• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS KEARIFAN LOKAL DAN DAMPAK TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS KEARIFAN LOKAL DAN DAMPAK TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS KEARIFAN LOKAL DAN DAMPAK TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER

Yunus, S.Pd.I, M.Pd.I,

Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer ERESHA Tangerang

nurhang542@gmail.com ABSTRAK

Pendidikan agama di Indonesia hanya menekankan aspek pengajaran. Tentu dalam hal ini, pengajaran ritual keagamaan yang kering pemaknaannya secara spritual. Model pengajarannya lebih pada transfer ilmu-ilmu agama, bukan penanaman nilai-nilai suci keagamaan yang mampu dijadikan fondasi dalam kehidupan di masyarakat. Kurangnya pengayaan terhadap pentingnya berakhlak mulia bagi peserta didik, menambah daftar panjang problem pendidikan agama dewasa ini. Selalu ditemukan pada lembaga pendidikan adalah “pengajar agama” bukan “guru agama”. apa yang telah disampaikan oleh “pengajar agama’ hanya bisa dipikirkan dan dipahami. Sedangkan, “guru agama” harus dihayati, didenga dan dan diamalkan.

Pendidikan agama seharusnya mampu mentransformasikan nilai agama dan nilai-nilai kearifan lokal ke dalam diri peserta didik. Sehingga apa yang diterimanya dari belajar agama tersebut dapat diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidik harus mampu menjadi penggerak dan sumber inspirasi bagi peserta didik dan masyarakat. Meski sebagian besar masyarakat modern menganggap implementasi budaya tersebut merupakan suatu hal yang ketinggalan zaman, namun bagi masyarakat yang melestarikan budaya tersebut menganggapnya sebagai salah satu aturan yang paling efektif dalam mencegah peserta didik untuk berbuat penyimpangan dan membentuk karakter kejujuran.

Kata Kunci : Pendidikan Agama, Kearifan Lokal, Karakter.

A. Pendahuluan

Apakah Budaya mempunyai peran penting dalam pembentukan karakter pada dunia globalisasi? pada era Abad 21 ini, secara khusus diberikan ulasan tentang peran kritis generasi muda di dalam pemberdayaan dan pembangunan karakter bangsa (character building) berdasarkan kearifan lokal (local wisdom), yang menunjang pada kemandirian bangsa ditengah terpaan arus globalisasi. Salah satu tokoh B.F. Skinner aliran Behavioris berkata “satu-satunya perbedaan antara tingkah laku tikus dan tingkah laku manusia yang mungkin saya saksikan (terlepas dari beda yang amat besar dalam kompleksitasnya) terletak dalam laku”.1 Nilai-nilai yang terdapat dalam unsur pangngadereng (Kearifan Lokal) dengan merujuk pada lontarak2

1

Dikutip dalam Floyd Matson, The Broken Image (New York: Doubleday, 1996).

2

Mattulada, Latoa, Suatu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1975),17. Bandingkan dengan Suwardi Endarswara, Metodologi Penelitian

(2)

dikalangan Bugis-Makassar, menurut Andi Rasdiyanah semuanya hampir serupa, baik jiwa dan semangatnya, maupun bentuk ungkapannya yang terintegrasi dalam Syariat Islam.3 Hal ini dapat dijumpai pada lontarak Latoa Bone, Rapanna Gowa, Pappasengna Wajo, Ungkapannya La– Waniaga Arung Bila di Soppeng dan lain-lain, yang mudah diketahui karena agama di satu sisi merupakan sistem keyakinan yang dianut dan diwujudkan oleh penganutnya dalam tindakan-tindakan keagamaan di masyarakat dalam upaya memberi respons dari apa yang dirasakan dan diyakini sebagai suatu yang sakral dan suci. Pada sisi yang lain agama juga mengandung ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial pada penganutnya sehingga ajaran agama tersebut merupakan suatu elemen yang membentuk sistem nilai budaya.4 Masyarakat Bugis dipersyaratkan memiliki 4 kualitas yang tidak terpisahkan satu sama lain diantaranya acca, lempu, warani dan getteng.5

Saraq (syariah) dan adeq (adat) menjadi dua hal yang saling menemukan bentuk dalam dinamika kehidupan masyarakat Bugis. Saat kehidupan diatur dengan pangngaderreng (undang-undang sosial) sebagai falsafah tertinggi yang mengatur masyarakat sampai penaklukan seluruh tanah Bugis tahun 1906, maka unsur yang awalnya hanya terdiri atas empat kemudian berubah menjadi lima. Ini untuk mengakomodasi diterimanya Islam sebagai pegangan hidup. Sistem yang saling mengukuhkan pangngaderreng didirikan atas 1) wariq (protokoler kerajaan), 2) adeq (adat-istiadat), 3) bicara (sistem hukum),4) rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), dan 5) saraq (syariat Islam).6 Maka, fragmen sejarah ini kemudian menjadi karakter penting bagi orang Bugis.

Perilaku kesopanan sangat erat kaitannya dengan budaya dan bahasa suatu etnis. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Bahasa merupakan cerminan budaya.7 Sebaliknya, budaya adalah nilai, prinsip yang dapat diyakini kebenarannya dalam suatu Kebudayaan (Yokyakarta: Gajah Mada University Press, 2006), h. 58-59, Rahilah Omar, dkk, Sejarah kedatangan

Masyarakat Bugis Ke Tanah Melayu: Kajian Kes Di Johor, Jurnal JEBAT 36, 2009, h.41-61.

