• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR KOMUNITAS, KERAGAMAN, KESERAGAMAN, DAN DOMINANSI FITOPLANKTON DI KEPULAUAN BUNGKU SELATAN KABUPATEN MOROWALI, SULAWESI TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRUKTUR KOMUNITAS, KERAGAMAN, KESERAGAMAN, DAN DOMINANSI FITOPLANKTON DI KEPULAUAN BUNGKU SELATAN KABUPATEN MOROWALI, SULAWESI TENGAH"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR KOMUNITAS, KERAGAMAN, KESERAGAMAN, DAN DOMINANSI

FITOPLANKTON DI KEPULAUAN BUNGKU SELATAN KABUPATEN MOROWALI,

SULAWESI TENGAH

Mat Fahrur*), I Nyoman Radiarta**), dan Rezki Antoni Suhaimi*) *) Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau

Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: litkanta@indosat.net.id

**) Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya

Jl. Ragunan 20, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan di perairan Kepulauan Kecamatan Bungku Selatan Provinsi Sulawesi Tengah pada bulan Juli 2011. Penelitian bertujuan untuk menganalisa struktur komunitas, keragaman, keanekaragaman, dan dominansi fitoplankton. Sampel fitoplankton dikoleksi secara vertikal menggunakan plankton net no 25. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur komunitas fitoplankton tersusun oleh tiga kelas yang terbagi dalam 12 genus. Kelimpahan fitoplankton tertinggi yakni 86 sel/L. Thallasionema dan Chaetoceros merupakan genus yang ditemukan pada semua titik sampling. Indek keseragaman (E) dan Keragaman (H’) yang diperoleh dalam penelitian ini berturut-turut adalah sebesar 0,80 dan 0,75 yang menunjukkan bahwa fitoplankton menyebar tidak merata ke semua stasiun sampling sehingga struktur fitoplankton tidak stabil. Indeks dominansi (D) sebesar 0,54 menunjukkan bahwa terdapat spesies plankton yang dominan dalam komunitas fitoplankton.

KATA KUNCI: fitoplankton, kelimpahan, index keragaman, keseragaman, dominansi, Kepulaun Bungku Selatan

PENDAHULUAN

Bungku Selatan termasuk kepulauan yang berpenduduk cukup padat, yang dihadapkan pada permasalahan pengelolaan hutan yang dikonversi dan diperuntukkan sebagai lahan penambangan. Kegiatan penambangan dapat berdampak pada peningkatan sedimentasi dari tanah yang terbawa erosi pada saat musim hujan, sehingga dapat mengganggu kestabilan ekosistem terutama fitoplankton. Fitoplankton (plankton nabati) adalah kelompok tumbuhan tingkat rendah yang mampu mensintesis makanannya sendiri (produsen), mudah dibawa arus, dipengaruhi oleh kualitas air fisika dan kimia, sangat dipengaruhi oleh cahaya matahari sebagai sumber energi dan sangat banyak manfaatnya dalam ekologi perairan. Dalam ekosistem perairan plankton memiliki peranan yang sangat penting sebagai dasar dari kehidupan. Frenchel (1988) menjelaskan jaringan makanan dalam bentuk sebuah piramida makanan di mana produser primer (plankton autrofik) terletak paling dasar, kemudian naik sampai zooplankton (herbivora) dan ikan (herbivora/karnovora).

Peran yang sangat penting dari produktivitas primer adalah mengalirnya energi melalui proses fotosintesis. Ketersediaan zat hara seperti nitrogen dan fosfor merupakan pendukung faktor kimia perairan yang dapat mempengaruhi produktivitas primer selain faktor fisik seperti temperatur dan cahaya matahari (Wetzel, 2001). Energi yang diperlukan dan mejadi penggerak ekosistem hampir seluruhnya bergantung pada aktivitas fotosintesis tumbuhan laut. Tumbuhan yang terdapat di ekosistem laut adalah fitoplankton yang mampu mengikat bagian terbesar dari energi. Fitoplankton akan tumbuh dengan baik pada perairan yang dapat ditembus oleh sinar matahari, dari lapisan tersebut dapat diketahui kondisi produktivitas perairan dalam kondisi yang baik atau buruk.

