• Tidak ada hasil yang ditemukan

Universitas Negeri Semarang ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Universitas Negeri Semarang ABSTRAK"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

HUBUNGAN RIWAYAT PAJANAN PESTISIDA DENGAN KEJADIAN GANGGUAN FUNGSI HATI PADA WANITA USIA SUBUR (WUS) DI DESA

SUTAMAJA KECAMATAN KERSANA KABUPATEN BREBES Arum Siwiendrayanti

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang

a_shiwi@yahoo.com

ABSTRAK

Wanita di Desa Sutamaja memiliki keterlibatan dalam aktivitas pertanian yang menggunakan pestisida. Pajanan pestisida dalam jangka panjang dapat mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan, diantaranya adalah gangguan fungsi hati. Gangguan fungsi hati pada WUS (Wanita Usia Subur) tidak hanya akan berdampak pada kesehatan WUS sendiri melainkan juga akan berdampak pada janin ketika yang bersangkutan hamil. Profil Kesehatan Kabupaten Brebes tahun 2007 dan 2008 mencatat adanya kenaikan angka kejadian gangguan fungsi hati. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2009.

Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan riwayat pajanan pestisida dengan kejadian gangguan fungsi hati pada WUS di Desa Sutamaja dengan memperhitungkan faktor risiko lainnya. Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan desain penelitian cross sectional. Jumlah sampel 29 orang, dipilih secara purposive. Instrumen yang digunakan adalah peralatan pengambilan dan pemeriksaan sampel darah serta kuesioner.

Berdasarkan kadar enzim kolinesterase dan keterlibatan dalam aktivitas pertanian, disimpulan bahwa 13 WUS (44,83%) memiliki riwayat pajanan pestisida. Kejadian gangguan fungsi hati WUS di Desa Sutamaja sebesar 34,48%. Terdapat hubungan riwayat pajanan pestisida dengan kejadian gangguan fungsi hati (p=0,008). Faktor risiko lainnya (kebiasaan menggunakan obat nyamuk, konsumsi obat, dan konsumsi jamu) tidak berhubungan dengan kejadian gangguan fungsi hati.

Kata kunci: wanita usia subur, riwayat pajanan pestisida, kejadian gangguan fungsi hati

(2)

2

ASSOCIATION BETWEEN PESTICIDES EXPOSURE AND LIVER DYSFUNCTION ON WOMEN IN CHILDBEARING-AGE AT SUTAMAJA

VILLAGE, KERSANA SUB DISTRICT, BREBES REGENCY Arum Siwiendrayanti

Public Health Department, Sport Science Faculty, Semarang State University a_shiwi@yahoo.com

ABSTRACT

Women in Sutamaja Village were involved in farming activities using pesticides. Long term of pesticides exposure was able to cause many kinds of health disorder, including liver disfunction. Liver disfunction on women in childbearing-age would make bad impacts not only to themselves but also to their fetus when they were pregnant. Health Profiles of Brebes Regency in 2007 and 2008 recorded increasing rate of liver disfunction. This research was done on 2009.

This study analized the assossiation between pesticides exposure and liver disfunction on women in childbearing-age. This was an explanatory research with cross sectional approach. This research purposively took sample of 29 women in childbearing-age. Data were collected by laboratory testing to blood samples and interviewing childbearing-age women.

Based on cholinesterase enzyme level and envolvement in farming activities, it was concluded that 13 childbearing-age women (44,83%) had pesticides exposure. Liver disfunction occurrence on childbearing-age women was 34,48%. There was assossiation between pesticides exposure and liver disfunction (p=0,008). There were no assossiation between the other risk factors (medicine consumption, traditional medicine consumption, and mosquito pesticide use) with liver disfunction.

(3)

3 PENDAHULUAN

Kecamatan Kersana, merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Brebes yang mengandalkan komoditas bawang merah (Profil Daerah Kabupaten Brebes Tahun 2002-2006). Desa Sutamaja merupakan salah satu desa di Kecamatan Kersana yang tingkat pemakaian pestisidanya tinggi sebagai dampak dari luasnya lahan pertanian dan tingginya produktivitas pertanian terutama bawang merah. Penggunaan pestisida di daerah tersebut umumnya dilakukan dengan mencampurkan 3-5 jenis pestisida golongan organofosfat dan karbamat, dengan frekuensi menyemprot hampir setiap hari, terutama pada musim penghujan.

Pelaku aktivitas pertanian yang melibatkan penggunaan pestisida di Desa Sutamaja bukan hanya kaum laki-laki. Kaum wanita juga ikut terlibat dalam aktivitas tersebut yang umumnya berupa kegiatan turut membantu suami bertani dan juga menjadi buruh tani untuk lahan orang lain. Kegiatan tersebut memungkinkan mereka untuk terpajan pestisida.