3

Andi Rasdiyanah, “Integrasi Sistem Pangngaderreng dengan Sistem Syariat Islam dalam Lontarak Bugis

Makassar” (Makalah yang disajikan pada Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan dengan tema “Empat

Abad Islam Melembaga di Sulawsei-Selatan” dilaksanakan oleh Pusat Kajian Timur Tengan, Divisi Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora Pusat Kegiatan Penelitian Unhas kerjasama Pemerintah Kota Makassar, 5-7 September 2007), h.11.

4

Koetjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1994), 1.

5

M. Elfira, Model Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal di Minangkabau dan Bugis. Makalah. Tidak diterbitkan. 2013. Dilihat Sitti Rahmi, dkk, Karakter Ideal Konselor Dalam Budaya Bugis Kajian Hermeneutik terhadap Teks Pappaseng, Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan Volume: 2 (2) Bulan Februari Tahun 2017, h.228-237

6

Nurhayati Rahman, Cinta, Laut dan Kekuasaan Dalam Epos La Galigo (Makassar: La Galigo Press, 2006), h. 387.

7

Masalah Penjelasan dan Kathryn Robinson, “Ketegangan Antar suku bangsa, Orang Bugis, dan Masalah ‘Penjelasan’ 1,” 2000, h.1–4.

(3)

masyarakat penutur suatu bahasa, dan dapat menjadi panduan dalam berinteraksi dan berkomunikasi, termasuk budaya masyarakat Bugis Provinsi Sulawesi Selatan.8Sebagaimana disebutkan van Heekeren yang dikutip Pelras bahwa peradaban suku Bugis diperkirakan telah berlangsung sekitar 50 ribu dan 30 ribu9 tahun sebelum Masehi di tempat yang kini disebut Sulawesi Selatan.10Peradaban Bugis juga berkembang, beradapatasi, serta berubah berdasarkan dampak penetrasi kebudayaan lain yang mempengaruhinya. Bukti-bukti persentuhan kebudayaan Bugis dengan suku bangsa lain bahkan dapat ditelusuri dari sejarah bahasa nama-nama diri yang pernah atau kini masih digunakan orang Bugis.11

Suku Bugis merupakan salah satu suku yang nama diri anggota sukunya, telah mengalami perubahan berdasarkan evolusi kebudayaan suku Bugis.12 Nama diri orang Bugis kini tidak lagi hanya menggunakan bahasa Bugis, tetapi telah bercampur bahasa dari kebudayaan suku atau bangsa lain. Perkembangan persentuhan kebudayaan orang Bugis dengan suku bangsa lain bahkan dapat membuatnya menggunakan nama diri yang sepenuhnya diambil dari bahasa Portugis, Arab, Jawa-Melayu-Sansekerta, sampai bahasa Latin.13 Berdasarkan hasil penelitian etnologi, suku Bugis merupakan keturunan Melayu Muda (Deutro Melayu) yang berasal dari India Belakang. Mereka datang ke kepulauan Nusantara secara bergelombang. Gelombang pertama adalah Melayu Tua yang merupakan nenek moyang suku Toraja. Gelombang kedua, Melayu Muda merupakan nenek moyang suku Bugis, Mandar, dan Makasar. Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.14

8

Syarifuddin Achmad, Strategi Kesopanan Berbahasa Masyarakat Bugis Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan,

Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 40, (1), Februari 2012.

9

Eric Tagliacozzo, “Review of Bugis Navigation,” Indonesia, no. 70, 2000, h. 161–63, https://doi.org/10.2307/3351503.

10

Christian Pelras, The Bugis, (Cambridge Massachusetts Blacwell Publisher, 1996), h. 22.

11

Aslan Abidin, Islam dalam Perubahan Nama Diri Islam dalam Perubahan Nama Diri Islam dalam Perubahan Nama Diri Islam dalam Perubahan Nama Diri Islam dalam Perubahan Nama Diri Suku Bugis, Jurnal

bahasa dan seni, Vol. 14, (2), Juli - Desember 2016, h. 242-254.

12

Andrew P. Vayda and Ahmad Sahur, Forest Clearing and Pepper Farming by Bugis Migrants in East Kalimantan: Antecedents and Impact, Indonesia, (39), Apr., 1985.

13

R.Z. Leirissa, “The Bugis-Makassarese in the port towns: Ambon and Ternate through the nineteenth century,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 156, no. 3 (2000, h. 619–33.

14

Raziq Hasan dan Hendro Prabowo, Perubahan Bentuk dan Fungsi Arsitektur Tradisional Bugis di

Kawasan Pesisir Kamal Muara, Jakarta Utara, (Department of Architecture Gunadarma University, Jakarta,

(4)

Bagi orang Bugis, adat tidak sekedar berarti kebiasaan. Dalam pemahaman Matthes, beliau memahami adat dalam tradisi Bugis sebagai gewonten ‘kebiasaan’. Sementara Lontara memberikan penjelasan bahwa adat merupakan syarat bagi kehidupan manusia. Dalam ungkapan: iyya nanigesara’ ada’ ‘biyasana buttayya tammattikkamo balloka, tanaikatonganngamo jukuka, anyalatongi aseya ‘jika dirusak adat kebiasaan negeri maka tuak berhenti menitik, ikan menghilang pula, dan padipun tidak akan menjadi’.15

Teori Lakoff dan Leech di atas disempurnakan Brown dan Levinson dengan teori konsep wajah (face want).16 Konsep ini ditekankan pada strategi kesopanan berbahasa dengan memanfaatkan teori sosial dari Goffman. Inti teori ini menyelamatkan muka (face threthening act) mitra tutur, yakni penutur meyeleksi tuturan berdasarkan tiga faktor sosial, yaitu hubungan sosial, kekuatan hubungan simetris, skala penilaian tingkat penekanan, sebagaimana digariskan face threathening act (FTA).

