• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci : Barang Sejenis, Merek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata Kunci : Barang Sejenis, Merek"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Judul : PENERAPAN DEFINISI BARANG SEJENIS DALAM HUKUM MEREK INDONESIA Nama Penulis : NOVITA ARIEFIANI PUTRI

Abstrak :

Skripsi ini membahas mengenai penerapan definisi barang sejenis dalam hukum merek di Indonesia. Dimana Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001 Pasal 6 ayat (1) huruf a tentang Merek menyebutkan bahwa “Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis”. Penilaian pendekatan barang sejenis sangat berhubungan erat dengan penilaian adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhan atas suatu merek, untuk memperbandingkan antara merek yang satu dan lainnya yang menjadi indikasi penolakan pendaftaran atau pembatalan suatu merek oleh Dirjen HAKI. Namun, Disini definisi barang dan/atau jasa yang sejenis tidak dijelaskan lebih lanjut baik dalam Peraturan Perundang-undangan maupun peraturan terkait lainnya. Sedangkan putusan hakim terkait penilaian barang sejenis akan sengketa merek semakin banyak dan memerlukan adanya suatu pedoman penerapan penilaian barang sejenis agar terjadi keseragaman dalam Putusan yang dibuat.

(2)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Merek suatu perusahaan lebih bernilai dibandingkan dengan asset riil perusahaan tersebut.1 Merek perlu untuk dilindungi karena berfungsi sebagai daya pembeda untuk membedakan barang produsen yang satu dengan barang kompetitornya.2 Perbedaan merek satu dengan yang lain ini dapat memudahkan konsumen dalam memilih suatu produk barang atau jasa dan dapat memudahkan konsumen dalam memilih suatu produk barang atau jasa dan dapat menguatkan kesetiaan konsumen pada suatu merek tetentu.

Undang-Undang tentang Merek No. 15 Tahun 2001 merupakan Undang-Undang tentang Merek terbaru yang digunakan pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap Merek sebagai salah satu wujud perlindungan pemerintah dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual. Pengaturan tentang merek ini dimaksudkan agar kepentingan para pihak yang terkait dengan merek tersebut dapat terlindungi. Definisi tentang merek dalam Undang-Undang ini adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.3

Menurut Susanto dan Wijanarko dalam menghadapi persaingan yang ketat, merek yang kuat merupakan suatu pembeda yang jelas, bernilai, dan berkesinambungan, menjadi ujung tombak bagi daya saing perusahaan dan sangat membantu dalam strategi pemasaran.4 Dilain pihak, Hermawan Kartajaya mengungkapkan bahwa merek sebuah barang atau jasa sangat erat hubungannya dengan pemasaran. Oleh karena itu tanpa merek, barang atau jasa di pasar menjadi tidak jelas identitasnya.5 Dengan merek itu pulalah, yang dapat menjadi suatu acuan bagi konsumen agar tidak terjadi kesalahan atau kesulitan dalam membeli produk.

1

Tim Lindsey, edit., Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, cet.ke-2, (Bandung: Alumni,2003),131.

2 World Intellectual Property Organization Intellectual Property Handbook: policy, law, and Use,

Chapter 2-Fields of Intellectual Property Protection., Article 2.318

3Indonesia, Undang-Undang tentang Merek, UU No. 15 tahun 2001, LN. Tahun 2001 No. 110, TLN

No, 4131, Pasal 1 angka 1.

4A.B. Susanto dan Himawan Widjanarko, Power Branding: Membangun Merek Unggul dan

Organisasi Pendukungnya, (Jakarta: Quantum & Bisnis Manajemen, 2004), 2.

5

Dennie, Haruskah Sebuah Produk Diberi Merek? <htp://yukbisnis.com/content/view/176/50/>, diakses pada 5 Oktober 2012

(3)

Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001 Pasal 6 ayat (1) huruf a tentang Merek menyebutkan bahwa “Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis, atau dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis atau dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal.”6 Disini definisi barang dan/atau jasa yang sejenis tidak dijelaskan lebih lanjut. Namun pendekatan barang sejenis sangat berhubungan erat dengan persamaan pada pokoknya atau keseluruhan serta merek terkenal yang menjadi indikasi pembatalan atau penolakan pendaftaran suatu merek oleh Dirjen HAKI.

Berdasarkan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Untuk menentukan adanya persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya harus memperhatikan unsur-unsur sebagai berikut:

1. Adanya kesan yang sama dari segi bentuk; 2. Adanya persamaan dari cara penempatan;

3. Atau kombinasi antara unsur-unsur maupun persamaan bunyi yang terdapat dalam merek-merek yang bersangkutan;

4. Serta adanya persamaan jenis barang.

Permasalah mengenai indikator barang sejenis terkait persamaan atau kemiripan merek atas suatu barang dan jasa menjadi salah satu permasalahan yang dimiliki oleh produsen. Karena belum adanya peraturan, indikator atau definisi yang pasti mengenai barang dan/atau jasa sejenis yang dimiliki oleh produsen menjadi celah bagi kompetitor untuk mendompleng merek yang sudah ada atau sudah terkenal, meskipun dengan bentuk yang berbeda dengan merek pendahulunya. Dilain pihak, indikator barang sejenis ini menjadi sangat penting karena, pendekatan barang sejenis dijadikan salah satu indikator dalam menilai apakah suatu barang atau jasa memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan barang atau jasa milik pihak lain, dalam kaitannya dengan pendaftaran merek, pembatalan merek serta pelanggaran merek yang terjadi.

Dilihat dari hasil putusan Pengadilan Niaga terkait perkara merek dengan dasar putusan menyebutkan suatu pendekatan barang sejenis sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi hakim, masih terdapat beberapa perbedaan antara putusan yang satu dengan yang lain yang mengakibatkan pendekatan, batasan atau acuan dalam mengaplikasikan barang sejenis masih menjadi hal yang kabur.

6 Indonesia, ..., Pasal 6 ayat (1).

(4)

Dalam kasus Pembatalan Merek antara Merek Mobil Toyota INNOVA dengan Merek Ban INNOVA (Putusan Mahkamah Agung No. 161 K/Pdt.Sus/2012) yang dianggap memiliki persamaan dalam hal penulisan dan cara baca INNOVA ,meskipun keduanya menurut penilaian Direktorat Jenderal HKI Sub Direktorat merek bukanlah barang yang sejenis. Dimana Merek TOYOTA INNOVA melindungi kendaraan bermotor dan komponennya, sedangkan merek INNOVA dan LOGO milik tergugat melindungi Ban luar, ban dalam kendaraan bermotor roda empat dan roda dua. Meskipun keduanya dalam kelas yang sama namun bukanlah termasuk barang yang sejenis menurut penilaian Direktorat Jendral HaKI karena masing-masing mempunyai ciri khas dan penggunaan yang berbeda satu sama lain dan kalangan masyarakat yang mengkonsumsi (kalangan menengah ke atas) mengetahui bahwa dalam pembelian mobil dan pembelian ban mobil dalam keadaan terpisah, sehingga dinilai tidak akan menimbulkan suatu kebingungan dalam masyarakat. Sedangkan menurut penilaian hakim Pengadilan Niaga keduanya termasuk dalam kategori barang sejenis dikarenakan pada dasarnya, keduanya jika disebandingkan akan memberikan kebingungan di masyarakat apakah keduanya berasal dari produsen yang sama atau tidak karena memiliki keterkaitan dalam penggunaannya.