Mayoritas pestisida yang digunakan di Desa Sutamaja adalah golongan organofosfat dan karbamat yang mana menyebabkan penekanan terhadap fungsi enzim kolinesterase, yaitu suatu enzim yang diperlukan dalam sistem neurotransmiter pada manusia, binatang bertulang belakang dan serangga (Ganong, 2008). Pestisida dapat terabsorbsi ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan, saluran pernafasan, maupun kulit. Pestisida yang terakumulasi dalam jangka panjang akan menimbulkan kerusakan pada organ tubuh yang menjadi target bahan kimia pestisida tersebut seperti hati, ginjal, paru-paru, dan lain-lain (Lu, 1995).

Hati merupakan salah satu organ target pestisida. Beberapa fungsi hati antara lain sebagai pusat metabolisme, memproduksi cairan empedu, memproduksi heparin, memproduksi protein plasma, membersihkan bilirubin dari darah, pusat detoksifikasi, membentuk eritrosit pada masa hidup janin, dan lain-lain. Gangguan pada hati dapat mengganggu fungsi penting hati dalam metabolisme dan detoksifikasi. Gangguan fungsi hati pada WUS (Wanita Usia Subur) selain berdampak pada kesehatannya sendiri juga akan berdampak pada janin ketika yang bersangkutan hamil. Gangguan fungsi hati dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme makanan dan detoksifikasi pada tubuh

(4)

4

ibu sehingga akan berdampak pada jumlah zat makanan dan zat lain yang masuk ke sistem peredaran darah janin (Irianto, 2004).

Aspartate aminotransferase (AST) atau Serum Glutamic Oxsaloasetic transaminase (SGOT), Alanine aminotransferase (ALT) atau Serum Glutamic Pyruvic transaminase (SGPT), dan alkali fosfatase (alkaline phosphatase / ALP) merupakan

beberapa enzim yang kadarnya dalam darah dijadikan penanda terjadinya gangguan fungsi hati. Enzim-enzim tersebut normalnya berada pada sel-sel hati. Kerusakan pada hati akan menyebabkan enzim-enzim hati tersebut lepas ke dalam aliran darah sehingga kadarnya dalam darah meningkat dan menandakan adanya gangguan fungsi hati (Kosasih, 2008). Studi mengenai pajanan pestisida yang dilakukan di Pakistan menunjukkan kadar AST (SGOT), ALT (SGPT), dan ALP yang lebih tinggi pada kelompok pekerja yang terpajan pestisida dibandingkan kelompok pekerja yang tidak terpajan pestisida (Bhalli, 2006).

Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Brebes, pada tingkat rumah sakit, ditemukan 218 kasus kejadian gangguan fungsi hati di Kabupaten Brebes pada tahun 2007, dan meningkat menjadi 358 kasus di tahun 2008. Pajanan bahan toksik seperti pestisida, yang berlangsung terus menerus dalam jangka waktu yang lama maupun gangguan fungsi hati yang kronis dapat meningkatkan risiko kejadian sirosis hati (Chauhan, 2006 dan Litin, 2009). Pajanan bahan toksik seperti pestisida, yang berlangsung terus menerus dalam jangka waktu yang lama juga dapat meningkatkan risiko kejadian penyakit kanker, diantaranya kanker hati (Litin, 2009; Budiawan, 2000). Melihat gangguan atau penyakit lanjutan yang dapat terjadi, kejadian gangguan fungsi hati dapat dijadikan sebagai indikasi perlunya pengendalian lanjutan sebelum terjadi pengaruh biologis yang lebih fatal baik akut maupun kronis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan riwayat pajanan pestisida dengan kejadian gangguan fungsi hati, dengan memperhitungkan beberapa faktor risiko lain.

METODE

Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan desain cross sectional. Populasi penelitian ini adalah semua wanita usia subur (WUS) kisaran usia 17-35 tahun yang bertempat tinggal di Desa Sutamaja. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 29

(5)

5

WUS. Kriteria inklusi untuk pemilihan sampel pada penelitian ini adalah: WUS adalah warga Desa Sutamaja, WUS berusia 17 – 35 tahun, dan WUS telah menandatangani

informed concent. Kriteria eksklusi untuk pemilihan sampel pada penelitian ini adalah:

WUS dalam kondisi hamil, WUS dalam kondisi berpuasa pada saat pengambilan spesimen darah, WUS sedang menderita hepatitis virus pada saat pengambilan spesimen darah, WUS sedang menderita abses hati pada saat pengambilan spesimen darah, WUS sedang menderita penyakit atau gangguan kesehatan yang serius saat pengambilan spesimen darah, WUS memiliki kelainan hati bawaan, WUS terpajan rutin (>3 kali dalam seminggu) oleh bahan kimia lain selain pestisida dan pupuk, serta WUS memiliki kebiasaan mengonsumsi alkohol. Variabel bebas dari penelitian ini adalah riwayat pajanan pestisida dan sebagai variabel terikat adalah kejadian gangguan fungsi hati. Variabel riwayat pajanan pestisida ditentukan dengan mempertimbangkan secara komposit kadar enzim kolinesterase dan keterlibatan dalam aktivitas pertanian. Kadar enzim kolinesterase dipilih dengan pertimbangan secara teoritis akan mengalami penurunan akibat inaktivasi pestisida jenis organofosfat dan karbamat yang terabsorbsi ke dalam tubuh. Keterlibatan dalam aktivitas pertanian dipertimbangkan dalam penentuan riwayat pajanan pestisida untuk memberi kepastian bahwa penurunan kadar kolinesterase benar dikarenakan oleh pajanan pestisida, bukan akibat sebab lain. WUS dikategorikan memiliki riwayat pajanan pestisida jika WUS ikut terlibat dalam aktivitas pertanian dan kadar enzim kolinesterase cenderung rendah. WUS dikategorikan mengalami kejadian gangguan fungsi hati jika WUS dikategorikan tidak normal pada minimal salah satu dari variabel kadar AST (SGOT), variabel kadar ALT (SGPT), dan variabel kadar ALP. Faktor risiko kejadian gangguan fungsi hati yang lain yang juga diukur pada penelitian ini adalah konsumsi obat, konsumsi jamu, dan kebiasaan menggunakan obat nyamuk. Data dikumpulkan dengan wawancara dan pemeriksaan sampel darah.

HASIL

WUS yang terlibat dalam aktivitas pertanian sebanyak 19 WUS (65,5%). Kadar enzim kolinesterase seluruh WUS masih dalam batas normal. Penentuan titik potong dengan ROC Curve (Receiver Operating Characteristics Curve) mendapatkan angka 9,15 kU/L, sehingga didapatkan hasil 17 WUS (58,6%) terkategorikan memiliki

(6)

6

kadar enzim kolinesterase cenderung rendah. Berdasarkan keterlibatan dalam aktivitas pertanian dan kadar enzim kolinesterase secara komposit didapatkan WUS yang memiliki riwayat pajanan pestisida sebanyak 13 WUS (44,8%).

Tabel 1. Riwayat pajanan pestisida berdasarkan kadar kolinesterase dan keterlibatan dalam aktivitas pertanian

Variabel Jumlah Prosentase

Keterlibatan dalam aktivitas pertanian

- Ya 19 65,5

- Tidak 10 34,5

Kadar enzim kolinesterase

- Cenderung rendah 17 58,6

- Normal 12 41,4

Riwayat pajanan pestisida

- Ya 13 44,8

- Tidak 16 55,2

Terdapat 10 WUS (34,48%) yang mengalami kejadian gangguan fungsi hati. Tujuh (70%) diantaranya memiliki kadar ALP yang tidak normal.

ALP tidak normal

AST (SGOT) tidak normal

2 0 0 0 1 1 6

Gambar 1. Diagram distribusi kejadian gangguan fungsi

Uji Fisher menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat pajanan pestisida dengan kejadian gangguan fungsi hati pada WUS di Desa Sutamaja (p=0,008). Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 13 WUS yang memiliki riwayat pajanan pestisida terdapat 1 WUS (7,7%) yang mengalami kejadian gangguan fungsi hati dan dari 16 WUS yang tidak memiliki riwayat pajanan pestisida terdapat 9 WUS (56,3%) yang mengalami kejadian gangguan fungsi hati.

ALT (SGPT) tidak normal

(7)

7

Tabel 2. Hubungan Riwayat Pajanan Pestisida dengan Kejadian Gangguan Fungsi Hati

Riwayat pajanan pestisida

Kejadian Gangguan Fungsi Hati

p Ya Tidak n % n % Ya (n =13) 1 7,7 12 92,3 0,008*) Tidak (n =16) 9 56,3 7 43,7 *) Uji Fisher

Uji Fisher menunjukkan bahwa ketiga faktor risiko kejadian gangguan fungsi hati yang lain tidak memiliki hubungan dengan kejadian gangguan fungsi hati pada WUS di Desa Sutamaja. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor risiko lain tersebut tidak menimbulkan kerancuan hubungan antara riwayat pajanan pestisida dengan kejadian gangguan fungsi hati pada WUS di Desa Sutamaja.

