• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAMPILAN PRODUKSI INDUK SAPI BRAHMAN CROSS (BX) YANG DIINSEMINASI BUATAN MENGGUNAKAN SEMEN BERBEDA DI PT LEMBU JANTAN PERKASA SERANG-BANTEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENAMPILAN PRODUKSI INDUK SAPI BRAHMAN CROSS (BX) YANG DIINSEMINASI BUATAN MENGGUNAKAN SEMEN BERBEDA DI PT LEMBU JANTAN PERKASA SERANG-BANTEN"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENAMPILAN PRODUKSI INDUK SAPI BRAHMAN CROSS (BX) YANG

DIINSEMINASI BUATAN MENGGUNAKAN SEMEN BERBEDA

DI PT LEMBU JANTAN PERKASA SERANG-BANTEN

SKRIPSI

MELATI LESTARI Z.

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(2)

i

RINGKASAN

Melati Lestari Z. D14070128. 2011. Penampilan Produksi Induk Sapi Brahman

Cross (BX) yang Diinseminasi Buatan Menggunakan Semen Berbeda di PT

Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rudy Priyanto Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si

Inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu teknik perkawinan yang dapat digunakan untuk memperbaiki mutu genetik ternak sapi potong melalui pejantan unggul dan pencegahan penularan penyakit kelamin yang dapat terjadi melalui kawin alam. Keberhasilan pelaksanaan IB ditentukan oleh tercapainya efisiensi reproduksi, peningkatan populasi sapi potong dan diterimanya IB oleh peternak. Efisiensi reproduksi dalam pelaksanaan IB dipengaruhi oleh peubah-peubah diantaranya jarak beranak (calving interval), jumlah pelayanan per kebuntingan (service per conception), angka kebuntingan (conception rate) dan angka kelahiran (calving rate). PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) Serang-Banten merupakan salah satu perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang penggemukan, pembibitan, dan pemasaran sapi potong.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan produksi dan reproduksi induk sapi Brahman Cross (BX) yang diinseminasi buatan dengan menggunakan semen sapi pejantan Brahman dan Simmental di PT LJP. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2010. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah calving interval (CI), service per conception (S/C), conception rate (CR), calving rate (C/R), bobot lahir, dan bobot sapih. Data calving interval (CI), service per conception (S/C), conception rate (CR), dan calving rate (C/R) yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk menggambarkan kondisi PT LJP Serang-Banten. Data bobot lahir dan bobot sapih dianalisa dengan analysis of variance (ANOVA).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk sapi Brahman Cross yang diinseminasi buatan dengan semen sapi Brahman dan Simmental di PT LJP mempunyai produktivitas yang tinggi. Hal ini terlihat dari efisiensi reproduksi yang tinggi dari tahun ke tahun (2008, 2009, dan 2010). Angka service per conception untuk pejantan Brahman yaitu 1,8, 1,4 dan 1,3 dan pejantan Simmental yaitu 1,4, 1,5 dan 1,5. Sementara itu conception rate induk sapi BX yang diinseminasi dengan pejantan Brahman yaitu 46%, 69%, dan 71% dan pejantan Simmental 64%, 62%, dan 63%. Perbaikan calving interval dari 408 hari (tahun 2009) menjadi 372 hari (tahun 2010) dan calving rate (tahun 2009) dari 23% menjadi 84% (tahun 2010). Bangsa pejantan Simmental menyebabkan rataan bobot lahir pedet lebih tinggi dibandingkan rataan bobot lahir pedet yang disilangkan dengan pejantan Brahman. Penggunaan bangsa sapi pejantan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap rataan bobot sapih pedet.

(3)

ii

ABSTRACT

Productivity of Brahman Cross (BX) Cattle Artificially Inseminated Using Semen of Different Bull Breed in PT Lembu Jantan Perkasa

Serang-Banten

Lestari, M., R. Priyanto, and H. Nuraini.

This experiment was conducted to examine the productivity and reproduction performances of Brahman Cross (BX) cow artificially inseminated with semen of different breeds at PT Lembu Jantan Perkasa (LJP), Serang-Banten. Data calving interval (CI), services per conseption (S/C), conception rate (CR), and calving rate (C/R) were analyzed using descriptive analysis to describe the condition of PT LJP. Birth weight and weaning weight were analysed by analysis of variance (ANOVA). During the period of 2008-2010, the breeding management was carried by insemination of Brahman Cross cows using Simmental dan Brahman bull semens. The cows inseminated by Brahman bull semen showed improvements in service per conception from 1,8 to 1,3 and conception rate from 48% to 71%. Calving interval of the Brahman Cross cows showed improvements from 408 to 372 days and calving rate from 23% to 84%. Differences in birth weight as well as in weaning weight occurred in female calves but not in male calves. The Brahman Cross cows inseminated by Simmental bull semen had significantly heavier birth weight and weaning weight if compared to those inseminated by Brahman bull semen.

(4)

iii

PENAMPILAN PRODUKSI INDUK SAPI BRAHMAN CROSS (BX) YANG

DIINSEMINASI BUATAN MENGGUNAKAN SEMEN BERBEDA

DI PT LEMBU JANTAN PERKASA

SERANG-BANTEN

MELATI LESTARI Z. D14070128

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(5)

iv

Judul : Penampilan Produksi Induk Sapi Brahman Cross (BX) yang Diinseminasi Buatan Menggunakan Semen Berbeda di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten

Nama : Melati Lestari Z. NIM : D14070128

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Rudy Priyanto) (Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si)

NIP : 19601216 198603 1 003 NIP : 19640202 198903 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 19591212 198603 1 004

(6)

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Juni 1989 di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Zainuddin K. dan Ibu Rosnani B.

Penulis mengawali pendidikan taman kanak-kanak di TK Aisyiah Bustanul Athfal, Makassar pada tahun 1994 dan diselesaikan pada tahun 1995. Pendidikan dasar dimulai pada tahun 1995 di SD Negeri 15 Kurusumange, Maros dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan lanjutan menengah pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2004 di SMP Negeri 1 Mandai, Maros. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Maros, Maros pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008.

Selama menjalani kuliah, penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Penulis menjadi staf perusahaan pada periode 2007-2008 dan pada periode 2008-2009 penulis menjadi bendahara umum unit kegiatan mahasiswa (UKM) Koran Kampus Institut Pertanian Bogor. Penulis juga pernah menjadi bendahara 2 Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor periode 2008-2009. Penulis menjadi staf Kementerian Kebijakan Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Institut Pertanian Bogor pada periode 2009-2010. Penulis juga aktif di Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Pelajar Sulawesi Selatan (IKAMI SUL SEL) Cabang Bogor dan menjadi bendahara pada periode 2009-2011. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan di kampus. Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Kelompok Tani Mantap Batur, Banjarnegara pada tahun 2008 dan di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang, Banten pada tahun 2009.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia dan limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Penampilan Produksi Induk Sapi Brahman Cross (BX) yang

Diinseminasi Buatan Menggunakan Semen Berbeda di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurah

kepada Baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabatnya.

Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya dalam meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia yaitu diantaranya dengan melakukan impor daging dan sapi bakalan. Sapi bakalan impor ini juga digunakan untuk usaha penggemukan di Indonesia. Meningkatnya impor tersebut merupakan indikasi kuat adanya peluang pasar bagi pengembangan usaha pembibitan sapi potong di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan produksi dan reproduksi induk sapi Brahman Cross (BX) yang diinseminasi buatan dengan menggunakan semen sapi pejantan Brahman dan Simmental di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam usaha pembibitan ternak untuk meningkatkan produksi sapi potong di Indonesia.

Penulis memahami bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan informasi tambahan bagi pembaca.