Lain halnya dengan merek Holland Bakery dimana dalam kasus tersebut, barang dan jasa (baik dalam bentuk maupun output yang dihasilkan berbeda dalam penilaian hakim) yang menggunakan nama Holland tersebut adalah barang sejenis. Karena nama Holland digunakan dalam industry yang sama. Disini batasan barang sejenis tidak hanya diperbandingkan antara barang dengan barang namun meluas menjadi barang dengan jasa. Namun, hakim tidak memberikan definisi lebih lanjut terkait mengapa kedua objek tersebut dilihat sebagai barang yang sejenis. Hakim lebih mempertimbangkan unsur persamaan penulisan tanpa terlalu memperhatikan unsur terkait lainnya pada saat memperbandingkan kedua merek yang bersangkutan di muka pengadilan.

Dilihat dari pertimbangan kedua kasus tersebut, dapat dilihat bahwa unsur barang sejenis diperlukan dalam melakukan suatu penilaian terhadap persamaan merek. Namun, dengan tidak adanya penjelasan lebih lanjut baik dalam Undang-Undang maupun peraturan terkait lainnya, hakim dalam menentukan suatu jenis barang masih berdasarkan penilaian semata. Karena tidak adanya patokan yang pasti dalam menyeragamkan penilaian atas persamaan jenis barang tersebut. Meskipun pendekatan barang sejenis telah banyak menjadi suatu acuan dalam Undang-Undang Merek di Indonesia, pendekatan atau indikator untuk menentukan apakah suatu barang dan jasa itu termasuk sejenis atau tidak masih belum ada kepastian atau peraturan yang mengatur.

(5)

Dilihat dari banyaknya kasus yang terkait dengan merek dengan pendekatan istilah barang dan/atau jasa sejenis dan tidak sejenis menjadi salah satu hal menarik untuk dikaji, terutama mendapatkan gambaran bagaimanakah cara Direktorat Jenderal HaKI dan hakim di Indonesia memutuskan atau menilai sistem klasifikasi barang sejenis yang menjadi kriteria pembeda antara barang yang satu dengan yang lainnya. Disinilah penulis mencoba untuk menjabarkan pendekatan kriteria barang sejenis yang dipakai sebagai tolak ukur dalam penentuan suatu barang sejenis atau tidak dalam suatu kasus. Berkaitan dengan isu ini, penulis akan mencoba untuk menelaah, doktrin persamaan pada pokoknya, doktrin itikad baik serta doktrin likehood of confusion karena terdapat kriteria dalam doktrin tersebut yang berhubungan erat dengan kasus tersebut . Oleh karena itu, penelitian ini akan mencoba membahas pula mengenai aspek tersebut.

1.2 Pokok Permasalahan

Pokok permasalahan yang akan ditinjau dalam penelitian ini adalah:

1. Kapankah pendekatan barang dan/atau jasa sejenis diterapkan dalam Undang-Undang merek di Indonesia?

2. Bagaimanakah kriteria penerapan barang dan/atau jasa sejenis oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual?

3. Bagaimanakan penerapan pendekatan barang dan/atau jasa sejenis yang diterapkan hakim dalam menangani kasus merek antara TOYOTA INNOVA melawan Ban INNOVA serta kasus merek antara Toko New Holland Bakery(Jasa) melawan Holland Bakery(Barang)?

(6)

BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Pengaturan dan Relevansi Pendekatan Barang Sejenis

2.1.1 Unsur Barang Sejenis Berdasarkan Undang-Undang Merek 1. Undang-Undang No. 21 Tahun 1961

Dalam perundang-undangan ini istilah “barang-barang yang sejenis” ini dapat ditemukan dalam dalam Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Jika merek yang permohonan pendaftarannya diajukan menurut pasal-pasal 4 dan 5 mengandung persamaan pada keseluruhannya, atau pada pokoknya dengan merek yang telah didaftarkan untuk barang yang sejenis atas nama orang lain, maka Kantor Milik Perindustrian menolak pendaftaran merek tersebut. Penolakan pendaftaran merek tersebut oleh Kantor Milik Perindustrian selekas mungkin diberitahukan secara tertulis kepada pemohon pendaftaran merek itu dengan menyebutkan alasan- alasannya.”7

Istilah barang sejenis kembali disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi “Jika merek yang didaftarkan menurut pasal 7 pada keseluruhannya atau pada pokoknya sama dengan merek orang lain yang berdasarkan pasal 2 mempunyai hak atas merek tersebut untuk barang-barang yang sejenis, atau jika merek yang didaftarkan itu mengandung nama atau nama perniagaan orang lain, maka orang tersebut tanpa mengurangi daya-daya hukum lain yang dapat dipergunakannya, dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri di Jakarta dengan suatu surat permohonan yang ditanda tangani pemohon sendiri atau kuasanya, agar supaya pendaftaran merek tersebut dinyatakan batal. Permohonan tersebut harus dilakukan oleh pemohon dalam waktu sembilan bulan setelah pengumuman yang ditentukan dalam pasal 8.”8 Tetapi didalam penjelasan dari Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 ini tidak diuraikan lebih lanjut apa arti dari istilah barang sejenis tersebut. Dalam penjelasan atas Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) dikatakan “sudah cukup dijelaskan dalam penjelasan umum. Tetapi dalam penjelasan umum hanya disebut istilah: “barang yang sejenis ini” tanpa ada penjelasan lebih lanjut.9

2. Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 jo. Undang-Undang No. 14 Tahun 1997

Barang dan/atau jasa sejenis dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi: “Permintaan pendaftaran merek ditolak oleh Kantor

7

Ibid, Pasal 9 ayat (1).

8 Ibid, Pasal 10 ayat (1). 9

Bdgk, Kollewijn, R.D, advies hukum kepada Geo Wehry &Co., T. 130 hal. 550 dikutip dari Sudargo Gautama & Rizawanto Winata, “Hukum Merek Indonesia”,(PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993), 95.

(7)

Merek apabila mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek orang lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang atau jasa sejenis yang termasuk dalam satu kelas.”10 Dalam penjelasan Undang-Undang ini tidak disebutkan definisi mengenai barang dan/atau jasa yang sejenis, hanya saja ditekankan atas barang atau jasa sejenis yang termasuk dalam satu kelas.

Lain halnya dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1997. Dalam Undang-Undang ini, barang sejenis disebutkan dalam pasal 6 ayat (1) yakni: Permintaan pendaftaran merek harus ditolak oleh Kantor Merek apabila mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek mi1ik orang lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan atau jasa yang sejenis. Dalam pasal ini juga tidak terlalu dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Umum apakah definisi dari barang dan/atau jasa sejenis ini serta pedoman atau patokan untuk menentukan apakah suatu barang dan/atau jasa termasuk dalam barang dan/atau jasa sejenis atau tidak.

