• Tidak ada hasil yang ditemukan

WOMENOMICS SEBAGAI MEKANISME PENINGKATAN PERAN PEREMPUAN DI JEPANG: Studi Kasus Kebijakan Pro-Gender di Era Pemerintahan Shinzo Abe Periode Ke-2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WOMENOMICS SEBAGAI MEKANISME PENINGKATAN PERAN PEREMPUAN DI JEPANG: Studi Kasus Kebijakan Pro-Gender di Era Pemerintahan Shinzo Abe Periode Ke-2"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

WOMENOMICS SEBAGAI MEKANISME PENINGKATAN PERAN PEREMPUAN DI JEPANG:

Studi Kasus Kebijakan Pro-Gender di Era Pemerintahan Shinzo Abe Periode Ke-2

Oleh:

Andrian Saputra1

NIM. D0412008

ABSTRAK

Upaya pemerintah Jepang dalam meningkatkan kesempatan kerja bagi perempuan melalui kebijakan pro-gender yang disebut Womenomics merupakan topik yang dikaji dalam tulisan ini. Permasalahan yang diteliti mencakupi implementasi Womenomics, peningkatan peran perempuan Jepang pasca Womenomics, dan faktor-faktor berpengaruh terhadap kebijakan tersebut dalam kerangka konsep budaya masyarakat Jepang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data dokumentasi dan wawancara. Analisis data menggunakan teknik analisis isi dan analisis interaktif. Untuk melihat derajat perubahan peran perempuan, maka digunakan analisis before-after comparisonby time-series. Validitas data menggunakan triangulasi sumber dan teknik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan peran perempuan Jepang di sektor ketenagakerjaan pasca diimplementasikannya enam program utama kebijakan Womenomics. Peningkatan tersebut terlihat dari persentase perempuan Jepang di sektor ketenagakerjaan dan peningkatan posisi kerja perempuan di sektor manajerial dan kepemimpinan yang terus bertambah melampaui persentase pada periode sebelum adanya kebijakan Womenomics. Namun, keberadaan konsep budaya masyarakat Jepang seperti

Ryosaikenbo dan Amae, berdampak negatif dan cenderung menghambat implementasi

kebijakan tersebut. Implementasi kebijakan Womenomics dilakukan melalui penyebaran informasi ke dalam National Action Plan dan Undang-Undang yang didukung dengan stimulus fiskal dan moneter.

Keywords: Womenomics, Implementasi Kebijakan Publik, Kebijakan Pro-Gender, Evaluasi Kebijakan Publik, Embedded Liberalism, Ryosaikenbo, Amae.

1

Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret E-mail: faran.aan@gmail.com

(2)

A. Pendahuluan

Dewasa ini, peranan perempuan di dunia kerja terutama pada posisi-posisi manajerial dan pemimpin dirasakan sangat rendah. Masih ditemukan banyak perempuan sebagai ibu rumah tangga yang relatif tidak produktif sehari-hari karena hanya berkutat pada pekerjaan rumah. Permasalahan rendahnya peranan perempuan di dalam dunia kerja terjadi hampir di seluruh negara, baik di negara-negara yang terkategorikan sebagai negara berkembang maupun negara maju. Salah satu negara yang tergolong maju akan tetapi masih menghadapi permasalahan di dalam peranan perempuan dalam dunia kerja dan posisi pemimpin adalah Jepang.

Jepang merupakan salah satu negara maju, akan tetapi peranan perempuan di dalam dunia kerja dan posisi penting di bidang politik, ekonomi, industri, pendidikan dan lainnya masih terbilang rendah dibandingkan negara-negara terkategorikan maju lainnya. Peluang bagi perempuan Jepang untuk dapat merasakan dunia kerja secara sepenuhnya dan mendapatkan posisi penting tergolong sangat sedikit. Dibandingkan dengan Jepang yang hanya memiliki persentase 10% bagi perempuan dalam posisi high power position/manajerial, Singapura menunjukkan fakta bahwa peranan perempuan dalam posisi tersebut telah mencapai angka 31% dan Filiphina bahkan telah melihatkan tren positif dengan 55%.1 Tidak hanya itu, negara-negara Eropa seperti Jerman, juga telah mencapai 38% dan bahkan Amerika Serikat dengan sangat baik telah mengatur peranan perempuan di dalam posisi penting dengan tidak-adanya kesenjangan atas gender dan jenis kelamin dengan ditemukan fakta bahwa 43% perempuan telah mengisi pos-pos penting baik di perusahaan, pemerintahan dan sebagainya.2

Di dalam World Economic Forum’s Global Gender Gap Report 2013, yang menjadi acuan dengan adanya pengukuran segala dimensi kehidupan dengan berbasiskan gender, Jepang mendapatkan peringkat ke-105 dari 135 negara yang tergabung, dimana posisi Jepang tepat dibawah Kamboja dan di atas Nigeria.3 Dari sudut pandang sejarah masa lampau, pada masa pendudukan Jepang di Asia pada zaman dahulu terutama di Indonesia dan Korea di kenal sebuah istilah yang disebut “Jugun Ianfu” yang berarti para perempuan penghibur yang mengikuti tentara-tentara Jepang untuk memberikan kebahagiaan dan kesenangan.4 Istilah ini merujuk pada para perempuan penghibur atau comfort women yang terlibat dalam perbudakan seksual selama kurun waktu terjadinya Perang Dunia II di koloni Jepang.

(3)

Dilihat dari sisi demografi Jepang, terlihat fakta bahwa krisis demografi di Jepang semakin menjadi-jadi. Hal ini menempatkan Jepang sebagai negara dengan angka penduduk berusia lanjut dan pekerja tua tertinggi di seluruh dunia, dibarengi pula dengan angka kebutuhan tenaga kerja yang sangat tinggi.5 Dapat dipahami bahwa tingginya angka kebutuhan atas tenaga kerja serta tingginya angka pekerja dengan umur diatas rata-rata disebabkan karena peranan perempuan di dalam semua sektor kerja sangat rendah. Perempuan belum banyak mengisi pos-pos penting. Persentase perempuan yang berada di dalam dunia kerja masih jauh dibandingkan dengan negara lainnya. Bahkan peranan perempuan Jepang dalam posisi pimpinan atau manajerial masih berkisar pada bilangan 10%.

Memasuki tahun 1990, pemerintah Jepang mengeluarkan sistem baru pajak penguasaan tanah dan bank diminta untuk membatasi pendanaan aset properti. Indeks rata-rata Nikkei dan harga tanah jatuh pada Desember 1989 dan musim gugur 1990. Pertumbuhan ekonomi mengalami stagnasi pada 1990-an, dengan angka rata-rata pertumbuhan ekonomi riil hanya 1,7% sebagai akibat penanaman modal yang tidak efisien dan penggelembungan harga aset pada 1980-an.6 Institusi keuangan menanggung kredit bermasalah karena telah mengeluarkan pinjaman uang dengan jaminan tanah atau saham.7 Usaha pemerintah mengembalikan pertumbuhan ekonomi hanya sedikit yang berhasil dan selanjutnya terhambat oleh kelesuan ekonomi global pada tahun 2000.8 Melihat kondisi Jepang melalui perolehan GDP Jepang pada 2010 yang setara dengan pencapaian di tahun 1995 menunjukkan fakta bahwa Jepang masih mengalami stagnasi selama lebih dari 10 tahun terakhir.9 Deflasi yang terus terjadi selama 15 tahun terakhir juga menjadi penyebab stagnasi ekonomi berkepanjangan.10 Sebagai dampaknya, perekonomian Jepang menghadapi risiko menurunnya prospek pertumbuhan.

Setiap pemimpin negara akan memiliki gagasan dan ide-ide yang membawa transformasi dan perubahan bagi kebaikan negara yang dipimpinnya. Shinzo Abe, Perdana Menteri Jepang saat ini sejak tahun 2012 mengeluarkan beragam kebijakan yang menagrah kepada pembangunan ekonomi kembali. Salah satu kebijakan yang diterapkan pasca menduduki kursi Perdana Menteri adalah kebijakan dalam peningkatan sektor perekonomian Jepang yang banyak dikenal oleh kalangan internasional sebagai “Abenomics,” sebuah sistem perekonomian Jepang dengan berdasarkan gagasan-gagasan Shinzo Abe. Salah satu unsur di dalam peningkatan segala sektor perekonomian tersebut adalah dengan adanya kebijakan peningkatan sektor perekonomian berbasis perempuan. Kebijakan ekonomi berbasis perempuan tersebut kemudian dikenal sebagai kebijakan pro-gender Womenomics.

(4)

Peningkatan sektor perekonomian berbasis perempuan atau yang disebut

Womenomics adalah upaya yang di rasa perlu untuk diterapkan demi kesejahteraan sosial, ekonomi dan peningkatan peran perempuan dalam pencapaian kesetaraan gender di Jepang. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan dibahas mengenai kebijakan Womenomics sebagai mekanisme peningkatan peran perempuan di Jepang dengan studi kasus tentang kebijakan pro-gender di era pemerintahan Shinzo Abe periode ke-2. Hal-hal yang dibahas terkait implementasi dan evaluasi kebijakan Womenomics, serta faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan Womenomics khususnya dalam konteks budaya masyarakat Jepang.