Struktur komunitas fitoplankton berpengaruh terhadap struktur komunitas zooplankton dan organisme disuatu perairan. Goldman & Hone (1983) menyatakan bahwa produksi dan biomassa ikan antara lain ditentukan oleh kualitas dan produktivitas plankton yang dapat dimanfaatkan sebagai makanannya. Nontji (2008) menyatakan bahwa manfaat ekonomi plankton seperti semua jenis ikan

(2)

menjalani hidupnya sebagai plankton, hampir seluruh ikan-ikan pelagis kecil dan lar vanya memanfaatkan plankton, berdasarkan jenis makanannya 63% ikan pelagis pemakan plankton (plankton

feeder), dan ada korelasi antara konsentrasi fitoplankton atau zooplankton dengan hasil tangkapan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi struktur komunitas, keragaman, keseragaman, dan dominansi fitoplankton yang terdapat di perairan Kepulauan Bungku Selatan. Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan dengan melihat indek biologinya (keseragaman, keragaman, dan dominansi).

METODE PENELITIAN

Studi dilakukan pada perairan kepulauan Bungku Selatan (Gambar 1). Sampling plankton dilakukan secara vertikal menggunkan planktonnet no 25 yang dilengkapi dengan tali berkala diturunkan secara vertikal sampai dasar dan ditarik secara konstan sampai permukaan. Jaring plankton disiram bagian luar untuk melepas fitoplankton yang menempel pada jaring. Air yang tersaring diawetkan menggunakan larutan lugol 1% (APHA, 2005). Identifikasi jenis fitoplankton menggunakan mikroskop yang berpedoman pada Newel & Newel (1977) dan Yamaji (1976). Penghitungan fitoplankton menggunakan alat bantu Sedwick Rafter Counter (SRC) (APHA, 2005). Untuk analisis kestabilan perairan dilakukan analisis kuantitatif indeks biologi plankton meliputi keragaman, keseragaman, dan dominansi, dari Shanon Wiener (Odum, 1971; Basmi, 2000). Perhitungan kelimpahan plankton dan indek biologinya disajikan pada persamaan berikut.

Kelimpahan fitoplankton:

N = Oi/Op x Vr/Vo x 1/Vs x n/p di mana:

N = Jumlah individu per liter

Oi = Luas gelas penutup preparat (mm2) Op= Luas satu lapangan pandang (mm2) Vr = Volume air tersaring (ml)

Vo = Volume air yang diamati (ml) Vs = Volume air yang disaring (L)

n = Jumlah plankton pada seluruh lapangan pandang p = Jumlah lapangan pandang yang teramati

Indeks keragaman Jenis

H’ = - Pi ln Pi

di mana:

H’ = Indeks keragaman jenis ni = Jumlah individu taksa ke-i N = Jumlah total individu Pi = Proporsi spesies ke-i

Indeks keseragaman :

di mana:

E = Indeks keseragaman jenis H’ = Indeks keragaman jenis

H maks = indeks keragaman maksimum

N ni Pi  maks H H' E 

(3)

Indeks dominansi :

D = (Pi)2

di mana :

D = Indeks dominansi

ni = Jumlah individu genus ke-i N = Jumlah total individu Pi = ni/N = Proporsi spesies ke-i

Sementara kualitas air insitu seperti oksigen terlarut diukur menggunakan DO Meter 650 MDS, pH diukur menggunakan pH meter, suhu diukur menggunakan termometer, dan salinitas diukur menggunakan refraktometer. Sedangkan kualitas air eksitu seperti NO2-N dengan sulfanilamid (SNI 19-6964.1-2003), NO3-N dengan reduksi kadmium (SNI 19-6964.7-2003), NH3-Ndengan biru indofenol (SNI 19-6964.3-2003), dan PO4 menggunakan metode asam askorbat (SNI 06-6989.31-2005). Analisis kualitas air dilakukan di laboratorium kualitas air Balai Peneitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros.