Bogor, Agustus 2011

(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Bangsa Sapi ... 3

Sapi Brahman Cross (BX) ... 3

Sapi Brahman ... 4

Sapi Simmental ... 5

Produktivitas Sapi Potong Indonesia ... 5

Produksi Sapi Potong ... 6

Reproduksi Sapi Potong ... 6

Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi ……… 7

Efisiensi Reproduksi ... 8

Service per Conception (S/C) ... 8

Conception Rate (CR) ... 8

Calving Interval (CI) ... 9

Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong ... 9

Sistem Pemeliharaan Sapi Potong ... 9

Perkandangan ... 10

Manajemen Pemberian Pakan ... 11

Adaptasi Terhadap Iklim dan Topografi ... 12

MATERI DAN METODE ... 13

Lokasi dan Waktu ... 13

Materi ... 13

(9)

ix

Teknik Pengumpulan Data ... 13

Rancangan Percobaan ... 14

Perlakuan ... 14

Analisis Data ... 14

Peubah yang Diamati ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 16

Lokasi dan Tata letak ... 16

Sejarah dan Perkembangan ... 16

Fasilitas dan Bangunan ... 17

Struktur Organisasi ... 17

Bangsa Sapi yang Dipelihara ... 17

Proses Inseminasi Buatan ... 20

Pemeriksaan Kebuntingan (PKB) ... 21

Pemeliharaan Induk Bunting ... 23

Kelahiran ... 24

Pemeliharaan Pedet ... 26

Efisiensi Reproduksi ... 27

Calving Interval (CI) ... 28

Calving Rate (C/R) ... 30

Service per Conception (S/C) ... 30

Conception Rate (CR) ... 32

Bobot Lahir ... 33

Bobot Sapih ... 35

KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

Kesimpulan ... 38 Saran ... 38 UCAPAN TERIMAKASIH ... 39 DAFTAR PUSTAKA ... 40 LAMPIRAN ... 43 viii

(10)

x

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Nilai calving interval, service per conception, conception rate,

dan calving rate induk sapi Brahman Cross di PT LJP pada tahun 2008-2010...

28

2. Rataan bobot lahir dan bobot sapih pedet hasil persilangan antara induk Brahman Cross dengan bangsa sapi pejantan yang berbeda pada tahun 2008...

33

3. Rataan bobot lahir dan bobot sapih pedet hasil persilangan antara induk Brahman Cross dengan bangsa sapi pejantan yang berbeda pada tahun 2009...

34

4. Rataan bobot lahir dan bobot sapih pedet hasil persilangan antara induk Brahman Cross dengan bangsa sapi pejantan yang berbeda pada tahun 2010...

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bagan Struktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa………. 18

2. Peralatan Inseminasi Buatan di PT LJP Serang-Banten ………. 20

3. Tempat Pelaksanaan IB di PT LJP Serang-Banten……….. 22

4. Pemeriksaan Kebuntingan di PT LJP Serang-Banten ………. 23

5. Kelahiran: (a) Induk Setelah Beranak dan (b) Induk Menjilati Anak.. 25

6. Pedet yang Baru Lahir ………. 26 7. (a) Pedet Brahman Cross Hasil Persilangan antara Induk Sapi BX

dengan Pejantan Brahman……… (b) Pedet Simbrah Hasil Persilangan antara Induk Sapi BX dengan Pejantan Simmental………..

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Ragam Bobot Lahir pada Tahun 2008... 44

2. Hasil Analisis Ragam Bobot Sapih pada Tahun 2008... 44

3. Hasil Analisis Ragam Bobot Lahir pada Tahun 2009... 44

4. Hasil Analisis Ragam Bobot Sapih pada Tahun 2009... 44

5. Hasil Analisis Ragam Bobot Lahir pada Tahun 2010... 44

6. Hasil Analisis Ragam Bobot Sapih pada Tahun 2010... 44

7. Rataan Umum Peubah yang Diamati pada Tahun 2008……... 45

8. Rataan Peubah yang Diamati Menurut Bangsa Pejantan pada Tahun 2008………... 45 9. Rataan Peubah yang Diamati Menurut Jenis Kelamin Pedet pada

Tahun 2008………...

45 10. Rataan Peubah yang Diamati Menurut Bangsa Pejantan dan Jenis

Kelamin Pedet pada Tahun 2008………..

45

11. Rataan Umum Peubah yang Diamati pada Tahun 2009………..

46 12. Rataan Peubah yang Diamati Menurut Bangsa Pejantan pada Tahun

2009………..

46 13. Rataan Peubah yang Diamati Menurut Jenis Kelamin Pedet pada

Tahun 2009………...

46 14. Rataan Peubah yang Diamati Menurut Bangsa Pejantan dan Jenis

Kelamin Pedet pada Tahun 2009………..

46 15. Rataan Umum Peubah yang Diamati pada Tahun

2010………..

47 16. Rataan Peubah yang Diamati Menurut Bangsa Pejantan pada Tahun

2010………..

47 17. Rataan Peubah yang Diamati Menurut Jenis Kelamin Pedet pada

Tahun 2010………...

47 18. Rataan Peubah yang Diamati Menurut Bangsa Pejantan dan Jenis

Kelamin Pedet pada Tahun 2010………..

(13)

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Pada tahun 2008 Indonesia masih mengimpor 45.579.833 kg daging sapi. Populasi ternak sapi potong di Indonesia yang tercatat pada tahun 2008 mencapai 11.869.200 ekor, sementara ternak yang dipotong pada tahun yang sama sebesar 1.295.789 ekor (Badan Pusat Statistika, 2009). Impor daging dan sapi bakalan merupakan beberapa upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia. Jumlah impor sapi bakalan di Indonesia mencapai 448.856 ekor pada tahun 2008 (Badan Pusat Statistika, 2009). Sapi bakalan impor ini juga digunakan untuk usaha penggemukan di Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk mengembangkan usaha pembibitan sapi adalah dengan mendorong perusahaan pembibitan sapi bakalan untuk juga mengembangkan usaha pembibitan, seperti PT Lembu Jantan Perkasa yang mengusahakan penggemukan dan pembibitan sapi. Menurut Direktorat Jenderal Produksi Peternakan (2006), usaha pembibitan adalah kegiatan budidaya menghasilkan bibit ternak untuk keperluan sendiri atau untuk diperjualbelikan. Bibit sapi potong merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya mendukung terpenuhinya kebutuhan daging.

Usaha peningkatan produktivitas sapi potong dapat dilakukan dengan menyilangkan induk sapi dengan bangsa-bangsa sapi Eropa. Persilangan tersebut dapat dilakukan melalui program Inseminasi Buatan (IB). Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu teknik perkawinan yang dapat digunakan untuk memperbaiki mutu genetik ternak sapi potong melalui pejantan unggul dan pencegahan penularan penyakit kelamin yang dapat terjadi melalui kawin alam. Program IB di Indonesia dilakukan sejak tahun 1950-an. Program tersebut pada awalnya ditujukan untuk meningkatkan populasi ternak, namun dalam perkembangannya tujuan utama IB adalah untuk memperbaiki mutu genetik. Keberhasilan pelaksanaan IB ditentukan oleh tercapainya efisiensi reproduksi, peningkatan populasi sapi potong dan diterimanya IB oleh peternak. Efisiensi reproduksi dalam pelaksanaan IB

(14)

2 dipengaruhi oleh peubah-peubah diantaranya jarak beranak (calving interval), jumlah pelayanan per kebuntingan (service per conception), angka kebuntingan (conception rate) dan angka kelahiran (calving rate).

PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten merupakan salah satu perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang penggemukan, pembibitan dan pemasaran sapi potong. Perusahaan ini telah berdiri sejak tahun 1996 hingga sekarang dan telah banyak menyuplai bibit sapi potong. PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten juga merupakan salah satu perusahaan penggemukan sapi terbaik di Indonesia.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan produksi dan reproduksi induk sapi Brahman Cross (BX) yang diinseminasi buatan dengan menggunakan semen sapi pejantan Brahman dan Simmental di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten.

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi

Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Berdasarkan karakteristik tersebut, sapi dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya.

Menurut Blakely dan Bade, (1991) bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :

Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Mamalia Sub class : Theria Infra class : Eutheria Ordo : Artiodactyla Sub ordo : Ruminantia Infra ordo : Pecora Famili : Bovidae Genus : Bos (cattle) Group : Taurinae

Spesies : Bos taurus (sapi Eropa)

Bos indicus (sapi India/sapi Zebu) Bos sondaicus (banteng/sapi Bali)

Sapi Brahman Cross (BX)

Minish dan Fox (1979) menyatakan bahwa sapi Brahman di Australia secara komersial jarang dikembangkan secara murni dan banyak disilangkan dengan sapi Hereford-Shorthorn (HS). Hasil persilangan dengan Hereford dikenal dengan nama Brahman Cross (BX). Sapi ini mempunyai keistimewaan, karena tahan terhadap suhu panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi terhadap makanan jelek serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi. Sapi Brahman Cross (BX) pada awalnya dikembangkan di stasiun CSIRO‟S Tropical Cattle Research Centre di Rockhampton Australia. Materi dasarnya adalah sapi American Brahman, Hereford

(16)

4 dan Shorthorn. Sapi BX mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25% darah Hereford dan 25% darah Shorthorn. Secara fisik bentuk fenotip sapi BX lebih cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi darahnya yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir masih jelas, bentuk kepala dan telinga besar menggantung, sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi mewarisi tetuanya (Turner, 1977).