Tabel 4. Hubungan faktor risiko lain dengan kejadian gangguan fungsi hati pada WUS di Desa Sutamaja Tahun 2009

Faktor Risiko

Kejadian Gangguan Fungsi Hati

Jumlah p *) Ya Tidak n % n % Konsumsi obat Ya 0 0 3 100 3 0,265 Tidak 10 38,5 16 61,5 16 Konsumsi jamu Ya 2 40,0 3 60,0 5 0,576 Tidak 8 33,3 16 66,7 24

Kebiasaan menggunakan obat nyamuk

Ya 7 35 13 65 20 0,636

Tidak 3 33,3 6 66,7 9

*) Uji Fisher

PEMBAHASAN

Mayoritas WUS di Desa Sutamaja turut terlibat dalam aktivitas pertanian, selain untuk membantu suami atau ayah juga sebagai buruh tani, umumnya sejak mereka masih kecil. WUS umumnya tidak melakukan penyemprotan pestisida seperti petani/buruh tani laki-laki. Aktivitas pertanian yang dilakukan oleh WUS umumnya “mbrodoli” (membantu melepaskan bawang merah dari tangkainya), “nguleri” (memberantas hama), membantu memanen, dan “nyerabut” (mencabut rumput).

(8)

8

Aktivitas tersebut, walaupun berbeda jenis dan intensitas jika dibandingkan dengan petani/buruh tani laki-laki, tetapi tetap memungkinkan mereka terpajan pestisida. WUS yang bersuamikan petani/buruh tani dimungkinkan pula untuk terpajan pestisida ketika mencuci baju yang telah dipakai menyemprot dan mencuci alat yang dipakai menyemprot. WUS dengan aktivitas tersebut juga dikategorikan terlibat dalam aktivitas pertanian.

WUS dapat mengabsorbsi pestisida melalui saluran pernafasan karena WUS beraktivitas sebagai buruh tani pada dan atau di sekitar lahan pertanian dimana terjadi penyemprotan pestisida. Pestisida yang disemprotkan akan menyebar di udara dalam bentuk aerosol. Mudahnya larut dalam lemak (high lipid solubility) dan ringannya berat molekul aerosol pestisida memungkinkan aerosol tersebut masuk ke saluran pernafasan WUS, baik ketika WUS beraktivitas pada atau sekitar lahan pertanian maupun melalui debu lingkungan yang telah terkontaminasi pestisida (LaDou, 2004). Kondisi ini semakin dipermudah akibat kebiasaan WUS yang tidak mengenakan APD pernafasan. Pemakaian masker kain memang masih bisa dijumpai namun masker kain tidak memadai untuk mencegah masuknya aerosol pestisida ke saluran nafas.

Yullius (1995) yang dikutip Slamet (2003) menyatakan bahwa pestisida yang disemprotkan dapat meninggalkan residu pada tanaman, baik pada permukaan maupun pada daging batang, daun, buah dan akar. Hal tersebut memungkinkan terjadinya absorbsi pestisida oleh WUS melalui kulit. Ini dapat terjadi akibat WUS melalukan kontak dengan tanaman maupun hasil panen yang terlapisi oleh lapisan pestisida hasil penyemprotan (LaDou, 2004). Kontak tersebut dapat terjadi dalam aktivitas ”mbrodoli”, ”nguleri”, ”nyerabut”, dan memanen. Kontak dengan komponen lingkungan yang mengandung residu pestisida juga dapat menyebabkan absorbsi pestisida melalui kulit. Pestisida yang disemprotkan ke udara dapat turun dan meresap ke dalam tanah dan mencemari perairan baik air tegalan maupun sungai dan air sumur. Penelitian Rosliana (2001) yang dikutip oleh Slamet (2003) menunjukkan bahwa tanah di daerah pertanian Lembang-Bandung mengandung residu klorpirifos 0,136-0,699 ppm. Absorbsi pestisida melalui kulit juga dapat terjadi apabila WUS melakukan aktivitas yang kontak dengan pestisida atau sisa pestisida seperti membantu menyiapkan, membantu

(9)

9

mengoplos, dan menyemprot pestisida serta mencuci baju dan peralatan yang telah dipakai menyemprot.

Absorbsi pestisida oleh WUS juga dapat terjadi melalui saluran pencernaan. Tangan dapat terkontaminasi pestisida akibat melakukan berbagai aktivitas pertanian tanpa menggunakan APD sarung tangan dan kebiasaan mencuci tangan-kaki dengan air tegalan yang juga terkontaminasi pestisida. Tangan yang terkontaminasi pestisida digunakan untuk aktivitas makan, minum, dan memasak. Hal tersebut memungkinkan terjadinya kontaminasi pestisida pada makanan dan minuman. Residu yang terkandung pada bahan pangan (sayuran, beras, hasil tanaman bumbu) akibat disemprot pestisida serta tumbuh di atas tanah dan diairi dengan air yang mengandung residu pestisida juga memungkinkan terabsorbsinya pestisida melalui saluran pencernaan.