HASIL DAN BAHASAN

Struktur Komunitas Fitoplankton

Hasil identifikasi fitoplankton di perairan Kepulauan Bungku Selatan terdiri atas 12 spesies fitoplankton (Gambar 2). Dari total pengambilan sampel di 26 stasiun, jenis Caetoceros sp. ditemukan sebanyak 278 sel/L dengan rata-rata 10,69 sel/L, dan kepadatan tertinggi terdapat pada stasiun 19 (71 sel/L). Jenis Thallasionema sp. ditemuakn sebanyak 322 cel/L dengan rata-rata 12,38 sel/L, dan kepadatan kepadatan tertinggi ditemukan di stasiun 19 (91 sel/L). Jenis lainnya yang ditemukan berturut-turut Oscillatoria sp., Coscinodiscus sp., Gyrodinium sp., Manguinea sp., Nitchia sp., Bacteriastrum sp., Cerataulina sp., Eucampia sp., dan Ceratium sp. (Gambar 2). Spesies predominan Caetoceros sp. dan Thallasionema sp. menunjukkan perairan yang memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi untuk pertumbuhan dan berkembang biak. Dari total stasiun pengematan, 16 stasiun ditemukan Chaetoceros

Gambar 1. Sebaran titik pengambilan sampel di Kecamatan Bungku Selatan, Sulawesi Tengah

(4)

sp. Tingginya fitoplankton pada stasiun 19 diduga kondisi perairannya dalam masih alami, tidak terpengaruh oleh kegiatan luar, tidak ada aktifitas atau penduduk disekitar pulau tersebut dan tidak adanya dampak aktivitas penambangan pada stasiun tersebut (Gambar 1).

Chaetoceros sp. adalah kelompok kelas Bacillariophyceae atau diatom. Jenis ini dalam budidaya

perikanan memiliki peran sangat istimewa karena nilai gizinya tinggi, mudah dicerna dan sangat baik untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva udang pada pendederan di hatcheri. Selain nilai ekonomisnya tinggi Chaetoceros sp. mudah dalam kultur baik secara murni maupun masal. Pakan alami terutama mikroalga merupakan sumber protein, karbohidrat, dan lemak (Renaud et al., 1999).

Chaetoceros sp. (diatom) adalah salah satu pakan alami yang umum digunakan dalam marikultur

karena memiliki kandungan protein yang tinggi dan mudah untuk dicerna (Sektiana, 2008).

Thallasionema sp. ditemukan 80% dari seluruh titik pengambilan sampel. Genus Thallasionema sp.

masuk kedalam kelas Bacillariophyceae atau Diatom. Diatom atau kelas Bacillariophyceae merupakan fitoplankton yang paling umum dijumpai baik dari pantai hingga ke tengah samudra dan diperkirakan antara 1400-1800 jenis diatom. Banyak manfaat yang didapatkan dari jenis diatom, jumlahnya yang begitu banyak kadang disebut sebagai invesible forest atau hutan belantara yang tak terlihat dan dengan kemampuan fotosintesis tidak kalah dengan hutan di darat (Nontji, 2008).

Proses fotosintesis yang terjadi pada siang hari disebabkan oleh adanya cahaya matahari sebagai sumber energi. Dalam proses fotosintesis cahaya matahari diserap oleh pigmen klorofil, dan dengan adanya karbondioksida (CO2), air dan zat-zat hara mengalami proses kimia yang akan menghasilkan senyawa organik (karbondioksida) yang mempunyai potensi energi kimiawi yang tinggi yang disimpan dalam sel. Proses fotosintesis menghasilkan oksigen. Potensi energi yang tersimpan dalam sel berupa bahan organik dapat digunakan untuk proses respirasi. Proses respiarsi itu sendiri adalah kebalikan dari proses fotosintesis yaitu bahan organik dalam sel mengkonsumsi oksigen dan akan menghasilkan karbondioksida (Nontji, 2008).

