• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAFSIR ATAS KEMUKJIZATAN ISRA DAN MI RAJ NABI MUHAMMAD SAW DALAM SURAT AL-ISRA AYAT 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TAFSIR ATAS KEMUKJIZATAN ISRA DAN MI RAJ NABI MUHAMMAD SAW DALAM SURAT AL-ISRA AYAT 1"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TAFSIR ATAS KEMUKJIZATAN ISRA’ DAN MI’RAJ NABI

MUHAMMAD SAW DALAM SURAT AL-ISRA’ AYAT 1

[caption id="attachment_70" align="alignleft" width="150"]

Ust. Supriyanto Pasir[/caption]

Oleh: Supriyanto Pasir, S. Ag., M. Ag*

“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjid

al-Harâm ke al-Masjid al-Aqshâ yang telah Kami berkahi sekelilingnya untuk Kami perlihatkan padanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha

Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Ayat pertama surat al-Isrâ’ atau surat Banî Isrâ’îl ini adalah ayat yang berbicara tentang Kemahaagungan Allah SWT dalam memberikan mu’jizat bagi rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w. Karena keagungan itulah maka Allah SWT memulainya dengan kalimat subhâna (Maha Suci) yang bertujuan untuk mengharapkan setiap orang yang beriman agar menghilangkan keragu-raguan terkait hal yang diberitakan Allah SWT. Kata subhâna adalah bentuk mashdar dari kata sabbaha yang kalau di-tashrîf menjadi: sabbaha-yusabbihu-tasbîhan wa subhânan. Kata subhâna itu ditujukan untuk makna al-tanzîh (mensucikan) dan al-barâ’ah lillâh min kulli

naqshin (membebaskan segala kekurangan terkait dengan Allah).[1]

Merupakan satu hal yang wajar bahwa dalam setiap peristiwa besar yang tak masuk di akal manusia akan menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan. Apalagi kalau peristiwa yang luar biasa (khâriq li al-‘âdah) itu tidak dikaitkan dengan Allah SWT Yang Maha Berkehendak. Untuk menghindarkan diri dari keraguan itu maka Allah SWT nisbahkan kesucian itu terhadap Allah SWT yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid Haram ke al-Masjid al-Aqsha.

Sebelum menjelaskan banyak hal terkait kemukjizatan isra’-mi’raj, dianggap perlu di sini untuk dituliskan sedikit tentang Masjid al-Aqsha. Makna dari aqshâ sendiri adalah yang paling jauh ditilik dari posisi tempat tinggal nabi Muhammad s.a.w.[2] Yang dimaksud dengan Masjid Aqsha itu tidak lain adalah Bayt Maqdis yang letaknya di daerah Iliya atau Jerussalem (Dâr

(2)

diwafatkan Allah SWT. Nabi Ibrahim a.s. juga dimakamkan di daerah al-Khalil, di sekitar Baitul Maqdis. Demikian juga dengan nabi Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Zakariyya, Yahya, dan lain-lainnya juga banyak yang dimakamkan di sekitar Bayt al-Maqdis. Itulah sebabnya mengapa Allah SWT menyebut wilayah masjid al-Aqsha itu sebagai tempat yang sekelilingnya diberkahi oleh Allah SWT (alladzî bâraknâ haulahu). Ada pendapat menarik dari al-Harari, seorang pengajar di Dar al-Hadits al-Khairiyyah di Makkah al-Mukarramah, tentang mengapa nabi Muhammad s.a.w. isra’ dari masjid al-Haram ke masjid al-Aqsha. Beliau tuliskan, dua masjid itu adalah dua masjid yang sama-sama dibangun oleh nabi Adam a.s. Pertama kali nabi Adam membangun Ka’bah yang di masjid al-Haram. Baru empat puluh tahun bersilang beliau membangun masjid al-Aqsha.[3] Dua masjid itu pula yang selanjutnya dipugar dan ditinggikan kembali oleh bapak para nabi (abu al-anbiyâ’) yaitu nabi Ibrahim a.s. Jadi dapat dibayangkan betapa pentingnya dua tempat itu bagi nabi Muhammad s.a.w. Dan akhirnya Jerusalem yang Masjid al-Aqsha ada di dalamnya juga menjadi penting kedudukannya bagi umat Muslim dan bahkan menjadi Kota Suci ketiga setelah Makkah dan Madinah.[4]