3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001

Dalam Undang-Undang tentang Merek yang terbaru ini, istilah barang dan/atau jasa yang sejenis muncul dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b yaitu: “Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut: (a) mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis11. Dalam Penjelasannya, ketentuan maupun kriteria pendekatan barang sejenis tidak dijelaskan lebih lanjut. Dalam Undang-Undang ini, penjelasan bagi barang dan/atau jasa sejenis masih tidak dapat terlihat. Karena penjelasan lebih mengarah kepada definisi dari persamaan pada pokoknya. Namun, dalam Pasal terkait, penilaian persamaan pada pokoknya berkaitan erat dengan jenis barang dan/atau jasa yang bersangkutan.

2.1.2 Unsur Barang Sejenis dalam Pendaftaran Merek

Masuknya Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek dalam pemeriksaan substantif pendaftaran merek menjadikan unsur dalam pasal tersebut menjadi hal yang sangat penting sebagai salah satu faktor untuk menilai apakah suatu merek dapat didaftarkan dalam daftar umum merek atau harus ditolak pendaftarannya. Pendekatan Barang

10 Ibid, Pasal 6 ayat (1).

11

(8)

Sejenis menjadi salah satu unsur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek12.

Berkaitan dengan pendaftaran merek, suatu merek harus didaftarkan dengan menyebutkan kelas barang dan jenis barang yang hendak didaftarkan. Pengaturan mengenai kelas barang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa bagi Pendaftaran Merek.13

2.1.3 Unsur Barang Sejenis dalam Pembatalan Merek

Pasal 68 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 menyebutkan bahwa Gugatan pembatalan pendaftaran Merek dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang menyatakan bahwa Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis.

2.1.4 Unsur Barang Sejenis dalam Pelanggaran Merek

Mengenai Pasal 90 Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001, ketentuan pidana bagi pelanggaran di bidang Merek berlaku ketentuan sebagai berikut:14

a. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

b. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam poin-poin tersebut merupakan delik aduan.15

12 Ibid, Pasal 6 ayat (1) huruf a.

13 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang kelas barang atau Jasa bagi Pendaftra Merek, PP No. 24

tahun 1993, LN No. 31 Tahun 1993, TLN 3523.

14 Indonesia., ..., pasal 90 15 Ibid., Pasal 90.

(9)

2.2 Barang Sejenis Berdasarkan Pendapat Ahli

Prof.Mr.Dr. Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata dalam bukunya Hukum Merek Indonesia menyebutkan bahwa yang harus dijadikan pokok pegangan dalam menilai istilah “barang sejenis” atau barang-barang yang sama jenisnya tidak dapat ditentukan secara pasti. Yang harus dijadikan pokok pegangan adalah penilaian agar tidak timbul kekeliruan dalam pandangan masyarakat ramai. Harus dihindarkan kekacauan dalam pandangan publik. Tentang barang sejenis ini perlu diartikan dalam arti kata yang luas. Hal ini berarti bahwa hanya barang-barang yang sams sekali tidak mempunyai hubungan dan berbeda keadaannya, dipandang sebagai barang yang tidak sejenis.16

Menurut A. Oemar Wongsodiwirjo yang dimaksud dengan barang sejenis adalah barang tersebut tidak harus sama, tetapi secara teknik dan pemakaian terdapat hubungan yang yang sangat dekat, atau mengandung persamaan pada sifat dan susunannya dan juga cara membuatnya.17

Menurut M. Yahya Harahap persamaan jenis barang berkaitan erat dengan persamaan keseluruhan atas suatu merek. Barang yang dilindungi merek yang satu dengan yang lain, harus sama jenerik (same generic). Paling tidak, harus mengenai jenis barang yang berada dalam satu kelas. Meskipun semua faktor merek sama sehingga terpenuhi : “ as a very similar” dengan “actual appearance” yang sama.18 Namun, tidak menutup kemungkinan persamaan jenis barang terjadi dalam kelas berbeda.

2.3 Unsur Barang Sejenis dalam TRIPs Agreement

Agreement On Trade-Related Aspects Of Intellectual Property Rights Pasal 16 ayat (1) menyebutkan bahwa:“...In case of the use of an identical sign for identical goods or services, a likelihood of confusion shall be presumed....”19. Identical menurut Black’s Law Dictionary adalah: “Identical is exactly the same for all practical purpose”20, Identik adalah

16

Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Hukum Merek Indonesia,1993 (Banndung:P.T Citra Aditya Bakti), Hal. 95

17 A. Oemar Wongsodiwirjo, 1998, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Merek Terkenal, Makalah

pada Seminar Perlindungan Hak Cipta, Paten dan Merek Dalam Era Perdagangan Bebas di Fakultas Hukum UNAIR, Surabaya, 5 Desember 1998, hlm. 9.

18 M. Yahyah Harahap, 1996, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek Di Indonesia

Berdasarkan Undang-Undang No. 19 tahun 1992, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti), hal. 289.

19 Agreemen On Trade-Related Aspect Of Intellectual Property Rights, Article 16 (1). 20

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, sixth edition, 1990 (St. Paul, minn:West Publishing), Page 745.

(10)

persis sama untuk semua tujuan praktis. Dengan kata lain, kata sejenis dalam TRIPs adalah adanya keadaan yang persis sama dalam berbagai hal yang berkaitan dengan merek tersebut. 2.4 Doktrin Likehood Of Confusion

Agreement On Trade-Related Aspects Of Intellectual Property Rights Pasal 16 ayat (1) menyebutkan bahwa “....In case of the use of an identical sign for identical goods or services, a likelihood of confusion shall be presumed...”. oleh karena itu, doktrin likehood of confusion diperlukan untuk melakukan penilaian adanya persamaan jenis atas suatu barang dan/atau jasa, yang memiliki potensi membingungkan masyarakat dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang bersangkutan.

Dalam menentukan pendekatan barang sejenis yang menimbulkan kebingungan konsumen tidak cukup hanya dengan melihat kelas barang dan jasa tersebut. Beberapa faktor yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan timbulnya kemungkinan kebingungan konsumen atas suatu merek, yaitu:21

a. Kekuatan suatu merek yang berkaitan.

Suatu merek dikatakan kuat jika merek tersebut bersifat khayal atau merek tersebut telah memiliki ikatan yang kuat dengan pemiliknya di mata masyarakat yang disebut juga telah memiliki arti tambahan (secondary meaning). Sementara itu akan mempunyai daya pembeda yang lemah jika bersifat deskriptif.

b. Hubungan antara kedua produk yang diperbandingkan.

Produk yang secara jelas bersaing di pasaran yang berkaitan akan lebih menimbulkan kebingungan kepada konsuen dibandingkan jika pemasarannya berberda.

c. Adanya bukti yang secara nyata meyakinkan mengenai adanya kebingungan.