Menurut Reynolds (1990), komposisi dan kelimpahn fitoplankton terus-menerus berubah pada berbagai tingkatan sebagai respon terhadap perubahan kondisi lingkungan baik secara fisik, kimia maupun biologi. Ourlake.Org (2001) menyebutkan bahwa distribusi dan konsentrasi dari fitoplankton merupakan hal yang sangat penting dalam ilmu ekologi dan kualitas air, terutama terhadap blooming fitoplankton serta hubungannya dengan gangguan pada kondisi di permukaan perairan yang terjadi sebagai respon dari adanya input antropogenik dalam hal nutrien penting bagi tanaman (terutama fosfor).

Kelas Fitoplankton dan Kualitas Air

Fitoplankton yang teridentifikasi terbagi menjadi 3 kelas yaitu kelas Bacillariophyceae sebanyak 9 genus, Chromonadea sebanyak 2 genus dan Cyanophyceae hanya 1 genus (Tabel 1). Kelas

Gambar 2. Komposisi rata-rata spesies fitoplankton yang ditemukan di perairan Kecamatan Bungku Selatan, Sulawesi Tengah

(5)

Bacillariophyceae mendominasi atau kelompok terbesar, hal ini diduga pada saat pengambilan sampel yaitu musim hujan yang sangat erat hubungannya dengan ketersediaan nutrien (nitrat dan fosfat). Hasil pengukuran PO4 menunjukkan nilai antara 0,0019–0,0151 mg/L (0,0027±0,003). Kandungan ortofosfat sering dipakai sebagai indikator tingkat kesuburan suatu perairan (Sediadi, 1999). Pada perairan yang memiliki nilai fosfat rendah diatom akan dominan dari pada fitoplankton yang lain (Supriadi, 2001). Berdasarkan baku mutu air laut untuk biota laut Kep. MENLH no. 51 tahun 2004, PO4 berkisar 0,015. Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan nilai cukup rendah bila dibandingkan dengan baku mutu yang telah ditetapkan.

Nitrogen merupkan bagian dari unsur nutrien yang diperlukan dalam proses fotosintesis yang diserap dalam bentuk nitrat (NO3) kemudian dirubah menjadi protein. Nitrat (NO3) yang terukur antara 0,0015–0,114 mg/L (0,034±0,039). Kandungan nitrat yang terukur lebih tinggi dibanding dengan baku mutu air laut untuk biota laut, yaitu 0,008 mg/L (Kep. MENLH, 2004). Nitrogen dibutuhkan untuk membuat asam amino dan asam nukleat,  sedangkan fosfat diperlukan untuk membuat tenaga (ATP). Dalam proses fotosintesis protoplasma dalam bentuk amoniak dan asam-asam amino dalam bentuk lain yang diabsorbsi pada waktu proses fotosintesis. Pengukuran amoniak (NH3) antara 0,046–0,179 mg/L (0,105±0,032) nilai ini cukup rendah bila dibandinhgkan dengan Kep. MENLH no. 51 tahun 2004, yaitu 0,3 mg/L (Tabel 2).

