• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Proses Fitoremediasi Air Irigasi Tercemar Bahan Organik melalui Sistem Batch Culture menggunakan Hidromakrofita Lokal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Efektivitas Proses Fitoremediasi Air Irigasi Tercemar Bahan Organik melalui Sistem Batch Culture menggunakan Hidromakrofita Lokal"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Efektivitas Proses Fitoremediasi Air Irigasi Tercemar Bahan Organik melalui Sistem

Batch Culture menggunakan Hidromakrofita Lokal

(The Effectiveness of Phytoremediation Process on Irrigation Water Contaminated by

Organic Matter through Batch Culture System Using Local Hydromacrophytes)

Catur Retnaningdyah1* & Endang Arisoesilaningsih1

F. MIPA Universitas Brawijaya

Jl. Veteran Malang 65145, Tilp. (0341)575840 Fax (0341)554403 *E-mail: caturretnaningdyah@gmail.com

Memasukkan: September 2017, Diterima: Januari 2017

ABSTRACT

Irrigation water in Indonesia generally has polluted by organic matter due to human activities. The aim of study was to develop a package of phytoremediation technology that can effectively reduce organic pollutants in the irrigation water in order to ensure good quality of water irrigation to support organic farming. The study was conducted in greenhouses by planting some local emergent, submerged, floating-leaf hydromacrophytes and polyculture species using a batch culture system on a 30 L bucket with sand and gravel as a substrate. The study used a completely randomized design with the treatment were five types of hydromacrophytes (emergent such as Scirpus sp., Acorus calamus, Marsilea crenata; floating leaf macrophytes included Ipomoea aquatica, Azolla sp.; submerged such as Valisneria sp., Hydrilla verticilata; polyculture of the three hydromacrophytes, and controls without plant) which repeated three times at the same time. The effectiveness of the phytoremediation model for each treatment is determined by its ability to improve water quality as reflected by several physicochemical parameters of pH, DO, conductivity, turbidity, temperature, nitrate, orthophosphate, bicarbonate, BOD, TSS, TDS and TOM six days after incubation. Research results showed that batch culture for six days significantly reduced the organic matter content of irrigation water reflected from decreasing value of BOD, TOM, TSS, turbidity, nitrate, orthophosphate and bicarbonate levels. The six-day phytoremediation process in all treatments has not been able to increase the dissolved oxygen content in the water and has not been able to significantly reduce the conductivity and TDS. Hydromacrophytes submerged and polyculture were more effectively perform phytoremediation process compared with others.

Keywords: Phytoremediation, local hydromacrophytes of emergent, submerged, and floating leaves, water pollution.

ABSTRAK

Air irigasi di Indonesia secara umum telah tercemar oleh bahan organik akibat aktivitas manusia. Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan paket teknologi fitoremediasi yang secara efektif mampu mereduksi bahan pencemar organik di perairan irigasi dalam rangka menjamin ketersediaan air irigasi kualitas baik untuk mendukung pertanian organik. Penelitian ini dilakukan di rumah kaca dengan melakukan penanaman berbagai macam hidromakrofita lokal bersifat emergent, submerged, floating leaf dan polikultur menggunakan sistem batch culture pada bak bervolume 30 L dengan substrat berupa pasir dan kerikil. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan berupa 5 kelompok hidromakrofita yaitu emergent (Scirpus sp., Acorus calamus, Marsilea crenata), floating leaf macrophytes (Ipomoea aquatica, Azolla sp.), submerged (Valisneria sp., Hydrilla verticilata), polikultur ketiga kelompok hidromakrofita tersebut, serta kontrol yang tidak ditanami hidromakrofita. Pengulangan penelitian tiap perlakuan sebanyak tiga kali pada waktu yang sama. Efektivitas model fitoremediasi tiap-tiap perlakuan ditentukan dari kemampuannya meningkatkan kualitas air tercermin dari beberapa parameter fisikokimia meliputi pH, DO, konduktivitas, turbiditas, suhu, nitrat, ortofosfat, bikarbonat, BOD, TSS, TDS dan TOM enam hari setelah inkubasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan pada proses fitoremediasi melalui sistem batch culture selama enam hari secara signifikan telah mampu meningkatkan kualitas air dengan menurunkan tingkat pencemaran bahan organik yang tercermin dari penurunan kadar BOD, TOM, TSS, turbiditas, nitrat, fosfat terlarut dan bikarbonat. Proses fitoremediasi masih belum mampu meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam air serta belum mampu menurunkan konduktivitas dan TDS secara signifikan. Hidromakrofita submerged dan polikultur lebih efektif melakukan proses fitoremediasi dibandingkan dengan perlakuan lain.