Sapi Brahman Cross (BX) memiliki sifat-sifat seperti: (1) persentase kelahiran 81.2%, (2) rataan bobot lahir 28.4 kg, bobot umur 13 bulan mencapai 212 kg dan umur 18 bulan bisa mencapai 295 kg, (3) angka mortalitas postnatal sampai umur 7 hari sebesar 5.2%, mortalitas sebelum disapih 4.4%, mortalitas lepas sapih sampai umur 15 bulan sebesar 1.2% dan mortalitas dewasa sebesar 0.6%, (4) daya tahan terhadap panas cukup tinggi karena produksi panas basal rendah dengan pengeluaran panas yang efektif, (5) ketahanan terhadap parasit dan penyakit sangat baik, serta (6) efisiensi penggunaan pakan terletak antara sapi Brahman dan persilangan Hereford-Shorthorn (Turner, 1977).

Sapi BX di Indonesia diimpor dari Australia sekitar tahun 1973 namun penampilan yang dihasilkan tidak sebaik dengan di Australia. Hasil pengamatan di ladang ternak Sulawesi Selatan memperlihatkan: (1) persentase beranak 40.91%, (2) calf crop 42.54%, (3) mortalitas pedet 5.93%, (4) mortalitas induk 2.92%, (5) bobot sapih umur 8-9 bulan 141.5 kg (jantan) dan 138.3 kg (betina), (6) pertambahan bobot badan sebelum disapih sebesar 0.38 kg/hari (Hardjosubroto, 1994).

Sapi Brahman

Bangsa sapi Brahman dikembangkan di Amerika Serikat dengan mencampurkan darah tiga bangsa sapi India yaitu bangsa-bangsa Gir, Guzerat dan Nellore. Sapi Brahman merupakan bangsa sapi ukuran medium, pedetnya juga berukuran berat medium, namun berat sapi umumnya termasuk ringan. Sapi ini bertanduk dan warnanya bervariasi mulai dari abu-abu muda, totol-totol, sampai hitam. Terdapat punuk pada punggung di belakang kepala, yang merupakan kelanjutan dari otot-otot pundak dengan telinga yang berpendulous panjang, serta adanya pendulous yang longgar sepanjang leher. Sapi Brahman mempunyai sifat-sifat yang hanya dipunyai oleh beberapa bangsa sapi tertentu, yaitu ketahanannya

(17)

5 terhadap kondisi tatalaksana yang sangat minimal, toleransi terhadap panas, kemampuannya untuk mengasuh anak, daya tahan terhadap kondisi yang jelek seperti penyakit dan parasit. Sapi Brahman banyak digunakan untuk persilangan dengan sapi-sapi lain. Kelemahan yang dimilki oleh bangsa sapi ini adalah toleransi terhadap suhu udara yang rendah, masak lambat serta rendahnya fertilitas (Blakely dan Bade, 1991).

Sapi Simmental

Sapi Simmental berasal dari lembah Simme di Swiss. Sapi Simmental berwarna merah, bervariasi mulai dari yang gelap sampai hampir kuning dengan totol-totol serta mukanya berwarna putih. Sapi ini terkenal karena menyusui anaknya dengan baik serta pertumbuhannya cepat, badannya panjang dan padat. Sapi Simmental berukuran berat, baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa (Blakely dan Bade, 1991). Sapi Simmental berukuran besar, lebih besar dari pada bangsa sapi yang terdapat di Inggris. Pertumbuhan ototnya sangat baik dan tidak banyak terdapat penimbunan lemak dibawah kulit. Warna bulu pada umumnya krem kecoklatan hingga sedikit merah dan warna bulu pada muka putih, demikian pula dari lutut ke bawah dan pada ujung ekor warna bulunya putih. Tanduknya tidak begitu besar, meskipun berat lahir anaknya tidak setinggi anak Charolais dan Maineanjou, tetapi berat sapihnya tinggi demikian pula pertambahan berat badannya setelah sapih. Produksi susunya tinggi (rata-rata 3.900 kg/laktasi) dengan persentase lemak susu sebesar 4%. Berat sapi jantan dewasa kira-kira 1.150 kg dan yang betina kira-kira 800 kg. Melihat daya gunanya yang luas (triguna), diperkirakan sapi ini cocok untuk memperbaiki mutu sapi di Indonesia (Pane, 1986).

Produktivitas Sapi Potong di Indonesia

Ternak sapi potong di Indonesia sebagai salah satu sumber daging belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dikarenakan jumlahnya masih rendah. Faktor yang menyebabkan produksi daging masih rendah adalah rendahnya populasi dan tingkat produksi ternak sapi. Segi kualitas daging sapi yang ada pada umumnya berkualitas rendah, dipengaruhi oleh umur sapi, jenis kelamin dan kondisi tubuh.

(18)

6

Produksi Sapi Potong

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa usaha peternakan ruminansia besar penghasil daging dapat dikelompokkan ke dalam beberapa program produksi sapi yang masing-masing memiliki kekhususan dalam pengelolaannya. Program tersebut antara lain produksi anak (cow calf), pembesaran anak sapi sapihan (stocker) dan penggemukan (finisher).

Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa produksi ternak sapi potong sangat berhubungan dengan performanya, seperti bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh dan kondisi ternak. Penimbangan bobot badan ternak sapi tidak mungkin dilakukan maka ukuran tubuh dapat digunakan sebagai alat penduga bobot hidup dan dapat menggambarkan penampilan produksi ternak sapi. Beberapa ukuran tubuh seperti lingkar dada, panjang badan dan tinggi gumba dapat dijadikan indikator bagi bobot hidup ternak sapi potong. Produksi ternak yang menguntungkan membutuhkan ternak-ternak yang sehat, karena penyakit merupakan faktor pembatas keuntungan di kebanyakan daerah tropis (Williamson dan Payne, 1993).

Reproduksi Sapi Potong

Aspek reproduksi merupakan dasar utama di dalam peternakan dan menentukan tingkat prestasi produksi. Semakin tinggi tingkat reproduksi yang dicapai, maka produksi yang dicapai akan meningkat pula (Natasasmita dan Mudikdjo, 1979). Sistem reproduksi jantan dan betina belum berfungsi secara sempurna sebelum seekor sapi mencapai masak kelamin (pubertas), yakni umur pada saat dicapai dewasa kelamin. Umur pada saat tercapainya masak kelamin, bervariasi diantara bangsa-bangsa sapi, dengan suatu kisaran umur 8-18 bulan (Blakely dan Bade, 1991). Terjadinya estrus pertama pada hewan betina muda sangat menyolok karena timbul secara tiba-tiba. Umumnya sapi-sapi Brahman dan Zebu mencapai pubertas 6-12 bulan lebih lambat daripada bangsa-bangsa sapi Eropa. Ternak sapi betina bangsa Eropa pubertas mulai timbul pada umur 6-18 bulan, sedangkan sapi Brahman dan Zebu pada umur 12-30 bulan. Penurunan tingkat makanan pada sapi potong pada umumnya dapat memperlambat pubertas (Toelihere, 1979). Umur pubertas lebih awal dapat terjadi pada perkembangan sapi dara yang dipelihara dengan baik atau memilki kondisi badan yang baik.

(19)

7 Umur yang dianjurkan pada perkawinan pertama sapi potong adalah 14-22 bulan. Sapi-sapi dara Eropa yang tumbuh baik tidak dikawinkan sebelum mencapai umur 14-18 bulan, karena pubertas berkembang jauh sebelum dapat terjadi konsepsi, kebutingan dan kelahiran normal. Sapi potong yang kurang baik pertumbuhannya baru dapat dikawinkan sesudah mencapai umur 18-24 bulan (Toelihere, 1979).

Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi

Fertilisasi maksimal akan dihasilkan jika mortalitas dan kesehatan sperma yang dideposisikan ke dalam saluran kelamin betina berjumlah cukup serta pada tempat dan waktu yang terbaik saat ovulasi (Gomes, 1977). Hal ini menurut Toelihere (1993), memerlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga inseminasi dapat dilakukan pada waktu yang tepat. Demikian juga teknik inseminasi dilakukan secara cermat oleh tenaga terampil dan juga hewan betina yang sehat dalam kondisi reproduksi yang optimal (Toelihere, 1993). Puncak keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) tergantung dari penempatan semen berkualitas tinggi yang tepat di dalam alat reproduksi betina (Bearden dan Fuguay, 1997).