Tabel 1. Komposisi dan jumlah total fitoplankton yang ditemukan di perairan Kecamatan Bungku Selatan, Sulawesi Tengah

Spesies Kelas Jumlah (sel/L)

Bacteriastrum sp. Bacillariophyceae 19 Chaetoceros sp. Bacillariophyceae 278 Cerataulina sp. Bacillariophyceae 16 Ceratium sp. Bacillariophyceae 1 Coscinodiscus sp. Bacillariophyceae 53 Eucampia sp. Bacillariophyceae 13 Manguinea sp. Bacillariophyceae 33 Nitzschia sp. Bacillariophyceae 24 Thallasionema sp. Bacillariophyceae 322

Gyrodinium sp. Chcromonadea (Dinoflagellata) 41

Protoperidinium sp. Chcromonadea (Dinoflagellata) 3

Oscillatoria sp. Cyanophyceae 13

Tabel 2. Kualitas air yang diamati di di perairan Kecamatan Bungku Selatan, Sulawesi Tengah

Peubah Minimum Maksimum Rata-rata Simpangan

Suhu (oC) 27,56 29,08 28,29 0,402 NO3 (mg/L) 0,0015 0,114 0,034 0,039 NH3 (mg/L) 0,046 0,179 0,105 0,032 PO4 (mg/L) 0,0019 0,015 0,002 0,003 BOT (mg/L) 10,74 20,08 17,69 2,34 Fe (mg/L) 0,002 0,007 0,001 0,002 SiO2 (mg/L) 0,0002 0,0197 0,0084 0,0049 Kekeruhan 0,17 1,13 0,435 0,228

(6)

Kualitas air fisika dan kimia selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Suhu yang terukur antara 27,56–29,080C. Menurut Koniyo (2006), suhu air yang optimal untuk pertumbuhan

Chaetoceros sp. berkisar antara 25–30°C. Kenaikan suhu yang optimal akan dapat mempercepat

proses metabolisme sel (Suriawiria, 1985). Menurut Stoemer & Ladewski (1978), dalam Pappas & Stoemer (2003), Hastle & Syvertsen (1997) faktor lingkungan seperti perbedaan suhu di perairan akan mempengaruhi bentuk valve diatom sedangkan ketersediaan nutrien dapat menyebabkan variasi bentuk striae, puntae, dan ornamen diatom.

Salinitas pada lokasi penelitian berkisar antara 31–32,48 ppt. Salinitas dapat mempengaruhi komposisi dari fitoplankton. Salinitas penting di perairan untuk mempertahankan tekanan osmosis antara tubuh organisme dan perairan. Variasi salinitas dapat menentukan kelimpahan dan distribusi fitoplankton. Salinitas merupakan salah satu parameter yang menentukan jenis-jenis fitoplankton yang terdapat dalam suatu perairan, tergantung dari sifat fitoplankton tersebut apakah eurihalin atau

stenohalin. Secara umum, salinitas permukaan perairan laut di Indonesia rata-rata berkisar antara

32-34 ‰ (Dahuri et al., 1996).

Kandungan BOT di perairan ini berkisar antara 10,7376-20,0849 mg/L (17,70±2,34), rata-rata kadar BOT cukup tinggi terutama pada titik 24, diduga pada titik tersebut langsung berhadapan dengan titik penambangan nikel didarat dan bersamaan dengan musim hujan sehingga terjadi masukan partikel yang cukup tinggi. Dahuri et al. (1996) menyebutkan secara garis besar derajat kerusakan lingkungan yang mengancam kelesatarian sumberdaya pesisir dan laut yang berasal dari lahan atas diantaranya konversi kawasan hutan lindung menjadi peruntukan pembangunan lain. Menurut Koesbiono (1981) kadar BOT air laut rata-rata rendah dan tidak melebihi 3 mg/L, kemudian disebutkan bahwa bahan organik terlarut bukan hanya sebagai sumber energi, tetapi juga sebagai sumber bahan organik esensial bagi organisme perairan. Menurut Reid (1961), perairan dengan kandungan BOT di atas 26 mg/L tergolong subur. Variasi kandungan BOT tersebut dapat mempengaruhi keragaman fitoplankton.

