BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Siklus Karbon
Siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer. Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer teresterial (biasanya termasuk pula sistem air tawar dan material non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon), lautan (termasuk karbon inorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pergerakan karbon, pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam. Lautan mengadung kolam aktif karbon terbesar dekat permukaan bumi, namun demikian laut dalam bagian dari kolam ini mengalami pertukaran yang lambat dengan atmosfer.
Dalam siklus tersebut, molekul karbon dalam bentuk CO2 digunakan oleh tumbuhan menjadi molekul organik yang kompleks seperti gula, lemak, protein dan serat, dengan menggunakan energi matahari melalui proses fotosintesis (Whitten et al., 1999). Proses ini menghasilkan produktivitas primer kotor, yang sebagian dikonsumsi dalam respirasi. Sisanya adalah produktivitas primer bersih. Molekul organik dikonsumsi dikeluarkan menjadi kotoran, diasimilasikan, dikonsumsi, dikeluarkan sebagai kotoran, diasimilasikan dan seterusnya sampai dapat digunakan sebagai energi. Molekul karbon dilepaskan ke dalam atmosfer lagi sebagai CO2, yaitu hasil respirasi organisme konsumen seperti jamur atau binatang, atau tumbuhan sebelum dikonsumsi lagi (Begon et al., 1990).
Daur karbon terdiri dari dua komponen utama: biomassa di atas tanah dan bahan organik di dalam tanah. Di dalam suatu ekosistem yang tidak terganggu, jumlah dan proporsi kedua komponen relatif konstan, dan bahan organik yang dihasilkan oleh vegetasi berangsur-angsur dikembalikan ke dalam tanah. Kejadian-kejadian alami seperti kebakaran, pohon tumbang dan tanah longsor menyebabkan perubahan lokal, tetapi penebangan hutan atau tanaman tahunan menyebabkan perubahan yang cukup besar (Whitten et al., 1999).
Dari siklus karbon tersebut terbentuk kesetimbangan pertukaran karbon (antara yang masuk dan keluar) antar reservoir karbon atau antara satu putaran (loop) spesifik siklus karbon (misalnya atmosfer - biosfer). Analisis neraca karbon dari sebuah kolam atau reservoir dapat memberikan informasi tentang apakah kolam atau reservoir berfungsi sebagai sumber (source) atau rosot (sink) karbondioksida.
Berdasarkan siklus karbon global, akumulasi karbon di atmosfer terus meningkat jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada tahun 1990-an, diperkirakan akumulasi karbon di atmosfer kurang lebih 3,2 ± 0,1 GtC/tahun. Satuan yang digunakan untuk menyatakan jumlah karbon tersebut adalah GtC/tahun (PgC/tahun atau 1015 gC/tahun). Saat ini akumulasi karbon di atmosfer diperkirakan kurang lebih 4,1 ± 0,1 GtC/tahun (IPCC, 2007a). Akumulasi fluks karbon di atmosfer tersebut merupakan jumlah dari emisi karbon yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan semen sebesar 7,2 ± 0,3 GtC/tahun ditambah dengan fluks karbon di lautan-atmosfer -2,2 ± 0,5 GtC/tahun dan fluks karbon di daratan-atmosfer -0,9 ± 0,5 GtC/tahun. Siklus karbon global untuk masing-masing komponen tersebut disajikan pada Tabel 3. Gambaran detil mengenai siklus karbon global serta interaksinya antara daratan-lautan-atmosfer disajikan dalam Gambar 3.
Tabel 3. Siklus karbon global di atmosfer dalam GtC/tahun
1980-an 1990-an 2000-2005
Revisi TAR TAR AR4 AR4
Akumulasi C di atmosfer 3,3 ± 0,1 3,2 ± 0,1 3,2 ± 0,1 4,1 ± 0,1 = Emisi (fosil, semen) 5,4 ± 0,3 6,4 ± 0,4 6,4 ± 0,4 7,2 ± 0,3 Fluks lautan-atmosfer -1,8 ± 0,8 -1,7 ± 0,5 -2,2 ± 0,4 -2,2 ± 0,5 + Fluks daratan-atmosfer -0,3 ± 0,9 -1,4 ± 0,7 -1,0 ± 0,6 -0,9 ± 0,5 Pengurangan dari fluks daratan-atmosfer
= Fluks perubahan lahan 1,4 (0,4 - 2,3)
- 1,6
(0,5 – 2,7)
-
+ Fluks sisa rosot di daratan -1,7 [(-3,4) – 0,2]
- -2,6
[(-4,3)–(-0,9)] Sumber: IPCC, 2007a
Gambar 3. Siklus karbon untuk tahun 1990-an (Sumber : IPCC, 2007a)
Mengingat rumitnya menghitung fluks karbon secara pasti karena besarnya variabilitas dan keterbatasan data serta informasi yang ada, menyebabkan penjelasan lebih detil tentang pengurangan dari fluks daratan-atmosfer untuk periode 2000-2005 belum ditetapkan (IPCC, 2007a). Perkiraan siklus karbon lain dilakukan oleh Sabine et al. (2004) dan Raupach (2005), dengan perkiraan 3,3 ± 0,2 GtC/tahun. Akumulasi fluks karbon di atmosfer tersebut merupakan jumlah dari emisi karbon yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil (BBF) dan semen sebesar 6,4 ± 0,6 GtC/tahun ditambah dengan fluks karbon di lautan-udara -1,9 ± 0,7 GtC/tahun dan fluks karbon di lahan-udara -1,2 ± 0,8 GtC/tahun. Fluks daratan ke atmosfer sebesar -1,2 ± 0,8 GtC/tahun merupakan jumlah dari perubahan lahan 2,2 GtC/tahun dan sisa karbon yang terbenam di daratan -3,4 GtC/tahun (Sabine et al., 2004; Raupach, 2005). Ilustrasi dari siklus karbon dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Siklus karbon global yang dinyatakan dalam PgC (GtC) untuk reservoir dan PgC/tahun (GtC/tahun) untuk fluks. Tanda garis panah hitam menggambarkan fluks sebelum era industri, sedangkan garis panah merah menunjukkan rata-rata fluks antropogenik untuk periode 1980-an dan 1990-an. Angka hitam dalam tanda kurung menunjukkan cadangan reservoir sebelum era industri, sedangkan angka merah dalam tanda kurun menyatakan perubahan yang telah terjadi dari reservoir tersebut periode 1800 hingga 1994 (Sumber: Sabine et al., 2004; Raupach, 2005; Sarmiento and Gruber, 2006).