Peristiwa yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai isrâ’ dan mi’râj itu memang suatu peristiwa yang luar biasa. Tidak heran jika orang-orang Makkah saat itu tidak banyak yang mempercayainya. Bahkan tidak sedikit yang mengingkarinya dan pada ujungnya menyudutkan dan menuduh nabi Muhammad s.a.w. sebagai orang gila (majnûn/junûn) dan orang yang suka berhalusinasi. Bayangkan, apa yang ada di benak Anda jika seseorang—yang hidup di zaman onta—mengatakan bahwa dirinya tadi malam telah pergi dari Makkah ke negeri Syam (Palestina sekarang)[5] lalu naik menembus langit tujuh, ke Sidrah al-Muntahâ dan lalu ke al-Mustawâ dengan perjalanan tidak sampai semalam penuh![6] Apa kata Anda? Tidak percaya? Mungkin! Tapi, bagaimana kalau yang menghendaki itu Allah SWT? Mungkin atau tidak mungkinkah terjadi? Hal ini tentu akan berkaitan erat dengan keimanan kita kepada Allah SWT sebagai dzat yang apa pun yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.[7] Sekali lagi, itulah mengapa sebabnya Allah SWT mengawali firman-Nya dengan kalimat subhâna. Apapun juga bentuknya, yang namanya mu’jizât adalah sesuatu yang keluar dari kebiasaan (khâriqun li

al-‘âdah). Nabi Ibrahim a.s. tidak mempan dibakar api[8], nabi Musa a.s. dapat membelah lautan dengan tongkatnya[9], nabi Isa a.s. dapat menghidupkan orang yang sudah mati[10] dan nabi Muhammad s.a.w. dengan isra’ dan mi’rajnya. Hanya saja yang perlu dipahami, bahwa semua itu tidak akan dapat dilepaskan dari perkenan Allah SWT (idznullâh). Dengan perkenan-Nya, semua yang dikehendaki-Nya terjadi maka terjadilah. Demikian pula sebaliknya.

Selanjutnya muncul pertanyaan. Apakah Nabi Muhammad s.a.w. isra’ dan mi’raj dengan ruhnya saja? Apakah dalam mimpi saja? Atau apakah dengan ruh dan badannya sekaligus? Pertanyaan ini sering memunculkan jawaban yang beraneka ragam sesuai dengan pendekatan masing-masing penafsir.

Sebagian rasionalis seperti Imam al-Zamakhsyari[11], isra’ dan mi’raj hanyalah terjadi dengan ruhnya saja. Hal itu didasarkan kepada pernyataan A’isyah r.a. bahwa beliau bersumpah demi Allah tidak kehilangan jasad Rasulullah s.a.w. pada malam itu dan menurut beliau nabi Muhammad s.a.w. mi’raj dengan ruhnya saja.[12] Sedangkan menurut Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, peristiwa isra’ dan mi’raj itu terjadi hanya dalam mimpi (fî al-manâm). Adapun mayoritas mufassir (jumhûr) menyatakan bahwa peristiwa agung itu terjadi di alam sadar (fî al-yaqzhân) bukan dalam tidur (fî al-manâm) dan dengan ruh dan jasad nabi Muhammad s.a.w sekaligus.

(3)

Bermacam-macam interpretasi (penafsiran) terkait isra’ dan mi’raj sungguh membingungkan kalangan awam umat Islam. Di tulisan ini penulis mengajak, mari kita kembalikan saja perbedaan pendapat (khilâfiyah) itu kepada ayat al-Qur’an itu sendiri dan oleh karenanya mari kita pahami dengan pendekatan bahasa, sejarah, dan yang lebih penting adalah dengan pendekatan îmânî sehingga memunculkan pemahaman yang komprehensif (jâmi’) serta menjauhkan diri dari kesalahan.