Bukti ini dapat diperoleh dari pernyataan konsumen sebagai saksi atau dapat lebih valid dengan suatu penelitian ilmiah dan survey dengan melakukan interogasi ke sekelompok orang.

d. Perbedaan tingkat pengetahuan konsumen.

Factor ini dapat menjadi penyebab timbulnya kebingungan bagi konsumen atas sumber suatu produk. Tingkat pengetahuan dapat berasal dari pengalaman. Dalam realia di lapangan, konsumen dapat berasal dari berbagai kalangan yang memiliki pengetahuan dan pendidikan yang tidak sama.

21 Francis amendola, J.D., et.al. Trade-Marks, Trade-names, and Unfair Competition, Infrigement of

Trade-marks or Trade-names, Imitation and Partial Use, 87 C.J.S. Trademarks, Etc, 89,4. Lihat juga John W, Bagby, Cyberlaw Handbook For E-Commerce,(South Western West: The Pennsylvania State Uniersity, 2003) hal. 223-234 dikutip dari Rony Suarta, “Analisa Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Dalam Perkara Merek Yang Memiliki Persamaan Pada Pokoknya”, (Tesis: Universitas Indonesia, Jakarta, 2006), 41.

(11)

e. Maksud dan tujuan peniruan merek dari pihak yang melakukan peniruan.

Adanya cukup alasan yang membuktikan bahwa telah dilakukannya peniruan atas suatu merek oleh orang lain berdasarkan itikad tidak baik dengan menggunakan atau membonceng merek pihak lain, terutama yang telah memiliki reputasi baik di masyarakat. Selain itu, dapat juga dijadikan perimbangan dimana adanya kemungknan itikad tidak baik dari peniru dengan beralih dari tujuan semula dengan mengarah menjadi pesaing secara langsung pemilik merek sebenarnya.

2.5 Marketing Environment

Sebagai ukuran dipergunakan pendekatan barang-barang yang termasuk cabang industri atau perdagangan yang sama adalah barang yang sejenis. Dapat pula dianggap suatu barang adalah sejenis jika dapat ditemukan secara umum dan lazim dalam toko yang sama. Hal ini menjadi sangat penting diterapkan dalam menilai suatu persamaan jenis barang karena, pemasaran dari barang-barang memiliki kaitan erat dengan asumsi masyarakat akan asal muasal atau produsen dari barang yang bersangkutan, selain itu, lokasi penjualan barang akan memperlihatkan persamaan penggunaan atau fungsi dari barang terkait. Oleh karena itu dibutuhkan suatu penilaian akan lingkungan penjualan produk terkait, untuk menilai apakah suatu produk memiliki persamaan atau tidak.

Sebagai gambaran dalam Marketing Environment adalah Hal yang tidak mungkin, masyarajat akan berasumsi bahwa perawatan bayi berasal dari produsen produk suku cadang kendaraan bermotor, atau sebaliknya. Hal ini terlepas dari penggunaan tanda yang sama atau serupa untuk barang tersebut. Pada dasarnya, kondisi hal-hal seperti proses berpikir sadar atau bawah sadar kita dalam menarik suatu kesimpulan, baik benar atau salah, bahwa produk berasal dari sumber yang sama atau terkait jika memiliki persamaan baik dalam merek maupun dalam jenis barang. Semua faktor dibayangkan dan keadaan yang mempengaruhi baik lingkungan fisik di mana barang-barang tertentu yang dibeli, atau pola pemikiran manusia dari rakyat sendiri yang melakukan pembelian tersebut, adalah bagian dari lingkungan pemasaran. Semua lingkungan yang dikenakan pada isu kebingungan dalam masyarakat.22

2.6 Pengaturan dan relevansi Pendekatan Barang Sejenis Berdasarkan Pemeriksa Merek Direktorat Jenderal HKI

22

Beverly W. Pattishall, et all., Trademarks and Unfair Competition Fifth Edition, (Newark: Lexis Nexis) Page 178.

(12)

Menurut Direktorat Jendral HaKI dalam menentukan suatu barang sejenis haruslah melihat apakah kedua barang yang diperbandingkan tersebut akan menimbulkan kebingungan (confusion) dalam masyarakat apabila disejajarkan. Pemeriksa merek memiliki peran penting dalam menilai apakah suatu merek termasuk dalam kriteria barang sejenis.

Dalam menentukan persamaan jenis barang, Pemeriksa Merek juga harus menilai mengenai persamaan jenis barang dan/atau jasa yang sejenis. Hal ini sangat penting karena undang-undang merek beserta pelaksanaannya hanya mengelompokkan merek ke dalam kelas-kelas, bukan jenis-jenis. Selama ini baik dalam teori maupun praktik untuk menetukan apakah suatu merek mempunyai jenis yang sama dengan merek yang lain harus memperhatikan penilaian adanya persamaan jenis barang dan/atau jasa yang dapat terjadi antara:23

1. Barang dengan Barang

Untuk menentukan adanya persamaan antara barang dengan barang terdapat ketentuan unsur sebagai bahan pertimbangan, sebagai berikut:

a. adanya persamaan dalam proses produksi;

b. adanya persamaan dalam bahan atau material pembuatannya; c. adanya persamaan dalam cara penggunaan atau pemakaian; d. adanya persamaan mengenai cara atau tempat penjualan;

e. adanya keterikatan antara barang setengah jadi dengan barang jadi; f. adanya hubungan sebagai bagian dari barang tersebut.

2. Jasa dengan Jasa

Untuk menentukan adanya persamaan antara jasa dengan jasa terdapat beberapa unsur sebagai bahan pertimbangan, yaitu:

a. Adanya persamaan mengenai fungsi dan tujuan jenis jasa yang dimaksud; b. Adanya persamaan tempat pemberian jasa;

c. Adanya persamaan kategori jasa yang diberikan dalam bisnis mereka; d. Adanya persamaan target konsumen dari jasa yang diberikan;

e. Adanya persamaan kategori bisnis. 3. Barang dengan Jasa

Untuk menentukan adanya persamaan antara barang dengan jasa terdapat beberapa unsur sebagai bahan pertimbangan, yaitu:

a. Adanya persamaan agen bisnis dalam kegiatan industry dan perdagangan;

23 Rando purba, op cit., hal 146

(13)

b. Adanya persamaan dalam penggunaan barang dan jasa; c. Adnya keterkaitan antara barang dan jenis jasa;

d. Adanya persamaan target konsumen dari jasa yang diberikan.

Selain didasarkan pada penentuan diatas, Pemeriksa Merek juga menilai adanya persamaan jenis barang tersebut dengan cara sebagai berkut:24

a) Persamaan pada material row/bahan dasar yang diproduksi.

b) Fungsi, menurut Bapak Anggoro Dasananto25 yang dimaksud dengan fungsi yaitu bahwa antara kedua barang tersebut mempunyai fungsi yang sama. Contohnya: helm dengan rompi anti peluru mempunyai fungsi yang sama yaitu melindungi anggota tubuh manusia.

c) Pemasaran, yang dimaksud dengan pemasaran adalah pihak-pihak yang menjadi sasaran penjualam produk-produk yang dihasilkan.