B. Perempuan di Jepang

Pada salah satu pertemuan di salah satu kelompok di pinggiran kota Osaka, seorang ibu muda berkata:

"Aku punya anak satu tahun, baru-baru ini saya mulai untuk menghadiri sekolah mengemudi untuk mendapatkan lisensi pengemudi, ini adalah pertama kalinya bagi saya untuk dapat dipisahkan dari anak saya, setelah aku punya beberapa waktu untuk diriku sendiri, aku mulai berpikir tentang mendapatkan pekerjaan, ketika anak saya masih muda, saya bisa meninggalkan anak saya di penitipan anak, tapi apa yang bisa saya lakukan ketika anak saya masuk sekolah dasar? Saya sangat khawatir bahwa aku tidak bisa mengambil langkah maju."11

Pernyataan ibu muda tersebut menunjukkan suatu realitas yang terjadi di tatanan sosial Jepang. Perempuan cenderung susah untuk berpartisipasi kembali ke dunia kerja dan tertutup langkahnya untuk maju berkarir. Hal tersebut tergambarkan di dalam gambar 1 terlihat bahwa partisipasi pekerja perempuan jauh lebih rendah daripada laki-laki yang juga perempuan pada masa produktif kerjanya justru tidak produktif bekerja dan fokus pada urusan rumah tangga. Kondisi ini membentuk kurva M pada partisipasi pekerja perempuan

Gambar 1. Tingkat Partisipasi Pekerja Jepang berdasarkan Jenis Kelamin.

(5)

Jepang. Padahal umumnya perempuan Jepang sudah mendapatkan pendidikan yang cukup layak.

Banyak perempuan di Jepang yang saat ini menghadapi permasalahan semacam ini, yang menunjukkan bahwa terdapat dilema bagi perempuan yang ingin bekerja setelah fase menjaga anak-anaknya selesai (anak sudah menempuh pendidikan yang lebih tinggi). Dilema ini dijelaskan sebagai three different times of women on making a decision (tiga waktu di saat perempuan harus memutuskan) menunjukkan sebuah pandangan terhadap siklus kehidupan di saat perempuan harus memutuskan hidupnya untuk menikah, melahirkan anak, dan saat anak-anak mulai memasuki sekolah. Selain itu, kurva bentuk M ini juga terjadi karena dipengaruhi oleh Siklus Kehidupan Perempuan Jepang yang terdiri dari empat fase yaitu:12

1. Fase pertama, yaitu fase ketika menjadi dewasa dan mulai menempuh pendidikan; 2. Fase kedua, yaitu fase ketika menjadi istri dan melahirkan serta membesarkan anak; 3. Fase ketiga, yaitu fase kehidupan setelah membesarkan anak; dan

4. Fase keempat, yaitu memasuki masa tua.

Yoshio Sugimoto menjelaskan bahwa berdasarkan para pemimpin bisnis Jepang, pekerja perempuan Jepang dapat dibagi kedalam beberapa tingkatan. Hal ini dilihat dari level pekerja full-time, yang dapat dikategorikan sebagai berikut:13

1. Sogo shoku (all round employees) yaitu pekerja perempuan yang menjalani kondisi yang sama dengan corporate soldiers laki-laki. Mereka diharuskan untuk bersedia bekerja lembur dan ditempatkan di kantor yang jauh dari rumah mereka untuk beberapa tahun sesuai dengan masa tugas (tanshin funin), serta bersedia terus bekerja tanpa interupsi, bahkan ketika mereka berada di dalam fase kedua yaitu ketika fase membesarkan anak.

2. Ippan shoku (ordinary employees) yaitu pekerja perempuan yang tidak memiliki peran penting di tempat kerja, dan dianggap sebagai pekerja sub-ordinat dengan gaji yang rendah. Manajemen tidak membiarkan mereka untuk menjalankan tugas besar dan mengikuti jenjang karir. Pekerja perempuan dalam kategori ini lebih banyak jumlahnya daripada kategori pertama, dan perempuan yang lebih mendahulukan keluarga akan masuk dalam kategori ini.

Dalam kenyataannya, perempuan Jepang sangat sulit untuk menduduki posisi manajerial dalam perusahaan Jepang. Josei Shokugyo Zaidan menjelaskan bahwa hanya

(6)

seperempat dari perusahaan Jepang yang memiliki manajer perempuan, dengan tingkat jabatan setara atau lebih tinggi daripada kacho (kepala seksi), dan 73% dari mereka adalah perempuan yang tidak memiliki anak.14 Apabila mereka memiliki anak, maka 70% dari mereka mendapat bantuan dari orang-tua atau mertua mereka.15 Perusahaan Jepang, secara

tatemae mendukung kesetaraan, tetapi secara honne, kebanyakan para pekerja berpikir bahwa sebagian besar pekerja perempuan sebaiknya tetap di posisi sub-ordinat.

Seiring dengan terus meningkatnya angka kebutuhan terhadap pekerja perempuan dan terjadinya penurunan angka kelahiran yang dramatis, dua aturan diberlakukan guna mempermudah perempuan untuk berada di tempat kerja, yaitu Equal Oportunity Law, yang disahkan pada tahun 1985 serta Child-care Leave Law pada April 1992.16 Dua ketentuan legal ini menjadi awal dari upaya peningkatan peranan perempuan di dalam sektor kerja dengan mengupayakan kesetaraan gender dan hak bagi perempuan untuk dapat berkesempatan dalam sektor publik.

Di antara seluruh lulusan pendidikan tinggi, jumlah laki-laki lulusan S1 lebih banyak yaitu 48% daripada perempuan yang hanya 32%, dan jumlah laki-laki lulusan akademi lebih sedikit yaitu 2% daripada perempuan 17%.17 Jumlah perempuan lulusan S1 lebih sedikit daripada laki-laki, maka hukum memperkuat untuk menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Bahkan di perusahaan besar, pada tahun 2000, jumlah perempuan dalam kelompok sogo shoku sangat rendah, hanya 3.5% dari semua jenjang karir pada perusahaan besar dan 19,2% pada perusahaan sedang hingga kecil.18 Data ini menunjukkan rendahnya angka partisipasi perempuan Jepang meskipun telah terdapat dasar-dasar hukum yang mengatur kesempatan perempuan untuk berkarir di era 1990-2000an.

C. Dari Abenomics Menuju Womenomics

Abenomics (アベノミクス Abenomikusu) merupakan istilah yang merujuk pada

kebijakan-kebijakan ekonomi yang diperkenalkan oleh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe paska pemilihan perdana menteri pada Desember 2012. Abenomics sendiri pada mulanya sudah banyak digaungkan semenjak masa kampanye Shinzo Abe. Terdapat tiga panah/arah atau three arrows di dalam Abenomics, yaitu stimulus fiskal besar-besaran, kemudahan moneter, dan reformasi struktural.19 Womenomics dalam konteks kebijakan Abenomics merupakan bagian dari reformasi struktural. Tujuan utama dalam upaya reformasi struktural Abenomics adalah menyediakan lingkungan kerja yang kondusif bagi perempuan untuk berada di dunia kerja, baik ketika masa mengasuh anak maupun tidak. Serta mengimprovisasi

(7)

lingkungan bisnis dalam meningkatkan kemajuan dan peranan karir perempuan di dunia kerja. Hal ini tertuang dalam poin keenam dari 10 strategi reformasi struktural Abenomics yaitu Enhancing Women’s Participation and Advancement (Meningkatkan Partisipasi Perempuan dan Advancement).20 Penempatan perempuan di dalam kebijakan Shinzo Abe ini diharapkan akan merubah struktur pengaturan posisi dan pandangan-pandangan yang mengesampingkan perempuan dalam dunia kerja yang di rasa tidak sesuai dengan prinsip dalam meraih kesetaraan dan keadilan gender.

Womenomics merupakan konsep yang menggambarkan bahwa dengan meningkatkan

dan memasukkan kembali perempuan ke dalam sektor publik atau sektor kerja akan dapat meningkatkan kekuatan perekonomian. Perempuan dalam dunia kerja menjadi wujud kesetaraan dan keadilan gender dalam mewujudkan terciptanya gender dan pembangunan (Gender and development) sebagai upaya menciptakan equality dan equity menuju harmonisasi. Menurut Kathy Matsui yang merupakan Chief Japan Equity Strategist di Goldman Sachs pada tahun 1999, “melibatkan perempuan di dalam dunia kerja terutama di fungsi-fungsi kepemimpinan akan mampu menambah nilai GDP Jepang.21

Dengan memerhatikan hal-hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa tujuan utama

Womenomics adalah untuk meningkatkan persentase tenaga kerja perempuan Jepang untuk mencapai percepatan, pertumbuhan, dan stabilitas ekonomi. Sebagai bagian dari reformasi struktural Jepang, Womenomics berperan sebagai solusi terhadap tantangan Jepang yang berupa resesi dan stagnasi pertumbuhan perekonomian yang disebabkan oleh krisis dunia. Faktor terus berkurangnya angkatan kerja serta melambatnya progresifitas produksi juga menjadi alasan dibaliknya. Hal-hal ini yang kemudian saling berhubungan dan menciptakan dampak satu sama lain.

Dalam pidato Shinzo Abe pada Majelis Umum PBB tidak lama setelah diangkat sebagai perdana menteri dijelaskan bahwa fokus dan konsentrasi formula perbaikan ekonomi di masa pemerintahannya adalah memasukkan dan menggabungkan perempuan di dalam ranah ketenagakerjaan Jepang.22 “Toward Active Participation of Women as the Core of

Growth Strategies”, yaitu menuju partisipasi aktif perempuan sebagai inti dari strategi pertumbuhan dan pembangunan berkelanjutan.23 Diskriminasi di ranah kerja yang dihadapi perempuan di Jepang dihapuskan dalam mekanisme Womenomics. Womenomics merupakan kebijakan dalam reformasi perempuan Jepang di dalam dunia kerja, dimana pemerintahan Shinzo Abe melalui Womenomics akan fokus dalam memberdayakan perempuan sebagai bagian dari solusi masalah perekonomian Jepang.24 Womenomics bukan sekedar kebijakan

(8)

sederhana karena Womenomics merupakan manifesto dalam transformasi peranan perempuan dan perbaikan sistem lingkungan kerja.