Dari sudut kebahasaan, jika kita perhatikan dengan seksama sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa Allah SWT telah memulai firman-Nya dengan subhâna. Hal itu menjadi sebuah indikasi bahwa apa yang akan dikatakannya kemungkinan akan mengagetkan manusia karena merupakan suatu peristiwa yang luar biasa. Peristiwa luar biasa itu adalah diperjalankannya nabi Muhammad s.a.w. hanya di sebagian malam dengan jarak yang jauh kemudian naik menembus langit ke tujuh, Sidrah al-Muntahâ dan hingga al-Mustawâ. Bahkan penyebutan kata

laylan dengan bentuk nakîrah (bukan ma’rifah yang biasanya ditandai dengan alif dan lam)

adalah memiliki arti sebagai penyedikitan masa perjalanan al-isra’ (taqlîl muddati al-isrâ’) sehingga dapat ditafsirkan dengan kata min al-layl [13] dimana huruf khafdh “min” di sini berfungsi sebagai li al-tab’îdh. Peristiwa itu tidak akan luar biasa kalau hanya dengan ruh-nya saja apalagi jika terjadi hanya dalam mimpi. Dan tidak akan terjadi penolakan dari kalangan Kafir Quraisy terhadap peristiwa tersebut jika hanya terjadi dalam mimpi.[14] Hal ini juga dapat kita teliti merujuk kepada pandangan para Mufassir. Imam al-Sa’di termasuk yang setuju isra’ dan mi’raj nabi s.a.w. adalah dengan ruh dan jasadnya bersama-sama, karena kalau tidak maka hal itu tidak akan menjadi tanda-tanda Allah yang besar (âyah kubrâ) dan munqîbah ‘azhîmah.[15] Demikian juga Imam al-Nasafi bahwa isra’ itu terjadi satu tahun sebelum hijrah dan terjadi waktu beliau terjaga (wa kâna fi al-yaqzhah), dan setelah menyebut hadits ‘A’isyah dan Mu’awiyyah, beliau menyatakan bahwa pendapat yang awal merupakan pendapat jumhur karena tidak ada nilai lebih bagi pemimpi (idz lâ fadhîlata li al-hâlim) dan demikian juga tidak ada keutamaan bagi orang yang tidur (wa lâ maziyyata li al-nâ’im).[16] Imam al-Baidhawi dalam kitab Tafsîr Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl juga menguatkan pendapat-pendapat itu dengan adanya ketakjuban orang-orang Quraisy yang mereka menganggap isra’ dan mi’raj sebagai peristiwa yang tidak mungkin terjadi, mustahil (istahâlah).[17] Kalau tidak luar biasa, apalagi cuma sekedar mimpi maka tidak mungkin mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil.

Masih dari sudut pandang kebahasaan (lughatan), bahwa Allah SWT memakai kata ‘abdun dalam kalimat bi ’abdihi. Dalam bahasa Arab kata ‘abdun adalah menunjuk kepada seseorang yang terdiri dari jasad dan ruh sekaligus. Karena jasad tanpa ruh adalah mayyitun. Dan ruh tanpa jasad juga tidak dapat disebut ‘abdun dalam pengertian yang sesungguhnya. Penjelasan ini dapat ditelusuri dalam kitab tafsir yang sangat masyhur yaitu Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm atau yang lebih dikenal dengan Tafsîr Ibn Katsîr.[18] Juga dapat ditelusuri dalam Tafsîr Hadâ’iq

al-Rauhi wa al-Raihân fî Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân yang ditulis oleh Muhammad al-Amin Al-Hararî.

Pandangan yang kuat dan dapat dipegangi (al-mu’tamad) adalah yang menyatakan bahwa kejadian luar biasa itu terjadi dengan jasad dan ruhnya sekaligus, dan itulah pengertian yang benar dalam kalimat bi ‘abdihî. Namun al-Harari juga menambahkan bahwa kalimat yang dipakai Allah SWT adalah bi ‘abdihî, bukan bi nabiyyihî (nabi-Nya) atau bi

habîbihî (kekasih-Nya). Hal itu, kata al-Harari, dimaksudkan agar umat Nabi Muhammad s.a.w.