2.7 Penerapan Barang Sejenis dalam Kasus Merek

2.7.1 Kasus Merek TOYOTA INNOVA melawan Ban Innova

Terkait kasus antara TOYOTA INNOVA melawan Ban INNOVA, kasus ini berawal dari gugatan Kasus ini didaftarkan dengan Nomor Register Perkara 75/MEREK/2011/PN. NIAGA.JKT.PST. Gugatan diajukan oleh TOYOTA JIDHOSA KABSHINKI KAISHA selaku penggugat, melawan Effendi Fermanto (Pemilik merek Ban INNOVA) selaku Tergugat I dan DirJEn HKI selaku Tergugat II.

Permasalahan terjadi pada saat Penggugat selaku pemegang merek TOYOTA INNOVA yang terdaftar dalam Kelas 12 yang melindungi kendaraan bermotor dan bagian-bagiannya merasa dengan diterimanya pendaftaran merek Ban INNOVA milik tergugat yang termasuk dalam kelas 12 untuk melindungi ban luar, ban dalam kendaraan bermotor roda empat dan roda dua, Penggugat merasa pemakaian Merek Dagang yang mengandung kata INNOVA yang dalam ucapan kata maupun suara sama dengan INNOVA yang merupakan bagian essensial dari Merek Dagang Penggugat oleh Tergugat I, dapat menimbulkan kesan pada masyarakat apabila merek milik Tergugat I berasal dari Penggugat, atau memiliki hubungan erat dengan Penggugat. Hal tersebut akan menimbulkan kerugian bagi Penggugat.

24 Rando purba, Analisis Yuridis Terhadap Pemboncengan Ketenaran Merek Asing Terkenal Untuk

Barang yang Tidak Sejenis (Kasus Merek Intel Corporation Lawan Intel Jeans), (Skripsi: Universitas Indonesia, 2009), hal 148

(14)

Dalam pertimbangan putusan, hakim menilai keduanya memiliki kesamaan jenis barang setelah melihat kedua produk yang diperbandingkan. karena berada dalam kelas yang sama dan kedua merek tersebut satu sama lain berhubungan erat yaitu produk mobil dan bagian-bagiannya. sehingga keduanya diniliai memiliki persamaan pada pokoknya dan keseluruhan.

Menurut analisis penulis, dalam menilai adanya persamaan jenis barang tidak hanya dilihat dari adanya persamaan kelas barang yang bersangkutan. Hal tersebut harus dilihat dari unsur:

Persamaan keseluruhan merek.(Produk mobil TOYOTA INNOVA dan Ban INNOVA tidak terlihat sama satu sama lain, oleh karena itu, tidak terdapat persamaan keseluruhan dalam hal penampilan kedua merek tersebut yang dapat membingungkan masyarakat.)

Persamaan barang dan/atau jasa termasuk dalam hubungannya dalam jalur pendistribusian. (Berdasarkan kategori ini, Produk mobil TOYOTA INNOVA dan produk Ban INNOVA berada dalam cabang industri yang berbeda, dengan jalur perdagangan yang berbeda. Produk mobil TOYOTA INNOVA terdapat dalam cabang industri automotif yang memproduksi rangka besi mobil, mesin, dan bagian-bagian lainnya, serta dipasarkan untuk target pasar kalangan menengah ke atas. Sedangkan produk ban Innova merupakan produk dalam industri ban tersendiri, serta dipasarkan untuk target pasar semua kalangan masyarakat, karena produksi yang dihasilkannya tidak hanya ban untuk mobil melainkan ban untuk sepeda.

Kekuatan merek tersebut. (Merek mobil TOYOTA INNOVA sudah dikenal masyarakat sebagai suatu merek mobil, sehingga masyarakat tidak akan keliru dalam membedakan antara merek mobil TOYOTA INNOVA dengan merek ban INNOVA.)

Bukti adanya kebingungan konsumen. (Belum terdapat bukti ada pelanggan yang keberatan atas kualitas ban INNOVA dan menyangkutpautkan dengan TOYOTA INNOVA, karena adanya kebingungan atas asal muasal ban INNOVA yang dinilai berasal dari produsen yang sama, yaitu TOYOTA)

Maksud dari tergugat dalam menggunakan mereknya. (Dalam hal ini, baik ban INNOVA maupun mobil TOYOTA INNOVA bukan merupakan barang pengganti satu sama lain, konsumsi keduanya tidak akan mengalihkan usaha dari penggunaan merek sebelumnya.) Hubungan kedekatan produk di pasar. (Keduanya memiliki jalur pemasaran yang berbeda, dilain pihak, kedua produk terkait terdapat kemungkinan memiliki target pasar yang

(15)

sama, namun, penjualan keduanya yang berbeda tidak akan menimbulkan suatu kebingungan dalam masyarakat untuk mengkonsumsinya.)

Tingkat perhatian konsumen mengenai produk tersebut.(harga dari barang terkait berbeda satu sama lain, produk mobil toyota innova ditujukan untuk kalangan menengah ke atas yang memiliki tingkat harga tinggi, sedangkan produk ban INNOVA ditujukan untuk semua kalangan dalam penggunaannya, dilain pihakm kondisi pendidikan dan pengetahuan konsumen dalam membedakan produk yang bersangkutan sangat besar, sehingga kemungkinan timbulnya suatu kebingungan kecil. )

Kemungkinan adanya perluasan produk.(kesamaan merek dalam bang dan/atau jasa yang sejenis atau saling berhubungan akan semakin menimbulkan kesempatan untuk membingungkan konsumen. Pengadilan dapat juga mempertimbangkan kemungkinan penggugat untuk menjual produk yang sejenis, walaupun dalam kasus tersebut produknya tidak sejenis atau berhubungan.26 Disini terdapat kemungkinan, TOYOTA juga akan memperluas produknya dalam pembuatan ban.)

Selain itu, dapat pula dianggap suatu barang adalah sejenis jika dapat ditemukan secara umum dan lazim dalam toko yang sama. melalui marketing environment perlu diketahui, dimana tempat penjualan barang yang bersangkutan, dalam hal ini, penjualan mobil TOYOTA INNOVA melalui showroom maupun agen penjualan TOYOTA terkait jual beli kendaraan bermotor roda empat. Sedangakan penjualan ban berada pada tempat penjualan ban INNOVA itu sendiri yang terpisah dari toko penjualan mobil. bagaimana cara penjualan barang di tempat yang bersangkutan, dalam hal cara penjualan, penjualan mobil TOYOTA INNOVA ditawarkan oleh penjualan atau agen dengan penjelasan spesifikasi dari keadaan mobil yang ditawarkan, baik berupa mesin, penampilan, performa dan sebagainya, sedangkan cara penjualan ban INNOVA oleh penjual dengan menampilkan jenis-jenis ban saja tanpa adanya penjelasan mengenai performa maupun keadaannya. Selain itu juga dinilia bagaimanakah penempatan barang-barang terkait dalam penjualan. Keduanya tidak dipasarkan secara bersamaan dan memiliki penempatan penjualan yang berbeda. Hal ini tidak akan menimbulkan kebingungan dalam masyarakat untuk mengkonsumsi produk terkait ataupun kesalahan persepsi menilai barnag terkait sebagai barang yang sejenis.