Gender Equality Bureau under Cabinet Office dan juga di dukung hasil riset Kathy Matsui menjelaskan bahwa perempuan akan berperan dalam banyak hal di Jepang terutama dalam konteks ekonomi. Peranan perempuan yang meningkat akan membawa perbaikan ekonomi sekaligus juga struktur sosial masyarakat. Melalui pengaktifan tenaga kerja perempuan akan memungkinkan terbukannya perluasan jangkauan dunia kerja dalam upaya menghadapi penurunan angka kerja yang disertai jumlah pekerja, dan kemerosotan angka kelahiran di Jepang. Selain itu, timbulnya kesadaran Jepang untuk menyetarakan pandangan terhadap laki-laki dan perempuan, sehingga perempuan di rasa sudah mampu untuk menjadi masyarakat top-class dengan sumber daya yang mumpuni untuk ikut berkompetisi di dalam pasar global melalui partisipasinya di dunia kerja.25 Perempuan merupakan pemimpin dan pengatur dalam terciptanya permintaan atas semua bentuk komoditas kehidupan sehari-hari. Belum adanya partisipasi perempuan dalam pembuatan keputusan terkait hal tersebut dirasakan perlu untuk direvitalisasi. Sehingga tercapainya hal ini akan menciptakan

consumer-centered market. Dimana sistem pasar akan berorientasi kepada kostumer terdekatnya dalam menunjang produktivitas pasar.

Womenomics merupakan kebijakan yang menghubungkan tujuan-tujuan liberalisasi pasar seluas-luasnya tanpa hambatan negara yang dipertemukan dengan peran normatif negara dalam menciptakan regulasi publik untuk menghapuskan permasalahan yang menghambat terjadinya pengembangan dan perluasan kebebasan pasar.26

Terlihat jelas prinsip dari embedded liberalism bahwa upaya Jepang menciptakan regulasi berupa Womenomics adalah bentuk intervensi negara terhadap urusan publik dengan tujuan mentransformasi struktur masyarakat untuk setara dalam mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan yang menjadi tujuan tidak hanya berupa kesejahteraan bagi masyarakat Jepang saja, melainkan kesejahteraan yang mampu menguatkan dan menghidupkan lagi pertumbuhan ekonomi Jepang. Perekonomian Jepang yang dipegang melalui perdagangan hasil produksi masih mengalami tantangan tenaga kerja yang terus merosot, maka dari itu

Womenomics dengan meningkatkan peranan perempuan untuk lebih mudah bekerja akan membantu menjawab tantangan perusahaan-perusahaan dan kebutuhan tenaga kerja Jepang dalam menggerakkan roda pertumbuhan.

(9)

Upaya tersebut menunjukkan sebuah pergeseran waktu disaat peranan perempuan di dunia kerja dinilai dapat memperkuat peningkatan produktivitas dan terbilang profitable. Perempuan yang merupakan kalangan konsumen yang besar di dalam sirkulasi ekonomi, menunjukkan bahwa sudah sewajarnya perempuan turut serta dalam proses produksi sekaligus dalam menciptakan pola permintaan dan penawaran yang terarah. Shinzo Abe dalam upaya nya meningkatkan kembali pertumbuhan ekonomi Jepang secara berkesinambungan telah sesuai dengan konsep dasar Womenomics yang menjadikan perempuan sebagai bagian inti dari proses pembangunan.

D. Agenda Kebijakan Womenomics

Shinzo Abe memandang bahwa sistem ekonomi politik Jepang lama sudah tidak berkelanjutan lagi dan tidak menunjukkan progres positif. Beragam peristiwa dan aksi dilakukan Jepang guna transformasi ekonomi, menumbuhkan inovasi, dan upaya beradaptasi dari perubahan yang terjadi di tatanan ekonomi dunia baru. Namun, lebih dari itu,

Womenomics merupakan kebijakan yang secara tidak langsung merevitalisasi agenda reformasi sejenis di masa pemerintahan Hosokawa Morihiro, Rytaru Hashimoto, dan Junichiro Koizumi. Tidak aneh apabila dilihat berdasarkan latar belakang para pemimpin tersebut yang sama-sama berasal dari Liberal Democratic Party yang memiliki masa kepemerintahan terlama di Jepang.27

LDP menempatkan kesetaraan gender sebagai salah satu visi dan misi yang dibawanya sebagai partai politik. Hosokawa befokus pada The Vision dan Six Pillars of

Reform yang juga menempatkan perempuan dalam pemeriksaan secara seksama atas kurang

efensiensi dan disfungsi ekonomi dan politik Jepang. Hashimoto dan Koizumi cenderung lebih berfokus pada apa yang perempuan dapat lakukan bagi Jepang, bukan upaya penyetaraan gender.28 Tujuan yang terbilang serupa antara perdana menteri diatas dengan

Womenomics menunjukkan konsistensi Shinzo Abe terhadap strategi pendahulunya dalam pentingnya tenaga kerja perempuan bagi segala bentuk revitalisasi ekonomi Jepang dan penguatan daya saing Jepang. Hanya saja perbedaan terlihat sangat jelas bahwa tidak hanya sekedar menarik perempuan untuk berkontribusi, Womenomics pasca pemerintahan Shinzo Abe juga berupaya untuk menciptakan perubahan konstruksi masyarakat terhadap kesetaraan dari perempuan dan laki-laki. Shinzo Abe berujar dalam Women in Business Summitt 2013, tentang:

(10)

I have placed the strategy for women at the center of the strategy for growth.” (Saya telah menjalankan strategi bagi perempuan sebagai strategi utama

bagi pertumbuhan).29

Untuk itu, Perdana Menteri Shinzo Abe dengan inisiatifnya yang disalurkan melalui

Gender Equality Bureau under Cabinet Office memformulasikan 6 tujuan pencapaian

Womenomics sebagai sebuah kebijakan transformasi masyarakat yang responsif gender.30 Program kebijakan tersebut tertuang dalam National Action Plan Japan 2013 dan kemudian diperkuat melalui Act concerning Promotion of Women's Career Activities (PWCA) yaitu Undang-Undang tentang pengembangan kesempatan perempuan untuk berkarir yang disetujui oleh National Diet pada 28 Agustus 2015, dan pemberian sanksi akan diberlakukan terhitung 1 April 2016. Tidak hanya itu, formulasi kebijakan dalam Womenomics merupakan kombinasi dari upaya memaknai kembali Undang-Undang lainnya yang belum begitu dirasakan dampaknya, seperti EEOL dan Childcare and Family care Leave Law. Selain Undang-Undang, Basic Plan for Gender Equality dari seri pertama hingga keempat turut menyumbangkan ide dalam lahirnya 6 program kebijakan Womenomics. Adapun 6 program tersebut adalah:

1. Meningkatkan Persentase Partisipasi Perempuan Dalam Ketenagakerjaan

Merekrut perempuan untuk berada di dalam proses pembangunan negara dirasakan oleh Shinzo Abe sebagai aset yang terlupakan. Oleh karena itu proses rekrutmen pekerja dan keterbukaan kesempatan haruslah berwawasan gender. Lebih dari 50% populasi Jepang adalah perempuan dan mayoritas dari jumlah tersebut adalah perempuan berusia produktif. Sogo Shoku adalah tipe perempuan pekerja yang diharapkan lahir dari program ini dan mampu mengisi target pemerintah. Oleh karena itu, target yang diatur sesuai tahapan usia melalui kebijakan Womenomics adalah:

a. Meningkatkan tenaga kerja perempuan kelompok usia 25 hingga 44 tahun menjadi 77% pada tahun 2020,

b. Meningkatkan tenaga kerja perempuan kelompok usia 20 hingga 34 tahun menjadi 79% pada tahun 2020,

c. Meningkatkan tenaga kerja perempuan kelompok usia 20 hingga 64 tahun menjadi 80% pada tahun 2020,

d. Meningkatkan tenaga kerja perempuan kelompok usia 60 hingga 64 tahun menjadi 67% pada tahun 2020,

(11)

2. Mencapai Persentase 30% Perananan Perempuan di Posisi Kepemimpinan Pada Tahun 2020

Melalui program ini, pemerintah Jepang mengharapkan adanya keterbukaan informasi jumlah perempuan yang berada di posisi-posisi pemimpin (power position), seperti guru besar, ketua departemen, direktur, manajer, wakil direktur, menteri, gubernur, walikota, dsb). Keterbukaan informasi tersebut akan mendorong terciptanya upaya untuk meningkatkan jumlah perempuan pada posisi tersebut guna memenuhi target yang ingin dicapai secara nasional. Tampak bahwa program ini secara perlahan-lahan menjadi tekanan bagi perusahaan, partai, dan pemerintah sendiri untuk merubah iklim kerja yang ada untuk dapat mendorong perempuan berada di posisi pemimpin dengan keterbukaan kesempatan yang sejajar agar perempuan dan laki-laki mampu bersaing secara sehat tanpa adanya stereotyping gender. Dalam hal ini pemerintah Jepang terhitung Maret 2015 mewajibkan perusahaan dan badan-badan lainnya untuk mendaftarkan dan merilis angka perempuan di posisi manajemen di masing-masing perusahaan dan badan tersebut serta membuat voluntary action plan, serta data penerimaan pegawai perempuan.