Tanda-tanda visual sapi betina menjelang berahi adalah pembengkakan dan vulva yang menjadi merah serta keadaan gelisah yang menunjukkan keinginan untuk kawin, tetapi perilaku yang amat menonjol adalah mengusir atau diusir oleh temannya. Kunci untuk menentukan sedang berahi adalah sapi betina yang akan tetap diam apabila dinaiki (Blakely dan Bade, 1991). Menurut Frandson (1993), konsepsi masih dapat terjadi pada sapi yang dikawinkan mulai dari 34 jam sebelum ovulasi sampai 14 jam setelah ovulasi. Spermatozoa dari pejantan harus hadir sekurang-kurangnya 6 jam di dalam uterus atau oviduk betina sebelum mampu membuahi sebuah ovum (Frandson, 1993). Inseminasi yang tepat sebaiknya dilakukan pada saat mulai pertengahan estrus sampai 6 jam sesudah puncak berahi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Evaluasi semen harus dilakukan untuk menentukan pergerakan (motilitas) dan daya hidup (viabilitas) sperma yang diejakulasikan, meskipun keadaan fisik pejantan itu tidak memperlihatkan kelemahan atau kekurangan tertentu (Blakely dan Bade, 1991).

(20)

8

Efisiensi Reproduksi

Payne (1970) menyatakan bahwa IB dapat dipakai untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama dalam mengatasi kegagalan reproduksi, tetapi tidak selamanya IB dapat memberikan hasil yang lebih baik dari kawin alam, misalnya jumlah pelayanan per kebuntingan atau service per conception. Balai Inseminasi Buatan Singosari (1997) memberikan suatu gambaran efisiensi reproduksi ternak dengan mengevaluasi nilai conception rate (CR) dan service per conception (S/C). Direktorat Jenderal Peternakan (1991) memberikan pedoman dalam mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan IB dengan memberikan nilai standar dari calving interval (CI) 12 bulan, service per conception (S/C) 1,6 dan conception rate (CR) 62,5%.

Service per Conception (S/C)

Service per conception adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor ternak menjadi bunting (Salisbury dan Van Demark, 1985). Service per conception merupakan ukuran berapa kali seekor ternak sapi melakukan perkawinan hingga ternak tersebut bunting. Nilai S/C yang normal menurut Toelihere (1979) berkisar antara 1,6-2,0. Penelitian Depison et al. (2003) pada persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) dapat mencapai nilai S/C sebesar 1,45. Semakin rendah nilai tersebut, makin tinggi nilai kesuburan hewan-hewan betina kelompok-kelompok tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas semen yang digunakan, deteksi berahi, body condition score (BCS), tingkat kemampuan inseminator dan bobot hidup (Kutsiyah et al., 2002). Menurut Vandeplassche (1982), nilai S/C yang rendah sangat penting dalam arti ekonomis, baik dalam perkawinan alam maupun melalui IB. Nilai S/C dianggap tidak baik apabila melebihi angka 2,0 karena hal ini menunjukan gambaran reproduksi yang tidak efisien dan akan merugikan secara ekonomis.

Conception Rate (CR)

Angka dari persentase sapi betina yang bunting disebut dengan nilai conception rate atau angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosis kebuntingan oleh dokter hewan dalam waktu 45–60 hari sesudah inseminasi (Partodihardjo 1987). Toelihere (1993) menyatakan bahwa conception rate di negara

(21)

9 maju dapat berkisar antara 60-70%, namun untuk kondisi di Indonesia conception rate sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika dibawah 50% berarti menunjukkan wilayah tersebut memiliki ternak yang kurang subur. Menurut Toelihere (1993), angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Pengaruh ketiga kombinasi tersebut dapat menghasilkan angka konsepsi sebesar 64%. Teknik inseminasi yang baik dan benar akan mempertahankan nilai tersebut. Penelitian Depison et al. (2003) menunjukkan hasil persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) dapat mencapai nilai CR sebesar 61,29%.

Calving Interval (CI)

Jarak beranak (calving interval) adalah periode waktu antara dua kelahiran yang berurutan dan dapat juga dihitung dengan menjumlahkan periode kebuntingan dengan periode days open (interval antara saat kelahiran dengan terjadinya perkawinan yang subur berikutnya) (Sutan, 1988). Interval kelahiran atau jangka waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya seharusnya 12-13 bulan (Toelihere, 1979). Efisiensi yang buruk ditandai dengan interval kelahiran yang lebih panjang. Umur sapih pedet cenderung memperpanjang jarak beranak. Sapi menyusui pedet lebih lama akan menunda perkawinan pertama kali setelah beranak. Menurut Bowker et al. (1978), faktor -faktor yang mempengaruhi jarak beranak, yaitu lama bunting, jenis kelamin pedet yang dilahirkan, umur penyapihan pedet, S/C, bulan beranak, bulan saat terjadinya konsepsi dan jarak waktu sapi pertama kali dikawinkan setelah beranak

Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong Sistem Pemeliharaan Sapi Potong

Menjaga kelangsungan hidup sapi potong yang sehat dengan pertumbuhan yang baik, maka pemeliharaan dan perawatan harus dilakukan sebaik-baiknya. Keberhasilan tahap pemeliharaan sebelumnya merupakan pangkal pemeliharaan berikutnya, sehingga usaha pemeliharaan pada umumnya selalu disesuaikan dengan

(22)

10 fase hidup sapi yang bersangkutan, mulai dari pedet, sapi muda dan sapi dewasa (finishing).

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi menjadi tiga yaitu intensif, ekstensif dan mixed farming system. Pemeliharaan secara intensif dibagi menjadi dua yaitu (a) sapi dikandangkan terus-menerus dan (b) sapi dikandangkan pada saat malam hari, kemudian siang hari digembalakan atau disebut semi intensif. Pemeliharaan ternak secara intensif adalah sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus menerus dengan sistem pemberian pakan secara cut and carry. Sistem ini dilakukan karena lahan untuk pemeliharaan secara ekstensif sudah mulai berkurang. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan pakan hasil ikutan dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem ekstensif, sedangkan kelemahannya modal yang digunakan lebih tinggi, masalah penyakit dan limbah peternakannya (Parakkasi, 1999).

Pemeliharaan secara ekstensif adalah pemeliharaan ternak di padang penggembalaan, pola pertanian menetap atau di hutan. Sistem ekstensif biasanya aktivitas perkawinan, pembesaran, pertumbuhan dan penggemukan ternak sapi dilakukan oleh satu orang yang sama di padang penggembalaan yang sama (Parakkasi, 1999). Daerah yang luas padang rumputnya, tandus dan iklimnya tidak memungkinkan untuk pertanian, maka dapat dilakukan usaha peternakan secara ekstensif. Beberapa daerah melepaskan ternaknya di lapangan tanpa memperhatikan kecukupan pakannya dan keadaan padang rumput (Tafal, 1981). Sistem pemeliharaan mix farming system atau Sistem Pertanian Terpadu adalah petani biasanya memelihara beberapa ekor ternak sapi dengan maksud digemukkan dengan pakan yang ada di dalam atau di sekitar usaha pertanian (Parakkasi, 1999).

Perkandangan

Direktorat Jenderal Peternakan (1985) menyatakan bahwa kandang bagi ternak sapi potong merupakan sarana yang mutlak harus ada. Kandang merupakan tempat berlindung ternak dari hujan, terik matahari, pengamanan terhadap binatang buas, pencuri dan kandang juga merupakan salah satu sarana untuk menjaga kesehatan.

(23)

11 Persyaratan teknis kandang menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2006) adalah sebagai berikut:

1. Konstruksi kandang harus kuat

2. Terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh 3. Sirkulasi udara dan sinar matahari cukup

4. Drainase dan saluran pembuangan limbah baik serta mudah dibersihkan 5. Lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering dan tahan injak 6. Luas kandang memenuhi persyaratan daya tampung

7. Kandang isolasi dibuat terpisah

Manajemen Pemberian Pakan

Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ternak. Bahan pakan ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar lebih dari 18%, sedangkan konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit daripada hijauan dan mengandung karbohidrat, protein dan lemak yang relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit (Williamson dan Payne, 1993).