Kandungan silikat yang terukur SiO3 antara 0,0002–0,0197 mg/L, silikat merupakan unsur penting dalam pembentukan dinding sel dan cangkang bagi kelompok diatom (Herawati, 2008). Kep. MENLH no. 51 tahun 2004 menetapkan ambang batas nilai kekeruhan bagi biota laut adalah <5 NTU. Nilai yang terukur antara 0,17–1,13 NTU. Dari data yang didapat menunjukkan bahwa nilai kekeruhan dari semua stasiun pengamatan berada dalam kisaran yang masih normal dan sangat baik untuk menunjang proses kehidupan biota di dalamnya.

Indeks Biologi

Indeks keragaman fitoplankton di lokasi penelitian berkisar antara 0,014–1,71 (0,80±0,40) dengan nilai rata-rata H’<1 (Tabel 3). Nilai indek keragaman tersebut megindikasikan perairan secara keseluruhan tidak stabil atau kestabilan rendah artinya terjadi degradasi dan perlu pengelolaan lingkungan yang lebih baik terutama bagian hutan bakau yang telah dikonversi menjadi pemukiman dan kawasan tambang nikel, yang tentu dalam jangka panjang akan berdampak pada ekosistem laut. Keragaman tertinggi ditemukan pada stasiun 18, genus yang didapatkan sebanyak 8 dengan kepadatan 198 sel/L. Hal ini berarti semakin tinggi genus yang didapatkan maka keragaman akan meningkat. Indeks keseragaman berkisar antara 0,010–1,0 (0,75±0,20), dengan rata-rata E>0,75. Hal ini berarti kepadatan antar genus cenderung tidak merata, yang diindikasikan dengan nilai E

Peubah Minimum Maksimum Rata-rata Simpangan

Individu 1,0 322 816 109,80

Keragaman H’ 0,014 1.719 0,80 0,403

Keseragaman E 0,010 1,0 0,75 0,20

Dominansi D 0,246 1 0,54 0,183

(7)

lebih mendekati nilai 1. Indeks dominansi berkisar antara 0,246–1 (0,54±0,183), secara rata-rata tidak ada jenis tertentu yang mendominasi atau kondisi perairan dalam kondisi stabil.

KESIMPULAN

1. Kelimpahan fitoplankton di perairan Kepulauan Bungku Selatan tertinggi pada stasiun 19 yakni (91 sel/L) dari kelas Diatom atau Bacillariophyceae. Jumlah individu fitoplankton rata-rata berkisar anatar 0,04-12,38 sel/L, jumlah genus sebanyak 12 dan digolongkan ke dalam tiga kelas.

2. Keragaman fitoplankton tidak stabil, keseragaman menunjukkan kepadatan antar genus cenderung tidak merata dan dominansi kondisi perairan dalam kondisi stabil.

3. Pengelolaan perairan perlu lebih ditingkatkan agar tidak mengaggu kestabilan ekosistem sehingga diversitas organisme tetap terjaga.

DAFTAR ACUAN

Dahuri, Rais, R.J., Ginting, S.P., & Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramitra, Jakarta Indonesia, 301 hlm.

Hastle, G.R. & Syvertsen, E.E. 1997. Marine Diatoms. Identifying Marine Phytoplankton. Ed. Carmelo R. Tomas. Academic Press. California.

Herawati, V.E. 2008. Analisis Kesesuaian Perairan Segara Anakan Kabupaten Cilacap sebagai Lahan Budidaya

Kerang Totok (Polymesoda Erosa) Ditinjau Dari Aspek Produktivitas Primer Menggunakan Penginderaan Jauh. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang.

Kep MENLH. 2004. Keputusan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep. 51/MENLH/I /2004.

Tentang Pedoman Penetapan Baku MutuLingkungan, 11 hlm.