Pestisida yang banyak digunakan di lahan pertanian Desa Sutamaja adalah jenis organofosfat (misal: Dursban, Radiant, Callicron, Curacron, Selledol, Cedric,

Mercy, Falian, Exocet) dan karbamat (misal: Antracol, Bazoka, Polaram, Victory, Dithane). Kadar enzim kolinesterase dalam darah dapat dijadikan indikator adanya

pajanan pestisida jenis organofosfat dan kabamat karena kedua jenis pestisida tersebut menghambat aktivitas enzim kolinesterase dalam tubuh. Semakin tinggi pajanan pestisida tersebut maka akan semakin rendah aktivitas / kadar enzim kolinesterase dalam darah (Slamet, 2003; Achmadi, 1991; Sharma, 2009; Achmadi, 1991).

Kadar enzim kolinesterase seluruh WUS yang menjadi responden masih dalam rentang angka kadar normal, yaitu 3,9 – 11,5 kU/L. Asumsi yang dapat dibuat adalah kadar enzim kolinesterase WUS masih dalam batas normal karena intensitas pajanan masih ringan. Aktivitas pertanian yang berisiko mendapatkan pajanan pestisida dengan intensitas yang lebih tinggi antara lain berupa menyiapkan, meramu/mengoplos, dan menyemprotkan pestisida (LaDou, 2004). Aktivitas tersebut sangat jarang dilakukan oleh WUS. Hasil pengkategorian kadar enzim kolinesterase berdasarkan titik potong 9,15 kU/L yang ditentukan dengan prosedur Receiver Operating Characteristics Curve (ROC Curve) terhadap variabel kadar enzim kolinesterase menunjukkan hasil bahwa 17 WUS (58,6%) memiliki kadar enzim kolinesterase cenderung rendah. Hal ini menunjukkan bahwa WUS di Desa Sutamaja merupakan kelompok yang berisiko terpajan pestisida walaupun masih memiliki kadar kolinesterase normal.

(10)

10

Pemilihan WUS dengan usia 17-35 tahun dimaksudkan agar mendapatkan responden yang masih aktif dalam aktivitas pertanian namun belum mengalami gangguan-gangguan kesehatan yang berkaitan dengan usia. Fungsi hati umumnya menurun sejak usia 50 tahun (LaDou, 2004). WUS dikategorikan mengalami kejadian gangguan fungsi hati apabila salah satu dari ketiga parameter fungsi hati yang diukur.

AST/SGOT dan ALT/SGPT berfungsi untuk transfer gugus amin dari rantai asam amino satu ke rantai asam amino yang lain (William, 1985). AST/SGOT dan ALT/SGPT mengindikasikan kerusakan parenkim hati. Kerusakan parenkim hati akut akan mengakibatkan kadar ALT/SGPT lebih tinggi daripada kadar AST/SGOT. Proses kronis kerusakan parenkim hati akan mengakibatkan yang sebaliknya (Kosasih, 2008). Serum alkaline phosphatase (ALP) diproduksi oleh hati dan tulang. ALP yang diproduksi di hati sangat berperan dalam menunjukkan adanya gangguan pada empedu. Uji isoenzim dapat dilakukan untuk membedakan apakah ALP yang meninggi berasal dari hati ataukah tulang karena isoenzim hati berbeda dengan isoenzim tulang (William, 1985). Kenaikan kadar ALP pada orang dewasa umumnya berasal dari hati, sedangkan kenaikan ALP pada anak-anak umumnya berasal dari tulang. ALP disekresi melalui saluran empedu. Kenaikan kadar ALP menunjukkan hambatan pada saluran empedu (Kosasih, 2008).

Terdapat 10 WUS yang dikategorikan mengalami gangguan fungsi hati. Variasi yang paling banyak terjadi adalah kadar ALP tidak normal sebanyak 7 WUS (70%). Sehinga dapat dimungkinkan bahwa ganggunan yang terjadi pada WUS di Desa Sutamaja bukan saja merupakan gangguan fungsi hati saja namun dapat juga mengarah pada hambatan pada saluran empedu.