(2)

PENDAHULUAN

Pemenuhan kebutuhan pangan menuntut peningkatan hasil produksi padi sebagai salah satu bahan pokok makanan penduduk di Indonesia. Peningkatan produksi padi dapat dilakukan melalui pengaturan penggunaan air irigasi dan penggunaan pupuk serta pestisida sintetik. Sumber air irigasi di Indonesia secara umum berasal dari air permukaan seperti sungai, air terjun, waduk dan danau (Anonim 2010; Kurnia 2001). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa air irigasi secara umum telah tercemar bahan organik dan mengalami euthrofikasi akibat aktivitas manusia yang ada di sekitarnya (Wimbaningrum et al. 2016; Habiebah & Retnaningdyah 2014; Kartikasari et al. 2013; Retnaningdyah & Arisoesilaningsih 2013a).

Pencemaran organik dan terjadinya eutrofikasi di perairan akan mempengaruhi sumber daya hayati di antaranya memicu terjadinya blooming alga di perairan sungai, waduk maupun di lautan. Hal ini selanjutnya akan berdampak pada kematian organisme pada tingkatan trofik yang lebih tinggi (Smith 2003; Retnaningdyah dkk. 2005; Gu et al. 2008; Retnaningdyah 2008; Retnaningdyah dkk. 2010a; Retnaningdyah dkk. 2010b). Air irigasi diperlukan tanaman dalam proses fotosintesis untuk menghasilkan karbohidrat dan biomassa tanaman. Oleh karena itu kualitas air irigasi perlu dikelola dengan baik sehingga mampu memberikan manfaat bagi pengembangan sektor pertanian. Pencemaran organik dan peristiwa eutrofikasi di perairan dapat dikendalikan melalui proses penyerapan dan penyimpanan oleh bahan organik di sedimen, uptake tanaman (hidrofita) dan mikroba serta proses denitrifikasi (Saunders & Kalff 2001; Sybil et al. 2002; Marcus & Kǒhler 2006; Retnaningdyah dkk. 2009; Chen et al. 2010).

Hidromakrofita dan vegetasi riparian di sempadan air irigasi dapat dimanfaatkan dalam proses fitoremediasi untuk mendegradasi bahan pencemar toksik terutama residu pestisida toksik yang diaplikasikan di lahan pertanian tersebut (Chaudhry et al. 2002). Hasil penelitian Tiwari et al. (2008) menunjukkan bahwa

Portulaca tuberosa dan P. oleracea mampu mengakumulasi lebih dari satu jenis logam berat yaitu Cd, Cr dan As dalam konsentrasi yang sangat

tinggi. Hasil penelitian Retnaningdyah dan

Arisoesilaningsih (2013b) menunjukkan bahwa penanaman vegetasi riparian berupa Limnocharis flava, Ipomoea aquatica, Fimbristylis globulosa, Vetiveria zizanoides, Equisetum ramosissium, Typha angustifolia dan Scirpus grossus sepanjang 275 m di saluran irigasi di wilayah Kepanjen Kabupaten Malang selama 40 hari secara signifikan mampu meningkatkan kualitas air dari significant organic pollution menjadi fairly significant organic pollution yang tercermin dari makroinvertebrata bentos sebagai bioindikator. Namun demikian aplikasi penggunaan vegetasi riparian di saluran irigasi untuk peningkatan kualitas air tersebut terkendala oleh kebijakan Dinas Pertanian setempat untuk membuat bangunan sipil (jawa=plengsengan) di sepanjang saluran irigasi.

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk pengembangan paket teknologi fitoremediasi yang secara efektif mampu mereduksi bahan pencemar organik di perairan irigasi dalam rangka menjamin ketersediaan air irigasi kualitas baik untuk mendukung pertanian organik. Model fitoremediasi menggunakan berbagai jenis hidromakrofita lokal bersifat emergent, floating leaf dan submerged pada habitat sistem batch culture. Efektivitas model fitoremediasi dalam mereduksi bahan pencemar di air irigasi tercemar bahan organik tercermin dari penurunan konsentrasi parameter fisiko-kimia air. Penentuan jenis tanaman ini berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Sundari et al. 2013; Retnaningdyah & Arisoesilaningsih (2013b); Ivansyah & Retnaningdyah 2013; Arisoesilaningsih dkk. 2014). Hidromakrofita emergent berfungsi untuk mengendapkan partikel tersuspensi, berakar di dasar dan sebagian terbenam di air, bagian atas tanaman berada di atas permukaan seperti mendong (Fimbristylis sp.), Endog-endogan (Typha sp.), Rumput wligian (Scirpus), dlingo (Acorus calamus), keladi (Colocasia esculenta), Cyperus alternatifolius dan Marsilea crenata. Hidromakrofita dengan daun terapung (floating leaf macrophyte) seperti teratai (Nymphaea sp.), kangkung (Ipomoea aquatica), dan Azolla sp yang juga berfungsi untuk mengendapkan partikel tersuspensi. Hidromakrofita yang bersifat tenggelam/ terbenam seluruhnya di dalam air (submerged) seperti Hydrilla verticilata, Utricularia sp. dan Valisneria sp. mempunyai kelebihan menghasilkan