Dilihat dari penilaian berdasarkan doktrin Likehood Of Confusion serta penilaian berdasarkan Marketing Environment tersebut, penulis menyimpulkan bahwa keduanya merupakan barang yang tidak sejenis. Dimana pada dasarnya kemungkinan masyarakat

26 Ibid.,

(16)

dalam penggunaannya tidak akan menimbulkan suatu kebingungan dalam masyarakat dilihat dari bentuk nyata kedua produk yang diperbandingkan, tempat pemasaran, tehnik pembuatan, serta mengingat tingkat pengetahuan golongan masyarakat yang mengkonsumsi barang terkait.

2.7.2 Kasus Merek Holland Bakery

Terkait kasus antara Holland Bakery antara PT. MUSTIKA CITRA RASA sebagai penggugat melawan DRS. F.X.Y. KIATANTO, S., sebagai tergugat, dimana kasus terjadi pada saat penggugat sebagai pemegang dan pemilik satu-satunya merek HOLLAND BAKERY yang melindungi merek yang termasuk dalam kelas barang 30, mengajukan gugatan atas dikeluarkannya sertifikat merek HOLLAND BAKERY atas nama tergugat yang melindungi kelas jasa 42.

Penggugat merasa dengan dikeluarkannya sertifikat merek tersebut, menimbulkan kerugian bagi penggugat dalam usaha yang dimilikinya. Karena pada Tergugat seharusnya mengetahui bahwa ia hanya berhak melakukan usaha di bidang jasa-jasa penyediaan makanan dan minuman dengan merek Holland Bakery, akan tetapi tidak berhak untuk membuat dan menjual roti, kue donat dan makanan kecil lainnya dengan merek Holland Bakery, karena tindakan tersebut termasuk dalam kelas barang 30 yang merupakan kelas barang milik Penggugat, namun, telah menjual bahkan memproduksi roti, kue, donat maupun makanan kecil lainnya dengan merek Holland Bakery.

Dalam pertimbangannya, hakim menilai terdapat persamaan jenis barang antara kedua merek yang diperbandingkan meskipun keduanya melindungi kelas yang berbeda karena keduanya menghasilkan hasil akhir produksi yang sama yaitu penjualan roti, kue dan sejenisnya. Dalam menilai ada atau tidaknya persamaan jenis antara merek barang dan merek jasa harus dinilai apakah dalam menentukan pendekatan barang sejenis yang menimbulkan kebingungan konsumen tidak cukup hanya dengan melihat kelas barang dan jasa tersebut. Beberapa faktor yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan timbulnya kemungkinan kebingungan konsumen atas suatu merek, yaitu:

1. Kekuatan suatu merek yang berkaitan.

Antara jasa toko roti Holland Bakery dengan produk roti Holland Bakery memiliki kekuatan tersendiri akan produk barang dan/atau jasa yang dihasilkannya dengan memberikan kesan kepada masyarakat akan hasil dari produk nya. Namun, karena keduanya berasal dari wilayah yang berbeda, terdapat kemungkinan masyarakat dapat membedakan produk keduanya.

(17)

Produk jasa toko roti holland bakery dengan produk roti Holland Bakery secara jelas bersaing di pasaran yang berkaitan akan lebih menimbulkan kebingungan kepada konsumen. Karena keduanya memproduksi barang yang sama, meskipun cara pemasaran kepada masyarakat dalam bentuk yang berbeda.

3. Adanya bukti yang secara nyata meyakinkan mengenai adanya kebingungan.

Belum terdapat bukti adanya keluhan konsumen atas adanya kebingunan dalam mengkonsumsi produk yang dihasilkan oleh jasa toko roti Holland Bakery dengan produk roti Holland Bakery.

4. Perbedaan tingkat pengetahuan konsumen.

Faktor ini dapat menjadi penyebab timbulnya kebingungan bagi konsumen atas sumber suatu produk. Tingkat pengetahuan dapat berasal dari pengalaman. Dalam realia di lapangan, konsumen dapat berasal dari berbagai kalangan yang memiliki pengetahuan dan pendidikan yang tidak sama.

5. Maksud dan tujuan peniruan merek dari pihak yang melakukan peniruan.

Keduanya memiliki maksud dan tujuan yang berbeda dalam mendirikan suatu usaha. Disalah satu sisi, jasa toko roti Holland Bakery menawarkan jasa penjualan roti, kue dan sebagainya, sedangkan produk pembuatan roti Holland Bakery memiliki tujuan menawarkan produk berupa roti yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat.

Dilihat dari hal tersebut, penulis berpendapat bahwa antara usaha pembuatan roti Holland Bakery dengan usaha jasa Bakery Holland merupakan barang dan/atau jasa sejenis. Meskipun bentuk usaha yang ditawarkan berbeda. Karena pada dasarnya kemungkinan masyarakat dalam penggunaannya akan menimbulkan suatu kebingungan sangat besar.

(18)

BAB 3 PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Penerapan barang sejenis perlu diterapkan pada saat Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa “Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut: (a) mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis” diterapkan dalam kasus merek di Indonesia baik dalam pendaftaran merek, pembatalan merek, maupun pelanggaran merek terjadi. Namun,dalam penjelasan Undang-Undang tidak dijelaskan lebih lanjut apakah yang dimaksud dengan barang sejenis, maupun kriteria atau pendekatan untuk menilai apakah suatu barang termasuk barang sejenis atau tidak. Apakah menyangkut barang-barang yang berbeda kelas barang-barang atau tidak. Pendekatan barang-barang sejenis merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan apakah suatu barang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan barang yang lainnya. Pendekatan barang sejenis menjadi penting untuk diterapkan pada saat Pasal 6 ayat (1) huruf a menjadi dasar gugatan untuk pembatalan suatu merek.

2. Dalam menilai suatu kasus yang berhubungan dengan barang sejenis, Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut menilai dari bukti barang merek terkait yang diajukan ke muka persidangan. Hakim menilai berdasarakan kelas barang dan jasa yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1993 Tentang Kelas Barang dan Jasa sebagaimana Nice Agreement yang telah diratifikasi oleh Indonesia, tanpa menilai unsur-unsur lain yang digunakan untuk menilai persamaan jenis barang. Sehingga kemungkinan adanya persamaan jenis barang antara kelas barang dan/atau jasa yang berbeda, maupun ketidaksamaan jenis barang dalam satu kelas yang sama kurang diperhatikan. Hakim menilai berdasarkan penilaian pribadi, karena belum terdapat peraturan yang resmi terkait penilaian kriteria penggunaan pendekatan barang sejenis dalam menilai kesamaan jenis barang jika terjadi kasus merek terkait penilaian kesamaan jenis barang.