Semua bahan kimia berupa nutrien dan xenobiotik (misalnya pestisida) yang terkandung dalam darah akan dimetabolisme dan dibiotrasformasi oleh hati. Proses biotransformasi xenobiotik (misalnya pestisida) oleh hati yang berlangsung baik akan menurunkan bahkan menghilangkan kadarnya dalam darah yang yang keluar dari hati sebelum mencapai organ lainnya. Proses biotransformasi akan merubah xenobiotik menjadi bentuk lain dengan tujuan agar (1) menjadi inaktif secara biologis sehingga tidak memberikan efek buruk terhadap tubuh, (2) menjadi lebih polar dan lebih mudah larut pada air sehingga lebih mudah diekskresikan ke luar tubuh. Pengecualian dapat

(11)

11

terjadi pada beberapa jenis xenobiotik, pestisida salah satunya, yaitu biotransformasi justru menghasilkan metabolit yang lebih toksik (William, 1985).

Proses biotransformasi terjadi di hati; oleh sebab itu apabila terbentuk metabolit yang lebih toksik, hati akan menjadi organ pertama yang terkena (William, 1985). Metabolit yang lebih toksik tersebut dapat berdampak sebagai direct hepatotoxin maupun sebagai indirect hepatotoxin. Indirect hepatoxins adalah metabolit dan senyawa sejenisnya yang mengakibatkan kerusakan hati dengan mengganggu jalannya metabolisme. Indirect hepatoxins dapat mengakibatkan kerusakan sitotoksik (degenerasi atau nekrosis hepatosit) dengan mengganggu integritas struktur hepatosit (secara morfologik terlihat seperti statosis atau nekrosis) atau dapat juga menyebabkan kolestasis (aliran empedu yang tertahan) dengan mengganggu proses sekresi empedu.

Direct hepatotoxins ataupun hasil-hasil metabolismenya menyebabkan kerusakan pada

sel hepatosit dan organelnya dengan efek fisika-kimia langsung seperti peroksidasi lemak membran, denaturasi protein, atau perubahan kimia lain yang mengarah pada kerusakan atau distorsi membran sel dan mengakibatkan bocornya enzim-enzim yang terdapat dalam sel hepatosit sehingga kadar dari enzim-enzim tersebut akan meningkat dalam aliran darah (LaDou, 2004).

Analisis bivariat menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat pajanan pestisida dengan kejadian gangguan fungsi hati pada WUS di Desa Sutamaja Kecamatan Kersana Kabupaten Brebes Tahun 2009 (p=0,008). Namun dari perbandingan proporsi dapat disimpulkan bahwa hubungan yang terjadi adalah hubungan signifikan yang berlawanan dengan teori karena proporsi kejadian gangguan fungsi hati pada WUS yang memiliki riwayat pajanan pestisida lebih kecil daripada proporsi kejadian gangguan fungsi hati pada WUS yang tidak memiliki riwayat pajanan pestisida. Hasil tabulasi silang hubungan riwayat pajanan pestisida dengan kejadian gangguan fungsi hati juga menunjukkan bahwa dari 10 WUS yang mengalami kejadian gangguan fungsi hati, justru 9 orang (90%) diantaranya adalah WUS yang tidak memiliki riwayat pajanan pestisida. Peneliti menyampaikan 3 (tiga) asumsi untuk menjelaskan hal ini.

Asumsi pertama adalah bahwa baik WUS yang terlibat aktivitas pertanian maupun yang tidak, sebenarnya sama-sama mengalami pajanan pestisida. WUS yang

(12)

12

tidak terlibat aktivitas pertanian dapat terpajan pestisida secara tak langsung karena tinggal di area pertanian yang menggunakan pestisida selama bertahun-tahun, yang mana residu pestisida telah terkandung dalam komponen lingkungannya (air, tanah, dan udara). Pajanan tak langsung juga dapat terjadi apabila suami atau ayah mereka adalah petani pengguna pestisida. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi intensitas pajanan pestisida. WUS yang tidak terlibat aktivitas pertanian tentu saja tidak pernah melengkapi dirinya dengan APD dan kurang waspada akan pajanan pestisida. Hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan angka kejadian gangguan fungsi hati lebih tinggi terjadi justru pada WUS yang tidak memiliki riwayat pajanan pestisida.

Asumsi kedua, telah terjadi keabnormalan pada jaringan sel hati namun tidak terdeteksi melalui pengukuran kadar AST(SGOT), ALT(SGPT), dan ALP. Asumsi ini berdasarkan hasil penelitian Sakr (2007) dan Eissa (2009) dimana belum terjadi kenaikan kadar enzim-enzim hati dalam darah namun pemeriksaan histologi telah menunjukkan terjadinya kerusakan / keabnormalan pada jaringan sel hati. Sulaiman (2007) menyatakan bahwa pada kerusakan hati ringan akan dijumpai peningkatan kadar enzim hati, tetapi pada nekrosis hati dimana sintesis enzim telah terganggu tidak akan dijumpai peningkatan kadar enzim hati. Sedangkan Ojezele (2009) menyatakan tidak dijumpainya kenaikan kadar enzim hati pada darah diduga terjadi akibat penekanan produksinya di hati yang menandakan fase awal terjadinya kerusakan sebelum diteruskan dengan terjadinya kematian sel dan bocornya enzim tersebut dalam aliran darah.