(4)

menganggap Isa sebagai tuhan (ilâh).[19]

Selanjutnya sudut pandang kesejarahan (târikhiyyah) diperlukan untuk mengkritisi dua buah pernyataan dari ‘Aisyah r.a. dan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan r.a. Sebelumnya perlu diajukan satu pertanyaan, benarkah dua pendapat itu benar-benar dikeluarkan oleh Umm al-Mu’minin ‘A’isyah ibnah Abu Bakr al-Shiddiq r.a. dan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan r.a.? Setidaknya dua pendapat itu dapat ditelusuri di kitab-kitab yang ditulis oleh Ibn Ishaq karena kedua pendapat itu memang banyak dijadikan referensi oleh ibn Ishaq.[20] Jika kedua pendapat dianggap betul berasal dari keduanya maka perlu dikaji lebih kritis lagi. Pertama, khabar itu hanya dikatakan berdasarkan keterangan keluarga Abu Bakar al-Shiddiq bahwa ‘Aisyah berkata sebagaimana yang tersebut tanpa memberikan penjelasan keluarga Abu Bakar yang mana? Kedua, terkait dengan pernyataan Umm al-Mu’minîn ‘Aisyah r.a. bahwa beliau tidak kehilangan jasad beliau Rasulullah s.a.w di malam isra’ dan mi’raj. Hal ini tentu janggal sekali jika peristiwa itu terjadi satu tahun sebelum hijrah. Mengapa? Karena ‘Aisyah baru menikah dengan nabi Muhammad s.a.w. dan tinggal serumah dengan beliau adalah satu tahun setelah hijrah ke Madinah dan di usia yang sembilan tahun.[21] Artinya sangat janggal jika ‘Aisyah benar-benar memberikan pengakuan seperti itu karena saat itu beliau masih berusia tujuh tahun dan belum menikah dan tinggal serumah dengan Rasulullah s.a.w.[22] Kejanggalan kedua terkait dengan Mu’awiyah. Benarkah dia menyaksikan peristiwa itu sedangkan saat peristiwa itu terjadi dia masih belia dan belum menjadi pengikut Rasulullah Muhammad s.a.w alias masih kafir[23] dan notabene anak dari tokoh kafir Quraisy, Abu Sufyan? Dalam catatan sejarah yang valid, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan baru berislam adalah saat terjadi Fathu Makkah (pemerdekaan Makkah). Jadi jelas sekali penjelasannya, jika statement tadi benar-benar bersumber darinya tentu hanyalah berdasar kepada logikanya saja.

Pendekatan ketiga adalah pendekatan iman. Pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah ada kemustahilan untuk setiap yang Allah SWT kehendaki? Iman kita yang akan menjawab. Jika dijawab ada kemustahilan, maka iman itu perlu dipertanyakan. Jawaban yang shahih adalah bahwa tidak ada sesuatu hal yang mustahil dalam setiap yang Allah SWT kehendaki. Dia Maha berkehendak atas segala sesuatu. Atas dasar keyakinan yang bulat dan utuh itulah maka Abu bakar membenarkan peristiwa isra’ dan mi’raj itu tanpa melalui proses berpikir yang njlimet jika sumbernya adalah nabi Muhammad s.a.w. Inilah yang kita maksudkan dengan pendekatan iman yang sesungguhnya secara eksplisit telah disentuh pula dengan adanya ayat 1 dan 2 surat al-Baqarah. Di dua ayat ini Allah SWT memberikan sebuah landasan bahwa untuk memahami dan mengambil pedoman dari al-Qur’an hendaknya didekati pula dengan pendekatan keimanan, bukan hanya dengan pendekatan ilmu. Bayangkan! Setelah Allah SWT menguraikan kalimat Alif Lâm Mîm (al-ahruf al-muqattha’ah) yang nabi tidak pernah menjelaskan apa maknanya sehingga kalimat itu dibiarkan tanpa penjelasan, Allah SWT melanjutkan di ayat kedua dengan mengarahkan kita untuk tidak meragukan al-Qur’an karena dia merupakan kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya. Apa maksud Allah SWT jika bukan karena mengharapkan kita percaya saja tanpa banyak bertanya setelah membiarkan kita yang masih dalam tanda tanya tentang misteri Alif Lâm Mîm yang nota-bene termasuk fawâtih

al-suwar? Pernyataan Allah SWT terkait keyakinan terhadap al-Qur’an di awal surat al-Baqarah

tersebut sebagaimana telah dijelaskan juga memberi satu tuntunan kepada orang-orang beriman bahwa untuk mempelajari dan mendalami al-Qur’an hendaknya dilakukan dengan pendekatan iman, bukan pendekatan ilmu an-sich. Dengan pendekatan iman maka semua