Berdasarkan faktor sosial tersebut, Brown dan Levinson telah mengategorikan korpus tuturan kesopanan berbahasa dalam empat strategi, yaitu strategi bald on record, strategi kesopanan positif, startegi kesopanan negatif, dan startegi kesopanan off record.

Kehadiran Islam dalam masyarakat Bugis merupakan bentuk penerimaan nilai yang sama sekali baru ke dalam budaya yang sudah wujud secara mapan. Namun, kehadiran budaya baru ke dalam budaya yang sudah ada ini tidak meruntuhkan nilai dan tanpa menghilangkan jati diri asal. Dalam pertemuan dua budaya baru, memungkinkan terjadinya ketegangan. Sebagaimana respon kalangan tradisional dalam budaya Minang terhadap gerakan pembaharuan yang mengalami pergolakan. Bahkan sampai terjadi peperangan.17 Sementara dalam akulturasi yang berproses di generasi kedua keturunan India Amerika terjadi konflik di antara keluarga.18 Tetapi dalam kasus pertemuan agama Islam dan budaya Bugis justru yang terjadi adalah perpaduan yang saling menguntungkan. Islam dijadikan sebagai bagian dari identitas sosial untuk memperkuat identitas yang sudah ada sebelumnya. Kesatuan Islam dan adat Bugis pada proses berikutnya melahirkan

15

B. F. Matthes, “Over de Ada’s of Gewoonten der Makassaren en Boegineezen” (Newyork: Doubleday Company Inc. 1969), h. 2. Lihat Leonard Y. Andaya, “Review of The Bugis,” The Journal of Asian Studies 57, no. 4 (1998), h.1226–27, https://doi.org/10.2307/2659384. Lihat Zawawi Ibrahim, “Review of THE BUGIS,” Journal of

the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 70, no. 2 (273) (1997): h.117–19.

16

Brown, P. And S. C. Levinson, Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge, (Cambridge University Press, 1987), h. 45.

17

Za’im Rais, The Minangkabau Traditionalists’ Response to The Modernist Movement, Disertasi (Montreal: McGill University, 1994).

18

Sheetal R. Shah, The Impact of Acculturation and Religion on Intergenerational Family Conflict for

(5)

makna khusus yang berasal dari masa lalu dengan menyesuaikan kepada prinsip yang diterima keduanya. Pertemuan arus kebudayaan melahirkan model adaptasi yang berbeda, atau bahkan sama sekali baru dengan yang sudah ada sebelumnya.

B. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter sebenarnya bukan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Bahkan sejak awal kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru, dan kini orde reformasi telah banyak langkah-langkah yang sudah dilakukan dalam kerangka pendidikan karakter dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda.

Dalam UU tentang pendidikan nasional yang pertama kali, ialah UU 1946 yang berlaku tahun1947 hingga UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 yang terakhir pendidikan karakter telah ada, namun belum menjadi fokus utama pendidikan. Pendidikan akhlak (karakter) masih digabung dalam mata pelajaran agama dan diserahkan sepenuhnya pada guru agama.

Karena pelaksanaan pendidikan karakter hanya diserahkan kepada guru agama saja. Maka wajar hingga saat ini pendidikan karakter belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal ini terbukti dari fenomena sosial yang menunjukkan perilaku yang tidak berkarakter. Perilaku yang tidak berkarakter itu misalnya sering terjadinya tawuran antar pelajar, adanya pergaulan bebas, dan adanya kesenjangan sosial-ekonomi-politik di masyarakat, kerusakan lingkungan yang terjadi di seluruh pelosok negeri, masih terjadinya ketidakadilan hukum, kekerasan dan kerusuhan, dan korupsi yang mewabah dan merambah pada semua sektor kehidupan masyarakat, tindakan anarkis, konflik sosial. Masyarakat Indonesia yang dahulu terbiasa santun dalam berprilaku, musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, mempunyai kearifan lokal yang kaya dengan pluralitas, serta bersikap toleran dan gontong-royong kini mulai cenderung berubah menjadi hegemoni kelompok-kelompok yang saling mengalahkan dan berperilaku tidak jujur.

Pendidikan karakter tidak hanya diterapkan di SD, SMP, dan SMA, tapi juga di tingkat Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas bagaimana menerapkan pendidikan karakter di kalangan mahasiswa, guna menghasilkan calon pemimpin bangsa yang tidak hanya mampu di bidang akademik, namun juga terpuji secara karakternya.

Karakter berasal dari bahasa latin kharakter, kharassein, dalam bahasa yunani charrassein, yang berarti membuat tajam dan membuat dalam. Dalam bahasa inggris charraceter

(6)

dan dalam bahasa Indonesia lazim digunakan dengan istilah karakter.19 Sementara itu, kamus bahasa Indonesia tidak memuat kata karakter, yang ada adalah kata “watak” dalam arti sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah lakunya atau tabiat seseorang. Kata “karakter” tercantum dalam kamus bahasa Indonesia kontemporer yang diartikan sebagai watak, sifat dan tabiat.20 Perilaku, personalitas, sifat, tabiat, tempramen, watak. Maka istilah berkarakter artinya memilih karakter, memiliki kepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan watak. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, lingkungan, bangsa dan negera serta dunia Internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi pengetahuan dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya.

Sementara menurut istilah (terminologi) terdapat beberapa pengertian tentang karakter, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Hornby dan Parnwell dikutip dari buku Heri Gunawan mendefenisikan karakter adalah kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi.

2. Heri Gunawan Hermawan kartajaya mendefenisikan karakter adalah khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu (manusia) . ciri khas tersebut adalah asli, dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut dan merupakan mesin pendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, serta merespon sesuatu.