3. Meningkatkan persentase perempuan kembali ke dunia kerja setelah memiliki anak pertama.

Perempuan yang menjadi tenaga kerja namun keluar dari dunia kerjanya diisi oleh mayoritas ibu rumah tangga. Dalam konteks Jepang, perempuan yang berhenti total setelah mempunyai anak rata-rata masih berusia antara 20 hingga 34 tahun. Usia tersebut sangat produktif bahkan merupakan periode keemasan bagi perempuan untuk berkarir. Oleh karena itu pemerintah mengupayakan kembalinya perempuan untuk berkarir baik di posisinya ketika meninggalkan pekerjaan maupun mencari pekerjaan baru.

4. Mempercepat dan Menambah Pembangunan Fasilitas Childcare dan After School Club.

Poin kebijakan ini merupakan pengembangan infrastruktur dalam mendukung dan menunjang pemajuan perempuan dalam dunia kerja. Pengembangan ini disebut sebagai zero childcare waiting-list project. Target yang diharapkan untuk dicapai adalah meningkatkan kapasitas penitipan anak baik ditingkatan umur bawah tiga tahun atau lebih agar dapat ditampung dan tidak menimbulkan daftar tunggu yang

(12)

berkepanjangan. Secara tidak langsung target ini akan membuka peluang tercapainya poin ketiga dari target Womenomics, serta tidak menimbulkan keraguan bagi perempuan kelompok umur muda untuk tidak ragu-ragu untuk memiliki karir yang tinggi, serta bagi perempuan yang sudah memiliki anak semakin memiliki keyakinan untuk kembali kerja karena penjagaan anak terjamin.

5. Meningkatkan Persentase Ayah/Laki-laki yang Mengambil Cuti Mengasuh Anak. Beban tanggungan dalam mengurus anak dan urusan rumah tangga dalam konsep masyarakat Jepang berada pada istri atau perempuan. Laki-laki terkesan tidak memiliki kewajiban atas hal tersebut. Melalui program ini, Womenomics menjadi upaya dalam mentransformasi budaya yang telah membentuk masyarakat Jepang untuk menjadi masyarakat yang lebih modern. 13% merupakan target yang ingin dicapai pada tahun 2020.

6. Mengurangi Perusahaan dengan Jam Kerja Lebih dari 60 Jam Per Minggu.

Banyaknya unit kerja yang masih menerapkan jam kerja lebih dari 60 jam dirasa tidak efektif dalam mejamin keseimbangan antara kehidupan pribadi dan dunia kerja. Untuk itu Womenomics mengatur target untuk mengurangi perusahaan dengan jam kerja lebih dari 60 jam per minggu hingga mencapai 5% saja pada tahun 2020.

Kebijakan Womenomics berdasarkan formulasi target di atas menunjukkan bahwa kebijakan tersebut merupakan upaya yang diesktraksikan dari Third basic plan of Gender Equality Jepang dengan tujuan untuk memperbanyak perempuan di dalam ketenagakerjaan, yang didukung oleh penciptaan iklim kerja yang membantu perempuan untuk dapat aktif berpartisipasi dalam hal tersebut. Oleh karena itu, Womenomics tidak hanya menargetkan tercapainya Basic Plan for Gender Equality dalam menciptakan kepedulian terhadap kesimbangan dunia kerja dan keluarga yang berarti penyeimbangan sektor publik dan domestik. Womenomics juga mengatur target-target untuk meningkatkan ketersediaan dan kehadiran perempuan dalam pemerintahan di level nasional maupun lokal. Rencana ini juga merujuk pada rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga nilai-nilai kesetaraan yang ingin dicapai bersifat universal. Angka-angka target tersebut merupakan tujuan yang dalam agendanya akan diraih sebelum tahun 2020. E. Womenomics: Sebuah Kebijakan Responsif Gender

Jepang menjawab pandangan feminis liberal yang memandang bahwa penguasa tidak memihak pada semua kelompok. Negara dianggap hanya memihak kepada kaum pria, yang

(13)

terefleksikan menjadi beragam kepentingan bersifat maskulin tanpa keterlibatan perempuan.31 Feminis liberal merasa negara hanya menempatkan perempuan sebatas warga negara tanpa memberikan kontribusi terhadap sektor publik dan pencapaian kebijakan yang demokratis-perempuan dengan mengikutsertakannya dalam decision making process.32 Pandangan lainnya menjabarkan bahwa perempuan sebagai golongan tertindas yang hanya berkecimpung dalam sektor domestiknya.

Womenomics sebagai sebuah kebijakan seperti yang dijabarkan sebelumnya

memecahkan semua pandangan tersebut. Nilai-nilai yang dikandung Womenomics mencakup prinsip dasar liberalisme yang menuntut terciptanya kesetaraan kesempatan dan kebebasan antar semua individu. Shinzo Abe dalam Women in Business Summit tahun 2014 kembali mendeklarasikan bahwa:

“Abenomics won’t succeed without Womenomics,” (Abenomics tidak akan sukses tanpa keberadaan Womenomics).33

Hal ini menunjukkan bahwa komitmen kepala pemerintahan Jepang terhadap kesetaraan gender sekaligus menjadi jawaban bagi pemikiran feminis liberal tentang pola perilaku pemerintah. Selain itu, di analisis dari target yang disinggung sebelumnya, sudah jelas bahwa Womenomics secara normatif menempatkan perempuan untuk terjun langsung dalam sektor publik. Target terhadap peningkatan angka perempuan di dunia kerja diatur untuk dapat dicapai melalui poin kedua Womenomics. Bahkan secara lebih spesifik, perempuan yang ditargetkan untuk menambah jumlah tenaga kerja Jepang diupayakan kesempatannya untuk menjadi perempuan karir dengan pekerjaan yang bersifat full-time

bukan sekedar part-time. Mengingat pada Bab sebelumnya, mayoritas pekerja perempuan Jepang diisi oleh pekerja part-time. Upaya-upaya inilah yang membantah bahwasanya negara cenderung maskulin. Dalam konteks Jepang pasca pemerintahan Shinzo Abe periode ke-2, Jepang mencoba berbenah diri melalui Womenomics untuk melahirkan sisi kesetaraan negara dalam perwujudan cita-cita nasional.

Pola hubungan antar setiap poin dalam program Womenomics terlihat sebagai bentuk kematangan pemikiran dari kebijakan Womenomics di era pemerintahan Shinzo Abe yang tidak hanya mengarah pada pertumbuhan ekonomi nasional, namun juga responsif gender dan berupaya dalam mengubah struktur pemahaman masyarakat Jepang terhadap gender yang selama ini dirasa bias.

Pemikiran Shinzo Abe tersebut juga menunjukkan adanya niatan baik untuk memperbaiki struktur legal hukum dan kebijakan yang sudah ada. Pola hubungan tersebut

(14)

menyiratkan kesiapan pemerintah Jepang untung merevolusi perempuannya dan secara tidak langsung merevolusi bidang sosial, budaya, politik, dan tentunya ekonomi negaranya secara menyeluruh. Upaya-upaya ini memperlihatkan sebentuk jawaban bahwa Jepang sangat menekankan nilai-nilai liberalisme yang dianut untuk mencapai kesetaraan kesempatan dan kebebasan. Womenomics menjadi landasan upaya yang memecah tuduhan kaum feminis liberalisme terhadap Jepang. Dari ulasan terkait target ini maka terlihat bahwa tidak hanya sebagai kebijakan biasa, Womenomics merupakan kebijakan yang menunjukkan sisi-sisi reformasi khas liberal yang kuat. Shinzo Abe menyampaikan dalam World Assembly for

Women (WAW) di Tokyo bahwa Womenomics bukan hanya upaya untuk menciptakan

lingkungan bagi perempuan untuk bersinar, melainkan sebuah upaya transformasi bagi perempuan dan laki-laki dapat bersinar secara bersama-sama dalam kerjasama dan harmoni.34

Hampir 90% pekerja di Jepang diisi oleh pekerja laki-laki, sedangkan perempuan hanya mengisis 50% dunia kerja pada 1994 dan 70%-an pada tahun 2014. Sedangkan data UNDP melalui Human Development Report tahun 2005-2014 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan perempuan Jepang jauh lebih tinggi dari tingkat pendidikan laki-laki Jepang, dimana perempuan berada dalam penguasaan pendidikan dengan persentase 87% dan laki-laki dengan 85,8%.35 Selain itu, berdasarkan data Biro Statistika Jepang menunjukkan bahwa angka perempuan dengan pendidikan tinggi di tingkat universitas dari tahun 2005 hingga tahun 2014 terus mengalami peningkatan mencapai 108.561 mahasiswi.36

Sehingga, Womenomics pada dasarnya telah memiliki dasar pemikiran yang matang terhadap resiko dari mengarusutamakan gender di Jepang. Womenomics dan kesamaan konsepnya dengan gender mainsreaming dalam menempatkan perempuan dalam kebijakan pembangunan, dalam politik, dan stabilitas ekonomi tersebut menunjukkan sebuah proses yang sistematis. Womenomics dengan keberadaan program kebijakan tersebut yang tertuang dalam National Action Plan 2013 Japan menunjukkan bahwa ketidaksetaraan terhadap gender sudah sepatutnya dihilangkan. Potensi perempuan Jepang yang terkaburkan oleh peranannya sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga sudah sepatutnya dikaji kembali.

Womenomics dalam hal ini membawa perempuan-perempuan Ippan-shoku untuk berada di dalam usaha nasional merubah perekonomian dan berkontribusi bagi pembangunan bangsa.