Jerami termasuk salah satu hijauan yang sering digunakan pada ternak. Namun, hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah (Williamson dan Payne, 1993). Jerami padi memiliki palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila diberikan terlalu banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi, karena kandung nutriennya rendah (Panjono et al., 2000). Tingkat konsumsi ransum sapi berbeda-beda bergantung pada status fisiologinya, sebagai contoh sapi dewasa, finish sedang dapat mengkonsumsi bahan kering minimal 1,4% bobot badan/hari, sedangkan sapi kebiri umur 1 tahun dengan hijauan berkualitas baik dapat mengkonsumsi 3% dari bobot badan (Parakkasi, 1999). Office International des Epizooties (OIE) (2006) menjelaskan bahwa pakan komersial juga harus dipastikan bebas dari residu bahan kimia. Label pada pakan komersial penting diantaranya untuk mengetahui cara pemakaian dengan benar, tanggal kadaluarsa dan identitas perusahaan. Kemasan pakan komersial tersebut harus utuh tanpa cacat yang dapat mempengaruhi isi. Pencatatan atau recording kualitas bahan pakan yang

(24)

12 diterima juga sangat penting dan isinya harus sesuai dengan label, serta tidak mengandung hasil ikutan ternak yang tidak diperbolehkan. Pakan yang dicampur atau diproduksi sendiri mengandung resiko terdapat bahaya residu bahan kimia, tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran bahan-bahan mentah harus dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna.

Adaptasi terhadap Iklim dan Topografi

Iklim merupakan perpaduan dari berbagai unsur seperti suhu, curah hujan, kelembaban, gerakan udara, tekanan udara, kondisi cahaya dan pengionan. Suhu dan curah hujan merupakan faktor lingkungan yang paling penting (Tafal, 1981). Indonesia termasuk daerah tropis, sehingga tidak banyak dipengaruhi oleh perubahan iklim yang berbeda-beda. Negara yang cukup luas ini (± 52.000.000 km2) disertai banyaknya pegunungan dan bukit yang dipisahkan lembah dan laut mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu udara di daerah-daerah tertentu. Keadaan tersebut menyebabkan Indonesia memiliki kondisi tanah dan vegetasi yang berbeda-beda dan memiliki daerah-daerah yang beriklim sangat basah, setengah basah dan kering. Banyak daerah yang memiliki iklim yang cocok untuk peternakan, baik untuk bangsa-bangsa sapi lokal (tropis) maupun sapi impor dari luar negeri. Salah satu faktor iklim yakni suhu lingkungan yang tinggi dapat menurunkan feed intake dan sebaliknya akan menaikkan konsumsi air minum, bila hal ini terus terjadi akan mempengaruhi produktivitas yang diukur dari pertumbuhan dan produksi ususnya serta dapat langsung mempengaruhi reproduksi sapi (Williamson dan Payne, 1993).

Tanah berdasarkan segi topografinya dibedakan menjadi tanah datar dengan kelandaian kurang dari 2o, tanah beralun dengan landaian 2-5o, tanah berombak dengan landaian 5-8o, tanah bergelombang dengan landaian 8-12o , tanah berbukit dengan lereng-lereng 12-23o, tanah curam dengan lereng lebih dari 23o (Tafal, 1981).

(25)

13

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Kegiatan penelitian dilakukan di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten. Pengamatan dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2010. Pengambilan data di perusahaan dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2011.

Materi

Materi yang digunakan pada penelitian ini yaitu induk sapi Brahman Cross (BX) yang diinseminasi buatan dengan bangsa sapi pejantan berbeda dan pedet hasil persilangannya yang terdapat di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Induk sapi Brahman Cross (BX) dibedakan berdasarkan bangsa pejantan yang digunakan pada saat IB (BX x Brahman dan BX x Simmental). Alat-alat yang digunakan adalah alat tulis dan termohygrometer.

Prosedur Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode survei dengan data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan, wawancara langsung dengan staf dan karyawan PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten, serta pengamatan langsung di daerah penelitian. Data sekunder diperoleh dari PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Data sekunder merupakan data periode tahun 2008-2010 yang terdiri atas sejarah perusahaan, struktur organisasi, SOP (perkandangan, manajemen pemberian pakan, pembersihan kandang, recording ternak, penanganan anak, seleksi ternak, penanganan ternak bunting, penanganan kelahiran, pengawinan ternak dan penanganan kesehatan), populasi sapi bibit, perkawinan, produktivitas, penyapihan, seleksi induk serta recording ternak dan kesehatan.

(26)

14

Rancangan Percobaan Perlakuan

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Rancangan Acak Lengkap faktorial 2 x 2 dimana faktor A adalah dua semen sapi pejantan yang berbeda bangsa yaitu bangsa Brahman dan Simmental, sedangkan faktor B adalah jenis kelamin pedet yang berbeda, yaitu jantan dan betina. Penelitian ini terdapat kombinasi 4 perlakuan dan masing-masing perlakuan dengan jumlah ulangan yang tidak sama.

Model matematik yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1995) adalah: Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk

Keterangan :

Yijk = nilai harapan dari perlakuan ke-I pada ulangan ke-j

µ = nilai rataan umum dari harapan yang diinginkan AI = pengaruh faktor A ke-i ( i= Brahman, Simmental)

Bj = pengaruh faktor B ke-j ( j= jantan, betina)

(AB)ij = pengaruh interaksi antara faktor A pada taraf ke-I dan faktor B

pada taraf ke-j.

εijk = galat percobaan dari kombinasi perlakuan (ij) pada ulangan ke-k

(1,2,3,4)

Analisis Data

1. Analisis deskriptif. Data calving interval, service per conception, conception rate, dan calving rate yang diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kondisi peternakan sapi di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten terutama dalam penanganan sapi bibit.

2. Data bobot lahir dan bobot sapih yang diperoleh kemudian dianalisa dengan analysis of variance (ANOVA), apabila ada perbedaan nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01) antara perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji-t tingkat kepercayaan 95%.

(27)

15

Peubah yang Diamati 1. Calving Interval (CI)

Calving interval (CI) adalah selang waktu dari beranak sampai beranak berikutnya (jarak beranak).

CI (bulan) = kelahiran bulan ke-i – kelahiran ke (i-1) 2. Service per conception (S/C)

Service per conception (S/C) adalah jumlah pelayanan IB (jumlah straw) yang diperlukan untuk menghasilkan kebuntingan seekor sapi.

3. Conception rate (CR)

Conception rate (CR) adalah jumlah positif bunting pada IB pertama dibagi akseptor yang di IB dkali 100%.

4. Calving rate (C/R)

Calving rate adalah jumlah kelahiran dibagi jumlah akseptor yang di IB di kali 100%.

5. Bobot lahir

Bobot lahir adalah berat awal pedet pertama kali ditimbang sesaat setelah lahir.

6. Bobot sapih

Bobot sapih adalah berat pada saat pedet pertama kali disapih (dipisahkan dari induknya).

(28)

16

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi dan Tata Letak

PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) Serang-Banten merupakan salah satu peternakan sapi potong yang bergerak di bidang breeding, fattening dan trading. Perusahaan ini terletak di Jalan Raya Serang-Pandeglang km 9.6 Desa Sindangsari, Kecamatan Pabuaran, Serang-Banten. PT LJP Serang-Banten berada sekitar 200 m dari jalan raya, memiliki topografi yang landai dan datar dengan ketinggian 200 m di atas permukaan air laut. Rataan suhu di sekitar lokasi perusahaan adalah 28 ºC dengan kisaran 24,5-31 ºC dan rataan kelembaban udara 72% dengan kisaran 54-90%. Curah hujan di daerah ini sebesar 1.500-3.000 mm per tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 141 hari per tahun. PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ranca Lutung dan Desa Baruan, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tanjung dan persawahan, sebelah Barat berbatasan dengan kebun masyarakat Desa Sindangsari dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tonggoh.

Sejarah dan Perkembangan

PT Lembu Jantan Perkasa didirikan pada tahun 1990 oleh Bapak Djaya Gunawan. Perusahaan ini memiliki kantor pusat yang terletak di Jalan Tarum Barat E11-12 No. 8, Jakarta Timur. Visi perusahaan adalah meningkatkan kualitas dan modernisasi tataniaga sapi potong, yang bertujuan untuk menunjang usaha peningkatan gizi masyarakat melalui pemenuhan kebutuhan ternak sapi potong dalam lingkup regional dan nasional. Perusahaan terdaftar sebagai anggota Apfindo (Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia) dengan nomor registrasi 015/APFINDO/1995 tanggal 29 Agustus 1995 dan fokus pada usaha di bidang perdagangan, impor dan penggemukan sapi potong.

PT Lembu Jantan Perkasa pada tahun 2004 mulai merintis usaha pembibitan sapi potong secara intensif di Serang, Banten. PT Lembu Jantan Perkasa merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang bergerak di bidang pembibitan dan

(29)

17 penggemukan sapi potong secara intensif. PT Lembu Jantan Perkasa menjadi salah satu perusahaan penggemukan sapi terbaik di Indonesia karena didukung tenaga kerja berpengalaman sejak tahun 1973, walaupun perusahaan ini bukan yang terbesar. PT Lembu Jantan Perkasa memiliki beberapa cabang perusahaan yaitu di Serang-Banten, Cikalong-Bandung, Langkat-Medan dan Sawah Lunto-Padang.