Di daratan, aktivitas manusia dalam melakukan berbagai kehidupannya akan semakin meningkatkan emisi karbon ke atmosfer (IPCC, 2007a). Gangguan terhadap reservoir karbon yang berlangsung saat ini, meliputi: pembakaran bahan bakar fosil (5,8 PgC/thn), semen (0,1 PgC/thn), perubahan penggunaan lahan dan kebakaran hutan (1,2 PgC/thn). Sedang kerentanan mendatang adalah penggunaan seluruh cadangan bahan bakar fosil yang terdapat di bumi. Untuk lebih jelasnya siklus karbon global detil dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Siklus karbon global detil untuk daratan dan potensi gangguan terhadap cadangan karbon di daratan di masa mendatang (Sumber: Sabine et al., 2004; Field and Raupach, 2004)
Kondisi yang sama terjadi pada pemanfaatan lahan gambut untuk berbagai tujuan. Gambut di seluruh dunia menyimpan antara 192 – 450 GtC (Post et al., 1982), yang merupakan 15 – 35% dari seluruh karbon yang ada di daratan. Lahan gambut yang terdapat di daerah tropika, hanya 10-12% dari total gambut dunia, namun menyimpan kurang lebih 191 GtC (Page and Rieley, 1998) atau sepertiga dari total karbon yang tersimpan di gambut secara keseluruhan. Dengan asumsi bahwa rata-rata ketebalan gambut kurang lebih 5 meter, maka ekosistem gambut tropis dianggap dapat menyimpan kurang lebih 2.500 ton C per hektar, dibanding dalam gambut secara umum rata-rata sebanyak 1.200 ton C per hektar (Diemont et al., 1997). Hal ini menyebabkan gambut tropika cukup penting dalam neraca karbon.
2.2. Fluks Karbon Sungai
Guna memahami siklus karbon global yang lebih baik, saat ini terjadi peningkatan penelitian untuk menghitung transpor sedimen dan karbon dari sungai ke laut (Milliman dan Syvitski, 1992; Meybeck et al., 1993; Ludwig dan Probst, 1998; Coynel et al., 2005). Transpor karbon dari sungai ke laut merupakan keterkaitan dalam siklus biogeokimia karbon antara daratan dan lautan. Kualitas karbon yang ditranspor oleh sungai merupakan komponen yang penting dalam siklus karbon global (Meybeck, 1982; Ittekkot, 1988; Ludwig et al., 1996;
Alamiah
Gangguan langsung
Meybeck and Ragu, 1996; Sempere et al., 2000, Dagg et al., 2004; Wu et al., 2007).
Dalam neraca karbon global, sungai-sungai di tropis seperti di Indonesia cukup penting peranannya dalam memasok karbon ke lautan. Sebab sungai-sungai tersebut menyumbang kurang lebih 60% terhadap air, sedimen dan karbon organik ke lautan (Ludwig et al., 1996; Gillardet et al., 1999; Syvitski et al., 2005; Alkhatib et al., 2007). Meskipun sungai-sungai tersebut tergolong dalam klasifikasi sungai-sungai kecil (Walling and Fang, 2003), namun sungai-sungai tersebut berperan penting dalam memasok DOC ke laut (Baum et al., 2007). Diperkirakan pasokan DOC ke laut dari sungai-sungai di Indonesia kurang lebih 21 Tg/tahun (21 x 1012 gC/tahun) atau 10% dari total pasokan sungai-sungai di dunia (Baum et al., 2007). Meskipun kontribusi bahan organik lautan cukup kecil dalam skala global, namun cukup penting bagi daerah pesisir yang berhubungan dengan sumber makanan (Smith and Hollubough, 1992 dalam Wu et al., 2007; Opsahl and Benner, 1997).
Karbon yang terbawa oleh aliran sungai berbentuk total karbon organik (TOC), total karbon inorganik (TIC), karbon organik terlarut (DOC), karbon inorganik terlarut, (DIC), karbon organik partikulat (POC), dan karbon inorganik partikulat (PIC). TOC merupakan jumlah antara DOC dan POC, sedangkan TIC jumlah dari DIC dan PIC.
DOC adalah fraksi dalam kolam karbon organik yang berbentuk terlarut dalam air. Dalam prakteknya, fraksi ini mengandung seluruh campuran organik yang lolos melalui sebuah filter dengan ukuran pori 0,4 µm. DIC dari 3 senyawa yaitu (Bianchi et al., 2004; Sarmiento and Gruber, 2006):
2 3 3 * 3 2CO HCO CO H DIC = 0,5% 88,6% 10,9%Mengingat cukup sedikit fraksi dari DIC sebagai CO2 terlarut, maka dalam banyak penggunaan, DIC merupakan jumlah dari bikarbonat dan ion karbonat. POC adalah campuran karbon organik yang tidak lolos melalui saringan dengan lubang pori 0,4 µm.
DOC di air permukaan dipengaruhi oleh sumber-sumber alam dan
allocthonous antropogenik di DAS dan oleh produksi autochthonous serta proses-proses degradasi (Sachse et al., 2005). DOC merupakan faktor penting yang menentukan dalam mengendalikan kimia dan biologi permukaan. Oleh karena itu
hal ini penting untuk menentukan komposisi kimia seperti konsentrasi dan fluks dari sungai-sungai dan danau. Namun hanya sedikit studi yang difokuskan pada komposisi (Hedges et al., 1994; Heikinen, 1994; Wu et al., 1997; Sachse et al., 2001a).
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa laju produksi DOC dalam tanah organik, laju penyerapan dalam tanah mineral, dan arah aliran air ke sungai melalui perbedaan horison tanah mempengaruhi konsentrasi DOC dari air yang melalui saluran sungai (McDowell and Wood, 1984; Aiken and Cotsaris, 1995). Tipe bentang lahan berperan dalam menentukan ekspor beberapa zat, khususnya DOC (Eckhardt and Moore, 1990; Kalbitz et al., 1999).
2.3. Kondisi Lingkungan Pulau Jawa
Pada tahun 1861, Wallace membuat pernyataan sebagai berikut: “Secara keseluruhan dan dari berbagai sudut pandang, Jawa mungkin merupakan pulau tropis yang paling menarik di dunia. Di seluruh bagiannya, terutama di bagian timur terletak hutan yang lebat, candi, kuburan, dan patung-patung yang cukup indah; dan peninggalan kota-kota yang cukup luas di mana, harimau, banteng dan kerbau hutan berkeliaran tanpa gangguan” (Wallace, 1861 dalam Whitten et al., 1999).
Dalam perkembangannya Jawa merupakan pusat perekonomian, sosial, politik dan kebudayaan. Hal ini terlihat dari besarnya sumbangan produk domestik bruto nasional, dan Jawa sebagai penyumbang terbesar jika dibandingkan dengan pulau lainnya di Indonesia (Gambar 6). Kekayaan ini disebabkan jumlah penduduknya cukup besar, tetapi juga mencerminkan perilaku Jawa yang menjadi “parasit” bagi daerah lain di Indonesia, misalnya, batubara dari Sumatera atau Kalimantan dibawa ke Jawa untuk dikonversi menjadi tenaga listrik untuk memenuhi kebutuhan industri di Jawa, kayu di Kalimantan dibawa ke Jawa untuk konstruksi dan tujuan lainnya, dan seterusnya (Whitten et al., 1999).