Maka dari itu Womenomics juga menjawab bahwasanya sebuah kebijakan dapat menerapkan prinsip kesetaraan (equality) dan juga keadilan (equity). Sebagai sebuah kebijakan yang spesifik terhadap permasalahan gender di Jepang, Womenomics merupakan bentuk serangkaian kebijakan atas tindakan yang diambil untuk menyelesaikan suatu

(15)

permasalahan nasional. Womenomics menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah kebijakan yang berkonsekuensi dalam mewujudkan penyelesaian masalah demografi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi negara. Tidak hanya sebagai kebijakan semata, Womenomics

menujukkan serangkaian harapan yang ingin dicapai. Tercapainya target-target Womenomics

menunjukkan hasil yang akan menjadi titik solusi atas permasalahan yang menyebabkan lahirnya kebijakan tersebut. Tujuan nasional dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi sekaligus merubah konstruksi masyarakat terhadap makna kesetaran menjadi cita-cita yang dapat diukur sebagai sebuah kebijakan yang menyentuh ranah publik.

Womenomics menjadi ekstraksi atas perbaikan norma dan nilai tradisional yang dirasa tidak menguntungkan menuju pembaharuan sistem yang lebih konkret yang mana aktor utama pembuatnya adalah pemerintah Jepang dengan inisiator utama Shinzo Abe. Tujuan ini tercerminkan dari pola transformasi masyarakat melalui kebijakan publik, disaat pemerintah mengupayakan proses pencapaiannya akan melalui masa transisi masyarakat pra-kebijakan menuju masyarakat yang dicita-citakan hingga tercapainya pola kehidupan masyarakat yang berkesetaraan gender dan kontibusi masyarakat berkesetaraan gender tersebut bagi pembangunan nasional.

Melalui pengarusutamaan gender dalam Womenomics tersebut, Jepang secara tidak langsung telah menunjukkan perwujudan nyatanya atas Konstitusi 1947 pada pasal 14 tentang Hak Asasi dan kewajiban masyarakat yang selama ini jelas tidak terlihat upaya perwujudannya. Konstitusi 1947 pasal 14 tersebut berbunyi:

“All of the people are equal under the law and there shall be no discrimination in political, economic or social relations because of race, sex, social status, or family origin. (Semua makhluk hidup setara dimata hukum dan tidak diakui adanya diskriminasi dalam bidang politik, ekonomi, maupun hubungan sosial atas dasar ras, jenis kelamin, status sosial, ataupun asal-usul keluarga).37

Kebijakan Womenomics menjadi bentuk nyata kebijkan responsif gender di Jepang. Dalam penjelasan Ismi Dwi Astuti Nuhaeni tentang kebijakan responsif gender, good governance menjadi tolak ukur sebuah kebijakan yang responsif gender.38 Womenomics

berisikan upaya-upaya dalam menciptakan kesetaraan (equality) dan keadilan (equity). Kesetaraan dan keadilan diperuntukkan bagi semua warga negara baik laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama berpartisipasi mencapai kesejahteraan menunjukkan prinsip good governance yang telah terkandung di dalam Womenomics dan tentu saja di dalam Konstitusi 1947.39

(16)

Sebagai sebuah kebijakan, Womenomics mampu menjawab dua kebutuhan sekaligus, yaitu kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis. Jangka waktu ketercapaian Womenomics

pada tahun 2020 menunjukkan bahwa Womenomics menjawab kebutuhan praktis yang berjangka pendek dalam mengarahkan dan memperbaiki kondisi perempuan dan melihat sejauh mana kontribusi perempuan dalam perbaikan ekonomi.40 Di lain sisi, sebagai sebuah kebijakan yang mereformasi dan mentransformasi relasi gender yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan di Jepang, Womenomics juga menjawab bahwa sebagai kebijakan

Womenomics merupakan kebutuhan strategis atau jangka panjang.41 Model pemikiran

Womenomics di Jepang serupa dengan model embedded liberalism yang membangun

terciptanya generator bagi kinerja ekonomi jangka panjang dan juga perbaikan tatanan sosial masyarakat yang cenderung dipegang kuat oleh nilai dan norma budaya setempat. Generator tersebut terlihat dari kebermanfaatan Womenomics sebagai sebuah kebijakan yang responsif gender.

Tidak hanya sebagai kebijakan yang responsif gender, dilihat dari tujuan untuk mencapai kesetaraan gender dan pembangunan menunjukkan eksistensi Womenomics sebagai kebijakan yang berwawasan gender. Tujuan tersebut tertuang dalam target-target

Womenomics yang berusaha untuk mengubah status quo hubungan gender yang banyak merugikan perempuan menuju equilibrium di dalam hubungan gender yang merefleksikan prinsip-prinsip keselarasan, keserasian, dan keseimbangan.42 Womenomics dalam konteks kebijakan pemerintahan Shinzo Abe termin kedua adalah strategi untuk menyentuh secara langsung tekanan atas tantangan demografi yang semakin memburuk serta kekurangan tenaga kerja. Begitupun juga sebagai upaya menegakkan EEOL, Childcare and Family care Leave Law, dan berbagai landasan hukum lainnya yang terbilang masih sekedar Undang-Undang normatif di dekade sebelumnya. Womenomics menunjukkan eksistensi perempuan di dalam proses pembangungan yang selama ini telah gagal mengakui kontribusi positif ekonomi perempuan dalam proses tersebut.43

F. Implementasi Kebijakan Womenomics: Mekanisme Program Kebijakan

Womenomics

Berdasarkan dari pembahasan sebelumnya, maka terlihat bahwa program di dalam kebijakan Womenomics berusaha untuk merangkul isu kesetaraan gender dan isu-isu yang berpengaruh terhadap hal tersebut. Implementasi kebijakan Womenomics berarti bahwa pemerintah Jepang berusaha mengintegrasikan perspektif gender dalam kebijakan khusus peningkatan peran perempuan sekaligus menunjukkan responsifitas kebijakan

(17)

Abenomics sebagai induk kebijakan yang responsif gender. Efektifitas implementasi kebijakan Womenomics dapat terlihat dari keruntutan sistem kerja dalam program-program

Womenomics yang saling terintegrasi antara satu sama lainnya.

Stakeholders sekaligus unit pelaksana kebijakan dalam konteks Womenomics terbagi menjadi Headquarters for the Promotion of Gender Equality, Council for Gender Equality, Liaison Conference for the Promotion of Gender Equality, Gender Equality Bureau, Local Government, dan di luar pemerintahan yaitu pihak-pihak yang dipengaruhi oleh kebijakan seperti perusahaan swasta. Fungsi Gender Equality Bureau dalam konteks Womenomics

adalah pusat dari pertemuan berbagai kepentingan baik dari perdana menteri hingga pemerintahan lokal. Melalui biro ini dilakukan proses formulasi, promosi, dan monitoring terhadap kelangsungan kebijakan Womenomics. Sehingga, fungsi pengawasan dan monitoring kesesuain antara target dan hasil yang dicapai dapat dengan cepat dikontrol oleh

Gender Eqaulity Bureau dan dilaporkan kepada Kementerian Kesetaraan Gender untuk kemudian di review oleh Perdana Menteri. Untuk mencapai kejelasan dan kemerataan distribusi informasi dari program kebijakan tersebut, melalui National Advisory and Committee dan Gender Equality Bureau melakukan transfer informasi ke pihak-pihak yang disasar seperti pemerintah lokal, dan perusahaan. Upaya yang dilakukan adalah melalui

Liaison Conference for the Promotion of Gender Equality sebagai wadah bimbingan dan pengawasan dalam mencapai kesetaraan gender yang merujuk pada target-target di dalam program kebijakan Womenomics. Programs Encouraging Gender Equality Declaration Cities, Summit Meeting of Gender Equality Declaration Cities yaitu program dalam menjaring kota, prefektur, maupun municipal di Jepang untuk mendeklarasikan diri sebagai wilayah berkesetaraan gender. Selain itu pemerintah Jepang juga melaksanakan Gender Equality Forum and Training hal ini bertujuan untuk mentransfer informasi hingga ke masyarakat-masyarakat grass root. Prosedur tersebut menunjukkan alur komunikasi dalam implementasi kebijakan pasca ditetapkan kedalam National Action Plan 2013 agar dapat merata dan tercipta kesamaan persepsi antar top-bottomrelations.