(3)

oksigen terlarut di perairan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di bak penampungan air irigasi rumah kaca UB. Pengukuran kualitas air di laboratorium Ekologi dan Diversitas Hewan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya Malang.

Penelitian ini merupakan eksperimen murni menggunakan rancangan acak lengkap (Krebs, 1999). Perlakuan berupa jenis hidromakrofita yang digunakan untuk proses fitoremedasi model batch culture system meliputi lima kelompok hidromakrofita yaitu emergent (Scirpus sp., Acorus calamus, Marsilea crenata), floating leaf macrophytes (Ipomoea aquatica, Azolla sp.), submerged (Valisneria sp., Hydrilla verticilata), polikutur ketiga kelompok hidromakrofita tersebut, serta kontrol yang tidak ditanami hidromakrofita. Penanaman hidromakrofita pada tiap-tiap bak perlakuan sebesar 25 % dari luas permukaan. Pada tiap-tiap dasar bak perlakuan ini diberi substrat berupa pasir dan kerikil dengan ketinggian masing-masing 5 cm. Volume air irigasi yang digunakan untuk penelitian tiap bak adalah 25L.

Efektivitas model fitoremediasi tiap-tiap perlakuan ditentukan dari kemampuannya meningkatkan kualitas air tercermin dari beberapa parameter fisikokimia meliputi pH, DO, konduktivitas, turbiditas, suhu, nitrat, ortofosfat, bikarbonat, BOD, TSS, TDS dan TOM. Pemantauan kualitas air dilakukan pada hari ke 0 yaitu sesaat setelah perlakuan dan hari ke enam setelah inkubasi.

Alat atau metode pengukuran tiap parameter yang diamati dapat dilihat pada Tabel 1 (Cleceri et al., 1998) Model fitoremediasi dikatakan berhasil apabila ditemukan penurunan yang signifikan dari kadar tiap parameter fisikokimia yang diamati (kecuali DO).

Data hasil pengukuran parameter fisik dan kimia pada tiap perlakuan dikompilasi kemudian dihitung nilai rata-rata dan kesalahan baku (standard error) pada masing-masing perlakuan dan waktu pantau. Perbedaan tiap parameter antar perlakuan dan waktu pantau ditentukan menggunakan uji Anova (jika data normal) yang dilanjutkan dengan uji Tukey HSD (jika varian homogen) atau Games Howell (jika varian tidak homogen) pada α<0,05. Tingkat pencemaran perairan juga dapat diketahui dengan mem-bandingkan nilai rata-rata kualitas air yang didapatkan dengan Baku Mutu Air (BMA) berdasarkan PP No. 82 th 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Untuk melihat adanya pengelompokan atas dasar kesamaan sifat fisikokimia pada tiap perlakuan dan waktu pengamatan dibuat dendogram melalui analisis cluster rata-rata (Average Linkage Clustering) dengan metode pengelompokan pasangan tanpa pembobotan (Unweighted Pair-Group Method atau UPGMA) menurut Krebs (1989) dan dilanjutkan analisis Biplot menggunakan program PAST.

HASIL

Keberhasilan proses fitoremediasi secara batch culture melalui penanaman hidromakrofita

No. Parameter Satuan Alat/Metode

I. Analisis di lapangan

1. Temperatur o C Termometer digital

2. pH - pH meter

3. Konduktivitas mS/cm Konduktivitimeter

4. Oksigen terlarut (DO) mg/L DOmeter

5. Turbiditas NTU Turbidimeter

II. Analisis di laboratorium

6. Nitrat mg/L Metode Brusin

7. Bikarbonat (HCO3-) mg/L Titrimetri

8. BOD mg/L Potensiometri

9. Total Organic Matter (TOM) mg/L Titrimetri

10. TSS mg/L Gravimetri

11. TDS mg/L Gravimetri

12. Ortofosfat mg/L Stannous Chloride

(4)