Asumsi ketiga adalah pajanan pestisida yang dialami WUS belum mencapai dosis yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi hati. Sementara hati memiliki kemampuan regenerasi yang luar biasa apabila dibandingkan dengan regenerasi organ lain (Price, 2006). Dosis tepat pajanan pestisida pada manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi hati sulit untuk ditentukan secara pasti karena selama ini eksperimen mengenai dosis pajanan pestisida terhadap timbulnya gangguan hanya dilakukan pada hewan percobaan dan biasanya dengan dosis subletal.

Penelitian ini masih memiliki keterbatasan. Penentuan kejadian gangguan fungsi hati hanya didasarkan pada kadar AST (SGOT), ALT (SGPT), dan ALP.

(13)

13

Pengukuran kadar ketiga enzim hati tersebut hanya dilakukan sekali secara cross

sectional, sementara kondisi fungsi hati sebelum WUS terpajan pestisida tidak

diketahui. Hal tersebut membuat penegakan hubungan sebab-akibat kurang kuat ditegakkan (Sastroasmoro, 2008).

PENUTUP Simpulan

1. WUS yang terlibat dalam aktivitas pertanian sebanyak 19 WUS (65,5%). WUS yang memiliki kadar enzim kolinesterase cenderung rendah sebanyak 17 WUS (58,6%). WUS yang memiliki riwayat pajanan pestisida sebanyak 13 WUS (44,8%).

2. WUS yang mengalami kejadian gangguan fungsi hati sebanyak 10 WUS (34,48%). Tujuh (70%) diantaranya memiliki kadar ALP (alkaline phosphatase) tidak normal. 3. Ada hubungan antara riwayat pajanan pestisida dengan kejadian gangguan fungsi

hati pada WUS di Desa Sutamaja Kecamatan Kersana Kabupaten Brebes Tahun 2009 (p=0,008).

4. Tidak ada hubungan antara konsumsi obat (p=0,265), konsumsi jamu (p=0,576), dan pemakaian obat nyamuk (p=0,636) dengan kejadian gangguan fungsi hati.

Saran

1. Bagi WUS Kecamatan Kersana Kabupaten Brebes

WUS Kecamatan Kersana Kabupaten Brebes termasuk kelompok yang berisiko akan pajanan pestisida sehingga dianjurkan untuk membiasakan diri menggunakan APD dan tidak terus menerus terlibat dalam aktivitas pertanian (mengambil masa istirahat dari aktivitas pertanian) agar hati memiliki kesempatan untuk mendetoksifikasi pestisida di dalam tubuh.

2. Bagi Puskesmas, Pemerintah Daerah, BLH Daerah, dan Dinas Kesehatan Kabupaten Upaya preventif perlu dilakukan untuk melindungi WUS baik yang terlibat dalam aktivitas pertanian maupun tidak. Penyuluhan tentang bahaya pestisida, praktek penggunaan pestisida yang aman, pentingnya membersihkan diri setelah melakukan

(14)

14

aktivitas pertanian untuk menghilangkan residu pestisida, pentingnya penggunaan APD, dan kiat menghindari pajanan pestisida; perlu menjadi perhatian. Pemantauan kualitas lingkungan terkait dengan residu pestisida juga perlu menjadi perhatian.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Permasalahan yang sama masih dapat diteliti lagi dengan menggunakan desain penelitian yang berbeda. Pembuktian keterkaitan antara intensitas pajanan pestisida dengan kejadian gangguan fungsi hati dapat dilakukan, baik melalui penelitian observasional maupun eksperimental. Metode penentuan kejadian gangguan fungsi hati dapat dilakukan dengan pemeriksaan yang lebih lengkap.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Umar Fahmi, dkk (tim penyunting). 1991. Upaya Kesehatan Kerja Sektor

Informal di Indonesia. Depkes RI, Jakarta

Bhalli, Javed A.; Q.M.Khan; M.A.Haq; A.M.Khalid; dan A.Nasim. Cytogenetic

analysis of Pakistani individuals occupationally exposed to pesticides in a pesticide production industry. Mutagenesis Vol. 21 no. 2 2006, Advance