Pasca disahkannya Undang-Undang khusus peningkatan persentase peran perempuan Jepang dalam dunia kerja atau disebut Act concerning Promotion of Women's Career Activities (PWCA) maka pemerintah Jepang melalui Gender Equality Bureau melakukan transfer informasi dari tingkat pengadilan tinggi hingga ke yang paling rendah terkait pengesahan Undang-Undang baru tersebut. Undang-Undang tersebut mewajibkan setiap perusahaan bahkan pemerintah di tingkat lokal maupun nasional untuk menerbitkan Action

(18)

Plan terkait peningkatan peran perempuan dalam karir. Action Plan tersebut terhimpun dalam website Gender Equality Bureau, website prime minister office Japan, dan untuk perusahaan swasta menerbitkannya melalui KEIDANREN (Asosiasi Perusahaan di Jepang). Pada 28 Maret 2014 sebagai respon dari kebijakan Womenomics yang sudah diperkenalkan pasca Shinzo Abe dilantik sebagai perdana menteri, kelompok para pengusaha-pengusaha yang terdiri dari CEO dan direktur perusahaan di Jepang dengan disaksikan Perdana Menteri Shinzo Abe melakukan deklarasi. Deklarasi tersebut berisikan komitmen para perusahaan-perusahaan untuk menciptakan iklim kerja dimana perempuan dapat mengisi berbagai sektor di dalamnya tanpa pembatasan jenis kelamin. Deklarasi tersebut dicatat sebagai komitmen dari perusahaan terhadap kebijakan Womenomics yang dikenal dengan Declaration on Action by A Group of Male Leaders Who Will Create a Society in which Women Shine. Berdasarkan perbandingan isi antara kebijakan Womenomics melalui 6 program seperti yang telah dijabarkan pada sub-bagian sebelumnya, terlihat bahwa action plan yang diinisiasi bersama perusahaan-perusahaan tersebut telah sejalan dengan Womenomics, yaitu 1) melanjutkan penerimaan pekerja perempuan; 2) Reformasi cara kerja dan menciptakan iklim kerja ramah perempuan; 3) mengupayakan pegawai laki-laki untuk ikut mengurus urusan rumah tangga dengan pengambilan cuti; dan 4) memperkerjakan perempuan dengan pemberian hak dan kewajiban setara dengan laki-laki dan membuka ruang bagi perempuan untuk dapat mengisi posisi-posisi dari bawah hingga ke atas.44

Oleh karena itu, pengerahan sumber daya dalam implementasi ini sangat penting agar proses pencapaian tujuan kebijakan untuk meningkatkan persentase perempuan dapat berjalan dengan baik. Dari segi sumber daya pelaksana pada pembahasan sebelumnya telah dilihat bagaimana alur kerja yang terstruktur secara horizontal dan vertikal baik dari pucuk pimpinan hingga masyarakat yang dikomunikasikan melalui penyamapain informasi yang akurat melalui action plan dan berbagai forum. Sumber daya dana dan fasilitas terhadap kebijakan Womenomics dapat dinilai baik melalui penggelontaran dana yang terbilang besar terhadap kebijakan Abenomics dimana kebijakan Womenomics menjadi bagian di dalamnya. Pemerintah Jepang terhitung telah mengeluarkan dana ekstra sebanyak US$144 Miliar dari Januari 2013 untuk memacu pertumbuhan ekonomi negara.45 Pembagian dana tersebut digunakan juga dalam mendukung kebijakan stimulus moneter dan fiskal dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang semakin banyak dan pembangunan infrastruktur childcare dan after schoolclub.

(19)

Tercapainya target Womenomics akan memberikan dampak baik bagi perekonomian Jepang. Di lain sisi, Womenomics juga mempengaruhi kepentingan-kepentingan berbagai pihak seperti perusahaan-perusahaan swasta, institusi-institusi swasta, dan beragam kelompok masyarakat lainnya. Hal ini dikarenakan Womenomics merupakan sebuah kebiijakan yang mengatur pola penerimaan dan pengalokasian posisi perempuan terhadap pihak-pihak yang terpengaruhi kepentingannya tersebut.

Kedudukan pembuat kebijakan yang merupakan pemimpin pemerintahan menunjukkan bahwa kebijakan Womenomics merupakan suatu urgensi yang harus diselesaikan bersama-sama dan bukan sekedar urusan pemerintah semata. Sifat kebijakan yang dilandasi oleh Undang-Undang menunjukkan derajat pentingnya kebijakan ini untuk dilaksanakan. Womenomics bukan sekedar kebijakan substansif semata, melainkan juga kebijakan prosedural yang mana harus dijalankan oleh semua lini masyarakat. Kebijakan

Womenomics juga bukan sekedar kebijakan publik berperspektif politik semata, melainkan sebuah kebijakan berperspektif administratif dimana kesatuan program di dalamnya mementuk sebuah mekanisme yang compact.

Derajat perubahan yang diinginkan dari kebijakan terlihat dengan jelas dari seberapa jauh kebijakan mampu membawa perubahan peran perempuan di Jepang. Derajat ini dapat dinilai dari seberapa tinggi peningkatan persentase perempuan bekerja pasca kebijakan dengan sebelum kebijakan. Dengan tercapainya derajat perubahan yang diinginkan maka tujuan kebijakan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di sektor kerja Jepang dapat tercapai dan manfaat-manfaat akan dihasilkan. Manfaat dapat berupa peningkatan dan terciptanya kultur kerja baru di Jepang yang dapat menyelaraskan hubungan antara perempuan dan laki-laki. Hal-hal ini umumnya akan terlihat lebih jelas pada pembahasan evaluasi kebijakan. Untuk itu dalam pengimplementasiannya ditetapkan derajat persentase dari setiap program di dalam Womenomics untuk mengukur indeks ketercapaian dan progresnya.

(20)

Gambar 2. Persentase Peningkatan Perempuan di Sektor Ketenagakerjaan Jepang Sebelum dan Sesudah Womenomics

G. Pencapaian Womenomics Hingga Tahun 2015

Gender Equality Bureau secara aktif berperan dalam mengontrol capaian-capaian yang diraih dengan berdasarkan keenam target diatas. Pada Januari 2014 diperkenalkan tajuk

Visualizing women’s active roles di halaman resmi Gender Equality Bureau. Tajuk tersebut menunjukkan hasil capaian dari Womenomics berdasarkan indikator target. Fungsi tajuk tersebut adalah menunjukkan hasil kompilasi dari berbagai data yang dilaporkan kepada biro. Sub-bagian ini menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi pasca diimplementasikannya kebijakan Womenomics di Jepang dengan melihat persentase partisipasi perempuan di sektor tenaga kerja setelah dan sebelum kebijakan Womenomics. Maka dari itu didapatkan data peningkatan persentase perempuan dalam ketenagakerjaan secara menyeluruh dalam gambar 2.

Berdasarkan rilis data Gender Equality Bureau under Cabinet Office Jepang, terlihat bahwa peningkatan angka perempuan yang berkarir terus mengalami peningkatan. Pada gambar 2, untuk kelompok umur 25-44 tahun (umur produktif kerja) jumlah peningkatan dari tahun 2012 hingga 2013 adalah 1,7%. Dari tahun 2013 ke tahun 2014 adalah 1,3% dan pada

(21)

tahun 2014 menuju tahun 2015 adalah 0,8%. Dapat disimpulkan bahwa sejak Womenomics

menjadi dasar kebijakan peningkatan peranan perempuan di Jepang, peningkatan perempuan yang berada di sektor kerja adalah 3,8% untuk kelompok umur usia produktif. Persentase pasca kebijakan tersebut pada usia produktif jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum kebijakan yang hanya mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga 2012 sebanyak 2%.

Untuk golongan usia tua antara 60 hingga 64 tahun, jumlah peningkatan dari awal pemberlakuan kebijakan hingga tahun 2015 adalah 4,5%. Peningkatan jauh terjadi dibandingkan persentase 2008 hingga 2012 yang hanya 0,5%. Bahkan pada tahun 2008 ke tahun 2009 terjadi penurunan 0,2% dan berlanjut pada stagnansi di tahun 2010 dan 2011 di anga 57,1%. Kelompok umur pekerja muda dari 20 hingga 34 tahun mengalami peningkatan 1,7%. Angka ini terbilang fantastis dibandingkan dengan persentase 2008 hingga 2012 yang tidak mengalami perubahan, bahkan mengalami penurunan di tahun 2009. Serta untuk kelompok umur 20 hingga 64 tahun mengalami peningkatan 2,9% sejak 2012 hingga 2015. Sama hal nya pada kelompok umur muda, pada kelompok umur 20 hingga 64 tahun, peningkatan 2,9% merupakan sebuah pencapaian positif dibandingkan dengan penurunan 0,1% yang justru terjadi antara tahun 2008 hingga tahun 2012.

Kesimpulan yang dapat penulis ambil adalah, pada keseluruhan pembagian kategori usia terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Persentase tertinggi terdapat pada golongan usia pasca menikah dan melahirkan, namun derajat peningkatan tidak begitu signifikan dibandingkan kelompok usia produktif dan usia tua. Kelompok usia produktif berada pada peringkat kedua. Serta, persentase terendah perempuan dalam ketenagakerjaan terdapat pada golongan usia tua, namun derajat persentase peningkatan perempuan dalam sektor ketenagakerjaan yang tajam justru terjadi pada golongan usia tua dibandingkan dengan golongan usia lainnya. Periode 2012 hingga 2015 kebijakan Womenomics menunjukkan progress jumlah peningkatan tenaga kerja yang terus berkelanjutan secara signifikan. Dengan pola peningkatan persentase seperti di atas, maka target pada tahun 2020 sangat mungkin untuk diraih.

Pengurangan jam kerja perusahaan dengan jam kerja lebih dari 60 jam sejak tahun 2000 terus berlangsung. Fungsi dari pengurangan jam kerja seperti yang telah dibahas di sub-bagian sebelumnya adalah untuk menyediakan kesempatan bagi perempuan untuk memiliki alokasi waktu lebih dalam mengurus urusan rumah tangga. Pasca Womenomics, terlihat bahwa sejak tahun 2012 hingga 2015 telah terjadi pengurangan 0,9% dengan rata-rata 0,3%

(22)

per tahun. Apabila pemerintah lebih gencar melakukan penekanan terhadap perusahaan, maka target 5% pada tahun 2020 sangat mungkin untuk dicapai.