emergent, submerged dan yang bersifat floating dapat diketahui melalui pengukuran tiap-tiap parameter kualitas fisikokimia air enam hari setelah penanaman hidromakrofita (Gambar 1). Nilai pH air irigasi yang digunakan untuk perlakuan berkisar antara 7,74–8,03. Penanaman hidromakrofita lokal secara batch culture selama enam hari cenderung meningkatkan pH menjadi 7,62-8,49. Peningkatan pH ini diiringi oleh penurunan nilai alkalinitas atau kadar bikarbonat dari 2,35-2,65 meq/L menjadi 0,95-1,34 meq/L pada hari ke- enam setelah inkubasi. Peningkatan nilai pH juga diikuti oleh peningkatan daya hantar listrik (DHL) atau konduktivitas air dari 302,00-344,00 µS/cm menjadi 370,00-409,00 µS/cm atau sebanding dengan 0,302-0,409 dS/ m. Nilai padatan terlarut total (TDS) air irigasi yang digunakan untuk perlakuan berkisar antara 203,78-231,60 mg/L dan meningkat menjadi 240,10-290,15 mg/L (kecuali proses fitoremediasi menggunakan hidromakrofita submerged dan polikultur dengan nilai TDS 454,44-500,50 mg/l) pada hari ke-enam setelah inkubasi. Proses fitoremediasi pada semua perlakuan dengan inkubasi selama enam hari ini juga masih belum mampu meningkatkan kadar oksigen terlarut di perairan. Hasil pemantauan menunjukkan kadar DO menurun dari 4,22-5,41 mg/L menjadi 2,45-3,42 mg/L.

Penanaman hidromakrofita baik berupa emergent, submerged, floating leaf ataupun polikultur ketiganya selama enam hari, telah mampu menurunkan padatan tersuspensi yang tercermin dari penurunan TSS dan turbiditas. Padatan total tersuspensi (TSS) turun dari 14,60 -21,71 mg/L di awal perlakuan menjadi 0,08-0,37 mg/L setelah proses fitoremediasi selama enam hari. Sedangkan nilai turbiditas turun dari 15,53-22,87 NTU menjadi 0,65-1,46 NTU. Perlakuan kontrol tanpa penanaman hidromakrofita namun diberi substrat kerikil dan pasir, juga mampu menurunkan padatan tersuspensi dari 14,69 mg/L menjadi 2,55 mg/L dan juga turbiditas dari 27,10 NTU menjadi 3,24 NTU.

Keberadaan bahan organik di perairan, selain ditunjukkan oleh parameter TOM (Total Organic Matter) juga bisa ditunjukkan dari nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand). Kadar BOD dan nilai TOM (Gambar 1) setelah melewati proses fitoremediasi selama enam hari

terdapat kecenderungan terjadi penurunan meskipun tidak signifikan. Nilai TOM pada perlakuan fitoremediasi menggunakan hidromakrofita lokal selama enam hari berhasil turun dari 658,07-744,71 mg/L menjadi 584,34-637,79 mg/L, sedangkan kadar BOD turun dari 11,40-14,79 mg/L menjadi 3,61-6,15 mg/L. Perlakuan kontrol mampu menurunkan kadar BOD lebih sedikit yaitu dari 12,76 mg/L menjadi 6,15 mg/ L, namun untuk nilai TOM justru meningkat dari 632,26 mg/L menjadi 678,35 mg/L.

Residu pupuk sintetik yang ada di perairan irigasi dapat tercermin dari kadar P dan N di perairan baik dalam bentuk fosfat terlarut maupun nitrat. Penanaman hidromakrofita lokal yang bersifat floating, emergent maupun submerged pada sistem batch culture selama enam telah mampu menurunkan kadar nitrat dan fosfat terlarut secara signifikan di perairan (Gambar 1). Kadar nitrat pada perlakuan turun secara signifikan dari 1,16-1,53 mg/L menjadi 0,03-0,04 mg/L, sedangkan fosfat terlarut turun dari 0,24-0,50 mg/L menjadi 0,03-0,13 mg/L. Kontrol tanpa hidromakrofita hanya mampu menurunkan nitrat dari 1,94 mg/L menjadi 0,73 mg/L dan fosfat terlarut dari 0,29 mg/L menjadi 0,26 mg/L.