3. Sedangkan Imam Ghozali dalam buku Heri Gunawan menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang lebih menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.21

Berdasarkan hal di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa karakter adalah perilaku manusia yang berhubungan dengan Allah swt, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan yang berdasarkan norma-norma agama, tata krama, budaya dan adat istiadat. Orang yang perilakunya sesuai dengan norma-norma disebut berkarakter mulia.

Dilihat dari segi kedudukannya, peserta didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan menurut fitrahnya masing-masing. Membimbing dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.

19

Heri gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, (Cet II; Bandung: Alfabeta, 2012), h. 1-2

20

Gede Raka dan Yoyo Mulyana, dkk, Pendidikan karakter di Sekolah, (Jakarta: Gramedia, 2011), h. 36

21

(7)

C. Kearifan Lokal

Kearifan lokal menurut UU No. 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup Bab: I Pasal I Butir 30 adalah: nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat antara lain melindungi dan mengelolah lingkungan hidup secara lestari.22 Menurut Ridwan kearifan lokal sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu objek, peristiwa, yang terjadi dalam ruangan tertentu. Di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu objek, atau peristiwa yang terjadi.23 Menurut Direktur Afri-Afya, Caroline Nyamai-Kisia pengertian kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.24 Selanjutnya, menurut Ridwan berpendapat bahwa: Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.25

Pengertian tersebut yang disusun secara etimologi, wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang tejadi. Istilah wisdom sering diartikan sebagai “kearifan/kebijaksanaan”. Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdeasain tersebut disebut setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah

22

Keraf, Hubungan Kearifan Lokal Masyarakat Adat dengan Pelestarian Lingkungan Hidup, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010), h. 43.

23

Ridwan, Landasan keilmuan kearifa local, Jurnal studi islam dan budaya. Vol. 5. No. 1. Jan-Jun 2007, h. 27-38.

24

Linda Line Alipuria And Phinney Jean S. Ethnic Identity In College Students From Four Ethnic Groups,

Journal of Adolescence, 13, 1990. h. 171-183.

25

Ridwan, N.A “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”, Jurnal Studi Islam dan Budaya, Vol.5, (1), (2007), h. 2.

(8)

terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku mereka.

Adapun menurut Keraf kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.26

Jadi kearifan lokal ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik diantara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun.

Seluruh kearifan traditional ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari. Menurut Teezzi, dkk, “akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama”. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari.27 Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.

Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke generasi berikut. Teezzi, dkk dalam Ridwan mengatakan bahwa “kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang estettik maupun intuitif”.28Menjelaskan menurut perspektif kultural, kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan oleh masyarakat yang menjadi pedoman hidup mereka. Termasuk berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, bertingkah laku dan bertindak yang dituangkan sebagai suatu tatanan sosial.

26

Keraf, Etika Lingkungan Hidup, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), h. 369.

27

Ridwan, “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”. Jurnal Studi Islam dan Budaya, Vol.5, (1), 2007. h. 27-38.

28

Ardana dalam Apriyanto, Hubungan Kearifan Lokal Masyarakat Adat dengan Pelestarian Lingkungan

(9)

Di dalam pernyataan tersebut terlihat bahwa terdapat lima dimensi kultural tentang kearifan lokal, yaitu (1) Pengetahuan lokal, yaitu informasi dan data tentang karakter keunikan lokal serta pengetahuan dan pengalaman masyarakat untuk menghadapi masalah serta solusinya. Pengetahuan lokal penting untuk diketahui sebagai dimensi kearifan lokal sehingga diketahui derajat keunikan pengetahuan yang dikuasai oleh masyarakat setempat untuk menghasilkan inisiasi lokal; (2) Budaya lokal, yaitu berkaitan dengan unsur-unsur kebudayaan yang telah terpola sebagai tradisi lokal, yang meliputi sistem nilai, bahasa, tradisi, teknologi; (3) Keterampilan lokal, yaitu keahlian dan kemampuan masyarakat setempat untuk menerapkan dan memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki; (4) Sumber lokal, yaitu sumber yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan melaksanakan fungsi-fungsi utamanya; dan (5) Proses Sosial lokal, berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat dalam menjalankan fungsi-fugnsinya, sistem tindakan sosial yang dilakukan, tata hubungan sosial serta kontrol sosial yang ada. Pengertian kearifan lokal (local wisdom) kearifan setempat. Jadi kearifa lokal dapat dipahami sebagai gagasan dan pengetahuan stempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik dan berbudi luhur, yang dimilki, dipedoman dan dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakat.

D. Implikasi Budaya Lokal dalam pembentukan karakter

Kearifan lokal adalah warisan masa lalu yang berasal dari leluhur, yang tidak hanya terdapat dalam sastra tradisional (sastra lisan penuturnya, tetapi terdapat dalam berbagai pandangan hidup, kesehatan, dan arsitektur.29 Dalam dialektika hidup-mati (sesuatu yang hidup akan mati), tanpa pelestarian dan revitalisasi, kearifan lokal pun suatu saat akan mati. Bisa jadi, nasib kearifan lokal mirip pusaka warisan leluhur, yang setelah sekian generasi akan lapuk dimakan rayap. Sekarang pun tanda pelapukan kearifan lokal makin kuat terbaca. Kearifan lokal acap kali terkalahkan oleh sikap masyarakat yang makin pragmatis, yang akhirnya lebih berpihak pada tekanan dan kebutuhan ekonomi. Sebagai contoh, di salah satu wilayah hutan di Jawa Barat, mitos pengeramatan hutan yang sesungguhnya bertujuan melestarikan hutan/alam telah kehilangan tuahnya sehingga masyarakat sekitar dengan masa bodoh membabat dan mengubahnya menjadi lahan untuk berkebun sayur.