Perdagangan Utilitas Umum K 3% Sw 4% T 1% Sm 11% B 1% J 80% Komunikasi Transportasi Darat Sm 32% T 4% Sw 8% K 4% B 1% J 51% Konstruksi Sw 4% Sm 12% T 3% K 3% B 2% J 76% Perbankan K 5% Sw 2% T 1% Sm 10% B 1% J 81% Hotel Sm 22% T 1% Sw 3% K 3% B 20% J 51% Restoran T 1% Sw 4% Sm 7% K 3% B 2% J 83% Peternakan T 7% Sw 9% J 50% B 5% K 5% Sm 24% Tanaman Pangan T 5% Sw 7% Sm 18% K 4% B 2% J 64% Perikanan T 10% Sw 17% J 27% B 2% K 13% Sm 31% Kehutanan T 9% Sw 3% Sm 32% K 37% B 1% J 18%
Gambar 6. Distribusi produk domestik bruto nasional. Keterangan: J = Jawa, Sm = Sumatera, K = Kalimantan, Sw = Sulawesi, B = Bali , T = Kawasan Timur Indonesia (Sumber: Whitten et al., 1999)
Makin meningkatnya jumlah penduduk dan makin masifnya konsentrasi pembangunan ekonomi di Jawa, membawa Pulau Jawa menuju kota pulau. Selain itu, ancaman yang akan dihadapi berupa kehilangan potensi lahan-lahan pertanian paling subur untuk memenuhi tekanan kebutuhan lahan permukiman dan industri.
Kecenderungan tersebut akan mengancam daya dukung lingkungan, sehingga dalam jangka panjang diperkirakan akan memicu terjadinya tiga macam krisis, yaitu krisis air, pangan dan energi (Indrawati, 2005). Berdasarkan kriteria konsumsi lahan dunia dan kriteria konsumsi lahan khas Indonesia, daya dukung Pulau Jawa sudah terlampaui (KKP, 2006), dan saat ini banyak menghadapi masalah lingkungan (KLH, 2004).
2.3.1. Kependudukan
Jumlah penduduk Pulau Jawa terus bertambah dari tahun ke tahun. Sebagai contoh pada tahun 1930, penduduknya hanya berjumlah 41,72 juta orang, namun tahun 2004 mencapai 128,74 juta orang. Dengan demikian maka peningkatan jumlah penduduknya dalam kurun waktu 74 mencapai 3 kali lipat tahun (BPS, 2004; Whitten et al., 1999) (Gambar 7).
Meskipun laju pertumbuhan penduduk mengalami penurunan pada periode 1980-2000, namun secara kuantitatif jumlah penduduk tetap bertambah. Pada tahun 1980, penduduk bertambah 17 juta, tetapi laju pertambahannya turun selama 2 dasawarsa, yaitu dari 2,23% menjadi 1,78% tahun 1990 dan 1,28% tahun 2000 (BPS, 2004). 41.72 76.1 91.28 107.52 121.29 128.74 63 0 20 40 60 80 100 120 140 1930 1961 1971 1980 1990 2000 2004 P e n d u d u k ( ju ta o rg ) 0 0.5 1 1.5 2 2.5 P e rt u m b u h a n ( %/ th n )
Jml Penduduk Pertumbuhan penduduk
Gambar 7. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Jawa periode 1930 – 2004 (Sumber: BPS, 2004; Whitten et al., 1999)
Besarnya jumlah penduduk di Pulau Jawa menyebabkan kepadatan penduduk pulau tersebut menjadi cukup tinggi yaitu 938 jiwa/km2. Kepadatan penduduk dari tahun ke tahun selalu meningkat. Distribusi kepadatan penduduk terkonsentrasi di DKI Jakarta yang pada tahun 2000 mencapai 12.592 jiwa/km2. Di provinsi lain di Jawa kepadatan penduduk hampir kurang lebih 1.000 jiwa/km2, sedangkan kepadatan penduduk nasional hanya mencapai kurang lebih 108 jiwa/km2 pada tahun 2000. Oleh karena itu kepadatan penduduk Pulau Jawa hampir 9 kali lipat dari kepadatan penduduk nasional. Provinsi Papua yang luasnya hampir 16 persen dari total luas Indonesia kepadatan penduduknya 7 jiwa/km2 (BPS, 2004). Untuk lebih jelasnya perbandingan kepadatan penduduk di Jawa dan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan kepadatan penduduk per provinsi, Jawa dan nasional dari tahun 1971-2000
No Provinsi Kepadatan Penduduk (jiwa/km
2 ) 1971 1980 1990 2000 1 DKI Jakarta 7762 9794 12439 12592 2 Banten - - 493 559 3 Jawa Barat 467 794 1023 1033 4 DI Yogyakarta 785 863 916 980 5 Jawa Tengah 640 780 876 959 6 Jawa Timur 532 609 678 726 7 Pulau Jawa 589 706 832 938 8 Indonesia 62 78 95 108 Sumber: BPS, 2004 2.3.2. Penggunaan Lahan
Dampak aktivitas penggunaan lahan di DAS merupakan isu penting yang dihadapi oleh para pengelola sumberdaya alam (Johnson et al., 2005). Meningkatnya aktivitas manusia untuk merubah ekosistem alam ke lahan budidaya, khususnya pertanian merupakan komponen yang penting dalam perubahan lingkungan global (Herpin et al., 2002). Saat ini, daerah tropis merupakan representasi dari fenomena perubahan tutupan lahan yang cukup cepat, dan pembukaan hutan untuk pertanian mencapai jutaan hektar per tahunnya (Mellilo, 1996).