Efektivitas proses fitoremediasi dapat terlihat dari peningkatan kualitas air setelah inkubasi selama enam hari. Apabila proses fitoremediasi tersebut dapat secara efektif meningkatkan kualitas air, maka akan terjadi perbedaan kualitas fisik-kimia perairan tersebut antara air irigasi sebelum perlakuan dengan kualitas air setelah enam hari inkubasi yang dapat terlihat dari pengelompokan kualitas air berdasarkan analisis Cluster dan Biplot seperti terlihat pada Gambar 2. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses fitoremediasi pada penelitian ini telah mampu meningkatkan kualitas fisik-kimia air. Hal ini terlihat dari perbedaan kualitas air secara signifikan antara hari ke 0 (sesaat setelah perlakuan) dengan kualitas air enam hari setelah inkubasi. Kualitas air pada hari ke-enam setelah inkubasi terbagi menjadi dua kelompok yaitu perlakuan kontrol, emergent dan Floating leaf menjadi satu kelompok dan perlakuan submerged dan polikultur menjadi kelompok yang berbeda dengan kualitas yang lebih baik.

(5)

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pemantauan kualitas fisik kimia air yang dibandingkan antara air sesaat setelah perlakuan dan enam hari setelah inkubasi pada proses fitoremediasi melalui penanaman berbagai macam hidromakrofita lokal baik yang bersifat floating, emergent, maupun submerged dan polikultur ketiganya dapat

disimpulkan secara umum bahwa proses fitoremediasi tersebut sudah secara signifikan mampu menurunkan alkalinitas (bikarbonat), turbiditas, TSS, BOD, nitrat dan fosfat terlarut. Ada kecenderungan menurunkan TOM, sedangkan nilai konduktivitas dan TDS masih meningkat. pH berfluktuasi dan kadar DO semakin menurun. Hidromakrofita pada proses fitoremediasi ini selama enam hari ini berperan sebagai filter sedimen,

Gambar 1. Perbandingan kualitas fisika kimia air irigasi sesaat setelah perlakuan proses fitoremediasi dan enam hari setelah inkubasi

Keterangan: K= kontrol tanpa hidromakrofita, E=emergent, F= floating leaf hydromacrophytes, S=submerged, P=polikultur. Notasi yang sama pada tiap parameter menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Games Howell kecuali parameter konduktivitas berdasarkan Tukey HSD α 0,05

(6)

fosfor dan nitrogen organik. Dengan demikian peningkatan kualitas air hasil proses fitoremediasi selama enam hari ini masih belum optimal mengingat ada beberapa parameter yang masih belum memenuhi standar yang diharapkan. Belum optimalnya proses fitoremediasi ini kemungkinan disebabkan masih kurangnya hidromakrofita yang ditanam. Waktu inkubasi hanya enam hari setelah penanaman masih belum cukup untuk menumbuhkan tanaman tersebut menjadi stabil.

Nilai pH air irigasi, baik sebelum perlakuan maupun sesudah proses fitoremediasi selama enam hari yang berkisar antara 7,74 – 8,49 masih memenuhi baku mutu kualitas air berdasarkan ketetapan PP RI No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Golongan I sampai III yaitu 6-9 dan juga telah memenuhi ketentuan standar kualitas air irigasi secara internasional dari FAO

sebesar 6,5-8,4 (kecuali perlakuan submerged dengan pH 8,49). Peningkatan nilai pH dipengaruhi oleh penurunan kadar bikarbonat (HCO3-) atau alkalinitas air dari 2,35-2,65 meq/L menjadi 0,95-1,34 meq/L pada hari ke enam setelah inkubasi. Menurut Goldman & Horne (1983), nilai bikarbonat (HCO3-) tertinggi (maksimum) dimiliki oleh air dengan pH sekitar 8 dan apabila nilai bikarbonat tersebut semakin rendah, maka nilai pH akan semakin tinggi atau semakin rendah. Nilai bikarbonat air irigasi baik sebelum maupun setelah perlakuan fitoremediasi ini telah memenuhi standar baku mutu air untuk keperluan pertanian menurut FAO yaitu sebesar 0-10 meq/L. Nilai daya hantar listrik atau konduktivitas air meningkat dari 302,00-344,00 µS/cm menjadi 370,00-409,00 µS/cm atau sebanding dengan 0,302-0,409 dS/m. Nilai tersebut sudah memenuhi standar kualitas air irigasi FAO yang mensyaratkan 0-3 dS/m. Nilai

Gambar 2. Hasil analisis cluster (A) dan biplot (B) kualitas air irigasi setelah proses fitoremediasi selama enam hari menggunakan indeks kesamaan jarak euclidean.

Keterangan: K= kontrol tanpa hidromakrofita, E=emergent, F= floating leaf hydromacrophytes, S=submerged, P=polikultur, 0= sesaat setelah perlakuan, 6=enam hari setelah inkubasi.