Fasilitas dan Bangunan

Fasilitas dan bangunan yang terdapat di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten adalah kantor, kandang pemeliharaan, kandang isolasi, laboratorium, loading chute, cattle yard, gang way, crush (kandang jepit), mess manajer dan karyawan, pos satpam, gudang alat, mushola, gudang pakan dan unit penanganan limbah. Loading chute digunakan untuk menurunkan dan menaikkan sapi dari atau ke truk, tinggi loading chute ini sekitar 1,15 m. Cattle yard merupakan tempat penanganan ternak sementara seperti bongkar muat sapi, penimbangan, pemasangan ear tag, pengobatan, pemeriksaan kebuntingan (PKB), pemeriksaan alat reproduksi (PAR), seleksi sapi dan Inseminasi Buatan (IB). Gang way merupakan lorong tempat sapi berjalan dari cattle yard menuju ke kandang ataupun sebaliknya. Kandang di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten terdiri dari 2 jenis yaitu kandang tertutup dan kandang terbuka.

Struktur Organisasi

Struktur organisasi sangat dibutuhkan dalam menunjang operasional suatu usaha. PT LJP merupakan perusahaan keluarga yang sekarang dipimpin oleh Ibu Joyce Aryani Gunawan. Struktur organisasi di PT LJP dapat dilihat pada Gambar 1.

Bangsa Sapi yang Dipelihara

Bangsa sapi yang dipelihara di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten yaitu Brahman Cross (BX). Sapi Brahman Cross (BX) yang dipelihara di PT LJP berasal dari Australia. Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Pemberian pakan pada ternak sapi di perusahaan ini disesuaikan dengan status fisiologis ternak tersebut. Frekuensi pemberian pakan minimal 2 kali sehari untuk

(30)

18 Gambar 1. Struktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa (Sumber : Arsip PT Lembu Jantan Perkasa)

Bagian Umum

Administrasi Head Office General Marketing

Direksi

Kandang Fattening Kandang Breeding

Kesehatan Hewan Supervisor Kesehatan Hewan Supervisor

Manager Fattening Hijauan MakananTernak Staf Keamanan Manager Cikalong Staf Limbah Unit Feedmill Manager Breeding Administrasi Farm Farm Manager General Manager 18

(31)

19 setiap jenis pakan. Bahan pakan ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Setiap usaha pembibitan sapi potong harus menyediakan pakan yang cukup bagi ternaknya, baik yang berasal dari pakan hijauan maupun pakan konsentrat. PT LJP memiliki kebun rumput dan dua unit gudang pengolahan pakan. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak yaitu lebih dari 18% daripada berat keringnya, sedangkan konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit yaitu kurang dari 18% daripada hijauan dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit (Williamson dan Payne, 1993).

Pakan hijauan dapat berasal dari rumput, leguminosa, sisa hasil pertanian dan dedaunan yang mempunyai kadar serat yang relatif tinggi dan kadar energi rendah. Pakan hijauan yang digunakan di PT LJP yaitu rumput Taiwan dan jerami. Rumput Taiwan digunakan karena produksinya yang tinggi, mampu menyimpan air saat musim kemarau dan batang tidak terlalu cepat tua. Jerami termasuk salah satu hijauan yang sering digunakan pada ternak. Namun, hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah (Williamson dan Payne, 1993). Jerami padi memiliki palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila diberikan terlalu banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi karena kandungan nutriennya rendah (Panjono et al., 2000). Produksi hijauan yang ada telah mampu mencukupi kebutuhan ternak di perusahaan ini. Produksi rumput di PT LJP pada tahun 2009 sebesar 1.500 ton dan mencapai 1.220 ton pada pertengahan tahun 2010.

Pakan konsentrat yaitu pakan dengan kadar serat rendah dan kadar energi tinggi, tidak terkontaminasi mikroba, penyakit, stimulan pertumbuhan, hormon, bahan kimia, obat-obatan, mycotoxin melebihi tingkat yang dapat diterima oleh negara pengimpor. Pakan konsentrat diproduksi sendiri oleh perusahaan dan setiap status ternak berbeda-beda jenis pakan konsentratnya. Kode konsentrat diantaranya yaitu “weaner” untuk pedet, “R-Brd New” untuk calon bibit dan induk bunting, “R1 G048” untuk laktasi. Bahan pakan yang digunakan pada pembuatan konsentrat “weaner“ diantaranya yaitu polard, kopra, bungkil kedelai, molases, onggok, dan premix. Bahan pakan yang digunakan pada pembuatan konsentrat “R-Brd New” dan “R1 G048” sama, namun berbeda pada komposisinya. Bahan tersebut diantaranya

(32)

20 yaitu polard, kopra, bungkil sawit, molases, onggok, gaplek, kulit kopi, dan premix. Perusahaan membuat label pada setiap pakan komersial yang dibuatnya meliputi kode pakan dan tanggal pembuatan. Pakan yang dicampur atau diproduksi perusahaan mengandung resiko terdapat bahaya residu bahan kimia, tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran bahan-bahan mentah harus dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna. Air minum disediakan ad libitum.

Proses Inseminasi Buatan

Inseminasi Buatan dilakukan pada induk sapi yang berahi. Deteksi berahi dilakukan dengan mengamati sapi yang berada di kandang. Sapi yang dianggap berahi adalah sapi yang diam jika dinaiki oleh sapi yang lain. Menurut Blakely dan Bade (1991), tanda-tanda visual sapi betina menjelang berahi adalah pembengkakan dan vulva yang menjadi merah serta keadaan gelisah yang menunjukkan keinginan untuk kawin, tetapi perilaku yang amat menonjol adalah mengusir atau diusir oleh temannya dan sapi betina akan tetap tinggal diam saja apabila dinaiki. Salisbury dan Vandemark (1985) menambahkan bahwa sapi berahi biasanya tidak tenang, vulvanya agak membengkak dan berwarna merah. Peralatan yang digunakan pada saat inseminsai buatan di PT LJP Serang-Banten ditunjukkan pada Gambar 2.

(33)

21 Sapi betina hanya mau menerima pejantan dalam periode berahi saja, yang berlangsung sekitar 16 jam, dan hal ini akan terulang lagi tiap 21 hari, apabila tidak terjadi kebuntingan (Blakely dan Bade, 1991). Sapi yang terdeteksi berahi dicatat nomornya dan waktu berahinya. Pengawinan dengan Inseminasi Buatan di PT LJP dilaksanakan ±10 jam setelah tanda berahi terlihat. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar dapat terjadi pembuahan, sehingga perkawinan harus berlangsung pada bagian akhir dari berahi. Blakely dan Bade (1991) menjelaskan bahwa masa hidup sel telur adalah 6 sampai 12 jam, sedangkan masa hidup sperma adalah 30 jam. Menurut Salisbury dan Vandemark (1985) inseminasi yang tepat sebaiknya dilakukan pada saat mulai pertengahan estrus sampai 6 jam sesudah puncak birahi. Pelaksanaan IB dilakukan di kandang jepit yang terdapat di unit kesehatan PT LJP Serang-Banten.

Menurut Blakely dan Bade (1991), dalam waktu inseminasi, semen yang berasal dari straw plastik dimasukkan ke dalam saluran reproduksi sapi betina. Apabila semen tersebut berada di dalam straw plastik, maka alat yang digunakan yaitu straw gun. Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan straw plastik adalah bahwa semen tersebut dapat secara langsung ditempatkan di dalam saluran reproduksi, tanpa harus memindahkan semen dari ampul ke kateter. Hal ini menyebabkan penggunaan straw menjadi lebih sederhana serta lebih menjamin jumlah sperma hidup yang maksimum bisa diinseminasikan. Semen yang digunakan di PT LJP berasal dari tiga bangsa yaitu Brahman, Simmental dan Limousin. Penggunaan bangsa pejantan berdasarkan performa dari induk yang akan diinseminasi. Sapi yang telah di IB selanjutnya dipindahkan ke kandang IB. Gambar 3 menunjukkan tempat pelaksanaan IB di PT LJP Serang-Banten.

Pemeriksaan Kebuntingan (PKB)

Pemeriksaan kebuntingan (PKB) dilakukan pada sapi yang telah di IB dan tidak mengalami berahi kembali. Menurut Salisbury dan Vandemark (1985) penentuan sapi bunting atau tidak bunting pada umur kebuntingan muda mempunyai arti ekonomis yang sangat besar bagi peternak. Kebuntingan pada sapi dapat didiagnosa melalui palpasi rektal. Prinsip palpasi rektal adalah memasukkan tangan

(34)

22 dan lengan ke dalam rektum seekor sapi betina dan dari dinding rektum dirasakan adanya tanda-tanda kebuntingan (Blakely dan Bade, 1991).