Bertambahnya penduduk, memunculkan konsekuensi baru berupa perubahan penggunaan lahan guna menopang kehidupan penduduknya (Pfeffer et
al., 2005). Di Jawa, perubahan penggunaan lahan telah berlangsung dari abad 19 lalu akibat konversi lahan dari hutan menjadi peruntukan lain. Hal ini berlangsung sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Pada pertengahan abad 20, kurang lebih 10 juta ha hutan atau kurang lebih 80% luas Pulau Jawa telah dikonversi menjadi lahan pertanian (Smiet, 1990). Pada waktu yang sama penduduk meningkat 10 kali lipat selama kurun waktu 130 tahun (1815-1945). Pada tahun 1998 pertambahan penduduk berbanding terbalik dengan luas hutan yang terus berkurang hingga tersisa kurang lebih 23%, yaitu 7% hutan lindung dan 16% hutan produksi (Lavigne and Gunnel, 2007). Perkembangan sebaran hutan alam antara tahun 1891, 1963 dan 1987 tersebut disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Perkembangan sebaran hutan alam di Jawa tahun 1891, 1963, dan 1987 (Sumber: Whitten et al., 1996 dalam Lavigne & Gunnel, 2006) Dari beberapa tipe penggunaan lahan, konversi lahan sawah di Jawa terus berlangsung hingga saat ini. Secara keseluruhan terjadi pengurangan dari total 3,48 juta ha pada tahun Pelita III (tahun 1978-1983) menjadi 3,38 juta ha pada tahun 1999, yang terjadi di semua propinsi. Pengurangan terbesar terjadi di Jawa Barat dan Banten, yaitu seluas 65 ribu ha. Di DKI hanya terjadi pengurangan lahan sawah sebanyak 7 ribu ha, namun bila dibandingkan dengan luas asal pada Pelita III, luas yang hilang tersebut mencapai 70%. Hal ini terjadi karena pada
umumnya konversi lahan sawah ke non-pertanian terjadi di lokasi yang dekat kota besar, termasuk Jakarta.
Konversi lahan sawah di Jawa yang tidak terkendali tersebut mengancam stabilitas ketahanan pangan nasional. Konversi lahan sawah dari tahun 1981-1999 mencapai 1.627.514 ha, yaitu rata-rata 85.659 ha/tahun, di Jawa mencapai 1.002.055 ha atau kurang lebih 61,6%, dan sisanya di luar Jawa 625.459 ha atau kurang lebih 38,4% (Sudaryanto, 2002). Di Jawa Barat, konversi lahan sawah rata-rata 7.046 ha/tahun selama 1987-1991, di Jawa Tengah rata-rata 6.721 ha/tahun antara 1981-1986, dan di Jawa Timur rata-rata 8.285 ha/tahun selama 1987-1993 (Rusastra dan Budhi, 1997). Dengan demikian, konversi lahan sawah di Jawa rata-rata 22.200 ha/tahun. Sebagian besar lahan sawah yang terkonversi tersebut pada mulanya beririgasi teknis atau setengah teknis dengan produktivitas tinggi (Sumaryanto et al., 2001). Jelas sekali bahwa konversi lahan yang terjadi dua dekade terakhir ini mengakibatkan penurunan produksi padi nasional.
Secara umum dapat dikatakan bahwa hingga saat ini belum ada data baku mengenai besarnya konversi lahan sawah di Jawa yang sesungguhnya. Hal ini berkaitan dengan buruknya sistem pemantauan dan dokumentasi alih fungsi lahan sawah yang ada. Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil atau angka yang berbeda-beda sehingga cukup sulit memastikan mana yang paling benar. Beberapa hasil penelitian mengenai konversi lahan sawah di Jawa tersebut adalah sebagai berikut (Tabel 5).
Tabel 5. Luas konversi lahan sawah berdasarkan beberapa hasil penelitian
Tahun Lokasi
(cakupan)
Jenis lahan Estimasi ha/tahun
Sumber
1985 – 2000 Jawa Barat Sawah 4.000 Delft Hydraulic (1989)
1981 – 1985 Jawa dan Bali Sawah irigasi 13.400 BCEOM (1988)
- Jawa Sawah irigasi 20.000 JICA (1989)
1990 Jawa Sawah irigasi 22.500 Delft Hydraulic (1991)
- Jawa Sawah 20.000 World Bank (1988)
- Indonesia Sawah irigasi 25.900 Delft Hydraulic (1991)
1990 – 1995 Indonesia Sawah 40.000 World Bank (1991)
1981 – 1985 Jawa dan Bali Sawah tadah hujan 5.700 BCEOM (1988) 1990 – 2000 Jawa Sawah tadah hujan 8.200 Delft Hydraulic (1989) Sumber: Sumaryanto et al., 2001
Terus berlangsungnya konversi lahan sawah tersebut karena berlakunya kaidah pemanfaatan terbaik dengan hasil tertinggi (the best and the highest use of land). Hal ini menyebabkan terjadinya penggeseran aktivitas yang intensitas ekonomi penggunaan lahannya lebih rendah ke arah aktivitas lain yang lebih tinggi keuntungan ekonominya (BPN, 2001), seperti dari lahan pertanian ke pariwisata, industri, dan perdagangan. Hal ini menyebabkan penggunaan lahan untuk pertanian menjadi prioritas terakhir bagi berbagai kalangan. Tanpa kesungguhan pemerintah dalam memahami dan melindungi kepentingan mempertahankan lahan sawah bagi ketahanan pangan dan menjaga kualitas lingkungan (Agus et al., 2003), maka konversi lahan akan terus berlangsung, bahkan akan semakin pesat. Oleh karena itu pemerintah perlu merumuskan kebijakan dan langkah-langkah operasional untuk mengurangi terjadinya konversi lahan sawah irigasi produktif.
2.4. Hidrologi
2.4.1. Kondisi Sungai
Perkembangan penggunaan lahan di sejumlah daerah aliran sungai di Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir, telah memberi dampak berupa peningkatan frekuensi, debit, dan volume banjir dari sungai-sungai yang ada (Pawitan, 2004). Proses perubahan yang terjadi secara terus menerus tersebut jelas berimplikasi terhadap perubahan aliran sungai di Jawa.
Perubahan iklim global juga mempengaruhi perubahan pola aliran yang ada, seperti terjadinya penurunan kecenderungan (trend) curah hujan tahunan (Aldrian, 2007b). Secara global, curah hujan tahunan terus berlangsung meningkat di daerah lintang tengah dan tinggi di belahan bumi utara yakni kurang lebih 0,5% hingga 1% per dekade, kecuali di Asia Timur. Di daerah sub tropik (10oN – 30oN), rata-rata curah hujan berkurang kurang lebih 0,3% per dekade, sedangkan di daerah tropis meningkat kurang lebih 0,2 – 0,3% per dekade selama abad 20, yang sebagian besar terjadi di belahan bumi bagian utara. Perubahan curah hujan di belahan bumi bagian selatan belum banyak diketahui secara komprehensif (IPCC, 2007). Namun demikian, beberapa penelitian skala kecil telah banyak dilakukan di daerah-daerah tropis di belahan bumi bagian selatan seperti halnya di Indonesia.
Perubahan iklim global telah membawa perubahan pola musim lokal. Rata-rata jumlah hujan pada musim hujan (Oktober hingga Maret untuk wilayah Jawa) adalah 80 persen dari jumlah hujan tahunan. Perubahan pola musim terjadi dengan pertambahan lama musim kering dan peningkatan rasio jumlah hujan di musim hujan terhadap musim kering yang meningkat di atas 80 persen. Hal ini semakin diperparah dengan terjadi penurunan akumulasi total hujan tahunan secara persisten hampir di seluruh wilayah Indonesia dalam lima dekade terakhir sehingga potensi air tercurah berkurang (Aldrian, 2007a).