(5)

pikiran akan diarahkan untuk meyakini dan membenarkan semua teori, solusi, dan kandungan apa pun dalam al-Qur’an. Bukan menolak ayat-ayat al-Qur’an jika ternyata tidak sesuai dengan jalan pikiran atau hawa nafsunya. Dengan sikap seperti ini al-Qur’an benar-benar akan berfungsi menjadi hudân (petunjuk) dari Allah SWT. Hanya orang-orang yang bertaqwa sajalah yang dapat menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk hidup. Dan al-Qur’an benar-benar menjadi pedoman dan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa (al-muttaqîn). Juga sebagai penjelasan dari hal-hal yang mengandung kesesatan sehingga orang bertaqwa tidak terjerumus di dalamnya.

Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Allah SWT menegaskan

diri-Nya sebagai dzat yang Maha Mendengar apa pun komentar orang terkait peristiwa isra’ dan mi’raj tersebut. Sekaligus Dia Maha Mengetahui siapa saja yang beriman dan tunduk pada-Nya, juga orang-orang yang ingkar kepada kebesaran-Nya.

Jelaslah sudah bahwa dengan ayat ini dan peristiwa yang terjadi, Allah SWT ingin memberikan ujian kepada kita semua terhadap keagungan Allah SWT. Dengan adanya ujian itu selanjutnya kita diharapkan tunduk kepada-Nya dan hukum-hukum-Nya dengan ketundukan yang paripurna. Salah satu ketundukan itu jika dikaitkan dengan konteks isra’ dan mi’raj serta capaian nabi Muhammad s.a.w dalam pengalamannya ini adalah shalat lima waktu. Dan setiap tidak perlu bertanya tentang manfaat konkret dari shalat lima waktu tersebut untuk menunda shalat yang semestinya segera didirikan oleh setiap Muslim. Lakukan saja baru kita selami makna dan faidahnya. Bukan mencari makna dan faedahnya dulu untuk kemudian tidak mengerjakannya jika ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Wallâhu a’lam bi

al-shawwâb [ ]

MARÂJI’

Al-Ashfahani, al-Raghib. 2004. Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon

Al-Bantani, Muhammad ibn Umar Nawawi. 2003. Tafsîr Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân

al-Majîd. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon

Al-Baidhawî, Abdullah ibn Umar ibn Muhammad al-Syirazî. 2003. Tafsîr Anwâr al-Tanzîl wa

Asrâr al-Ta’wîl. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon

Al-Biqa’î, Burhanuddin. 2006. Tafsîr Nazhm Dhurar fî Tanâsub ?yât wa Suwar. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon

Al-Hararî, Muhammad Amin. 2010. Tafsîr Hadâ’iq Rawhi wa Raihân fî Rawâbî ‘Ulûm

al-Qur’ân. Dar Thawq al-Najah: Beirut, Lebanon

Al-Fairuzabadi, Abu Thahir ibn Ya’qub. 1995. Tafsîr Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon

(6)

Al-Nasafî, Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmud. 2001. Tafsîr Madârik al-Tanzîl wa Haqâ

’iq al-Ta’wîl. Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut, Lebanon

Al-Sa’dî, Abdurrahman ibn Nâshir. 2003. Tafsîr Taysîr Karîm Rahmân fî Tafsîr Kalâm

al-Mannân. Dar ibn Hazm: Beirut, Lebanon

Al-Shabunî, Muhammad Alî. 1999. Tafsîr Shafwah Tafâsir: Tafsîr li Qur'ân Karîm. Dar al-Kutub al-Islamiyah: Jakarta