Kusfebriani, Ilsan, N.A., & Kurniasih, Y. 2011. Makalah Ekosistem Laut. Pendidikan Biologi Reguler 2008, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Jakarta. Koesbiono. 1981. Biologi Laut. Bogor: Fakultas. Perikanan, Institut Pertanian Bogor.Koniyo, Y. 2006. Biologi dan Metode Kultur Plankton Sebagai Pakan Alami Larva Hewan Air. Makara Sains, 3(2): 1-8.

Nontji, A. 2008. Plankton Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Arifin, R. 2009. Distribusi Spasial dan Temporal Biomassa Fitoplankton (Klorofil-a) dan keterkaitannya dengan kesuburan Perairan Estuari Sungai Brantas, Jawa Timur. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, 999 hlm. Renaud, S.M., Thinh, L.V., & David, D.L. 1999. The Gross Chemical Composition and Fatty Acid

Composition of 18 Species of Tropical Australian Microalgae for Possible Use in Mariculture.

Aquaculture, 170: 147-159.

Reid, G.K. 1961. Ecology Inland Water Estuaria. New York: Reinhold Published Co. Sektiana, S.P. 2008.

Pengembangan Medium Untuk Kultur Semi Masal Diatom Laut, Chaetoceros gracilis Schutt. Tesis.

Pascasarjana. IPB Bogor, 135 hlm.

Stoermer, E.F. & Ladewski, T.B. 1976. Apparent Optimal Temperatures for the Occurrence of Some Common Phytoplankton Species in Souther Lake Michigan. Great Lakes Research Division, Institute of Science and Technology, University of Michigan, Ann Arbor, MI, GLRD Special Report No. 18, 49 pp.

Stoermer, E.F. 1978. Diatoms from the Great Lakes. I. Rare or Poorly Known Species of the Genera Diploneis, Oestrupia and Stauroneis. J. Great Lakes Res. Internat. Assoc. Great Lakes Res. 4(2): 170-177. 1 pl.

Supriadi, I.H. 2001. Dinamika Estuari Tropik. Oceana, Volume XXVI, Nomor 4, 2001 :1-11. ISSN 0216-1877.

Suriawiria, U. 1985. Pengantar Mikrobiologi Umum. Angkasa. Bandung. 224 hal. Weyl, P. K. 1970. Oceanography an introduction to marine environtment. John Wiley and Sons Inc. New York.

Gambar

Gambar  1. Sebaran  titik  pengambilan  sampel  di  Kecamatan  Bungku  Selatan, Sulawesi  Tengah
Gambar  2. Komposisi  rata-rata  spesies  fitoplankton  yang  ditemukan  di perairan  Kecamatan  Bungku  Selatan,  Sulawesi  Tengah
Tabel 2. Kualitas air yang diamati di di perairan Kecamatan Bungku Selatan,  Sulawesi  Tengah
Tabel 3. Indeks  biologi

Referensi

Dokumen terkait

- Dengan menggunakan HP/Laptop siswa membuka google classroom yang telah dibuat walikelas pada mapel FISIKA pada bagian materi dan mempelajarinya. - Peserta didik

Faktor karakteristik petani-peternak, pendampingan YMTM dan teknik sapta usaha peternakan sapi potong berpengaruh nyata terhadap efektivitas kemitraan usaha ternak sapi

Islam adalah konsep komprehensif dan sempurna dengan satu sifat dasar atau “basic feature” dari Islam itu adalah sebagai rohmatan lil ‘alamin , memberikan pedoman semua

Radang iris dan badan siliar menyebabkan penurunan permeabilitas dari blood-aqueous barrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin dan sel radang

Dalam penelitian ini analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan tentang menopause pada wanita usia 45-60

Dalam rangka mengamankan kepentingan bank selaku kreditur, pemberian jaminan oleh debitur tidak dilarang, hal tersebut mempunyai dasar hukum yang sangat kuat

- Produk yang diterima tidak sesuai dengan produk yang di-order Pelanggan GDN Merchant menyetujui bahwa Pelanggan GDN dapat memiliki opsi untuk memperoleh penukaran

[r]