Gambar 3. Tempat Pelaksanaan IB di PT LJP Serang-Banten

Proses pemeriksaan kebuntingan dilakukan oleh tenaga ahli breeding PT LJP. Pemeriksaan kebuntingan di PT LJP dilakukan di cattle yard dengan menempatkan sapi yang akan diperiksa ke dalam kandang jepit berukuran 160cm x 70cm x 170cm dengan posisi pemeriksa berdiri miring menghadap ternak. Bagian belakang kandang jepit dilengkapi dengan palang untuk menghindari tendangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere (2006) yang menyatakan bahwa sapi yang akan diperiksa harus ditempatkan di dalam kandang jepit untuk mencegah bahaya bagi pemeriksa terhadap tendangan, pergerakan ke depan dan ke samping oleh ternak yang diperiksa. Toelihere (2006) menambahkan bahwa sapi jarang menendang bila sedang diperiksa secara rektal, tetapi sapi yang terkejut dapat menendang ke belakang dan biasanya tendangan terjadi menjelang atau pada saat tangan dimasukkan ke dalam rektum. Keamanan ternak juga harus diperhatikan dalam proses PKB. Petugas harus berkuku pendek dan tidak tajam, tidak memakai perhiasan dan disarankan menggunakan pelicin sewaktu palpasi.

Menurut Toelihere (2006), diagnosa kebuntingan melalui palpasi rektal dapat dilakukan secara tepat mulai hari ke 35 setelah inseminasi. Namun pemeriksaan

(35)

23 kebuntingan paling aman apabila dilakukan mulai hari ke 60 setelah inseminasi. Blakely dan Bade (1991) menambahkan bahwa palpasi rektal dapat dilakukan sekitar umur kebuntingan 60 hari bagi kebanyakan peternak. Pemeriksaan kebuntingan di PT LJP dilakukan 60 hari setelah dilakukan IB. Sapi yang dinyatakan bunting setelah PKB selanjutnya dipindahkan ke kandang bunting, sedangkan sapi yang tidak dinyatakan bunting akan dipindahkan ke kandang ex-PKB untuk dilakukan PKB ulang 1 bulan kemudian. Gambar 4 menunjukkan saat pemeriksaan kebuntingan (PKB) di PT LJP.

Gambar 4. Pemeriksaan Kebuntingan di PT LJP Serang-Banten

Pemeliharaan Induk Bunting

Sapi yang dinyatakan bunting selanjutnya ditempatkan di kandang bunting. Sapi bunting dikelompokkan berdasarkan umur kebuntingan. Sapi yang umur kebuntingannya 1-7 bulan ditempatkan di kandang bunting muda, sedangkan sapi yang umur kebuntingannya 8-9 bulan ditempatkan di kandang bunting tua. Kandang khusus sapi bunting dilengkapi dengan halaman untuk melakukan exercise. Exercise dapat membantu mempermudah proses saat sapi beranak. Pengamatan lebih ditingkatkan pada induk bunting menjelang 2-3 hari sebelum beranak. Menurut Toelihere (2006) hewan betina bertambah tenang, lamban dan hati-hati dalam

(36)

24 pergerakannya sesuai dengan pertambahan umur kebuntingan, terutama pada minggu-minggu terakhir dan terdapat kecenderungan pertambahan berat badan.

Kelahiran

Tanda-tanda menjelang kelahiran dimulai dengan berkembangnya ambing. Hal ini dapat terjadi sewaktu masih 6 minggu sebelum kelahiran. Tanda yang terlihat dalam waktu seminggu sebelum kelahiran adalah pembengkakan vulva dan warnanya yang menjadi merah, serta terjadinya relaksasi pelvis. Tanda-tanda yang semakin jelas sesaat menjelang kelahiran adalah pembesaran puting dan keluarnya cairan mucous dari vulva. Sapi betina pada tahapan ini dapat menunjukkan tetesan air susu dari puting (Blakely dan Bade, 1991). Salisbury dan Vandemark (1985) menambahkan bahwa tanda-tanda akan terjadinya kelahiran yaitu vulva membengkak dan sering terlihat lendir menggantung. Sapi-sapi yang menunjukkan gejala-gejala tersebut lebih ditingkatkan pengawasannya. Induk sapi yang dapat melahirkan normal hanya diamati agar proses melahirkan tidak terganggu.

Salisbury dan Vandemark (1985) menjelaskan bahwa posisi fetus normal yaitu kedua kaki depan terentang, kepala beserta leher lurus sejalan dengan kaki tersebut. Melalui posisi yang normal ini, kepala dan kaki depan akan terkulai ke bawah waktu keluar dari vulva dan pelvis, pedet terangkat ke atas sedangkan kaki depan merentang ke belakang. Blakely dan Bade (1991) menambahkan bahwa presentasi fetus yang normal adalah kaki depan terlebih dahulu, dengan kepala berada di antaranya. Kontraksi uterus menyebabkan kaki mendorong plasenta lalu terlepaslah cairan amnion yang berperan sebagai pelumas untuk lewatnya fetus. Waktu kelahiran yang normal rata-rata sekitar 30 menit tanpa pertolongan. Penanganan kesehatan induk yang melahirkan normal di PT LJP yaitu dengan pemberian antibiotik (Limoxin LA) sebanyak 15 ml, hormon oxytocin sebanyak 5 ml dan vitamin A, D dan E (Vitol) sebanyak 7 ml. Vitamin dan antibiotik diberikan dengan tujuan untuk memulihkan kondisi sapi setelah beranak, sedangkan hormon oxytocin untuk merangsang pengeluaran air susu.

Induk yang mengalami kesulitan beranak atau distokia digiring ke unit kesehatan untuk dibantu proses beranaknya. Distokia ditangani dengan cara mengikat kaki pedet dan menariknya. Distokia adalah kasus yang umum dialami oleh

(37)

25 induk saat beranak. Menurut Blakely dan Bade (1991), apabila kelahiran tidak juga terjadi dalam waktu sekitar 2 jam sejak permulaan munculnya „labor pain‟, seorang dokter hewan hendaknya mulai mengamati apakah ada masalah persentasi yang tidak normal. Toelihere (2006) menambahkan bahwa distokia atau kesulitan beranak merupakan salah satu kondisi kebidanan yang harus ditangani oleh dokter hewan atau bidan ternak. Distokia lebih sering terjadi pada hewan atau bangsa hewan yang selalu dikurung atau dikandangkan dibandingkan dengan hewan yang dilepas di alam bebas (Toelihere, 2006). Induk setelah beranak dan saat menjilati anaknya ditunjukkan pada Gambar 5.

( a ) ( b )

Gambar 5. Kelahiran: (a) Induk Setelah Beranak dan (b) Induk Menjilati Anak Selanjutnya Toelihere (2006) menjelaskan penyebab distokia diantaranya sebab herediter, nutrisional dan manajemen, penyakit menular, traumatik dan sebab-sebab campuran. Sebab herediter yaitu terdapat pada induk yang berpredisposisi terhadap distokia, atau faktor-faktor tersembunyi yang dapat menghasilkan fetus yang defektif. Sebab nutrisional dan manajemen diantaranya kondisi makanan ternak yang sedang bunting dan manajemen saat partus. Distokia dikarenakan ukuran induk yang kecil sering ditemukan pada sapi dara yang baru pertama kali beranak. Penyebab lain distokia yaitu posisi fetus yang tidak normal. Menurut Salisbury dan Vandemark (1985), posisi fetus abnormal yaitu tulang-tulang kaki-kaki fetus

(38)

seakan-26 akan terjepit atau terkunci pada tulang-tulang induknya, sehingga mempersulit keluarnya fetus atau sama sekali tidak dapat keluar. Penanganan kesehatan induk yang mengalami distokia di PT LJP yaitu dengan pemberian antibiotik (Limoxin 200 LA) sebanyak 15 ml, hormon oxytocin 5 ml dan multivitamin (vitol) 5 ml. Vitamin dan antibiotik berfungsi untuk memulihkan kondisi sapi setelah beranak.