(7)

konduktivitas dapat digunakan untuk mengetahui kadar garam terlarut (salinitas) yang akan menentukan ketersediaan air bagi tanaman. Nilai konduktivitas dan TDS dapat mencerminkan ada tidaknya permasalahan salinitas (kadar garam terlarut) yang berpengaruh pada tanaman pertanian (Ayers dan Westcot, 1994). Nilai TDS air irigasi tinggi pada proses fitoremediasi menggunakan hidromakrofita submerged dan polikultur dengan nilai 454,44-500,50 mg/L pada hari ke enam setelah inkubasi. Nilai TDS kurang dari 450 mg/L dengan konduktivitas kurang dari 0,7 dS/m mengindikasikan tidak ada permasalahan salinitas pada air irigasi tersebut sehingga dapat digunakan untuk semua tanaman pertanian (tanpa pembatasan). Sedangkan bila nilai TDS 450-2000 mg/L dimasukkan dalam slight to moderate degree of restriction on use.

Hasil pemantauan menunjukkan kadar DO setelah proses fitoremediasi berkisar antara 2,45 -3,42 mg/L. Oksigen terlarut minimum yang dibutuhkan untuk aktivitas pertanian Kelas III adalah 3 mg/L. Rendahnya nilai DO pada proses ini menunjukkan bahwa oksigen hasil proses fotosintesis hanya mampu digunakan untuk respirasi bagi organisme yang ada di dalam bak perlakuan.

Proses fitoremediasi dengan melakukan penanaman hidromakrofita baik berupa emergent, submerged, floating leaf ataupun polikultur ketiganya selama enam hari, telah mampu menurunkan padatan tersuspensi yang tercermin dari penurunan TSS dan turbiditas dan juga menurunkan tingkat pencemaran bahan organik yang tercermin dari penurunan TOM dan BOD. Berdasarkan nilai BOD ini dapat dinyatakan bahwa penanaman hidromakrofita pada proses fitoremediasi ini telah berhasil meningkatkan kualitas air irigasi dari kelas IV menjadi kelas III yang mensyaratkan nilai BOD minimum 6 mg/L. Penurunan kadar tersebut juga terjadi pada kontrol tanpa penanaman hidromakrofita namun diberi substrat kerikil dan pasir, namun dengan persentase penurunan yang lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa mikroba yang ada di air irigasi juga mampu menurunkan kadar pencemar meskipun kurang efektif dibandingkan dengan hidromakrofita.

Berdasarkan hasil analisis Cluster dan Biplot, proses fitoremediasi secara batch culture

selama enam hari menggunakan hidromakrofita emergent, submerged dan yang bersifat floating masih menghasilkan nilai yang tinggi dari kadar TDS, nilai pH dan konduktivitas meskipun masih memenuhi nilai baku mutu yang telah ditetapkan untuk kepentingan pertanian. Namun demikian kadar DO hasil proses fitoremediasi masih rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan karena proses fitoremediasi masih dilakukan dengan metode batch culture. Berdasarkan kelemahan metode batch culture tersebut, dengan demikian perlu dicoba dilakukan proses fitoremediasi menggunakan sistem kontinyu. Hasil penelitian Retnaningdyah dan Arisoesilaningsih (2013b) menunjukkan bahwa penanaman vegetasi riparian berupa Limnocharis flava, Ipomoea aquatica, Fimbristylis globulosa, Vetiveria zizanoides, Equisetum ramosissium, Typha angustifolia dan Scirpus grossus sepanjang 275 m di saluran irigasi di wilayah Kepanjen Kabupaten Malang selama 40 hari secara signifikan mampu meningkatkan kualitas air dari significant organic pollution menjadi fairly significant organic pollution yang tercermin dari makroinvertebrata bentos sebagai bioindikator.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa proses fitoremediasi selama enam hari telah mampu menurunkan kadar BOD, turbiditas, alkalinitas, nitrat dan fosfat terlarut secara signifikan. Proses fitoremediasi selama enam hari tersebut masih dicirikan nilai yang tinggi dari kadar TDS, nilai pH dan konduktivitas meskipun masih memenuhi nilai baku mutu yang telah ditetapkan untuk kepentingan pertanian. Berdasarkan analisis Cluster dan Biplot dapat diketahui bahwa proses fitoremediasi menggunakan tanaman submerged dan polikultur adalah lebih efektif meningkatkan kualitas air irigasi dibandingkan dengan perlakuan lain.