Dengan turunnya hujan, maka aliran juga akan berpengaruh. Hubungan hujan-aliran sudah banyak diteliti oleh pakar. Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan akan meningkatkan debit banjir. Hal ini ditunjukkan Pawitan (2004), bahwa gejala penurunan curah hujan Pulau Jawa nampak dari rataan curah hujan tahunan periode 1931-1960 dan 1968-1998 di banyak stasiun yang meliputi sepanjang Jawa bagian selatan yang mencapai selisih 1.000 mm antara dua periode pengamatan tersebut. Penelitian di DAS Citarum menunjukkan bahwa trend penurunan curah hujan dengan laju 10 mm/tahun dan diikuti oleh penurunan debit limpasan sebesar 3 mm/tahun untuk periode 1896-1994.
Semakin jelas bahwa watak hidrologi sungai-sungai di Jawa sudah berubah (Nugroho, 2006). Kondisi hidrologi di Jawa umumnya saat ini dicirikan oleh meningkatnya kejadian ekstrim, seperti banjir dan kekeringan. Karakteristik banjir puncak untuk sungai-sungai di Pulau Jawa mengalami perubahan atau secara statistik dikatakan mengalami pergeseran distribusi peluang (Putuhena et al., 2004). Namun demikian, tidak disebutkan bagaimana perubahan karakteristik hidrologi untuk sungai-sungai di bagian hulu, tengah dan hilir. Keterbatasan data hidrologi seringkali menyebabkan sulitnya melakukan analisis secara menyeluruh mengenai perubahan untuk tiap segmen DAS, sehingga informasi tersebut hingga saat ini belum dapat diketahui. Selain itu, adanya bangunan pengendali aliran seperti bendung, waduk dan sebagainya cukup mempengaruhi fluktuasi aliran sepanjang tahun karena adanya pola pengaturan aliran. Hal ini terlihat seperti di Sungai Serayu yang luasnya lebih kecil dibanding Sungai Brantas, namun debit tahunannya lebih besar karena adanya pengaruh dari pola pengaturan aliran dari waduk-waduk yang ada (Nugroho, 2005).
Perubahan pola kecenderungan debit ternyata juga diikuti oleh perubahan karakteristik debit banjir. Artinya debit banjir ekstrim dan debit kering ekstrim lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Banjir puncak atau banjir maksimum tahunan pada periode tahun 1970-2000 mengalami perubahan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ada indikasi bahwa banjir-banjir besar lebih sering terjadi. Periode setelah tahun 1990 merupakan masa nilai ekstrim besar (banjir) dan kecil (kekeringan) sering terjadi (Putuhena et al., 2004). Perubahan tersebut terlihat dari seri data debit maksimum tahunan yang cukup panjang, seperti halnya distribusi peluang banjir puncak di Citarum-Nanjung selama 40 tahun (Gambar 9) dan Cisadane–Batubeulah selama 30 tahun (Gambar 10). Perubahan atau pergeseran distribusi peluang mencirikan adanya penyimpangan, apalagi kalau pergeseran tersebut menghasilkan peluang terjadinya debit yang lebih besar menjadi makin meningkat.
Gambar 9. Distribusi peluang banjir puncak Citarum-Nanjung (luas DAS = 1.675 km2) (Sumber: Putuhena et al., 2004)
Gambar 10. Distribusi peluang banjir puncak Cisadane-Batubeulah, luas DAS = 820 km2) (Sumber : Putuhena et al., 2004)
Berdasarkan analisis data debit sungai-sungai utama di Pulau Jawa menunjukkan bahwa discharge budget pada estuari bervariasi yang dipengaruhi oleh luas DAS dan bangunan pengendali debit, seperti bendungan atau waduk. Sungai Bengawan Solo mempunyai discharge budget terbesar di Pulau Jawa, yaitu mencapai 153.390,2 juta m3/tahun.
Karakteristik debit sungai sebagaimana tercantum pada Tabel 6 menunjukkan variasi aliran yang tinggi, baik untuk rejim aliran (koefisien rejim sungai = KRS) sungai-sungai tertentu maupun antar-sungai. KRS bervariasi antara 65 hingga 1213. KRS ini dihitung berdasarkan debit maksimum ekstrim dan minimum ekstrim dari data series yang ada. Jika rasio ini digunakan untuk indikator kesehatan dari DAS tersebut, dengan menggunakan ketentuan < 40 mengindikasikan baik, rasio 40 – 80 sedang, dan > 80 buruk (Beccera, 1995), maka Sungai Opak dan Rejoso kondisi alirannya tergolong sedang, sedangkan sungai-sungai lainnya buruk. Namun demikian, kesimpulan tersebut kurang tepat untuk menyatakan kesehatan DAS karena masih banyaknya indikator lain.
Tabel 6. Karakteristik debit sungai-sungai utama di Pulau Jawa No Sungai Luas dari Stasiun (km2) Debit Tahunan Rerata (m3/det) Qmaks/ Qmin Qmaks/A (m3/det/100 km2) 1 Ciujung 1857 99,7 190 26,48 2 Cisadane 820 134,7 143 31,04 3 Citarum 5342 178 92 28,63 4 Cimanuk 3322 127.7 713 30,12 5 Serang 1642 93,9 324 25,60 6 Citanduy 2515 204,1 111,2 20,16 7 Serayu 2631 169,2 165 27,47 8 Progo 2008 79,4 183 13,62 9 Bengawan Solo 14247 404,3 541 11,73 10 Brantas 11005 227 205 37,38 11 Rejoso 264 27,3 66 17,75 12 Sampean 1120 44,5 88 10,20 Sumber : Nugroho, 2005
Hubungan antara luas DAS dan debit tahunan rata-rata dari sejumlah sungai di Jawa menunjukkan korelasi yang cukup besar yaitu 0,89. Debit sungai yang besar terjadi pada sungai yang memiliki luas DAS yang besar (Gambar 11). Berdasarkan hubungan tersebut maka Sungai Bengawan Solo, Brantas, Citanduy dan Citarum memiliki debit yang lebih besar dibandingkan dengan sungai-sungai lain di Jawa. 0 4000 8000 12000 16000 C iu ju n g C is a d a n e C ita ru m C im a n u k S e ra n g C ita n d u y S e ra y u P ro g o B e n g a w a n S o lo B ra n ta s R e jo s o S a m p e a n L u a s ( k m 2 ) 0 90 180 270 360 450 Q r e ra ta ( m 3 /d e t)
Luas (km 2) Q rata-rata (m 3/det)
Gambar 11. Hubungan antara luas DAS dan debit tahunan rerata (Sumber: Nugroho, 2005)
Indikator penting untuk menilai karakteristik hidrologi banjir dari suatu sungai adalah debit jenis (specific discharge) yang dibataskan sebagai besar debit per satuan luas (m3/detik/100 km2) (UNESCO-IHP Publications, 2000; 2002).