3. Menurut Direktorat Jendral HaKI dalam menentukan suatu barang sejenis haruslah melihat apakah kedua barang yang diperbandingkan tersebut akan menimbulkan kebingungan (confusion) dalam masyarakat apabila disejajarkan. Pemeriksa merek memiliki peran penting dalam menilai apakah suatu merek termasuk dalam kriteria barang sejenis.

(19)

Dalam menentukan persamaan jenis barang, Pemeriksa Merek juga harus menilai mengenai persamaan jenis barang dan/atau jasa yang sejenis. Hal ini sangat penting karena undang-undang merek beserta pelaksanaannya hanya mengelompokkan merek ke dalam kelas-kelas, bukan jenis-jenis. Selama ini baik dalam teori maupun praktik untuk menetukan apakah suatu merek mempunyai jenis yang sama dengan merek yang lain harus memperhatikan penilaian adanya persamaan jenis barang dan/atau jasa yang dapat terjadi antara:27

1. Barang dengan Barang

Untuk menentukan adanya persamaan antara barang dengan barang terdapat ketentuan unsur sebagai bahan pertimbangan, sebagai berikut:

a) adanya persamaan dalam proses produksi;

b) adanya persamaan dalam bahan atau material pembuatannya; c) adanya persamaan dalam cara penggunaan atau pemakaian; d) adanya persamaan mengenai cara atau tempat penjualan;

e) adanya keterikatan antara barang setengah jadi dengan barang jadi; f) adanya hubungan sebagai bagian dari barang tersebut.

2. Jasa dengan Jasa

Untuk menentukan adanya persamaan antara jasa dengan jasa terdapat beberapa unsur sebagai bahan pertimbangan, yaitu:

a. Adanya persamaan mengenai fungsi dan tujuan jenis jasa yang dimaksud; b. Adanya persamaan tempat pemberian jasa;

c. Adanya persamaan kategori jasa yang diberikan dalam bisnis mereka; d. Adanya persamaan target konsumen dari jasa yang diberikan;

e. Adanya persamaan kategori bisnis. 3. Barang dengan Jasa

Untuk menentukan adanya persamaan antara barang dengan jasa terdapat beberapa unsur sebagai bahan pertimbangan, yaitu:

a. Adanya persamaan agen bisnis dalam kegiatan industry dan perdagangan; b. Adanya persamaan dalam penggunaan barang dan jasa;

c. Adnya keterkaitan antara barang dan jenis jasa;

d. Adanya persamaan target konsumen dari jasa yang diberikan.

27 Rando purba, op.cit.,hal 146

(20)

Selain didasarkan pada penentuan diatas, Pemeriksa Merek juga menilai adanya persamaan jenis barang tersebut dengan cara sebagai berkut:28

a) Persamaan pada material row/bahan dasar yang diproduksi.

b) Fungsi, menurut Bapak Anggoro Dasananto29 yang dimaksud dengan fungsi yaitu bahwa antara kedua barang tersebut mempunyai fungsi yang sama. Contohnya: helm dengan rompi anti peluru mempunyai fungsi yang sama yaitu melindungi anggota tubuh manusia.

c) Pemasaran, yang dimaksud dengan pemasaran adalah pihak-pihak yang menjadi sasaran penjualam produk-produk yang dihasilkan.

3.2 SARAN

Berdasarkan kesimpulan tersebut dan pembahasan dalam tulisan ini, penulis memberi saran sebagai berikut:

1. Untuk menghindari kasus yang sama, penulis menganjurkan agar penggunaan pendekatan barang sejenis terkait Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek segera diberikan peraturan yang lebih jelas tentang patokan atau kriteria serta definisi yang pasti untuk menentukan kriteria pendekatan barang sejenis. Setidaknya didalam Undang-Undang diberi penjelasan kriteria apa saja yang termasuk dalam kategori sejenis.

2. Penulis juga menyarankan, perlu dibuat klasifikasi merek yang mengelompokkan merek-merek tidak hanya dalam kelas-kelas sebagaimana daftar kelas merek dalam NICE yang telah diratifikasi Indonesia, melainkan dalam jenis-jenis. Karena, Undang-Undang di Indonesia lebih mengunakan istilah barang sejenis untuk mengelompokkan suatu merek, bukan dengan kelas. Sehingga dapat meminimalisasi terjadinya suatu kebingungan dalam penentuan kriteria barang sejenis dalam penerapannya terhadap kasus-kasus merek yang terjadi di Indonesia.

3. Perlu dibuat suatu mekanisme dan upaya untuk menyamakan persepsi hakim terkait kriteria pendekatan barang sejenis dalam memeriksa suatu kasus merek. Disini perlu dibuat suatu daftar penilaian mengenai pertimbangan hakim dalam melakukan penilaian dalam kasus merek terkait pendekatan barang sejenis. Agar tidak lagi terjadi perdebatan apabila terdapat kasus yang sama atau serupa di kemudian hari. Dengan

28

Ibid., hal 148

(21)

demikian terdapat keseragaman bagi setiap orang dalam mengetahui kriteria pendekatan barang sejenis untuk dapat menilai keterkaitan antara dua barang atau lebih yang diperbandingkan. Penulis juga menyarankan agar hakim yang memeriksa sengeketa merek diberikan pengetahuan yang baik tentang sengketa merek. Hakim-hakim yang mengadili sengketa merek haruslah Hakim-hakim yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang merek.

4. Untuk meminimalisasi terjadinya sengketa merek, penulis menyarankan agar Direktorat Jenderal Merek lebih berhati-hati dalam menerima pendaftaran suatu merek dalam Daftar Umum Merek. Sistem yang ada dalam Kantor Direktorat Merek sebaiknya dapat diperbaiki, sehingga daftar merek yang sudah di register dalam Daftar Umum Merek dapat diakses dengan mudah, cepat dan tepat. Serta perlu diberlakukan suatu pelatihan kerja yang lebih mendalam dan rutin terkait pemahaman mengenai merek itu sendiri bagi para pekerja di Direktorat Merek.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Dirdjosisworo, Soedjono. (2005). Antisipasi Terhadap Bisnis Curang: Pengalaman Negara Maju Dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property) dan Pengaturan E-Commerce Serta Penyesuaian Undang-Undang HKI Indonesia. Bandung: CV. Utomo.

Direktorat Jenderal HKI. (2000). Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual (Pertanyaan & Jawabannya), Jakarta:Ditjen HKI Depkeh & HAM.

Gautama, Sudargo & Rizawanto Winata, HUKUM MEREK INDONESIA. (1993) Jakarta: P.T. Citra Aditya Bakti.

________________________________, Undang-Undnag Merek Baru Tahun 2001.(2002). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti

Hadiarianati, Venantria Sri. (2009). Hak Kekayaan Intelektual Merek & Merek Terkenal, Jakarta: Unika Atmajaya.