KESIMPULAN

Proses fitoremediasi yang dilakukan secara batch culture melalui penanaman hidromakrofita baik berupa emergent, submerged, floating leaf ataupun polikultur ketiganya selama enam hari, telah mampu meningkatkan kualitas air dengan menurunkan padatan tersuspensi yang tercermin dari penurunan TSS dan turbiditas, menurunkan tingkat pencemaran bahan organik yang

(8)

tercermin dari penurunan TOM, BOD dan bikarbonat, serta menurunkan residu pupuk sintetik pemicu eutrofikasi tercermin dari penurunan nitrat dan fosfat terlarut. Proses fitoremediasi selama enam hari pada semua perlakuan masih belum mampu meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam air serta belum mampu menurunkan konduktivitas dan TDS secara signifikan. Hidromakrofita submerged dan polikultur lebih efektif melakukan proses fitoremediasi dibandingkan dengan perlakuan lain.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini merupakan sebagian dari hasil penelitian yang dibiayai oleh hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Universitas Brawijaya (PUPT UB) 2017, oleh karena itu diucapkan terimakasih kepada Rektor UB dan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Ayers RS., & DW. Westcot. 1994. Water Quality for, Agriculture. FAO Irrigation And Drainage Paper. 29 Rev. 1. Rome. Arisoesilaningsih, E., C. Retnaningdyah, N.

Kurniawan, & M. Imam. 2014. Potensi Kolam Fitoremediasi Air Irigasi Sawah Padi Organik sebagai Habitat Ikan dan Katak Lokal. Laporan Penelitian DPP/ SPP FMIPA UB., Malang.

Chaudhry, Q., P. Schroder, D. Werck-Reichhart, W. Grajek, & R. Marecik. 2002. Prospects and Limitations of Phytoremediation for the Removal of Persistent Pesticides in the Environment. Enviromental Science & Pollution Research. 9: 4-17.

Chen, D., J. Lu, H. Wang, Y. Shen, & MO. Kimberley, 2010. Seasonal variations of nitrogen and phosphorus retention in an agricultural drainage river in East China. Environ Science and Pollution. Research. 17:312–320.

Clesceri, LS., AE. Greenberg, & AD. Eaton. 1998. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. 20th Ed., Washington.

Anonim. 2010. Pedoman Teknis Pengembangan

Irigasi Air Permukaan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Goldman, CR. & AJ. Horne. 1983. Limnology. Mc. Graw Hill International Book Co., New York.

Gu, P., RF. Shen, & YD. Chen. 2008. Diffusion pollution from livestock and poultry rearing in the Yangtze Delta, China. Enviromental Science and Pollutotipn Research. 15:273–277.

Habiebah, RAS. & C. Retnaningdyah. 2014. Evaluasi Kualitas Air Akibat Aktivitas Manusia di Mata Air Sumber Awan dan Salurannya, Singosari Malang. Jurnal Biotropika 2(1): 40-45.

Ivansyah, K. & C. Retnaningdyah, 2013. Potensi Hidromakrofita Lokal untuk Peningkatan Kualitas Air Irigasi Tercemar Residu Pupuk NPK dengan Sistem Batch Culture. Journal Biotropika 1 (3) 2013.

Kartikasari, D., C. Retnaningdyah, & E. Arisoesilaningsih. 2013. Application of Water Quality and Ecology Indices of Benthic Macroinvertebrate to Evaluate Water Quality of Tertiary Irrigation in Malang District. Journal of Tropical Life Science 3(3): 193-201.

Krebs, CJ. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row Publ., New York. Kurnia, G. 2001. Efisiensi Air Irigasi untuk

Memperluas Areal Tanam. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah, Balai Penelitian Tanah, Bogor. Marcus, S., & J. Kǒhler. 2006. A simple model

of phosphorus retention evoked by submerged macrophytes in lowland rivers. Hydrobiology. 563:521–525. Retnaningdyah, C., Prayitno, & Samino S, 2005

Using River Benthic Macroinvertebrates from Indonesia as Bioindicator of Detergent Pollution. ORAL presentation in Third International Conference on Plants and Environmental Pollution (ICPEP-3) during 28 November – 2 December, 2005 at NBRI Lucknow India. Retnaningdyah, C. 2008. Keterkaitan Kualitas

Air dengan Dinamika Populasi Microcystis spp. di Waduk Sutami, Malang, Jawa Timur.

(9)

Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV. Pusat penelitian Limnologi-LIPI, Bogor. Retnaningdyah, C., U. Marwati, Suharjono, N.

Ajijah, Marjono, A. Soegianto, & B. Irawan. 2009. Potensi Formulasi Bakteri Pereduksi Nitrat Waduk Sutami Malang dalam Menghambat Pertumbuhan Microcystis. Berkala Penelitian Hayati 14: 209-217. Retnaningdyah, C., Suharjono, A. Soegianto, &

B. Irawan. 2010a. Blooming Stimulation of Microcystis in Sutami Reservoir Using Nutrients Nitrate and Phosphate in Different Ratio. Journal of Tropical Life Science. 1: 42-46.