Nampak bahwa sungai-sungai utama di Pulau Jawa ini memiliki sifat banjir yang
moderate dibandingkan dengan sungai-sungai di dunia, yaitu dengan debit jenis (Qmax/A) antara 10-80 m3/dt/100 km2.
Secara spasial, jumlah debit aliran yang bermuara ke pantai utara Jawa lebih banyak dibandingkan dengan di sebelah selatan. Selain sungai-sungainya lebih besar, juga mempunyai luas DAS yang lebih besar, sehingga debit sungainya lebih besar. Sungai-sungai yang memiliki luas DAS yang cukup besar yang mengalir ke arah utara Jawa antara lain Sungai Ciujung, Cisadane, Ciliwung, Bekasi, Citarum, Cimanuk, Pemali, Comal, Jratunseluna (Jragung, Tuntang, Serang, Lusi dan Juwana), dan Bengawan Solo. Sungai-sungai yang bermuara ke Samudera Hindia dengan DAS yang cukup luas antara lain Sungai Cimandiri, Cibuni, Cibulan, Citanduy, Serayu, Opak, Progo, dan Grindulu. Luas DAS dari sungai-sungai yang mengalir ke Laut Jawa cukup dipengaruhi oleh kondisi topografi Jawa, yakni di sebelah utara lebih landai dibandingkan dengan selatan. Secara keseluruhan kurang lebih 68,7% (475.601 juta m3/tahun) mengalir ke arah utara Pulau Jawa, dan kurang lebih 31,3% (216.599 juta m3/tahun) mengalir ke arah selatan.
Pola aliran dari masing-masing sungai mempunyai karakteristik sendiri. Secara umum, dapat dikatakan bahwa pola aliran sungai-sungai di Jawa mempunyai bentuk yang hampir sama dengan pola hujan, dimana puncak aliran terjadi pada bulan Januari hingga April. Aliran tersebut selanjutnya menurun alirannya hingga September – Oktober dan kemudian mengalami kenaikan kembali (Nugroho, 2005). Pola aliran masing-masing sungai pada estuari mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Pola aliran di Sungai Ciujung, Cisadane, Ciliwung, dan Cimanuk yang geografisnya relatif tidak jauh jarak antara estuari satu dengan lainnya, mempunyai pola yang berbeda-beda. Pada pola Sungai Ciujung, puncak aliran terjadi pada bulan Januari kemudian menurun hingga Oktober, saat mulainya musim penghujan. Pola Sungai Cisadane hampir mirip dengan Cimanuk, yaitu dari Januari hingga Mei alirannya relatif tidak mengalami perubahan fluktuasi yang nyata, kemudian turun hingga bulan Agustus dan pada September naik kembali. Sedangkan pola Ciliwung mempunyai kemiripan dengan pola Sungai Citanduy, Opak, Bengawan Solo, Serayu, dan
Sampean, yaitu puncak aliran terjadi pada bulan Februari. Aliran sungai ke estuari yang mengalir ke selatan Jawa relatif mirip dengan puncak aliran pada bulan Februari.
2.4.2. Bendungan
Secara global, saat ini terdapat lebih dari 41.000 bendungan besar (tinggi >15 m). Hal ini menunjukkan adanya peningkatan 7 kali lipat pembangunan bendungan dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, dan jumlahnya akan terus meningkat (WRI, 2000). Selain itu, banyak reservoir kecil dan bendungan-bendungan kecil dibangun. Bendungan-bendungan-bendungan tersebut dibangun untuk irigasi, PLTA, pasokan industri, domestik, pengendali banjir dan lainnya. Penggenangan tersebut menyebabkan terjadinya pengurangan karbon kurang lebih 2 GtC/tahun, yang setara dengan hilangnya karbon dalam model karbon global (Smith et al., 2001). Dalam hal ini bendungan-bendungan besar di dunia tersebut berperan sebagai penjebak karbon atau menghambat perpindahan karbon dari daratan menuju laut melalui sungai.
Dampak pembendungan dan irigasi dari sungai ternyata banyak menimbulkan masalah lain, seperti: a) menurunnya pasokan sedimen ke pantai di seluruh dunia (Milliman, 1997); b) meningkatnya intrusi air laut (Grossland et al., 2005); c) menurunkan pola produktivitas, keanekaragaman dan sifat-sifat ekosistem di estuari (Baird and Heymans, 1996); d) menurunkan kandungan silika ke perairan pesisir (Conley et al., 1993); dan e) pengurangan karbon dan mempercepat proses eutrofikasi seperti di Sungai Mississippi, Amazon dan Nil (Turner et al., 1998; Ittekkot, 2000; Nixon, 2003; Chen, 2002, 2004). Pasokan air, kandungan hara, karbon, sedimen dan material lain yang terlarut dalam air tertahan oleh bendungan dan mengendap di dasar bendungan sehingga daerah hilir lebih sedikit pasokannya jika dibandingkan dengan sebelumnya ketika belum dibangun bendungan tersebut.
Di Indonesia terdapat bendungan kurang lebih 200 buah bendungan besar. Di Jawa, bendungan besar dibangun sejak pemerintahan Kolonial Belanda hingga sekarang dengan multi fungsi (Tabel 7). Pada masa yang akan datang diperkirakan jumlah bendungan akan terus meningkat karena adanya rencana pembangunan
bendungan baru. Bendungan tersebut cukup diperlukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan air yang semakin meningkat (Nippon Koei, 2004). Namun demikian, pembangunan bendungan makin sulit dilakukan karena keterbatasan lahan dan kendala sosial budaya masyarakat, khususnya berkaitan dengan penolakan penduduk untuk dilakukan relokasi karena adanya rencana penggenangan dari hasil pembangunan bendungan.