29

Suyono Suyatno, Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Upaya Penguatan Identitas Keindonesiaan, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1366 diakses, 12 April 2018.

(10)

Kearifan lokal hanya akan abadi kalau kearifan lokal terimplementasikan dalam kehidupan konkret sehari-hari sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman yang telah berubah. Kearifan lokal juga harus terimplementasikan dalam kebijakan negara, misalnya dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang berasaskan gotong-royong dan kekeluargaan sebagai salah satu wujud kearifan lokal kita. Untuk mencapai itu, perlu implementasi ideologi negara (yakni Pancasila) dalam berbagai kebijakan negara. Dengan demikian, kearifan lokal akan efektif berfungsi sebagai senjata tidak sekadar pusaka yang membekali masyarakatnya dalam merespons dan menjawab arus zaman. Revitalisasi kearifan lokal dalam merespons berbagai persoalan akut yang dihadapi bangsa dan negara, seperti korupsi, kemiskinan, dan kesenjangan sosial, hanya akan berjalan jika didukung oleh kebijakan negara yang disertai dengan keteladanan.

Bagi sebagian masyarakat mempertahankan adat yang terkesan memberatkan didasarkan pada keyakinan bahwa adat merupakan hal yang sakral dan suci sebagaimana sakralnya menjaga kehormatan. Setiap proses yang dilalui mengandung nilai-nilai kearifan di mana pelanggaran atas nilai-nilai tersebut menimbulkan konsekuensi runtuhnya kehormatan pribadi, baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Seyogyanya nilai-nilai itu mampu dipahami secara arif dan bijaksana oleh generasi muda sehingga nilai tersebut tidak terkikis sebagaimana tudingan miring yang muncul selama ini. Nilai-nilai budaya yang positif yang terkandung dalam proses kehidupan tersebut seharusnya dilestarikan dari generasi ke generasi tanpa menutup diri dari kritikan yang sifatnya membangun. Untuk itu, reinterpretasi makna falsafat adat Bugis dalam rangka mengembalikan makna yang sesungguhnya tetap penting untuk dilakukan sebagai bahan renungan.

Ide-ide tersebut mengandung nilai-nilai yang mempengaruhi pendukungnya ketika dalam situasi tertentu mereka mengambil keputusan. Nilai-nilai itu merupakan warisan budaya karena dimiliki dan ditaati, dihormati dan dihargai, serta dibela dan dipertahankan oleh masyarakatnya. Dalam tradisi Bugis, pelanggaran atas nilai-nilai tradisi menimbulkan konsekuensi runtuhnya kehormatan pribadi, baik dalam keluarga maupun masyarakat.30

pendidikan menjadi sebuah ukuran kewibawaan, harkat, derajat, martabat seseorang. Seseorang dapat dihargai ketika memiliki pendidikan, semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula penghargaan terhadap orang itu. Sebaliknya semakin rendah pendidikan

30

Hilmi Muhammadiyah, Perempuan Bugis Naik Haji–Sebuah Tinjauan Antropologis (Depok: Elsas, 2009), h. 3.

(11)

seseorang semakin rendah pula penghargaan terhadapnya. Oleh sebab itu, pendidikan sekarang ini khususnya masyarakat Bugis menjadi siri’. Masyarakt Bugis masiri’ (malu) kalau tidak sekolah. Dengan demikian siri’ mejadi spirit bagi masyarakat Bugis dalam menempuh pendidikan.

Kesadaran pendidikan pada masyarakat Bugis telah tercatat dalam Lontara. Pesan pendidikan itu tersirat pada pesan-pesan kesuksesan yang harus memiliki dua hal pokok yaitu kepandaian dan kejujuran. Itulah juga yang tidak terpisah dengan dewata yang Esa. Yang disebut pandai adalah kemampuan melihat akhir dari pada perbuatan. Jika akhir dari perbuatan tersebut buruk maka jangan dilakukan. Barulah dapat dilakukan apabila akhir dari perbuatan tersebut mendatangkan kebaikan.

Pendidikan sebagai transformasi budaya di artikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Dengan demikian pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan disini adalah kebudayaan.

Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok di teruskan misalnya, nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab dan lain-lain. Yang kurang cocok diperbaiki, dan yang tiak cocok diganti. Contohnya budaya korupsi dan menyimpang adalah sasaran bidik dari pendidikan transformatif.

Pendidikan merupakan proses membudayakan manusia sehingga pendidikan dan budaya tidak bisa di pisahkan. Pendidikan bertujuan membangun totalitas kemampuan manusia baik sebagai individu maupun anggota kelompok masyarakat sebagai unsur vital dalam kehidupan manusia yang beradab, kebudayaan mengambil unsur-unsur pembentukannya dari segala ilmu pengetahuan yang dianggap betul-betul vital dan sangat di perlukan dalam menginterprestasi semua yang ada dalam kehidupannya.

Menurut Ibnu Kaldum sebagaiman dikutip oleh Triyo Supriyanto faktor diluar dari diri manusia (lingkungan) dapat mempegaruhi kecendrungan kecendrungan manusia. Dengan demikian manusia yang sebenarnya adalah manusia yang dibentuk lingkungannya, baik lingkungan yang bersifat fisik maupun lingkungan alam sosial yang dibentuk oleh tindakan-tindakan manusia.31

31

(12)

Emile Durkheim32 yang melihat pembangunan masyarakat sebagai suatu yang damai, maju, bergerak, berkembang, saling interaksi dan solidaritas sosial.33 Karena salah satu faktor utama pembangunan masyarakat adalah tidak terlepas dari selarasnya adat/budaya dan agama (syariat Islam). Di samping teori Durkheim, penulis juga menggunakan kerangka teori sosiologis dan antropologis yang dikemukan oleh Ibn Khaldun (w. 809/1406),34 yang berkaitan dengan fungsi organisasi masyarakat. Menurut teori Ibn Khaldun, organisasi masyarakat menjadi suatu keharusan bagi manusia (ijtimâ’ daruryn li an-nawâ’ al-insân).