Access Publication 15 March 2006: 143–148

Budiawan. Pengembangan Teknik 32P-Postlabelling untuk Mendeteksi Dini Risiko

Kanker. Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Isotop dan Radiasi, 2000

Chauhan, R. S. dan Lokesh Singhal. Harmful Effect of Pesticides and Their Control

through Cowpathy. International Journal of Cow Science Vol. 2(1) 2006:

61-70

Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes. 2008. Profil Kesehatan Kabupaten Brebes Tahun

2007

Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes. 2009. Profil Kesehatan Kabupaten Brebes Tahun

2008

Eissa, F.I. dan N.A. Zidan. Haematological, biochemical and histopathological

alterations induced by Abamectin and Bacillus thuringiensis in male albino rats. Autralian Journal of Basic and Applied Sciences Vol 3(3) 2009:

2497-2505

Ganong, William F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 22. Alih Bahasa: Brahm U Pendit. EGC, Jakarta

(15)

15

Irianto, Kus. 2004. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis. CV. Yrama Widya, Bandung

Kosasih, E.N. dan A.S. Kosasih. 2008. Tafsiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Klinik. Edisi Kedua. KARISMA Publishing Group, Jakarta

LaDou, Joseph (editor). 2004. Current Occupational & Environmental Medicine. McGraw-Hill Companies, Inc., San Francisco

Litin, Scott C. 2009. Mayo Clinic Family Health Book-Panduan Kesehatan Keluarga,

Edisi Kelima. PT Intisari Mediatama, Jakarta

Lu, Frank C. 1995. Toksikologi Dasar. Penerjemah: Edi Nugroho. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta

Ojezele, Matthew Obaineh dan Oluwole Matthew Abatan. Toxicological effect of

chlorphyrifos and methidathion in young chickens. African Journal of

Biochemistry Research Vol. 3 (3) Maret 2009: 048-051,

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Maharani. Patofisiologi,

Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6 Volume 2. EGC, Jakarta

Profil Daerah Kabupaten Brebes Tahun 2002-2006

Sakr, Saber A.. Ameliorative effect of ginger (Zingiber officinale) on mancozeb

fungicide induced liver injury in albino rats. Australian Journal of Basic and

Applied Science Vol. 1(4) 2007: 650-656

Sastroasmoro, Sudigdo dan Sofyan Ismael. 2008. Dasar-dasar Metodologi Penelitian

Klinis, Edisi ke-3. CV. Sagung Seto, Jakarta

Sharma, BR dan Sarmadi Bano. Human acetyl cholinesterase inhibition by pesticide

exposure. Journal of Chinese Clinical Medicine Volume 4, Number 1, Januari

2009

Slamet, Juli Soemirat (editor). 2003. Toksikologi Lingkungan. Gadjahmada University Press, Yogyakarta

Sulaiman, Ali.; Nurul Akbar; Laurentius A. Lesmana; M. Sjaifoellah Noer (editor). 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati, Edisi Pertama. Jayabadi, Jakarta

William, Philips L. dan James L. Burson. 1985. Industrial Toxicology—Safety and

Gambar

Tabel 1.  Riwayat  pajanan  pestisida  berdasarkan  kadar  kolinesterase  dan  keterlibatan dalam aktivitas pertanian
Tabel 2. Hubungan  Riwayat  Pajanan  Pestisida  dengan  Kejadian  Gangguan  Fungsi Hati

Referensi

Dokumen terkait

menjadi penelitian pengembangan (riset ekstensi) sebab khazanah kepustakaan tentang komitmen organisasi pada tenaga pengajar di Indonesia masih sedikit, khususnya mengenai guru

Dalam rangka mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth) berdasarkan keadilan, KKP akan mengimplementasikan prinsip-prinsip blue economy dalam

Aplikasi Berbasis Web untuk Menampilkan Absensi dan Nilai Akhir Peserta Didik ini dikembangkan dengan menggunakan basis data MySQL sebagai media

Berdasarkan cerita dari Sony dan Yani Afri kepada Pius di tempat penyekapan, mereka mengatakan bahwa mereka memang sempat dilepaskan dari Kodim, tetapi kemudian

Kesalahpahaman sering terjadi karena faktor komunikasi Apabila pelayanan yang diberikan buruk, pasien akan memberikan respon negatif berupa ketidakpuasan sehingga pasien tersebut

Hilman Hadikusuma dalam Muhammad Syarifuddin dkk menjelaskan bahwa setiap anak yang belum dewasa atau sudah dewasa (baligh) tetapi keadaan hidupnya miskin dan tidak

Tujuan pembelajaran umum : Mahasiswa mampu menjelaskan dengan kalimat sendiri mengenai konsep dasar psikologi abnormal Jumlah pertemuan : 1 (satu) kali.