Jumlah perempuan yang mengisi kursi kabinet pemerintah Shinzo Abe mencapai 14,7% dengan rincian 22,2% pada level menteri, 12% pada level State Minister, 14,8% pada level Parliamentary Vice Minister, dan 0% pada level Special Advisors to the Prime Minister. Hal ini menunjukkan kemajuan yang sangat besar jika dibandingkan dengan persentase keberadaan perempuan dalam kabinet sebelumnya yang hanya mencapai 5,5% di masa pemerintahan Yoshihiko Noda.46 Perempuan Jepang dengan jabatan ketua dewan atau komite nasional adalah 35,4% yang menunjukkan bilangan diatas target pemerintah Shinzo Abe tahun 2020. Persentase perempuan Jepang di parlemen nasional pada tahun 2015 mencapai 9,5% (45/475 perempuan/total) dan per tahun yang sama anggota majelis tinggi mencapai 15,7% (38/242 perempuan/total). Angka ini mampu membawa perubahan peringkat Jepang dalam ranking peranan perempuan di dewan perwakilan rakyat yang semula berada pada peringkat 163 menjadi 154 dengan peningkatan persentase sejak 2013 sebanyak 1,4%.47

Sektor swasta telah menyumbang 33,5% perempuan di posisi penting. Persentase ini menunjukkan tren positif meskipun baru mulai diberlakukan dan data yang dihimpun oleh peneliti terkait tren ini merupakan rilis untuk yang pertama kalinya di Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi Womenomics yang kemudian di respon melalui deklarasi KEIDANREN menunjukkan bahwa antara cita-cita dan pencapain telah berjalan berkesinambungan dan menunjukkan hasil yang signifikan. Selain itu, peranan perempuan Jepang dalam organisasi internasional dan misi diplomatik negara mengalami peningkatan 2,4% sejak pra Womenomics hingga tahun 2015. Peningkatan paling drastis terjadi pada jabatan Duta Besar yang pada tahun 2012 tidak mencapai 1%, namun pada tahun 2015 hampir mencapai 4%. Di level professional di berbagai organisasi internasional, juga mengalami peningkatan yang tinggi sebanyak 4,6%. Data-data terkait perempuan di posisi penting Jepang menunjukkan peningkatan peran perempuan Jepang dinilai dari kualitasnya yang telah mampu meningkatkan posisi perempuan dalam posisi pimpinan dan manajerial.

Dengan melihat hasil peningkatan peran perempuan secara kuantitas melalui peningkatan persentase perempuan dalam ketenagakerjaan dan secara kualitas melalui peningkatan perempuan Jepang di posisi manajerial dan pimpinan, maka kebijakan

Womenomics secara keseluruhan dalam implementasi dan evaluasi sementaranya telah menunjukkan suatu pencapaian yang positif. Dengan melihat kepada Gender Development

(23)

Index (GDI) dan Gender Inequality Index (GII), Jepang menunjukkan tren peningkatan peringkat yang positif. Pada tahun 2014 GDI Jepang berada dalam kategori kelompok 2 (0.961) yang berarti tergolong medium-tinggi, hal ini meningkat dibandingkan tahun 2007 dimana Jepang tergolong pada kelompok 3 (medium).48 Serta GII mencapai 0,6584 pada tahun 2014 yang mengalami tren peningkatan dibandingkan tahun 0,6434 pada tahun 2008.49 H. Implikasi Womenomics Bagi Ekonomi Jepang

Pada periode tahun 2008 hingga 2010 persentase penggangguran Jepang pernah menyentuh angka 5,6% sekaligus yang tertinggi dalam dua dekade terakhir, akan tetapi pasca kebijakan diperkenalkan dan didistribusikan penurunan terus terjadi secara berkelanjutan dan pada tahun 2015 angka pengangguran Jepang berada pada level 3,1%.50 Pasca Womenomics, peningkatan tenaga kerja full-time juga menunjukkan tren positif dengan meraup lebih dari 2 juta pekerja, yang mana pada era sebelumnya hanya berada pada kisaran 1 juta.51 Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Womenomics mampu membawa tren positif yang mempengaruhi tercapainya peningkatan tenaga kerja hingga 2 kali lipat dalam beberapa tahun terakhir.

Di ranah domestik lainnya, Womenomics terbukti mampu menyumbangkan 0,9% pertumbuhan ekonomi Jepang sejak tahun 2014.52 Pertumbuhan GDP Jepang pada periode sebelum kebijakan menunjukkan tren pertumbuhan yang lemah, pada tahun 2009 bahkan pertumbuhan GDP Jepang menyentuh angka -15%, namun pasca Womenomics pertumbuhan GDP secara keseluruhan mampu menyentuh angka 4,6% pada tahun 2015.53 Hal ini menunjukkan sebuah peningkatan yang baik bagi pertumbuhan pendapatan nasional Jepang.

Di lihat dari GDP per kapita Jepang, pada era sebelum kebijakan Womenomics yaitu tahun 2006 hingga 2012, GDP per kapita berada pada level US$34.689 hingga US$36.363, namun pasca kebijakan diberlakukan peningkatan terjadi dan tren positif sejak tahun 2013 sudah menunjukkan angka GDP pada level US$37.573 dan meningkat hingga US$37.595 di awal tahun 2015.54 Tren positif inilah yang menunjukkan bagaimana implikasi peningkatan peran perempuan baik secara kualitas maupun kuantitas di sektor ketenagakerjaan Jepang dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian negara dalam jangka waktu yang terbilang cepat.

I. Benturan Konsep Budaya Jepang dan Womenomics

Ryosaikenbo dan Amae menunjukkan realitas nyata benturan konsep budaya yang melahirkan sebuah dilema dalam proses implementasi kebijakan pro-gender. Konstruksi

(24)

budaya dan sosial yang menempatkan perempuan sebagai pemain utama dalam budaya

ryosaikenbo menjadi hambatan bagi proses mencapai target-target Womenomics itu sendiri. Peranan perempuan dalam pandangan budaya Jepang yang hanya diperuntukkan sebagai ibu dan istri yang baik dalam mengurus anak dan urusan rumah tangga justru menjadi tantangan vital dalam berjalannya kebijakan Womenomics.55 Kotobuki Taishoku yang merupakan upacara syukuran terhadap perempuan yang melepaskan karirnya untuk kembali menjadi ibu rumah tangga setelah mengandung menunjukkan bahwa budaya menkonstruksikan perempuan untuk tidak ikut andil dalam sektor lain selain sektor domestiknya.56 Selain itu,

Amae yang menjadi konsep budaya bahwa kedekatan antara ibu dan anak tidak dapat dipisahkan, semakin menjadi sebuah pertentangan bagi implementasi Womenomics.57

Ryosaikenbo dan Amae menjadi bayang-bayang suram bagi perempuan ketika

bekerja, karena konstruksi sosial menempatkan perempuan yang tidak patuh terhadap norma tersebut dan memilih berkarir adalah perempuan yang tidak bertanggungjawab. Benturan budaya Jepang ini merupakan spektrum penghambat yang telah membentuk pola pikir masyarakat Jepang secara nasional sejak dulu. Padahal Deklarasi Beijing 1995 dengan jelas menolak adanya relativisme kebudayaan sebagai pembenaran bagi ketidaksetaraan gender. Di dalam Deklarasi tersebut disebutkan bahwa:58

“Perwujudan penuh seluruh hak asasi manusia dan kebebasan dasar seluruh perempuan penting bagi pemberdayaan perempuan. Sedangkan signifikansi partikularitas nasional dan kawasan dan berbagai latar belakang sejarah, budaya, dan agama tidak boleh dilupakan, ini adalah tugas negara, apapun sistem politik, ekonomi, dan budayanya, untuk memajukan dan melindungi seluruh hak asasi manusia dan kebebasan dasar.”

J. Kesimpulan

Womenomics merupakan sebentuk mekanisme peningkatan peran perempuan di

Jepang secara lebih konkret dijabarkan melalui keenam target yang ingin dicapai. Sebagai sebuah mekanisme yang dirasa berbeda dari yang telah berlaku sebelumnya, Womenomics

tampil sebagai sebuah wadah baru kebijakan yang responsif gender. Implementasi kebijakan

Womenomics terlihat dari 6 program utama dengan terdapat target yang menjadi tolak ukur ketercapaian yang dikomunikasikan ke berbagai pihak serta didukung oleh berbagai sumber daya agar mencapai sebuah pola implementasi yang efektif dan tepat sasaran. Melalui data dapat dijelaskan bahwa pasca kelahiran Womenomics partisipasi perempuan di dalam target-target yang menjadi ukuran keberhasilan Womenomics terus menunjukkan progres positif yang terbilang cepat.

(25)

Akan tetapi, benturan dari konsep budaya yang melahirkan dilema dalam berlangsungnya Womenomics masih menjadi hambatan yang nyata bagi proses transformasi masyarakat Jepang yang responsif gender dari posisi transisi menuju tercapainya masyarakat berwawasan gender yang sesungguhnya. Benturan budaya tersebut yang menjadi hambatan dari segi kondisi sosial Jepang terhadap implementasi kebijakan Womenomics, karena di lihat dari kondisi politik dan ekonomi yang dapat disimpulkan telah mendukung dalam penerapan implementasi kebijakan Womemomics.

Catatan Akhir

1 Toko Sekiguchi, “Abe Wants to Get Japan's Women Working.” 2

Ibid.

3 World Economic Forum, “The Global Gender Gap Report 2013.” 4 Nelson, Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia, Comp.

5

Cabinet Office, Ministry of Internal Affairs and Communications, Ministry of Health, Labour and Welfare, “Japan National Institute of Population and Social Security Research.”

6 Biro Riset LM FEUI, Analisis Ekonomi Beberapa Negara Asia dan AS: Periode 2005-2009, http://www.lmfeui.com/data/Kondisi%20Ekonomi%20Asia%20dan%20AS.pdf, Hal 6. 7

Ibid.

8 Ibid, 7.

9 Trading Economy, “Japan GDP Growth Rate 1980 – 2014.” 10

Office of the Prime Minister of Japan, Abenomics is Progressing! 2014 Edition, 11 Hiroko Seino, “The M-Shaped Curve That Is Peculiar to Japan.”