Pemeliharaan Pedet

Pedet yang baru lahir akan diperiksa apakah kondisi tubuhnya normal atau cacat. Menurut Blakely dan Bade (1991), pedet yang baru lahir umumnya akan dijilati oleh induknya. Apabila hal tersebut tidak dilakukan oleh induk guna membantu pernafasan pedet, peternak haruslah yakin bahwa tidak ada selaput-selaput yang menutupi mulut dan lubang hidung pedet. Perlakuan yang diberikan pada pedet yang baru lahir adalah memotong tali pusar dengan jarak ±5 cm dari abdomen, kemudian diberi desinfektan dan anti lalat. Pemberian yodium pada pusar pedet yang baru lahir sangat dianjurkan untuk mencegah timbulnya tetanus atau penyakit lain (Blakely dan Bade, 1991). Pedet yang baru lahir ditunjukkan pada Gambar 6.

(39)

27 Bersamaan dengan kelahiran adalah inisiasi sekresi air susu pada induk sapi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Pedet yang baru lahir dipelihara bersama induk di kandang laktasi sampai pedet disapih sehingga pedet mendapatkan kolostrum. Kolostrum merupakan susu khusus yang dihasilkan selama 3 hari pertama sesudah kelahiran, diperlukan oleh pedet yang baru lahir untuk kehidupannya. Kolostrum tidak saja mengandung banyak energi, mineral dan vitamin yang dibutuhkan untuk memulai kehidupan bagi pedet yang bersangkutan, tetapi juga mengandung antibodi yang merupakan pelindung terhadap kemungkinan adanya infeksi dan penyakit (Blakely dan Bade, 1991). Pedet dibiarkan menyusu pada induk secara bebas selama 2-3 bulan. Penimbangan bobot lahir dilakukan paling lambat 24 jam setelah kelahiran. Pedet yang baru lahir dicatat jenis kelaminnya, tanggal lahir dan ear tag induknya. Hal ini dilakukan untuk mempermudah recording. Pedet tersebut akan dipasang ear tag pada umur 3-4 hari. Pedet diberi vitamin A, D dan E sebanyak 2 ml/ekor saat pemberian ear tag. Menurut Blakely dan Bade (1991), selain untuk memudahkan dalam mengenalinya, ear tag disarankan untuk dipasang agar tidak perlu melakukan cek ulang. Pedet yang induknya mati atau produksi susu induknya rendah dipelihara di dalam calves box berukuran 100 cm x 126 cm x 135 cm dan diberikan susu yang dimasukkan ke dalam dot. Susu yang diberikan tersebut berasal dari foster mother. Induk yang memiliki mother ability rendah namun produksi susunya tinggi, ditempatkan di dalam kandang jepit agar pedet tidak ditendang saat menyusu pada induknya.

Efisiensi Reproduksi

Payne (1970) menyatakan bahwa IB dapat dipakai untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama dalam mengatasi kegagalan reproduksi, tetapi tidak selamanya IB dapat memberikan hasil yang lebih baik dari kawin alam, misalnya jumlah pelayanan per kebuntingan atau service per conception . Efisiensi reproduksi berkaitan erat dengan efisiensi ekonomi dengan melakukan teknik-teknik tertentu untuk memaksimumkan keuntungan genetik, memperoleh kesuburan, serta untuk pelaksanaan efisiensi usaha yang optimum. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi reproduksi adalah genetika sapi, nutrisi, manajemen kandang, sanitasi serta inseminator yang melayani IB. Berbagai peubah dalam pengukuran efisiensi

(40)

28 reproduksi pada sapi antara lain service per conception (S/C), conception rate (CR), calving interval (CI), dan calving rate (C/R). Nilai calving interval, service per conception, conception rate, dan calving rate induk sapi Brahman Cross di PT LJP pada tahun 2008-2010 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai calving interval, service per conception, conception rate, dan calving rate induk Sapi Brahman Cross di PT LJP pada tahun 2008-2010

Peubah Pejantan

Simmental Brahman

Tahun 2008

Populasi (n) 28 42

Service per Conception 1,4 1,8

Conception Rate (%) 64 46

Tahun 2009

Populasi (n) 148 242

Service per Conception 1,5 1,4

Conception Rate (%) 62 69

Calving Interval (hari) 408

Calving Rate (%) 23

Tahun 2010

Populasi (n) 64 104

Service per Conception 1,5 1,3

Conception Rate (%) 63 71

Calving Interval (hari) 372

Calving Rate (%) 84

Calving Interval (CI)

Calving interval (jarak beranak) adalah periode waktu antara dua kelahiran yang berurutan dan dapat juga dihitung dengan menjumlahkan periode kebuntingan dengan periode days open (interval antara saat kelahiran dengan terjadinya

(41)

29 perkawinan yang subur berikutnya) (Sutan, 1988). Nilai calving interval di PT LJP pada tahun 2009 sebesar 408 hari dan pada tahun 2010 menurun menjadi 372 hari (Tabel 1). Penurunan nilai CI sebesar 36 hari ini menunjukkan bahwa PT LJP dapat meningkatkan produktivitas dari induk sapi Brahman Cross. Penurunan nilai calving interval tersebut dikarenakan manajemen reproduksi yang lebih baik seperti deteksi birahi yang lebih tepat.

Nilai CI PT LJP masih lebih tinggi dibandingkan nilai CI yang ditetapkan oleh Dirjen Peternakan sebesar 365 hari. Sementara itu, menurut Toelihere (1979) interval kelahiran atau jangka waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya seharusnya adalah 12-13 bulan. Nilai CI yang terdapat di PT LJP masih lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Iswoyo dan Priyantini (2008) yang menunjukkan bahwa nilai CI peranakan Simmental sebesar 392,28±77,27 hari. Menurut Toelihere (1979), sapi betina yang memiliki CI yang panjang dapat disebabkan karena beberapa faktor seperti kesalahan manajemen, faktor keturunan yang kurang menguntungkan, penyakit yang menyebabkan infertilitas seperti abortus, distokia dan penyakit-penyakit postpartus, serta kelalaian peternak yang menghambat kelangsungan reproduksi ternak yang bersangkutan.

Toelihere (2006) menjelaskan bahwa fetus jantan biasanya menyebabkan kebuntingan berlangsung lebih lama satu sampai dua hari daripada fetus betina. Bowker et al. (1978) menambahkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi jarak beranak yaitu lama bunting, jenis kelamin pedet yang dilahirkan, umur penyapihan pedet, S/C, bulan beranak, bulan saat terjadinya konsepsi dan jarak waktu sapi pertama kali dikawinkan setelah beranak. Service per conception (S/C) mempunyai korelasi dengan calving interval, hal ini berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menjadi bunting. Hal ini berarti semakin banyak pelayanan IB (S/C), maka semakin panjang calving interval dan jumlah kelahiran akan rendah (Udin, 2003).

Umur penyapihan pedet yang lebih lama akan membuat jarak waktu induk pertama kali dikawinkan setelah beranak menjadi panjang. Hal ini disebabkan karena induk sapi akan menunda perkawinan pertama kali setelah beranak, sehingga dapat memperpanjang jarak beranak. PT LJP memperpendek jarak beranak dengan melakukan pengawinan kembali pada induk yang telah beranak saat masih menyusui

Gambar

Gambar 1.  Struktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa  (Sumber : Arsip PT Lembu Jantan Perkasa) 18 Bagian Umum
Gambar 2. Peralatan Inseminasi Buatan di PT LJP Serang-Banten
Gambar 3. Tempat Pelaksanaan IB di PT LJP Serang-Banten
Gambar 4. Pemeriksaan Kebuntingan di PT LJP Serang-Banten  Pemeliharaan Induk Bunting
+5

Referensi

Dokumen terkait

PERAN PEREMPUAN BERPERAN GANDA TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR ANAK Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

Berdasarkan kajian empiris dan studi literatur tersebutlah yang antara lain mendorong suatu penelitian dengan judul “Peningkatan Kemampuan Membaca Bahasa Indonesia

Beberapa uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa stroke hemoragik adalah salah satu jenis stroke yang disebabkan karena pecahnya pembuluh darah otak yang menyebabkan

Bangunan kontruksi habitus Andi serta masyarakat dalam struktur sosial di pinrang saling terkait dan dibangkitkan kembali dalam proses kontestasi di arena pilkada.Adanya

Kompetensi profesional guru kewirausahaan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar yang indikatornyal antara lain meliputi : (1) Menguasai materi, struktur, konsep dan pola

Persaingan di antara AS dan USSR tersebut tentu tidak lain adalah untuk memperebutkan hegemoni dunia dimana keduanya ingin menjadi penguasa tunggal yang dapat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tumpangsari antara selada dengan terung dengan perlakuan kombinasi dosis pupuk kandang kambing, konsentrasi EM4 sebesar 20 ml/l

[r]