Al-Shawi, Ahmad Muhammad. 2004. Tafsîr Hâsyiyah Shâwî ‘alâ Tafsîr Jalâlayn. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon

Al-Syanqithy, Muhammad Amin. 2003. Tafsîr Adhwâ’ Bayân fî Îdhâh Qur’ân bi

al-Qur’ân. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon

Al-Sya’rawî, Muhammad Mutawallî. 1997. Al-Fatâwâ: Kullu Ma Yahumm al-Muslim fî Hayâtih wa

Yawmih wa Ghadih. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon

Al-Syaukanî, Muhammad ibn Alî. 2003. Tafsîr Fath al-Qadîr: al-Jâmi’ Baina Fanai al-Riwâyah

wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon

Al-Thaba’thaba’î, Muhammad Husain. 1997. Tafsîr Mîzân fî Tafsîr Qur’ân. Mu’assasah al-A’lami li al-Mathbu’at: Beirut, Lebanon

Al-Tsa'alabî, Abdurrahman. 1996. Tafsîr al-Jawâhir al-Hisân fî Tafsîr al-Qur'ân, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah: Beirut, Lebanon

Al-Zamakhsyarî, Mahmud ibn Umar ibn Muhammad. 2006. Tafsîr al-Kassyâf ‘an Haqâ

’iq Ghiwâmidh al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut,

Lebanon

Hisyam, Abu Muhammad Abdul Mulk Ibn. 2001. Al-Sîrah Nabawiyyah li Ibn Hisyâm. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah: Beirut, Lebanon

Katsir, Abu al-Fida’ al-Hafizh ibn. 1997. Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon --- 2003. Qashash al-Anbiyâ’ min al-Qur’ân wa al-Atsar. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon

Kuncahyono, Trias. 2008. Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir. Kompas: Jakarta

Lings, Martin. 2002. Muhammad : His Life Based on the Earliest Sources, terj. Ind. Muhammad:

Kisah Hidup Nabi berdasarkan Sumber Klasik. Serambi Ilmu Semesta: Jakarta

Taimiyyah, Taqiyuddin Ibn. T.T. Al-Tafsîr al-Kabîr, Tahqiq wa Ta'lîq Abdurrahman Umairah. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah: Beirut, Lebanon

(7)

Download PDF

* Penulis adalah dosen di Jurusan Tarbiyah Fakultas Ilmu Agama Islam UII dan pengajar tafsir al-Qur’an di berbagai masjid di Yogyakarta

[1] Muhammad ibn Ali Al-Syaukani. 2003. Fath Qadir Jami’ Baina Fanai Riwayah wa

al-Dirayah min ‘Ilm al-Tafsir. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, jilid 1, h. 1032

[2] Muhammad Husain Thaba’thaba’î. 1997. Al-Mizan fi Tafsir Qur’an. Mu’assasah al-A’lami li al-Mathbu’at: Beirut, Lebanon, jilid 13, h. 7

[3] Muhammad al-Amin al-Hararî. 2008. Tafsîr Hadâ’iq al-Rauhi wa al-Raihân fî Rawâbî ‘Ulûm

al-Qur’ân. Dar Thauq al-Najah: Beirut, Lebanon, jilid 16, h. 12

[4] Realitas religius Jerusalem tidak terbantahkan dalam al-Qur’an yang adalah kiblat pertama bagi umat Muslim menghadapkan wajah mereka saat shalat sebelum akhirnya 16 bulan setelah Hijrah Allah SWT memerintahkan untuk menghadap kea rah Ka’bah (Q.S. al-Baqarah [2]: 144). Lihat Trias Kuncahyono. 2008. Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir. Kompas: Jakarta, h. 247

[5] Jarak tempuh antara Makkah ke Palestina normalnya adalah empat puluh malam dengan perjalanan berkendaraan unta, lihat Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Nasafi. 2001. Tafsir

(8)

[6] Hal itu dipahami dari penggunaan kata laylan yang berbentuk nakîrah (tankîr) sehingga menunjukkan makna sebagian (ba’dhiyyah)