12 Yoshio, “An Introduction to Japanese Society, Second Edition,” 154. 13 Ibid, 157. 14Ibid. 15Ibid. 16Ibid, 158. 17 Ibid. 18 Ibid.

19 Financial Times, “Definition of Abenomics.” 20

Office of the Prime Minister of Japan, “Abenomics is Progressing! 2014 Edition.”

21 Goldman Sachs Group Inc., “Japan: Portfolio Strategy, Womenomics 3.0: The Time Is Now,” 3. 22 MOFA Japan, “Concluding Observations of the Committee on the Elimination of Discrimination against Women: Japan. 31/05/95, A/50/38, paras, 627-636, (1995),”

23 Gender Equality Bureau Japan, Toward Active Participation of Women as the Core of Growth Strategies (Dari White Paper on Gender Equality 2013).

24 Kathy Matsui. Et.al, Womenomics: Japan’s Hidden Asset, 1. 25

Joyce E. Salisbury dan Peter Seelig, “Gender Roles in Japan: 17th and 18th Centuries.” 26 Rapley J, Understanding Development, 112.

27 Mari Osawa, Government Approaches to Gender Equality in the Mid-1990s, 3. 28

Ibid, 9.

29 Mizuho Aoki, Japan Times, “Abe vows to get more women into workforce after dismal global ranking.” 30 Gender Equality Bureau Japan, “Main Policies.”

(26)

32Ibid, 18.

33 Anthony Fensom, The Diplomat, “Japan’s Womenomics Rebooted.”

34 Official Website Perdana Menteri Jepang, “Speech by Prime Minister Shinzo Abe at the Opening Session of the High Level Round Table, World Assembly for Women in Tokyo 2014.”

35 UNDP, Human Development Report: Work for Development 2015, 224. 36 Statistic Bureau MIC Japan, “Statistical Handbook of Japan 2015: Education.” 37

Joanna Liddle dan Sachiko Nakajima, Rising Suns, Rising Daughters, 152. 38 Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, Kebijakan Publik Pro Gender, 63.

39Ibid. 40 Ibid, 67. 41Ibid. 42 Ibid. 43 Ibid. 44

Gender Equality Bureau Japan, “Declaration on Action” by a group of male leaders.” 45 Nath, Investopedia, “The Fundamentals of Abenomics.”

46 Official Website Prime Minister of Japan, “Yoshihiko Noda.” 47

Michiko Kawahara, “Japan ranked 163rd of 190 nations in ratio of female lawmakers.” 48 WEF, “The Global Gender Gap Report 2014.”

49Ibid.

50 Trading Economics, “Japan Unemployment Rate.” 51

Trading Economics, “Japan Full Time Employment.” 52

Cabinet Office Japan, “内閣府ホーム>仕事と生活の調和推進ホーム,” Op. Cit.

53 Trading Economics, “Japan GDP Growth.” 54 Trading Economics, “Japan GDP Per Capita.”

55 Boye Lafayette De Mente, Japan’s Culture Code Words: 233 Key Terms That Explain the Attitudes and

Behavior of the Japanese, 179.

56 Naoko Takemaru, Women in the Language and Society of Japan: The Linguistic Roots of Bias, 121. 57 Erick Mark Kramer, Op.Cit, 25.

58

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Kramer, Erick Mark, The Emerging Monoculture: Assimilation and the Model Minority,

Greenwood Publishing Group, California, 2003.

Liddle, Joanna dan Sachiko Nakajima, Rising Suns, Rising Daughters: Gender, Class and Power in Japan, Zed Books, London, 2000.

Mansbach, Richard W. & Kirsten L. Rafferty, Introduction to Global Politics, Routledge, New York, 2011.

Mente, Boye Lafayette De, Japan’s Culture Code Words: 233 Key Terms That Explain the

Attitudes and Behavior of the Japanese, Tuttle Publishing, Vermont, 2004.

Nelson, Andrew N, Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia, Kesaint Blanc, Jakarta, 2005. Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti, Kebijakan Publik Pro Gender, UNS Press, Surakarta, 2009. Rapley, John, Understanding Development: Theory and Practice in the Third World, Lynne

Rienner Publishers, St. Boulder, 2007.

Sugimoto, Yoshio, An Introduction to Japanese Society, Second Edition, Cambridge University Press, Cambridge, 2002.

Takemaru, Naoko, Women in the Language and Society of Japan: The Linguistic Roots of Bias, McFarland, North Carolina, 2010.

Tong, P Rosemarie, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, Westview Press, Colorado, 2013.

Internet

Anthony Fenson, “Japan’s Womenomics Rebooted.” The Diplomat edisi 23 Desember 2014, di lihat 23 Januari 2016,

http://thediplomat.com/2014/12/japans-womenomics-rebooted/

Office Japan, “内閣府ホーム>仕事と生活の調和推進ホーム,”

http://www.gender.go.jp/policy/mieruka/company/suisin.html Financial Times, “Definition of Abenomics.” Di lihat 19 Desember 2015,

http://lexicon.ft.com/Term?term=abenomics Gender Equality Bureau Japan, “Main Policies,”

http://www.gender.go.jp/english_contents/mge/index.html

Gender Equality Bureau Japan, “Declaration on Action” by a group of male leaders,” http://www.gender.go.jp/english_contents/mge/declaration/index.html

(28)

Hiroko Seino, “The M-Shaped Curve That Is Peculiar to Japan.” DAWN Newsletter of The DAWN CENTER,

https://www.dawncenter.or.jp/english/publication/edawn/0112/curve.html

Kawahara, Michiko, “Japan ranked 163rd of 190 nations in ratio of female lawmakers,” The Asahi Shimbun Edisi 14 April 2013, di lihat 1 September 2015,

http://ajw.asahi.com/article/behind_news/politics/AJ201304140042

Mizuho Aoki, “Abe vows to get more women into workforce after dismal global ranking.” Japan Times, Edisi 27 Mei 2014, di lihat 12 Januari 2016,

http://www.japantimes.co.jp/news/2014/05/27/business/economy-business/abe-vows-get-women-workforce-dismal-global-ranking/#.VvVbIE8s78d

MOFA Japan, “Concluding Observations of the Committee on the Elimination of

Discrimination against Women: Japan. 31/05/95, A/50/38, paras, 627-636, (1995),” di lihat 21 Februari 2016, http://www.mofa.go.jp/policy/human/conv_women2.html Nath, Investopedia, “The Fundamentals of Abenomics.” Edisi 9 maret 2015, di lihat 13

November 2015, http://www.investopedia.com/articles/personal-finance/030915/fundamentals-abenomics.asp

Official Website Perdana Menteri Jepang, “Speech by Prime Minister Shinzo Abe at the Opening Session of the High Level Round Table, World Assembly for Women in Tokyo 2014,” 13 September 2014, di lihat 9 Agustus 2015,

http://japan.kantei.go.jp/96_abe/statement/201409/waw140913.html Official Website Perdana Menteri Jepang, “Yoshihiko Noda.”

http://japan.kantei.go.jp/noda/meibo/daijin/index_e.html

Statistic Bureau, Ministry of Internal Affairs and Communication Japan, “Monthly Report: Population Estimates by Age (5-Year Age Group) and Sex.” Di lihat 13 Desember 2015, http://www.stat.go.jp/english/data/jinsui/tsuki/

Toko Sekiguchi, “Abe Wants to Get Japan's Women Working,” WSJ , , 12 September 2014, di lihat 13 November 2014. http://online.wsj.com/articles/abes-goal-for-more-women-in-japans-workforce-prompts-debate-1410446737.

Trading Economics, “Japan Full Time Employment,”

http://www.tradingeconomics.com/japan/full-time-employment , Japan GDP Growth Rate 1980 – 2014,

http://www.tradingeconomics.com/japan/gdp- growth , “Japan GDP Per Capita,”

Gambar

Gambar 1. Tingkat Partisipasi Pekerja Jepang  berdasarkan Jenis Kelamin.
Gambar 2. Persentase Peningkatan Perempuan di Sektor Ketenagakerjaan Jepang  Sebelum dan Sesudah Womenomics

Referensi

Dokumen terkait

Jika sudah terkumpul baru mulai beraksi mencari target pasar yag sesuai dengan kriteria-kriteria yang kita cari dari akun profile pesaing, fanpage pesaing dan dari grup pesaing

16 ibid, hlm.. modern untuk dapat mengetahui keadaaan pada masa lalu. Penulisan sejarah berkaca dari kejadian tentang masa lalu juga dapat menjadi pembelajaran tersendiri

III/1 Teks Bacaan Disajikan teks bacaan satu paragraf ,siswa dapat: -menentukan tanda baca koma.. -menentukan tanda baca titik PG PG

berwirausaha.10 Berdasarkan penelitian pertama yang dilakukan oleh Ermaleli Putri terdapat persamaan dengan penelitian sekarang adalah sama-sama meneliti tentang berwirausaha siswa

Peta yang telah dibuat pada Gambar 10 menunjukkan bahwa tingkat kerawanan bencana non alam yang ada di Provinsi Lampung terdapat dua kriteria tingkat

menyimpan bukti transaksi, hal ini merupakan permulaan yang baik karena bukti transaksi merupakan landasan dasar untuk membuat laporan keuangan. Walaupun demikian

Lestari melakukan analisis jumlah pengungkapan sukarela laporan keuangan tahunan perbankan syariah melalui website dengan hasil skor IFR bank syariah paling banyak jumlahnya pada

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa sistem berbasis kasus untuk penanganan mahasiswa bermasalah, dengan studi kasus jurusan Teknik