Tabel 7. Karakteristik bendungan-bendungan tinggi (> 30 m) di Pulau Jawa No Bendungan Provinsi Sungai Luas
DAS (km2 ) Tinggi (m) Kapasitas Penyimpanan (MCM) Fungsi Luas Irigasi (Ha) Selesai Dibangun Gross Net
1 Pongkor Banten Cikaniti 3 34 1,8 1,8 W - 1996
2 Saguling Jabar Citarum 2.283 99 875 611 L - 1986 3 Cirata Jabar Citarum 4.119 125 2.165 796 L - 1988 4 Jatiluhur Jabar Serayu 4.500 105 2.556 1.790 I, L 240.000 1967 5 Darma Jabar Cisanggarung 24 37,5 37,9 33,9 I 22.316 1962 6 Cipanunjang Jabar Cisangkuy 8 33,9 22,4 18,5 W - 1930 7 Kedungombo Jateng Serang 614 62 726 634,6 I,L 59.645 1989 8 Sempor Jateng Sempor 43 58 52 47 I,L 17.000 1978 9 Wonogiri Jateng B.Solo 1.350 40 560 440 I,L,B 23.600 1982 10 Cacaban Jateng Cacaban 59 38 90 90 I 17.481 1958 11 Gembong Jateng Juwono 15 38 9,5 9,5 I 3.855 1933 12 Wadaslintang Jateng Bedegolan 196 122 443 408 I, L 31.634 1987 13 Mrica Jateng Serayu 1.022 110 193,5 47 L - 1989
14 Garung Jateng Menjer 47 36 27 14,9 L - 1983
15 Song Putri Jateng B.Solo 3 32 0,7 0,7 I 170 1984 16 Malahayu Jateng Kabuyutan 63 31,4 39,9 38 I 18.456 1940 17 Sermo Yogyakarta Serang 22 55 25 21,9 I 3.550 1996 18 Selorejo Jatim Brantas 236 49 62,3 54,6 I,L,A 5.700 1972 19 Wlingi Jatim Brantas 2.890 47 24 5.2 I,L,B 13.600 1977 20 Sampean
Baru Jatim Sampean 735 41 2,2 2,2 I,L 9.800 1983 21 Bening Jatim Bening 90 36 37,5 33 I,L 8.600 1984 22 Pacal Jatim B.Solo 84 35 41,2 39,2 I 16.600 1933 23 Sengguruh Jatim Brantas 1.659 34 21,5 2,5 L - 1988 24 Pondok Jatim B.Madiun 33 32 30,9 28 I,L 3.500 1995 25 Wonorejo Jatim Gondang 126 100 122 106 M,L,B - 2001 26 Sutami Jatim Brantas 2.052 97.5 343 253 I,L,A,B 34.000 1973
27 Lahor Jatim Brantas 170 74 36,1 29,4 R - 1977
Sumber: Nippon Koei, 2004 (tidak dipublikasikan)
Keterangan: I = irigasi; L = PLTA; B = pengendali banjir; A = penyediaan air bersih; R = regulasi; W = pengendali limbah Masalah utama yang terjadi pada bendungan-bendungan di Jawa adalah besarnya sedimentasi pada waduk yang ada (Tabel 8). Tanah yang berasal dari erosi di DAS yang relatif cukup tinggi mengakibatkan sungai, saluran, danau dan waduk mendangkal sehingga mengurangi isi efektif waduk. Pendangkalan waduk di Indonesia tergolong pada pendangkalan sedang-tinggi.
Tabel 8. Informasi pendangkalan beberapa waduk di Jawa No Bendungan Luas DAS (km2) DAS Volume Tampung (106 m3) Sedimen (106 m3) Umur (tahun) Laju Sedimentasi (106 m3/tahun) Penurunan Tampungan (%/tahun) 1 Gajah Mungkur 1350 B. Solo 735,0 320,00 21 15,20 1,40 2 Sengguruh 1659 Brantas 21,5 19,18 15 1,20 5,58 3 Selorejo 236 Brantas 62,3 19,61 33 0,60 0,95 4 Sutami 2050 Brantas 343,0 167,39 30 5,57 1,62 5 Bening 85.5 Brantas 33,0 8,83 19 0,46 1,40 6 Lahor 160 Brantas 36,1 4,09 28 0,15 0,40 7 Mrica 1022 Serayu 193,5 56,25 15 3,75 1,94 8 Cacaban 59 Cacaban 90,0 37,02 45 0,82 0,91 9 Malahayu 63 Kabuyutan 69,0 36,88 76 0,48 0,70 10 Wadaslintang 196 Serayu 443,0 - 16 - - 11 Sempor 43 Sempor 52,0 12,04 26 0,46 0,90 12 Kedung Ombo 614 Serang 723,0 - 14 - - 13 Saguling 2283 Citarum 875,0 85,00 17 5,00 0,58
Sumber: Ditjen SDA, 2006 (tidak dipublikasikan) 2.5. Kesehatan DAS
DAS dapat dipandang sebagai sistem alami yang menjadi tempat berlangsungnya proses-proses biofisik hidrologis maupun kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang kompleks (Salomons, 2004). Proses-proses biofisik hidrologis DAS merupakan proses alami sebagai bagian dari suatu daur hidrologi atau yang dikenal sebagai siklus hidrologi. Sedangkan kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat merupakan bentuk intervensi manusia terhadap sistem alami DAS, seperti pengembangan lahan kawasan budidaya. Hal ini tidak lepas dari semakin meningkatnya tuntutan atas sumberdaya alam (air, tanah, dan hutan) yang disebabkan meningkatnya pertumbuhan penduduk yang membawa akibat pada perubahan kondisi tata air DAS (Departemen Kehutanan, 2009).
Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali mengarah pada kondisi yang kurang diinginkan, yaitu peningkatan erosi dan sedimentasi, penurunan produktivitas lahan, dan percepatan degradasi lahan (Smith et al., 2003. Hasil akhir perubahan ini tidak hanya berdampak nyata secara biofisik berupa peningkatan luas lahan kritis dan penurunan daya dukung lahan, namun juga secara sosial ekonomi menyebabkan masyarakat menjadi semakin kehilangan kemampuan untuk berusaha di lahannya. Oleh karena itu, peningkatan fungsi kawasan budidaya
memerlukan perencanaan terpadu agar beberapa tujuan dan sasaran pengelolaan DAS tercapai, seperti: 1) erosi tanah terkendali, 2) hasil air optimal, dan 3) produktivitas dan daya dukung lahan terjaga. Dengan demikian degradasi lahan dapat terkendali dan kesejahteraan masyarakat dapat terjamin
Mengingat komponen yang bekerja di dalam suatu DAS cukup banyak dan saling berkaitan seperti komponen biofisik, hidrologis, sosial, ekonomi dan kelembagaan, maka cukup sulit untuk menilai kinerja dari DAS tersebut. merupakan kunci dalam program monitoring dan evaluasi (monev) kinerja DAS, yaitu dalam upaya mengumpulkan dan menghimpun data dan informasi yang dibutuhkan untuk tujuan evaluasi dalam rangka menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pengelolaan DAS.