Dengan demikian, lingkungan sosial jugalah yang menentukan bagaimana agama itu menjadi instrumen yang menggerakkan masyarakat. Sementara masyarakat bugis, agama menjadi alat untuk menjaga kelangsungan lingkungan. Kesadaran ini diturunkan oleh generasi sebelumnya dengan menekankan kepada sikap etik keagamaan terhadap penjagaan lingkungan.35 Begitu juga di Nepal, lingkungan dapat terjaga dan dijadikan sebagai sandaran hidup bagi masyarakat karena adanya faktor agama yang senantiasa mendukung kampanye pelestarian lingkungan.36

Karakter dan budaya merupakan unsur-unsur yang sangat terkait dengan kehidupan manusia karena hakikat manusia sebagai hamba dan sebagai makhluk sosial. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Terkait dengan hal tersebut, Indonesia terkenal dengan keragaman agama serta kebudayaannya. Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu merupakan agama yang resmi diakui di Indonesia. 37

32

Durkheim was born in 1858 in the town of Efinal, near Strasbourg in north eastern France. His father was a rabbi, and as a young boy he was also strongly affected by a schoolteacher wasRoman Catholic. These influences may ave contributed something to his general interest in religious endeavors, but they did not make him personally a believer. By the time he was a yong man, he had become an a brilliant agnostic. Daniel L. Pals, Seven Theories of

Religion (New York: Oxford University Press, 1996), h. 89-90.

33

Lihat, Durkheim dalam L. Brom & Philip Selzinic, Dorothy Darroch, Sosiology (New York: Harper & Row Publisher, 1981), h. 399.

34

Lihat, Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadi Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 847

35

C. Ramble, The Navel of the Demoness: Tibetan Buddhism and Civil Religion in Highlight Nepal, (Oxford: Oxford University Press, 2008).

36

S. Stevens, “Annapurna Conservation Area: Empowerment, Conservation and Development in Nepal”

dalam Stevens, S. (ed.), Conservation Through Cultural Survival (Washington D.C.: Island Press, 1997), 237–261. P.

West, Conservation is Our Government Now: The Politics of Ecology in Papua New Guinea, (Durham: Duke University Press, 2006). Lihat Ismail Suardi Wekke, Harmoni Sosial dalam Keberagaman dan Keberagamaan Masyarakat Minoritas Muslim Papua Barat, Volume 10, (2), Desember 2016, 295 – 312.

37

Diah Aghsari dan Ismail Suardi Wekke, Ritual Sasi Laut; Akulturasi Agama dan Budaya dalam Praktik Ritual Kebaharian Masyarakat Misool Raja Ampat, Jurnal Kalam, Vol.(1), Juni 2015, 11.

(13)

Dayakisni dan Yuniardi menyatakan bahwa budaya sangat memengaruhi perilaku individu, dan pada tataran individual budaya memberi pengaruh pada kehidupan individu lebih dari sekedar perilaku semata.38 Dalam praktiknya, norma-norma sosial senantiasa dijadikan pegangan, pedoman maupun indikator dalam menilai perilaku individu atau kelompok dalam komunitasnya. Norma tersebut mengandung nilai-nilai kearifan dari suatu budaya lokal. Kearifan budaya lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan masyarakat untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan, sehingga dapat menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Sehingga individu yang memegang teguh kearifan budaya lokalnya juga secara personal akan memiliki kontrol yang baik dalam komunitasnya.39

Budaya cenderung melarang seseorang untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Pelanggaran atas larangan tersebut mengakibatkan adanya konsekuensi yang berat bagi pelanggar. Implementasi budaya siri’ dalam diri setiap pengelola pemerintahan maupun masyarakat dapat membantu meningkatkan kepatuhan pengawai terhadap regulasi pemerintahan sehingga efektivitas sistem pengendalian internal pemerintahan dapat tercapai.40

Berdasarkan urain di atas, di era kekinian yang dianggap siri’ pada hal-hal tertentu dianggap hanya sebagai budaya dimasa lalu. Terjadinya degradasi nilai siri’ tersebut disebabkan karena pewarisan budaya yang tidak terintegrasi baik ke dalam pendidikan formal. Selain pendidikan formal juga pendidikan informal, sebagai akibat kesibukan orang tua dikarenakan tuntutan ekonomi keluarga. Permasalahan tersebut sangat kontras dengan pendidikan Islam dimana pendidikan Islam menjadikan keluarga sebagai pendidikan awal bagi anak. Oleh sebab itu, pewarisan budaya siri’ harus terintegrasi baik ke dalam pendidikan formal serta mengoftimalkan pendidikan informal.

38

Dayakisni, dan S Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, (Malang: UMM Pess 2008), h.59.

39

J. Thontowi, Hukum Kekerasan dan Kearifan Lokal: Penyelesaian Sengketa di Sulawesi Selatan (Yogyakarta: Fustaka Fahima, 2007). Bakker, The Philosophy of Culture (Filsafat Kebudayaan) (Yogjakarta: Kanisius, 2004), 7.

40

M. L .Marzuki, Siri' Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum) (Makassar: Hasanuddin University Press, 1995), 17.