Retnaningdyah, C, Suharjono, A. Soegianto, & B. Irawan. 2010b. Daya Dukung dan Laju Pertumbuhan Microcystis Hasil Isolasi dari Waduk Sutami pada Berbagai Variasi Konsentrasi Nitrat dan Fosfat di Media Selektif B-12, Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Hayati ‘Biota’. 15:354 -362.

Retnaningdyah, C. & E. Arisoesilaningsih. 2013a. Indikasi Pencemaran Mata Air di DAS Brantas Hulu Wilayah Malang Raya Menggunakan Indeks Biotik dari Makroinvertebrata Bentos. Prosiding SemNas Biodiversitas 2013, UNS, Solo. Retnaningdyah, C. & E. Arisoesilaningsih, 2013b. Ecological Significance of Irrigation Channel Riparian to Improve Benthic Macroinvertebrate Diversity. Oral presentation on International Conference on Global Resource Conservation (ICGRC). February 7th-8th. Malang, Indonesia.

Saunders, DL, & J. Kalff . 2001. Nitrogen

retention in wetlands, lakes and rivers. Hydrobiology. 443:205–212.

Smith, V. 2003. Eutrophication of freshwater and coastal marine ecosystems: a global problem. Enviromental Science and. Pollution Research. 10:126–139. Sundari, AS., C. Retnaningdyah, & Suharjono.

2013. The Effectiveness of Scirpus grossus and Limnocharis flava as Fitoremediation Agents of Nitrate-Phosphate to Prevent Microcystis Blooming in Fresh Water Ecosystem. Journal. of Tropical Life Science. 3 (1):28-33.

Sybil, PS, VS. Renée, WB. Elizabeth, BA. Richard, B. Gilles, WH. Robert, M. Bernhard, & VB. Nico. 2002. Nitrogen retention in rivers: model development and application to watersheds in the Northeastern U.S.A. Biogeochemical. 57:199–237.

Tiwari, KK, S. Dwivedi, S. Mishra, S. Srivastava, RD. Tripathi, NK. Singh, & S. Chakraborty. 2008. Phytoremediation efficiency of Portulaca tuberosa rox and Portulaca oleracea L. naturally growing in an industrial effluent irrigated area in Vadodra, Gujrat, India. Environmental Monitoring and Assessment 147:15–22. Wimbaningrum, R., S. Indriyani, C. Retnaningdyah, &

E. Arisoesilaningsih. 2016. Monitoring Water Quality Using Biotic Indices of Benthic Macroinvertebrates along Surfaces Water Ecosystems in Some Tourism Areas in East Java, Indonesia. Journal of Indonesian Tourism and Development Studies 4(2):81-90.

(10)

Gambar

Tabel 1.  Faktor  Lingkungan  yang  Diukur dalam Penelitian dan Metode Pengukurannya.
Gambar  1.  Perbandingan  kualitas  fisika  kimia  air  irigasi  sesaat  setelah  perlakuan  proses  fitoremediasi    dan  enam hari setelah inkubasi
Gambar 2. Hasil analisis cluster (A) dan biplot (B) kualitas air irigasi setelah proses fitoremediasi selama enam  hari menggunakan indeks kesamaan jarak euclidean

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian menggunakan analitik observasional dengan pendekatan cross sectional study. Jumlah responden sebanyak 60 orang Dokter Gigi Muda. Teknik pengambilan

Jawaban dari proses penelitian ini setelah dilakukan penelaahan terhadap cerpen dengan mencermati, memperhatikan kalimat, tanda ataupun kata-kata bahwa

Aliran fluida yang masuk dan keluar dari sistem dapat merujuk kepada Diagram Alir PLTU Banten 3 Lontar (Gambar 1), sedangkan besaran ekserginya dapat merujuk kepada tabel 2.

Teknik analisis data dalam bentuk reduksi data, penyajian data (data display), dan menarik kesimpulan/verifikasi untuk memperoleh hasil akhir.Berdasarkan hasil

sirkulasi adalah adalah kegiatan melayani pemakai jasa perpustakaan dalam pemesanan, peminjaman, dan pengembalian bahan pustaka beserta penyelesaian administrasinya

dapat mengungkapkan jawaban dari pemustaka, dan dengan pertimbangan tersebut peneliti akan mengangkat persoalan ini sebagai objek penelitian untuk penyusunan skripsi

Untuk dapat memberikan layanan prima memang perlu sarana yang mendukung salah satu diantaranya adalah dengan menerapkan teknologi informas di perpustakaan. Namun demikian

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa: 75% pengurus Rohis SMA Labschool Jakarta berpandangan radikalisme agama Islam adalah suatu