Asdak (1995) memandang bahwa DAS sebagai suatu ekosistem sehingga bisa merupakan satuan (unit) monitoring dan evaluasi (monev) karena setiap ada masukan ke dalam ekosistem tersebut dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang berlangsung dengan melihat keluaran dari ekosistem tersebut. Ekosistem adalah Wilayah DAS yang terdiri dari komponen tanah, vegetasi dan air/sungai berperan sebagai prosesor. Kegiatan monev yang menghasilkan informasi tentang tingkat kesehatan DAS yang bersangkutan pada sistem pengelolaan yang diterapkan bisa dipandang sebagai kegiatan diagnose. Berdasarkqan pemahaman di atas dibangun sistem diagnose kesehatan DAS melalui rangkaian penyelenggaraan monev DAS. Pada akhirnya hasil diagnose tersebut diharapkan dapat merupakan dasar dalam penyusunan perencanaan dan implementasi pengelolaan DAS sebagai suatu upaya terapi atau penyehatan.
Penentuan kesehatan DAS saat ini telah banyak dikembangkan untuk menilai kinerja pengelolaan DAS. Metode yang digunakan adalah metode pembobotan dan skoring dari berbagai parameter yang ada di dalam DAS. Dalam Peraturan Dirjen RLPS Nomor: P.04/V-SET/2009 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi DAS disebutkan bahwa untuk kegiatan monev DAS digunakan lima kriteria yaitu penggunaan lahan, tata air, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Kriteria penggunaan lahan dan tata air dianalisis untuk mengetahui kondisi kelestarian lingkungan berdasarkan parameter biogeofisik DAS. Jumlah indikator yang digunakan sebanyak 19 indikator dan 21 parameter. Bobot penilaian
indikator yang digunakan adalah penggunaan lahan (20%), tata air (50%), sosial (10%), ekonomi (10%) dan kelembagaan (10%). Penentuan bobot pada masing-masing indikator dan parameter tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pakar melalui diskusi yang cukup intensif (Tabel 9).
Tabel 9. Indikator, parameter dan pembobotannya untuk monev DAS
No Indikator Parameter
1 Penggunaan lahan (20%) – Indeks penggunaan lahan permanen (4%)
– Kemampuan penggunaan lahan (4%)
– Indeks erosi (8%)
– Kerawanan tanah longsor (5%) 2 Tata air (50%) – Koefisien rejim sungai (10%)
– Koefisien variansi (5%)
– Indeks penggunaan air (5%)
– Koefisien limpasan (10%)
– Sedimentasi (10%)
– Kualitas air (10%)
3 Sosial (10%) – Kepedulian individu (3%)
– Partisipasi masyarakat (3%)
– Tekanan penduduk (4%)
4 Ekonomi (10%) – Ketergantungan terhadap lahan (4%)
– Tingkat pendapatan (2%)
– Produktivitas lahan (2%)
– Jasa lingkungan (2%)
5 Kelembagaan (10%) – Pemberdayaan lembaga lokal (2%)
– Ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah (2%
– KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi, sinergi = (4%)
– Kegiatan usaha bersama (2%) Sumber: Departemen Kehutanan, 2009
Namun perlu disadari bahwa dalam penetapan pembobotan untuk evaluasi kinerja DAS ini masih diperlukan informasi permasalahan DAS yang dominan, apakah lebih berat ke aspek biofisik atau sosial-ekonomi kelembagaan. Untuk saat ini nilai pembobotannya yaitu: tata air (50 %), penggunaan lahan (20 %), sosial (10 %), ekonomi (10 %), dan kelembagaan (10 %). Meskipun hasil monev DAS ini bersifat indikatif, maka pengujian lapangan yang dilakukan secara terus-menerus atau berurutan dan konsisten dengan metode yang sama untuk jangka waktu paling tidak untuk selama 2-5 tahun cukup diperlukan untuk menilai kinerja DAS.
Batasan operasional yang digunakan mengenai definisi kriteria adalah suatu aspek yang dipandang penting untuk memungkinkan penilaian atas pengelolaan suatu DAS. Indikator adalah atribut kuantitatif dan atau kualitatif dan atau deskriptif yang apabila diukur atau dipantau secara periodik menunjukkan arah perubahan. Parameter adalah variabel yang dipergunakan untuk
menunjukkan secara kuantitatif dan atau kualitatif yang diduga erat kaitannya dengan kerusakan DAS (Soejoko dan Fandeli, 2001).
Metode lain yang dikembangkan untuk menentukan tingkat kesehatan DAS adalah metode yang digunakan oleh Paimin et al., (2001) yang menggunakan tujuh kriteria, yaitu hidrolologi dengan bobot 40%, produksi (5%), morfometri DAS (5%), lahan (20%), masukan teknologi (20%), sosial (15%), dan ekonomi (15%). Indikator yang digunakan sebanyak 28 indikator, yaitu hidrologi 11 indikator, produksi (2), morfometri DAS (1), lahan (4), masukan teknologi (4) dan sosial dan ekonomi (8).
Hal yang sama dilakukan oleh Gunawan (2001) yang mengembangan penentuan kesehatan dengan memanfaatkan teknologi sistem informasi geografi di DAS Bengawan Solo. Metode yang dilakukan menggunakan lima kriteria yaitu: 1) limpasan dan debit sungai; 2) erosi dan sedimentasi; 3) penutup lahan; 4) sosial; dan 5) ekonomi, sedangkan indikator yang digunakan adalah sebanyak 14 indikator. Dari masing-masing indikator dikuantifikasikan ke dalam lima indeks yaitu cukup baik, baik, sedang, jelek dan cukup jelek. Selanjutnya masing-masing indeks dijumlahkan tanpa dikalikan dengan pembobotan. Alasan tidak adanya pembobotan karena pembobotan merupakan profesionalism adjustment yang tidak berbeda dengan subyektivitas seseorang yang agak dominan sehingga sulit dikelompokkan.
Soejoko dan Fandeli (2001) mengembangkan metode penentuan kesehatan DAS di Serayu dengan menggunakan 14 indikator dari aspek fisik dan biotis yang mengindikasikan kerusakan ekosistem DAS. Dari data pengamatan di lapangan diuji penilaian dengan mengkonversikan ke dalam bentuk skala. Untuk parameter tertentu yang kondisinya baik diberikan skala tinggi. Sebaliknya kondisi jelek diberikan skala 1. Demikian pula diberikan pembobotan terhadap setiap parameter. Nilai bobot tersebut berada pada rentang 1 – 100. Bobot nilai 1 jika cukup tidak penting dan bobot 100 jika parameter tersebut cukup penting. Hasil perkalian antara skala dari masing-masing indikator dikalikan dengan bobot sehingga diketahui tingkat kekritisan DAS yaitu dari cukup kritis hingga cukup bagus.
Demikian beragamnya metode penentuan kesehatan DAS yang ada menyebabkan Departemen Kehutanan dengan Peraturan Dirjen RLPS Nomor: P.04/V-SET/2009 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi DAS mencoba memberikan pedoman mengenai penentuan yang standar. Namun demikian, penerapannya cukup sulit karena cukup terbatasnya data yang berkaitan dengan indikator yang cukup banyak.