[7] Q.S. Yasin [36]: 82

[8] Q.S. al-Anbiya’ [21]: 69

[9]Q.S. al-Syu’ara’ [26]: 63

[10]Q.S. Ali Imran [3]: 49

[11]Lihat Mahmud ibn Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari. 2006. Tafsir al-Kassyaf ‘an

Haqa’iq Ghiwamidh al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah:

Beirut, Lebanon, jilid 2, h. 623

[12]Aisyah r.a. berkata,

(9)

[13]Abdullah ibn Umar ibn muhammad al-Syirazi al-Baidhawi. 2003. Tafsir Anwar al-Tanzil wa

Asrar al-Ta’wil, jilid 1. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, h. 563. Lihat juga Muhammad

ibn Ali al-Syaukani. 2003. Fath al-Qadir: al-Jami’ Baina Fanai al-Riwayah wa al-Dirayah min

‘Ilm al-Tafsir. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, jilid 1, h. 1032

[14]Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi dalam kitab Fatawa. Lihat Muhammad Mutawalli Sya’rawi. 1997. Al-Fatawa: Kullu Ma Yahumm

al-Muslim fi Hayatih wa Yaumih wa Ghadih. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, juz 1, h. 82

[15]Abdurrahman ibn Nashir Sa’di. 2003. Taisir Karim Rahman fi Tafsir Kalam

al-Mannan. Dar ibn Hazm: Beirut, Lebanon, h. 428

[16]Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmud Nasafi. 2001. Tafsir Madarik Tanzil wa Haqa’iq

al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut, Lebanon, jilid 1, h. 705

[17]Abdullah ibn Umar ibn Muhammad al-Syirazi al-Baidhawi. 2003. Tafsir Anwar al-Tanzil wa

Asrar al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, jilid 1, h. 563-564

[18]Abu al-Fida’ al-Hafizh ibn Katsir. 1997. Tafsir al-Qur’an al-’Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon, jilid 3, h. 26

(10)

[19]Muhammad al-Amin Al-Hararî. 2008. Tafsîr Hadâ’iq al-Rauhi wa al-Raihân fî Rawâbî ‘Ulûm

al-Qur’ân. Dar Thauq al-Najah: Beirut, Lebanon, jilid 16, h. 11-12

[20]Lihat Abu Muhammad Abdul Mulk Ibn Hisyam. 2001. Al-Sirah al-Nabawiyyah li Ibn Hisyam. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, h. 288

[21]Lihat Martin Lings. 2002. Muhammad : His Life Based on the Earliest Sources, terj. Ind.

Muhammad: Kisah Hidup Nabi berdasarkan Sumber Klasik. Serambi Ilmu Semesta: Jakarta, h.

203

[22]Lihat Muhammad al-Amin Al-Hararî. 2008. Tafsîr Hadâ’iq al-Rauhi wa al-Raihân fî Rawâbî

‘Ulûm al-Qur’ân. Dar Thauq al-Najah: Beirut, Lebanon, jilid 16, h. 15

[23]Al-Harari menyebutnya termasuk kalangan musyrikin sehingga beritanya (khabar) tentang masalah ini tidak dapat diterima. Lihat Muhammad Amin Al-Hararî. 2008. Tafsîr Hadâ’iq

Referensi

Dokumen terkait

Besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk wajib pajak masuk badan dan wajib pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah

Bambang Sumardjoko, M.Pd, Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menambah ilmu di

Dalam fiqih, Islam tidak ada larangan terkait adat tersebut mintelu, rata-rata masyarakat takut melaksanakannya ini karena keyakinan mereka yang sudah menempel dan menjadi acuan

Adapun perubahan yang terlihat tapi itu bukan merupakan hal yang penting bagi masyarakat khususnya suku mori yang penting bagi mereka adalah bagaimana dalam tradisi

Anti Mosquito yaitu alat perangkap nyamuk elektrik berbasis IoT dengan bantuan sinar UV LED (Ultra Violet LED) yang memiliki kemampuan maksimal dalam menarik

“Apa yang terjadi dengan desa ini?” tanya Indara pitaraa.. “Iya, apa

Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa: (1) Kualitas Sistem EG, Kualitas Informasi EG dan Persepsi Ease of Use memiliki pengaruh signifikan terhadap penerimaan