan status gizi anak Taman Kanak-Kanak Yayasan Yapina Al-Ikhsan

Hubungan Karakteristik Ibu dan Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Kasus Gizi Buruk pada Balita di Kelurahan Tandang Kecamatan Tembalang.. Jurnal

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat konsumsi energi dan status gizi pada rumah tangga penduduk asli yang bermukim di bantaran sungai Mahakam, faktor-faktor

Faktor yang membedakan prevalensi gizi kurang dan buruk di daerah dengan tingkat kemiskinan rendah, yang merupakan &#34;negative deviance&#34; adalah pendidikan

Persentase terendah pada kelompok balita gizi kurang adalah pengetahuan gizi ibu yang tinggi yaitu 26,4% (5 orang) sedangkan pada kelompok balita gizi normal pada tingkat