Harahap. M. Yahya. (1996). Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 19 tahun 1992. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

(22)

Hasibuan, H.D. Effendy. Perlindungan Merek, Studi Mengenai Putusan Pengadilan

Indonesia dan Amerika Serikat. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Hovenkamp, Herbert, Mark D. Janis dan Mark A. Lemley.(2002). IP and Antitrust: An Analysis Of Antitrust Principles Applied To Intellectual Property Law. New York: Aspen Law and Bussiness.

Yudha, Pandu, dan Dahlia. (2007). Undang-Undang Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing.

J.D., Francis Amendola, et.al. (2003). Trade-Marks, Trade-names, and Unfair Competition, Infrigement of Trade-marks or Trade-names, Imitation and Partial Use, 87 C.J.S. Trademarks, Etc, 89,4. Lihat juga John W, Bagby, Cyberlaw Handbook For E- Commerce. South Western West: The Pennsylvania State Uniersity.

Kansil, C.S.T. (1997) Hak Milik Intelektual Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta, Jakarta: Sinar Grafika.

Linsey, Tim. (2003). Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. cet.ke-2, Bandung: Alumni.

Mamudji, Sri. et All. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. (Depok: Balai Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Margono, Suyud dan Lingginus Hadi. (2002). Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek. Jakarta:Novirindo Pustaka Mandiri.

Miru, Ahmadi. (2005). Hukum Merek, Cara Mudah Mempelajari Undang- Undang Merek. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Pattishall,Beverly W. et all., Trademarks and Unfair Competition Fifth Edition, Newark: Lexis Nexis.

Saidin, OK. (1995). Aspek Hukum Kekayaan Intelektual. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sugono, Bambang. (2007). Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Suryodiningrat, R.M. (1984). Pengantar Ilmu Hukum Merek. Jakarta: Pradnya Paramita. Susanto, A.B. dan Himawan Widjanarko. (2004). Power Branding: Membangun Merek

Unggul dan Organisasi Pendukungnya. Jakarta: Quantum & Bisnis Manajemen.

Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah. (2004). Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

(23)

Tim Redaksi Tatanusa. (2003). Himpunan Putusan-Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara HaKI Jilid 1.Jakarta: PT Tatanusa.

__________________. (2004). Himpunan Putusan-Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara HaKI Jilid 1. Jakarta: PT Tatanusa.

Umar, Husein. (2005). Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005).

Vandenburg, Edward C., III, (1968). Trademark Law and Procedure, Second Edition, New York: The Bobbs-Merrill Company Inc.

Wignjosoebroto, Soetanto. (2002). Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: ELSAM dan HUMA.

Wongsodiwirjo, A. Oemar. (1998). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Merek Terkenal, Makalah pada Seminar Perlindungan Hak Cipta, Paten dan Merek Dalam Era Perdagangan Bebas di Fakultas Hukum UNAIR. Surabaya, 5 Desember 1998.

World Intellectual Property Organization Intellectual Property Handbook: policy, law, and Use, Chapter 2-Fields of Intellectual Property Protection., Article 2.318.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang tentang Merek, UU No. 15 tahun 2001, LN. Tahun 2001 No. 110, TLN No, 4131.

__________, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN. Tahun 1999 No. 42, TLN. No. 3821.

__________, Undang-Undang tentang Merek, UU No. 21 Tahun 1961,. LN. Tahun 1961 No. 290, TLN No. 2341.

__________, Undang-Undang tentang Merek, UU No. 19 Tahun 1992, LN. Tahun 2001 No. 81, TLN No. 2490.

__________, Peraturan Pemerintah tentang kelas barang atau Jasa bagi Pendaftra Merek, PP No. 24 tahun 1993, LN No. 31 Tahun 1993, TLN 3523.

Agreemen On Trade-Related Aspect Of Intellectual Property Rights.

Nice Agreement Concerning the International Classification of Goods and Services for the Purposes of the Registration of Marks. 10ed.

(24)

Rando Purba, Rando. (2009). Analisis Yuridis Terhadap Pemboncengan Ketenaran Merek Asing Terkenal Untuk Barang yang Tidak Sejenis (Kasus Merek Intel Corporation Lawan Intel Jeans. Skripsi: Universitas Indonesia.

Suarta, Rony. Analisa Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Perkara Merek yang Memiliki Persamaan Pada Pokokny. Tesis: Universitas Indonesia.

Tyassita, Bernadetta Kanya. (2010).Penerapan Persamaan Pada Pokoknya Dalam Hukum Merek Indonesia, Skripsi: Universitas Indonesia.

Internet

Daniel A, Tysver, Trademark Infringement, BItlaw, 27 Oktober 2009,

http://www.bitlaw.com/trademark/infringement.html, diakses pada 20 November

2012.

David V. Radack, Likehood Of Confusion: The Basis for Trademark Infringement, (The Minerals, Metals, and Materials Society), <

http://www.tms.org/pubs/journals/JOM/matters-0212.html> , diakses pada 21 November 2012.

Dennie, Haruskah Sebuah Produk Diberi Merek?

<http://yukbisnis.com/content/view/176/50/>, diakses pada 5 Oktober 2012 Verawati, http://www.jbptunikompp-gdl-s1.com/, Diakses Pada Hari Senin, Tanggal 12 November 2012, Pukul 23.47 WIB.

http://www.infogue.com/viewstory/2011/08/31/persamaan_pada_pokoknya/?url=http:

//legalakses.com/persamaan-pada-pokoknya-3/, diunduh pada Rabu, 31 Oktober 2012

pukul 07.15

www:http://jakartaconsulting.com/art-01-16.htm, Diakses Pada Hari Senin, Tanggal 12 November 2012, Pukul 23.00 WIB.

Kamus

Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary With Pronounciations Sixth Edition, (St. Paul: West Publishing Co, 1991)

(25)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada tujuan desain pembelajaran fisika adalah untuk menghasilkan salah satu model pembelajaran, yang mendukung pelaksanaan KBK yaitu pembelajaran yang

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Hayati dan Astuti (2015) didapatkan hasil karakterisasi X-Ray Diffractometer (XRD) sintesis dengan NaOH 5 M mempunyai fasa amorf,

Bagi guru, guru matematika SMPN 1 Ngunut kabupaten Tulungagung perlu mempertimbangkan untuk menjadikan pembelajaran snowball throwing diterapkan untuk mengembangkan pembelajaran

Pendekatan kinerja disusun untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terdapat dalam anggaran tradisional, khususnya kelemahan yang disebabkan oleh tidak adanya tolak ukur yang dapat

Pada material yang lebih lebar, ditemukan Echinothambema yang merupakan pemakan deposit (deposit feeder). Beberapa fungsi padang lamun, yaitu: 1) sebagai

Pemeliharaan induk ikan mas dilakukan di kolam yg terpisah antara induk jantan dan induk betina jumlah induk betina yang ditebar kedalam kolam pemeliharaan 818 ekor dan

Analisis regresi sederhana menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan intensi bermedia sosial (rxy = -0,287; p &lt; 0,001),

48 hutan produksi terbatas yaitu jenis sengon, namun apabila pada masa yang akan datang terjadi perubahan kondisi hutan produksi terbatas baik dikarenakan