(14)

E. PENUTUP

Budaya adalah produk internal yang melibatkan potensi budi dan potensi daya manusia. Potensi manusia senantiasa dipengaruhi baik faktor internal ataupun faktor eksternal. Konsekuensi logis dari pengaruh pada manusia adalah sebuah perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan dalam diri manusia. Dengan demikian, pola pikir, pola sikap, dan pola laku senantiasa berubah berdampak pada perubahan karya-karya yang dibuatnya baik karya materil ataupun karya non materil. Pada pembahasan bab sebelumnya telah diterangkan mengenai relevansi pendidikan Islam dengan budaya siri’.

Hal yang perlu dipahami bahwa budaya siri’ adalah produk manusia dimasa lalu yang dijadikan sebagai falsafah hidup dengan pengaruh sosiokultural masyarakat Bugis. Selain dari pada itu, budaya siri’ ada sebelum Islam masuk di wilayah Sulawesi secara khusus Bugis. Selama ini implementasi siri’ dalam ruang menjaga harkat, derajat, dan martabat manusia. Begitupula dalam pendidikan Islam, pendidikan dilaksanakan pada hakekatnya mengantarkan mansuia pada harkat, derajat, dan martabat manusia. Pada dasarnnya, siri’ dalam mempertahankan harga diri seseorang lebih pada pendekatan pola rasa seseorang tanpa diimbangi pola rasio sehingga potensi ketersinggungan seseorang sangat besar. Sementara pendidikan Islam mengantarkan manusia keseimbangan keduanya.

Dinamisasi perkembangan budaya siri’ Bugis yang semakin jauh dari orentasi ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman menunjukan bahwa Siri’ tersebut hanya sebagai prinsip hidup tanpa didasari nilai kebaikan, kebenaran, dan keindahan.

Sebagai alasan, pendidikan Islam sebagai proses pewarisan budaya siri’ Bugis. Pendidikan Islam dapat dilihat dari segi fungsinya. Pendidikan Islam mempunyai fungsi yang sangat penting untuk pembinaan dan penyempurnaan kepribadian dan mental anak, karena pendidikan agama Islam mempunyai dua aspek terpenting, yaitu aspek pertama yang ditujukan kepada jiwa atau pembentukan kepribadian anak, dan kedua, yang ditujukan kepada pikiran yakni pengajaran agama Islam itu sendiri.

Aspek pertama dari pendidikan Islam adalah yang ditujukan pada jiwa atau pembentukan kepribadian. Artinya bahwa melalui pendidikan agama Islam ini anak didik diberikan keyakinan tentang adanya Allah swt. Aspek kedua dari pendidikan Agama Islam adalah yang ditujukan kepada aspek pikiran (intelektualitas), yaitu pengajaran Agama Islam itu sendiri. Artinya, bahwa kepercayaan kepada Allah swt, beserta seluruh ciptaan-Nya

(15)

tidak akan sempurna manakala isi, makna yang dikandung oleh setiap firman-Nya (ajaran-ajaranNya) tidak dimengerti dan dipahami secara benar.

Di sini peserta didik tidak hanya sekedar diinformasikan tentang perintah dan larangan, akan tetapi justru pada pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana beserta argumentasinya yang dapat diyakini dan diterima oleh akal. Jika diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan Islam, maka kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya kearah tujuan tertinggi pendidikan Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Aslan, Islam dalam Perubahan Nama Diri Islam dalam Perubahan Nama Diri Islam dalam Perubahan Nama Diri Islam dalam Perubahan Nama Diri Islam dalam Perubahan Nama Diri Suku Bugis, Jurnal bahasa dan seni, Vol. 14, (2), Juli - Desember 2016. Aghsari, Diah dan Ismail Suardi Wekke, Ritual Sasi Laut; Akulturasi Agama dan Budaya dalam

Praktik Ritual Kebaharian Masyarakat Misool Raja Ampat, Jurnal Kalam, Vol.(1), Juni 2015.

Ardana dalam Apriyanto, Hubungan Kearifan Lokal Masyarakat Adat dengan Pelestarian Lingkungan Hidup, Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2008.

Andaya, Leonard Y, “Review of The Bugis,” The Journal of Asian Studies 57, no. 4, 1998. https://doi.org/10.2307/2659384.

Bakker, The Philosophy of Culture (Filsafat Kebudayaan, Yogjakarta: Kanisius, 2004.

Brown, P. And S. C. Levinson, Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press, 1987.

Brom, L. & Philip Selzinic, Dorothy Darroch, Sosiology, New York: Harper & Row Publisher, 1981.

Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996. Dayakisni, dan S Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, Malang: UMM Pess 2008.

Elfira, M, Model Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal di Minangkabau dan Bugis. Makalah. Tidak diterbitkan. 2013.

Eric Tagliacozzo, “Review of Bugis Navigation,” Indonesia, no. 70 (2000): 161–63, https://doi.org/10.2307/3351503.Endarswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yokyakarta: Gajah Mada University Press, 2006.

(16)

Floyd Matson, The Broken Image, New York: Doubleday, 1996.

Gunawan, Heri, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, Bandung: Alfabeta, 2012. Hasan, Raziq dan Hendro Prabowo, Perubahan Bentuk dan Fungsi Arsitektur Tradisional Bugis

di Kawasan Pesisir Kamal Muara, Jakarta Utara, Department of Architecture Gunadarma University, Jakarta, Indonesia, 2016.

Ibrahim, Zawawi, “Review of THE BUGIS,” Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 70, no. 2 (273, 1997.

Keraf, Hubungan Kearifan Lokal Masyarakat Adat dengan Pelestarian Lingkungan Hidup, Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010.

---, Etika Lingkungan Hidup, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010. Khaldun, Ibn, Muqaddimah, terj. Ahmadi Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.

Line Alipuria, Linda And Phinney Jean S. Ethnic Identity In College Students From Four Ethnic Groups, Journal of Adolescence, 13, 1990.

Koetjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1994.

Leirissa, R.Z., “The Bugis-Makassarese in the port towns: Ambon and Ternate through the nineteenth century,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 156, no. 3, 2000. Matthes, B. F, Over de Ada’s of Gewoonten der Makassaren en Boegineezen”, Newyork:

Doubleday Company Inc. 1969.

Marzuki, M. L, Siri' Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar, Sebuah Telaah Filsafat Hukum, Makassar: Hasanuddin University Press, 1995.

Muhammadiyah, Hilmi, Perempuan Bugis Naik Haji–Sebuah Tinjauan Antropologis Depok: Elsas, 2009.

Mattulada, Latoa, Suatu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1975.

Omar, Rahilah, dkk, Sejarah kedatangan Masyarakat Bugis Ke Tanah Melayu: Kajian Kes Di Johor, Jurnal JEBAT 36, 2009.

P. Vayda, Andrew and Ahmad Sahur, Forest Clearing and Pepper Farming by Bugis Migrants in East Kalimantan: Antecedents and Impact, Indonesia, (39), Apr., 1985.

Pelras, Christian, The Bugis, Cambridge Massachusetts Blacwell Publisher, 1996.

Ramble, C., The Navel of the Demoness: Tibetan Buddhism and Civil Religion in Highlight Nepal, Oxford: Oxford University Press, 2008.

Rahmi, Sitti, dkk, Karakter Ideal Konselor Dalam Budaya Bugis Kajian Hermeneutik terhadap Teks Pappaseng, Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan Volume: 2 (2) Bulan Februari Tahun 2017.

Rahman, Nurhayati, Cinta, Laut dan Kekuasaan Dalam Epos La Galigo (Makassar: La Galigo Press, 2006.

Rais, Za’im, The Minangkabau Traditionalists’ Response to The Modernist Movement, Disertasi, Montreal: McGill University, 1994.

(17)

Raka, Gede dan Yoyo Mulyana, dkk, Pendidikan karakter di Sekolah, (Jakarta: Gramedia, 2011. Rasdiyanah, Andi, “Integrasi Sistem Pangngaderreng dengan Sistem Syariat Islam dalam

Lontarak Bugis Makassar” (Makalah yang disajikan pada Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan dengan tema “Empat Abad Islam Melembaga di Sulawsei-Selatan” dilaksanakan oleh Pusat Kajian Timur Tengan, Divisi Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora Pusat Kegiatan Penelitian Unhas kerjasama Pemerintah Kota Makassar, 5-7 September 2007.

Ridwan, Landasan keilmuan kearifa local, Jurnal studi islam dan budaya. Vol. 5. No. 1. Jan-Jun 2007.

Robinson, Kathryn, “Ketegangan Antar suku bangsa, Orang Bugis, dan Masalah ‘Penjelasan’ 1,” 2000.

Shah, Sheetal R., The Impact of Acculturation and Religion on Intergenerational Family Conflict for Second Generation Asian Indian Americans, Tesis Carbondale: Southern Illinois University, 2006.

Suyatno, Suyono, Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Upaya Penguatan Identitas Keindonesiaan, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1366 diakses, 12 April 2018.

Stevens, S. “Annapurna Conservation Area: Empowerment, Conservation and Development in Nepal” dalam Stevens, S. (ed.), Conservation Through Cultural Survival, Washington D.C.: Island Press, 1997.

Suardi Wekke, Ismail, Harmoni Sosial dalam Keberagaman dan Keberagamaan Masyarakat Minoritas Muslim Papua Barat, Volume 10, (2), Desember 2016.

Syarifuddin, Achmad, Strategi Kesopanan Berbahasa Masyarakat Bugis Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan, Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 40, (1), Februari 2012.

Thontowi, J., Hukum Kekerasan dan Kearifan Lokal: Penyelesaian Sengketa di Sulawesi Selatan, Yogyakarta: Fustaka Fahima, 2007.

Triyo Supriyanto, Humanitas, Spiritual dalam Pendidikan, Malang: UIN Malang Press 2009. West, P., Conservation is Our Government Now: The Politics of Ecology in Papua New Guinea,

Referensi

Dokumen terkait

Southern Arc memperole memperoleh, menilai h, menilai dan dan memajukan memajukan aset aset proyek-proyek tambang di proyek-proyek tambang di Indonesia, yaitu salah

Adapun tentang tauhid juga sangat beliau kedepankan agar supaya masyarakat banyak yang selalu menomorsatukan Allah Swt dimanapun berada, apalagi pada sat itu adalah

Konsep mengenai sehat dan sakit perlu dicermati secara hati-hati pada dunia k erja karena membawa imp l ikasi pada kesempatan yang diberikan.. Padahal ada

Dari tabel di atas dapat diketahui secara keseluruhan jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan pada variabel kinerja pegawai bahwa responden pegawai di

Jadi berdasarkan hasil uji validitas di atas pertanyaan 1 sampai Pertanyaan 9 memiliki r hitung yang lebih besar dari r tabel sehingga dinyatakan VALID sedangkan untuk pertanyaan

Muatan lebih dari 15% ditilang dan transfer muatan/dilarang meneruskan perjalanan *1 Jan-31 Des 2022 2022 2023 2021 Toleransi 5 %.. Muatan lebih dari 5% ditilang dan transfer

Karena kandungan pasal dalam PP itu lebih berkaitan dengan produk dan perdagangan produk tembakau, secara spesifik adalah produk industri rokok kretek, yaitu

Hasil uji BNT 0,05 pada Tabel 2, menunjukan bahwa pemberian pupuk organik cair sebanyak 75 l ha -1 perlakuan (B1) memberikan rata-rata berat buah segar yang lebih